ۡ بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah Ruhani Surah
Shād
Bab 60
“Suluk” Sifat-sifat
Tasybihiyyah Allah Swt. & Tiga Tingkatan Akhlak: Adil,
Ihsan (Kebajikan) dan Îtā-i dzil-qurba (Memberi Seperti Terhadap Kerabat)
Oleh
Ki
Langlang Buana Kusuma
D
|
alam akhir Bab sebelumnya telah dijelaskan mengenai makna
Sifat Allah Swt. Ar-Rahmān (Maha Pemurah) dan Ar-Rahīm (Maha
Penyayang), keduanya berasal dari akar
kata yang sama, Rahima, artinya: ia telah menampakkan kasih-sayang; ia ramah
dan baik; ia memaafkan, mengampuni. Kata Rahmah menggabungkan arti riqqah
yakni kehalusan dan ihsan yakni
kebaikan, kebajikan” (Mufradat). Ar-Rahmān
dalam wazan (ukuran) fa’lan, dan Ar-Rahīm dalam ukuran fa’il.
Menurut kaedah tata-bahasa Arab, makin banyak jumlah huruf ditambahkan pada
akar kata makin luas dan mendalam pula artinya (Kasysyaf).
Ukuran
fa’lan membawa arti kepenuhan dan keluasan, sedang ukuran fa’il
menunjuk kepada arti ulangan dan pemberian ganjaran dengan kemurahan hati
kepada mereka yang layak menerimanya (Muhith).
Jadi, di mana kata Ar-Rahmān menunjukkan “kasih sayang meliputi seluruh alam”, kata Ar-Rahīm berarti “kasih sayang yang ruang lingkupnya terbatas tetapi
ditampakkan berulang-ulang.”
Sifat Rahmaaniyyat Hanya Untuk Allah Swt.
Mengingat
arti-arti di atas, Ar-Rahmān adalah Dzat Yang menampakkan kasih-sayang
secara cuma-cuma dan meluas kepada semua
makhluk tanpa mempertimbangkan usaha
atau amal makhluk-makhluk
tersebut; sedangkan Ar-Rahīm adalah Dzat Yang menampakkan kasih-sayang sebagai
imbalan atas usaha atau amal
manusia, tetapi menampakkannya dengan kemurahan hati dan berulang-ulang.
Kata
Ar-Rahmān hanya dipakai untuk Allah Swt., sebab hanya Allah Swt., sajalah
Wujud yang memiliki kekuasaan melaksanakannya secara sempurna Sifat Rahmāniyyat tersebut; sedangkan
Ar-Rahīm dipakai pula untuk manusia.
Sifat Ar-Rahmān (Maha Pemurah) Allah Swt. tidak hanya meliputi orang-orang beriman dan kafir
saja, tetapi juga seluruh makhluk.
Sifat Ar-Rahīm (Maha Penyayang) Allah Swt. terutama tertuju kepada orang-orang beriman saja.
Menurut
sabda Nabi Besar Muhammad saw., sifat Ar-Rahmān (Maha Pemurah)
umumnya bertalian dengan kehidupan di
dunia ini, sedang sifat Ar-Rahīm (Maha Penyayang) umumnya bertalian
dengan kehidupan akhirat
(Muhith). Artinya, karena dunia (alam jasmani) ini pada umumnya
adalah dunia perbuatan, sedangkan
alam akhirat itu adalah suatu alam tempat perbuatan manusia akan diganjar dengan cara istimewa,
maka sifat Allah Swt. Ar-Rahmān (Maha Pemurah) menganugerahi
manusia alat dan bahan (sarana) untuk melaksanakan
pekerjaannya dalam kehidupan di dunia
ini, sedangkan sifat Allah Swt. Ar-Rahīm
(Maha Penyayang) mendatangkan hasil
dalam kehidupan yang akan datang (akhirat).
Segala
benda (sarana) yang diperlukan manusia dan atas itu kehidupan manusia bergantung adalah semata-mata karunia Ilahi dan sudah tersedia untuk kita, sebelum kita berbuat sesuatu yang
menyebabkan kita layak menerimanya, atau bahkan sebelum kita dilahirkan, itulah
makna Sifat Rahmaniyyat Allah Swt.
Sedangkan
karunia yang tersedia untuk kita
dalam kehidupan yang-akan-datang
(akhirat) akan dianugerahkan
kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh sebagai ganjaran atas usaha atau amal mereka. Hal itu menunjukkan bahwa Ar-Rahmān
itu Pemberi karunia yang mendahului kelahiran manusia, sedangkan Ar-Rahīm itu Pemberi nikmat-nikmat yang mengikuti amal manusia
sebagai ganjarannya.
Sifat Mālikiyyat Allah Swt. &
Cara Allah Swt. Menampakan
Urutan Sifat-sifat Tasybihiyyah-Nya kepada Umat Manusia
Ayat
Surah Al-Fatihah selanjutnya
mengemukakan Sifat Tasybihiyyah Allah
Swt, yang keempat yaitu “Pemilik Hari
Pembalasan”, firman-Nya:
اَلۡحَمۡدُ لِلّٰہِ رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ ۙ﴿﴾
الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ ۙ﴿﴾ مٰلِکِ یَوۡمِ الدِّیۡنِ ؕ﴿﴾
Segala
puji
hanya
bagi Allah, Tuhan seluruh alam, Maha
Pemurah, Maha Penyayang, Pemilik
Hari Pembalasan. (Al-Fatihah
[1]:2-4).
Mālik
berarti majikan atau orang yang memiliki (pemilik) hak atas sesuatu serta memiliki (pemilik) kekuasaan untuk memperlakukannya dengan sekehendaknya (Aqrab-ul-Mawarid).
Yaum berarti: waktu mutlak, hari mulai
matahari terbit hingga terbenamnya; masa sekarang (Aqrab-ul-Mawarid). Dīn
berarti: pembalasan atau ganjaran; peradilan atau perhitungan;
kekuasaan atau pemerintahan; kepatuhan; agama, dan sebagainya. (Lexicon Lane).
Keempat Sfat Tasybihiyyah Allah Swt.
yakni: رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ
-- “Rabb (Tuhan) seluruh
alam”, الرَّحۡمٰنِ -- “Maha
Pemurah”, الرَّحِیۡمِ -- “Maha Penyayang” dan مٰلِکِ
یَوۡمِ الدِّیۡنِ --“Pemilik Hari Pembalasan” adalah Sifat-sifat pokok (utama) Allah Swt..
Sifat-sifat Tasybihiyyah lainnya
hanya menjelaskan dan merupakan semacam tafsiran
tentang keempat Sifat utama Allah
Swt. tadi, laksana empat
buah tiang di atasnya terletak ‘Arasy (Singgasana) -- yakni
Sifat-sifat Tanzihiyyah yang hanya
dimiliki oleh Allah Swt. -- Tuhan Yang
Maha Kuasa.
Urutan
keempat sifat itu seperti dituturkan di atas, memberikan penjelasan bagaimana
Allah Swt. menampakkan sifat-sifat-Nya Tasybihiyyah tersebut kepada manusia secara berurutan. Sifat Rabb-ul-’ālamīn
(Tuhan seluruh alam) mengandung arti,
bahwa seiring dengan dijadikannya manusia
sebagai puncak ciptaannya sebagai Khalifah
bagi seluruh ciptaan-Nya (makhluk-Nya)
yang lain, Allah Swt. pun menjadikan lingkungan yang diperlukan untuk kemajuan dan perkembangan ruhaninya
sesuai tujuan utama diciptakan-Nya
manusia, yakni untuk beribadah kepada
Allah Swt. (QS.51:57).
Sifat
Ar-Rahmān (Maha Pemurah) mulai berlaku sesudah itu dan dengan
perantaraan itu, Dia seolah-olah
menyerahkan kepada manusia sarana-sarana
dan bahan-bahan yang diperlukan untuk
kemajuan akhlak dan ruhaninya. Dan jika manusia memakai sarana-sarana
yang dianugerahkan kepadanya itu secara tepat
maka sifat Ar-Rahīm (Maha Penyayang) mulai berlaku untuk mengganjar amalnya.
Yang terakhir sekali sifat Māliki yaum-id-dīn (Pemilik Hari Pembalasan)
mempertunjukkan hasil terakhir dan kolektif amal perbuatan manusia, dengan
demikian pelaksanaan pembalasan
mencapai kesempurnaan.
Sungguhpun
perhitungan terakhir dan sempurna akan terjadi pada Hari Pembalasan, tetapi proses
pembalasan itu terus berlaku bahkan dalam kehidupan di dunia ini juga, dengan perbedaan bahwa dalam kehidupan
di dunia ini perbuatan manusia seringkali diadili
dan diganjar oleh orang lain — para raja, para penguasa, dan sebagainya — oleh karena itu senantiasa ada kemungkinan adanya kekeliruan.
Tetapi pada Hari
Pembalasan, sepenuhnya kedaulatan Allah Swt itu mandiri
dan mutlak dan tindakan pembalasan itu seluruhnya ada dalam kekuasaan-Nya. Ketika itu tidak akan terdapat kesalahan, tiada hukuman
yang tidak tepat, tiada ganjaran yang
tidak adil, sehingga dan tidak
akan ada seorang manusia pun yang akan merasa dizalimi, baik ia itu sebagai penghuni surga mau pun
sebagai penghuni neraka.
Makna Penggunaan Kata Mālik (Pemilik) &
Tiga Tingkatan Pengamalan Sifat atau “Akhlak“ Allah Swt.
Pemakaian
kata Mālik (Pemilik) dimaksudkan pula untuk menunjuk kepada ke-nyataan
bahwa Penghakiman yang dilakukan Allah
Swt. . tidak seperti seorang hakim
yang harus menjatuhkan keputusan benar
sesuai dengan hukum yang telah ditetapkan. Selaku Mālik
(Pemilik), Allah Swt. dapat mengampuni dan menampakkan kasih-sayang-Nya, kapan saja dan dengan cara apa pun sekehendak-Nya.
Dengan
mengambil dīn dalam arti agama, maka kata-kata “Māliki yaumid-dīn” (Yang memiliki waktu agama) akan berarti bahwa bila suatu agama sejati diturunkan maka
umat manusia menyaksikan suatu
penjelmaan kekuasaan dan takdir Ilahi yang luar biasa, dan bila agama
itu mundur maka nampaknya seolah-olah seluruh alam berjalan secara mekanis, tanpa pengawasan atau pengaturan
Sang Khāliq (Pencipta) dan Al-Mālik (Pemilik), yakni Allah
Swt. Rabb (Tuhan Pencipta dan
Pemelihara) seluruh alam.
Walau
pun menurut urutannya dalam Surah Al-Fatihah penjelmaaan Sifat Maaliki Allah Swt. pada Surah Al-Fatihah adalah
pada posisi terakhir yakni مٰلِکِ یَوۡمِ الدِّیۡنِ --“Pemilik Hari Pembalasan”, yaitu setelah
Sifat-sifat Rabbubiyyat, Rahmāniyat dan Rahīmiyyat, tetapi dalam pengamalannya oleh manusia susunan
urutannya menjadi sebaliknya, yakni (1) Mālikiyyat,
(2) Rahīmiyyat, (3) Rahmāniyat, dan (4) Rabbubiyyat,
hal tersebut sesuai dengan firman Allah Swt.:
اِنَّ اللّٰہَ یَاۡمُرُ
بِالۡعَدۡلِ وَ الۡاِحۡسَانِ وَ اِیۡتَآیِٔ ذِی الۡقُرۡبٰی وَ یَنۡہٰی
عَنِ الۡفَحۡشَآءِ وَ الۡمُنۡکَرِ وَ الۡبَغۡیِ ۚ یَعِظُکُمۡ
لَعَلَّکُمۡ تَذَکَّرُوۡنَ
﴿﴾
Sesungguhnya Allah
menyuruh berlaku adil, berbuat ihsan (kebajikan), dan memberi seperti kepada kaum kerabat, serta melarang dari perbuatan keji, mungkar,
dan pemberontakan. Dia nasihatkan kepada kamu supaya kamu mengambil pelajaran. (An-Nahl
[16]:91).
Ayat
ini mengandung tiga macam perintah
dan tiga macam larangan, yang secara
singkat membahas semua macam derajat perkembangan
akhlak dan keruhanian manusia -- bersama
segi kebaikan dan keburukannya masing-masing. Ayat ini
menganjurkan (1) berlaku adil, (2) berbuat
baik (ihsan) kepada orang lain, dan (3) berlaku kasih sayang antara kaum kerabat; dan (1) melarang berbuat hal yang tidak senonoh, (2)
berbuat keburukan dan (3) pelang-garan yang nyata.
Keadilan
(‘adl) mengandung arti bahwa seseorang harus
memperlakukan orang-orang lain seperti ia diperlakukan oleh mereka. Ia hendaknya membalas kebaikan dan keburukan orang-orang lain secara setimpal menurut besarnya dan ukurannya
yang diterima olehnya dari mereka.
Lebih
tinggi dari ‘adl (keadilan) adalah derajat ihsan (kebajikan) bila
manusia harus berbuat kebaikan yang lebih kepada orang-orang lain tanpa mengindahkan macamnya perlakuan yang diterima dari mereka,
atau sekalipun ia diperlakukan buruk
oleh mereka. Perbuatannya tidak boleh digerakkan oleh pertimbangan-pertimbangan
menuntut balasan, sekali pun sekedar ucap “terima
kasih” dari orang yang diperlakukan ihsan.
Pada derajat perkembangan akhlak terakhir dan tertinggi, ialah ītā’i dzil
qurbā (memberi seperti kepada kerabat), yakni seorang beriman diharapkan
untuk berlaku baik terhadap orang-orang lain, bukan sebagai membalas sesuatu kebaikan yang diterima
dari mereka (‘adil) , begitu pun tidak dengan pertimbangan untuk berbuat lebih
baik (ihsan) dari kebaikan yang ia
peroleh, melainkan untuk berbuat kebaikan
yang ditimbulkan oleh dorongan fitri
(fitrat), seperti ia berbuat baik kepada orang-orang yang
mempunyai perhubungan darah yang dekat sekali.
Keadaan pada derajat akhlak tingkatan ini serupa dengan keadaan seorang ibu yang menyusui anak yang kecintaan
terhadap anak-anaknya bersumber pada dorongan fitri (fitrat) seorang ibu
terhadap anak kandungnya. Sesudah
orang mukmin mencapai derajat akhlak ini ini perkembangan akhlaknya menjadi sempurna.
Kesempurnaan akhlak Nabi Besar Muhammad saw.
Jadi,
kembali kepada hubungan keempat Sifat Tasybihiyyah utama Allah Swt.
dalam Surah Al-Fatihah dengan ketiga tingkatan akhlak baik manusia tersebut adalah (1) Sifat
مٰلِکِ یَوۡمِ الدِّیۡنِ
--“Pemilik Hari Pembalasan” memiliki hubungan dengan tingkatan akhlak baik yang disebut ‘adl; (2) Sifat الرَّحِیۡمِ -- “Maha Penyayang” memiliki hubungan
dengan tingkatan akhlak baik yang disebut ihsan; (3) Sifat الرَّحۡمٰنِ
-- “Maha Pemurah”, memiliki hubungan dengan tingkatan akhlak اِیۡتَآیِٔ
ذِی الۡقُرۡبٰی (memberi
seperti kepada kerabat dekat).
Manusia
tidak akan dapat melebihi ketiga tingkatan
(derajat) akhlak tersebut lalu
memperagakan secara sempurna Sifat Tasybihiyyah Allah Swt. Rabbul-
‘ālamīn (Pencipta dan Pemelihara seluruh alam), karena
hubungannya adalah dengan seluruh alam
semesta.
Kalau
pun ada seorang manusia yang sampai
batas tertentu mampu melakukan Sifat Rabbubiyyat Allah Swt. hanya Nabi
Besar Muhammad saw., hal itu sesuai
dengan firman Allah Swt. kepada beliau saw.:
وَ مَاۤ اَرۡسَلۡنٰکَ اِلَّا رَحۡمَۃً لِّلۡعٰلَمِیۡنَ ﴿﴾
Dan Kami
sekali-kali tidak mengutus engkau melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam.
(Al-Anbiyya p21]:108).
Nabi
Besar Muhammad saw. adalah pembawa rahmat
untuk seluruh alam mulai dari benda-benda (makhluk-makhluk) yang
tidak
bernyawa sampai makhluk-makhluk yang bernyawa dari golongan tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia, sebab amanat Islam (Al-Quran) yang diemban beliau
saw. tidak terbatas kepada suatu negeri
atau kaum tertentu, demikian pula rahmat beliau saw. tidak hanya terbatas
pada golongan manusia saja tetapi juga meluas ke alam-alam lainnya, sebagaimana makna al-‘alamīn (seluruh alam) dalam ayat اَلۡحَمۡدُ لِلّٰہِ رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ ۙ﴿﴾ -- Segala puji hanya bagi Allah,
Tuhan seluruh alam, (Al-Fatihah [1]:2).
Dengan perantaraan Nabi Besar Muhammad saw. bangsa-bangsa dunia bahkan lingkungan alam pun telah diberkati,
seperti belum pernah mereka diberkati sebelum itu. Itulah makna lain dari
firman-Nya:
وَ مَاۤ اَرۡسَلۡنٰکَ اِلَّا رَحۡمَۃً لِّلۡعٰلَمِیۡنَ ﴿﴾
Dan Kami
sekali-kali tidak mengutus engkau melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam.
(Al-Anbiyya p21]:108).
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 23 Oktober
2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar