بِسۡمِ
اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم
Khazanah Ruhani Surah
Shād
Bab 70
Peran Utama “Kecintaan”
dan “Musyawarah”
Nabi Besar Muhammad saw. dalam Penciptaan Tatanan “Bumi Baru dan Langit Baru”
Ruhani
Oleh
Ki
Langlang Buana Kusuma
Dalam akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan mengenai Nabi
Besar Muhammad Saw. dan peragaan Sifat Rabbubiyyat Allah Swt., bahwa sebagaimana telah dikemukakan dalam Bab 61
dan Bab 62 tentang hakikat mi’raj
(kenaikan ruhani) Nabi Besar Muhammad saw.
sampai Sidratul-Muntaha
(QS.53:1-19), bahwa pada umumnya suluk
peragaan akhlak yang dimulai
dari adil, ihsan, dan iytā-i dzil- qurba (memberi seperti terhadap kerabat).
Tetapi dalam hubungannya dengan
keempat Sifat utama Tasybihiyyah Allah
Swt. dalam Surah Al-Fatihah, pada
umumnya manusia – termasuk para Rasul Allah yang diutus sebelum Nabi
Besar Muhammad saw. -- hanya mampu memperagakan mulai dari Sifat Mālikiyat yaitu adil, Rahīmiyyat yaitu
ihsan dan Rahmāniyyat yaitu iyta-I
dzil- qurba (memberi seperti kepada
kerabat).
Ada pun mengenai Sifat Rabbubiyyat Allah Swt.,
yang mampu memperagakan secara sempurna hanyalah
Nabi Besar Muhammad saw., sebab beliau
saw. adalah satu-satunya Rasul
Allah yang missi kerasulannya
adalah “rahmat bagi seluruh alam” (QS.7:159; QS.21:108; QS.25:2; QS.34:29)
serta serta selain mendapat gelar Khātaman Nābiyyin (QS.33:41) beliau saw. pun satu-satunya Rasul Allah yang Allah Swt., para malaikat dan orang-orang
yang beriman senantiasa mengirimkan shalawat untuk beliau saw..
Berbagai Bukti Kesempurnaan Akhlak dan Ruhani
Nabi Besar Muhammad Saw.
Bahkan dalam sebuah hadits Qudsi
Allah Swt. telah berfirman mengenai Nabi Besar Muhammad saw.: “Law laka lamā khalaqtul-aflāq – “kalau bukan untuk
engkau, Aku tidak akan menciptakan alam semesta.” Berikut beberapa firman Allah Swt. mengenai
kesempurnaan kemuliaan Nabi Besar Muhammad saw.:
وَ مَاۤ اَرۡسَلۡنٰکَ اِلَّا
رَحۡمَۃً لِّلۡعٰلَمِیۡنَ ﴿﴾
Dan Kami
sekali-kali tidak mengutus engkau melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam.
(Al-Anbiya [21]:108).
Firman-Nya
lagi mengenai gelar “Khātaman-Nabiyyīn”
yang disalah-tafsirkan secara sempit sebagai “nabi terakhir”:
مَا کَانَ مُحَمَّدٌ اَبَاۤ اَحَدٍ
مِّنۡ رِّجَالِکُمۡ وَ لٰکِنۡ رَّسُوۡلَ اللّٰہِ وَ خَاتَمَ النَّبِیّٖنَ ؕ وَ کَانَ اللّٰہُ
بِکُلِّ شَیۡءٍ عَلِیۡمًا ﴿﴾
Muhammad bukanlah bapak salah seorang laki-laki di antara laki-laki kamu, akan tetapi ia adalah Rasul Allah dan meterai sekalian nabi, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Al-Ahzāb [33]:41).
Kemudian mengenai shalawat
yang wajib dimohonkan oleh orang-orang beriman kepada
Allah Swt. untuk dissampaikan kepada Nabi Besar Muhammad saw.
Dia berfirman:
اِنَّ اللّٰہَ وَ مَلٰٓئِکَتَہٗ
یُصَلُّوۡنَ عَلَی النَّبِیِّ ؕ یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا صَلُّوۡا
عَلَیۡہِ وَ سَلِّمُوۡا تَسۡلِیۡمًا﴿﴾
Sesungguhnya
Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang beriman, bershalawatlah untuknya dan mintalah selalu doa keselamatan
baginya. (Al-Ahzab [33]:57).
Dalam Bab 48 dan 49 telah dikemukakan
mengenai berbagai firman Allah Swt. tentang proses penciptaan tatanan alam
semesta berdasarkan Sifat Rabbubiyyat-Nya, antara lain adalah
mengenai peristiwa “Big Bang” (ledakan besar) yang diyakini oleh para ilmuwan kosmologi sebagai awal terjadinya tatanan alam semesta jasmani,
firman-Nya:
اَوَ لَمۡ یَرَ الَّذِیۡنَ کَفَرُوۡۤا
اَنَّ السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضَ
کَانَتَا رَتۡقًا فَفَتَقۡنٰہُمَا ؕ وَ جَعَلۡنَا مِنَ الۡمَآءِ کُلَّ شَیۡءٍ حَیٍّ ؕ اَفَلَا یُؤۡمِنُوۡنَ ﴿﴾
Tidakkah orang-orang yang kafir melihat bahwa seluruh
langit dan bumi keduanya dahulu suatu massa yang menyatu
lalu Kami pisahkan keduanya? Dan Kami jadikan segala sesuatu
yang hidup dari air. Tidakkah
mereka mau beriman? (Al-Anbiya [21]:31).
Ayat ini mengisyaratkan landasan agung kepada satu kebenaran
ilmiah. Agaknya ayat itu menunjuk kepada alam semesta, ketika masih belum mempunyai bentuk benda, dan ayat itu bermaksud menyatakan
bahwa seluruh alam semesta khususnya tata surya, telah berkembang dari gumpalan (ratqan) yang belum mempunyai bentuk atau segumpal kabut (ratqan).
Selaras
dengan asas yang Allah Swt. lancarkan, Dia memecahkan
gumpalan zat itu dan pecahan-pecahan
yang cerai-berai menjadi kesatuan-kesatuan
wujud tata-surya (“The Universe
Surveyed” oleh Harold Richards
dan “The Nature of the Universe”
oleh Fred Hoyle). Sesudah itu Allah Swt. menciptakan seluruh kehidupan itu dari air وَ جَعَلۡنَا مِنَ الۡمَآءِ کُلَّ شَیۡءٍ حَیٍّ -- “Dan Kami jadikan
segala sesuatu yang hidup dari air.”
Penciptaan Bumi Baru dan Langit Baru
Keruhanian
Ayat
ini nampaknya mengandung arti bahwa seperti alam kebendaan, demikian pula alam
keruhanian pun berkembang dari gumpalan
yang belum mempunyai bentuk, yang terdiri dari alam pikiran yang kacau-balau dan kepercayaan-kepercayaan yang bukan-bukan.
Sebagaimana Allah Swt. dengan hikmah-Nya yang tidak pernah meleset --
dan sesuai dengan rencana agung --
telah memecahkan gumpalan zat itu,
dan pecahan-pecahan yang bertebaran
menjadi kesatuan wujud berbagai tata surya, maka persis seperti itu pula Dia
mewujudkan suatu tertib ruhani yang baru
(QS.14:49) dalam suatu alam yang berguling-gantang di dalam paya-paya cita-cita yang kacau-balau.
Apabila
umat manusia tenggelam ke dalam kegelapan akhlak yang keruh serta angkasa
keruhanian menjadi tersaput oleh awan
yang padat dan sesak (QS.30:42-44), Allah Swt. menyebabkan munculnya suatu cahaya berupa seorang utusan Ilahi
(rasul Allah) yang mengusir kegelapan
ruhani yang telah menyebar luas itu, dan dari gumpalan yang tidak berbentuk
dan tanpa kehidupan -- yang berupa kerendahan akhlak dan ruhani -- lahirlah suatu tatanan alam semesta ruhani yang mulai meluas dari pusatnya dan akhirnya melingkupi seluruh bumi, menerima kehidupan
dan pengarahan, dari tenaga penggerak yang berada di
belakangnya.
Mengenai tatanan atau bangunan
atau kerajaan
alam semesta tersebut dalam Surah lain Allah Swt. berfirman:
بِسۡمِ
اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾ تَبٰرَکَ الَّذِیۡ بِیَدِہِ
الۡمُلۡکُ ۫ وَ ہُوَ عَلٰی کُلِّ
شَیۡءٍ قَدِیۡرُۨ ۙ﴿﴾ الَّذِیۡ خَلَقَ الۡمَوۡتَ وَ الۡحَیٰوۃَ
لِیَبۡلُوَکُمۡ اَیُّکُمۡ اَحۡسَنُ عَمَلًا ؕ وَ ہُوَ الۡعَزِیۡزُ الۡغَفُوۡرُ ۙ﴿﴾ الَّذِیۡ خَلَقَ سَبۡعَ سَمٰوٰتٍ طِبَاقًا ؕ مَا تَرٰی فِیۡ
خَلۡقِ الرَّحۡمٰنِ مِنۡ تَفٰوُتٍ
ؕ فَارۡجِعِ الۡبَصَرَ ۙ ہَلۡ تَرٰی مِنۡ فُطُوۡرٍ ﴿﴾ ثُمَّ ارۡجِعِ الۡبَصَرَ کَرَّتَیۡنِ یَنۡقَلِبۡ اِلَیۡکَ الۡبَصَرُ خَاسِئًا وَّ ہُوَ حَسِیۡرٌ ﴿﴾
Aku baca dengan nama Allah, Maha Pemurah,
Maha Penyayang. Maha
Berbarkat Dia Yang di Tangan-Nya kerajaan dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, Yang menciptakan kematian dan kehidupan,
supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang
terbaik amalnya, dan Dia Maha Perkasa, Maha Pengampun, Yang telah menciptakan tujuh tingkat langit dengan serasi. Engkau tidak akan melihat ketidakselarasan di dalam ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah, maka lihatlah
berulang-ulang, apakah engkau
melihat sesuatu cacat? Kemudian pandanglah
untuk kedua kali, penglihatan engkau akan kembali kepada
engkau dengan tunduk dan ia letih, (Al-Mulk [67]:1-5).
Dalam ayat 2 Allah Swt. telah
menyatakan bahwa tatanan alam
semesta jasmani ini – dengan
berbagai hal yang berlaku di dalamnya –
merupakan tatanan “kerajaan” Allah
Swt., dan ayat 4-5 menerangkan kesempurnaan tatanan “kerajaan” Allah Swt. tersebut.
Ada pun makna ayat 3 ۙ الَّذِیۡ خَلَقَ الۡمَوۡتَ وَ الۡحَیٰوۃَ
لِیَبۡلُوَکُمۡ اَیُّکُمۡ اَحۡسَنُ عَمَلًا -- “Yang
menciptakan kematian dan kehidupan,
supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang terbaik amalnya,” yaitu bahwa hukum hidup dan mati berlaku di
seluruh alam. Tiap-tiap makhluk-hidup
tunduk kepada kehancuran dan kematian.
Kata “kematian”
di sini seperti juga dalam ayat QS.2:29 dan QS.53:45, disebut sebelum kata “kehidupan.” Alasannya ialah,
rupa-rupanya kematian atau tanpa-wujud itu merupakan keadaan
sebelum ada kehidupan, atau mungkin
karena “mati” itu lebih penting dan
lebih besar artinya daripada “hidup,”
karena kematian membukakan kepada manusia pintu gerbang kehidupan kekal dan kemajuan
ruhani yang tidak berhingga di alam
akhirat, sedang kehidupan di dunia ini hanyalah suatu tempat persinggahan sementara dan merupakan suatu persiapan bagi kehidupan
kekal lagi abadi di balik kubur.
Itulah sebabnya selanjutnya dikatakan لِیَبۡلُوَکُمۡ اَیُّکُمۡ
اَحۡسَنُ عَمَلًا -- “supaya Dia menguji kamu, siapa di antara
kamu yang terbaik amalnya” maka mereka itulah yang akan menjadi pewaris nikmat-nikmat Allah Swt., termasuk “nikmat kenabian
dan nikmat kerajaan”, firman-Nya:
وَ اِذۡ قَالَ مُوۡسٰی لِقَوۡمِہٖ
یٰقَوۡمِ اذۡکُرُوۡا نِعۡمَۃَ اللّٰہِ عَلَیۡکُمۡ اِذۡ جَعَلَ فِیۡکُمۡ
اَنۡۢبِیَآءَ وَ جَعَلَکُمۡ مُّلُوۡکًا ٭ۖ وَّ اٰتٰىکُمۡ مَّا لَمۡ یُؤۡتِ
اَحَدًا مِّنَ الۡعٰلَمِیۡنَ ﴿﴾
Dan ingatlah
ketika Musa berkata kepada kaumnya: “Hai
kaumku, ingatlah nikmat Allah atas kamu, ketika Dia menjadikan nabi-nabi di antara kamu, menjadikan kamu raja-raja, dan Dia memberikan kepada kamu apa yang tidak diberikan kepada kaum lain di antara bangsa-bangsa (Al-Māidah
[55:21).
Penggantian kata kum (kamu) alih-alih kata fī-kum dalam kalimat اذۡکُرُوۡا نِعۡمَۃَ اللّٰہِ عَلَیۡکُمۡ
اِذۡ جَعَلَ فِیۡکُمۡ اَنۡۢبِیَآءَ وَ جَعَلَکُمۡ مُّلُوۡکًا -- “ingatlah nikmat Allah atas kamu, ketika Dia menjadikan nabi-nabi di antara kamu, menjadikan
kamu raja-raja”, mengandung isyarat
bahwa jikalau tiap-tiap dan semua anggota
suatu bangsa yang hidup di bawah
kekuasaan seorang raja seakan-akan
mempunyai kekuasaan dan kedaulatan, maka pengikut-pengikut seorang nabi
tidak mempunyai bagian dalam kenabiannya, karena pengangkatan sebagai seorang nabi
(rasul) Allah sepenuhnya merupakan
wewenang Allah Swt., sedangkan pengangkatan seorang raja peran-serta rakyat
suatu kerajaan sangat
menentukan.
Itulah sebabnya berbeda dengan
para raja
duniawi, sekali pun seluruh kaumnya melakukan pendustaan dan penentangan
secara zalim kepadanya maka yang akan hancur adalah kaum itu
sendiri oleh azab Ilahi, yang merupakan bagian dari dukungan
Allah Swt. kepada Rasul-Nya tersebut. Sedangkan seorang raja duniawi apabila seluruh
rakyatnya bersatu-padu melakukan penentangan
terhadapnya maka raja tersebut tidak
akan dapat mempertahankan kekuasaannya lagi.
Keserasian
Sempurna Tatanan Alam Semesta Jasmani &
“Tiang Penunjang” yang Tidak Kelihatan
Kata thibāq dalam ayat الَّذِیۡ خَلَقَ سَبۡعَ سَمٰوٰتٍ طِبَاقًا – “Yang telah menciptakan tujuh tingkat langit dengan serasi”, bersamaan arti dengan thabāq dan dengan
jamaknya athbāq. Orang mengatakan sesuatu ini thabāq atau thibāq
bagi sesuatu itu, yakni sesuatu ini berpasangan dengan itu atau sejenis itu dalam ukuran atau mutunya, dan
sebagainya. Thibāq berarti juga tingkat (Lexicon Lane).
Sungguh
menakjubkan ciptaan Allah Swt. itu. Tatasurya yang di didalamnya bumi kita hanya merupakan anggota kecil itu sangat luas,
bermacam-macam dan teratur susunannya,
namun demikian tatasurya itu pun hanyalah
merupakan salah satu dari ratusan juta tatasurya
dan kelompok tatasurya (galaxy), yang
beberapa di antaranya jauh lebih besar
lagi di dalam tatanan alam semesta ini.
Jutaan bahkan milyaran matahari dan bintang itu
begitu rupa diatur dan disebar dalam hubungan satu sama lain,
sehingga di mana-mana menimbulkan keserasian
dan keindahan. Tertib yang menutupi dan meliputi seluruh tatanan alam itu, jelas
nampak kepada mata jasmani tanpa bantuan alat apa pun dan tersebar jauh melewati jangkauan pandangan yang dibantu oleh segala macam alat dan perkakas yang dunia ilmu
dan teknik telah mampu menciptakannya,
seperti telescop Hubble, yaitu telescop
ruang angkasa yang ada di orbit
bumi.
Benarlah firman-Nya berikut ini mengenai keserasian kerja yang sempurna semua komponen
tatanan alam semesta ini, baik secara
sendiri-sendiri maupun secara berjama’ah,
semuanya “bertasbih” kepada Allah
Swt.:
اَللّٰہُ الَّذِیۡ رَفَعَ السَّمٰوٰتِ بِغَیۡرِ عَمَدٍ تَرَوۡنَہَا
ثُمَّ اسۡتَوٰی عَلَی الۡعَرۡشِ وَ
سَخَّرَ الشَّمۡسَ وَ الۡقَمَرَ ؕ کُلٌّ یَّجۡرِیۡ لِاَجَلٍ مُّسَمًّی ؕ یُدَبِّرُ
الۡاَمۡرَ یُفَصِّلُ الۡاٰیٰتِ لَعَلَّکُمۡ بِلِقَآءِ رَبِّکُمۡ تُوۡقِنُوۡنَ﴿﴾
Allah, Dia-lah Yang telah meninggikan seluruh
langit dengan tanpa suatu tiang pun
yang kamu melihatnya, kemudian Dia
bersemayam di atas ‘Arasy. Dan Dia telah menundukkan bagi kamu
matahari dan bulan,
masing-masing beredar menurut
arah perjalanannya hingga suatu masa yang telah ditetapkan. Dia mengatur segala urusan dan Dia menjelaskan Tanda-tanda itu, supaya kamu berke-yakinan teguh mengenai pertemuan dengan Tuhan-mu. (Ar-Rā’d [13]:3).
Kata-kata بِغَیۡرِ عَمَدٍ
تَرَوۡنَہَا -- “dengan tanpa suatu tiang pun yang kamu melihatnya” itu berarti: (1) Kamu melihat bahwa seluruh langit berdiri tanpa tiang-tiang; (2) bahwa seluruh
langit berdiri tidak atas tiang-tiang
yang dapat kamu lihat; artinya, seluruh langit itu mempunyai pendukung (penopang), tetapi kamu tidak
dapat melihatnya.
Secara harfiah ayat itu
berarti bahwa seluruh bangunan alam semesta berdiri
tanpa ditunjang oleh tiang-tiang. Secara kiasan ayat itu
berarti, bahwa seluruh langit atau benda-benda langit memang memerlukan penopang, tetapi penopang-penopang itu tidak
nampak kepada mata manusia,
umpamanya daya tarik atau tenaga magnetis atau gerakan-gerakan khusus planit-planit
atau cara-cara lain, yang ilmu
pengetahuan telah menemukannya hingga saat ini atau yang mungkin akan
ditemukan lagi di hari depan.
Daya Gravitasi Kecintaan
Sempurna Nabi Besar Muhammad Saw.
Sebagai “Rahmat bagi Seluruh
Alam”
Di antara para Rasul Allah yang membawa syariat, hanya Nabi Besar Muhammad saw. sajalah
yang pada masa hidupnya berhasil
membangun suatu tatanan kerajaan (pemerintahan) jasmani mau pun ruhani
yang keadaannya sama dengan tatanan kerajaan alam semesta jasmani, yaitu
tanpa ditopang oleh “tiang-tiang
penunjang” yang dapat dilihat
oleh mata jasmani, yaitu berdasarkan gravitasi (daya tarik-menarik), berupa cinta-kasih
dan musyawarah. Sehubungan dengan hal
tersebut Allah Swt. berfirman:
فَبِمَا رَحۡمَۃٍ مِّنَ اللّٰہِ لِنۡتَ لَہُمۡ ۚ وَ لَوۡ کُنۡتَ فَظًّا
غَلِیۡظَ الۡقَلۡبِ لَانۡفَضُّوۡا مِنۡ حَوۡلِکَ ۪ فَاعۡفُ عَنۡہُمۡ وَ
اسۡتَغۡفِرۡ لَہُمۡ وَ شَاوِرۡہُمۡ فِی الۡاَمۡرِ ۚ فَاِذَا عَزَمۡتَ فَتَوَکَّلۡ
عَلَی اللّٰہِ ؕ اِنَّ اللّٰہَ یُحِبُّ الۡمُتَوَکِّلِیۡنَ ﴿﴾
Maka karena rahmat dari Allah-lah engkau bersikap lemah-lembut terhadap mereka, dan seandainya engkau berlaku
kasar dan keras hati, niscaya mereka
akan bercerai-berai dari sekitar engkau, karena itu maafkanlah mereka, mintalah ampunan dari Allah untuk mereka, bermusyawarahlah
dengan mereka dalam urusan yang penting, dan apabila engkau telah menetapkan tekad yakni
keputusan maka bertawakkallah kepada
Allah, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakal. (Ali
‘Imran [3]:160).
Kata-kata لِنۡتَ لَہُمۡ -- “engkau
bersikap lemah-lembut terhadap mereka” melukiskan keindahan watak Nabi Besar
Muhammad saw.. Di antara perangai
(watak) yang paling baik lagi menonjol adalah kasih-sayang beliau saw. yang meliputi segala sesuatu, karena
beliau saw. diutusa sebagai rahmat bagi se;uruh alam (QS.21:108).
Nabi Besar Muhammad saw.. penuh dengan kemesraan cinta-kasih manusiawi, dan beliau saw. bukan
saja berlaku baik terhadap para sahabat
dan para pengikut beliau saw.,
bahkan penuh kasih-sayang dan belas-kasih
terhadap musuh-musuh beliau saw. yang
senantiasa mencari-cari kesempatan untuk menikam
dari belakang.
Terukir di dalam sejarah bahwa Nabi Besar Muhammad saw. tidak mengambil tindakan apa pun terhadap orang-orang
munafik Madinah pimpinan Abdullah bin Ubay,
yang khianat dan telah
meninggalkan beliau saw. pada waktu Perang Uhud, sehingga nyaris membuat beliau
saw. menjadi syahid. Bahkan beliau saw. meminta
musyawarah (pendapat) mereka dalam
urusan kenegaraan.
Pentingnya Melakukan Musyawarah
Di samping hal-hal lain, Islam mempunyai keistimewaan dalam segi
ini yaitu Islam memasukkan unsur musyawarah
ke dalam asas-asas pokoknya وَ شَاوِرۡہُمۡ فِی الۡاَمۡرِ -- “bermusyawarahlah
dengan mereka dalam urusan yang penting,” Islam mewajibkan kepada negara Islam mengadakan musyawarah dengan orang-orang Muslim dalam segala urusan
kenegaraan yang penting-penting.
Nabi Besar Muhammad saw. biasa bermusyawarah dengan para pengikut
beliau saw. sebelum perang Badar, perang Uhud, dan perang Ahzab,
dan pula ketika sebuah tuduhan palsu
dilancarkan oleh orang-orang munafik Madinah terhadap istri mulia beliau saw., Siti
‘Aisyah r.a..
Abu Hurairah r.a. mengatakan: “Rasulullah saw.
mempunyai hasrat amat besar
sekali untuk meminta musyawarah
mengenai segala urusan penting” (Mantsur,
II, 90). ‘Umar bin Khaththab r.a. -- Khalifah kedua Nabi Besar Muhammad saw. -- diriwayatkan pernah bersabda: “Tiada khilafat
tanpa musyawarah” (Izalat al-Khifa ‘an Khilafat al-Khulafa’).
Jadi, mengadakan musyawarah dalam urusan penting
merupakan perintah asasi Islam dan menjadi suatu keharusan bagi pemimpin-pemimpin ruhani maupun pemimpin-pemimpin
duniawi di kalangan umat Islam. Khalifah
atau Kepala negara Islam harus meminta saran (musyawarah) dari orang-orang Muslim terkemuka, meskipun putusan terakhir tetap berada di tangannya: فَاِذَا عَزَمۡتَ فَتَوَکَّلۡ عَلَی
اللّٰہِ -- “dan apabila
engkau telah menetapkan tekad yakni keputusan maka bertawakkallah kepada Allah.”
Syura atau musyawarah, menurut Islam, bukan suatu bentuk parlemen
dalam artian yang dipakai di Barat.
Kepala negara Islam mempunyai wewenang
penuh untuk menolak saran (musyawarah)
yang diajukan kepadanya. Tetapi ia tidak
boleh memakai wewenang itu seenaknya saja dan harus menghargai saran (musyawarah) dari golongan terbanyak.
Dalam ayat selanjutnya Allah Swt. mempertegas
pentingnya peran musyawarah dan bertawakkal kepada-Nya jika telah
diambil keputusan terakhir oleh
pemegang wewenang tertinggi,
firman-Nya:
اِنۡ یَّنۡصُرۡکُمُ اللّٰہُ فَلَا غَالِبَ لَکُمۡ ۚ وَ اِنۡ یَّخۡذُلۡکُمۡ
فَمَنۡ ذَا الَّذِیۡ یَنۡصُرُکُمۡ مِّنۡۢ بَعۡدِہٖ ؕ وَ عَلَی اللّٰہِ
فَلۡیَتَوَکَّلِ الۡمُؤۡمِنُوۡنَ ﴿﴾
Jika Allah menolong kamu maka tidak
ada yang akan dapat mengalahkan kamu, tetapi jika Dia meninggalkan kamu maka siapakah
yang akan menolong kamu selain Dia?
Dan kepada Allah-lah orang-orang
yang beriman bertawakal. (Ali
‘Imran [3]:161).
Pentingnya Berpegang-teguh
pada “Tali Allah”
Ungkapan min ba’dihi diterjemahkan
“selain Dia”, dan secara harfiah berarti
“sesudah Dia”, dan dapat disalin
menjadi “untuk melawan Dia” , artinya upaya apa pun yang dilakukan tetapi
apabila Allah Swt. telah meninggalkan suatu kaum karena kedurhakaan mereka kepada Allah
Swt. dan Rasul-Nya – dalam hal
ini Nabi Besar Muhammad saw. -- maka upaya-upaya mereka pasti akan menemui kegagalan. Contohnya yang terjadi di Akhir Zaman ini.
Kepatuh-taatan
kepada Allah Swt. dan Nabi Besar Muhammad saw. di kalangan umat Islam adalah mutlak harus dilakukan oleh
mereka (QS.4:60), sebab hal tersebut selain merupakan “Tali Allah” yang terulur dari langit (QS.3:103-105) juga merupakan “tali pengikat kecintaan” yang sangat kokoh, dan yang mengawali terbentuknya satu jama’ah kaum Muslimin di zaman Nabi Besar Muhammad saw., firman-Nya:
وَ اَلَّفَ بَیۡنَ قُلُوۡبِہِمۡ ؕ لَوۡ اَنۡفَقۡتَ مَا
فِی الۡاَرۡضِ جَمِیۡعًا مَّاۤ اَلَّفۡتَ بَیۡنَ قُلُوۡبِہِمۡ وَ لٰکِنَّ
اللّٰہَ اَلَّفَ بَیۡنَہُمۡ ؕ اِنَّہٗ عَزِیۡزٌ
حَکِیۡمٌ ﴿﴾ یٰۤاَیُّہَا النَّبِیُّ حَسۡبُکَ
اللّٰہُ وَ مَنِ اتَّبَعَکَ مِنَ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ ﴿٪﴾
Dan Dia telah menanamkan kecintaan di
antara hati mereka, seandainya engkau membelanjakan yang ada di bumi ini
seluruhnya, engkau sekali-kali tidak akan dapat menanam-kan
kecintaan di antara hati mereka, tetapi Allah telah menanamkan kecintaan
di antara mereka, sesungguhnya Dia
Maha Perkasa, Maha Bijaksana. Hai Nabi,
Allah mencukupi bagi engkau dan bagi
orang-orang
yang mengikuti engkau di antara orang-orang
beriman. (Al-Anfāl [8]:64-65).
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 2 November 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar