Senin, 30 Juni 2014

Mana "Peniupan Ruh" & Hakikat "Kelahiran Ruhani Baru"




بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم


Khazanah Ruhani Surah  Shād


Bab   250

    Hakikat “Kelahiran Ruhani Baru” &    Pencabutan Sementara  Ruh” Al-Quran

 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma
 
D
alam   akhir Bab sebelumnya   telah dikemukakan    mengenai  ayat  وَ لَقَدۡ خَلَقۡنَا الۡاِنۡسَانَ مِنۡ صَلۡصَالٍ مِّنۡ حَمَاٍ مَّسۡنُوۡنٍ  --   “dan sungguh  Kami benar-benar telah menciptakan insan  (manusia) dari tanah liat kering yang berdenting, dari lumpur hitam yang telah diberi bentuk” (Al-Hijr [15]:27),  hal itu   tidak berarti bahwa lumpur itu sekaligus memperoleh bentuk suatu wujud yang hidup tatkala Allah Swt.   menghembuskan ruh ke dalamnya melalui ucapan “Kun, fayakun --  Jadilah, maka terjadilah ia”.
        Berulang-ulang kali Al-Quran menyatakan, bahwa kejadian atau penciptaan alam semesta itu berlangsung setahap demi setahap di bawah sifat Rabbubiyyah Allah Swt. (QS.1:2). Ayat yang sekarang ini hanya menyebutkan tahapan pertama saja dari kejadian manusia itu. Tahapan-tahapan lain dalam kejadiannya itu telah disebutkan dalam QS.30:21; QS.35:12; QS.22:6; QS.23:15 dan QS.40:68.
        Pernyataan Al-Quran bahwa manusia telah diciptakan dari “tanah” -- yang secara sepintas lalu berarti, bahwa proses kejadiannya yang panjang itu dimulai dengan tanah --  dikuatkan oleh kenyataan, bahwa bahkan sekarang juga makanan manusia berasal dari tanah, beberapa bagian tertentu dari makanan itu diambil langsung darinya dan beberapa bagian lainnya lagi secara tidak langsung.
        Hal ini menunjukkan bahwa zat yang terkandung dalam tanah, merupakan asal manusia; sebab sekiranya bukan demikian, niscaya ia tidak dapat mengambil gizinya (zat sari makanannya) dari tanah, sebab yang dapat memberikan makanan kepada suatu wujud, hanyalah barang yang darinya telah dibuat wujud itu, karena unsur dari luar tidak akan mampu mengisi apa yang telah menjadi susut.  

Makna Penciptaan Jin dari “Api Angin Panas” & Hakikat Peniupan “Ruh” kepada Adam  (Khalifah Allah)

      Kemudian mengenai ayat selanjutnya  وَ الۡجَآنَّ خَلَقۡنٰہُ مِنۡ قَبۡلُ مِنۡ نَّارِ السَّمُوۡمِ  -- “Dan sebelumnya Kami telah menjadikan  jin dari api angin panas.  (Al-Hijr [15]:28).” Sebuah ungkapan Al-Quran yang serupa ini ialah manusia dijadikan dari ketergesa-gesaan (QS.21:38) menunjukkan, bahwa ayat yang sedang dalam pembahasan ini berarti  bahwa jin – dari dari golongannya iblis berasal -- memiliki pembawaan seperti api dan bukan bahwa makhluk jin atau iblis itu sesungguhnya dibuat dari api., firman-Nya:
وَ اِذۡ  قُلۡنَا لِلۡمَلٰٓئِکَۃِ اسۡجُدُوۡا  لِاٰدَمَ فَسَجَدُوۡۤا  اِلَّاۤ  اِبۡلِیۡسَ ؕ کَانَ مِنَ  الۡجِنِّ فَفَسَقَ عَنۡ اَمۡرِ رَبِّہٖ ؕ اَفَتَتَّخِذُوۡنَہٗ وَ ذُرِّیَّتَہٗۤ  اَوۡلِیَآءَ مِنۡ دُوۡنِیۡ  وَ ہُمۡ  لَکُمۡ عَدُوٌّ ؕ بِئۡسَ  لِلظّٰلِمِیۡنَ  بَدَلًا﴿﴾ 
Dan ingatlah ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah yakni patuhlah kepada  Adam," maka   mereka  sujud kecuali iblis, ia adalah dari golongan jin maka ia mendurhakai perintah  Rabb-Nya (Tuhan-nya). Apakah kamu hendak mengambil dia dan keturunannya sebagai sahabat-sahabat selain Aku, padahal mereka itu musuh-musuh kamu? Sangat buruk  bagi orang-orang yang zalim pertukaran itu. (Al-Kahf [18]:51).
       Dengan demikian bahwa Adam  dijadikan  dari “tanah liat” mengandung arti  berpembawaan lemah-lembut dan suka tunduk, sedangkan jin atau  Iblis  dijadikan dari api” mengandung arti, ia bertabiat seperti api dan mudah menyala yakni pemarah. Selanjutnya Allah Swt. berfirman:
وَ اِذۡ قَالَ رَبُّکَ لِلۡمَلٰٓئِکَۃِ  اِنِّیۡ خَالِقٌۢ بَشَرًا مِّنۡ صَلۡصَالٍ مِّنۡ  حَمَاٍ  مَّسۡنُوۡنٍ ﴿﴾ فَاِذَا سَوَّیۡتُہٗ  وَ نَفَخۡتُ فِیۡہِ  مِنۡ  رُّوۡحِیۡ فَقَعُوۡا  لَہٗ   سٰجِدِیۡنَ ﴿﴾ فَسَجَدَ  الۡمَلٰٓئِکَۃُ  کُلُّہُمۡ  اَجۡمَعُوۡنَ ﴿ۙ ﴾ اِلَّاۤ  اِبۡلِیۡسَ ؕ اَبٰۤی اَنۡ یَّکُوۡنَ مَعَ السّٰجِدِیۡنَ ﴿﴾
Dan ingatlah ketika Rabb (Tuhan) engkau berfirman kepada para malaikat:  ”Sesungguhnya Aku hendak menciptakan manusia (basyar) مِّنۡ صَلۡصَالٍ مِّنۡ  حَمَاٍ  مَّسۡنُوۡنٍ   -- dari tanah liat kering yang berdenting, dari lumpur hitam yang telah diberi bentuk. Maka apabila Aku telah membentuknya  dengan sempurna, وَ نَفَخۡتُ فِیۡہِ  مِنۡ  رُّوۡحِیۡ    -- dan Aku telah meniupkan ruh-Ku ke dalamnya, فَقَعُوۡا  لَہٗ   سٰجِدِیۡنَ  -- َmaka sujudlah yakni patuh-taatlah  kamu   kepadanya.”  Maka  malaikat-malaikat itu sujud semuanya bersama-sama,     kecuali iblis, ia menolak   menjadi termasuk di antara  mereka yang sujud. (Al-Hijr [15]:29-32).
        Makna “peniupan ruh-Ku” dalam ayat  فَاِذَا سَوَّیۡتُہٗ  وَ نَفَخۡتُ فِیۡہِ  مِنۡ  رُّوۡحِی  --  “maka apabila Aku telah membentuknya  dengan sempurna,  dan Aku telah meniupkan ruh-Ku ke dalamnya, َقَعُوۡا  لَہٗ   سٰجِدِیۡنَ  --  maka sujudlah yakni patuh-taatlah  kamu   kepadanya,”   mengandung  beberapa arti, yakni:
        (1)  memperkuat  jiwa (ruh) hamba pilihan-Nya  tersebut dengan Ruhulqudus atau malaikat Jibril a.s., yang  dalam hubungannya dengan Nabi Besar Muhammad saw.   disebut   Ruhul amin (ruh yang terpercaya – QS.26:193-198).
        (2)  memperkuat  jiwa (ruh) hamba pilihan-Nya tersebut  dengan wahyu Ilahi, karena dengan perantaraan wahyu itulah  Allah Swt. berkomunikasi dengan manusia (QS.42:52-54).

Kesejajaran  Turunnya Ruqulqudus atau Wahyu  Ilahi dengan “Peniupan Ruh  Pada Bayi dalam Rahim Ibu  

       Proses turunnya Ruqulqudus atau wahyu Ilahi  kepada hamba-hamba pilihan Allah Swt. tersebut memiliki kesejajaran dengan terciptanya  ruh dalam tubuh bayi dalam rahim ibu,   yang membuat seluruh organ tubuh bayi  yang sudah lengkap tersebut berfungsi dengan baik, guna melanjutkan kehidupannya di luar rahim ibu, firman-Nya:
وَ لَقَدۡ خَلَقۡنَا الۡاِنۡسَانَ مِنۡ سُلٰلَۃٍ  مِّنۡ طِیۡنٍ ﴿ۚ﴾  ثُمَّ  جَعَلۡنٰہُ  نُطۡفَۃً  فِیۡ قَرَارٍ مَّکِیۡنٍ ﴿۪﴾  ثُمَّ خَلَقۡنَا النُّطۡفَۃَ عَلَقَۃً  فَخَلَقۡنَا الۡعَلَقَۃَ مُضۡغَۃً   فَخَلَقۡنَا الۡمُضۡغَۃَ عِظٰمًا فَکَسَوۡنَا الۡعِظٰمَ لَحۡمًا ٭ ثُمَّ اَنۡشَاۡنٰہُ خَلۡقًا اٰخَرَ ؕ فَتَبٰرَکَ اللّٰہُ  اَحۡسَنُ  الۡخٰلِقِیۡنَ ﴿ؕ﴾
Dan sungguh  Kami benar-benar  telah menciptakan  insan  (manusia) dari sari tanah liat,  kemudian  Kami menjadikannya air mani di dalam tempat penyimpanan yang kokoh. Kemudian Kami menciptakan air mani menjadi segumpal darah, maka Kami menciptakan  segumpal darah itu menjadi segumpal daging, maka Kami menciptakan dari segumpal daging itu tulang-tulang, kemudian Kami membungkus tulang-tulang itu dengan daging,  ٭ ثُمَّ اَنۡشَاۡنٰہُ خَلۡقًا اٰخَرَ  -- kemudian Kami menumbuhkannya menjadi makhluk lain,  -- الۡخٰلِقِیۡنَ فَتَبٰرَکَ اللّٰہُ  اَحۡسَنُ     maka Maha Berkat Allah, sebaik-baik Pencipta.   (Al-Mu’minūn [23]:13-15).
       Sesudah mengemukakan berbagai tingkat evolusi ruhani manusia dalam sepuluh ayat pertama Surah Al-Mu’minun ini, selanjutnya Al-Quran menjelaskan dalam ayat ini dan dalam beberapa ayat berikutnya berbagai tingkat perkembangan fisiknya  di dalam rahim ibu,   dan dengan demikian membuktikan adanya kesejajaran ajaib di antara kelahiran dan pertumbuhan jasmani manusia dengan ruhaninya.
       Dengan menyampingkan istilah-istilah ilmu hayat, Surah ini memberikan lukisan dengan bahasa yang jelas dan mudah dipahami. Ilmu hayat tidak menemukan sesuatu yang bertentangan sedikit pun dengan lukisan Al-Quran. Kata-kata, “Kami menciptakan  manusia dari inti sari tanah liat” menyebutkan proses kejadian manusia mulai dari tingkat paling awal sekali ketika ia masih dalam keadaan tidak bernyawa dalam bentuk debu (turab) dan berupa bagian-bagian tanah yang bukan-organik, melalui suatu proses perkembangan yang halus, berubah menjadi kecambah-hayat dengan perantaraan makanan yang dimakan oleh manusia. Pada tingkat  فَکَسَوۡنَا الۡعِظٰمَ لَحۡمًا   -- “maka Kami membungkus tulang-tulang itu dengan daging” (QS.23:15) perkembangan fisik mudigah menjadi sempurna.
       Kata-kata ثُمَّ اَنۡشَاۡنٰہُ خَلۡقًا اٰخَرَ --  “kemudian Kami  menumbuhkan dia menjadi makhluk lain” menunjukkan, bahwa ruh  tidak dimasukkan ke dalam wujud manusia dari luar, melainkan tumbuh dalam tubuh jasmani  ketika ia berkembang dalam rahim, walau Allah Swt. dalam Al-Quran  menggunakan kata nafakha (meniupkan – QS.32:7-10; QS.15:30; QS.38:73)  mengenai “pertumbuhan ruh” dalam janin (bayi)  dalam rahim tersebut.
      Mula-pertama ruh tidak mempunyai wujud terpisah dari tubuh jasmani, tetapi proses-proses yang dilalui oleh tubuh jasmani  selama berlangsung perkembangannya dalam rahim, menyuling dari  tubuh jasmani  itu sari halus yang disebut ruh.  
      Keadaan  dan kemunculan  ruh manusia tersebut  memiliki persamaan dengan kemunculan alcohol  pada tape ketan  atau tape singkong  yang ditaburi ragi atau pun dalam  buah kurma dan anggur (QS.16:68), seperti halnya    keberadaan api yang tersimpan secara latent (tersembunyi) di dalam “batu api.

Peniupan “Wahyu Ilahi” kepada Adam (Khalifah Allah) atau Rasul Allah

     Dengan demikian jelaslah, bahwa penggunaan kata nafakha (ditiupkan) berkenaan dengan ruh manusia mau pun wahyu Ilahi, hal itu   mengandung makna bahwa seperti keberadaan potensi ruh yang terdapat secara latent (tersembunyi) dalam tubuh janin dalam rahim  demikian pula halnya dengan kemampuan manusia untuk menerima wahyu Ilahi.  Itulah makna “peniupan ruh” berkenaan dengan penciptaan Adam sebagai Khalifah Allah atau sebagai Rasul Allah.
        Karena itu orang-orang yang -- karena ketidakfahamannya  mengenai masalah  yang sangat  halus ini -- mengatakan bahwa setelah pengutusan Nabi Besar Muhammad saw. sebagai pembawa syariat terakhir dan tersempurna (QS.5:4) maka  semua jenis wahyu Ilahi telah tertutup rapat,  pada hakikatnya mereka itu termasuk kepada orang-orang tidak diberi pengetahuan mengenai masalah (hakikat) ruh kecuali sedikit, yaitu  mereka hanya mengetahui masalah potensi kebathinan,  firman-Nya:
وَ یَسۡـَٔلُوۡنَکَ عَنِ الرُّوۡحِ ؕ قُلِ الرُّوۡحُ مِنۡ  اَمۡرِ رَبِّیۡ وَ مَاۤ  اُوۡتِیۡتُمۡ مِّنَ الۡعِلۡمِ اِلَّا  قَلِیۡلًا ﴿﴾
Dan mereka bertanya kepada engkau mengenai ruh,  katakanlah: “Ruh telah diciptakan atas perintah Rabb-ku (Tuhan-ku), dan kamu sama sekali  tidak  diberi ilmu mengenai itu melainkan sedikit.” (Bani Israil [17]:86).
     Sebagaimana telah dikemukakan berulang kali mengenai  firman Allah Swt. tersebut,  dalam masa kemunduran dan kejatuhan ruhani mereka, nampaknya orang-orang Yahudi asyik berkecimpung dalam kebiasaan-kebiasaan ilmu klenik (occult),   seperti halnya banyak ahli kebatinan modern, para pengikut gerakan teosofi dan yogi-yogi Hindu serta para praktisi  “tenaga dalam” (inner power) atau “bio elektrik” atau “bio energy”,  yang  juga disebut  prana, chi,   khi  dll.
         Nampaknya di masa Nabi Besar Muhammad saw.  pun beberapa orang Yahudi di Medinah telah menempuh cara-cara kebiasaan semacam itu. Itulah sebabnya mengapa ketika orang-orang musyrik Mekkah mencari bantuan orang-orang Yahudi untuk membungkam Nabi Besar Muhammad saw.,  mereka memberi saran supaya orang-orang musyrik Mekkah itu menanyakan kepada beliau saw.   hakikat ruh manusia.
       Dalam ayat yang sedang dibahas ini Al-Quran menjawab pertanyaan mereka dengan mengatakan,  bahwa ruh memperoleh daya kekuatannya dari perintah Ilahi, dan apa pun yang menurut kepercayaan orang dapat diperoleh dengan perantaraan apa yang dikatakan latihan-latihan batin dan ilmu sihir, adalah semata-mata tipu-daya dan omong-kosong belaka.
    Menurut riwayat, pertanyaan-pertanyaan mengenai sifat ruh manusia pertama-tama diajukan kepada  Nabi Besar Muhammad saw. di kota Mekkah oleh orang-orang Quraisy,  dan kemudian menurut ‘Abdullah bin Mas’ud r.a.  oleh orang-orang Yahudi di Medinah.
        Dalam ayat tersebut  ruh disebut  مِنۡ  اَمۡرِ رَبِّیۡ   -- “atas perintah Rabb-ku”, yakni sesuatu yang diciptakan atas perintah langsung dari Tuhan. Menurut Al-Quran semua penciptaan terdiri dari dua jenis:
      (1) Kejadian permulaan yang dilaksanakan tanpa mempergunakan zat atau benda yang telah diciptakan sebelumnya.
        (2) Kejadian selanjutnya yang dilaksanakan dengan mempergunakan sarana dan benda yang telah diciptakan sebelumnya.
      Kejadian macam pertama termasuk jenis amr (arti harfiahnya ialah perintah), yaitu “kun, fayakun (“Jadilah, maka terjadilah” -- QS.2:118), dan yang terakhir disebut khalq arti harfiahnya ialah menciptakan QS.95:5.

Pencabutan  Sementara “Ruh” Al-Quran dan Pengembaliannya

        Ruh manusia termasuk jenis penciptaan pertama. Kata ruh itu berarti pula wahyu Ilahi (Lexicon Lane). Letaknya kata ini di sini agaknya mendukung arti demikian, sebagaimana firman Allah Swt. selanjutnya mengenai Al-Quran: 
وَ لَئِنۡ شِئۡنَا لَنَذۡہَبَنَّ بِالَّذِیۡۤ  اَوۡحَیۡنَاۤ اِلَیۡکَ ثُمَّ لَا تَجِدُ لَکَ بِہٖ عَلَیۡنَا  وَکِیۡلًا ﴿ۙ﴾ اِلَّا رَحۡمَۃً  مِّنۡ رَّبِّکَ ؕ اِنَّ  فَضۡلَہٗ  کَانَ عَلَیۡکَ  کَبِیۡرًا ﴿﴾
Dan jika Kami benar-benar  menghendaki, niscaya Kami mengambil kembali apa yang telah Kami wahyukan kepada engkau kemudian engkau tidak akan memperoleh penjaga baginya terhadap Kami dalam hal itu. Kecuali karena rahmat dari Rabb (Tuhan) engkau, sesungguhnya karunia-Nya sangat besar kepada engkau. (Bani Israil [17]:87-88).
       Ayat-ayat ini nampaknya mengandung nubuatan bahwa akan datang suatu saat ketika ilmu  atau ruh Al-Quran akan lenyap dari bumi atau dari kalangan umat Islam (QS.32:6; QS.57:17-18). Nubuatan  Nabi Besar Muhammad saw.  serupa itu telah diriwayatkan oleh Mardawaih, Baihaqi, dan Ibn Majah, ketika ruh dan jiwa ajaran Al-Quran akan hilang lenyap dari bumi, dan semua  orang yang dikenal sebagai ahli-ahli mistik dan para sufi yang mengakui memiliki kekuatan batin istimewa — seperti pula diakui oleh segolongan orang-orang Yahudi dahulu kala yang sifatnya serupa dengan mereka — tidak akan berhasil mengembalikan jiwa ajaran Al-Quran dengan usaha mereka bersama-sama, sebagaimana dijelaskan ayat selanjutnya, firman-Nya:
قُلۡ لَّئِنِ اجۡتَمَعَتِ الۡاِنۡسُ وَ الۡجِنُّ عَلٰۤی اَنۡ یَّاۡتُوۡا بِمِثۡلِ ہٰذَا الۡقُرۡاٰنِ لَا یَاۡتُوۡنَ بِمِثۡلِہٖ وَ لَوۡ کَانَ بَعۡضُہُمۡ لِبَعۡضٍ  ظَہِیۡرًا ﴿﴾
Katakanlah: “Jika ins (manusia) dan jin benar-benar berhimpun  untuk mendatangkan yang semisal Al-Quran ini, mereka tidak akan sanggup men-datangkan yang sama seperti ini,  walaupun  sebagian mereka membantu sebagian yang lain.” (Bani Israil [17]:89).
        Tantangan ini pertama-tama diajukan kepada mereka yang berkecimpung dalam kebiasaan-kebiasaan klenik atau  kebathinan,  supaya mereka meminta pertolongan ruh-ruh gaib, yang darinya orang-orang ahli kebatinan itu —  menurut pengakuannya sendiri — menerima ilmu ruhani.
      Tantangan ini berlaku pula untuk semua orang yang menolak bahwa Al-Quran bersumber pada Allah Swt., Tuhan seluruh alam, dan tantangan ini untuk sepanjang masa (QS.2:24-25; QS.10:39; QS.11:14; QS.52;34-35), karena berdasarkan QS.62:3-4 yang akan membawa kembali “ruh Al-Quran” yang telah terbang ke bintang Tsurayya (QS.32:6) adalah Rasul Akhir Zaman yang sekali gus akan mengunggulkan agama Islam yang kedua kali atas semua agama, firman-Nya:
ہُوَ الَّذِیۡۤ  اَرۡسَلَ  رَسُوۡلَہٗ  بِالۡہُدٰی وَ دِیۡنِ  الۡحَقِّ لِیُظۡہِرَہٗ  عَلَی الدِّیۡنِ کُلِّہٖ وَ لَوۡ  کَرِہَ  الۡمُشۡرِکُوۡنَ٪﴿﴾
Dia-lah Yang mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk dan dengan agama yang benar supaya Dia memenangkannya atas semua agama,  walaupun orang musyrik tidak menyukai.  (Ash-Shaf [61]:10).
  Kebanyakan ahli tafsir Al-Quran sepakat bahwa ayat ini kena untuk Al-Masih yang dijanjikan (Al-Masih Mau’ud) di Akhir Zaman ini,  sebab di zaman beliau semua agama muncul dan keunggulan Islam di atas semua agama akan menjadi kepastian.
                            
Kelahiran Ruh & Tujuh Jalan (Tingkatan) Ruhani

      Kembali kepada firman Allah Swt.  mengenai proses “kelahiran ruh” dalam tubuh janin (bayi) dalam rahim ibu, segera sesudah hubungan di antara ruh dan tubuh jasmani  menjadi benar-benar pas, maka jantung  dan seluruh organ tubuh pun pun mulailah bekerja. Sesudah itu ruh mempunyai wujud tersendiri yang terpisah dari  tubuh jasmani,    yang selanjutnya  tubuh jasmani  itu berperan sebagai wadah  atau sebagai rahim bagi ruh, firman-Nya:
وَ لَقَدۡ خَلَقۡنَا الۡاِنۡسَانَ مِنۡ سُلٰلَۃٍ  مِّنۡ طِیۡنٍ ﴿ۚ﴾  ثُمَّ  جَعَلۡنٰہُ  نُطۡفَۃً  فِیۡ قَرَارٍ مَّکِیۡنٍ ﴿۪﴾  ثُمَّ خَلَقۡنَا النُّطۡفَۃَ عَلَقَۃً  فَخَلَقۡنَا الۡعَلَقَۃَ مُضۡغَۃً   فَخَلَقۡنَا الۡمُضۡغَۃَ عِظٰمًا فَکَسَوۡنَا الۡعِظٰمَ لَحۡمًا ٭ ثُمَّ اَنۡشَاۡنٰہُ خَلۡقًا اٰخَرَ ؕ فَتَبٰرَکَ اللّٰہُ  اَحۡسَنُ  الۡخٰلِقِیۡنَ ﴿ؕ﴾
Dan sungguh  Kami benar-benar  telah menciptakan  insan  (manusia) dari sari tanah liat,  kemudian  Kami menjadikannya air mani di dalam tempat penyimpanan yang kokoh. Kemudian Kami menciptakan air mani menjadi segumpal darah, maka Kami menciptakan  segumpal darah itu menjadi segumpal daging, maka Kami menciptakan dari segumpal daging itu tulang-tulang, kemu-dian Kami membungkus tulang-tulang itu dengan daging,  ٭ ثُمَّ اَنۡشَاۡنٰہُ خَلۡقًا اٰخَرَ  -- kemudian Kami menumbuhkannya menjadi makhluk lain,  -- الۡخٰلِقِیۡنَ فَتَبٰرَکَ اللّٰہُ  اَحۡسَنُ     maka Maha Berkat Allah, sebaik-baik Pencipta.   (Al-Mu’minūn [23]:13-15).  
       Setelah manusia mencapai perkembangan sepenuhnya, maka menyusullah suatu proses kemunduran, yang berakhir dengan kematian (QS.22:6). Kehidupan manusia harus berakhir dalam kemunduran, kehancuran, dan kematian, sedangkan ruh manusia tidak ikut hancur atau mati seperti tubuh jasmaninya karena ruh manusia --- sesuatu tujuan utama penciptaan manusia (QS.51:57) -- akan melanjutkan kehidupannya di alam akhirat, baik ia berada  di dalam surga atau pun  terlebih dulu untuk sementara waktu harus berada di dalam neraka guna  pemulihan ruhnya  yang  keadaannya tidak sempurna (cacat) ketika tubuh jasmaninya  mengalami kematian (QS.101:1-12), sehubungan dengan hal tersebut selanjutnya Allah Swt. berfirman:
ثُمَّ  اِنَّکُمۡ بَعۡدَ ذٰلِکَ لَمَیِّتُوۡنَ ﴿ؕ﴾ ثُمَّ   اِنَّکُمۡ  یَوۡمَ  الۡقِیٰمَۃِ تُبۡعَثُوۡنَ ﴿﴾ وَ لَقَدۡ خَلَقۡنَا فَوۡقَکُمۡ  سَبۡعَ طَرَآئِقَ ٭ۖ وَ  مَا کُنَّا عَنِ  الۡخَلۡقِ غٰفِلِیۡنَ ﴿﴾
Kemudian sesungguhnya kamu sesudah itu  pasti akan mati, kemudian sesungguhnya kamu pada Hari Kiamat akan dibangkitkan.   Dan  sungguh  Kami benar-benar telah  menciptakan di atas kamu tujuh jalan ruhani,  dan Kami sekali-kali tidak   lalai dari penciptaan. (Al-Mu’minun [23]:16-18).
     Allah Swt. berfirman dalam Al-Quran,  bahwa proses kemunduran ruhani mau pun  kebangkitan ruhani umat manusia  atau pun suatu kaum dalam kehidupannya di dunia ini  memiliki persamaan dengan proses kemunduran ruhani  dan kebangkitan ruhani seorang manusia, firman-Nya:
مَا خَلۡقُکُمۡ وَ لَا بَعۡثُکُمۡ  اِلَّا کَنَفۡسٍ وَّاحِدَۃٍ ؕ  اِنَّ  اللّٰہَ  سَمِیۡعٌۢ  بَصِیۡرٌ ﴿﴾  اَلَمۡ  تَرَ  اَنَّ اللّٰہَ یُوۡلِجُ الَّیۡلَ فِی النَّہَارِ وَ یُوۡلِجُ النَّہَارَ فِی الَّیۡلِ وَ سَخَّرَ الشَّمۡسَ وَ الۡقَمَرَ ۫ کُلٌّ  یَّجۡرِیۡۤ   اِلٰۤی   اَجَلٍ مُّسَمًّی وَّ اَنَّ اللّٰہَ بِمَا تَعۡمَلُوۡنَ خَبِیۡرٌ ﴿﴾  ذٰلِکَ بِاَنَّ اللّٰہَ ہُوَ الۡحَقُّ وَ اَنَّ مَا یَدۡعُوۡنَ مِنۡ دُوۡنِہِ الۡبَاطِلُ ۙ وَ اَنَّ اللّٰہَ ہُوَ  الۡعَلِیُّ  الۡکَبِیۡرُ ﴿٪﴾
Sekali-kali tidaklah penciptaan kamu dan tidak pula  kebangkitan kamu  melainkan seperti penciptaan suatu jiwa.  Sesungguhnya Allah Maha Mendengar, Maha Melihat.   Apakah engkau tidak melihat bahwa  Allah memasukkan malam ke dalam siang, dan memasukkan siang ke dalam malam, dan  Dia telah menundukkan matahari dan bulan, masing-masing beredar terus sampai masa yang telah ditentukan, dan sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan?   Hal demikian itu sesungguhnya Allah Dia-lah Yang haq dan bah-wa apa yang mereka seru selain Dia adalah batil, dan bahwa sesungguhnya Allah Dia-lah Dzat Yang Maha Tinggi, Maha Besar. (Luqman [31]:29-31).
    Ayat  29  mengandung arti bahwa seluruh umat manusia tunduk kepada hukum-hukum alam yang sama. Ayat ini menunjuk pula kepada kenyataan  bahwa kebangkitan atau keruntuhan bangsa dan masyarakat adalah tunduk kepada hukum-hukum alam yang sama, seperti halnya kemajuan atau kemunduran perseorangan مَا خَلۡقُکُمۡ وَ لَا بَعۡثُکُمۡ  اِلَّا کَنَفۡسٍ  -- “Sekali-kali tidaklah penciptaan kamu dan tidak pula  kebangkitan kamu  melainkan seperti penciptaan suatu jiwa”.
       Ayat selanjutnya  اَلَمۡ  تَرَ  اَنَّ اللّٰہَ یُوۡلِجُ الَّیۡلَ فِی النَّہَارِ وَ یُوۡلِجُ النَّہَارَ فِی الَّیۡلِ -- “Apakah engkau tidak melihat bahwa  Allah memasukkan malam ke dalam  siang, dan memasukkan siang ke dalam malam” menjelaskan lebih lanjut,  bahwa  hukum alam mengenai pergantian antara siang dan malam, dan sebaliknya, bekerja dengan kekuatan yang sama berkenaan dengan nasib bangsa-bangsa mau pun perorangan-perorangan.
      Jadi, sesudah mati manusia akan dibangkitkan kembali dengan “tubuh yang baru   agar supaya ia dapat terus membuat kemajuan ruhani dalam kehidupan di akhirat yang tidak mempunyai kesudahan. Kemajuan yang ia capai dalam kehidupan di dunia hanya merupakan tingkat persiapan.
      Keadaan kehidupan manusia di dunia ini  seperti seorang anak dalam rahim ibunya. Sesudah mati ia dilahirkan dalam kehidupan baru dan lebih lengkap, merupakan permulaan bagi suatu kemajuan yang tidak akan berakhir di dalam kehidupan yang disebut surga.
       Makna ayat   ﴿﴾  سَبۡعَ طَرَآئِقَ لَقَدۡ خَلَقۡنَا فَوۡقَکُمۡ     -- “ sungguh  Kami benar-benar telah  menciptakan di atas kamu tujuh jalan ruhani,” enam tingkat kemajuan ruhani yang dilukiskan dalam sepuluh ayat pertama surah Al-Mu’minun ini menjadi tujuh, bila “surga” (ayat 12) dihitung sebagai tingkat terakhir bagi perkembangan ruhani. Demikian pula, bila tingkat persiapan sebelum pembentukan air mani (ayat 13) ditambahkan kepada enam tingkat perkembangan mudigah, angka ini pun menjadi tujuh pula. Dengan demikian “tujuh jalan dalam langit ruhani” yang telah disinggung dalam ayat ini (QS.23:2-12), bersesuaian dengan tujuh tingkat perkembangan jasmani manusia yang telah disebut dalam ayat-ayat 13-15.

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar,  7 Juni    2014