بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah Ruhani
Surah Shād
Bab 87
Kehidupan Sederhana Keluarga
Suci Nabi Besar Muhammad Saw. di
Madinah & Permohonan “Perbaikan Ekonomi Keluarga”
Oleh
Ki
Langlang Buana Kusuma
Dalam Akhir Bab sebelumnya telah
dikemukakan mengenai meningkat keadaan kekuasaan dan keadaan ekonomi umat Islam setelah hijrah ke
Madinah – terutama setelah memperoleh kemenangan dalam perang Badar – dengan
demikian mulailah babak baru bagi Nabi Besar
Muhammad saw. untuk memperagakan kesempurnaan akhlak dan ruhani beliau
saw. dalam masa-masa ketika kekuasaan
duniawi yang secara berangsur-angsur
dianugerahkan Allah Swt. kepada beliau saw., yaitu dalam kepasitas
beliau saw.sebagai rasul Allah
dan juga sebagai seorang raja duniawi
(Malik/Mālik), untuk memperagakan keempat
Sifat utama Tasybihiyyah Allah
Swt. dalam Surah Al-Fatihah -- (Rabubiyyat, Rahmaniyyat, Rahimiyyat
dan Malikiyyat) -- serta pelaksanaan
sifat-sifat adil, ihsan dan iyta-i dzil-qurba (memberi seperti kepada kerabat (QS.16:91).
Suri Teladan Terbaik Nabi Besar
Muhammad Saw.
Sebagai Kepala
Keluarga dan Sebagai Kepala
Negara
Sejarah membuktikan kebenaran firman Allah Swt. mengenai kesempurnaan akhlak dan ruhani yang
telah diperagakan oleh Nabi Besar Muhammad saw. dalam dua periode di Mekkah dan di
Madinah, yang keadaannya sangat bertolak-belakang
tersebut, firman-Nya:
لَقَدۡ کَانَ لَکُمۡ فِیۡ رَسُوۡلِ اللّٰہِ اُسۡوَۃٌ حَسَنَۃٌ لِّمَنۡ کَانَ یَرۡجُوا اللّٰہَ وَ الۡیَوۡمَ الۡاٰخِرَ وَ ذَکَرَ اللّٰہَ کَثِیۡرًا ﴿ؕ﴾
Sungguh dalam
diri Rasulullah benar-benar terdapat
suri teladan yang
sebaik-baiknya bagi kamu,
yaitu bagi orang yang mengharapkan Allah dan Hari Akhir, dan bagi yang banyak mengingat Allah. (Al-Ahzab [33]:22).
Dalam segala segi kehidupan dan watak Nabi Besar Muhammad saw. yang beraneka ragam,
tidak ada duanya dan merupakan contoh
yang tiada bandingannya bagi umat manusia untuk ditiru dan diikuti. Seluruh
kehidupan Nabi Besar Muhammad saw. nampak dengan jelas
dan nyata dalam cahaya lampu-sorot sejarah.
Nabi Besar Muhammad saw. mengawali kehidupan
beliau sebagai anak yatim dan
mengakhirinya dengan berperan sebagai wasit yang menentukan nasib seluruh bangsa. Sebagai
kanak-kanak Nabi Besar Muhammad saw.
penyabar lagi gagah, dan di ambang pintu usia remaja, beliau saw. tetap
merupakan contoh yang sempurna dalam akhlak, ketakwaan, dan kesabaran.
Pada usia setengah-baya Nabi Besar
Muhammad saw. mendapat julukan Al-Amin (si Jujur dan setia kepada
amanat) dan selaku seorang niagawan
beliau terbukti paling jujur dan cermat.
Nabi Besar Muhammad saw. menikah dengan perempuan-perempuan yang di antaranya ada yang jauh lebih tua daripada beliau saw. sendiri
dan ada juga yang jauh lebih muda,
namun semua bersedia memberi kesaksian
dengan mengangkat sumpah mengenai kesetiaan, kecintaan, dan kekudusan
beliau saw..
Sebagai ayah,
Nabi Besar Muhammad saw. penuh dengan kasih-sayang, dan sebagai sahabat beliau sangat setia dan murah hati. Ketika beliau diamanati
tugas yang amat besar dan berat dalam usaha memperbaiki
suatu masyarakat yang sudah rusak, beliau saw. menjadi sasaran derita aniaya dan pembuangan, namun beliau saw. memikul semua penderitaan itu dengan sikap
agung dan budi luhur, dan hanya
dalam waktu 23 tahun saja di jazirah Arabia telah muncul “langit baru dan bumi baru” yang penuh cahaya (QS.14:49-53; QS.39:70-71), menggantikan “langit lama dan bumi lama”
yang penuh kegelapan zaman jahiliyah (QS.30:42).
Kesaksian Seorang Penulis Non-Muslim
Nabi Besar Muhammad saw. bertempur
sebagai prajurit gagah-berani dan
memimpin pasukan-pasukan. Beliau saw. menghadapi kekalahan – misalnya dalam Perang
Uhud – dan beliau saw. memperoleh kemenangan-kemenangan.
Nabi Besar Muhammad saw. menghakimi
dan mengambil serta menjatuhkan keputusan
dalam berbagai perkara. Beliau saw. adalah seorang negarawan, seorang pendidik,
dan seorang pemimpin. Sehubungan
dengan hal tersebut Boswort Smith
menulis:
“Kepala negara merangkap Penghulu
Agama, beliau adalah Kaisar dan Paus sekaligus. Tetapi beliau adalah Paus yang tidak berlaga Paus, dan Kaisar tanpa pasukan-pasukan yang megah, tanpa balatentara tetap, tanpa pengawal,
tanpa istana yang megah, tanpa
pungutan pajak tetap dan tertentu,
sehingga jika ada orang berhak mengatakan bahwa ia memerintah dengan hak ketuhanan, maka orang itu hanyalah Muhammad, sebab beliau mempunyai
kekuasaan tanpa alat-alat kekuasaan dan tanpa bantuan kekuasaan.
Beliau biasa melakukan pekerjaan
rumah tangga dengan tangan beliau sendiri, biasa tidur di atas sehelai tikar
kulit, dan makanan beliau terdiri dari kurma dan air putih atau roti jawawut,
dan setelah melakukan bermacam-macam tugas sehari penuh, beliau biasa
melewatkan malam hari dengan mendirikan shalat dan doa-doa hingga kedua belah
kaki beliau bengkak-bengkak. Tidak ada orang yang dalam keadaan dan suasana
yang begitu banyak berubah telah berubah begitu sedikitnya.” (Muhammad and Muhammadanism).
Demikianlah gambaran dua
keadaan yang dihadapi oleh Nabi Besar Muhammad saw. di Makkah dan di Madinah, dalam upaya beliau saw. melaksanakan amanat dari Allah Swt. untuk menciptakan
“bumi baru dan langit baru” dalam kehidupan seluruh
umat manusia yang keadaannya paling
sempurna jika dibandingkan dengan upaya yang sama yang pernah dilakukan
oleh para Rasul Allah sebelumnya
di lingkungan kaum mereka masing-masing.
Keluarga Merupakan Landasan Utama Suatu Negara (Bangsa)
Kembali kepada firman Allah Swt. dalam Bab
sebelumnya mengenai istri-istri mulia
Nabi Besar Muhammad saw., yang nadanya
“keras”, firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا النَّبِیُّ قُلۡ
لِّاَزۡوَاجِکَ اِنۡ کُنۡـتُنَّ
تُرِدۡنَ الۡحَیٰوۃَ الدُّنۡیَا وَ زِیۡنَتَہَا فَتَعَالَیۡنَ
اُمَتِّعۡکُنَّ وَ اُسَرِّحۡکُنَّ سَرَاحًا جَمِیۡلًا ﴿﴾
وَ اِنۡ کُنۡـتُنَّ تُرِدۡنَ
اللّٰہَ وَ رَسُوۡلَہٗ وَ الدَّارَ
الۡاٰخِرَۃَ فَاِنَّ اللّٰہَ اَعَدَّ لِلۡمُحۡسِنٰتِ مِنۡکُنَّ اَجۡرًا عَظِیۡمًا ﴿﴾
Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istri engkau: “Jika kamu menginginkan kehidupan dunia ini dan perhiasannya maka marilah
aku akan memberikannya kepada kamu dan aku
akan menceraikan kamu dengan cara yang baik. Tetapi jika kamu menginginkan Allah, Rasul-Nya,
dan rumah di akhirat, maka sesungguhnya Allah telah menyediakan
ganjaran yang besar bagi siapa di
antara kamu yang berbuat ihsan.” (Al-Ahzāb [33]:29-30).
Perlu diketahui, bahwa pada hakikat sebuah
negara atau suatu bangsa merupakan himpunan besar
dari keluarga-keluarga -- yang terdiri dari suami, istri dan anak
-- yang berada di wilayah negara tersebut. Mengenai hal tersebut Allah Swt. berfirman:
یٰۤاَیُّہَا النَّاسُ
اِنَّا خَلَقۡنٰکُمۡ مِّنۡ ذَکَرٍ
وَّ اُنۡثٰی وَ جَعَلۡنٰکُمۡ شُعُوۡبًا وَّ قَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوۡا ؕ
اِنَّ اَکۡرَمَکُمۡ عِنۡدَ اللّٰہِ اَتۡقٰکُمۡ ؕ اِنَّ اللّٰہَ عَلِیۡمٌ خَبِیۡرٌ
﴿﴾
Hai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari laki-laki
dan perempuan, dan Kami
telah menjadikan kamu bangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
dapat saling mengenal. Sesungguhnya
yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa di antara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, Maha Waspada. (Al-Hujurāt [49]:14).
Syu’ub itu jamak dari sya’b,
yang berarti: suku bangsa besar, induk suku-suku bangsa disebut qabilah,
tempat mereka berasal dan yang meliputi mereka; suku bangsa (Lexicon Lane). Ayat ini
meletakkan dasar persaudaraan yang
melingkupi dan meliputi seluruh umat
manusia. Pada hakikatnya, ayat ini merupakan “Magna Charta” - piagam
persaudaraan dan persamaan umat manusia.
Pentingnya Ketakwaan
dalam Membangun Keluarga dan Negara
Ayat ini menumbangkan rasa dan
sikap lebih unggul semu lagi bodoh, yang lahir dari keangkuhan rasial atau kesombongan nasional. Karena umat manusia sama-sama diciptakan dari
jenis laki-laki dan perempuan, maka sebagai makhluk manusia semua orang telah dinyatakan sama dalam pandangan Allah Swt..
Harga seseorang tidak dinilai oleh warna kulitnya,
jumlah harta miliknya, oleh pangkatnya atau kedudukannya dalam masyarakat, keturunan
atau asal-usulnya, melainkan oleh keagungan akhlaknya dan oleh caranya
melaksanakan kewajiban kepada Allah Swt.
(haququllah) dan manusia (haququl- ‘ibād).
Seluruh keturunan
manusia, tidak lain hanya suatu keluarga
belaka. Pembagian suku-suku bangsa, bangsa-bangsa dan rumpun-rumpun bangsa dimaksudkan untuk memberikan kepada mereka saling pengertian yang lebih baik -- lita’ārafu
-- terhadap satu-sama lain, agar mereka dapat saling mengambil manfaat dari kepribadian
serta sifat-sifat baik bangsa-bangsa
itu masing-masing.
Pada peristiwa hajji terakhir (Hajji
Wada) di Mekkah, tidak lama sebelum Nabi Besar Muhammad saw. wafat,
beliau saw. berkhutbah di hadapan sejumlah besar orang-orang Muslim dengan mengatakan:
“Wahai sekalian manusia! Tuhan kamu itu Esa dan bapak
kamu satu jua. Seorang orang Arab tidak mempunyai kelebihan atas orang-orang non Arab. Seorang kulit putih sekali-kali tidak mempunyai kelebihan atas orang-orang berkulit
merah, begitu pula sebaliknya, seorang kulit
merah tidak mempunyai kelebihan
apa pun di atas orang berkulit putih
melainkan kelebihannya ialah sampai
sejauh mana ia melaksanakan kewajibannya
terhadap Allah dan manusia. Orang yang paling mulia di antara kamu sekalian pada pandangan Allah ialah yang paling
bertakwa di antara kamu” (Baihaqi).
Sabda
agung ini menyimpulkan cita-cita paling
luhur dan asas-asas paling kuat.
Di tengah suatu masyarakat yang terpecah-belah
dalam kelas-kelas yang berbeda
itulah, Nabi Besar Muhammad saw. mengajarkan
asas yang sangat demokratis.
Kedudukan Mulia Para Istri
Nabi Besar Muhammad Saw.
Sebagai “Ibu Orang-orang Beriman”
Dikarenakan Nabi Besar Muhammad saw merupakan suri teladan yang terbaik (QS.33:22) dalam segala segi kehidupan –
termasuk dalam kehidupan tatanan keluarga --
oleh karena itu dalam kedudukan
beliau saw. sebagai Rasul Allah, yang merupakan “bapak ruhani” umat manusia, maka demikian juga halnya istri-istri mulia beliau saw. pun harus benar-benar merupakan ummul mukminin (ibu orang-orang beriman)
yang hakiki sehingga
juga menjadi suri teladan terbaik bagi para para istri atau para perempuan
beriman lainnya, firman-Nya:
اَلنَّبِیُّ اَوۡلٰی
بِالۡمُؤۡمِنِیۡنَ مِنۡ اَنۡفُسِہِمۡ وَ اَزۡوَاجُہٗۤ اُمَّہٰتُہُمۡ ؕ
Nabi itu
lebih dekat kepada orang-orang beriman
daripada kepada diri mereka sendiri,
dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka
(Al-Ahzāb [33]:7).
Nah,
dalam hubungannya dengan kedudukan mulia
para istri Nabi Besar Muhammad saw. itulah firman Allah Swt. yang nampak “keras” tersebut, firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا النَّبِیُّ قُلۡ
لِّاَزۡوَاجِکَ اِنۡ کُنۡـتُنَّ
تُرِدۡنَ الۡحَیٰوۃَ الدُّنۡیَا وَ زِیۡنَتَہَا فَتَعَالَیۡنَ اُمَتِّعۡکُنَّ
وَ اُسَرِّحۡکُنَّ سَرَاحًا جَمِیۡلًا ﴿﴾
وَ اِنۡ کُنۡـتُنَّ تُرِدۡنَ
اللّٰہَ وَ رَسُوۡلَہٗ وَ الدَّارَ
الۡاٰخِرَۃَ فَاِنَّ اللّٰہَ اَعَدَّ لِلۡمُحۡسِنٰتِ مِنۡکُنَّ اَجۡرًا عَظِیۡمًا ﴿﴾
Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istri engkau: “Jika kamu menginginkan kehidupan dunia ini dan perhiasannya maka marilah
aku akan memberikannya kepada kamu dan aku
akan menceraikan kamu dengan cara yang baik. Tetapi jika kamu menginginkan Allah, Rasul-Nya,
dan rumah di akhirat, maka sesungguhnya Allah telah menyediakan
ganjaran yang besar bagi siapa di
antara kamu yang berbuat ihsan.” (Al-Ahzāb [33]:29-30).
Selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai kedudukan
mulia mereka sebagai ”suri teladan”
yang harus memberikan contoh yang terbaik
kepada para perempuan mukmin lainnya:
یٰنِسَآءَ
النَّبِیِّ مَنۡ یَّاۡتِ مِنۡکُنَّ بِفَاحِشَۃٍ مُّبَیِّنَۃٍ یُّضٰعَفۡ لَہَا الۡعَذَابُ
ضِعۡفَیۡنِ ؕ وَ کَانَ ذٰلِکَ عَلَی اللّٰہِ
یَسِیۡرًا ﴿﴾ وَ مَنۡ یَّقۡنُتۡ مِنۡکُنَّ
لِلّٰہِ وَ رَسُوۡلِہٖ وَ تَعۡمَلۡ صَالِحًا نُّؤۡتِہَاۤ اَجۡرَہَا مَرَّتَیۡنِ ۙ وَ اَعۡتَدۡنَا
لَہَا رِزۡقًا کَرِیۡمًا ﴿﴾ یٰنِسَآءَ النَّبِیِّ لَسۡتُنَّ کَاَحَدٍ مِّنَ
النِّسَآءِ اِنِ اتَّقَیۡتُنَّ فَلَا
تَخۡضَعۡنَ بِالۡقَوۡلِ فَیَطۡمَعَ
الَّذِیۡ فِیۡ قَلۡبِہٖ مَرَضٌ
وَّ قُلۡنَ قَوۡلًا
مَّعۡرُوۡفًا ﴿ۚ﴾
Wahai
istri-istri Nabi, barang-siapa di antara kamu berbuat kekejian yang nyata,
baginya azab akan dilipatgandakan
dua kali lipat, dan yang demikian itu mudah bagi Allah. Tetapi barangsiapa di
antara kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya
serta beramal saleh, Kami akan memberi kepadanya ganjarannya dua kali lipat, dan Kami telah menyediakan baginya rezeki yang
mulia. Wahai istri-istri Nabi, jika ka-mu bertakwa kamu tidak sama dengan salah seorang dari
perempuan-perem-puan lain, karena itu janganlah
kamu lembut dalam berbicara, sehingga orang
yang dalam hatinya ada penyakit akan tergoda, dan ucapkanlah per-kataan yang baik.
(Al-Ahzāb [33]:31-33).
Meningkatnya Keadaan
Ekonomi Umat Islam di Madinah
Ayat 29-30 ini erat hubungannya dengan
semakin membaiknya keadaan ekonomi umat Islam di Madinah, setelah peristiwa pengusiran
terhadap orang-orang Yahudi di Khaibar,
sebagaimana yang dikemukakan dalam firman-Nya mengenai pembagian fā-i (harta rampasan perang), firman-Nya:
وَ مَاۤ اَفَآءَ اللّٰہُ عَلٰی رَسُوۡلِہٖ مِنۡہُمۡ فَمَاۤ اَوۡجَفۡتُمۡ عَلَیۡہِ مِنۡ
خَیۡلٍ وَّ لَا رِکَابٍ وَّ لٰکِنَّ اللّٰہَ یُسَلِّطُ رُسُلَہٗ عَلٰی مَنۡ یَّشَآءُ ؕ وَ اللّٰہُ عَلٰی کُلِّ شَیۡءٍ قَدِیۡرٌ ﴿﴾
مَاۤ اَفَآءَ
اللّٰہُ عَلٰی رَسُوۡلِہٖ مِنۡ
اَہۡلِ الۡقُرٰی فَلِلّٰہِ وَ لِلرَّسُوۡلِ وَ لِذِی الۡقُرۡبٰی وَ الۡیَتٰمٰی وَ
الۡمَسٰکِیۡنِ وَ ابۡنِ السَّبِیۡلِ ۙ کَیۡ لَا یَکُوۡنَ دُوۡلَۃًۢ
بَیۡنَ الۡاَغۡنِیَآءِ مِنۡکُمۡ ؕ وَ مَاۤ اٰتٰىکُمُ الرَّسُوۡلُ فَخُذُوۡہُ ٭ وَ مَا نَہٰىکُمۡ عَنۡہُ فَانۡتَہُوۡا ۚ وَ اتَّقُوا اللّٰہَ ؕ اِنَّ اللّٰہَ شَدِیۡدُ
الۡعِقَابِ ۘ﴿﴾
لِلۡفُقَرَآءِ الۡمُہٰجِرِیۡنَ الَّذِیۡنَ
اُخۡرِجُوۡا مِنۡ دِیَارِہِمۡ وَ اَمۡوَالِہِمۡ
یَبۡتَغُوۡنَ فَضۡلًا مِّنَ اللّٰہِ وَ رِضۡوَانًا وَّ یَنۡصُرُوۡنَ اللّٰہَ وَ
رَسُوۡلَہٗ ؕ اُولٰٓئِکَ ہُمُ الصّٰدِقُوۡنَ ۚ﴿﴾ وَ الَّذِیۡنَ
تَبَوَّؤُ الدَّارَ وَ الۡاِیۡمَانَ مِنۡ قَبۡلِہِمۡ یُحِبُّوۡنَ مَنۡ ہَاجَرَ
اِلَیۡہِمۡ وَ لَا یَجِدُوۡنَ فِیۡ
صُدُوۡرِہِمۡ حَاجَۃً مِّمَّاۤ اُوۡتُوۡا
وَ یُؤۡثِرُوۡنَ عَلٰۤی اَنۡفُسِہِمۡ وَ لَوۡ کَانَ بِہِمۡ خَصَاصَۃٌ
ؕ۟ وَ مَنۡ یُّوۡقَ شُحَّ نَفۡسِہٖ
فَاُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡمُفۡلِحُوۡنَ
ۚ﴿﴾ وَ الَّذِیۡنَ جَآءُوۡ مِنۡۢ بَعۡدِہِمۡ یَقُوۡلُوۡنَ رَبَّنَا اغۡفِرۡ لَنَا وَ لِاِخۡوَانِنَا الَّذِیۡنَ سَبَقُوۡنَا بِالۡاِیۡمَانِ وَ لَا
تَجۡعَلۡ فِیۡ قُلُوۡبِنَا غِلًّا لِّلَّذِیۡنَ
اٰمَنُوۡا رَبَّنَاۤ اِنَّکَ رَءُوۡفٌ رَّحِیۡمٌ ﴿٪﴾
Dan harta
rampasan apa pun dari mereka yang Allah berikan kepada Rasul-Nya maka
kamu tidak mengerahkan kuda maupun unta
untuk harta itu, tetapi Allah memberikan kewenangan kepada
rasul-rasul-Nya atas siapa pun yang
Dia kehendaki, dan Allah Maha Kuasa
atas segala sesuatu. Harta apa
pun yang Allah berikan kepada Rasul-Nya sebagai ghanimah dari warga kota, itu bagi
Allah dan bagi Rasul dan bagi kaum kerabat dan anak yatim dan orang miskin dan orang
musafir, supaya harta itu tidak hanya
beredar di antara orang-orang kaya dari kamu. Dan apa yang diberikan Rasul kepada kamu maka ambillah itu, dan
apa
yang dia melarang kamu darinya
maka hindarilah, dan bertakwalah
kepada Allah, sesungguhnya hukuman Allah sangat keras. Harta rampasan itu untuk orang-orang miskin yang berhijrah yang telah diusir dari rumah mereka dan dari harta mereka, mereka mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya,
dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya.
Mereka itulah orang-orang yang benar. Dan juga untuk orang-orang yang telah mendirikan rumah di Medinah dan
sudah beriman sebelum mereka,
mereka mencintai orang-orang yang hijrah kepada mereka, dan mereka tidak mendapati suatu keinginan
dalam dada mereka terhadap apa yang diberikan itu, tetapi mereka mengutamakan para muhajir
di atas diri mereka sendiri dan
walaupun kemiskinan menyertai mereka.
Dan barangsiapa dapat mengatasi keserakahan dirinya maka mereka itulah yang berhasil. Dan orang-orang
yang datang sesudah mereka, mereka berkata: “Hai Rabb (Tuhan) kami, ampunilah kami dan saudara-saudara
kami yang mendahului kami dalam keimanan, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian tinggal dalam hati kami
terhadap orang-orang yang beriman.
Hai Rabb (Tuhan kami), sesungguhnya Engkau Maha Penyantun, Maha Penyayang.” (Al-Hasyr [59]:7-11).
Jadi, yang diutamakan mendapat
pembagian fā-i (harta rampasan
perang) adalah para muhajir dari Mekkah karena mereka rela meningglkan semua orang yang
mereka cintai —termasuk harta kekayaan
mereka – demi kecintaan mereka
kepada Allah Swt. dan Nabi Besar Muhammad saw. yang telah hijrah ke Medinah.
Kehidupan Sederhana Para Sahabat
Nabi Besar Muhammad Saw.
dari Golongan Anshar
Dari hadits-hadits diketahui bahwa kehidupan dalam keluarga
(rumahtangga) Nabi Besar Muhammad saw. sangat sederhana sekali, sehingga di
antara para istri beliau saw. ada
yang menceritakan bahwa kadang-kadang berhari-hari dapur mereka tidak
dipergunakan untuk memasak karena
tidak bahan makanan yang dapat dimasak.
Demikian pula dalam hadits lain
diceritakan bahwa Nabi Besar Muhammad saw. menawarkan
kepada para Sahabah beliau saw. untuk
menjamu tamu beliau saw. , karena di
rumah para istri mulia beliau saw. --
kecuali air bening -- tidak ada makanan yang dapat dihidangkan, padahal
beliau saw. pun mengetahui bahwa di rumah
Sahabah beliau saw. yang
bersedia “menjamu tamu” beliau saw. pun keadaan ekonomi keluarganya tidak
berbeda dengan keadaan di keluarga
(para istri) beliau saw., sebagaimana firman-Nya:
وَ الَّذِیۡنَ تَبَوَّؤُ الدَّارَ وَ الۡاِیۡمَانَ مِنۡ
قَبۡلِہِمۡ یُحِبُّوۡنَ مَنۡ ہَاجَرَ اِلَیۡہِمۡ وَ لَا یَجِدُوۡنَ فِیۡ صُدُوۡرِہِمۡ حَاجَۃً مِّمَّاۤ اُوۡتُوۡا وَ یُؤۡثِرُوۡنَ عَلٰۤی
اَنۡفُسِہِمۡ وَ لَوۡ کَانَ بِہِمۡ خَصَاصَۃٌ ؕ۟ وَ مَنۡ یُّوۡقَ شُحَّ نَفۡسِہٖ فَاُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡمُفۡلِحُوۡنَ ۚ﴿﴾
Dan juga
untuk orang-orang yang telah
mendirikan rumah di Medinah dan sudah beriman sebelum mereka, mereka mencintai orang-orang yang hijrah kepada mereka, dan mereka tidak mendapati suatu keinginan
dalam dada mereka terhadap apa yang diberikan itu, tetapi mereka mengutamakan para muhajir
di atas diri mereka sendiri dan
walaupun kemiskinan menyertai mereka.
Dan barangsiapa dapat mengatasi keserakahan dirinya maka mereka itulah yang berhasil. (Al-Hasyr [59]:10).
Pendek kata, selama bertahun-tahun
demikian sederhananya keadaan ekonomi di lingkungan rumahtangga Nabi Besar Muhammad saw. bersama para istri mulia beliau saw., sehingga ketika
keadaan ekonomi umat Islam secara berangsur semakin membaik
maka sangat wajar kalau para istri mulia Nabi Besar Muhammad
saw. – yang diwakili oleh Siti ‘Aisyah r.a. binti Abu Bakar
Shiddiq r.a. dan Siti Hafshah r.a.
binti Umar bin Khaththab r.a. -- mengajukan permohonan
kepada beliau saw. agar ada sedikit perbaikan
dalam ekonomi di lingkungan keluarga (rumahtangga)
beliau saw..
“Menjauhi Tempat Tidur”
Namun permohonan yang sangat wajar tersebut membuat Nabi Besar Muhammad saw. menjadi “bersedih hati” atau “kecewa”, tetapi dalam menampakkan kekecewaannya tersebut tidak beliau saw.
nyatakan dalam bentuk penolakan melalui perkataan, melainkan melalui
sikap, yaitu beliau saw. untuk beberapa lama tidak tidur di
rumah para istri beliau saw.. – sesuai dengan salah satu dari tiga peraturan Al-Quran yakni “menjauhkan diri dari tempat tidur mereka” -- firman-Nya:
اَلرِّجَالُ قَوّٰمُوۡنَ عَلَی النِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰہُ
بَعۡضَہُمۡ عَلٰی بَعۡضٍ وَّ بِمَاۤ اَنۡفَقُوۡا مِنۡ اَمۡوَالِہِمۡ ؕ
فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلۡغَیۡبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰہُ ؕ وَ الّٰتِیۡ
تَخَافُوۡنَ نُشُوۡزَہُنَّ فَعِظُوۡہُنَّ وَ اہۡجُرُوۡہُنَّ فِی الۡمَضَاجِعِ وَ
اضۡرِبُوۡہُنَّ ۚ فَاِنۡ اَطَعۡنَکُمۡ فَلَا تَبۡغُوۡا عَلَیۡہِنَّ سَبِیۡلًا ؕ
اِنَّ اللّٰہَ کَانَ عَلِیًّا کَبِیۡرًا ﴿﴾
Laki-laki adalah pelindung bagi perempuan-perempuan karena Allah
telah melebihkan sebagian mereka di atas sebagian yang lain, dan
karena mereka membelanjakan sebagian
dari harta mereka, maka perem-puan-perempuan saleh adalah yang taat, yang menjaga
rahasia-rahasia suami mereka dari apa-apa yang telah dilindungi Allah. Dan ada pun perempuan-perempuan yang kamu khawa-tirkan
kedurhakaan mereka maka nasihatilah mereka, jauhilah
mereka di tempat tidur, dan pukullah
mereka, tetapi jika kemudian
mereka taat kepada kamu maka janganlah
kamu mencari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah
benar-benar Maha Tinggi, Maha Besar. (An-Nisa [4[:35).
Dari 3 macam peraturan Al-Quran berkenaan 3 macam tindakan
(hukuman) terhadap istri
tersebut, Nabi Besar Muhammad saw. yang
bersifat “sangat lembut dan kasih-sayang” memilih tindakan
yang nomor dua, yakni اہۡجُرُوۡہُنَّ فِی
الۡمَضَاجِعِ -- “jauhilah mereka di tempat tidur.”
Anak kalimat ini dapat diartikan:
(a) menjauhi perhubungan suami-istri;
(b) tidur secara terpisah; (c) putus bicara dengan mereka. Tetapi tindakan tersebut jangan berkelanjutan
hingga jangka waktu yang tak tertentu,
sebab menurut Allah Swt. istri-istri jangan dibiarkan sebagai barang
terkatung (QS.4:130).
Menurut Al-Quran, empat bulan merupakan batas
maksimum untuk menjauhi perhubungan
suami-istri, yakni memisahkan
diri secara lahiriah (QS.2:227). Andaikata si suami menganggap perkaranya cukup berat, ia akan diharuskan mengikuti cara-cara seperti yang tersebut dalam QS.4:16 dan QS.24:5-11 yakni
dengan menghadirkan 4 orang saksi mata.
Yang ujungnya adalah perceraian.
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 18 November
2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar