ۡ بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah Ruhani Surah
Shād
Bab 61
“Kedekatan” Sempurna Nabi Besar Muhammad Saw.
dengan Allah Swt. & Hakikat “Dua Kalimah Syahadat”
Oleh
Ki
Langlang Buana Kusuma
D
|
alam akhir Bab sebelumnya telah dijelaskan mengenai tiga
tingkatan landasan akhlak, firman-Nya:
اِنَّ اللّٰہَ یَاۡمُرُ
بِالۡعَدۡلِ وَ الۡاِحۡسَانِ وَ اِیۡتَآیِٔ ذِی الۡقُرۡبٰی وَ یَنۡہٰی عَنِ الۡفَحۡشَآءِ وَ
الۡمُنۡکَرِ وَ الۡبَغۡیِ ۚ یَعِظُکُمۡ لَعَلَّکُمۡ تَذَکَّرُوۡنَ ﴿﴾
Sesungguhnya Allah
menyuruh berlaku adil, berbuat ihsan (kebajikan), dan memberi seperti kepada kaum kerabat, serta melarang dari perbuatan keji, mungkar,
dan pemberontakan. Dia nasihatkan kepada kamu supaya kamu mengambil pelajaran. (An-Nahl
[16]:91).
Ayat
ini mengandung tiga macam perintah
dan tiga macam larangan, yang secara
singkat membahas semua macam derajat perkembangan
akhlak dan keruhanian manusia --
bersama segi kebaikan dan keburukannya masing-masing. Ayat ini
menganjurkan (1) berlaku adil, (2)
berbuat ihsan (kebajikan) kepada orang lain, dan (3) berlaku kasih sayang antara kaum kerabat; dan sebaliknya
(1) melarang berbuat hal yang tidak senonoh (fahsyaa-i), (2) berbuat keburukan (munkar), dan (3) pelanggaran yang nyata (baghyi)
Keadilan
(‘adl) mengandung arti bahwa seseorang harus
memperlakukan orang-orang lain seperti ia diperlakukan oleh mereka. Ia hendaknya membalas kebaikan dan keburukan orang-orang lain secara setimpal menurut besarnya dan ukurannya
yang diterima olehnya dari mereka.
Lebih
tinggi dari ‘adl (keadilan) adalah derajat ihsan (kebajikan) bila
manusia harus berbuat ihsan (kebaikan yang lebih) kepada
orang-orang lain tanpa mengindahkan
macamnya perlakuan yang diterima dari
mereka -- atau sekalipun ia diperlakukan buruk oleh mereka -- perbuatannya
tidak boleh digerakkan oleh pertimbangan-pertimbangan menuntut balasan, sekali pun
sekedar ucap “terima kasih” dari orang
yang diperlakukan ihsan (QS.92:18-22;
QS.76:6-11).
Pada derajat perkembangan akhlak terakhir dan tertinggi, ialah ītā’i dzil
qurbā (memberi seperti kepada kerabat), yakni seorang beriman diharapkan
untuk berlaku baik terhadap orang-orang lain, bukan sebagai membalas sesuatu kebaikan yang diterima
dari mereka (‘adil) , begitu pun tidak dengan pertimbangan untuk berbuat lebih baik (ihsan) dari kebaikan yang ia peroleh, melainkan
untuk berbuat kebaikan yang
ditimbulkan oleh dorongan fitri
(fitrat), seperti ia berbuat baik kepada orang-orang yang
mempunyai perhubungan darah yang dekat sekali.
Keadaan pada derajat akhlak tingkatan ini serupa dengan keadaan seorang ibu yang menyusui anak yang kecintaan
terhadap anak-anaknya bersumber pada dorongan fitri (fitrat) seorang ibu
terhadap anak kandungnya. Sesudah
orang mukmin mencapai derajat
akhlak ini ini perkembangan
akhlaknya menjadi sempurna.
Kesempurnaan akhlak dan Ruhani Nabi Besar Muhammad saw.
Jadi,
kembali kepada hubungan keempat Sifat Tasybihiyyah utama Allah Swt.
dalam Surah Al-Fatihah dengan ketiga
tingkatan akhlak baik manusia
tersebut adalah (1) Sifat مٰلِکِ
یَوۡمِ الدِّیۡنِ --“Pemilik
Hari Pembalasan” memiliki hubungan
dengan tingkatan akhlak baik yang
disebut ‘adl; (2) Sifat الرَّحِیۡمِ --
“Maha Penyayang” memiliki hubungan dengan tingkatan akhlak baik yang disebut ihsan; (3) Sifat الرَّحۡمٰنِ --
“Maha Pemurah”, memiliki hubungan dengan tingkatan akhlak اِیۡتَآیِٔ
ذِی الۡقُرۡبٰی (memberi seperti kepada kerabat dekat).
Manusia
tidak akan dapat melebihi ketiga tingkatan
(derajat) akhlak tersebut lalu
memperagakan secara sempurna Sifat Tasybihiyyah Allah Swt. Rabbul-
‘ālamīn (Pencipta dan Pemelihara seluruh alam), karena
hubungannya adalah dengan seluruh alam
semesta.
Kalau
pun ada seorang manusia yang -- sampai
batas teringgi kemampuannya sebagai
manusia -- melakukan Sifat Rabbubiyyat Allah
Swt. hanyalah Nabi Besar Muhammad saw., hal
itu sesuai dengan firman Allah Swt. kepada beliau saw.:
وَ مَاۤ اَرۡسَلۡنٰکَ اِلَّا رَحۡمَۃً لِّلۡعٰلَمِیۡنَ ﴿﴾
Dan Kami sekali-kali tidak mengutus engkau
melainkan sebagai rahmat bagi
seluruh alam. (Al-Anbiyya p21]:108).
Nabi
Besar Muhammad saw. adalah pembawa rahmat
untuk seluruh alam mulai dari benda-benda (makhluk-makhluk) yang
tidak
bernyawa (anorganik) sampai makhluk-makhluk yang bernyawa (organik) dari golongan tumbuh-tumbuhan, hewan dan
manusia, sebab amanat Islam
(Al-Quran) yang diemban beliau saw. tidak
terbatas kepada suatu negeri atau kaum tertentu, demikian pula
rahmat beliau saw. tidak hanya
terbatas pada golongan manusia (‘alam-ul-ins)
saja tetapi juga meluas ke alam-alam
lainnya, sebagaimana makna al-‘alamīn
(seluruh alam) dalam ayat اَلۡحَمۡدُ
لِلّٰہِ رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ ۙ﴿﴾ --
Segala puji hanya bagi Allah,
Tuhan seluruh alam, (Al-Fatihah [1]:2).
Dengan perantaraan Nabi Besar Muhammad
saw. bangsa-bangsa dunia bahkan lingkungan alam pun telah diberkati,
seperti belum pernah mereka diberkati sebelum itu. Itulah makna lain dari
firman-Nya:
وَ مَاۤ اَرۡسَلۡنٰکَ اِلَّا رَحۡمَۃً لِّلۡعٰلَمِیۡنَ ﴿﴾
Dan Kami
sekali-kali tidak mengutus engkau melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam.
(Al-Anbiyya [21]:108).
Kesempurnaan
Mi’raj (Kenaikan Ruhani) Nabi Besar
Muhammad Saw.
Sesuai dengan
pernyataan Allah Swt. tersebut, dalam sebuah Hadits Qudsi terkenal, Allah
Swt. berfirman mengenai Nabi Besar Muhammad saw.: ”Lawlaka lamā khalaqtul-aflāq -- kalau bukan karena engkau Aku tidak akan menjadikan alam semesta”. (Maudhu’at al- Kabīr oleh Mullah Ali
Al-Qari).
Berikut
adalah firman-Nya lagi mengenai
peristiwa mi’raj (kenaikan
ruhani) Nabi Besar Muhammad saw., yang
mendukung pernyataan Allah Swt. berkenaan
dengan kesempurnaan akhlak dan ruhani Nabi Besar Muhammad saw. dalam
hubunganhya dengan keempat Sifat utama Tasybihiyyah
Allah Swt. – seakan-akan keduanya telah “menyatu” bagaikan “seutas tali dua buah busur” --
firman-Nya:
بِسۡمِ
اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ ﴿﴾ وَ
النَّجۡمِ اِذَا ہَوٰی
ۙ﴿﴾ مَا
ضَلَّ صَاحِبُکُمۡ وَ مَا غَوٰی ۚ﴿﴾ وَ مَا یَنۡطِقُ
عَنِ الۡہَوٰی ؕ﴿﴾ اِنۡ
ہُوَ اِلَّا وَحۡیٌ
یُّوۡحٰی ۙ﴿﴾ عَلَّمَہٗ شَدِیۡدُ الۡقُوٰی ۙ﴿﴾ ذُوۡ مِرَّۃٍ ؕ فَاسۡتَوٰی ۙ﴿﴾ وَ ہُوَ بِالۡاُفُقِ الۡاَعۡلٰی ؕ﴿﴾ ثُمَّ دَنَا فَتَدَلّٰی ۙ﴿﴾ فَکَانَ قَابَ
قَوۡسَیۡنِ اَوۡ اَدۡنٰی
ۚ﴿﴾
فَاَوۡحٰۤی اِلٰی عَبۡدِہٖ مَاۤ
اَوۡحٰی ﴿ؕ﴾ مَا کَذَبَ
الۡفُؤَادُ مَا رَاٰی ﴿﴾ اَفَتُمٰرُوۡنَہٗ عَلٰی مَا یَرٰی ﴿﴾ وَ لَقَدۡ رَاٰہُ نَزۡلَۃً
اُخۡرٰی ﴿ۙ﴾ عِنۡدَ سِدۡرَۃِ الۡمُنۡتَہٰی ﴿﴾ عِنۡدَہَا
جَنَّۃُ الۡمَاۡوٰی ﴿ؕ﴾ اِذۡ یَغۡشَی السِّدۡرَۃَ مَا یَغۡشٰی ﴿ۙ﴾ مَا زَاغَ
الۡبَصَرُ وَ مَا طَغٰی ﴿﴾ لَقَدۡ رَاٰی مِنۡ
اٰیٰتِ رَبِّہِ الۡکُبۡرٰی ﴿﴾
Aku baca dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang. Demi bintang apabila
jatuh. Sahabat kamu tidaklah sesat
dan tidak
pula keliru. Dan ia sekali-kali tidak berkata-kata menuruti
keinginannya. Perkataannya itu tidak lain melainkan wahyu
yang diwahyukan. Tuhan
Yang Mahakuat Perkasa mengajarinya, Pemilik
Kekuatan, lalu Dia bersemayam di atas
‘Arasy. Dan Dia mewahyukan Kalam-Nya ketika ia, Rasulullah, berada di ufuk tertinggi. Kemudian ia, Rasulullah, mendekati Allah, lalu Dia kian dekat kepadanya, maka jadilah
ia, seakan-akan, seutas tali
dari dua buah busur, atau lebih
dekat lagi. Lalu Dia mewahyukan
kepada hamba-Nya apa yang telah Dia
wahyukan. Hati Rasulullah sekali-kali tidak berdusta mengenai apa yang dia lihat.
Maka apakah kamu membantahnya mengenai apa yang telah dia lihat? Dan sungguh
dia
benar-benar melihat-Nya kedua kali, dekat pohon Sidrah tertinggi, yang di dekatnya ada surga tempat
tinggal. Ketika pohon Sidrah diselubungi
oleh sesuatu yang menyelubungi, penglihatannya sekali-kali tidak
menyimpang dan tidak pula melantur.
Sungguh
ia benar-benar melihat Tanda
paling besar dari Tanda-tanda Rab-Nya
(Tuhan-Nya). (An-Najm [53]:1-19).
An-najm berarti bintang atau tumbuhan
yang tidak berbatang. Tetapi bila dikenakan sebagai kata pengganti nama kata itu berarti “Bintang Tujuh“ (Bintang Kartika
atau Pleiades). Kata an-najm
(bintang) itu dalam ayat وَ النَّجۡمِ اِذَا ہَوٰی
-- “Demi bintang apabila
jatuh” dianggap juga oleh beberapa ulama
sebagai mengandung arti penurunan (pewahyuan)
Al-Quran dari Allah Swt. secara berangsur-angsur
(QS.17:107; QS.25:33; QS.73:5), dan oleh beberapa sumber lainnya dianggap
mengisyaratkan kepada diutus-Nya wujud Nabi Besar Muhammad saw. sendiri.
Kata jamaknya an-nujum, berarti
juga para kepala kaum atau kepala negara-negara kecil atau jajahan atau kerajaan-kerajaan kecil (Kasysyaf,
Taj-ul-‘Arus & Ghara’ib-al-Quran). Mengingat akan arti yang
berbeda-beda maka kata an-najm (bintang) dalam ayat ini dapat diterangkan:
(1) Menurut sebuah hadits yang masyhur, Nabi Besar Muhammad saw. pernah
mengatakan: “Manakala kegelapan ruhani
meliputi seluruh permukaan bumi dan tidak ada yang tinggal dari Islam kecuali namanya, dan tidak ada dari Al-Quran
kecuali hurufnya dan iman terbang ke Bintang Tsuraya (QS.17:86-89; QS.32:6), maka seorang laki-laki dari keturunan Parsi akan membawanya kembali ke bumi” (Bukhari, Tafsir Surah Al-Jumu’ah).
(2) Kata an-najm
(bintang) itu dapat berarti bahwa Al-Quran
memberi kesaksian atas kebenarannya
sendiri (QS.2:24-25; QS.4:83; QS.15:10; QS.47:25).
(3) Pohon Islam yang masih lemah, kini seperti akan tumbang oleh angin
perlawanan kuat lagi tidak bersahabat yang bertiup kencang dan sengit ke
arahnya, tidak lama lagi akan bangkit
dan berkembang menjadi pohon megah,
dan di bawah naungannya yang sejuk, bangsa-bangsa besar akan berteduh (QS.14:26-26; QS.48:30).
(4) Karena orang-orang Arab sudah biasa
menetapkan arah dan tujuan serta dibimbing dalam perjalanan mereka di padang
pasir Arabia oleh peredaran bintang-bintang
(QS.16:17), demikianlah mereka sekarang akan dibimbing ke tujuan ruhani
mereka oleh bintang yang paling
cemerlang, yaitu Nabi Besar Muhammad
saw. (5) Ayat ini dapat juga mengandung
sebuah nubuatan tentang jatuhnya negeri Arab yang sudah bobrok,
suatu nubuatan yang lebih jelas lagi
diterangkan dalam QS.54:2 mengenai
“terbelahnya bulan”.
Kemurnian
Wahyu Ilahi Al-Quran yang Diwahyukan
kepada
Nabi Besar Muhammad saw.
Makna ayat مَا
ضَلَّ صَاحِبُکُمۡ وَ مَا غَوٰی -- “Sahabat kamu tidaklah sesat
dan tidak pula keliru”, bahwa cita-cita dan asas-asas ajaran Islam (Al-Quran) yang dikemukakan oleh Nabi Besar Muhammad saw. tidak
salah lagi pula beliau saw. sekali-kali
tidak menyimpang dari asas-asas itu
(yakni beliau juga tidak tersesat). Dengan demikian mengingat cita-cita luhur dan mulia beliau saw. dan
mengingat pula cara beliau saw. menjalani
hidup sesuai dengan cita-cita
itu, beliau saw. adalah penunjuk-jalan
yang terjamin dan aman. Keterangan itu lebih diperkuat lagi
dalam beberapa ayat berikutnya.
Kalau ayat اِنۡ ہُوَ
اِلَّا وَحۡیٌ یُّوۡحٰی -- “Perkataannya
itu tidak lain melainkan wahyu yang diwahyukan” ini membicarakan
sumber asal wahyu yang diterima Nabi Besar Muhammad saw. yaitu Allah Swt., maka dua ayat sebelumnya
mengisyaratkan kepada khayalan kosong
orang yang berotak miring dan kepada alam pikiran yang timbul dari nafsu pribadinya dan dorongan-dorongan ruh jahat, firman-Nya: مَا
ضَلَّ صَاحِبُکُمۡ وَ مَا غَوٰی -- “Sahabat kamu tidaklah sesat dan tidak pula keliru,” وَ مَا
یَنۡطِقُ عَنِ الۡہَوٰی -- “Dan ia sekali-kali tidak berkata-kata menuruti
keinginannya.”
Ayat عَلَّمَہٗ شَدِیۡدُ الۡقُوٰی
-- “Tuhan Yang
Mahakuat Perkasa mengajarinya” yaitu bahwa Al-Quran
adalah wahyu Ilahi yang gagah perkasa, yang di hadapannya semua Kitab Suci terdahulu pudar artinya.
Ayat ذُوۡ مِرَّۃٍ ؕ فَاسۡتَوٰی
-- “Pemilik Kekuatan, lalu
Dia bersemayam di
atas ‘Arasy.” Mirrah berarti:
kekuatan karya atau kecerdasan, pertimbangan sehat, keteguhan (Aqrab-al-Mawarid). Dzū mirrah dapat juga berarti orang
yang kekuatannya nampak kentara
dengan lestari.
Ayat فَاسۡتَوٰی -- “lalu Dia
bersemayam di atas ‘Arasy”, ungkapan istawā ‘alā asy-syai-i
berarti bahwa ia memperoleh atau memiliki hak
penguasaan atau pengaruh penuh
atas barang itu. Jika diterapkan kepada Nabi Besar Muhammad saw., ungkapan itu akan
berarti bahwa kekuatan-kekuatan jasmani
dan intelek beliau saw. telah
mencapai kekuatan dan kematangan sepenuh-penuhnya.
Ayat وَ
ہُوَ بِالۡاُفُقِ الۡاَعۡلٰی -- “Dan Dia mewahyukan Kalam-Nya ketika ia, Rasulullah,
berada di ufuk tertinggi”, yaitu
bahwa Nabi Besar Muhammad saw. telah
mencapai batas tertinggi dalam mi’raj beliau saw. , ketika Allah Swt. menampakkan wujud-Nya (tajjali) kepada
beliau saw. dengan kebenaran dan keagungan yang sempurna, yang bahkan
Nabi Musa a.s. pun tidak sanggup menerimanya (melihatnya) ketika Allah
Swt. bertajjali (menampakkan kebesaran-Nya) pada sebuah gunung
(QS.7:144), demikian pula Nabi Ibrahim a.s. dan Malaikat Jibril a.s. pun --
yang sejak awal mi’raj mendampingi Nabi Besar Muhammad saw. – tidak mampu mendaki (naik – mi’raj) lebih tinggi lagi dari maqam
(martabat keruhanian) yang telah ditetapkan Allah Swt..
Atau, ayat وَ
ہُوَ بِالۡاُفُقِ الۡاَعۡلٰی -- “Dan Dia mewahyukan Kalam-Nya ketika ia, Rasulullah,
berada di ufuk tertinggi”, ini dapat
berarti bahwa cahaya Islam
ditempatkan pada suatu tempat yang
amat tinggi dan dari tempat itu dapat
menyinari seluruh dunia. Kata
pengganti huwa dapat menunjuk kepada Allah Swt. dan kepada Nabi Besar
Muhammad saw. Lihat juga ayat
10.
Makna
“Seutas Tali Dua Buah Busur”
& Hakikat Disandingkannya
Kata Allah
dan Muhammad dalam “Dua Kalimah Syahadat”
Makna ayat
selanjutnya ثُمَّ دَنَا فَتَدَلّٰی ۙ -- Kemudian
ia, Rasulullah, mendekati Allah,
lalu Dia kian dekat kepadanya,
فَکَانَ
قَابَ قَوۡسَیۡنِ اَوۡ اَدۡنٰی -- “maka jadilah
ia, seakan-akan, seutas tali
dari dua buah busur, atau lebih
dekat lagi.” Dalla al-dalwa berarti: ia menurunkan
ember ke dalam perigi, ia menarik ember ke atas atau keluar dari perigi, Tadalla
berarti: ia atau sesuatu itu merendah atau menurun; ia menghampiri atau
mendekati atau kian dekat (Lexicon Lane
dan Lisan-al-‘Arab).
Ayat ini berarti bahwa Nabi Besar
Muhammad saw. mendekati
Allah Swt. dan Allah Swt. condong
kepada beliau saw.. Ayat itu dapat juga berarti bahwa Nabi Besar Muhammad saw. mencapai
kedekatan yang sedekat-dekatnya kepada Allah Swt.,
dan setelah minum dengan
sepuas-puasnya di sumber mata air ilmu-keruhanian Ilahi, beliau saw. turun kembali dan memberikan ilmu (makrifat Ilahi) kepada segenap
umat manusia.
Qāb berarti: (1) bagian
busur antara bagian yang dipegang oleh tangan dan ujungnya yang dilengkungkan;
(2) dari satu ujung busur ke ujung busur yang lain; (3) ukuran atau ruang.
Orang Arab berkata bainahumā qāba qausaini, yakni di antara mereka
berdua adalah seukuran busur, yang
berarti bahwa perhubungan di antara
mereka sangat akrab.
Peribahasa Arab yang
mengatakan ramaunā ‘an qausin wāhidin, yakni “mereka memanah kami dari satu busur”,
yaitu bahwa “mereka seia-sekata melawan
kami”. Oleh karena itu kata tersebut menyatakan kesepakatan sepenuhnya (Lexicon Lane; Lisan-al-‘Arab dan Zamakhsyari).
Apa pun kandungan arti kata qāb
itu, ungkapan qāba qausaini (seutas
tali dua busur) menyatakan perhubungan
yang sangat dekat antara dua orang.
Ayat ini bermaksud bahwa Nabi Besar
Muhammad saw. terus menaiki
(mendaki) jenjang-jenjang ketinggian mikraj dan menghampiri Allah Swt., sehingga jarak
antara keduanya hilang sirna dan Nabi Besar Muhammad saw. seolah-olah
menjadi “seutas tali dari dua busur” , اَوۡ اَدۡنٰی
-- “atau lebih dekat lagi”.
Peribahasa ini mengingatkan kita kepada suatu kebiasaan orang-orang Arab kuno. Menurut kebiasaan itu, bila dua
orang mengikat janji persahabatan
yang kokoh kuat mereka biasa menyatu-padukan
busur-busur mereka dengan cara demikian, sehingga busur-busur itu nampak seperti satu
dan kemudian mereka melepaskan anak panah
dari busur yang telah dipadukan itu, dengan demikian mereka menyatakan bahwa
mereka itu seakan-akan telah menjadi satu wujud, dan bahwa suatu serangan terhadap yang seorang akan
berarti serangan terhadap yang
lainnya juga.
Bila kata tadalla (Dia
kian dekat kepadanya) dianggap
mengenai Allah Swt., maka ayat ini akan
berarti bahwa Nabi Besar Muhammad saw. naik
menuju Allah Swt. dan Allah Swt. turun kepada beliau saw., sehingga
kedua-duanya seolah-olah telah menyatu
menjadi satu wujud.
Ungkapan tersebut mengandung pula
arti lain yang sangat indah dan halus, yaitu bahwa sementara di satu pihak Nabi
Besar Muhammad saw. menjadi sama sekali fana
(sirna) dalam Rabb-nya (Tuhan-nya) serta Pencipta-nya,
sehingga beliau saw. seakan-akan menjadi
bayangan Allah Sendiri, maka di pihak
lain beliau saw. turun kembali
kepada umat manusia dan menjadi
begitu penuh cinta dan dengan rasa kasih serta merasa prihatin akan mereka, sehingga sifat Ketuhanan
dan sifat kemanusiaan menjadi terpadu
dalam diri beliau saw., dan beliau saw. menjadi titik-pusat tali kedua busur Ketuhanan dan kemanusiaan.
Kata-kata “atau lebih dekat lagi,” mengandung arti bahwa
perhubungan antara Nabi Besar Muhammad saw. dengan Allah Swt. menjadi kian dekat dan kian mesra lebih daripada yang dapat dibayangkan pikiran. Dengan demikian jelaslah mengapa dalam “Dua Kalimah Syahadat” – yang merupakan
Rukun Islam yang pertama – nama Nabi
Besar Muhammad saw. disandinglan dengan sebutan Allah Swt., yakni:
“Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah,
dan aku bersaksi bahwa Muhammad
adalah Rasul Allah.”
Hal itu berarti bahwa sejak diwahyukan agama Islam
(Al-Quran) sebagai agama terakhir dan tersempurna kepada Nabi Besar Muhammad
saw. (QS.5:4), maka kecuali beriman sepenuhnya kepada Nabi Besar
Muhammad saw. dan mengamalkan ajaran
Islam (Al-Quran) sebagaimana yang beliau saw. ajarkan maka tidak akan ada
seorang pun akan mendapat kecintaan dan pengampunan Allah Swt. (QS.3:20, 32, 86-87; QS.33:22; QS.4:70-71).
Kedekatan
Sempurna Nabi Besar Muhammad Saw. dengan Allah Swt.
Ayat-ayat 8 sampai 18 menggambarkan mikraj Nabi Besar Muhammad saw. ketika
beliau saw. secara ruhani dibawa ke langit dan dianugerahi pemandangan suatu penjelmaan ruhani Allah Swt., dan secara ruhani beliau saw. naik sampai dekat sekali kepada Khāliq-nya. Pada hakikatnya, mikraj merupakan dua pengalaman ruhani, yakni (1) kenaikan ruhani (mi’raj) Nabi Besar
Muhammad saw. dan (2) turunnya tajalli (penampakan
kebesaran) Allah Swt. kepada beliau.
Dalam pikiran umum, mi’raj telah
dicampurbaurkan dengan isra’ (perjalanan Nabi Besar Muhammad saw. pada waktu malam ke Yerusalem – QS.17:2), sedangkan masing-masing berlainan
dan terpisah waktu terjadinya. Peristiwa Isra terjadi pada tahun ke-11 atau ke-12 tahun
Nabawi (Zurqani), padahal Nabi
Besar Muhammad saw. telah
lebih dahulu mengalami mikraj
pada tahun ke-5, tidak lama sesudah hijrah
pertama ke Abessinia 6 atau 7 tahun sebelum terjadi peristiwa isra’.
Penelaahan saksama dan teliti
mengenai rincian kedua peristiwa itu, sebagaimana disebut-sebut di dalam
hadits juga mendukung pendapat ini.
Untuk keterangan lebih terinci mengenai kedua peristiwa mikraj dan isra’ keduanya merupakan kejadian yang terpisah dan
berbeda satu sama lain.
Kata mā dalam
ayat فَاَوۡحٰۤی اِلٰی عَبۡدِہٖ مَاۤ
اَوۡحٰی -- “Lalu Dia mewahyukan kepada hamba-Nya apa yang telah Dia wahyukan”, kadang-kadang
dipergunakan untuk menyatakan kehormatan,
keheranan, atau untuk memberikan
tekanan arti (Aqrab-al-Mawarid).
Ayat ini mengandung arti bahwa Allah Swt. menurunkan wahyu Al-Quran kepada hamba-Nya,
dan alangkah bagus lagi hebatnya wahyu
itu!
Makna ayat مَا
کَذَبَ الۡفُؤَادُ مَا رَاٰی -- “Hati Rasulullah sekali-kali tidak berdusta mengenai apa yang dia lihat”
hakikatnya ialah bahwa apa yang telah dilihat oleh Nabi Besar
Muhammad saw. dalam peristiwa mi’raj
tersebut adalah
pengalaman hakiki, dan pengalaman itu adalah kebenaran sejati dan bukan tipuan khayal beliau saw..
Makna
ayat وَ
لَقَدۡ رَاٰہُ نَزۡلَۃً اُخۡرٰی -- “ Dan
sungguh dia benar-benar melihat-Nya kedua kali” yakni kasyaf
(pengalaman ruhani) Nabi Besar Muhammad
saw. itu suatu pengalaman ruhani berganda. Menurut ayat-ayat tersebut, pada
waktu mikraj, Nabi Besar Muhammad saw. telah mencapai martabat qurb Ilahi (kedekatan
kepada Allah) demikian tinggi,
sehingga sungguh berada di luar jangkauan otak manusia untuk memahaminya; atau
ayat ini dapat berarti bahwa pada martabat
itu terbentang di hadapan beliau saw. samudera
luas tanpa tepi – samudera makrifat Ilahi, hakikat-hakikat
serta kebenaran-kebenaran abadi.
Sadir yang diambil dari akar kata yang
sama berarti bahwa makrifat Ilahi yang dilimpahkan kepada Nabi Besar Muhammad saw. akan seperti halnya pohon Sidrah memberikan kesenangan dan naungan kepada para musafir
ruhani yang merasa kakinya letih dan payah. Lebih-lebih karena daun pohon Sidrah memiliki khasiat mengawetkan mayat dari proses pembusukan, ayat ini dapat berarti bahwa ajaran
Al-Quran yang diwahyukan kepada
Nabi Besar Muhammad saw. tidak hanya kebal terhadap bahaya kerusakan (QS.15:10), tetapi juga baik sekali guna menolong dan memelihara
umat manusia terhadap kerusakan.
Atau, ayat ini mengandung kabar gaib yang mengisyaratkan kepada sebatang pohon, yang di bawah pohon
itu para sahabat Nabi Besar Muhammad saw. mengikat janji setia kepada beliau saw. pada
peristiwa Perjanjian Hudaibiyah. Kata-kata “yang menyelubungi” dalam
ayat اِذۡ یَغۡشَی السِّدۡرَۃَ مَا یَغۡشٰی -- “Ketika
pohon Sidrah diselubungi oleh sesuatu yang menyelubungi,” maknanya ialah penjelmaan Ilahi yang paling sempurna kepada agama Islam (Al-Quran)
dan Nabi Besar Muhammad saw..
Jadi, kembali kepada firman Allah Swt. mengenai
dasar tingkatan akhlak tertinggi yaitu iytā-i-dzil-qurba (memberi seperti terhadap kerabat) -- dan hubungannya dengan Sifat Rabbubiyyat Allah Swt. -- firman-Nya:
اِنَّ اللّٰہَ یَاۡمُرُ
بِالۡعَدۡلِ وَ الۡاِحۡسَانِ وَ اِیۡتَآیِٔ ذِی الۡقُرۡبٰی وَ یَنۡہٰی عَنِ الۡفَحۡشَآءِ وَ
الۡمُنۡکَرِ وَ الۡبَغۡیِ ۚ یَعِظُکُمۡ لَعَلَّکُمۡ تَذَکَّرُوۡنَ ﴿﴾
Sesungguhnya Allah
menyuruh berlaku adil, berbuat ihsan (kebajikan), dan memberi seperti kepada kaum kerabat, serta melarang dari perbuatan keji, mungkar,
dan pemberontakan. Dia nasihatkan
kepada kamu supaya kamu mengambil pelajaran. (An-Nahl [16]:91).
Kenyataan
tersebut hanya Nabi Besar Muhammad saw. sajalah yang mampu mengamalkannya sebagaimana digambarkan
mengenai kedekatan sempurna beliau
saw. dengan Allah Swt. dalam peristiwa mi’raj dan yang diabadikan dalam “Dua Kalimah
Syahadat”.
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 24 Oktober
2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar