Selasa, 30 September 2014

Pentingnya Memahami Makna Hakiki "Syafaat" dan "Wasilah" Nabi Besar Muhammad Saw. di Akhir Zaman Ini



بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم


 Khazanah Ruhani Surah  Shād


Bab   328

  Pentingnya Memahami Makna Hakiki  Syafaat dan Wasilah   Nabi Besar Muhammad Saw. di Akhir Zaman Ini.  

 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

D
alam bagian akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan mengenai   orang-orang yang diberi wewenang untuk  menerima baiat (jual-beli), persahabatan, dan memberikan syafaat, yaitu Rasul Allah -- terutama Nabi Besar Muhammad saw. (QS.48:11) --  firman-Nya:     
یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡۤا اَنۡفِقُوۡا مِمَّا رَزَقۡنٰکُمۡ مِّنۡ قَبۡلِ اَنۡ یَّاۡتِیَ یَوۡمٌ لَّا بَیۡعٌ  فِیۡہِ وَ لَا خُلَّۃٌ وَّ لَا شَفَاعَۃٌ ؕ وَ الۡکٰفِرُوۡنَ ہُمُ  الظّٰلِمُوۡنَ ﴿﴾
Hai orang-orang yang beriman,  belanjakanlah apa yang telah Kami rezekikan kepada kamu  مِّنۡ قَبۡلِ اَنۡ یَّاۡتِیَ یَوۡمٌ لَّا بَیۡعٌ فِیۡہِ وَ لَا خُلَّۃٌ وَّ لَا شَفَاعَۃٌ -- sebelum datang hari yang tidak ada jual-beli di dalamnya, tidak ada   persahabatan, dan  tidak pula syafaat,  وَ الۡکٰفِرُوۡنَ ہُمُ  الظّٰلِمُوۡنَ --  dan orang-orang yang kafir  mereka itulah orang-orang  zalim. (Al-Baqarah [2]:255).

Orang yang mendapat Izin Allah Swt.  Memberikan Syafaat &  Makna Wasilah (Perantara)  yang benar

        Selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai siapa yang mendapat izin dari Allah Swt. untuk menjadi washilah (perantara) sebagai pemberi syafaat:
اَللّٰہُ لَاۤ اِلٰہَ اِلَّا ہُوَۚ اَلۡحَیُّ الۡقَیُّوۡمُ ۬ۚ لَا تَاۡخُذُہٗ سِنَۃٌ وَّ لَا نَوۡمٌ ؕ لَہٗ مَا فِی السَّمٰوٰتِ وَ مَا فِی الۡاَرۡضِ ؕ مَنۡ ذَا الَّذِیۡ یَشۡفَعُ  عِنۡدَہٗۤ  اِلَّا بِاِذۡنِہٖ ؕ یَعۡلَمُ مَا بَیۡنَ اَیۡدِیۡہِمۡ وَ مَا خَلۡفَہُمۡ  ۚ وَ لَا یُحِیۡطُوۡنَ بِشَیۡءٍ مِّنۡ عِلۡمِہٖۤ اِلَّا بِمَا شَآءَ ۚ وَسِعَ کُرۡسِیُّہُ السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضَ ۚ وَ لَا یَـُٔوۡدُہٗ حِفۡظُہُمَا ۚ وَ ہُوَ الۡعَلِیُّ  الۡعَظِیۡمُ ﴿۲﴾
Allah, tidak ada Tuhan kecuali Dia   Yang Maha Hidup, Yang  Maha Tegak atas Dzat-Nya Sendiri dan Penegak segala sesuatu. لَا تَاۡخُذُہٗ سِنَۃٌ وَّ لَا نَوۡمٌ  --  kantuk tidak menyentuh-Nya dan tidak pula tidur. Milik-Nya apa pun yang ada di seluruh langit dan apa pun  yang ada di bumi.  مَنۡ ذَا الَّذِیۡ یَشۡفَعُ  عِنۡدَہٗۤ  اِلَّا بِاِذۡنِہٖ  --  Siapakah yang dapat memberi syafaat di hadirat-Nya kecuali dengan izin-Nya? یَعۡلَمُ مَا بَیۡنَ اَیۡدِیۡہِمۡ وَ مَا خَلۡفَہُمۡ     -- Dia mengetahui apa pun yang ada di hadapan mereka dan apa pun di belakang me-reka, وَ لَا یُحِیۡطُوۡنَ بِشَیۡءٍ مِّنۡ عِلۡمِہٖۤ اِلَّا بِمَا شَآءَ  --  dan mereka tidak meliputi sesuatu dari ilmu-Nya kecuali apa yang Dia kehendaki.  وَسِعَ کُرۡسِیُّہُ السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضَ ۚ وَ لَا یَـُٔوۡدُہٗ حِفۡظُہُمَا ۚ وَ ہُوَ الۡعَلِیُّ  الۡعَظِیۡمُ  --  Singgasana ilmu-Nya  meliputi seluruh langit dan bumi,  dan tidak memberatkan-Nya menjaga keduanya, dan Dia Maha Tinggi, Maha Agung. (Al-Baqarah [2]:255).
        Makna   yang diizinkan sebagai  pemberi syafaat dalam ayat مَنۡ ذَا الَّذِیۡ یَشۡفَعُ  عِنۡدَہٗۤ  اِلَّا بِاِذۡنِہٖ  --  Siapakah yang dapat memberi syafaat di hadirat-Nya kecuali dengan izin-Nya?” mengisyaratkan kepada para rasul Allah, terutama Nabi Besar Muhammad saw., sebab  setelah Allah Swt. menurunkan agama terakhir dan tersempurna – yaitu agama Islam (Al-Quran – QS.5:4)  -- maka hanya dengan beriman dan patuh-taat kepada Allah Swt. dan Nabi Besar Muhammad saw. sajalah, bukan saja     keagamaan  mereka akan diterima Allah Swt. (QS.3:20 & 86), bahkan mereka akan memperoleh syafaat dari Nabi Besar Muhammad saw. (QS.3:32; QS.4:70-71),  karena  beliau sajalah satu-satunya washilah (perantara) yang diizinkan Allah Swt. untuk memberikan syafaat, firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰہَ  وَ ابۡتَغُوۡۤا اِلَیۡہِ الۡوَسِیۡلَۃَ وَ جَاہِدُوۡا فِیۡ سَبِیۡلِہٖ  لَعَلَّکُمۡ  تُفۡلِحُوۡنَ ﴿﴾
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah. وَ ابۡتَغُوۡۤا اِلَیۡہِ الۡوَسِیۡلَۃَ   -- dan  carilah jalan pendekatan diri  kepada-Nya,  وَ جَاہِدُوۡا فِیۡ سَبِیۡلِہٖ  لَعَلَّکُمۡ  تُفۡلِحُوۡنَ  --  dan  berjihadlah  di jalan-Nya supaya kamu berhasil. (Al-Māidah [5]:36).
          Wasilah artinya  satu jalan untuk memperoleh suatu kedudukan terhormat di sisi raja; martabat, pertalian, ikatan atau perhubungan (Lexicon Lane). Kata itu bukan berarti “penengah antara Tuhan dan manusia,” sebagaimana  banyak yang keliru menafsirkan  wasilah  -- sebab arti yang kedua ini bukan hanya tidak-didukung oleh kelaziman pemakaian bahasa Arab, tetapi juga bertentangan dengan ajaran Al-Quran dan hadits-hadits  Nabi Besar Muhammad  saw..

Nabi Besar Muhammad Saw. Satu-satunya Pemberi Syafaat dan Wasilah yang Hakiki

       Bahwa Nabi Besar Muhammad saw.    --   setelah Allah Swt. menurunkan agama terakhir dan tersempurna  yaitu agama Islam (Al-Quran – QS.5:4)    -- beliau saw. merupakan satu-satu pemberi wasilah, mengebnai hal tersebut Allah Swt. berfirman: 
اِنَّ الدِّیۡنَ عِنۡدَ اللّٰہِ الۡاِسۡلَامُ ۟ وَ مَا اخۡتَلَفَ الَّذِیۡنَ اُوۡتُوا الۡکِتٰبَ اِلَّا مِنۡۢ بَعۡدِ مَا جَآءَہُمُ الۡعِلۡمُ بَغۡیًۢا بَیۡنَہُمۡ ؕ وَ مَنۡ یَّکۡفُرۡ بِاٰیٰتِ اللّٰہِ فَاِنَّ اللّٰہَ سَرِیۡعُ  الۡحِسَابِ ﴿﴾
 Sesungguhnya agama  yang benar di sisi Allah adalah Islam,  dan sekali-kali tidaklah berselisih orang-orang yang diberi Kitab melainkan setelah ilmu datang kepada mereka karena kedengkian di antara mereka. Dan barangsiapa kafir kepada Tanda-tanda Allah maka sesungguhnya Allāh sangat cepat dalam menghisab. (Ali ‘Imran [3]:20).
       Ada pun yang dimaksud dengan ilmu (pengetahuan) dan āyat (Tanda-tanda) dalam ayat tersebut adalah agama Islam (Al-Quran) atau Nabi Besar Muhammad saw., sebab kedengkian yang diperagakan golongan  Ahlikitab  adalah terhadap Nabi Besar Muhammad saw. dan agama Islam (Al-Quran)
Firman-Nya lagi:
وَ مَنۡ یَّبۡتَغِ غَیۡرَ الۡاِسۡلَامِ دِیۡنًا فَلَنۡ یُّقۡبَلَ مِنۡہُ ۚ وَ ہُوَ فِی الۡاٰخِرَۃِ مِنَ الۡخٰسِرِیۡنَ ﴿﴾
Dan   barangsiapa mencari agama yang bukan agama Islam, maka  agama itu tidak akan pernah diterima darinya, dan di akhirat ia termasuk orang-orang yang rugi. (Ali ‘Imran [3]:86).
        Bahwa Nabi Besar Muhammad saw. merupakan satu-satunya wasilah (perantara) yang diizinkan Allah Swt. memberikan syafaat, mengenai hal tersebut Allah Swt. berfirman:
قُلۡ  اِنۡ کُنۡتُمۡ تُحِبُّوۡنَ اللّٰہَ  فَاتَّبِعُوۡنِیۡ یُحۡبِبۡکُمُ اللّٰہُ وَ یَغۡفِرۡ لَکُمۡ ذُنُوۡبَکُمۡ ؕ وَ اللّٰہُ غَفُوۡرٌ  رَّحِیۡمٌ ﴿﴾  قُلۡ اَطِیۡعُوا اللّٰہَ وَ الرَّسُوۡلَ ۚ فَاِنۡ تَوَلَّوۡا فَاِنَّ اللّٰہَ  لَا یُحِبُّ الۡکٰفِرِیۡنَ ﴿﴾
Katakanlah:   Jika kamu benar-benar mencintai Allah فَاتَّبِعُوۡنِیۡ    -- maka ikuti-lah398 aku,  یُحۡبِبۡکُمُ اللّٰہُ وَ یَغۡفِرۡ لَکُمۡ ذُنُوۡبَکُمۡ ؕ وَ اللّٰہُ غَفُوۡرٌ  رَّحِیۡمٌ --  Allah pun akan mencintai kamu dan akan mengampuni dosa-dosa kamu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”  قُلۡ اَطِیۡعُوا اللّٰہَ وَ الرَّسُوۡلَ ۚ فَاِنۡ تَوَلَّوۡا فَاِنَّ اللّٰہَ  لَا یُحِبُّ الۡکٰفِرِیۡنَ  --  Katakanlah:    Taatilah Allah dan Rasul ini”, kemudian jika mereka berpaling maka ketahuilah sesungguhnya Allah tidak mencintai orang-orang kafir. (Ali ‘Imran [3]:32-33).
         Jadi, kembali kepada makna  kata wasilah yang benar:  Wasilah artinya  satu jalan untuk memperoleh suatu kedudukan terhormat di sisi raja; martabat, pertalian, ikatan atau perhubungan (Lexicon Lane). Kata itu bukan berarti “penengah antara Tuhan dan manusia,” sebagaimana  banyak yang keliru menafsirkan  wasilah  -- sebab arti yang kedua ini bukan hanya tidak-didukung oleh kelaziman pemakaian bahasa Arab, tetapi juga bertentangan dengan ajaran Al-Quran dan hadits-hadits  Nabi Besar Muhammad  saw..

Kemusyrikan Akibat Keliru Memahami  Makna  Syafaat dan Wasilah & Empat Golongan Martabat Ruhani di Hadirat Allah Swt.

       Sehubungan orang-orang yang keliru  memaknai arti wasilah  tersebut, ketika ditanyakan  kepada orang-orang yang datang menziarahi kuburan para  nabi Allah atau wali Allah  atau ditanyakan kepada mereka yang menyembah berbagai bentuk berhala    --  yang kepada tempat-tempat atau benda-benda tersebut mereka menyampaikan permohonan   -- maka jawaban mereka adalah bahwa semua itu hanya sekedar wasilah  yang memperantarai permohoan (doa) mereka dengan Allah Swt.
       Berikut jawaban Allah Swt. berkenaan makna  wasilah (perantaraan) yang hakiki, yaitu Nabi Besar Muhammad saw., firman-Nya:
وَ مَنۡ یُّطِعِ اللّٰہَ وَ الرَّسُوۡلَ فَاُولٰٓئِکَ مَعَ الَّذِیۡنَ اَنۡعَمَ اللّٰہُ عَلَیۡہِمۡ مِّنَ النَّبِیّٖنَ وَ الصِّدِّیۡقِیۡنَ وَ الشُّہَدَآءِ وَ الصّٰلِحِیۡنَ ۚ وَ حَسُنَ اُولٰٓئِکَ رَفِیۡقًا ﴿ؕ﴾  ذٰلِکَ الۡفَضۡلُ مِنَ اللّٰہِ ؕ وَ کَفٰی بِاللّٰہِ عَلِیۡمًا﴿٪﴾
Dan  barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul ini maka mereka akan termasuk di antara  اَنۡعَمَ اللّٰہُ عَلَیۡہِمۡ  --   orang-orang  yang Allāh memberi nikmat kepada mereka, مِّنَ النَّبِیّٖنَ وَ الصِّدِّیۡقِیۡنَ وَ الشُّہَدَآءِ وَ الصّٰلِحِیۡنَ --  yakni: nabi-nabi, shiddiq-shiddiq, syahid-syahid, dan orang-orang shalih,  وَ حَسُنَ اُولٰٓئِکَ رَفِیۡقًا  -- dan mereka  itulah sahabat yang sejati.      ذٰلِکَ الۡفَضۡلُ مِنَ اللّٰہِ ؕ وَ کَفٰی بِاللّٰہِ عَلِیۡمًا --  Itulah karunia dari Allah,  dan cukuplah Allah Yang Maha Mengetahui. (An-Nisā [4]:70-71).
       Sesuai dengan makna hakiki wasilah (perantara) sebelum ini  – yakni    satu jalan untuk memperoleh suatu kedudukan terhormat di sisi raja; martabat, pertalian, ikatan atau perhubungan (Lexicon Lane)  -- maka  maka dalam pandangan   Allah Swt., tidak ada kedudukan atau martabat atau pertalian atau ikatan atau perhubungan dengan Allah Swt  selain orang-orang beriman dan bertakwa yang karena ketaatannya kepada Allah Swt. dan Nabi Besar Muhammad saw. termasuk ke dalam salah satu dari keempat martabat keruhanian di hadirat Allah Swt. tersebut, yakni:  مِّنَ النَّبِیّٖنَ وَ الصِّدِّیۡقِیۡنَ وَ الشُّہَدَآءِ وَ الصّٰلِحِیۡنَ --  yakni: nabi-nabi, shiddiq-shiddiq, syahid-syahid, dan orang-orang shalih,  وَ حَسُنَ اُولٰٓئِکَ رَفِیۡقًا  -- dan mereka  itulah sahabat yang sejati.      ذٰلِکَ الۡفَضۡلُ مِنَ اللّٰہِ ؕ وَ کَفٰی بِاللّٰہِ عَلِیۡمًا --  Itulah karunia dari Allah,  dan cukuplah Allah Yang Maha Mengetahui. (An-Nisā [4]:70-71).
          Mereka yang menolak  keempat macam martabat keruhanian yang  disediakan Allah Swt. bagi mereka yang benar-benar menginginkan syafaat dan wasilah dari Nabi Besar Muhammad saw.   – dengan alasan  bahwa semua jenis kenabian dan wahyu Ilahi telah tertutup rapat dengan pengutusan Nabi Besar Muhammad saw. sebagai Khātaman Nabiyyīn (QS.33:41) dan diturunkan-Nya agama Islam (Al-Quran) sebagai agama terakhir dan tersempurna (QS.5:4).

Turunnya Karunia Allah Swt. Tidak dapat Dihalangi  & Berulangnya Sunnatullah Berkenaan Istri-istri Durhaka Nabi Nuh a.s. dan Nabi Luth a.s. di Akhir zaman

        Pemahaman keliru mereka itu (QS.10:75; QS.40:35-36; QS.72:8); sama sekali tidak dapat menghalangi Allah Swt. untuk menganugerahkan turunnya karunia-Nya berupa empat macam nikmat (martabat) ruhani yang hakiki tersebut kepada orang-orang yang benar-benar  memahami masalah (makna)  syafaat dan wasilah dengan benar:      ذٰلِکَ الۡفَضۡلُ مِنَ اللّٰہِ ؕ وَ کَفٰی بِاللّٰہِ عَلِیۡمًا --  Itulah karunia dari Allah,  dan cukuplah Allah Yang Maha Mengetahui. (An-Nisā [4]:70-71).
         Sesuai dengan Sunnatullah, mereka yang menolak karunia Allah Swt. melalui syafaat dan wasilah Nabi Besar Muhammad saw.     termasuk di Akhir Zaman ini --    mereka, insya Allah, akan mengalami nasib buruk seperti istri-istri durhaka Nabi Nuh a.s. dan Nabi Luth a.s., firman-Nya:
ضَرَبَ اللّٰہُ  مَثَلًا  لِّلَّذِیۡنَ  کَفَرُوا امۡرَاَتَ  نُوۡحٍ وَّ امۡرَاَتَ  لُوۡطٍ ؕ کَانَتَا تَحۡتَ عَبۡدَیۡنِ مِنۡ عِبَادِنَا صَالِحَیۡنِ فَخَانَتٰہُمَا فَلَمۡ یُغۡنِیَا عَنۡہُمَا مِنَ اللّٰہِ شَیۡئًا وَّ قِیۡلَ ادۡخُلَا  النَّارَ مَعَ الدّٰخِلِیۡنَ﴿﴾
Allah mengemukakan istri Nuh  dan istri Luth sebagai misal bagi orang-orang kafir. Keduanya di bawah dua hamba dari hamba-hamba Kami yang saleh, tetapi keduanya berbuat khianat  kepada kedua suami mereka, maka mereka berdua sedikit pun tidak dapat membela kedua istri mereka itu di hadapan Allah, dan dikatakan kepada mereka: Masuklah kamu berdua ke dalam Api beserta orang-orang yang masuk.” (At-Tahrīm [66]:11).
     Jadi, betapa sakralnya kedudukan pernikahan dalam ajaran Islam  (Al-Quran), karena di dalamnya mengandung berbagai hikmah yang sangat dalam berkenaan dengan masalah ketakwaan kepada Allah Swt. dan ketaatan kepada Rasul-Nya, terutama Nabi Besar Muhammad saw.. demikian juga sakralnya "penikahan ruhani" dengan Rasul Allah yang kedatangannya dijanjikan Allah Swt. di Akhir Zaman ini.

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid

                                                                              ***
Pajajaran Anyar,  8 September     2014

Minggu, 28 September 2014

Makna "Hari" yang di Dalamnya Tidak Ada lagi "Jual-beli, Persahabatan, dan Syafa'at" & Nasib Malang "Istri-istri Durhaka" Nabi Nuh a.s. dan Nabi Luth a.s.



بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم


 Khazanah Ruhani Surah  Shād


Bab   327

  Makna “Hari” yang di Dalamnya Tidak Ada lagi “Jual-beli, Persahabatan, dan Syafa’at” & Nasib Malang  Istri-istri Durhaka Nabi Nuh a.s. dan Nabi Luth a.s.

 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

D
alam bagian akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan mengenai   larangan melakukan syirik (kemusyrikan) dan berbagai hal yang dilarang serta yang diperintahkan Allah Swt. dalam agama Islam (Al-Quran):
قُلۡ تَعَالَوۡا اَتۡلُ مَا حَرَّمَ  رَبُّکُمۡ عَلَیۡکُمۡ  اَلَّا تُشۡرِکُوۡا بِہٖ شَیۡئًا وَّ بِالۡوَالِدَیۡنِ اِحۡسَانًا ۚ وَ لَا تَقۡتُلُوۡۤا اَوۡلَادَکُمۡ   مِّنۡ  اِمۡلَاقٍ ؕ نَحۡنُ  نَرۡزُقُکُمۡ وَ اِیَّاہُمۡ ۚ وَ لَا تَقۡرَبُوا الۡفَوَاحِشَ مَا ظَہَرَ  مِنۡہَا وَ مَا بَطَنَ ۚ وَ لَا تَقۡتُلُوا النَّفۡسَ الَّتِیۡ حَرَّمَ اللّٰہُ  اِلَّا بِالۡحَقِّ ؕ ذٰلِکُمۡ وَصّٰکُمۡ بِہٖ لَعَلَّکُمۡ تَعۡقِلُوۡنَ ﴿﴾  وَ لَا تَقۡرَبُوۡا مَالَ الۡیَتِیۡمِ  اِلَّا بِالَّتِیۡ  ہِیَ اَحۡسَنُ حَتّٰی یَبۡلُغَ اَشُدَّہٗ ۚ وَ اَوۡفُوا الۡکَیۡلَ وَ الۡمِیۡزَانَ بِالۡقِسۡطِ ۚ لَا نُکَلِّفُ نَفۡسًا اِلَّا وُسۡعَہَا ۚ وَ اِذَا قُلۡتُمۡ فَاعۡدِلُوۡا وَ لَوۡ کَانَ ذَا قُرۡبٰی ۚ وَ بِعَہۡدِ اللّٰہِ اَوۡفُوۡا ؕ ذٰلِکُمۡ  وَصّٰکُمۡ بِہٖ لَعَلَّکُمۡ  تَذَکَّرُوۡنَ ﴿﴾ۙ  وَ  اَنَّ  ہٰذَا صِرَاطِیۡ مُسۡتَقِیۡمًا فَاتَّبِعُوۡہُ ۚ وَ لَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ  فَتَفَرَّقَ  بِکُمۡ عَنۡ سَبِیۡلِہٖ ؕ ذٰلِکُمۡ  وَصّٰکُمۡ بِہٖ لَعَلَّکُمۡ تَتَّقُوۡنَ ﴿﴾   
Katakan: “Marilah aku bacakan apa yang diharamkan Rabb (Tuhan) kamu atasmu yaitu: اَلَّا تُشۡرِکُوۡا بِہٖ شَیۡئًا وَّ بِالۡوَالِدَیۡنِ اِحۡسَانًا -- Janganlah kamu  mempersekutukan sesuatu  pun dengan-Nya, dan  berbuat ihsanlah  terhadap kedua orang-tua,    janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin, Kami-lah Yang memberi rezeki kepada kamu dan kepada mereka, dan  jangan kamu mendekati perbuatan keji, baik itu yang zahir ataupun yang tersembunyi, وَ لَا تَقۡتُلُوا النَّفۡسَ الَّتِیۡ حَرَّمَ اللّٰہُ  اِلَّا بِالۡحَقِّ  --  janganlah kamu membunuh suatu jiwa yang Allah mengharamkan untuk membunuhnya kecuali dengan haq. Demikianlah Dia telah memerintahkan kepada kamu mengenai hal itu supaya kamu mengerti. وَ لَا تَقۡرَبُوۡا مَالَ الۡیَتِیۡمِ  اِلَّا بِالَّتِیۡ  ہِیَ اَحۡسَنُ حَتّٰی یَبۡلُغَ اَشُدَّہٗ    -- dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim kecuali dengan cara yang paling baik hingga ia mencapai kedewasaannya. Dan  penuhilah sukatan dan timbangan dengan adil, لَا نُکَلِّفُ نَفۡسًا اِلَّا وُسۡعَہَا  -- Kami tidak membebani  suatu jiwa melainkan menurut kemampuannya. Dan apabila kamu berkata  maka hendaklah berlaku adil walau pun itu terhadap   kerabat, وَ بِعَہۡدِ اللّٰہِ اَوۡفُوۡا  -- dan  sempurnakanlah janji dengan Allah. Demikianlah Dia telah memerintahkan mengenai hal itu kepada kamu supaya kamu ingat.”  وَ  اَنَّ  ہٰذَا صِرَاطِیۡ مُسۡتَقِیۡمًا فَاتَّبِعُوۡہُ  --   dan katakanlah:   Inilah jalan-Ku yang lurus maka  ikutilah jalan ini,  وَ لَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ  فَتَفَرَّقَ  بِکُمۡ عَنۡ سَبِیۡلِہٖ   -- dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan yang lain karena jalan itu akan mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Demikianlah Dia telah memerintahkan  mengenai hal itu kepada kamu  supaya kamu bertakwa.” (Al-An’ām [6]:152-154). Lihat pula QS.17:24-40.

Kedudukan Mulia Kedua Orang Tua Setelah Allah Swt.

        Dalam berbagai tempat Allah Swt. selalu menempatkan urutan larangan melakukan syirik (kemusyrikan) dengan perintah berlaku baik terhadap kedua orang tua, sebab dari antara seluruh manusia – kecuali para Rasul Allah – orang-orang yang secara alami memperagakan Sifat-sifat Allah Swt. dalam memelihara makhluknya adalah sikap kedua orang tua terhadap anak-anak mereka (QS.31:13-16).
        Oleh karena  itu alangkah malangnya nasib   kepala keluarga (suami) yang karena terlalu mencintai istri dan anak-anaknya, sehingga  membuat mereka   lalai dari  dzikr Ilahi dan melalaikan kewajiban mereka pengkhidmatan mereka terhadap kedua orangtuanya (QS.17:24-25).
       Jadi, kembali kepada firman-Nya dalam Surah Al-Munāfiqūn  ayat  10:  “Hai orang-orang yang beriman, لَا تُلۡہِکُمۡ اَمۡوَالُکُمۡ  وَ لَاۤ  اَوۡلَادُکُمۡ عَنۡ ذِکۡرِ اللّٰہِ  -- janganlah  harta kamu dan anak-anak kamu melalaikan kamu dari mengingat Allah, ۚ وَ مَنۡ یَّفۡعَلۡ  ذٰلِکَ  فَاُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡخٰسِرُوۡنَ  -- dan barangsiapa  berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi,”   jelaslah bahwa yang dimaksud dengan peringatan Allah Swt. tersebut tertuju kepada setiap kepala keluarga (suami) agar kecintaan mereka terhadap keluarga (anak-istri) jangan melampaui batas sehingga mereka melupakan  kewajiban melaksanakan  syariat  (hukum-hukum agama), yang dalam ayat tersebut dikatakan  sebagai “lalai dari mengingat Allah Swt.”
        Selanjutnya Allah Swt. menasihati  para kepala keluarga (suami) tersebut:    وَ اَنۡفِقُوۡا مِنۡ مَّا  رَزَقۡنٰکُمۡ مِّنۡ  قَبۡلِ اَنۡ یَّاۡتِیَ  اَحَدَکُمُ  الۡمَوۡتُ  --      dan belanjakanlah dari apa yang telah Kami rezekikan kepada kamu sebelum kematian menimpa seseorang dari antara kamu, (Al-Munafiqūn [10]:11).
       Peringatan Allah Swt. tersebut penting mendapat perhatian khusus, sebab jika tidak maka mereka akan termasuk orang-orang yang menyesali kebodohannya, karena telah menyia-nyiakan waktu dan kekayaannya  untuk menyenangkan  keluarganya (anak-istrinya), sebagaimana kelanjutan  firman-Nya tersebut:  فَیَقُوۡلَ  رَبِّ لَوۡ لَاۤ  اَخَّرۡتَنِیۡۤ  اِلٰۤی  اَجَلٍ قَرِیۡبٍ ۙ    --  lalu ia berkata:  Hai Rabb-ku (Tuhan-ku), seandainya Engkau  menangguhkan sebentar batas waktuku,  فَاَصَّدَّقَ اَکُنۡ  مِّنَ  الصّٰلِحِیۡنَ      وَ  -- dan   tentu aku akan bersedekah dan menjadi termasuk orang-orang yang saleh.” (Al-Munafiquūn [10]:11-12).
        Selanjutnya mengenai ketentuan ajal  (jangka waktu) seseorang atau suatu bangsa (kaum – QS.7:35-37),  Allah Swt. berfirman jika  ajal (jangka waktu) tersebut datang:  وَ لَنۡ  یُّؤَخِّرَ اللّٰہُ  نَفۡسًا  اِذَا جَآءَ اَجَلُہَا ؕ وَ اللّٰہُ  خَبِیۡرٌۢ  بِمَا تَعۡمَلُوۡنَ  -- dan Allah  tidak pernah   menangguhkan suatu jiwa  apabila batas waktunya  telah tiba, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.  (Al-Munafiquūn [10]:12).
    Bila jiwa (seseorang)  dalam hidupnya telah  kehilangan kesempatan yang dianugerahkan Allah Swt. kepadanya untuk berbakti pada suatu perjuangan yang baik maka ia tidak akan memperolehnya untuk mengulanginya lagi setelah kematian menghampirinya. Itulah makna peringatan-peeringatan Allah Swt. kepada para kepala keluarga dalam Surah At-Taghābun ayat 15-19  dan Surah Al-Munāfiqun ayat 10-12.

Penyesalan Orang-orang yang Telah Menyia-nyiakan Harta Kekayaan Untuk Memanjakan Keluarganya

       Dalam  Bab 322  dan dalam berbagai Bab sebelumnya,  telah dikemukakan  mengenai kesakralan lembaga  pernikahan  dalam ajaran Islam (Al-Quran), sehingga Allah Swt. telah menjadi  rumah-tangga (keluarga) Nabi Nuh a.s. dan Nabi Luth a.s.  dengan istri-istri durhaka kedua orang suci tersebut  sebagai misal (perumpamaan) kaum atau orang-orang kafir  yang mendustakan dan menentang “suami ruhani” mereka, yaitu Rasul Allah yang dibangkitkan di antara mereka (QS.7:35-37), firman-Nya:
ضَرَبَ اللّٰہُ  مَثَلًا  لِّلَّذِیۡنَ  کَفَرُوا امۡرَاَتَ  نُوۡحٍ وَّ امۡرَاَتَ  لُوۡطٍ ؕ کَانَتَا تَحۡتَ عَبۡدَیۡنِ مِنۡ عِبَادِنَا صَالِحَیۡنِ فَخَانَتٰہُمَا فَلَمۡ یُغۡنِیَا عَنۡہُمَا مِنَ اللّٰہِ شَیۡئًا وَّ قِیۡلَ ادۡخُلَا  النَّارَ مَعَ الدّٰخِلِیۡنَ﴿﴾
Allah mengemukakan istri Nuh  dan istri Luth sebagai misal bagi orang-orang kafir. Keduanya di bawah dua hamba dari hamba-hamba Kami yang saleh, tetapi keduanya berbuat khianat  kepada kedua suami mereka, maka mereka berdua sedikit pun tidak dapat membela kedua istri mereka itu di hadapan Allah, dan dikatakan kepada mereka: Masuklah kamu berdua ke dalam Api beserta orang-orang yang masuk.” (At-Tahrīm [66]:11).
      Tidak ada alasan bagi siapa pun untuk menyalahkan Nabi Nuh a.s. mau pun Nabi Luth a.s. mengenai kedurhakaan istri-istri mereka terhadap kenabian (kerasulan)   kedua orang suci tersebut, sebab pasti  kedua Rasul Allah   tersebut  telah berusaha sejauh  kemampuannya untuk menyampaikan kebenaran risalat  yang dianugerahkan Allah Swt. kepada keduanya.
      Hal ini penting dikemukakan, agar tidak ada alasan atau dalih bagi siapa pun yang memiliki kecenderungan untuk melakukan pelanggaran ketentuan syariat    -- termasuk dalam masalah aturan pernikahan – untuk mengatakan   Rasul Allah    saja  keadaannya rumahtangganya seperti itu, apalagi kami yang hanya manusia-manusia biasa!”
        Jadi, pasti Nabi Nuh a.s. dan Nabi Luth a.s. dalam kedudukannya sebagai “suami ruhani” yang berpangkat “Rasul Allah”, tentu  kedua orang suami yang suci tersebut  telah melaksanakan   berbagai upaya,  sesuai dengan firman Allah Swt.  berikut ini:
یٰۤاَیُّہَا  الَّذِیۡنَ  اٰمَنُوۡۤا اِنَّ مِنۡ اَزۡوَاجِکُمۡ وَ اَوۡلَادِکُمۡ عَدُوًّا  لَّکُمۡ فَاحۡذَرُوۡہُمۡ ۚ  وَ  اِنۡ  تَعۡفُوۡا وَ تَصۡفَحُوۡا وَ تَغۡفِرُوۡا  فَاِنَّ اللّٰہَ  غَفُوۡرٌ  رَّحِیۡمٌ ﴿﴾  اِنَّمَاۤ  اَمۡوَالُکُمۡ وَ اَوۡلَادُکُمۡ  فِتۡنَۃٌ ؕ وَ اللّٰہُ  عِنۡدَہٗۤ   اَجۡرٌ  عَظِیۡمٌ ﴿﴾  فَاتَّقُوا اللّٰہَ  مَا  اسۡتَطَعۡتُمۡ وَ اسۡمَعُوۡا وَ اَطِیۡعُوۡا وَ اَنۡفِقُوۡا خَیۡرًا  لِّاَنۡفُسِکُمۡ ؕ وَ مَنۡ یُّوۡقَ شُحَّ نَفۡسِہٖ  فَاُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡمُفۡلِحُوۡنَ ﴿﴾  اِنۡ  تُقۡرِضُوا اللّٰہَ  قَرۡضًا حَسَنًا یُّضٰعِفۡہُ لَکُمۡ  وَ یَغۡفِرۡ لَکُمۡ ؕ وَ اللّٰہُ  شَکُوۡرٌ  حَلِیۡمٌ ﴿ۙ۱۷﴾  عٰلِمُ  الۡغَیۡبِ وَ الشَّہَادَۃِ  الۡعَزِیۡزُ الۡحَکِیۡمُ ﴿٪﴾  
Hai, orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istri kamu dan anak-anak kamu adalah musuh bagimu, maka waspadalah terhadap mereka, وَ  اِنۡ  تَعۡفُوۡا وَ تَصۡفَحُوۡا وَ تَغۡفِرُوۡا  فَاِنَّ اللّٰہَ  غَفُوۡرٌ  رَّحِیۡمٌ  -- dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi dan mengampuni, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.  اِنَّمَاۤ  اَمۡوَالُکُمۡ وَ اَوۡلَادُکُمۡ  فِتۡنَۃٌ ؕ وَ اللّٰہُ  عِنۡدَہٗۤ   اَجۡرٌ  عَظِیۡمٌ --  Sesungguhnya  harta kamu dan  anak-anakmu adalah fitnah (ujian), dan Allah di sisi-Nya ganjaran yang besar. فَاتَّقُوا اللّٰہَ  مَا  اسۡتَطَعۡتُمۡ وَ اسۡمَعُوۡا وَ اَطِیۡعُوۡا وَ اَنۡفِقُوۡا خَیۡرًا  لِّاَنۡفُسِکُمۡ   --  maka bertakwalah kepada Allah sejauh kesanggupan kamu, dan dengarlah serta taatlah, dan belanjakanlah harta kamu di jalan-Nya, hal itu baik bagi diri kamu.  وَ مَنۡ یُّوۡقَ شُحَّ نَفۡسِہٖ  فَاُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡمُفۡلِحُوۡنَ --   Dan barangsiapa dipelihara dari kekikiran dirinya maka mereka itulah orang-orang yang berhasil. اِنۡ  تُقۡرِضُوا اللّٰہَ  قَرۡضًا حَسَنًا یُّضٰعِفۡہُ لَکُمۡ  وَ یَغۡفِرۡ لَکُمۡ ؕ وَ اللّٰہُ  شَکُوۡرٌ  حَلِیۡمٌ  --  Jika kamu meminjamkan kepada Allah suatu pinjaman yang baik, niscaya Dia akan melipat-gandakan bagimu dan akan mengampuni kamu. Dan Allah Maha Menghargai, Maha Penyantun,   عٰلِمُ  الۡغَیۡبِ وَ الشَّہَادَۃِ  الۡعَزِیۡزُ الۡحَکِیۡمُ -- Dia Maha Mengetahui yang gaib dan yang nampak, Maha Perkasa, Maha Bijaksana. (At-Taghābun [64]:15-19).
        Kemudian sehubungan keberadaan “musuh” di lingkungan keluarga – berupa kecintaan berlebihan kepada istri dan anak keturunan -- selanjutnya Allah Swt. memperingatkan kepala keluarga (suami) , firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا  الَّذِیۡنَ  اٰمَنُوۡا  لَا تُلۡہِکُمۡ اَمۡوَالُکُمۡ  وَ لَاۤ  اَوۡلَادُکُمۡ عَنۡ ذِکۡرِ اللّٰہِ ۚ وَ مَنۡ یَّفۡعَلۡ  ذٰلِکَ  فَاُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡخٰسِرُوۡنَ ﴿﴾  وَ اَنۡفِقُوۡا مِنۡ مَّا  رَزَقۡنٰکُمۡ مِّنۡ  قَبۡلِ اَنۡ یَّاۡتِیَ  اَحَدَکُمُ  الۡمَوۡتُ فَیَقُوۡلَ  رَبِّ لَوۡ لَاۤ  اَخَّرۡتَنِیۡۤ  اِلٰۤی  اَجَلٍ قَرِیۡبٍ ۙ فَاَصَّدَّقَ وَ  اَکُنۡ  مِّنَ  الصّٰلِحِیۡنَ ﴿﴾  وَ لَنۡ  یُّؤَخِّرَ اللّٰہُ  نَفۡسًا  اِذَا جَآءَ اَجَلُہَا ؕ وَ اللّٰہُ  خَبِیۡرٌۢ  بِمَا تَعۡمَلُوۡنَ ﴿٪﴾
Hai orang-orang yang beriman, لَا تُلۡہِکُمۡ اَمۡوَالُکُمۡ  وَ لَاۤ  اَوۡلَادُکُمۡ عَنۡ ذِکۡرِ اللّٰہِ  -- janganlah  harta kamu dan anak-anak kamu melalaikan kamu dari mengingat Allah, ۚ وَ مَنۡ یَّفۡعَلۡ  ذٰلِکَ  فَاُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡخٰسِرُوۡنَ  -- dan barangsiapa  berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi.  وَ اَنۡفِقُوۡا مِنۡ مَّا  رَزَقۡنٰکُمۡ مِّنۡ  قَبۡلِ اَنۡ یَّاۡتِیَ  اَحَدَکُمُ  الۡمَوۡتُ  --      dan belanjakanlah dari apa yang telah Kami rezekikan kepada kamu sebelum kematian menimpa sese-orang dari antara kamu, فَیَقُوۡلَ  رَبِّ لَوۡ لَاۤ  اَخَّرۡتَنِیۡۤ  اِلٰۤی  اَجَلٍ قَرِیۡبٍ ۙ   -- lalu ia berkata:  Hai Rabb-ku (Tuhan-ku), seandainya Engkau  menangguhkan sebentar batas waktuku,  فَاَصَّدَّقَ اَکُنۡ  مِّنَ  الصّٰلِحِیۡنَ      وَ  -- dan   tentu aku akan bersedekah dan menjadi termasuk orang-orang yang saleh.”  وَ لَنۡ  یُّؤَخِّرَ اللّٰہُ  نَفۡسًا  اِذَا جَآءَ اَجَلُہَا ؕ وَ اللّٰہُ  خَبِیۡرٌۢ  بِمَا تَعۡمَلُوۡنَ  -- dan Allah  tidak pernah   menangguhkan suatu jiwa  apabila batas waktunya  telah tiba, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.  (Al-Munafiquūn [10]:10-12).

Makna Hari yang  di Dalamnya Tidak  Ada Lagi “Jual-beli, Persahabatan, dan Syafaat

    Peringatan Allah Swt.  untuk mewaspadai “musuh-musuh” dalam keluarga tersebut  secara khusus tertuju kepada para suami atau kepala keluarga, tetapi dalam firman-Nya berikut ini peringatan yang sama tertuju kepada kaum atau umat beragama mengenai  keberadaan suatu “hari” (zaman),  ketika di dalamnya tidak ada lagi “jual-beli, persahabatan, dan syafaat dengan dan dari Allah Swt., walau pun aktifitas keagamaan  di kalangan umat beragama tetap berlangsung,  firman-Nya:     
یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡۤا اَنۡفِقُوۡا مِمَّا رَزَقۡنٰکُمۡ مِّنۡ قَبۡلِ اَنۡ یَّاۡتِیَ یَوۡمٌ لَّا بَیۡعٌ  فِیۡہِ وَ لَا خُلَّۃٌ وَّ لَا شَفَاعَۃٌ ؕ وَ الۡکٰفِرُوۡنَ ہُمُ  الظّٰلِمُوۡنَ ﴿﴾
Hai orang-orang yang beriman,  belanjakanlah apa yang telah Kami rezekikan kepada kamu  مِّنۡ قَبۡلِ اَنۡ یَّاۡتِیَ یَوۡمٌ لَّا بَیۡعٌ فِیۡہِ وَ لَا خُلَّۃٌ وَّ لَا شَفَاعَۃٌ -- sebelum datang hari yang tidak ada jual-beli di dalamnya, tidak ada   persahabatan, dan  tidak pula syafaat,  وَ الۡکٰفِرُوۡنَ ہُمُ  الظّٰلِمُوۡنَ --  dan orang-orang yang kafir  mereka itulah orang-orang  zalim. (Al-Baqarah [2]:255).
      Pada hari itu keselamatan tidak akan diperoleh dengan jual-beli, karena keselamatan akan bergantung hanya pada amal saleh seseorang dan diiringi oleh rahmat  Allah Swt..  Makna ayat وَ لَا خُلَّۃٌ  (tidak ada persahabatan), yaitu  tidak akan ada kesempatan untuk mengadakan persahabatan baru pada hari itu. Sedangkan makna  وَّ لَا شَفَاعَۃٌ   -- dan  tidak pula ada syafaat.”
          Syafā’ah (syafaat) diserap dari syafa’a yang berarti: ia memberikan sesuatu yang mandiri bersama yang lainnya; menggabungkan sesuatu dengan sesamanya (Al-Mufradat).    Jadi kata syafa’at   mempunyai arti kesamaan atau persamaan,   kata itu juga berarti menjadi perantara atau mendoa untuk seseorang agar orang itu diberi karunia dan dosa-dosanya dimaafkan,  karena ia mempunyai perhubungan dengan si perantara.
         Hal ini mengandung pula arti bahwa pihak yang mengajukan permohonan  adalah orang yang mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada orang yang diperjuangkan nasibnya, dan pula mempunyai perhubungan yang mendalam dengan orang yang baginya ia menjadi perantara (Al-Mufradat dan Lisan-al-‘Arab). Syafā’ah (perantaraan) ditentukan oleh syarat-syarat berikut:
      (1) pemberi  syafaat  harus mempunyai perhubungan istimewa dengan orang yang baginya ia mau menjadi perantara dan menikmati kebaikan hatinya yang istimewa, sebab tanpa perhubungan demikian ia tidak akan berani memberikan  syafaat dan tidak pula syafaatnya  akan berhasil;
       (2) orang yang diperantarai (diberi syafaat) harus mempunyai perhubungan yang sejati dan nyata dengan pemberi syafaat itu, sebab  tidak ada yang orang mau memperantarai seseorang sekiranya orang yang diperantarai itu tidak mempunyai perhubungan sungguh-sungguh dengan perantara itu;  contohnya kedua istri durhaka Nabi Nuh a.s. dan Nabi Luth a.s..
       (3) orang yang meminta syafaat pada umumnya harus orang baik dan telah berusaha sungguh-sungguh untuk mendapatkan ridha Ilahi (QS.21:29), hanya saja telah terjatuh ke dalam kancah dosa pada saat ia dikuasai kelemahan;
      (4) syafaat itu hanya dapat dilakukan dengan izin khusus dari Allah Swt.. (QS.2:256; QS.10:4).
Syafaat sebagaimana  dipahami oleh Islam, pada hakikatnya hanya merupakan bentuk lain dari permohonan pengampunan, sebab taubat (mohon pengampunan) berarti memperbaiki kembali perhubungan yang terputus atau mengencangkan apa yang sudah longgar. Maka bila pintu taubat tertutup oleh kematian, pintu syafaat tetap terbuka.
  Tambahan pula syafaat  adalah suatu cara untuk menjelmakan kasih-sayang Allah Swt.   dan karena Allah Swt. . bukanlah  hakim, melainkan Mālik (Pemilik dan Majikan), maka tidak ada yang dapat mencegah Dia dari memperlihatkan kasih-sayang-Nya kepada siapa pun yang dikehendaki-Nya.

Yang Diberi Wewenang Oleh Allah Swt.  Memberikan “Syafaat” hanyalah Rasul Allah, Terutama Nabi Besar Muhammad saw.

      Selanjutnya Allah Swt. menjelaskan orang-orang yang diberi wewenang untuk  menerima baiat (jual-beli), persahabatan, dan memberikan syafaat, yaitu Rasul Allah, terutama Nabi Besar Muhammad saw. (QS.48:11), firman-Nya: 
اَللّٰہُ لَاۤ اِلٰہَ اِلَّا ہُوَۚ اَلۡحَیُّ الۡقَیُّوۡمُ ۬ۚ لَا تَاۡخُذُہٗ سِنَۃٌ وَّ لَا نَوۡمٌ ؕ لَہٗ مَا فِی السَّمٰوٰتِ وَ مَا فِی الۡاَرۡضِ ؕ مَنۡ ذَا الَّذِیۡ یَشۡفَعُ  عِنۡدَہٗۤ  اِلَّا بِاِذۡنِہٖ ؕ یَعۡلَمُ مَا بَیۡنَ اَیۡدِیۡہِمۡ وَ مَا خَلۡفَہُمۡ  ۚ وَ لَا یُحِیۡطُوۡنَ بِشَیۡءٍ مِّنۡ عِلۡمِہٖۤ اِلَّا بِمَا شَآءَ ۚ وَسِعَ کُرۡسِیُّہُ السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضَ ۚ وَ لَا یَـُٔوۡدُہٗ حِفۡظُہُمَا ۚ وَ ہُوَ الۡعَلِیُّ  الۡعَظِیۡمُ ﴿۲﴾
Allah, tidak ada Tuhan kecuali Dia   Yang Maha Hidup, Yang  Maha Tegak atas Dzat-Nya Sendiri dan Penegak segala sesuatu. Kantuk tidak menyentuh-Nya dan tidak pula tidur. Milik-Nya apa pun yang ada di seluruh langit dan apa pun  yang ada di bumi.  مَنۡ ذَا الَّذِیۡ یَشۡفَعُ  عِنۡدَہٗۤ  اِلَّا بِاِذۡنِہٖ  --  Siapakah yang dapat memberi syafaat di hadirat-Nya kecuali dengan izin-Nya? یَعۡلَمُ مَا بَیۡنَ اَیۡدِیۡہِمۡ وَ مَا خَلۡفَہُمۡ     --  Dia mengetahui apa pun yang ada di hadapan mereka dan apa pun di belakang me-reka, وَ لَا یُحِیۡطُوۡنَ بِشَیۡءٍ مِّنۡ عِلۡمِہٖۤ اِلَّا بِمَا شَآءَ  --  dan mereka tidak meliputi sesuatu dari ilmu-Nya kecuali apa yang Dia kehendaki.  وَسِعَ کُرۡسِیُّہُ السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضَ ۚ وَ لَا یَـُٔوۡدُہٗ حِفۡظُہُمَا ۚ وَ ہُوَ الۡعَلِیُّ  الۡعَظِیۡمُ  --  Singgasana ilmu-Nya  meliputi seluruh langit dan bumi,  dan tidak memberatkan-Nya menjaga keduanya, dan Dia Maha Tinggi, Maha Agung. (Al-Baqarah [2]:255).
       Kursiy berarti: singgasana, kursi, tembok penunjang; ilmu; kedaulatan  kekuasaan (Aqrab-al-Mawarid); Karāsi itu jamak dari kursiy dan berarti orang-orang terpelajar. Ayat itu dengan indah  menggambarkan Keesaan Allah Swt.  serta Sifat-sifat-Nya yang agung. Konon  Nabi Besar Muhammad saw. pernah bersabda bahwa Ayat Al-Kursiy itu ayat Al-Quran yang paling mulia (Muslim).
        Dengan demikian dapat dipastikan,    bahwa walau pun   Nabi Nuh a.s. dan Nabi Luth a.s.  berkedudukan sebagai rasul (nabi) Allah  yang mendapat izin untuk memberikan syafaat, tetapi kedua Rasul Allah tersebut  tidak mengajukan syafaat kepada Allah Swt. bagi istri-istri mereka yang durhaka kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya,  sehingga kedua istri durhaka tersebut bersama-sama kaum yang  mendustakan dan menentang   Nabi Nuh a.s. dan Nabi Luth a.s. menjadi “penghuni neraka jahannam”, bahkan dalam kehidupan di dunia ini juga,  firman-Nya: 
ضَرَبَ اللّٰہُ  مَثَلًا  لِّلَّذِیۡنَ  کَفَرُوا امۡرَاَتَ  نُوۡحٍ وَّ امۡرَاَتَ  لُوۡطٍ ؕ کَانَتَا تَحۡتَ عَبۡدَیۡنِ مِنۡ عِبَادِنَا صَالِحَیۡنِ فَخَانَتٰہُمَا فَلَمۡ یُغۡنِیَا عَنۡہُمَا مِنَ اللّٰہِ شَیۡئًا وَّ قِیۡلَ ادۡخُلَا  النَّارَ مَعَ الدّٰخِلِیۡنَ﴿﴾
Allah mengemukakan istri Nuh  dan istri Luth sebagai misal bagi orang-orang kafir. Keduanya di bawah dua hamba dari hamba-hamba Kami yang saleh, tetapi keduanya berbuat khianat  kepada kedua suami mereka, maka mereka berdua sedikit pun tidak dapat membela kedua istri mereka itu di hadapan Allah, dan dikatakan kepada mereka: Masuklah kamu berdua ke dalam Api beserta orang-orang yang masuk.” (At-Tahrīm [66]:11).
     Jadi, betapa sakralnya kedudukan pernikahan dalam ajaran Islam  (Al-Quran), karena di dalamnya mengandung berbagai hikmah yang sangat dalam berkenaan dengan masalah ketakwaan kepada Allah Swt. dan ketaatan kepada Rasul-Nya, terutama Nabi Besar Muhammad saw..

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid

                                                                              ***
Pajajaran Anyar,  6 September     2014