Minggu, 31 Agustus 2014

Makna Pernyataan Ke-Muslim-an yang Pertama Nabi Besar Muhammad Saw. & Beratnya Memikul "Amanat Syariat" Terakhir dan Tersempurna




بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم


 Khazanah Ruhani Surah  Shād


Bab   305

     Makna Pernyataan ke-Muslim-an  yang Pertama Nabi Besar Muhammad Saw. & Beratnya “Memikul“ Amanat Syariat  Terakhir dan Tersempurna
    

 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

D
alam bagian akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan mengenai makna “Muslim  (berserah diri) yang sebenarnya, sehubungan dengan ayat     وَ لَنَبۡلُوَنَّکُمۡ بِشَیۡءٍ مِّنَ الۡخَوۡفِ وَ الۡجُوۡعِ وَ نَقۡصٍ مِّنَ الۡاَمۡوَالِ وَ الۡاَنۡفُسِ وَ الثَّمَرٰتِ  --  dan  Kami niscaya  akan  menguji kamu dengan sesuatu berupa ketakutan, kelaparan,  kekurangan dalam harta,  jiwa dan buah-buahan,”   bahwa kaum Muslimin harus siap-sedia bukan saja mengorbankan jiwa mereka untuk kepentingan Islam tetapi mereka harus juga bersedia menderita segala macam kesedihan yang akan menimpa mereka sebagai cobaan atau ujian di jalan Allah Swt..
    Hikmah dari ayat  الَّذِیۡنَ اِذَاۤ  اَصَابَتۡہُمۡ مُّصِیۡبَۃٌ  --  yaitu orang-orang yang  apabila  suatu musibah menimpa mereka, ۙ قَالُوۡۤا اِنَّا لِلّٰہِ وَ  اِنَّاۤ اِلَیۡہِ رٰجِعُوۡنَ  -- mereka berkata:  Sesungguhnya kami  milik Allah dan sesungguhnya kepada-Nya-lah kami  kembali.       Allah Swt.  adalah Pemilik segala yang kita miliki, termasuk diri kita sendiri. Bila Sang Pemilik itu, sesuai dengan kebijaksanaan-Nya yang tidak ada batasnya, menganggap tepat untuk mengambil sesuatu dari kita, kita tidak punya alasan untuk berkeluh-kesah atau menggerutu.

Ke-Muslim-an Sempurna Nabi Besar Muhammad Saw.

  Oleh karena itu keliru beranggapan bahwa ucapan   اِنَّا لِلّٰہِ وَ  اِنَّاۤ اِلَیۡہِ رٰجِعُوۡنَ  --    Sesungguhnya kami  milik Allah dan sesungguhnya kepada-Nya-lah kami  kembali     hanya berhubungan dengan   kematian   saja, tetapi harus diucapkan juga   ketika orang-orang beriman mengalami berbagai ujian-ujian keimanan lainnya  sebagai  bukti keridhaan mereka terhadap kehendak Allah Swt., sebagai  bukti ke-Muslim-an (penyerahan diri) yang sempurna kepada Allah Swt.,  mengenai hal itu berikut firman-Nya kepada Nabi Besar Muhammad saw.:
قُلۡ  اِنَّنِیۡ ہَدٰىنِیۡ رَبِّیۡۤ  اِلٰی صِرَاطٍ مُّسۡتَقِیۡمٍ ۬ۚ دِیۡنًا قِیَمًا مِّلَّۃَ  اِبۡرٰہِیۡمَ حَنِیۡفًا ۚ وَ مَا کَانَ مِنَ الۡمُشۡرِکِیۡنَ ﴿﴾  قُلۡ  اِنَّ صَلَاتِیۡ  وَ نُسُکِیۡ وَ مَحۡیَایَ وَ مَمَاتِیۡ   لِلّٰہِ   رَبِّ  الۡعٰلَمِیۡنَ ﴿﴾ۙ   لَا شَرِیۡکَ لَہٗ ۚ وَ بِذٰلِکَ اُمِرۡتُ وَ اَنَا  اَوَّلُ الۡمُسۡلِمِیۡنَ ﴿﴾
Katakanlah: “Sesungguhnya aku telah diberi petunjuk oleh Rabb-ku (Tuhan-ku) kepada jalan lurus, agama yang teguh, مِّلَّۃَ  اِبۡرٰہِیۡمَ حَنِیۡفًا  -- agama Ibrahim yang lurus,  وَ مَا کَانَ مِنَ الۡمُشۡرِکِیۡنَ --  dan dia bukanlah dari   orang-orang musyrik.”  قُلۡ  اِنَّ صَلَاتِیۡ  وَ نُسُکِیۡ وَ مَحۡیَایَ وَ مَمَاتِیۡ   لِلّٰہِ   رَبِّ  الۡعٰلَمِیۡنَ   --  Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, pengorbananku,  kehidupanku, dan  kematianku  hanyalah untuk Allah, Rabb (Tuhan) seluruh  alam; لَا شَرِیۡکَ لَہٗ ۚ وَ بِذٰلِکَ اُمِرۡتُ وَ اَنَا  اَوَّلُ الۡمُسۡلِمِیۡنَ  -- tidak ada sekutu bagi-Nya, untuk itulah aku diperintahkan,  dan akulah orang pertama  yang berserah diri. (Al-An’ām [6]:162-164).
   Shalat, korban, hidup, dan mati meliputi seluruh bidang amal perbuatan manusia; dan  Nabi Besar Muhammad saw.  – untuk menjadi suri teladan terbaik  (QS.3:32; QS.33:22) --  diperintah   menyatakan bahwa semua segi kehidupan di dunia ini dipersembahkan oleh beliau saw. kepada Allah Swt.,  semua amal ibadah beliau  saw. dipersembahkan kepada  Allah Swt., semua pengorbanan dilakukan beliau saw. semata-mata untuk Dia; segala penghidupan dihibahkan beliau saw. untuk berbakti kepada-Nya, maka bila di jalan agama beliau saw. mencari maut (kematian), itu pun guna meraih keridhaan-Nya.
   Jadi, kematian di jalan Allah yang dicari-cari oleh Nabi Besar Muhammad saw. dan para Sahabah beliau saw. bukanlah kematian  melalui cara-cara yang bertentangan dengan ajaran Islam (Al-Quran) yang telah disunnahkan oleh Nabi Besar Muhammad saw. dan diamalkan oleh para Sahabah beliau saw. di masa awal, melainkan memperagakan  dalam bentuk amalan firman-Nya sebelum ini:
قُلۡ  اِنَّ صَلَاتِیۡ  وَ نُسُکِیۡ وَ مَحۡیَایَ وَ مَمَاتِیۡ   لِلّٰہِ   رَبِّ  الۡعٰلَمِیۡنَ ﴿﴾ۙ   لَا شَرِیۡکَ لَہٗ ۚ وَ بِذٰلِکَ اُمِرۡتُ وَ اَنَا  اَوَّلُ الۡمُسۡلِمِیۡنَ ﴿﴾
Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, pengorbananku,  kehidupanku, dan  kematianku  hanyalah untuk Allah, Rabb (Tuhan) seluruh  alam; لَا شَرِیۡکَ لَہٗ ۚ وَ بِذٰلِکَ اُمِرۡتُ -- tidak ada sekutu bagi-Nya, untuk itulah aku diperintahkan, وَ اَنَا  اَوَّلُ الۡمُسۡلِمِیۡنَ  --  dan akulah orang pertama  yang berserah diri. (Al-An’ām [6]:163-164).
  Mungkin  timbul pertanyaan: Apa makna   وَ اَنَا  اَوَّلُ الۡمُسۡلِمِیۡنَ  --  “dan akulah orang pertama  yang berserah diri,” padahal dalam ayat sebelumnya Nabi Besar Muhammad saw. hanyalah mengikuti ke-Muslim-an yang telah diperagakan oleh Nabi Ibrahim a.s. (QS.2:125).
Jawabannya adalah: Memang benar bahwa menurut Allah Swt. sejak awal agama diturunkan Allah Swt. kepada umat manusia melalui para  rasul Allah,   agama itu adalah Islam  dan pemeluknya di sebut Muslim (QS.3:20; QS.22:78-79), tetapi karena – sesuai dengan Sifat Rabbubiyyat Allah Sw. -- dari segi hukum-hukumnya, baik dari segi kuantitas maupun dari segi kualitasnya  masih dalam proses penyempurnaan, maka sampai dengan masa diutusnya Nabi Isa Ibu Maryam a.s. nama Islam  dan sebutan Muslim  belum diberikan Allah Swt. kepada “agama” yang diturunkan kepada para Rasul Allah pembawa syariat tersebut.

Kedatangan “Roh Kebenaran” Membawa “Seluruh Kebenaran

 Mengisyaratkan kepada kenyataan itulah penjelasan Allah Swt. melalui perkataan  Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. atau Yesus a.s. dalam Injil Yohanes (Yahya) berikut ini mengenai kedatangan Roh Kebenaran, yakni Nabi Besar Muhammad saw. dan agama Islam (Al-Quran):
16:12 Masih banyak hal yang harus Kukatakan kepadamu, tetapi sekarang kamu belum dapat menanggungnya.  16:13 Tetapi apabila Ia datang, yaitu Roh Kebenaran,  Ia akan memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran;   sebab Ia tidak akan berkata-kata dari diri-Nya sendiri, tetapi segala sesuatu yang didengar-Nya itulah yang akan dikatakan-Nya dan Ia akan memberitakan kepadamu hal-hal yang akan datang. (Injil Yohanes 16:12-13).
   Ucapan Nabi isa Ibu Maryam a.s.  tetapi sekarang kamu belum dapat menanggungnya” memperkuat kebenaran firman Allah Swt. dalam Al-Quran  mengenai “pingsannya” Nabi Musa a.s. dalam peristiwa ruhani di gunung Thur ketika beliau ingin menyaksikan tajalli Ilahi  (penampakan kebesaran-Nya – QS.7:143-144)) yang akan diperagakan oleh  nabi yang seperti Musa” yakni Nabi Besar Muhammad saw. (Ulangan 18:18; QS.46:11).
       Jadi, “pingsannya” Nabi Musa a.s. dalam peristiwa ruhani  di gunung Thur dan   ucapan Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. tersebut membuktikan benarnya firman Allah Swt. mengenai  penolakangunung-gunung, bumi dan  seluruh langit ketika “ditawari” Allah Swt. untuk  “memikul” amanat syariat terakhir dan tersempurna (agama Islam/Al-Quran – QS.5:4) karena Allah Swt. telah menakdirkan  bahwa hanya Insan kamil (manusia sempurna) --  Nabi Besar Muhammad saw. -- sajalah yang mampu “memikulnya” secara sempurna, firman-Nya:
اِنَّا عَرَضۡنَا الۡاَمَانَۃَ عَلَی السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ وَ الۡجِبَالِ فَاَبَیۡنَ اَنۡ یَّحۡمِلۡنَہَا وَ اَشۡفَقۡنَ مِنۡہَا     وَ حَمَلَہَا الۡاِنۡسَانُ ؕ اِنَّہٗ کَانَ ظَلُوۡمًا جَہُوۡلًا ﴿ۙ﴾  لِّیُعَذِّبَ اللّٰہُ  الۡمُنٰفِقِیۡنَ وَ الۡمُنٰفِقٰتِ وَ الۡمُشۡرِکِیۡنَ وَ الۡمُشۡرِکٰتِ وَ یَتُوۡبَ اللّٰہُ عَلَی الۡمُؤۡمِنِیۡنَ وَ  الۡمُؤۡمِنٰتِ ؕ وَ کَانَ اللّٰہُ  غَفُوۡرًا  رَّحِیۡمًا ﴿٪﴾
Sesungguhnya Kami telah  menawarkan amanat syariat kepada seluruh langit, bumi dan gunung-gunung, tetapi semuanya enggan me-mikulnya dan mereka takut terhadapnya,   وَ حَمَلَہَا الۡاِنۡسَانُ ؕ اِنَّہٗ کَانَ ظَلُوۡمًا جَہُوۡلًا  --  sedangkan insan  (manusia) memikulnya, sesungguhnya ia sanggup berbuat zalim dan  abai  terhadap dirinya. Supaya Allah akan menghukum orang-orang munafik lelaki dan orang-orang munafik perempuan, dan  orang-orang musyrik lelaki dan orang-orang musyrik perempuan,  dan Allah senantiasa kembali dengan kasih sayang kepada orang-orang lelaki   dan   perempuan-perempuan yang beriman, dan Allah adalah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (Al-Ahzāb [33]:73-74).
       Walau pun semua agama yang diwahyukan Allah Swt. kepada para Rasul Allah pembawa syariat  --   termasuk agama Islam (Al-Quran)  --  memiliki  ajaran pokok yang sama, yakni haququlLāh (pengamalan hak-hak Allah Swt.) dan haququl-‘ibād (pengamalan hak-hak sesama hamba Allah), tetapi dari segi kuantitas dan kualitas kesempurnaan hukum-hukumnya tidak sama.

Proses Penyempurnaan Hukum-hukum Syariat

       Menurut Allah Swt. yang paling sempurna dalam segala seginya adalah agama Islam (Al-Quran – QS.5:4), sebab agama Islam (Al-Quran  merupakan puncak kesempurnaan proses penyempurnaan hukum-hukum syariat (QS.2:107), yang disebut  oleh Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. sebagai “seluruh kebenaran” yang dibawa oleh Roh Kebenaran, firman-Nya:
مَا نَنۡسَخۡ مِنۡ اٰیَۃٍ اَوۡ نُنۡسِہَا نَاۡتِ بِخَیۡرٍ مِّنۡہَاۤ  اَوۡ مِثۡلِہَا ؕ اَلَمۡ تَعۡلَمۡ اَنَّ اللّٰہَ عَلٰی کُلِّ شَیۡءٍ  قَدِیۡرٌ ﴿ ﴾
Ayat  mana pun yang Kami mansukhkan   yakni batalkan atau Kami biarkan terlupa, maka Kami datangkan yang lebih baik darinya atau yang semisalnya. Apakah kamu tidak  mengetahui bahwa sesungguh-nya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu? (Al-Baqarah [2]:107).
         Ada kekeliruan dalam mengambil kesimpulan dari ayat ini bahwa beberapa ayat Al-Quran telah dimansukhkan (dibatalkan). Kesimpulan itu jelas salah dan tidak beralasan. Tidak ada sesuatu dalam ayat ini yang menunjukkan bahwa kata āyah itu maksudnya ayat-ayat Al-Quran, sebab Allah Swt. telah menjamin pemeliharaan-Nya terhadap  Al-Quran (QS.15:10).
         Dalam ayat sebelum dan sesudahnya telah disinggung mengenai Ahlul Kitab dan kedengkian  mereka terhadap wahyu baru yang menunjukkan bahwa āyah yang disebut dalam ayat ini sebagai mansukh (batal)  menunjuk kepada wahyu-wahyu syariat terdahulu.
         Dijelaskan bahwa Kitab Suci terdahulu mengandung dua macam perintah: (a) yang menghendaki penghapusan karena keadaan sudah berubah dan karena keuniversilan wahyu baru itu  menghendaki pembatalan; (b) yang mengandung kebenaran kekal-abadi, atau memerlukan penyegaran kembali sehingga orang dapat diingatkan kembali akan kebenaran yang terlupakan, karena itu perlu sekali menghapuskan bagian-bagian tertentu Kitab-kitab Suci itu dan mengganti dengan perintah-perintah baru dan pula menegakkan kembali perintah-perintah yang sudah hilang, maka Allah Swt.  menghapuskan beberapa bagian wahyu-wahyu terdahulu, menggantikannya dengan yang baru dan lebih baik, dan di samping itu memasukkan lagi bagian-bagian yang hilang dengan yang sama. Itulah arti yang sesuai dan cocok dengan konteks (letak) ayat ini dan dengan jiwa umum ajaran Al-Quran.
       Al-Quran telah    membatalkan semua Kitab Suci sebelumnya, sebab — mengingat keadaan umat manusia telah berubah — Al-Quran membawa syariat baru yang bukan saja lebih baik daripada semua syariat lama, tetapi ditujukan pula kepada seluruh umat manusia dari semua zaman. Karena itu ajaran yang lebih rendah dengan lingkup tugas yang terbatas harus memberikan tempatnya kepada ajaran yang lebih baik dan lebih tinggi dengan lingkup tugas universal, yakni agama Islam (Al-Quran – QS.5:4).
        Dalam ayat ini kata nansakh (Kami membatalkan) bertalian dengan kata bi-khairin (yang lebih baik), dan kata nunsiha (Kami biarkan terlupakan) bertalian dengan kata bi-mitslihā (yang semisalnya), maksudnya bahwa jika Allah Swt. menghapuskan sesuatu maka Dia menggantikannya dengan yang lebih baik, dan bila untuk sementara waktu Dia membiarkan sesuatu dilupakan orang, Dia menghidupkannya kembali pada waktu yang lain. Diakui oleh ulama-ulama Yahudi sendiri bahwa sesudah bangsa Yahudi diangkut sebagai tawanan ke Babil oleh Nebukadnezar, (QS.2:260) seluruh Taurat (lima Kitab Nabi Musa a.s..) telah hilang (Encyclopaedia Biblica).
      Mengisyaratkan kepada kenyataan kesinambungan  perpindahan nikmat kenabian dan kerajaan itulah  di kalangan umat beragama  (QS.5:21) firman Allah Swt. berikut ini:
قُلِ اللّٰہُمَّ مٰلِکَ الۡمُلۡکِ تُؤۡتِی الۡمُلۡکَ مَنۡ تَشَآءُ وَ تَنۡزِعُ الۡمُلۡکَ مِمَّنۡ تَشَآءُ ۫ وَ تُعِزُّ مَنۡ تَشَآءُ وَ تُذِلُّ مَنۡ تَشَآءُ ؕ بِیَدِکَ الۡخَیۡرُ ؕ اِنَّکَ عَلٰی کُلِّ شَیۡءٍ قَدِیۡرٌ ﴿﴾  تُوۡلِجُ الَّیۡلَ فِی النَّہَارِ وَ تُوۡلِجُ النَّہَارَ فِی الَّیۡلِ ۫ وَ تُخۡرِجُ الۡحَیَّ مِنَ الۡمَیِّتِ وَ تُخۡرِجُ الۡمَیِّتَ مِنَ الۡحَیِّ ۫ وَ تَرۡزُقُ مَنۡ تَشَآءُ بِغَیۡرِ  حِسَابٍ ﴿﴾
Katakanlah: “Wahai  Allah, Pemilik kedaulatan, Engkau  memberikan kedaulatan kepada siapa yang Engkau kehendaki, dan Engkau  mencabut kedaulatan dari siapa yang Engkau kehendaki,   Engkau  memuliakan siapa yang Engkau kehendaki, dan Engkau  menghinakan siapa yang Engkau kehendaki, di tangan Engkau-lah segala kebaikan, sesungguhnya  Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.   Engkau memasukkan malam ke dalam siang dan Engkau  memasukkan siang ke dalam malam.  Engkau mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan Engkau mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan  Engkau memberi rezeki kepada siapa yang Engkau kehendaki tanpa hi-sab.” (Ali ‘Imran [3]:27-28).

Rasul-rasul Allah Harus Menjadi Pengamal Pertama Hukum-hukum Syariat 

         Karena sudah  merupakan kewajiban para  rasul Allah pembawa syariat  untuk memperagakan dalam bentuk amal perbuatan  agar  diamalkan oleh para pengikutnya dalam kehidupan mereka, maka dalam makna itulah Nabi Besar Muhammad saw.    --  yang menerima syariat terakhir dan tersempurna -- telah diperintahkan Allah Swt. untuk mengucapkan وَ اَنَا  اَوَّلُ الۡمُسۡلِمِیۡنَ  --  dan akulah orang pertama  yang berserah diri. (Al-An’ām [6]:164).
      Mengapa demikian?  Sebab    seluruh segi kehidupan beliau saw. benar-benar merupakan pengamalan nyata  yang paling sempurna dari hukum-hukum Islam (Al-Quran) --  sebagaimana diisyaratkan dalam ayat sebelumnya   --  agar beliau saw. dapat menjadi suri teladan terbaik (QS.3:1:32; QS.33:22), firman-Nya:
قُلۡ  اِنَّ صَلَاتِیۡ  وَ نُسُکِیۡ وَ مَحۡیَایَ وَ مَمَاتِیۡ   لِلّٰہِ   رَبِّ  الۡعٰلَمِیۡنَ ﴿﴾ۙ   لَا شَرِیۡکَ لَہٗ ۚ وَ بِذٰلِکَ اُمِرۡتُ وَ اَنَا  اَوَّلُ الۡمُسۡلِمِیۡنَ ﴿﴾
Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, pengorbananku,  kehidupanku, dan  kematianku  hanyalah untuk Allah, Rabb (Tuhan) seluruh  alam; لَا شَرِیۡکَ لَہٗ ۚ وَ بِذٰلِکَ اُمِرۡتُ -- tidak ada sekutu bagi-Nya, untuk itulah aku diperintahkan, وَ اَنَا  اَوَّلُ الۡمُسۡلِمِیۡنَ  --  dan akulah orang pertama  yang berserah diri. (Al-An’ām [6]:163-164).
        Mengisyaratkan kepada kenyataan itu pulalah jawaban ringkas istri Nabi Besar Muhammad saw.   – Siti ‘Aisyah r.a. – ketika ditanya oleh seseorang mengenai keadaan akhlak Nabi Besar Muhammad saw.: “Kāna  khuluquhul- qurān”  yakni akhlaknya adalah Al-Quran.”
Diriwayatkan oleh Ibnul Munzir, Ibnu Mardawaih dan Al Baihaqi dari sahabat Abud- Dardaa' r.a., ia berkata : ''Siti 'Aisyah r.a. pernah ditanya tentang perangai Rasulullah s.a.w., lalu ia berkata  ''Kaana khuluquhul qur-an, Yardha liridhahu wa yaskhatu lisakhatihi.''  (Perangai beliau itu adalah  Al Qur'an. Beliau suka karena sukanya (Al Quran), dan beliau benci karena bencinya (Al Qur'an).''
        Mengapa penting bagi  Nabi Besar Muhammad saw. untuk mengamalkan  semua petunjuk Al-Quran? Sebab jika tidak maka beliau saw. tidak mungkin akan menjadi “suri teladan terbaik  (QS.33:22; QS.3:32), dan akan terkena peringatan keras Allah Swt. berikut ini:
یٰۤاَیُّہَا الرَّسُوۡلُ بَلِّغۡ  مَاۤ اُنۡزِلَ اِلَیۡکَ  مِنۡ رَّبِّکَ ؕ وَ  اِنۡ لَّمۡ تَفۡعَلۡ فَمَا بَلَّغۡتَ رِسَالَتَہٗ ؕ وَ اللّٰہُ یَعۡصِمُکَ مِنَ النَّاسِ ؕ اِنَّ اللّٰہَ  لَا یَہۡدِی الۡقَوۡمَ الۡکٰفِرِیۡنَ ﴿﴾
Hai Rasul,  sampaikanlah apa yang diturunkan kepada engkau dari Rabb (Tuhan) engkau, dan jika engkau tidak melakukan hal itu maka engkau sekali-kali tidak menyampaikan amanat-Nya.  Dan Allah akan melindungi  engkau dari  manusia, sesungguhnya Allah tidak akan memberi petunjuk kepada kaum kafir. (Al-Māidah  [5]:68).
        Kata-kata  وَ  اِنۡ لَّمۡ تَفۡعَلۡ فَمَا بَلَّغۡتَ رِسَالَتَہٗ   --  dan jika engkau tidak melakukan hal itu maka engkau sekali-kali tidak menyampaikan amanat-Nya,”  tidak menunjukkan suatu kelalaian dari pihak  Nabi Besar Muhammad saw.  dalam menyampaikan amanat Ilahi. Kata-kata itu hanya menyatakan satu kaidah umum bahwa seseorang yang tidak menyampaikan sebagian amanat yang dipercayakan kepadanya sebenarnya ia tidak menyampaikannya sama sekali.
    Ungkapan  وَ اللّٰہُ یَعۡصِمُکَ مِنَ النَّاسِ  -- “Dan Allah akan melindungi  engkau dari manusia,” itu berarti bahwa Allah Swt.   tidak akan membiarkan orang-orang kafir mengambil nyawa  Nabi Besar Muhammad saw.   atau melumpuhkan beliau saw. untuk selama-lamanya, sehingga beliau  saw. idak mampu lagi melakukan tugas kerasulan beliau saw..

Pembatalan Larangan Ayah Angkat Menikahi Janda Anak Angkat

     Salah satu contoh beratnya “memikul amanat” (syariat) Islam  yang harus dilaksanakan oleh Nabi Besar Muhammad saw.  adalah dalam masalah peraturan pernikahan.  Yakni  untuk membatalkan adat-istiadat jahiliyah bangsa Arab   Nabi Besar Muhammad saw. telah diperintahkan  Allah Swt.   menikahi Siti Zainab r.a., bekas istri (janda) dari anak angkat beliau saw. (Zaid bin Haristsah r.a.  – QS.33:37-40),   padahal menurut adat kebiasaan jahiliyah bangsa Arab   kedudukan anak angkat  sama  dengan anak kandung, sehingga menurut  mereka seorang ayah angkat tidak boleh (dilarang) menikahi janda anak-angkatnya, sedangkan  menurut Allah Swt. tidak demikian (QS.33:5-6).
       Itulah latar-belakang  Allah Swt. telah memerintahkan Nabi Besar Muhammad saw. untuk menikahi Siti Zainab r.a., mantan istri Zaid bin Haritsah r.a.   – anak angkat beliau saw.. --  yang menimbulkan kegemparan di kalangan bangsa Arab jahiliyah  dan membuat kebengkokan hati mereka semakin menjadi-jadi  dalam melakukan penentangan  terhadap beliau saw.. 
       Dengan demikian benarlah firman Allah Swt. berikut ini mengenai kepatuh-taat sempurna atau penyerahan diri sempurna  – yakni ke-Muslim-an   --  Nabi Besar Muhammad saw.    terhadap seluruh  kehendak Allah Swt., dan kehendak Allah Swt.  tersebut telah diabadikan dalam bentuk kesempurnaan syariat Islam (Al-Quran -- QS.5:4), sehingga beliau saw. diperintahkan untuk menyatakan:  وَ اَنَا  اَوَّلُ الۡمُسۡلِمِیۡنَ  --  dan akulah orang pertama  yang berserah diri. (Al-An’ām [6]:164) dalam kuantias dan kualitasnya yang paling sempurna, firman-Nya:
مَا کَانَ عَلَی النَّبِیِّ مِنۡ حَرَجٍ فِیۡمَا فَرَضَ اللّٰہُ  لَہٗ ؕ سُنَّۃَ اللّٰہِ  فِی الَّذِیۡنَ خَلَوۡا مِنۡ قَبۡلُ ؕ وَ کَانَ  اَمۡرُ  اللّٰہِ   قَدَرًا مَّقۡدُوۡرَۨا ﴿۫ۙ﴾  الَّذِیۡنَ یُبَلِّغُوۡنَ  رِسٰلٰتِ اللّٰہِ وَ یَخۡشَوۡنَہٗ  وَ لَا یَخۡشَوۡنَ  اَحَدًا  اِلَّا اللّٰہَ ؕ وَ کَفٰی  بِاللّٰہِ  حَسِیۡبًا ﴿﴾  مَا کَانَ مُحَمَّدٌ اَبَاۤ  اَحَدٍ مِّنۡ رِّجَالِکُمۡ وَ لٰکِنۡ رَّسُوۡلَ اللّٰہِ وَ خَاتَمَ  النَّبِیّٖنَ ؕ وَ  کَانَ اللّٰہُ  بِکُلِّ شَیۡءٍ عَلِیۡمًا ﴿٪﴾

Sekali-kali tidak ada keberatan atas Nabi mengenai  apa yang telah diwajibkan Allah kepadanya. Inilah sunnah Allah yang Dia tetapkan terhadap orang-orang yang telah berlalu sebelumnya, dan perintah Allah adalah suatu keputusan yang telah ditetapkanOrang-orang yang menyampaikan amanat Allah dan  takut kepada-Nya, dan tidak ada mereka takut siapa pun selain Allah, dan cukuplah Allāh sebagai Penghisab.   مَا کَانَ مُحَمَّدٌ اَبَاۤ  اَحَدٍ مِّنۡ رِّجَالِکُمۡ وَ لٰکِنۡ رَّسُوۡلَ اللّٰہِ وَ خَاتَمَ  النَّبِیّٖنَ ؕ وَ  کَانَ اللّٰہُ  بِکُلِّ شَیۡءٍ عَلِیۡمًا  -- Muhammad bukanlah bapak salah seorang laki-laki di antara laki  kamu, akan tetapi ia adalah Rasul Allah dan meterai sekalian nabi,   dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Al-Ahzāb [33]:39-41).

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
                                                                              ***
Pajajaran Anyar,  10 Agustus     2014