Rabu, 13 November 2013

Nabi Besar Muhammad Saw. & Peragaan Sifat "Rabbubiyyat" Allah Sw.




بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ

Khazanah Ruhani Surah  Shād

Bab  70

        Nabi Besar Muhammad Saw. & Peragaan Sifat Rabbubiyyat Allah Swt   

Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

Dalam akhir  Bab sebelumnya  telah dikemukakan  mengenai    pelaku ihsan   yang  di dalam Al-Quran Allah Swt. menyebut mereka muhsin (orang yang berbuat ihsan) firman-Nya mengenai  ketidakbenaran pendakwaan  orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani:
وَ قَالُوۡا لَنۡ یَّدۡخُلَ الۡجَنَّۃَ اِلَّا مَنۡ کَانَ ہُوۡدًا اَوۡ نَصٰرٰی ؕ تِلۡکَ اَمَانِیُّہُمۡ ؕ قُلۡ ہَاتُوۡا بُرۡہَانَکُمۡ  اِنۡ کُنۡتُمۡ صٰدِقِیۡنَ ﴿﴾ بَلٰی ٭  مَنۡ اَسۡلَمَ وَجۡہَہٗ  لِلّٰہِ وَ ہُوَ  مُحۡسِنٌ فَلَہٗۤ اَجۡرُہٗ عِنۡدَ رَبِّہٖ ۪ وَ لَا خَوۡفٌ عَلَیۡہِمۡ  وَ لَا ہُمۡ  یَحۡزَنُوۡنَ ﴿﴾٪
Dan mereka berkata:  Tidak akan pernah ada yang akan masuk surga, kecuali orang-orang Yahudi atau Nasrani.”  Ini hanyalah angan-angan mereka belaka. Katakanlah: “Kemukakanlah bukti-bukti kamu, jika kamu sungguh orang-orang yang benar.” Tidak demikian, bahkan yang benar ialah  barangsiapa menyerahkan dirinya   kepada  Allah dan ia berbuat ihsan maka baginya ada ganjaran di sisi  Rabb-nya (Tuhan-nya),   tidak ada ketakutan atas mereka dan tidak pula mereka akan bersedih. (Al-Baqarah [2]:112-113).

Tiga Tingkatan Keadaan Jiwa Manusia: Fana, Baqa,  dan Liqa
 &  Ke-Muslim-an Sempurna Nabi Besar Muhammad Saw.

      Dalam ayat 112 orang-orang Yahudi dan Kristen kedua-duanya berkhayal kosong bahwa hanya orang Yahudi atau Kristen saja yang dapat meraih najat (keselamatan) atau  menjadi penghuni surga. Hal tersebut dibantah oleh Allah Swt. dengan menyatakan  bahwa  siapa pun mereka itu asalkan saja bersikap aslama  (muslim)  -- yakni berserah diri kepada Allah Swt. --   مَنۡ اَسۡلَمَ وَجۡہَہٗ  لِلّٰہِ   --   kemudian  وَ ہُوَ  مُحۡسِنٌ   -- dia melakukan ihsan   yakni sebagai  muhsin,   فَلَہٗۤ اَجۡرُہٗ عِنۡدَ رَبِّہ َ  --   "”maka baginya ada ganjaran di sisi  Rabb-nya (Tuhan-nya),”    mereka itu pasti akan menjadi “penghuni surga,   baik di dalam kehidupan di dunia ini mau pun di akhirat nanti,  yakni   وَ لَا خَوۡفٌ عَلَیۡہِمۡ  وَ لَا ہُمۡ  یَحۡزَنُوۡنَ  -- “tidak ada ketakutan atas mereka dan tidak pula mereka akan bersedih.”
      Wajh  dalam ayat ٭  مَنۡ اَسۡلَمَ وَجۡہَہٗ  لِلّٰہِ  -- “barangsiapa menyerahkan dirnya  kepada  Allah” berarti: wajah (muka); benda itu sendiri; tujuan dan motif; perbuatan atau tindakan yang kepadanya seseorang menujukan perhatian; jalan yang diinginkan, anugerah atau kebaikan (Aqrab-al-Mawarid).
    Ayat QS.2:113 ini memberi isyarat kepada ketiga taraf (tingkatan) penting ketakwaan sempurna, yaitu:  fana (menghilangkan diri), baqa (kelahiran kembali), dan liqa (memanunggal dengan Allah Swt.).   Kata-kata  aslama (muslim - berserah diri kepada Allah) berarti  segala kekuatan dan anggota tubuh orang-orang Muslim dan apa-apa yang menjadi bagian diri mereka diserahkan kepada Allah Swt. seutuhnya dan dibaktikan kepada-Nya. Keadaan itu dikenal sebagai fana atau “kematian” yang harus ditimpakan seorang Muslim atas dirinya sendiri.
       Anak-kalimat kedua  وَ ہُوَ  مُحۡسِنٌ -- “dan ia berbuat ihsan” menunjuk kepada keadaan baqa atau “kelahiran kembali”, sebab bila seseorang telah melenyapkan dirinya (fana) dalam cinta Ilahi dan segala tujuan serta keinginan duniawi telah lenyap,   ia seolah-olah dianugerahi kehidupan baru yang dapat disebut baqa atau kelahiran kembali, maka ia hidup untuk Allah Swt. .  dan bakti kepada umat manusia.
     Allah Swt. dalam Surah berikut ini memperkuat kenyataan,  bahwa derajat muhsin (orang yang berbuat ihsan)  lebih tinggi daripada mutaqi (orang bertakwa), dimana mengenai orang  muttaqi  dalam QS.2:1-6 mereka dikatakan   mereka itu adalah sebagai muhtadīn (orang-orang yang mendapat petunjuk), sedangkan mengenai muhsin dikatakan mereka itu dikatakan muflihūn (orang yang sukses/berhasil), firman-Nya: 
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾  الٓـمّٓ ۚ﴿﴾  تِلۡکَ اٰیٰتُ الۡکِتٰبِ  الۡحَکِیۡمِ ۙ﴿﴾  ہُدًی  وَّ  رَحۡمَۃً   لِّلۡمُحۡسِنِیۡنَ ۙ﴿﴾  الَّذِیۡنَ یُقِیۡمُوۡنَ الصَّلٰوۃَ وَ یُؤۡتُوۡنَ الزَّکٰوۃَ وَ ہُمۡ بِالۡاٰخِرَۃِ ہُمۡ یُوۡقِنُوۡنَ ؕ﴿﴾ اُولٰٓئِکَ عَلٰی ہُدًی مِّنۡ رَّبِّہِمۡ وَ اُولٰٓئِکَ ہُمُ  الۡمُفۡلِحُوۡنَ ﴿﴾
Aku baca  dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang.   Aku Allah Yang Maha Mengetahui. Inilah ayat-ayat Kitab yang sempurna, penuh kebijaksanaan. Suatu petunjuk dan rahmat bagi mereka yang berbuat ihsan (kebajikan).    Yaitu orang-orang yang mendirikan shalat dan membayar zakat dan kepada akhirat pun mereka yakin.  Mereka itulah yang mengikuti petunjuk dari Rabb (Tuhan) mereka, dan mereka itulah orang-orang yang berhasil. (Luqman [31]:1-6).
       Ayat “beriman kepada yang gaib” dalam QS.2:16 sebagai tanda pertama muttaqi (orang bertakwa),  dalam firman Allah Swt. tidak dicantumkan, sebab sebagaimana sabda Nabi Besar Muhammad saw. ketika menjawab pertanyaan malaikat Jibril a.s. tentang makna ihsan,  bahwa pelaku ihsan (muhsin) dalam melaksanakan  peribadahannya seolah-olah mereka itu melihat Allah Swt..

Derajat Nafs Muthmainnah (Jiwa yang Tentram)

       Kembali kepada firman Allah Swt   sebelumnya (QS.2:113), kata-kata penutup  وَ لَا خَوۡفٌ عَلَیۡہِمۡ  وَ لَا ہُمۡ  یَحۡزَنُوۡنَ  -- “tidak ada ketakutan atas mereka dan tidak pula mereka akan bersedih  menjelaskan taraf kebaikan ketiga dan tertinggi   yaitu  taraf liqa atau  manunggal (menyatu) dengan Allah, Swt. --  yang dalam Al-Quran disebut pula “jiwa yang tenteram” atau nafs muthma’innah, firman-Nya:
یٰۤاَیَّتُہَا النَّفۡسُ الۡمُطۡمَئِنَّۃُ ﴿٭ۖ﴾  ارۡجِعِیۡۤ  اِلٰی  رَبِّکِ رَاضِیَۃً  مَّرۡضِیَّۃً ﴿ۚ﴾  فَادۡخُلِیۡ  فِیۡ عِبٰدِیۡ﴿ۙ﴾  وَ ادۡخُلِیۡ جَنَّتِیۡ ﴿٪﴾
Hai jiwa yang tenteram!   Kembalilah kepada  Rabb (Tuhan) eng-kau, engkau ridha kepada-Nya dan Dia pun ridha kepada engkau.  Maka masuklah dalam golongan hamba-hamba-Ku,   dan masuklah ke dalam surga-Ku.  (Al-Fajr [89]:27-29). 
   Ayat-ayat ini mengisyaratkan kepada  tingkat perkembangan ruhani tertinggi ketika manusia ridha kepada  Rabb-nya (Tuhan-nya) dan Tuhan pun ridha kepadanya (QS.58:23). Pada tingkat ini yang disebut pula tingkat surgawi, ia menjadi kebal terhadap segala macam kelemahan akhlak, diperkuat dengan kekuatan ruhani yang khusus. Ia “manunggal” dengan Allah Swt.   – dalam Sifat dan perbuatan  -- dan tidak dapat hidup tanpa Dia.
 Di  dalam kehidupan dunia inilah dan bukan sesudah mati   di alam akhirat perubahan ruhani besar terjadi di dalam dirinya, dan di dunia inilah  dan bukan di tempat lain jalan dibukakan baginya untuk masuk ke “surga” yang bagi orang lain masih harus menunggu memasukinya setelah mengalami kematian.
   Mengisyaratkan kepada  ke-muslim-an  yang sempurna seperti  itulah firman Allah Swt. berikut ini kepada Nabi Besar Muhammad saw.: 
قُلۡ  اِنَّنِیۡ ہَدٰىنِیۡ رَبِّیۡۤ  اِلٰی صِرَاطٍ مُّسۡتَقِیۡمٍ ۬ۚ دِیۡنًا قِیَمًا مِّلَّۃَ  اِبۡرٰہِیۡمَ حَنِیۡفًا ۚ وَ مَا کَانَ مِنَ الۡمُشۡرِکِیۡنَ ﴿﴾   قُلۡ  اِنَّ صَلَاتِیۡ  وَ نُسُکِیۡ وَ مَحۡیَایَ وَ مَمَاتِیۡ   لِلّٰہِ   رَبِّ  الۡعٰلَمِیۡنَ ﴿﴾ۙ  لَا شَرِیۡکَ لَہٗ ۚ وَ بِذٰلِکَ اُمِرۡتُ وَ اَنَا  اَوَّلُ الۡمُسۡلِمِیۡنَ ﴿﴾
Katakanlah: “Sesungguhnya aku telah diberi petunjuk oleh  Rabb-ku (Tuhan-ku) kepada jalan lurus, agama yang teguh,  agama Ibrahim yang lurus dan dia bukanlah dari golongan orang-orang musyrik.” Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, pengorbananku,  kehidupanku, dan  kematianku  hanyalah untuk Allah,  Rabb (Tuhan) seluruh  alam, tidak ada sekutu bagi-Nya, untuk itulah aku diperintahkan, dan akulah orang pertama  yang berserah diri. (Al-An’ām [6]:162-164).

Sifat Rahmāniyyat (Maha Pemurah) Allah Swt. dan  Hubungannya
dengan Tingkatan Akhlak  Memberi Seperti Terhadap Kerabat

      Pada hakikatnya  Kata-kata penutup  وَ لَا خَوۡفٌ عَلَیۡہِمۡ  وَ لَا ہُمۡ  یَحۡزَنُوۡنَ  -- “tidak ada ketakutan atas mereka dan tidak pula mereka akan bersedih   dalam firman Allah Swt. sebelum ini (QS.2:112-113), hubungannya adalah dengan Sifat Rahmāniyyat Allah Swt. dan mengisyaratkan  kepada tingkatan akhlak selanjutnya setelah ihsan, yaitu اِیۡتَآیِٔ ذِی الۡقُرۡبٰی   --  memberi  seperti kepada kaum kerabat,  firman-Nya:
اِنَّ اللّٰہَ یَاۡمُرُ بِالۡعَدۡلِ وَ الۡاِحۡسَانِ وَ اِیۡتَآیِٔ ذِی الۡقُرۡبٰی وَ یَنۡہٰی عَنِ الۡفَحۡشَآءِ  وَ الۡمُنۡکَرِ وَ الۡبَغۡیِ ۚ یَعِظُکُمۡ   لَعَلَّکُمۡ   تَذَکَّرُوۡنَ ﴿﴾
Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil, berbuat ihsan (kebajikan), dan memberi  seperti kepada kaum kerabat, serta melarang dari perbuatan keji, mungkar, dan pemberontakan.  Dia nasihatkan kepada kamu  supaya kamu mengambil pelajaran (An-Nahl [16]:91).
      Untuk mengingatkan kembali makna Sifat Rahmāniyyat (Maha Pemurah),  berikut ini penjelasan Pendiri Jemaaat Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad a.s. tentang Sifat Tasybihiyyah Allah Swt. tersebut dalam  Bab 59 sebelumnya:
     “Ar-Rahmān (Maha Pemurah) dan Ar-Rahīm (Maha Penyayang), keduanya berasal dari akar kata yang sama, Rahima, artinya: ia telah menampakkan kasih-sayang; ia ramah dan baik; ia memaafkan, mengampuni. Kata Rahmah menggabungkan arti riqqah yakni   kehalusan dan ihsan  yakni  kebaikan,   kebajikan” (Mufradat).
   Ar-Rahmān dalam wazan (ukuran) fa’lan, dan Ar-Rahīm dalam ukuran fa’il. Menurut kaedah tata-bahasa Arab, makin banyak jumlah huruf ditambahkan pada akar kata makin luas dan mendalam pula artinya (Kasysyaf). Ukuran fa’lan membawa arti kepenuhan dan keluasan, sedang ukuran fa’il menunjuk kepada arti ulangan dan pemberian ganjaran dengan kemurahan hati kepada mereka yang layak menerimanya (Muhith).
   Jadi, di mana kata Ar-Rahmān (Maha Pemurah) menunjukkan “kasih-sayang meliputi seluruh alam”, maka  kata Ar-Rahīm (Maha Penyayang) berarti “kasih-sayang yang ruang lingkupnya terbatas  tetapi  ditampakkan berulang-ulang.”
     Mengingat arti-arti di atas, Ar-Rahmān  adalah Dzat Yang menampakkan kasih-sayang secara  cuma-cuma dan meluas kepada semua makhluk tanpa mempertimbangkan usaha atau amal makhluk-makhluk tersebut;  sedangkan Ar-Rahīm  adalah Dzat Yang menampakkan kasih-sayang sebagai imbalan atas usaha atau amal   manusia, tetapi menampakkannya dengan kemurahan hati dan berulang-ulang.
     Kata Ar-Rahmān (Maha Pemurah) hanya dipakai untuk Allah Swt., sebab hanya Allah Swt., sajalah Wujud yang memiliki kemampuan  melaksanakan  secara sempurna Sifat   Rahmāniyyat tersebut;  sedangkan Ar-Rahīm (Maha Penyayang) dipakai pula untuk manusia.

Sifat Rahmāniyyat Berlaku Secara  Umum,
Sifat Rahīmiyyat Berlaku Khusus

     Sifat Ar-Rahmān (Maha Pemurah) Allah Swt. tidak hanya meliputi orang-orang beriman  dan kafir saja, tetapi juga seluruh makhluk, sedangkan  Sifat Ar-Rahīm (Maha Penyayang) Allah Swt. terutama tertuju kepada orang-orang beriman saja.
      Menurut sabda  Nabi Besar Muhammad saw.,  sifat Ar-Rahmān (Maha Pemurah) umumnya bertalian dengan kehidupan di dunia ini, sedang sifat Ar-Rahīm (Maha Penyayang) umumnya bertalian dengan kehidupan  akhirat (Muhith). Artinya, karena dunia (alam jasmani) ini pada umumnya adalah  dunia perbuatan, sedangkan alam akhirat itu adalah suatu alam tempat perbuatan manusia akan diganjar dengan cara istimewa,  maka sifat Allah Swt. Ar-Rahmān (Maha Pemurah) menganugerahi manusia alat dan bahan (sarana) untuk melaksanakan pekerjaannya dalam kehidupan di dunia ini, sedangkan sifat Allah Swt.  Ar-Rahīm (Maha Penyayang) mendatangkan hasil dalam kehidupan yang akan datang (akhirat).
        Segala benda (sarana) yang  diperlukan manusia dan atas itu kehidupan  manusia bergantung adalah semata-mata karunia Ilahi dan sudah tersedia untuk manusia, sebelum manusia berbuat sesuatu yang menyebabkan manusia  layak menerimanya, atau bahkan sebelum manusia dilahirkan, itulah makna Sifat Rahmaniyyat Allah Swt..
Ada pun  karunia yang tersedia untuk   manusia  dalam kehidupan yang-akan-datang (akhirat) akan dianugerahkan kepada  orang-orang yang beriman dan beramal saleh sebagai ganjaran atas usaha atau amal  mereka. 
       Hal itu menunjukkan bahwa Ar-Rahmān itu Pemberi karunia yang mendahului kelahiran manusia, sedangkan  Ar-Rahīm itu Pemberi nikmat-nikmat yang mengikuti amal   manusia sebagai ganjaran-nya.”
Dalam   Bab 64 beliau menjelaskan:
      “Kebenaran akbar yang ketiga setelah Sifat Rahmān  (Maha Pemurah) adalah Sifat Rahīm (Maha Penyayang). Hal ini berarti bahwa sesuai kehendak-Nya maka Allah Swt.  akan memberikan imbalan hasil baik atas dasar permohonan makhluk-Nya. Dia mengampuni dosa mereka yang bertobat. Dia menganugrahkan karunia kepada mereka yang memohon. Dia membukakan pintu kepada mereka yang mengetuknya.”

 Nabi Besar Muhammad Saw. & Peragaan Sifat Rabbubiyyat Allah Swt.

      Sebagaimana telah dikemukakan dalam Bab 61 dan Bab 62 mengenai hakikat mi’raj (kenaikan ruhani) Nabi Besar Muhammad saw.  sampai Sidratul-Muntaha (QS.53:1-19),   bahwa pada umumnya   suluk peragaan akhlak  yang dimulai  dari adil, ihsan, dan iytā-i dzil- qurba (memberi seperti terhadap kerabat), dalam hubungannya dengan keempat Sifat utama Tasybihiyyah Allah Swt. dalam Surah Al-Fatihah, pada umumnya  manusia – termasuk para Rasul Allah yang diutus sebelum Nabi Besar Muhammad saw. -- hanya mampu memperagakan mulai dari Sifat Mālikiyat (adil),  Rahīmiyyat (ihsan) dan Rahmāniyyat (iyta-I dzil- qurba).
         Ada pun  mengenai Sifat Rabbubiyyat  Allah Swt.,  yang mampu memperagakan secara sempurna  hanyalah  Nabi Besar Muhammad saw., sebab beliau  saw. adalah satu-satunya Rasul Allah yang missi kerasulannya adalah  rahmat bagi seluruh alam” (QS.7:159; QS.21:108; QS.25:2; QS.34:29) serta  serta selain mendapat gelar Khātaman Nābiyyin  (QS.33:41) beliau saw. pun satu-satunya Rasul Allah yang Allah Swt., para malaikat  dan orang-orang yang beriman senantiasa mengirimkan  shalawat untuk beliau saw..
      Bahkan dalam sebuah hadits Qudsi Allah Swt. telah berfirman mengenai Nabi Besar Muhammad saw.: “Law laka lamā  khalaqtul-aflāq – “kalau bukan untuk engkau, Aku  tidak akan  menciptakan alam semesta.”   Berikut beberapa firman Allah Swt. mengenai kesempurnaan  kemuliaan Nabi Besar Muhammad saw.:
وَ مَاۤ  اَرۡسَلۡنٰکَ اِلَّا رَحۡمَۃً  لِّلۡعٰلَمِیۡنَ ﴿﴾ 
Dan  Kami sekali-kali tidak mengutus engkau melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam.  (Al-Anbiya [21]:108).
       Firman-Nya lagi mengenai gelar “Khātaman-Nabiyyīn” yang disalah-tafsirkan secara sempit sebagai “nabi terakhir”:
مَا کَانَ مُحَمَّدٌ اَبَاۤ  اَحَدٍ مِّنۡ رِّجَالِکُمۡ وَ لٰکِنۡ رَّسُوۡلَ اللّٰہِ وَ خَاتَمَ  النَّبِیّٖنَ ؕ وَ  کَانَ اللّٰہُ  بِکُلِّ شَیۡءٍ عَلِیۡمًا ﴿﴾
Muhammad bukanlah bapak salah seorang laki-laki di antara laki-laki  kamu, akan tetapi ia adalah Rasul Allah dan meterai sekalian nabi, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Al-Ahzāb [33]:41).
        Kemudian mengenai  shalawat  yang wajib  dimohonkan oleh orang-orang beriman  kepada  Allah Swt.  untuk  dissampaikan kepada Nabi Besar Muhammad saw. Dia berfirman:
اِنَّ اللّٰہَ وَ مَلٰٓئِکَتَہٗ  یُصَلُّوۡنَ عَلَی النَّبِیِّ ؕ یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا صَلُّوۡا عَلَیۡہِ  وَ سَلِّمُوۡا  تَسۡلِیۡمًا﴿﴾
Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang beriman, bershalawatlah untuknya dan mintalah selalu doa keselamatan baginya. (Al-Ahzab [33]:57).

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar,   1 November    2013


Tidak ada komentar:

Posting Komentar