بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah Ruhani Surah
Shād
Bab 70
Nabi Besar Muhammad Saw. & Peragaan Sifat Rabbubiyyat Allah Swt
Oleh
Ki
Langlang Buana Kusuma
Dalam akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan mengenai
pelaku ihsan yang di dalam Al-Quran Allah Swt. menyebut mereka muhsin (orang yang berbuat ihsan)
firman-Nya mengenai ketidakbenaran pendakwaan orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani:
وَ قَالُوۡا لَنۡ یَّدۡخُلَ الۡجَنَّۃَ اِلَّا مَنۡ کَانَ ہُوۡدًا اَوۡ
نَصٰرٰی ؕ تِلۡکَ اَمَانِیُّہُمۡ ؕ قُلۡ ہَاتُوۡا بُرۡہَانَکُمۡ اِنۡ کُنۡتُمۡ صٰدِقِیۡنَ ﴿﴾ بَلٰی ٭ مَنۡ اَسۡلَمَ وَجۡہَہٗ لِلّٰہِ وَ ہُوَ مُحۡسِنٌ فَلَہٗۤ اَجۡرُہٗ عِنۡدَ رَبِّہٖ ۪ وَ
لَا خَوۡفٌ عَلَیۡہِمۡ وَ لَا ہُمۡ یَحۡزَنُوۡنَ ﴿﴾٪
Dan mereka
berkata: ”Tidak akan pernah ada yang akan masuk surga,
kecuali orang-orang Yahudi atau Nasrani.” Ini hanyalah angan-angan mereka belaka. Katakanlah: “Kemukakanlah bukti-bukti kamu, jika kamu sungguh orang-orang yang benar.” Tidak
demikian, bahkan yang benar ialah barangsiapa
menyerahkan dirinya kepada Allah dan ia berbuat ihsan maka baginya ada
ganjaran di sisi Rabb-nya (Tuhan-nya), tidak
ada ketakutan atas mereka dan tidak
pula mereka akan bersedih. (Al-Baqarah [2]:112-113).
Tiga Tingkatan Keadaan Jiwa Manusia: Fana, Baqa, dan Liqa
& Ke-Muslim-an
Sempurna Nabi Besar Muhammad Saw.
Dalam ayat 112 orang-orang Yahudi dan Kristen kedua-duanya berkhayal kosong bahwa hanya orang Yahudi atau Kristen saja yang dapat meraih najat (keselamatan) atau menjadi penghuni
surga. Hal tersebut dibantah oleh
Allah Swt. dengan menyatakan bahwa siapa
pun mereka itu asalkan saja bersikap aslama (muslim) -- yakni berserah
diri kepada Allah Swt. -- مَنۡ اَسۡلَمَ
وَجۡہَہٗ لِلّٰہِ -- kemudian وَ ہُوَ
مُحۡسِنٌ --
dia melakukan ihsan yakni sebagai
muhsin, فَلَہٗۤ اَجۡرُہٗ
عِنۡدَ رَبِّہ َ -- "”maka
baginya ada ganjaran di sisi Rabb-nya (Tuhan-nya),” mereka itu pasti
akan menjadi “penghuni surga,”
baik di dalam kehidupan di dunia
ini mau pun di akhirat nanti, yakni وَ لَا خَوۡفٌ
عَلَیۡہِمۡ وَ لَا ہُمۡ یَحۡزَنُوۡنَ -- “tidak
ada ketakutan atas mereka dan tidak
pula mereka akan bersedih.”
Wajh
dalam ayat ٭ مَنۡ اَسۡلَمَ وَجۡہَہٗ لِلّٰہِ -- “barangsiapa menyerahkan dirnya kepada Allah” berarti: wajah (muka); benda itu
sendiri; tujuan dan motif; perbuatan
atau tindakan yang kepadanya
seseorang menujukan perhatian; jalan
yang diinginkan, anugerah atau kebaikan (Aqrab-al-Mawarid).
Ayat QS.2:113 ini memberi isyarat
kepada ketiga taraf (tingkatan) penting
ketakwaan sempurna, yaitu: fana (menghilangkan diri), baqa
(kelahiran kembali), dan liqa (memanunggal dengan Allah Swt.). Kata-kata aslama
(muslim - berserah diri kepada Allah) berarti
segala kekuatan dan anggota tubuh orang-orang Muslim dan apa-apa yang menjadi bagian
diri mereka diserahkan kepada Allah
Swt. seutuhnya dan dibaktikan
kepada-Nya. Keadaan itu dikenal sebagai fana atau “kematian” yang harus ditimpakan seorang Muslim atas dirinya sendiri.
Anak-kalimat kedua وَ ہُوَ
مُحۡسِنٌ -- “dan ia berbuat ihsan” menunjuk kepada keadaan baqa atau “kelahiran kembali”, sebab bila seseorang
telah melenyapkan dirinya (fana)
dalam cinta Ilahi dan segala tujuan serta keinginan duniawi telah lenyap, ia seolah-olah dianugerahi kehidupan baru yang dapat disebut baqa
atau kelahiran kembali, maka ia hidup untuk Allah Swt. . dan bakti kepada umat manusia.
Allah Swt. dalam Surah berikut ini memperkuat
kenyataan, bahwa derajat muhsin (orang yang berbuat ihsan)
lebih tinggi daripada mutaqi (orang bertakwa), dimana mengenai
orang muttaqi dalam QS.2:1-6
mereka dikatakan mereka itu adalah sebagai muhtadīn
(orang-orang yang mendapat petunjuk), sedangkan mengenai muhsin dikatakan mereka itu dikatakan muflihūn (orang yang sukses/berhasil), firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾ الٓـمّٓ ۚ﴿﴾ تِلۡکَ اٰیٰتُ الۡکِتٰبِ الۡحَکِیۡمِ ۙ﴿﴾ ہُدًی وَّ رَحۡمَۃً
لِّلۡمُحۡسِنِیۡنَ ۙ﴿﴾ الَّذِیۡنَ
یُقِیۡمُوۡنَ الصَّلٰوۃَ وَ یُؤۡتُوۡنَ الزَّکٰوۃَ وَ ہُمۡ بِالۡاٰخِرَۃِ ہُمۡ
یُوۡقِنُوۡنَ ؕ﴿﴾ اُولٰٓئِکَ عَلٰی ہُدًی مِّنۡ رَّبِّہِمۡ وَ اُولٰٓئِکَ
ہُمُ الۡمُفۡلِحُوۡنَ ﴿﴾
Aku baca dengan
nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang. Aku Allah
Yang Maha Mengetahui. Inilah ayat-ayat Kitab yang sempurna, penuh kebijaksanaan. Suatu petunjuk dan rahmat bagi
mereka yang berbuat ihsan (kebajikan).
Yaitu orang-orang yang mendirikan shalat dan membayar zakat dan kepada akhirat pun mereka yakin. Mereka itulah yang mengikuti petunjuk dari Rabb (Tuhan) mereka, dan mereka itulah orang-orang
yang berhasil. (Luqman [31]:1-6).
Ayat “beriman kepada yang gaib” dalam QS.2:16 sebagai tanda pertama muttaqi (orang bertakwa), dalam firman Allah Swt. tidak dicantumkan,
sebab sebagaimana sabda Nabi Besar Muhammad saw. ketika menjawab pertanyaan
malaikat Jibril a.s. tentang makna ihsan,
bahwa pelaku ihsan (muhsin) dalam melaksanakan
peribadahannya seolah-olah
mereka itu melihat Allah Swt..
Derajat Nafs Muthmainnah
(Jiwa yang Tentram)
Kembali kepada firman Allah Swt sebelumnya (QS.2:113), kata-kata penutup وَ لَا خَوۡفٌ عَلَیۡہِمۡ وَ لَا ہُمۡ
یَحۡزَنُوۡنَ -- “tidak ada ketakutan atas mereka dan tidak pula mereka akan bersedih” menjelaskan taraf kebaikan ketiga dan tertinggi
yaitu taraf liqa atau manunggal (menyatu) dengan
Allah, Swt. -- yang dalam
Al-Quran disebut pula “jiwa yang tenteram”
atau nafs muthma’innah,
firman-Nya:
یٰۤاَیَّتُہَا النَّفۡسُ الۡمُطۡمَئِنَّۃُ ﴿٭ۖ﴾ ارۡجِعِیۡۤ
اِلٰی رَبِّکِ رَاضِیَۃً مَّرۡضِیَّۃً ﴿ۚ﴾ فَادۡخُلِیۡ
فِیۡ عِبٰدِیۡ﴿ۙ﴾ وَ ادۡخُلِیۡ
جَنَّتِیۡ ﴿٪﴾
Hai jiwa yang tenteram! Kembalilah kepada Rabb
(Tuhan) eng-kau, engkau ridha kepada-Nya
dan Dia pun ridha kepada
engkau. Maka masuklah dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku. (Al-Fajr [89]:27-29).
Ayat-ayat ini
mengisyaratkan kepada tingkat perkembangan ruhani tertinggi ketika
manusia ridha kepada Rabb-nya (Tuhan-nya) dan Tuhan pun ridha kepadanya (QS.58:23). Pada tingkat ini yang disebut pula tingkat surgawi, ia menjadi kebal terhadap segala macam kelemahan akhlak, diperkuat dengan kekuatan ruhani yang khusus. Ia “manunggal” dengan Allah Swt.
– dalam Sifat dan perbuatan -- dan tidak
dapat hidup tanpa Dia.
Di dalam kehidupan
dunia inilah dan bukan sesudah mati di
alam akhirat perubahan ruhani besar
terjadi di dalam dirinya, dan di dunia
inilah dan bukan di tempat lain jalan dibukakan
baginya untuk masuk ke “surga” yang
bagi orang lain masih harus menunggu memasukinya setelah mengalami kematian.
Mengisyaratkan kepada ke-muslim-an yang sempurna seperti itulah firman Allah Swt. berikut ini kepada
Nabi Besar Muhammad saw.:
قُلۡ اِنَّنِیۡ ہَدٰىنِیۡ
رَبِّیۡۤ اِلٰی صِرَاطٍ مُّسۡتَقِیۡمٍ ۬ۚ
دِیۡنًا قِیَمًا مِّلَّۃَ اِبۡرٰہِیۡمَ
حَنِیۡفًا ۚ وَ مَا کَانَ مِنَ الۡمُشۡرِکِیۡنَ ﴿﴾ قُلۡ
اِنَّ صَلَاتِیۡ وَ نُسُکِیۡ وَ
مَحۡیَایَ وَ مَمَاتِیۡ لِلّٰہِ رَبِّ
الۡعٰلَمِیۡنَ ﴿﴾ۙ لَا شَرِیۡکَ لَہٗ ۚ
وَ بِذٰلِکَ اُمِرۡتُ وَ اَنَا اَوَّلُ
الۡمُسۡلِمِیۡنَ ﴿﴾
Katakanlah:
“Sesungguhnya aku telah diberi petunjuk
oleh Rabb-ku (Tuhan-ku) kepada jalan
lurus, agama yang teguh, agama
Ibrahim yang lurus dan dia bukanlah
dari golongan orang-orang musyrik.” Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, pengorbananku, kehidupanku, dan kematianku
hanyalah untuk Allah, Rabb (Tuhan) seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya, untuk itulah
aku diperintahkan, dan akulah
orang pertama yang berserah diri. (Al-An’ām
[6]:162-164).
Sifat Rahmāniyyat
(Maha Pemurah) Allah Swt. dan
Hubungannya
dengan Tingkatan Akhlak
“Memberi Seperti Terhadap Kerabat”
Pada hakikatnya Kata-kata penutup وَ لَا خَوۡفٌ
عَلَیۡہِمۡ وَ لَا ہُمۡ یَحۡزَنُوۡنَ -- “tidak
ada ketakutan atas mereka dan tidak
pula mereka akan bersedih” dalam
firman Allah Swt. sebelum ini (QS.2:112-113), hubungannya adalah dengan Sifat Rahmāniyyat Allah Swt. dan
mengisyaratkan kepada tingkatan akhlak selanjutnya setelah ihsan, yaitu اِیۡتَآیِٔ ذِی الۡقُرۡبٰی -- “memberi seperti kepada kaum kerabat,” firman-Nya:
اِنَّ اللّٰہَ یَاۡمُرُ
بِالۡعَدۡلِ وَ الۡاِحۡسَانِ وَ اِیۡتَآیِٔ ذِی الۡقُرۡبٰی وَ یَنۡہٰی
عَنِ الۡفَحۡشَآءِ وَ الۡمُنۡکَرِ وَ الۡبَغۡیِ ۚ یَعِظُکُمۡ
لَعَلَّکُمۡ تَذَکَّرُوۡنَ
﴿﴾
Sesungguhnya Allah
menyuruh berlaku adil, berbuat ihsan (kebajikan), dan memberi seperti kepada kaum kerabat, serta melarang dari perbuatan keji, mungkar,
dan pemberontakan. Dia nasihatkan kepada kamu supaya kamu mengambil pelajaran (An-Nahl [16]:91).
Untuk
mengingatkan kembali makna Sifat Rahmāniyyat
(Maha Pemurah), berikut ini penjelasan
Pendiri Jemaaat Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad a.s. tentang Sifat Tasybihiyyah Allah Swt. tersebut dalam Bab 59 sebelumnya:
“Ar-Rahmān
(Maha Pemurah) dan Ar-Rahīm (Maha Penyayang), keduanya berasal dari akar kata yang sama, Rahima,
artinya: ia telah menampakkan kasih-sayang; ia ramah dan baik; ia memaafkan,
mengampuni. Kata Rahmah menggabungkan arti riqqah yakni kehalusan dan ihsan yakni
kebaikan, kebajikan” (Mufradat).
Ar-Rahmān
dalam wazan (ukuran) fa’lan, dan Ar-Rahīm dalam ukuran fa’il.
Menurut kaedah tata-bahasa Arab, makin banyak jumlah huruf ditambahkan pada
akar kata makin luas dan mendalam pula artinya (Kasysyaf). Ukuran fa’lan membawa arti kepenuhan dan keluasan, sedang ukuran fa’il menunjuk kepada arti ulangan dan pemberian ganjaran dengan kemurahan hati kepada mereka yang layak menerimanya (Muhith).
Jadi, di mana kata Ar-Rahmān (Maha
Pemurah) menunjukkan “kasih-sayang
meliputi seluruh alam”, maka kata Ar-Rahīm
(Maha Penyayang) berarti “kasih-sayang
yang ruang lingkupnya terbatas
tetapi ditampakkan berulang-ulang.”
Mengingat
arti-arti di atas, Ar-Rahmān adalah Dzat Yang menampakkan kasih-sayang
secara cuma-cuma dan meluas kepada semua
makhluk tanpa mempertimbangkan usaha
atau amal makhluk-makhluk
tersebut; sedangkan Ar-Rahīm adalah Dzat Yang menampakkan kasih-sayang sebagai
imbalan atas usaha atau amal
manusia, tetapi menampakkannya dengan kemurahan hati dan berulang-ulang.
Kata
Ar-Rahmān (Maha Pemurah) hanya
dipakai untuk Allah Swt., sebab hanya Allah Swt., sajalah Wujud yang memiliki kemampuan melaksanakan
secara sempurna Sifat Rahmāniyyat tersebut; sedangkan
Ar-Rahīm (Maha Penyayang) dipakai pula untuk manusia.
Sifat Rahmāniyyat Berlaku Secara Umum,
Sifat Rahīmiyyat Berlaku Khusus
Sifat
Ar-Rahmān (Maha Pemurah) Allah Swt. tidak hanya meliputi orang-orang beriman dan kafir
saja, tetapi juga seluruh makhluk, sedangkan Sifat Ar-Rahīm (Maha Penyayang) Allah
Swt. terutama tertuju kepada orang-orang
beriman saja.
Menurut
sabda Nabi Besar Muhammad saw., sifat Ar-Rahmān (Maha Pemurah)
umumnya bertalian dengan kehidupan di
dunia ini, sedang sifat Ar-Rahīm (Maha Penyayang) umumnya bertalian
dengan kehidupan akhirat
(Muhith). Artinya, karena dunia (alam jasmani) ini pada umumnya
adalah dunia perbuatan, sedangkan
alam akhirat itu adalah suatu alam tempat perbuatan manusia akan diganjar dengan cara istimewa,
maka sifat Allah Swt. Ar-Rahmān (Maha Pemurah) menganugerahi
manusia alat dan bahan (sarana) untuk melaksanakan
pekerjaannya dalam kehidupan di dunia
ini, sedangkan sifat Allah Swt. Ar-Rahīm
(Maha Penyayang) mendatangkan hasil
dalam kehidupan yang akan datang (akhirat).
Segala
benda (sarana) yang diperlukan
manusia dan atas itu kehidupan manusia bergantung adalah semata-mata karunia Ilahi dan sudah tersedia untuk manusia, sebelum manusia berbuat sesuatu yang menyebabkan manusia layak
menerimanya, atau bahkan sebelum manusia dilahirkan,
itulah makna Sifat Rahmaniyyat Allah
Swt..
Ada pun karunia yang tersedia untuk manusia
dalam kehidupan
yang-akan-datang (akhirat) akan dianugerahkan
kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh sebagai ganjaran atas usaha atau amal mereka.
Hal itu menunjukkan bahwa Ar-Rahmān
itu Pemberi karunia yang mendahului kelahiran manusia, sedangkan Ar-Rahīm itu Pemberi nikmat-nikmat yang mengikuti amal manusia
sebagai ganjaran-nya.”
Dalam Bab 64
beliau menjelaskan:
“Kebenaran akbar yang ketiga setelah Sifat Rahmān (Maha Pemurah) adalah Sifat Rahīm
(Maha Penyayang). Hal ini berarti bahwa sesuai kehendak-Nya maka Allah
Swt. akan memberikan imbalan hasil
baik atas dasar permohonan makhluk-Nya. Dia mengampuni dosa mereka yang bertobat.
Dia menganugrahkan karunia kepada
mereka yang memohon. Dia membukakan pintu kepada mereka yang mengetuknya.”
Nabi Besar
Muhammad Saw. & Peragaan Sifat Rabbubiyyat
Allah Swt.
Sebagaimana telah dikemukakan dalam Bab 61 dan Bab 62 mengenai hakikat mi’raj (kenaikan ruhani) Nabi Besar
Muhammad saw. sampai Sidratul-Muntaha (QS.53:1-19), bahwa
pada umumnya suluk peragaan akhlak yang dimulai dari adil,
ihsan, dan iytā-i dzil- qurba (memberi seperti terhadap kerabat), dalam
hubungannya dengan keempat Sifat utama Tasybihiyyah
Allah Swt. dalam Surah Al-Fatihah,
pada umumnya manusia – termasuk para Rasul Allah yang diutus sebelum Nabi
Besar Muhammad saw. -- hanya mampu memperagakan mulai dari Sifat Mālikiyat (adil), Rahīmiyyat
(ihsan) dan Rahmāniyyat (iyta-I dzil-
qurba).
Ada pun mengenai Sifat Rabbubiyyat Allah Swt., yang mampu memperagakan secara sempurna
hanyalah Nabi Besar Muhammad saw.,
sebab beliau saw. adalah satu-satunya Rasul Allah yang missi kerasulannya adalah “rahmat
bagi seluruh alam” (QS.7:159; QS.21:108; QS.25:2; QS.34:29) serta serta selain mendapat gelar Khātaman Nābiyyin (QS.33:41) beliau saw. pun satu-satunya Rasul Allah yang Allah Swt., para malaikat dan orang-orang
yang beriman senantiasa mengirimkan shalawat untuk beliau saw..
Bahkan dalam sebuah hadits Qudsi Allah Swt. telah berfirman
mengenai Nabi Besar Muhammad saw.: “Law
laka lamā khalaqtul-aflāq – “kalau
bukan untuk engkau, Aku tidak akan menciptakan alam semesta.” Berikut beberapa firman Allah Swt. mengenai
kesempurnaan kemuliaan Nabi Besar Muhammad saw.:
وَ مَاۤ اَرۡسَلۡنٰکَ اِلَّا
رَحۡمَۃً لِّلۡعٰلَمِیۡنَ ﴿﴾
Dan Kami
sekali-kali tidak mengutus engkau melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam. (Al-Anbiya [21]:108).
Firman-Nya
lagi mengenai gelar “Khātaman-Nabiyyīn”
yang disalah-tafsirkan secara sempit sebagai “nabi terakhir”:
مَا کَانَ مُحَمَّدٌ اَبَاۤ اَحَدٍ
مِّنۡ رِّجَالِکُمۡ وَ لٰکِنۡ رَّسُوۡلَ اللّٰہِ وَ خَاتَمَ النَّبِیّٖنَ ؕ وَ کَانَ اللّٰہُ
بِکُلِّ شَیۡءٍ عَلِیۡمًا ﴿﴾
Muhammad bukanlah bapak salah seorang laki-laki di antara laki-laki kamu, akan tetapi ia adalah Rasul Allah dan meterai
sekalian nabi, dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu. (Al-Ahzāb [33]:41).
Kemudian
mengenai shalawat yang wajib dimohonkan oleh orang-orang beriman kepada Allah
Swt. untuk dissampaikan kepada Nabi Besar Muhammad saw.
Dia berfirman:
اِنَّ اللّٰہَ وَ مَلٰٓئِکَتَہٗ یُصَلُّوۡنَ
عَلَی النَّبِیِّ ؕ یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا صَلُّوۡا عَلَیۡہِ وَ سَلِّمُوۡا تَسۡلِیۡمًا﴿﴾
Sesungguhnya
Allah dan para malaikat-Nya
bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang beriman, bershalawatlah untuknya dan mintalah
selalu doa keselamatan baginya. (Al-Ahzab [33]:57).
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 1 November 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar