Minggu, 03 November 2013

Hubungan Surat Kiriman Nabi Sulaiman a.s. kepada Ratu szaba dengan Surah Al-Fatihah




ۡ بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ

Khazanah Ruhani Surah  Shād


Bab  59

     Hubungan Surat Kiriman Nabi Sulaiman a.s. kepada Ratu Saba dengan Surah Al-Fatihah   


Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

D
alam akhir  Bab sebelumnya  telah dijelaskan   mengenai   Surah Al-Fatihah   ayat 2 yakni:    اَلۡحَمۡدُ لِلّٰہِ رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ – (Segala puji bagi Allah Rabb seluruh alam),   yang dilaksanakan oleh Nabi Daud a.s. dan Nabi Sulaiman a.s. dalam  membangun kerajaan Bani Israil, sampai akhirnya    -- akibat ketidak-bersyukuran  Bani Israil (QS.14:8) -- kerajaan besar tersebut secera berangsur-angsur mengalami keruntuhan akibat kelemahan akhlak dan ruhani para pewarisnya, yang digambarkan sebagai “jasad tanpa nyawa” yang “duduk di atas singgasana” Nabi Sulaiman a.s., firman-Nya:
وَ لَقَدۡ فَتَنَّا سُلَیۡمٰنَ وَ اَلۡقَیۡنَا عَلٰی کُرۡسِیِّہٖ  جَسَدًا ثُمَّ  اَنَابَ ﴿﴾  قَالَ رَبِّ اغۡفِرۡ لِیۡ وَ ہَبۡ لِیۡ مُلۡکًا لَّا یَنۡۢبَغِیۡ لِاَحَدٍ مِّنۡۢ بَعۡدِیۡ ۚ اِنَّکَ اَنۡتَ الۡوَہَّابُ  ﴿﴾
Dan  sungguh  Kami benar-benar telah menguji Sulaiman serta Kami menempatkan di atas singgasananya suatu tubuh belaka, kemudian ia kembali kepada Tuhan-nya. Ia berkata: “Wahai Tuhan-ku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku suatu kerajaan yang tidak layak diwarisi oleh seseorang sesudahku. Sesungguhnya Engkau benar-benar Maha Pemberi anugerah.” (Shād [38]:35-36).

Para Pewaris  Kerajaan Bani Israil yang Berakhlak Lemah

      Nabi Sulaiman a.s.  telah menyadari bahwa sesudah beliau wafat, kerajaan beliau tak akan dapat mempertahankan keutuhannya di bawah para penerus beliau yang tak cakap lagi tanpa berkemampuan itu. Oleh karena itu beliau menghadap dan mendoa ke hadirat Allah Swt. . Doa itu dicantumkan dalam ayat berikutnya  وَ ہَبۡ لِیۡ مُلۡکًا لَّا یَنۡۢبَغِیۡ لِاَحَدٍ مِّنۡۢ بَعۡدِیۡ   – “Wahai Tuhan-ku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku suatu kerajaan yang tidak layak diwarisi oleh seseorang sesudahku.
       Seperti nampak dari ayat sebelum ini Nabi Sulaiman a.s.  telah mempunyai firasat bahwa kerajaan duniawi beliau akan menjadi terpecah-belah sesudah beliau wafat, disebabkan oleh kelemahan mental putra beliau yang tolol dan tidak berharga itu; maka beliau mendoa supaya kerajaan ruhani yang telah dianugerahkan Tuhan kepada keturunannya dapat berjalan terus.
     Bila kata-kata  “suatu kerajaan yang tidak layak diwarisi oleh seseorang sesudahku,” diartikan secara harfiah, maka doa Nabi Sulaiman a.s. akan dipahami sudah terkabul dalam artian bahwa sesudah wafat beliau tidak akan ada raja di antara kaum Bani Israil yang memiliki kekuasaan dan pamor seperti beliau sendiri, karena itu keruntuhan kerajaan Bani Israil setelah Nabi Sulaiman a.s. wafat  diumpamakan  seperti “tongkat yang dimakan rayap”, firman-Nya:
فَلَمَّا قَضَیۡنَا عَلَیۡہِ  الۡمَوۡتَ مَا دَلَّہُمۡ عَلٰی مَوۡتِہٖۤ  اِلَّا دَآبَّۃُ  الۡاَرۡضِ تَاۡکُلُ مِنۡسَاَتَہٗ ۚ فَلَمَّا خَرَّ تَبَیَّنَتِ الۡجِنُّ اَنۡ لَّوۡ کَانُوۡا یَعۡلَمُوۡنَ الۡغَیۡبَ مَا لَبِثُوۡا فِی الۡعَذَابِ الۡمُہِیۡنِ ﴿ؕ﴾
Maka tatkala Kami menentukan kematiannya, sekali-kali tidak ada  yang menunjukkan kematiannya kepada mereka selain rayap bumi yang memakan tongkatnya. Lalu tatkala tongkat itu jatuh, jin-jin  mengetahui dengan jelas bahwa seandainya mereka mengetahui yang gaib,  mereka sekali-kali tidak akan tetap dalam azab yang menghinakan.  (Saba [34]:15).
    Putra yang sia-sia sebagai penerus Nabi Sulaiman a.s., Rehoboam; di bawah pemerintahannya yang lemah itu kerajaan Nabi Sulaiman a.s.  yang tadinya besar dan berkuasa telah menjadi berantakan (I  Raja-raja, fatsal 12, 13, 14 & Jewish  Encyclopaedia di bawah “Rehoboam”).
    Jadi, kehancuran dan keterpecahbelahan kerajaan Nabi Sulaiman a.s. . mulai berlaku pada masa pemerintahan Rehoboam dan di masa raja-raja selanjutnya, dan mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Zedekia  dengan terjadinya dua kali serangan balatentara raja Nebukarnezar dari kerajaan Babilonia, sebagaimana yang telah dikemukakan sebelum ini  mengenai dihancurkannya kota Yerusalem (QS.17:5-6; QS.2:103, 1 Raja-raja 25:1-21).

 Makna “jin-jin”  yang Tidak Mengetahui hal Gaib

     Ada yang menarik dari firman Allah Swt. mengenai “jin-jin” yang tidak mengetahui yang gaib mengenai keruntuhan kerajaan Nabi Sulaiman a.s. فَلَمَّا خَرَّ تَبَیَّنَتِ الۡجِنُّ اَنۡ لَّوۡ کَانُوۡا یَعۡلَمُوۡنَ الۡغَیۡبَ مَا لَبِثُوۡا فِی الۡعَذَابِ الۡمُہِیۡنِ  -- “Lalu tatkala tongkat itu jatuh, jin-jin  mengetahui dengan jelas bahwa seandainya mereka mengetahui yang gaib,  mereka sekali-kali tidak akan tetap dalam azab yang menghinakan.“
      Jadi,  jelaslah bahwa penggunaan kata “jin” dan “syaitan” berkenaan dengan Nabi Sulaiman a.s. sama sekali tidak berhubungan dengan golongan makhluk harus yang disebut jin dan syaitan,   melainkan mengisyaratkan kepada bangsa-bangsa asing  para penyembah berhala yang telah  ditaklukkan oleh Nabi Daud a.s. dan Nabi Sulaiman a.s. --  yang   atas izin Allah Swt.  -- keahlian dan tenaga mereka dimanfaatkan oleh kedua raja besar Bani Israil – yang juga  sebagai  rasul Allah --  tersebut untuk kepentingan  kerajaan Bani Israil, yaitu dengan cara memperagakan Sifat  Rabbubiyyat Allah Swt.
       Dengan demikian sesuai dengan firman-Nya  اَلۡحَمۡدُ لِلّٰہِ رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ      --  (Segala puji bagi Allah Rabb seluruh alam), demikian pula dari segi pembangunan secara  fisik yang dilakukan oleh Nabi Daud a.s. dan Nabi Sulaiman a.s. pun sampai batas tertentu karya-karya kedua raja besar  yang juga rasul Allah  dari kalangan Bani Israil tersebut layak mendapat “pujian”, khususnya adalah mengenai  pembentukan divisi-divisi angkatan perang  -- termasuk  devisi intelijen pimpinan Jenderal  Hud-hud (QS.27:18-32) -- dan pembangunan  istana   khusus oleh Nabi Sulaiman a.s. yang membuat Ratu Saba  berubah dari seorang musyrik   menjadi seorang yang beriman kepada Allah Swt. (QS.27: 45).
      Mengisyaratkan kepada  hal itulah “pujian” yang dikemukakan oleh kepala Suku Naml (Semut) terhadap pasukan Nabi Sulaiman a.s. sehingga beliau pun tersenyum gembira atas “pujian”  pemimpin kaum Semut bukan dari Bani Israil tersebut, firman-Nya:
حَتّٰۤی  اِذَاۤ  اَتَوۡا عَلٰی وَادِ  النَّمۡلِ ۙ قَالَتۡ نَمۡلَۃٌ  یّٰۤاَیُّہَا النَّمۡلُ ادۡخُلُوۡا مَسٰکِنَکُمۡ ۚ لَا یَحۡطِمَنَّکُمۡ  سُلَیۡمٰنُ  وَ جُنُوۡدُہٗ ۙ وَ ہُمۡ  لَا یَشۡعُرُوۡنَ﴿﴾
Hingga apabila mereka sampai ke lembah Semut,  seorang dari kaum Semut berkata: “Hai kaum Semut, masuklah kamu ke dalam tempat tinggalmu, supaya Sulaiman dan lasykarnya tidak menghancurkan kamu  sedang mereka tidak menyadari.” (An-Naml [27]:19). 
      Inilah agaknya kesimpulan dari kata-kata  sedang mereka tidak menyadari, dan itulah yang menggembirakan hati Nabi Sulaiman a.s., sebagaimana jelas nampak dari ayat berikutnya:
فَتَبَسَّمَ ضَاحِکًا مِّنۡ قَوۡلِہَا وَ قَالَ رَبِّ اَوۡزِعۡنِیۡۤ  اَنۡ اَشۡکُرَ  نِعۡمَتَکَ الَّتِیۡۤ اَنۡعَمۡتَ عَلَیَّ وَ عَلٰی وَالِدَیَّ وَ اَنۡ اَعۡمَلَ صَالِحًا تَرۡضٰىہُ وَ اَدۡخِلۡنِیۡ بِرَحۡمَتِکَ فِیۡ عِبَادِکَ الصّٰلِحِیۡنَ ﴿﴾
Maka ia, Sulaiman, tersenyum sambil tertawa  mendengar perkataannya dan berkata: “Ya Tuhan-ku, anugerahkanlah kepadaku taufik untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada orang-tuaku, dan untuk berbuat amal saleh yang Engkau ridhai, dan masukkanlah aku dengan rahmat Engkau di antara hamba-hamba Engkau yang saleh.”  (An-Naml [27]:20). 
      Karena dhāhika maknanya  “ia merasa kagum” atau “ia merasa senang” (Lexicon Lane). Ayat ini mengandung arti bahwa Nabi Sulaiman a.s.   kagum dan senang sekali dengan pendapat baik yang dikemukakan oleh suku bangsa Naml tentang kekuatan dan kesalehan diri beliau dan balatentara beliau.
    Rasa senang dan rasa syukur Nabi Sulaiman a.s. sangat wajar sekali, sebab komentar yang positif dari  suku Naml (suku Semut) tersebut merupakan  bukti keberhasilan beliau membina  masyarakatnya – termasuk pasukan tempurnya -- baik dalam kapasitas beliau sebagai seorang raja duniawi mau pun sebagai Rasul Allah.

 Hubungan Surat Kiriman Nabi Sulaiman a.s.  kepada Ratu Saba 
dengan  Surah Al-Fatihah

     Satu hal yang sangat menarik sehubungan dengan 4 Sifat utama Tasybihiyah Allah Swt. dalam Surah Al-Fatihah, ternyata Nabi Sulaiman a.s. pun telah mengirimkan surat   kepada Ratu Saba  yang dimulai dengan ayat pertama Surah Al-Fatihah, firman-Nya:
قَالَ سَنَنۡظُرُ اَصَدَقۡتَ اَمۡ  کُنۡتَ مِنَ الۡکٰذِبِیۡنَ ﴿﴾  اِذۡہَبۡ بِّکِتٰبِیۡ ہٰذَا فَاَلۡقِہۡ  اِلَیۡہِمۡ ثُمَّ تَوَلَّ عَنۡہُمۡ فَانۡظُرۡ  مَا ذَا یَرۡجِعُوۡنَ ﴿﴾  قَالَتۡ یٰۤاَیُّہَا الۡمَلَؤُا  اِنِّیۡۤ   اُلۡقِیَ   اِلَیَّ  کِتٰبٌ کَرِیۡمٌ ﴿﴾  اِنَّہٗ مِنۡ سُلَیۡمٰنَ وَ اِنَّہٗ بِسۡمِ اللّٰہِ   الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ ﴿ۙ﴾  اَلَّا تَعۡلُوۡا عَلَیَّ  وَ اۡتُوۡنِیۡ  مُسۡلِمِیۡنَ ﴿٪﴾
Ia, Sulaiman, berkata, “Kami segera akan melihat apakah engkau telah berkata benar ataukah engkau diantara orang-orang yang berdusta.  Pergilah dengan membawa suratku ini lalu sampaikanlah kepada mereka, kemudian berpalinglah dari mereka lalu perhatikanlah apa jawaban mereka.  Ia (Ratu saba) berkata:  “Hai pembesar-pembesar, sesungguhnya telah disampaikan kepadaku surat yang mulia, sesungguhnya surat itu dari Sulaiman, dan sesungguhnya surat itu berbunyi: بِسۡمِ اللّٰہِ   الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ -- Dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang. Janganlah kamu berlaku sombong terhadapku, dan datanglah kepadaku dengan berserah diri.” (An-Naml [27]:28-32).
       Beberapa ahli ketimuran pihak Kristen --  sebagaimana kebiasaan mereka -- telah gagal dalam usahanya mengingkari fakta, bahwa Al-Quran bersumber dari Allah Swt., dengan   berusaha membuktikan  bahwa ungkapan Bismillāh (dengan nama Allah) telah dipinjam dari kitab-kitab yang terdahulu.
      Wherry dalam buku “Commentary”-nya mengatakan, bahwa kalimat itu telah dipinjam dari Zend-Avesta. Sale menyatakan pandangan serupa, sedang Rodwell berpendapat, bahwa bangsa Arab pra-Islam (sebelum sejarah Islam) meminjamnya dari kaum Yahudi dan selanjutnya kalimat itu dimasukkan ke dalam Al-Quran oleh Nabi Besar Muhammad saw..
      Mengatakan bahwa, “….sebab ungkapan atau kalimat itu didapati dalam beberapa kitab suci yang terdahulu, niscaya telah dipinjam oleh Al-Quran dari salah satu dari kitab-kitab itu”  adalah nyata sekali suatu kesimpulan yang lemah. Bagaimanapun, hal itu hanya membuktikan, bahwa Al-Quran memang berasal dari sumber yang sama seperti kitab-kitab lain pun berasal, yakni dari Allah Swt..
 Lagi pula, tidak ada kitab-kitab suci  lain mempergunakan ungkapan  بِسۡمِ اللّٰہِ   الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ   --  Dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang  dalam bentuk dan cara yang telah dilakukan oleh Al-Quran. Begitu juga, orang-orang Arab pra-Islam tidak pernah mempergunakan  ungkapan itu sebelum ungkapan itu diwah-yukan dalam Al-Quran. Kebalikannya, mereka mempunyai keengganan untuk mempergunakan Sifat Ilahi Ar-Rahmān (Yang Maha Pemurah -- QS.25:61), yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Bismillāh, sebab akan membatalkan semua kepercayaan musyrik mereka, sebagaimana dikemukakan dalam Surah Ar Rahmān, yang di dalamnya Allah Swt. berulang-ulang menyatakan  فَبِاَیِّ  اٰلَآءِ  رَبِّکُمَا تُکَذِّبٰنِ   --  Maka yang manakah di antara nikmat-nikmat Rabb (Tuhan) kamu berdua, yang kamu dustakan?”
 
Makna Sifat Rahmāniyyat (Maha Pemurah) dan
Sifat Ar-Rahīm (Maha Penyayang) Allah Swt.

      Ar-Rahmān (Maha Pemurah) dan Ar-Rahīm (Maha Penyayang), keduanya berasal dari akar kata yang sama, Rahima, artinya: ia telah menampakkan kasih-sayang; ia ramah dan baik; ia memaafkan, mengampuni. Kata Rahmah menggabungkan arti riqqah yakni   kehalusan dan ihsan  yakni  kebaikan,   kebajikan” (Mufradat). Ar-Rahmān dalam wazan (ukuran) fa’lan, dan Ar-Rahīm dalam ukuran fa’il. Menurut kaedah tata-bahasa Arab, makin banyak jumlah huruf ditambahkan pada akar kata makin luas dan mendalam pula artinya (Kasysyaf).
    Ukuran fa’lan membawa arti kepenuhan dan keluasan, sedang ukuran fa’il menunjuk kepada arti ulangan dan pemberian ganjaran dengan kemurahan hati kepada mereka yang layak menerimanya (Muhith). Jadi, di mana kata Ar-Rahmān menunjukkan “kasih sayang meliputi seluruh alam”, kata Ar-Rahīm berarti “kasih sayang yang ruang lingkupnya terbatas  tetapi  ditampakkan berulang-ulang.”
     Mengingat arti-arti di atas, Ar-Rahmān  adalah Dzat Yang menampakkan kasih-sayang secara  cuma-cuma dan meluas kepada semua makhluk tanpa mempertimbangkan usaha atau amal makhluk-makhluk tersebut;  sedangkan Ar-Rahīm  adalah Dzat Yang menampakkan kasih-sayang sebagai imbalan atas usaha atau amal   manusia, tetapi menampakkannya dengan kemurahan hati dan berulang-ulang.
     Kata Ar-Rahmān hanya dipakai untuk Allah Swt., sebab hanya Allah Swt., sajalah Wujud yang memiliki kemampuan  melaksanakan  secara sempurna Sifat Rahmāniyyat tersebut;  sedangkan Ar-Rahīm dipakai pula untuk manusia. Sifat Ar-Rahmān (Maha Pemurah) Allah Swt. tidak hanya meliputi orang-orang beriman dan kafir saja, tetapi juga seluruh makhluk. Sifat Ar-Rahīm (Maha Penyayang) Allah Swt. terutama tertuju kepada orang-orang beriman saja.
      Menurut sabda  Nabi Besar Muhammad saw.,  sifat Ar-Rahmān (Maha Pemurah) umumnya bertalian dengan kehidupan di dunia ini, sedang sifat Ar-Rahīm (Maha Penyayang) umumnya bertalian dengan kehidupan  akhirat (Muhith). Artinya, karena dunia (alam jasmani) ini pada umumnya adalah  dunia perbuatan, sedangkan alam akhirat itu adalah suatu alam tempat perbuatan manusia akan diganjar dengan cara istimewa,  maka sifat Allah Swt. Ar-Rahmān (Maha Pemurah) menganugerahi manusia alat dan bahan (sarana) untuk melaksanakan pekerjaannya dalam kehidupan di dunia ini, sedangkan sifat Allah Swt.  Ar-Rahīm (Maha Penyayang) mendatangkan hasil dalam kehidupan yang akan datang (akhirat).
        Segala benda (sarana) yang  diperlukan manusia dan atas itu kehidupan  manusia bergantung adalah semata-mata karunia Ilahi dan sudah tersedia untuk kita, sebelum kita berbuat sesuatu yang menyebabkan kita layak menerimanya, atau bahkan sebelum kita dilahirkan, itulah makna Sifat Rahmaniyyat Allah Swt.
      Sedangkan karunia yang tersedia untuk kita dalam kehidupan yang-akan-datang (akhirat) akan dianugerahkan kepada  orang-orang yang beriman dan beramal saleh sebagai ganjaran atas usaha atau amal  mereka. Hal itu menunjukkan bahwa Ar-Rahmān itu Pemberi karunia yang mendahului kelahiran manusia, sedangkan Ar-Rahīm itu Pemberi nikmat-nikmat yang mengikuti amal   manusia sebagai ganjaran-nya.

Sifat Mālikiyyat Allah Swt.

       Ayat Surah Al-Fatihah selanjutnya mengemukakan Sifat Tasybihiyyah Allah Swt, yang keempat yaitu “Pemilik Hari Pembalasan”,  firman-Nya:
اَلۡحَمۡدُ لِلّٰہِ رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ ۙ﴿﴾   الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ ۙ﴿﴾ مٰلِکِ یَوۡمِ الدِّیۡنِ ؕ﴿﴾
Segala  puji  hanya bagi  Allah, Tuhan  seluruh alam,  Maha Pemurah,  Maha Pe-nyayang,  Pemilik   Hari  Pembalasan. (Al-Fatihah [1]:2-4). 
Mālik berarti majikan  atau orang yang memiliki (pemilik) hak atas sesuatu serta memiliki (pemilik) kekuasaan  untuk memperlakukannya dengan sekehendaknya (Aqrab-ul-Mawarid).
     Yaum berarti: waktu mutlak, hari mulai matahari terbit hingga terbenamnya; masa sekarang (Aqrab-ul-Mawarid).  Dīn berarti: pembalasan atau ganjaran; peradilan atau perhitungan; kekuasaan atau pemerintahan; kepatuhan; agama, dan sebagainya. (Lexicon Lane).
       Keempat Sfat Tasybihiyyah  Allah Swt. yakni:   رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ  --   Rabb (Tuhan) seluruh alam”,   الرَّحۡمٰنِ  -- “Maha Pemurah”,  الرَّحِیۡمِ   --  “Maha Penyayang” dan  مٰلِکِ یَوۡمِ الدِّیۡنِ  --“Pemilik Hari Pembalasan” adalah Sifat-sifat pokok (utama) Allah Swt.. Sifat-sifat Tasybihiyyah lainnya hanya menjelaskan dan merupakan semacam tafsiran tentang keempat Sifat utama Allah Swt.  tadi,  laksana empat buah tiang di atasnya terletak ‘Arasy (Singgasana) -- yakni Sifat-sifat Tanzihiyyah yang hanya dimiliki oleh Allah Swt.  -- Tuhan Yang Maha Kuasa.

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran

Tidak ada komentar:

Posting Komentar