ۡ بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah Ruhani Surah
Shād
Bab 59
Hubungan Surat Kiriman Nabi Sulaiman a.s. kepada Ratu Saba dengan Surah Al-Fatihah
Oleh
Ki
Langlang Buana Kusuma
D
|
alam akhir Bab sebelumnya telah dijelaskan mengenai Surah
Al-Fatihah ayat 2 yakni:
اَلۡحَمۡدُ
لِلّٰہِ رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ – (Segala
puji bagi Allah Rabb seluruh
alam), yang dilaksanakan oleh Nabi Daud a.s. dan Nabi
Sulaiman a.s. dalam membangun kerajaan Bani Israil, sampai akhirnya -- akibat ketidak-bersyukuran Bani
Israil (QS.14:8) -- kerajaan besar tersebut secera
berangsur-angsur mengalami keruntuhan
akibat kelemahan akhlak dan ruhani para pewarisnya, yang digambarkan sebagai “jasad tanpa nyawa” yang “duduk
di atas singgasana” Nabi Sulaiman a.s., firman-Nya:
وَ لَقَدۡ فَتَنَّا
سُلَیۡمٰنَ وَ اَلۡقَیۡنَا عَلٰی کُرۡسِیِّہٖ
جَسَدًا ثُمَّ اَنَابَ ﴿﴾ قَالَ رَبِّ
اغۡفِرۡ لِیۡ وَ ہَبۡ لِیۡ مُلۡکًا لَّا یَنۡۢبَغِیۡ لِاَحَدٍ مِّنۡۢ بَعۡدِیۡ ۚ
اِنَّکَ اَنۡتَ الۡوَہَّابُ ﴿﴾
Dan
sungguh Kami benar-benar telah menguji Sulaiman serta Kami menempatkan di atas singgasananya suatu tubuh belaka,
kemudian ia kembali kepada Tuhan-nya. Ia berkata: “Wahai Tuhan-ku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku suatu kerajaan yang tidak layak diwarisi
oleh seseorang sesudahku. Sesungguhnya
Engkau benar-benar Maha Pemberi anugerah.”
(Shād
[38]:35-36).
Para
Pewaris Kerajaan
Bani Israil yang Berakhlak Lemah
Nabi Sulaiman a.s. telah menyadari bahwa sesudah beliau
wafat, kerajaan beliau tak akan dapat
mempertahankan keutuhannya di bawah
para penerus beliau yang tak cakap lagi tanpa berkemampuan itu. Oleh karena itu beliau
menghadap dan mendoa ke hadirat Allah Swt. . Doa itu dicantumkan
dalam ayat berikutnya وَ ہَبۡ لِیۡ مُلۡکًا لَّا یَنۡۢبَغِیۡ لِاَحَدٍ
مِّنۡۢ بَعۡدِیۡ – “Wahai
Tuhan-ku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku suatu kerajaan yang
tidak layak diwarisi oleh seseorang
sesudahku.”
Seperti nampak dari ayat sebelum ini Nabi
Sulaiman a.s. telah mempunyai firasat bahwa kerajaan
duniawi beliau akan menjadi terpecah-belah
sesudah beliau wafat, disebabkan oleh
kelemahan mental putra beliau yang tolol dan tidak berharga itu; maka beliau mendoa
supaya kerajaan ruhani yang telah
dianugerahkan Tuhan kepada keturunannya dapat berjalan terus.
Bila kata-kata “suatu kerajaan yang tidak layak diwarisi
oleh seseorang sesudahku,” diartikan secara harfiah, maka doa Nabi Sulaiman
a.s. akan dipahami sudah terkabul dalam artian bahwa sesudah wafat
beliau tidak akan ada raja di antara
kaum Bani Israil yang memiliki kekuasaan dan pamor seperti beliau sendiri, karena itu keruntuhan kerajaan Bani Israil setelah Nabi Sulaiman a.s. wafat
diumpamakan seperti “tongkat yang dimakan rayap”, firman-Nya:
فَلَمَّا قَضَیۡنَا
عَلَیۡہِ الۡمَوۡتَ مَا دَلَّہُمۡ عَلٰی
مَوۡتِہٖۤ اِلَّا دَآبَّۃُ الۡاَرۡضِ تَاۡکُلُ مِنۡسَاَتَہٗ ۚ فَلَمَّا
خَرَّ تَبَیَّنَتِ الۡجِنُّ اَنۡ لَّوۡ کَانُوۡا یَعۡلَمُوۡنَ الۡغَیۡبَ مَا
لَبِثُوۡا فِی الۡعَذَابِ الۡمُہِیۡنِ ﴿ؕ﴾
Maka tatkala Kami
menentukan kematiannya, sekali-kali tidak
ada yang menunjukkan kematiannya kepada
mereka selain rayap bumi yang
memakan tongkatnya. Lalu tatkala tongkat
itu jatuh, jin-jin mengetahui
dengan jelas bahwa seandainya mereka
mengetahui yang gaib, mereka sekali-kali tidak akan tetap dalam
azab yang menghinakan. (Saba [34]:15).
Putra
yang sia-sia sebagai penerus Nabi Sulaiman a.s., Rehoboam; di bawah pemerintahannya yang lemah itu kerajaan Nabi Sulaiman a.s. yang tadinya besar dan berkuasa telah
menjadi berantakan (I Raja-raja, fatsal 12, 13, 14
& Jewish Encyclopaedia di bawah “Rehoboam”).
Jadi, kehancuran dan keterpecahbelahan kerajaan Nabi Sulaiman a.s. . mulai
berlaku pada masa pemerintahan Rehoboam
dan di masa raja-raja selanjutnya,
dan mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Zedekia dengan terjadinya
dua kali serangan balatentara raja
Nebukarnezar dari kerajaan Babilonia, sebagaimana yang telah dikemukakan
sebelum ini mengenai dihancurkannya kota Yerusalem (QS.17:5-6; QS.2:103, 1 Raja-raja
25:1-21).
Makna “jin-jin” yang Tidak Mengetahui hal Gaib
Ada
yang menarik dari firman Allah Swt. mengenai “jin-jin” yang tidak
mengetahui yang gaib mengenai keruntuhan kerajaan Nabi Sulaiman a.s. فَلَمَّا
خَرَّ تَبَیَّنَتِ الۡجِنُّ اَنۡ لَّوۡ کَانُوۡا یَعۡلَمُوۡنَ الۡغَیۡبَ مَا
لَبِثُوۡا فِی الۡعَذَابِ الۡمُہِیۡنِ --
“Lalu tatkala tongkat itu jatuh,
jin-jin mengetahui dengan jelas
bahwa seandainya mereka mengetahui yang
gaib, mereka sekali-kali tidak akan tetap dalam azab yang menghinakan.“
Jadi, jelaslah bahwa penggunaan kata “jin”
dan “syaitan” berkenaan dengan Nabi
Sulaiman a.s. sama sekali tidak berhubungan dengan golongan makhluk
harus yang disebut jin dan syaitan,
melainkan mengisyaratkan
kepada bangsa-bangsa asing
para penyembah berhala yang
telah ditaklukkan oleh Nabi Daud a.s. dan Nabi Sulaiman a.s. -- yang atas izin
Allah Swt. -- keahlian dan tenaga
mereka dimanfaatkan oleh kedua raja besar Bani
Israil – yang juga sebagai rasul
Allah -- tersebut untuk
kepentingan kerajaan Bani Israil, yaitu dengan cara memperagakan Sifat Rabbubiyyat
Allah Swt.
Dengan
demikian sesuai dengan firman-Nya اَلۡحَمۡدُ لِلّٰہِ رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ -- (Segala puji bagi Allah Rabb
seluruh alam), demikian pula dari segi pembangunan secara fisik yang dilakukan oleh Nabi Daud a.s. dan
Nabi Sulaiman a.s. pun sampai batas tertentu karya-karya kedua raja besar yang juga rasul
Allah dari kalangan Bani Israil tersebut layak mendapat “pujian”, khususnya adalah mengenai pembentukan divisi-divisi angkatan perang -- termasuk
devisi intelijen pimpinan
Jenderal Hud-hud (QS.27:18-32) -- dan pembangunan istana khusus oleh Nabi Sulaiman a.s. yang membuat Ratu Saba berubah dari seorang musyrik menjadi seorang
yang beriman kepada Allah Swt.
(QS.27: 45).
Mengisyaratkan
kepada hal itulah “pujian” yang dikemukakan oleh kepala Suku Naml (Semut) terhadap pasukan Nabi Sulaiman a.s. sehingga beliau
pun tersenyum gembira atas “pujian” pemimpin kaum Semut bukan dari Bani Israil
tersebut, firman-Nya:
حَتّٰۤی اِذَاۤ
اَتَوۡا عَلٰی وَادِ النَّمۡلِ ۙ
قَالَتۡ نَمۡلَۃٌ یّٰۤاَیُّہَا النَّمۡلُ
ادۡخُلُوۡا مَسٰکِنَکُمۡ ۚ لَا یَحۡطِمَنَّکُمۡ
سُلَیۡمٰنُ وَ جُنُوۡدُہٗ ۙ وَ
ہُمۡ لَا یَشۡعُرُوۡنَ﴿﴾
Hingga apabila mereka
sampai ke lembah Semut, seorang dari kaum Semut berkata: “Hai kaum
Semut, masuklah kamu ke dalam tempat
tinggalmu, supaya Sulaiman dan lasykarnya tidak menghancurkan kamu sedang mereka
tidak menyadari.” (An-Naml [27]:19).
Inilah agaknya kesimpulan dari kata-kata sedang mereka tidak menyadari, dan
itulah yang menggembirakan hati Nabi
Sulaiman a.s., sebagaimana jelas nampak dari ayat berikutnya:
فَتَبَسَّمَ ضَاحِکًا
مِّنۡ قَوۡلِہَا وَ قَالَ رَبِّ اَوۡزِعۡنِیۡۤ
اَنۡ اَشۡکُرَ نِعۡمَتَکَ
الَّتِیۡۤ اَنۡعَمۡتَ عَلَیَّ وَ عَلٰی وَالِدَیَّ وَ اَنۡ اَعۡمَلَ صَالِحًا
تَرۡضٰىہُ وَ اَدۡخِلۡنِیۡ بِرَحۡمَتِکَ فِیۡ عِبَادِکَ الصّٰلِحِیۡنَ ﴿﴾
Maka ia, Sulaiman, tersenyum sambil tertawa mendengar
perkataannya dan berkata: “Ya Tuhan-ku, anugerahkanlah kepadaku taufik
untuk mensyukuri nikmat Engkau yang
telah Engkau anugerahkan kepadaku
dan kepada orang-tuaku, dan untuk berbuat amal saleh yang Engkau ridhai,
dan masukkanlah aku dengan rahmat Engkau
di antara hamba-hamba Engkau yang saleh.”
(An-Naml [27]:20).
Karena dhāhika maknanya “ia
merasa kagum” atau “ia merasa senang” (Lexicon
Lane). Ayat ini mengandung arti bahwa Nabi Sulaiman a.s. kagum dan senang sekali dengan pendapat baik yang dikemukakan oleh suku bangsa Naml tentang kekuatan dan kesalehan diri beliau dan balatentara
beliau.
Rasa
senang dan rasa syukur Nabi
Sulaiman a.s. sangat wajar sekali, sebab komentar
yang positif dari suku
Naml (suku Semut) tersebut merupakan
bukti keberhasilan beliau membina
masyarakatnya – termasuk pasukan
tempurnya -- baik dalam kapasitas
beliau sebagai seorang raja duniawi
mau pun sebagai Rasul Allah.
Hubungan Surat
Kiriman Nabi Sulaiman a.s. kepada
Ratu Saba
dengan Surah
Al-Fatihah
Satu
hal yang sangat menarik sehubungan dengan 4 Sifat utama Tasybihiyah Allah Swt. dalam Surah Al-Fatihah, ternyata Nabi Sulaiman a.s. pun telah mengirimkan surat kepada Ratu Saba yang dimulai dengan ayat pertama Surah Al-Fatihah, firman-Nya:
قَالَ سَنَنۡظُرُ
اَصَدَقۡتَ اَمۡ کُنۡتَ مِنَ
الۡکٰذِبِیۡنَ ﴿﴾ اِذۡہَبۡ بِّکِتٰبِیۡ ہٰذَا فَاَلۡقِہۡ اِلَیۡہِمۡ ثُمَّ تَوَلَّ عَنۡہُمۡ فَانۡظُرۡ مَا ذَا یَرۡجِعُوۡنَ ﴿﴾ قَالَتۡ یٰۤاَیُّہَا الۡمَلَؤُا اِنِّیۡۤ
اُلۡقِیَ اِلَیَّ کِتٰبٌ کَرِیۡمٌ ﴿﴾ اِنَّہٗ مِنۡ
سُلَیۡمٰنَ وَ اِنَّہٗ بِسۡمِ اللّٰہِ
الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ ﴿ۙ﴾ اَلَّا تَعۡلُوۡا عَلَیَّ وَ اۡتُوۡنِیۡ
مُسۡلِمِیۡنَ ﴿٪﴾
Ia, Sulaiman, berkata, “Kami segera akan
melihat apakah engkau telah berkata benar ataukah engkau diantara orang-orang yang
berdusta. Pergilah dengan membawa suratku ini lalu sampaikanlah kepada mereka, kemudian berpalinglah dari mereka lalu
perhatikanlah apa jawaban mereka. Ia (Ratu
saba) berkata: “Hai pembesar-pembesar,
sesungguhnya telah disampaikan kepadaku surat
yang mulia, sesungguhnya surat itu dari Sulaiman, dan sesungguhnya surat itu berbunyi: بِسۡمِ اللّٰہِ
الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ -- “Dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang. Janganlah kamu
berlaku sombong terhadapku, dan
datanglah kepadaku dengan berserah diri.”
(An-Naml [27]:28-32).
Beberapa ahli
ketimuran pihak Kristen -- sebagaimana kebiasaan mereka -- telah gagal dalam usahanya mengingkari fakta, bahwa Al-Quran bersumber dari Allah Swt., dengan berusaha
membuktikan bahwa ungkapan Bismillāh (dengan nama
Allah) telah dipinjam dari kitab-kitab
yang terdahulu.
Wherry
dalam buku “Commentary”-nya mengatakan, bahwa kalimat itu telah dipinjam
dari Zend-Avesta. Sale menyatakan
pandangan serupa, sedang Rodwell berpendapat, bahwa bangsa Arab pra-Islam (sebelum sejarah Islam) meminjamnya dari kaum
Yahudi dan selanjutnya kalimat itu dimasukkan ke dalam Al-Quran oleh Nabi Besar Muhammad saw..
Mengatakan bahwa, “….sebab ungkapan atau kalimat itu didapati dalam beberapa kitab suci yang terdahulu, niscaya telah dipinjam oleh Al-Quran
dari salah satu dari kitab-kitab itu”
adalah nyata sekali suatu kesimpulan yang lemah. Bagaimanapun, hal itu hanya membuktikan, bahwa Al-Quran memang berasal dari sumber yang sama seperti kitab-kitab lain pun berasal, yakni dari
Allah Swt..
Lagi pula, tidak ada kitab-kitab suci lain
mempergunakan ungkapan بِسۡمِ
اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ -- “Dengan
nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang”
dalam bentuk dan cara yang telah dilakukan oleh Al-Quran.
Begitu juga, orang-orang Arab
pra-Islam tidak pernah mempergunakan ungkapan itu sebelum ungkapan itu
diwah-yukan dalam Al-Quran. Kebalikannya, mereka mempunyai keengganan untuk mempergunakan Sifat
Ilahi Ar-Rahmān (Yang
Maha Pemurah -- QS.25:61), yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Bismillāh, sebab akan membatalkan semua
kepercayaan musyrik mereka, sebagaimana dikemukakan dalam Surah Ar
Rahmān, yang di dalamnya Allah Swt. berulang-ulang menyatakan فَبِاَیِّ اٰلَآءِ
رَبِّکُمَا تُکَذِّبٰنِ -- “Maka
yang manakah di antara nikmat-nikmat
Rabb (Tuhan) kamu berdua, yang kamu dustakan?”
Makna Sifat Rahmāniyyat (Maha Pemurah) dan
Sifat Ar-Rahīm (Maha Penyayang) Allah Swt.
Ar-Rahmān (Maha Pemurah) dan Ar-Rahīm
(Maha Penyayang), keduanya berasal dari akar
kata yang sama, Rahima, artinya: ia telah menampakkan kasih-sayang; ia
ramah dan baik; ia memaafkan, mengampuni. Kata Rahmah menggabungkan arti
riqqah yakni kehalusan dan ihsan
yakni kebaikan,
kebajikan” (Mufradat).
Ar-Rahmān dalam wazan (ukuran) fa’lan, dan Ar-Rahīm dalam
ukuran fa’il. Menurut kaedah tata-bahasa Arab, makin banyak jumlah huruf
ditambahkan pada akar kata makin luas dan mendalam pula artinya (Kasysyaf).
Ukuran
fa’lan membawa arti kepenuhan dan keluasan, sedang ukuran fa’il
menunjuk kepada arti ulangan dan pemberian ganjaran dengan kemurahan hati
kepada mereka yang layak menerimanya (Muhith).
Jadi, di mana kata Ar-Rahmān menunjukkan “kasih sayang meliputi seluruh alam”, kata Ar-Rahīm berarti “kasih sayang yang ruang lingkupnya terbatas tetapi
ditampakkan berulang-ulang.”
Mengingat
arti-arti di atas, Ar-Rahmān adalah Dzat Yang menampakkan kasih-sayang
secara cuma-cuma dan meluas kepada semua
makhluk tanpa mempertimbangkan usaha
atau amal makhluk-makhluk tersebut; sedangkan Ar-Rahīm adalah Dzat Yang menampakkan kasih-sayang sebagai
imbalan atas usaha atau amal
manusia, tetapi menampakkannya dengan kemurahan hati dan berulang-ulang.
Kata
Ar-Rahmān hanya dipakai untuk Allah Swt., sebab hanya Allah Swt., sajalah
Wujud yang memiliki kemampuan
melaksanakan secara sempurna
Sifat Rahmāniyyat tersebut; sedangkan
Ar-Rahīm dipakai pula untuk manusia.
Sifat Ar-Rahmān (Maha Pemurah) Allah Swt. tidak hanya meliputi orang-orang beriman dan kafir
saja, tetapi juga seluruh makhluk. Sifat
Ar-Rahīm (Maha Penyayang) Allah Swt. terutama tertuju kepada orang-orang beriman saja.
Menurut
sabda Nabi Besar Muhammad saw., sifat Ar-Rahmān (Maha Pemurah) umumnya
bertalian dengan kehidupan di dunia
ini, sedang sifat Ar-Rahīm (Maha Penyayang) umumnya bertalian dengan kehidupan akhirat
(Muhith). Artinya, karena dunia (alam jasmani) ini pada umumnya
adalah dunia perbuatan, sedangkan
alam akhirat itu adalah suatu alam tempat perbuatan manusia akan diganjar dengan cara istimewa,
maka sifat Allah Swt. Ar-Rahmān (Maha Pemurah) menganugerahi
manusia alat dan bahan (sarana) untuk melaksanakan
pekerjaannya dalam kehidupan di dunia
ini, sedangkan sifat Allah Swt. Ar-Rahīm
(Maha Penyayang) mendatangkan hasil
dalam kehidupan yang akan datang (akhirat).
Segala
benda (sarana) yang diperlukan manusia dan atas itu kehidupan manusia bergantung adalah semata-mata karunia Ilahi dan sudah tersedia untuk kita, sebelum kita berbuat sesuatu yang
menyebabkan kita layak menerimanya, atau bahkan sebelum kita dilahirkan, itulah
makna Sifat Rahmaniyyat Allah Swt.
Sedangkan
karunia yang tersedia untuk kita
dalam kehidupan yang-akan-datang
(akhirat) akan dianugerahkan kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh
sebagai ganjaran atas usaha
atau amal mereka. Hal itu menunjukkan bahwa Ar-Rahmān
itu Pemberi karunia yang mendahului kelahiran manusia, sedangkan Ar-Rahīm itu Pemberi nikmat-nikmat yang mengikuti amal manusia sebagai ganjaran-nya.
Sifat Mālikiyyat Allah Swt.
Ayat
Surah Al-Fatihah selanjutnya
mengemukakan Sifat Tasybihiyyah Allah
Swt, yang keempat yaitu “Pemilik Hari
Pembalasan”, firman-Nya:
اَلۡحَمۡدُ لِلّٰہِ رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ
ۙ﴿﴾ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ ۙ﴿﴾ مٰلِکِ
یَوۡمِ الدِّیۡنِ ؕ﴿﴾
Segala
puji
hanya
bagi Allah, Tuhan seluruh alam, Maha
Pemurah, Maha Pe-nyayang, Pemilik
Hari Pembalasan. (Al-Fatihah [1]:2-4).
Mālik
berarti majikan atau orang yang memiliki (pemilik) hak atas sesuatu serta memiliki (pemilik) kekuasaan untuk memperlakukannya dengan sekehendaknya (Aqrab-ul-Mawarid).
Yaum
berarti: waktu mutlak, hari mulai matahari terbit hingga terbenamnya; masa
sekarang (Aqrab-ul-Mawarid). Dīn berarti: pembalasan atau ganjaran;
peradilan atau perhitungan; kekuasaan
atau pemerintahan; kepatuhan; agama, dan sebagainya. (Lexicon
Lane).
Keempat Sfat Tasybihiyyah Allah Swt.
yakni: رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ
-- “Rabb (Tuhan) seluruh alam”, الرَّحۡمٰنِ -- “Maha Pemurah”, الرَّحِیۡمِ --
“Maha Penyayang” dan مٰلِکِ یَوۡمِ الدِّیۡنِ --“Pemilik Hari
Pembalasan” adalah Sifat-sifat pokok
(utama) Allah Swt.. Sifat-sifat Tasybihiyyah
lainnya hanya menjelaskan dan merupakan semacam tafsiran tentang keempat Sifat
utama Allah Swt. tadi, laksana empat
buah tiang di atasnya terletak ‘Arasy (Singgasana) -- yakni
Sifat-sifat Tanzihiyyah yang hanya
dimiliki oleh Allah Swt. -- Tuhan Yang
Maha Kuasa.
(Bersambung)
Rujukan: The
Holy Quran
Tidak ada komentar:
Posting Komentar