Rabu, 13 November 2013

Derajat "Muhsin" (Pelaku Ihsan) Lebih Tinggi Daripada "Muttaqi" (Orang Bertakwa) & Ke-Muslim-an Sempurna Nabi Besar Muhammad saw.



بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ

Khazanah Ruhani Surah  Shād

Bab  69

       Derajat “Muhsin  (Pelaku Ihsan) Lebih Tinggi  daripada “Muttaqi” (Orang Bertakwa)  &
Ke-Muslim-an Sempurna Nabi Besar Muhammad Saw.

Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

Dalam akhir  Bab sebelumnya  telah dikemukakan  mengenai  makna   al-husna dalam ayat  لِلَّذِیۡنَ اَحۡسَنُوا الۡحُسۡنٰی وَ زِیَادَۃٌ -- “Bagi orang-orang yang berbuat ihsan ada balasan yang lebih baik serta tambahan-tambahan   yang lain (QS.10:26-28) berarti kesudahan yang menggembirakan, kemenangan; kecerdasan dan kegesitan, maka   anak kalimat lilladzina ahsanul-husna  (bagi orang-orang yang berbuat ihsan ada balasan yang lebih baik) berarti: 
  (1) bahwa orang-orang beriman akan sampai kepada kesudahan yang menyenangkan
      (2) bahwa mereka akan mencapai sukses;  
      (3) bahwa Allah Swt. .  akan menjadikan mereka cerdas dan terampil.
      Kata ziyādah (tambahan lebih banyak lagi) mengandung arti  bahwa orang-orang beriman akan mendapatkan Allah Swt.   Sendiri sebagai ganjarannya, dan kata al-husna (yang berarti juga penglihatan kepada Tuhan) menguatkan kesimpulan itu.
      Surah Yunus ayat 26-28  tersebut  mengandung beberapa kebenaran yang penting:
  (a) Di mana ganjaran kebaikan itu berlipat-ganda (lihat ayat sebelumnya), pembalasan terhadap keburukan itu hanya setimpal,
   (b) mereka yang melanggar hukum-hukum Tuhan, kehilangan dorongan untuk mencapai cita-cita tinggi  dan hasrat-hasrat mulia dan hanya menjadi peniru kelakuan orang-orang lain belaka, lalu mereka kehilangan segala prakarsa dan tidak pernah bercita-cita untuk menjadi pemimpin manusia.
     (c) Sesudah demikian rupa jatuhnya dan memperoleh kemurkaan Tuhan, mereka kehilangan dan terluput dari pertolongan Ilahi.
    (d) Ketidak-adilan dan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku-pelaku keburukan itu tak mungkin tersembunyi untuk selama-lamanya; cepat atau lambat akan terbuka juga.
      Ringkasnya, hukum pembalasan dari Allah Swt.   bekerja dengan cara ini, yaitu  untuk amal-amal yang baik ganjarannya beberapa kali lipat lebih besar, sedangkan hukuman atas amal buruk kurang dari apa yang harus diterima atas perbuatan orang yang berdosa itu, atau paling banyak setimpal dengan itu.

Dialog Nabi Besar Muhammad Saw. dengan Malaikat Jibril a.s.

      Sehubungan dengan  ihsan,  diriwayatkan dalam sebuah hadits tentang dialog antara Malaikat Jibril a.s. dengan Nabi Besar Muhammad saw. tentang arti    Islam, iman dan ihsan yang ditanyakan oleh Malaikat Jibril a.s., dalam rangka memberikan pelajaran agama kepada para  sahabah r.a. yang hadir:
Dari Umar radhiallāhu ‘anhu   dia berkata: Ketika kami duduk-duduk disisi Rasulullah Shallallāhu ’alaihi wasallam suatu hari tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang mengenakan baju yang sangat putih dan berambut sangat hitam, tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan jauh dan tidak ada seorangpun di antara kami yang mengenalnya. Hingga kemudian dia duduk di hadapan Nabi lalu menempelkan kedua lututnya kepada kepada lututnya (Rasulullah Shallallāhu ’alaihi wasallam) seraya berkata: “Ya Muhammad, beritahukan aku tentang Islam?”, maka bersabdalah Rasulullah Shallallāhu ’alaihi wasallam: “Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada Ilah (Tuhan yang disembah) selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji jika mampu “, kemudian dia berkata: “ Anda benar“.
Kami semua heran, dia yang bertanya dia pula yang  membenarkan. Kemudian dia bertanya lagi: “Beritahukan aku tentang Iman“. Lalu beliau bersabda: “Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk“, kemudian dia berkata: “Anda benar“.  Kemudian dia berkata lagi: “Beritahukan aku tentang ihsan“. Lalu beliau bersabda: “ Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya maka Dia melihat engkau”.
Kemudian dia berkata: “Beritahukan aku tentang hari kiamat (kapan kejadiannya)”. Beliau bersabda: “Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya“. Dia berkata:  “Beritahukan aku tentang tanda-tandanya“, beliau bersabda:  “Jika seorang hamba melahirkan tuannya dan jika engkau melihat seorang bertelanjang kaki dan dada, miskin dan penggembala domba, (kemudian)  berlomba-lomba meninggikan bangunannya.“  Kemudian orang itu berlalu dan aku berdiam sebentar, lalu beliau (Rasulullah) bertanya: “ Tahukah engkau siapa yang bertanya?” Aku berkata: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.“  Beliau bersabda: “ Dia adalah Jibril yang datang kepada kalian (bermaksud) mengajarkan agama kalian. “  (Riwayat Muslim)

Muttaqi (Orang  yang Bertakwa)  dan Muhsin (Pelaku Ihsan)

        Sehubungan dengan kata  iman,   di dalam Al-Quran Allah Swt. menyebut para pelakunya  dengan sebutan  mutaqi (orang yang bertakwa), karena   keimanannya kepada Allah Swt.  dalam taraf  keimanan kepada yang gaib”,  firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾  الٓـمّٓ ۚ﴿﴾  ذٰلِکَ  الۡکِتٰبُ لَا رَیۡبَ ۚۖۛ فِیۡہِ ۚۛ ہُدًی  لِّلۡمُتَّقِیۡنَ ۙ﴿﴾  الَّذِیۡنَ یُؤۡمِنُوۡنَ بِالۡغَیۡبِ وَ یُقِیۡمُوۡنَ الصَّلٰوۃَ وَ  مِمَّا رَزَقۡنٰہُمۡ  یُنۡفِقُوۡنَ ۙ﴿﴾ وَ الَّذِیۡنَ یُؤۡمِنُوۡنَ بِمَاۤ  اُنۡزِلَ اِلَیۡکَ وَ مَاۤ اُنۡزِلَ مِنۡ قَبۡلِکَ ۚ وَ بِالۡاٰخِرَۃِ ہُمۡ یُوۡقِنُوۡنَ ؕ﴿﴾ اُولٰٓئِکَ عَلٰی ہُدًی مِّنۡ رَّبِّہِمۡ ٭ وَ اُولٰٓئِکَ ہُمُ  الۡمُفۡلِحُوۡنَ ﴿﴾
Aku baca dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang.   Alif Lām Mīm.Inilah  Kitab yang sempurna itu,   tidak ada keraguan di dalamnya,  petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.  Yaitu orang-orang yang beriman kepada  yang gaib,  mendirikan shalat dan mereka  membelanjakan sebagian dari apa  yang Kami rezekikan kepada mereka.   Dan orang-orang  yang beriman kepada apa yang diturunkan kepada engkau , juga kepada apa yang telah diturunkan sebelum engkau  dan kepada  akhirat  pun mereka   yakin.   Mereka itulah orang-orang yang  berada di atas  petunjuk dari  Rabb  mereka (Tuhan mereka)  dan mereka itulah orang-orang yang  berhasil. (Al-Baqarah [2]:1-6).
      Ada pun pelaku ihsan    di dalam Al-Quran Allah Swt. menyebut mereka muhsin (orang yang berbuat ihsan), yang menurut Nabi Besar Muhammad saw. bahwa pada tingkatan ihsan, orang-orang beriman dalam melakukan berbagai  kebaikan seakan-akan  melihat Allah Swt. atau  meyakini  bahwa Allah Swt. melihat apa pun  kebaikan yang dilakukannya, dengan demikian derajatnya lebih tinggi dari keadaan “beriman kepada yang gaib”, firman-Nya mengenai  ihsan:
وَ قَالُوۡا لَنۡ یَّدۡخُلَ الۡجَنَّۃَ اِلَّا مَنۡ کَانَ ہُوۡدًا اَوۡ نَصٰرٰی ؕ تِلۡکَ اَمَانِیُّہُمۡ ؕ قُلۡ ہَاتُوۡا بُرۡہَانَکُمۡ  اِنۡ کُنۡتُمۡ صٰدِقِیۡنَ ﴿﴾ بَلٰی ٭  مَنۡ اَسۡلَمَ وَجۡہَہٗ  لِلّٰہِ وَ ہُوَ  مُحۡسِنٌ فَلَہٗۤ اَجۡرُہٗ عِنۡدَ رَبِّہٖ ۪ وَ لَا خَوۡفٌ عَلَیۡہِمۡ  وَ لَا ہُمۡ  یَحۡزَنُوۡنَ ﴿﴾٪
Dan mereka berkata:  Tidak akan pernah ada yang akan masuk surga, kecuali orang-orang Yahudi atau Nasrani.”  Ini hanyalah angan-angan mereka belaka. Katakanlah: “Kemukakanlah bukti-bukti kamu, jika kamu sungguh orang-orang yang benar.” Tidak demikian, bahkan yang benar ialah  barangsiapa menyerahkan dirinya (aslama) kepada  Allah dan ia berbuat ihsan maka baginya ada ganjaran di sisi  Rabb-nya (Tuhan-nya),   tidak ada ketakutan atas mereka dan tidak pula mereka akan bersedih. (Al-Baqarah [2]:112-113).
       Dalam ayat 112 orang-orang Yahudi dan Kristen kedua-duanya berkhayal kosong bahwa hanya orang Yahudi atau Kristen saja yang dapat meraih najat (keselamatan) atau  menjadi penghuni surga. Hal tersebut dibantah oleh Allah Swt. dengan menyatakan  bahwa  siapa pun mereka itu asalkan saja bersikap aslama  (muslim)  -- yakni berserah diri kepada Allah Swt. --   مَنۡ اَسۡلَمَ وَجۡہَہٗ  لِلّٰہِ   --   kemudian  وَ ہُوَ  مُحۡسِنٌ   -- dia melakukan ihsan   yakni sebagai  muhsin,   فَلَہٗۤ اَجۡرُہٗ عِنۡدَ رَبِّہ َ  --   "”maka baginya ada ganjaran di sisi  Rabb-nya (Tuhan-nya),”    mereka itu pasti akan menjadi “penghuni surga,   baik di dalam kehidupan di dunia ini mau pun di akhirat nanti,  yakni   وَ لَا خَوۡفٌ عَلَیۡہِمۡ  وَ لَا ہُمۡ  یَحۡزَنُوۡنَ  -- “tidak ada ketakutan atas mereka dan tidak pula mereka akan bersedih.”
 
Tiga Tingkatan Keadaan Jiwa Manusia: Fana, Baqa,  dan Liqa &
 Ke-Muslim-an Sempurna Nabi Besar Muhammad Saw.

        Dalam ayat   مَنۡ اَسۡلَمَ وَجۡہَہٗ  لِلّٰہِ  -- “barangsiapa  menyerahkan dirinya  kepada  Allah” kata wajh berarti: wajah (muka); benda itu sendiri; tujuan dan motif; perbuatan atau tindakan yang kepadanya seseorang menujukan perhatian; jalan yang diinginkan, anugerah atau kebaikan (Aqrab-al-Mawarid).
        Firman Allah Swt.   ini memberi isyarat kepada ketiga taraf (tingkatan) penting ketakwaan sempurna, yaitu:  fana (menghilangkan diri), baqa (kelahiran kembali), dan liqa (memanunggal dengan Allah Swt.).
     Kata-kata  aslama (berserah diri kepada Allah) berarti  segala kekuatan dan anggota tubuh orang-orang Muslim dan apa-apa yang menjadi bagian diri mereka diserahkan kepada Allah Swt.  seutuhnya dan dibaktikan kepada-Nya. Keadaan itu dikenal sebagai fana atau “kematian” yang harus ditimpakan seorang Muslim atas dirinya sendiri.
       Anak-kalimat kedua  وَ ہُوَ  مُحۡسِنٌ -- “dan ia berbuat ihsan” menunjuk kepada keadaan baqa atau “kelahiran kembali”, sebab bila seseorang telah melenyapkan dirinya (fana) dalam cinta Ilahi dan segala tujuan serta keinginan duniawi telah lenyap,   ia seolah-olah dianugerahi kehidupan baru yang dapat disebut baqa atau kelahiran kembali, maka ia hidup untuk Allah Swt. .  dan bakti kepada umat manusia.
        Kata-kata penutup  وَ لَا خَوۡفٌ عَلَیۡہِمۡ  وَ لَا ہُمۡ  یَحۡزَنُوۡنَ  -- “tidak ada ketakutan atas mereka dan tidak pula mereka akan bersedih  menjelaskan taraf kebaikan ketiga dan tertinggi — taraf liqa atau memanunggal (menyatu) dengan Allah, Swt. --  yang dalam Al-Quran disebut pula “jiwa yang tenteram” atau nafs muthma’innah, firman-Nya:
یٰۤاَیَّتُہَا النَّفۡسُ الۡمُطۡمَئِنَّۃُ ﴿٭ۖ﴾  ارۡجِعِیۡۤ  اِلٰی  رَبِّکِ رَاضِیَۃً  مَّرۡضِیَّۃً ﴿ۚ﴾  فَادۡخُلِیۡ  فِیۡ عِبٰدِیۡ﴿ۙ﴾  وَ ادۡخُلِیۡ جَنَّتِیۡ ﴿٪﴾
Hai jiwa yang tenteram!   Kembalilah kepada  Rabb (Tuhan) eng-kau, engkau ridha kepada-Nya dan Dia pun ridha kepada engkau.  Maka masuklah dalam golongan hamba-hamba-Ku,   dan masuklah ke dalam surga-Ku.  (Al-Fajr [89]:27-29). 
   Ayat-ayat ini mengisyaratkan kepada  tingkat perkembangan ruhani tertinggi ketika manusia ridha kepada  Rabb-nya (Tuhan-nya) dan Tuhan pun ridha kepadanya (QS.58:23). Pada tingkat ini yang disebut pula tingkat surgawi, ia menjadi kebal terhadap segala macam kelemahan akhlak, diperkuat dengan kekuatan ruhani yang khusus. Ia “manunggal” dengan Allah Swt.   – dalam Sifat dan perbuatan  -- dan tidak dapat hidup tanpa Dia.
 Di  dalam kehidupan dunia inilah dan bukan sesudah mati   di alam akhirat perubahan ruhani besar terjadi di dalam dirinya, dan di dunia inilah  dan bukan di tempat lain jalan dibukakan baginya untuk masuk ke “surga” yang bagi orang lain masih harus menunggu memasukinya setelah mengalami kematian.
Mengisyaratkan kepada  ke-muslim-an  yang sempurna seperti  itulah firman Allah Swt. berikut ini kepada Nabi Besar Muhammad saw.: 
قُلۡ  اِنَّنِیۡ ہَدٰىنِیۡ رَبِّیۡۤ  اِلٰی صِرَاطٍ مُّسۡتَقِیۡمٍ ۬ۚ دِیۡنًا قِیَمًا مِّلَّۃَ  اِبۡرٰہِیۡمَ حَنِیۡفًا ۚ وَ مَا کَانَ مِنَ الۡمُشۡرِکِیۡنَ ﴿﴾   قُلۡ  اِنَّ صَلَاتِیۡ  وَ نُسُکِیۡ وَ مَحۡیَایَ وَ مَمَاتِیۡ   لِلّٰہِ   رَبِّ  الۡعٰلَمِیۡنَ ﴿﴾ۙ  لَا شَرِیۡکَ لَہٗ ۚ وَ بِذٰلِکَ اُمِرۡتُ وَ اَنَا  اَوَّلُ الۡمُسۡلِمِیۡنَ ﴿﴾
Katakanlah: “Sesungguhnya aku telah diberi petunjuk oleh  Rabb-ku (Tuhan-ku) kepada jalan lurus, agama yang teguh,  agama Ibrahim yang lurus dan dia bukanlah dari golongan orang-orang musyrik.” Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, pengorbananku,  kehidupanku, dan  kematianku  hanyalah untuk Allah,  Rabb (Tuhan) seluruh  alam, tidak ada sekutu bagi-Nya, untuk itulah aku diperintahkan,  dan akulah orang pertama  yang berserah diri. (Al-An’ām [6]:162-164).

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar,  31 Oktober    2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar