بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah Ruhani Surah
Shād
Bab 69
Derajat “Muhsin” (Pelaku Ihsan) Lebih
Tinggi daripada “Muttaqi” (Orang Bertakwa) &
Ke-Muslim-an Sempurna Nabi Besar Muhammad Saw.
Oleh
Ki
Langlang Buana Kusuma
Dalam akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan mengenai
makna al-husna
dalam ayat لِلَّذِیۡنَ اَحۡسَنُوا الۡحُسۡنٰی وَ زِیَادَۃٌ -- “Bagi orang-orang yang berbuat ihsan ada balasan yang lebih baik serta tambahan-tambahan yang lain” (QS.10:26-28) berarti kesudahan yang menggembirakan, kemenangan; kecerdasan dan kegesitan,
maka anak kalimat lilladzina ahsanul-husna (bagi orang-orang yang berbuat ihsan ada balasan yang lebih baik) berarti:
(1) bahwa orang-orang beriman akan sampai kepada kesudahan yang menyenangkan;
(2) bahwa mereka akan mencapai sukses;
(3) bahwa Allah Swt. . akan
menjadikan mereka cerdas dan terampil.
Kata ziyādah (tambahan lebih banyak lagi) mengandung arti bahwa orang-orang beriman akan mendapatkan Allah
Swt. Sendiri sebagai ganjarannya, dan kata al-husna
(yang berarti juga penglihatan kepada
Tuhan) menguatkan kesimpulan itu.
Surah Yunus ayat 26-28
tersebut mengandung beberapa kebenaran yang penting:
(a) Di mana ganjaran kebaikan itu berlipat-ganda (lihat ayat sebelumnya), pembalasan terhadap keburukan itu hanya setimpal,
(b) mereka yang melanggar hukum-hukum
Tuhan, kehilangan dorongan untuk
mencapai cita-cita tinggi dan hasrat-hasrat
mulia dan hanya menjadi peniru
kelakuan orang-orang lain belaka, lalu mereka kehilangan segala prakarsa
dan tidak pernah bercita-cita untuk
menjadi pemimpin manusia.
(c) Sesudah demikian rupa jatuhnya dan memperoleh kemurkaan Tuhan, mereka kehilangan dan
terluput dari pertolongan Ilahi.
(d) Ketidak-adilan dan pelanggaran-pelanggaran
yang dilakukan oleh pelaku-pelaku
keburukan itu tak mungkin tersembunyi
untuk selama-lamanya; cepat atau lambat akan terbuka juga.
Ringkasnya, hukum pembalasan dari Allah Swt. bekerja dengan cara ini, yaitu untuk amal-amal
yang baik ganjarannya beberapa kali
lipat lebih besar, sedangkan hukuman
atas amal buruk kurang dari apa yang
harus diterima atas perbuatan orang yang berdosa
itu, atau paling banyak setimpal
dengan itu.
Dialog Nabi Besar Muhammad Saw. dengan Malaikat Jibril a.s.
Sehubungan dengan ihsan, diriwayatkan dalam sebuah hadits tentang dialog antara Malaikat Jibril a.s. dengan Nabi Besar Muhammad saw. tentang
arti Islam, iman dan ihsan yang ditanyakan oleh Malaikat
Jibril a.s., dalam rangka memberikan pelajaran
agama kepada para sahabah r.a. yang hadir:
Dari Umar radhiallāhu ‘anhu dia berkata: Ketika kami duduk-duduk disisi
Rasulullah Shallallāhu ’alaihi wasallam suatu hari tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang mengenakan baju yang sangat putih dan berambut sangat hitam, tidak tampak
padanya bekas-bekas perjalanan jauh dan tidak ada seorangpun di antara kami yang
mengenalnya. Hingga kemudian dia duduk di hadapan Nabi lalu menempelkan kedua
lututnya kepada kepada lututnya (Rasulullah Shallallāhu ’alaihi wasallam)
seraya berkata: “Ya Muhammad, beritahukan aku tentang Islam?”, maka bersabdalah
Rasulullah Shallallāhu ’alaihi wasallam: “Islam adalah engkau bersaksi bahwa
tidak ada Ilah (Tuhan yang disembah)
selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa
Ramadhan dan pergi haji jika mampu “, kemudian dia berkata: “ Anda benar“.
Kami semua heran, dia yang bertanya dia pula yang membenarkan.
Kemudian dia bertanya lagi: “Beritahukan aku tentang Iman“. Lalu beliau
bersabda: “Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,
rasul-rasul-Nya dan hari akhir dan engkau beriman kepada takdir yang baik
maupun yang buruk“, kemudian dia berkata: “Anda benar“. Kemudian dia
berkata lagi: “Beritahukan aku tentang ihsan“. Lalu beliau bersabda: “ Ihsan
adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika
engkau tidak melihatnya maka Dia melihat engkau”.
Kemudian dia berkata: “Beritahukan aku tentang hari kiamat (kapan kejadiannya)”. Beliau
bersabda: “Yang ditanya tidak lebih
tahu dari yang bertanya“. Dia
berkata: “Beritahukan aku tentang tanda-tandanya“,
beliau bersabda: “Jika seorang hamba melahirkan tuannya dan jika engkau
melihat seorang bertelanjang kaki dan dada, miskin dan penggembala domba,
(kemudian) berlomba-lomba meninggikan bangunannya.“ Kemudian orang
itu berlalu dan aku berdiam sebentar, lalu beliau (Rasulullah) bertanya: “
Tahukah engkau siapa yang bertanya?” Aku berkata: “Allah dan Rasul-Nya
lebih mengetahui.“ Beliau bersabda: “
Dia adalah Jibril yang datang kepada kalian (bermaksud) mengajarkan agama
kalian. “ (Riwayat Muslim)
Muttaqi (Orang yang Bertakwa) dan Muhsin
(Pelaku Ihsan)
Sehubungan dengan kata iman, di
dalam Al-Quran Allah Swt. menyebut para pelakunya dengan sebutan mutaqi
(orang yang bertakwa), karena keimanannya
kepada Allah Swt. dalam taraf “keimanan
kepada yang gaib”, firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾ الٓـمّٓ ۚ﴿﴾ ذٰلِکَ الۡکِتٰبُ لَا رَیۡبَ ۚۖۛ فِیۡہِ ۚۛ ہُدًی لِّلۡمُتَّقِیۡنَ ۙ﴿﴾ الَّذِیۡنَ یُؤۡمِنُوۡنَ بِالۡغَیۡبِ وَ یُقِیۡمُوۡنَ
الصَّلٰوۃَ وَ مِمَّا
رَزَقۡنٰہُمۡ یُنۡفِقُوۡنَ ۙ﴿﴾ وَ الَّذِیۡنَ یُؤۡمِنُوۡنَ
بِمَاۤ اُنۡزِلَ اِلَیۡکَ وَ مَاۤ اُنۡزِلَ مِنۡ قَبۡلِکَ ۚ وَ بِالۡاٰخِرَۃِ ہُمۡ یُوۡقِنُوۡنَ ؕ﴿﴾ اُولٰٓئِکَ عَلٰی ہُدًی مِّنۡ رَّبِّہِمۡ ٭ وَ
اُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡمُفۡلِحُوۡنَ ﴿﴾
Aku baca dengan nama Allah, Maha
Pemurah, Maha Penyayang. Alif
Lām Mīm.Inilah Kitab
yang sempurna itu, tidak
ada keraguan di dalamnya, petunjuk
bagi orang-orang yang bertakwa.
Yaitu orang-orang yang beriman kepada yang
gaib, mendirikan shalat dan mereka membelanjakan
sebagian dari apa yang Kami rezekikan
kepada mereka. Dan orang-orang yang beriman kepada apa yang diturunkan
kepada engkau , juga kepada apa yang telah diturunkan sebelum engkau dan kepada
akhirat pun mereka
yakin. Mereka itulah orang-orang yang berada di atas petunjuk dari Rabb mereka (Tuhan mereka) dan mereka
itulah orang-orang yang berhasil. (Al-Baqarah
[2]:1-6).
Ada pun
pelaku ihsan di dalam Al-Quran Allah Swt. menyebut
mereka muhsin (orang yang berbuat
ihsan), yang menurut Nabi Besar Muhammad saw. bahwa pada tingkatan ihsan, orang-orang beriman dalam melakukan berbagai kebaikan seakan-akan melihat Allah Swt. atau meyakini bahwa Allah Swt. melihat apa pun kebaikan yang dilakukannya, dengan
demikian derajatnya lebih tinggi dari
keadaan “beriman kepada yang gaib”, firman-Nya mengenai ihsan:
وَ قَالُوۡا لَنۡ یَّدۡخُلَ الۡجَنَّۃَ اِلَّا مَنۡ کَانَ ہُوۡدًا اَوۡ
نَصٰرٰی ؕ تِلۡکَ اَمَانِیُّہُمۡ ؕ قُلۡ ہَاتُوۡا بُرۡہَانَکُمۡ اِنۡ کُنۡتُمۡ صٰدِقِیۡنَ ﴿﴾ بَلٰی ٭ مَنۡ اَسۡلَمَ وَجۡہَہٗ لِلّٰہِ وَ ہُوَ مُحۡسِنٌ فَلَہٗۤ اَجۡرُہٗ عِنۡدَ رَبِّہٖ ۪ وَ
لَا خَوۡفٌ عَلَیۡہِمۡ وَ لَا ہُمۡ یَحۡزَنُوۡنَ ﴿﴾٪
Dan mereka
berkata: ”Tidak akan pernah ada yang akan masuk surga,
kecuali orang-orang Yahudi atau Nasrani.” Ini hanyalah angan-angan mereka belaka. Katakanlah: “Kemukakanlah bukti-bukti kamu, jika kamu sungguh orang-orang yang benar.” Tidak
demikian, bahkan yang benar ialah barangsiapa
menyerahkan dirinya (aslama) kepada Allah dan
ia berbuat ihsan maka baginya ada ganjaran di sisi Rabb-nya (Tuhan-nya), tidak
ada ketakutan atas mereka dan tidak
pula mereka akan bersedih. (Al-Baqarah [2]:112-113).
Dalam ayat 112 orang-orang Yahudi dan Kristen kedua-duanya berkhayal kosong bahwa hanya orang Yahudi atau Kristen saja yang dapat meraih najat (keselamatan) atau menjadi penghuni
surga. Hal tersebut dibantah oleh
Allah Swt. dengan menyatakan bahwa siapa
pun mereka itu asalkan saja bersikap aslama (muslim) -- yakni berserah
diri kepada Allah Swt. -- مَنۡ اَسۡلَمَ
وَجۡہَہٗ لِلّٰہِ -- kemudian
وَ ہُوَ مُحۡسِنٌ -- dia melakukan ihsan yakni sebagai
muhsin, فَلَہٗۤ اَجۡرُہٗ
عِنۡدَ رَبِّہ َ -- "”maka
baginya ada ganjaran di sisi Rabb-nya (Tuhan-nya),” mereka itu pasti
akan menjadi “penghuni surga,”
baik di dalam kehidupan di dunia
ini mau pun di akhirat nanti, yakni وَ لَا خَوۡفٌ
عَلَیۡہِمۡ وَ لَا ہُمۡ یَحۡزَنُوۡنَ -- “tidak
ada ketakutan atas mereka dan tidak
pula mereka akan bersedih.”
Tiga Tingkatan Keadaan Jiwa Manusia: Fana, Baqa, dan Liqa &
Ke-Muslim-an
Sempurna Nabi Besar Muhammad Saw.
Dalam ayat مَنۡ اَسۡلَمَ وَجۡہَہٗ لِلّٰہِ -- “barangsiapa menyerahkan dirinya kepada Allah” kata wajh berarti: wajah (muka); benda itu sendiri; tujuan dan motif; perbuatan atau tindakan yang kepadanya seseorang
menujukan perhatian; jalan yang
diinginkan, anugerah atau kebaikan (Aqrab-al-Mawarid).
Firman Allah Swt. ini
memberi isyarat kepada ketiga taraf (tingkatan)
penting ketakwaan sempurna,
yaitu: fana (menghilangkan diri),
baqa (kelahiran kembali), dan liqa (memanunggal dengan Allah Swt.).
Kata-kata aslama
(berserah diri kepada Allah) berarti
segala kekuatan dan anggota tubuh orang-orang Muslim dan apa-apa yang menjadi bagian
diri mereka diserahkan kepada Allah
Swt. seutuhnya dan dibaktikan
kepada-Nya. Keadaan itu dikenal sebagai fana atau “kematian” yang harus ditimpakan seorang Muslim atas dirinya sendiri.
Anak-kalimat kedua وَ ہُوَ
مُحۡسِنٌ -- “dan ia berbuat ihsan” menunjuk kepada keadaan baqa atau “kelahiran kembali”, sebab bila seseorang
telah melenyapkan dirinya (fana)
dalam cinta Ilahi dan segala tujuan serta keinginan duniawi telah lenyap, ia seolah-olah dianugerahi kehidupan baru yang dapat disebut baqa
atau kelahiran kembali, maka ia hidup untuk Allah Swt. . dan bakti kepada umat manusia.
Kata-kata penutup وَ لَا خَوۡفٌ عَلَیۡہِمۡ وَ لَا ہُمۡ
یَحۡزَنُوۡنَ -- “tidak ada ketakutan atas mereka dan tidak pula mereka akan bersedih” menjelaskan taraf kebaikan ketiga dan tertinggi
— taraf liqa atau memanunggal (menyatu) dengan Allah, Swt. -- yang dalam Al-Quran disebut pula “jiwa yang tenteram” atau nafs
muthma’innah, firman-Nya:
یٰۤاَیَّتُہَا النَّفۡسُ الۡمُطۡمَئِنَّۃُ ﴿٭ۖ﴾ ارۡجِعِیۡۤ
اِلٰی رَبِّکِ رَاضِیَۃً مَّرۡضِیَّۃً ﴿ۚ﴾ فَادۡخُلِیۡ
فِیۡ عِبٰدِیۡ﴿ۙ﴾ وَ ادۡخُلِیۡ
جَنَّتِیۡ ﴿٪﴾
Hai jiwa yang tenteram! Kembalilah kepada Rabb
(Tuhan) eng-kau, engkau ridha kepada-Nya
dan Dia pun ridha kepada
engkau. Maka masuklah dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku. (Al-Fajr [89]:27-29).
Ayat-ayat ini
mengisyaratkan kepada tingkat perkembangan ruhani tertinggi ketika
manusia ridha kepada Rabb-nya (Tuhan-nya) dan Tuhan pun ridha kepadanya (QS.58:23). Pada tingkat ini yang disebut pula tingkat surgawi, ia menjadi kebal terhadap segala macam kelemahan akhlak, diperkuat dengan kekuatan ruhani yang khusus. Ia “manunggal” dengan Allah Swt.
– dalam Sifat dan perbuatan -- dan tidak
dapat hidup tanpa Dia.
Di dalam kehidupan
dunia inilah dan bukan sesudah mati di
alam akhirat perubahan ruhani besar
terjadi di dalam dirinya, dan di dunia
inilah dan bukan di tempat lain jalan dibukakan
baginya untuk masuk ke “surga” yang
bagi orang lain masih harus menunggu memasukinya setelah mengalami kematian.
Mengisyaratkan kepada ke-muslim-an yang sempurna seperti itulah firman Allah Swt. berikut ini kepada
Nabi Besar Muhammad saw.:
قُلۡ اِنَّنِیۡ ہَدٰىنِیۡ
رَبِّیۡۤ اِلٰی صِرَاطٍ مُّسۡتَقِیۡمٍ ۬ۚ
دِیۡنًا قِیَمًا مِّلَّۃَ اِبۡرٰہِیۡمَ
حَنِیۡفًا ۚ وَ مَا کَانَ مِنَ الۡمُشۡرِکِیۡنَ ﴿﴾ قُلۡ
اِنَّ صَلَاتِیۡ وَ نُسُکِیۡ وَ
مَحۡیَایَ وَ مَمَاتِیۡ لِلّٰہِ رَبِّ
الۡعٰلَمِیۡنَ ﴿﴾ۙ لَا شَرِیۡکَ لَہٗ ۚ
وَ بِذٰلِکَ اُمِرۡتُ وَ اَنَا اَوَّلُ الۡمُسۡلِمِیۡنَ
﴿﴾
Katakanlah:
“Sesungguhnya aku telah diberi petunjuk
oleh Rabb-ku (Tuhan-ku) kepada jalan
lurus, agama yang teguh, agama
Ibrahim yang lurus dan dia bukanlah
dari golongan orang-orang musyrik.” Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, pengorbananku, kehidupanku,
dan kematianku
hanyalah untuk Allah, Rabb (Tuhan) seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya, untuk itulah
aku diperintahkan, dan akulah
orang pertama yang berserah diri. (Al-An’ām
[6]:162-164).
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 31 Oktober
2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar