Sabtu, 31 Mei 2014

Tingkatan-tingkatan Nikmat Surgawi "Memandang Wajah" Allah Swt. yang Tidak Berkesudahan



 بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم

Khazanah Ruhani Surah  Shād

Bab   226

Tingkatan-tingkatan   Nikmat  SurgawiMemandang Wajah” Allah Swt.  yang Tidak Berkesudahan

 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma
 
D
alam   akhir Bab sebelumnya   telah dikemukakan   mengenai  bagian lain buku Kisyti Nuh (Bahtera Nuh)  dimana Mirza Ghulam Ahmad a.s. lebih jauh menjelaskan tentang Kemahakuasaan Allah Swt.:
      Tuhan adalah Tuhan yang amat setia, dan bagi  mereka yang tetap setia Dia menampakkan kejadian-kejadian  ajaib.  Dunia ingin menelan mereka, dan tiap lawan mau mengganyang mereka, tetapi Dia Yang menjadi Kawan mereka menyelamatkan mereka dari tiap tempat kemusnahan, dan menganugerahi mereka kemenangan dalam tiap-tiap medan.
    Alangkah bahagianya orang yang tidak melepaskan tali silaturahim (perhubungan kasing-sayang)  dengan  Tuhan semacam itu. Kepada-Nya kita beriman. Kita telah mengenal Dia. Dia-lah Tuhan bagi  seluruh alam, dan  Dia-lah Yang telah  menurunkan  wahyu kepadaku, dan Yang telah memperlihatkan  bagiku  Tanda-tanda perkasa, Yang telah mengutusku sebagai Masih Mau’ud untuk zaman ini. Kecuali Dia tidak ada Tuhan lagi, tidak di  langit tidak pula di bumi.
     Barangsiapa yang tidak beriman kepada-Nya, jauhlah ia dari kebahagiaan dan ia ada dalam cengkraman kemalangan. Kami telah menerima wahyu dari  Tuhan kami  laksana matahari berkilau-kilauan. Kami telah menyaksikan-Nya bahwa Dia-lah Tuhan bagi  alam semesta,  dan tidak ada Tuhan kecuali Dia. Sungguh Perkasa lagi  Berdiri Sendiri Tuhan  Yang kami jumpai itu! Betapa hebatnya kekuasaan-kekuasaan yang  dimiliki Tuhan yang telah kami saksikan. Sesungguhnya di hadapan Dia tiada sesuatu yang mustahil, kecuali apabila itu bertentangan dengan Kitab-Nya dan janji-Nya.
     Oleh karena itu apabila kamu berdoa, janganlah  hendaknya kamu  berbuat  seperti yang dilakukan orang-orang naturalis yang jahil, dan yang telah merancang   suatu hukum kudrat alam  menurut daya khayal  mereka sendiri yang tidak mendapat pengesahan  Kitab Ilahi. Mereka itu  mardud (tertolak), doa-doa mereka sekali-kali tidak akan terkabul. Mereka itu buta, tidak melihat. Mereka itu mati, tidak hidup. Mereka mengemukakan di hadapan Tuhan suatu hukum yang mereka rancang sendiri, dan mereka membatasi kudrat-kudrat-Nya yang tidak berhingga itu  dan menganggap-Nya……, maka  mereka akan diperlakukan sesuai dengan keadaan  mereka sendiri.
     Akan tetapi apabila kamu berdiri untuk memanjatkan doa, maka terlebih dulu kamu wajib meyakini  bahwa Tuhan kamu berkuasa atas tiap sesuatu, sesudah itu barulah doa-doa kamu akan terkabul, dan kamu akan menyaksikan keajiban-keajaiban kudrat Ilahi yang telah kami lihat. Dan kesaksian kami adalah berdasarkan rukyat (penglihatan) sendiri, dan bukan berdasarkan  dongeng-dongeng.
    Bagaimanakah  doa-doa  orang semacam itu terkabul, dan juga bagaimanakah ia akan mempunyai keberanian untuk memanjatkan doa pada waktu ia  dihadapkan kepada  kesulitan-kesulitan besar, kalau ia tidak percaya bahwa Tuhan berkuasa atas tiap sesuatu? Sebab  hal itu bertentangan dengan hukum kudrat yang dibuatnya sendiri.
     Tetapi, wahai orang-orang budiman! Hendaklah kamu jangan berbuat seperti itu! Tuhan kamu adalah Wujud Yang menggantungkan bintang-bintang yang tak terhitung banyaknya di cakrawala  tanpa tiang sebatang pun,  dan  telah menciptakan dunia dan langit dari serba tiada. Apakah kamu berprangsangka terhadap Dia bahwa Dia tidak akan berdaya untuk memenuhi keperluan kamu?[1] Bahkan prasangka kamu itu sendirilah yang  akan merugikan diri kamu.
      Dalam Wujud Tuhan kami terdapat keajaiban-keajaiban yang tak terhingga  banyaknya. Akan tetapi hanya mereka yang menjadi kepunyaan Dia-lah – berkat ketulusan serta kesetiaan mereka -- dapat melihat keajaiban-keajaiban itu. Dia tidak menampakkan keajaiban-keajaiban kepada orang yang   tidak  mempercayai kekuasaan-Nya dan tidak setia  kepada kesungguhan hati terhadap-Nya.
    Alangkah malangnya insan itu yang hingga kini belum  mengetahui juga bahwasanya ia mempunyai Satu Tuhan Yang berkuasa atas tiap sesuatu! Surga kita adalah Tuhan kita. Puncak kelezatan kita terletak pada Tuhan kita, sebab kami telah melihat-Nya, dan segala kejuitaan nampak pada Wujud-Nya. Harta ini patut dimiliki, walaupun untuk memilikinya harus dengan jalan mempertaruhkan jiwa. Permata itu patut dibeli, sekalipun untuk memperolehnya harus dengan jalan meniadakan segala wujud kita.
    Wahai orang-orang yang merugi! Bergegaslah lari menuju Sumber mata-air   ini agar oleh mata-air itu dahaga kamu akan dilepaskan. Inilah Sumber mata-air kehidupan yang bakal menyelamatkan kamu sekalian. Apa gerangan yang harus kuperbuat, dan bagaimanakah harus kusampaikan  berita ini ke setiap kalbu manusia? Dengan genderang bagaimana jenisnya  harus kuumumkan di pusat-pusat keramaian bahwa inilah Tuhan kamu, agar orang dapat mendengar? Dengan obat apakah harus kuobati telinga orang-orang agar jadi terbuka untuk mendengarnya?”

Wali Besar Perempuan Rabi’ah al-Adawiyah

      Pernyataan Al-Masih Mau’ud a.s. tentang hakikat surga yang hakiki yakni Allah Swt., beliau  bersabda:
Alangkah malangnya insan itu yang hingga kini belum  mengetahui juga bahwasanya ia mempunyai Satu Tuhan Yang berkuasa atas tiap sesuatu! Surga kita adalah Tuhan kita. Puncak kelezatan kita terletak pada Tuhan kita, sebab kami telah melihat-Nya, dan segala kejuitaan nampak pada Wujud-Nya. Harta ini patut dimiliki, walaupun untuk memilikinya harus dengan jalan mempertaruhkan jiwa. Permata itu patut dibeli, sekalipun untuk memperolehnya harus dengan jalan meniadakan segala wujud kita.
     Ungkapan kalimat “Surga kita adalah Tuhan kita. Puncak kelezatan kita terletak pada Tuhan kita Pendiri Jemaat Ahmadiyah tersebut sesuai dengan   ucapan  Rabi’ah al-‘Adawiyah, salah seorang sufi besar   perempuan, berikut ini berkenaan surga dan neraka -- yang umumnya menjadi motivasi beribadah kepada Allah Swt.  --  sehingga benar-benar merupakan Tauhid yang hakiki,  tanpa diembel-embeli kedambaan akan surga dengan segala gambaran  kenikmatannya dan   takut akan  siksaan  dalam neraka jahannam:
Jika aku menyembah-Mu karena takut dari api neraka-Mu maka bakarlah aku di dalamnya! Dan jika aku menyembah-Mu karena tamak kepada surga-Mu maka haramkanlah aku darinya! Tetapi jika aku menyembah-Mu karena kecintaanku kepada-Mu maka berikanlah aku balasan yang besar, berilah aku melihat Wajah-Mu yang Maha Besar dan Maha Mulia itu. ”
          Ucapan kedua orang suci tersebut sesuai dengan firman Allah Swt. berikut ini bahwa puncak kenikmatan surgawi adalah ketika para penghuni surga mendapat perkenan Allah Swt. untuk memandang-Nya dan bercakap-cakap dengan-Nya, firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿٪﴾ وَیۡلٌ   لِّلۡمُطَفِّفِیۡنَ ۙ﴿ ﴾ الَّذِیۡنَ  اِذَا  اکۡتَالُوۡا عَلَی النَّاسِ یَسۡتَوۡفُوۡنَ ۫﴿ۖ﴾ وَ  اِذَا کَالُوۡہُمۡ  اَوۡ وَّزَنُوۡہُمۡ  یُخۡسِرُوۡنَ ﴿ؕ﴾ اَلَا یَظُنُّ  اُولٰٓئِکَ اَنَّہُمۡ مَّبۡعُوۡثُوۡنَ ۙ﴿﴾ لِیَوۡمٍ عَظِیۡمٍ ۙ﴿﴾ یَّوۡمَ یَقُوۡمُ النَّاسُ لِرَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ ؕ﴿﴾
Aku baca  dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang.    Celakalah bagi orang-orang yang mengurangi timbangan, yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka meminta  penuh,   tetapi apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain mereka mengurangi.   Apakah mereka tidak yakin  bahwasanya mereka akan dibangkitkan,    pada suatu Hari yang besar?     Yaitu hari ketika umat manusia akan berdiri di hadapan Rabb (Tuhan) seluruh alam.  (Al-Muthaffifīn [83]:1-7).
     Ada Hari Hisab dalam kehidupan di  akhirat, ketika manusia harus mempertanggung-jawabkan perbuatan mereka kepada Rabb (Tuhan) dan Majikan mereka, tetapi hari perhitungan datang  atas suatu kaum di dunia ini juga, bilamana perbuatan-perbuatan jahat mereka melampaui batas-batas yang dapat dan dengan demikian mereka menemui dua pembalasan mereka. 

Makna Sijjīn dan  ‘Iliyyīn

   Selanjutnya Allah berfirman:
کَلَّاۤ  اِنَّ  کِتٰبَ الۡفُجَّارِ لَفِیۡ  سِجِّیۡنٍ ؕ﴿﴾ وَ مَاۤ  اَدۡرٰىکَ مَا سِجِّیۡنٌ ؕ﴿﴾ کِتٰبٌ مَّرۡقُوۡمٌ ؕ﴿﴾ وَیۡلٌ یَّوۡمَئِذٍ لِّلۡمُکَذِّبِیۡنَ ﴿ۙ﴾ الَّذِیۡنَ یُکَذِّبُوۡنَ بِیَوۡمِ الدِّیۡنِ ﴿ؕ﴾ وَ مَا یُکَذِّبُ بِہٖۤ  اِلَّا کُلُّ مُعۡتَدٍ اَثِیۡمٍ ﴿ۙ﴾ اِذَا  تُتۡلٰی عَلَیۡہِ  اٰیٰتُنَا  قَالَ اَسَاطِیۡرُ الۡاَوَّلِیۡنَ ﴿ؕ﴾
Sekali-kali tidak, sesungguhnya  kitab para pendurhaka adalah di dalam sijjīn. Dan apakah yang engkau ketahui   apa  sijjīn itu?    Yaitu sebuah kitab tertulis. Celakalah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan,   yaitu orang-orang yang mendustakan Hari Pembalasan.    Dan sekali-kali tidak ada yang mendustakannya kecuali setiap pelanggar batas lagi sangat berdosa,  apabila Tanda-tanda Kami dibacakan kepadanya  ia berkata: “Inilah dongeng orang-orang dahulu!” (Al-Muthaffifīn [83]:8-14).
     Sijjīn dianggap oleh sementara ahli tafsir Al-Quran dengan keliru sebagai suatu kata bukan bahasa Arab, namun menurut beberapa sumber terkemuka seperti Farra’, Zajjaj, Abu Ubaidah, dan Mubarrad, kata itu memang bahasa Arab yang diambil dari kata sajana. Lisan menganggapnya sama dengan sijn (penjara).
   Sijjīn adalah buku registrasi di dalamnya tercatat segala perbuatan jahat yang dilakukan oleh para penjahat yang konon tersimpan di alam akhirat. Kata itu berarti pula sesuatu yang keras, hebat, dan dahsyat; berkesinambungan, lestari atau kekal abadi (Lexicon Lane).
    Kata sijjīn menunjukkan  bahwa hukuman bagi orang-orang kafir durjana itu akan amat keras dan kekal. Atau ayat ini dapat berarti bahwa orang-orang durjana yang ditempatkan di dalam suatu tempat hina lagi nista, dan keputusan itu tidak dapat dibatalkan lagi.
   Atau, sijjīn dan ‘illiyyīn     -- yang dikemukakan dalam ayat selanjutnya -- itu mungkin dua bagian yang dituturkan Al-Quran; yang pertama membicarakan orang-orang yang menolak Amanat Allah serta hukuman yang akan dijatuhkan kepada mereka, sedang ‘illiyyīn       membicarakan hamba-hamba Allah yang bertakwa serta ganjaran-ganjaran yang akan dianugerahkan kepada mereka. Jadi maksud ayat ini ialah bahwa keputusan yang tercantum di dalam kedua bagian Al-Quran itu tidak dapat diubah atau diganti.
     Yang dimaksud dengan dongeng orang-orang terdahulu  dalam ayat   اِذَا  تُتۡلٰی عَلَیۡہِ  اٰیٰتُنَا  قَالَ اَسَاطِیۡرُ الۡاَوَّلِیۡنَ   -- “apabila Tanda-tanda Kami dibacakan kepadanya  ia berkata: “Inilah dongeng orang-orang dahulu!”  maksudnya adalah Al-Quran yang di dalamnya memuat  kisah para rasul Allah, yang bukan saja merupakan fakta sejarah yang benar tetapi juga di dalam kisah-kisah tersebut selain mengandung berbagai petunjuk serta hikmah, juga   merupakan nubuatan  (kabar gaib) yang akan kembali terjadi.
 Menurut  Allah Swt. dalam Al-Quran bahwa hanya “orang-orang yang disucikan-Nya” yakni para wali (sahabat) Allah sajalah yang dapat “menyentuh” kedalaman khazanah-khazanah ruhani Al-Quran (QS.56:76-80) yang tidak terbatas tersebut (QS.18:110; QS.31:28), khususnya para rasul Allah (QS.3:180; QS.72:27-29).

Dosa    “Menghitamkan” Hati

    Dalam ayat-ayat selanjutnya Allah Swt. mengemukakan penyebab kebutaan mata ruhani  mereka yang menganggap Al-Quran sebagai “dongeng orang-orang dahulu” tersebut, firman-Nya:
کَلَّا بَلۡ ٜ رَانَ عَلٰی قُلُوۡبِہِمۡ مَّا کَانُوۡا یَکۡسِبُوۡنَ ﴿﴾ کَلَّاۤ  اِنَّہُمۡ عَنۡ رَّبِّہِمۡ یَوۡمَئِذٍ لَّمَحۡجُوۡبُوۡنَ ﴿ؕ﴾ ثُمَّ  اِنَّہُمۡ  لَصَالُوا الۡجَحِیۡمِ﴿ؕ﴾ ثُمَّ یُقَالُ ہٰذَا الَّذِیۡ کُنۡتُمۡ بِہٖ تُکَذِّبُوۡنَ ﴿ؕ﴾
Sekali-kali tidak, bahkan  apa yang mereka usahakan telah  menutupi  hati mereka.   Sekali-kali tidak, bahkan sesungguhnya pada hari itu mereka benar-benar terhalang dari melihat  Rabb (Tuhan) mereka.    Kemudian sesungguhnya  mereka pasti masuk ke dalam Jahannam, kemudian   dikatakan: “Inilah apa yang senantiasa kamu  dustakan.”  (Al-Muthaffifīn [83]:15-18).
        Sehubungan makna  kata   رَانَ   (rāna – menutupi/karat)  dalam firman Allah Swt. tersebut dalam hubungannya “terhalang melihat Allah Swt.”, dalam hadist Jarir radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, bersabda:
Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian sebagaimana kalian melihat bulan ini, tidak terhalangi dalam melihatnya.” (HR. Bukhari).
Juga hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya beliau berkata:
“Sesungguhnya para sahabat bertanya,”Wahai, Rasulullah. Apakah kami akan melihat Rabb kami pada hari kiamat nanti?” Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam balik bertanya,”Apakah kalian akan berdesak-desakan ketika melihat bulan pada malam purnama?” Mereka menjawab,”Tidak, wahai Rasulullah.” Beliau bertanya lagi,”Apakah kalian juga akan berdesak-desakan ketika melihat matahari yang tanpa diliputi oleh awan?” Mereka menjawab,”Tidak, wahai Rasulullah.” Maka Beliau bersabda,”Sesungguhnya  begitu pula ketika kalian nanti melihat Rabb kalian”(HR. Bukhari). 
 Begitu juga hadits Shuhaib bin Sinan radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
Jika penghuni surga telah masuk surga, Allah Ta’ala berfirman: “Apakah kalian menginginkan sesuatu sebagai tambahan? Maka mereka menjawab: Bukankah Engkau telah memutihkan wajah-wajah kami? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam surga dan menyelamatkan kami dari neraka?” Maka Allah membuka hijab, dan penghuni surga tidak pernah mendapatkan suatu (kenikmatan) yang lebih mereka sukai daripada melihat (wajah) Allah Ta’ala”. (HR. Muslim).
        Dalam   Bab 223 sebelumnya  telah dikemukakan hadit Nabi Besar Muhammad saw. mengenai “hijab  Allah Swt. yang dikutip oleh  Hujjatul Islam - Imam Ghazali   dalam bukunya Misykatul-Anwar  (Pelita Cahaya-cahaya)   berkenaan ayat “Cahaya di atas cahaya” (QS.24:36)  sehubungan dengan makna “terbakarnya sayap malaikat JIbril a.s.” atau pun “pingsannya” Nabi Musa a.s.   (QS.7:144):
Allah Swt. memiliki 70.000 hijab (tirai penutup) cahaya dan kegelapan. Seandainya Dia menyibakkannya niscaya cahaya-cahaya Wajah-Nya akan membakar siapa saja yang memandangnya.
      Dalam bahasa Arab sebutan 7, 70, 700 dst mengisyaratkan kepada jumlah yang tak terbilang, dengan demikian penyebutan “70.000 hijab” secara kiasan mengisyaratkan bahwa “Wajah” Allah Swt. memiliki lapisan-lapisan hijab yang tak terhingga jumlahnya, dan setiap  hijab  berikutnya lebih sempurna dalam segala seginya daripada hijab sebelumnya.
       Dalam Al-Quran Allah Swt. telah menegaskan bahwa  hal-hal gaib Allah Swt.  atau rahasia-rahasia gaib-Nya tidak dibukakan kepada siapa pun kecuali kepada Rasul-rasul Allah (QS.3:180; QS.73:27-29), contohnya  adalah mengajarkan rahasia al-Asmā   (nama-nama) Allah Swt. kepada Adam sebagai Khalifah-Nya (QS.3:31-35).

Dua Tingkatan “Melihat  Wajah” Allah Swt. & Maka ‘Iliyyīn

  Nikmat melihat wajah Allah dianugerahkan kepada orang beriman  melalui dua tingkat. Tingkat pertama ialah tingkat keimanan, ketika memperoleh keyakinan teguh kepada Sifat-sifat Allah walau pun Wujud Allah Swt.  bagi mereka dalam keadaan gaib (QS.2:1-6; QS.35:19; QS.36:12).
  Tingkat kedua atau tingkat lebih tinggi berupa anugerah kenyataan mengenai Dzat Ilahi. Orang-orang berdosa disebabkan dosa-dosa mereka akan tetap luput dari makrifat Dzat Ilahi pada Hari Pembalasan mereka tidak akan melihat Wajah Allah Swt., firman-Nya:
وُجُوۡہٌ   یَّوۡمَئِذٍ  نَّاضِرَۃٌ ﴿ۙ﴾  اِلٰی رَبِّہَا نَاظِرَۃٌ ﴿ۚ﴾
Wajah-wajah pada hari itu berseri-seri,  kepada Rabb-nya (Tuhan-nya) mereka memandang.  (Al-Qiyāmah [75]: 23-24).
    Orang-orang beriman yang bertakwa akan memandang kepada Rabb (Tuhan) mereka, sambil mengharapkan memperoleh ganjaran untuk amal saleh mereka, atau mereka akan dianugerahi mata ruhani istimewa agar dapat melihat Allah Swt. Penampakkan Allah Swt. akan merupakan penjelmaan istimewa Allah Swt.   yang akan disingkapkan kepada ruh manusia tidak terhalang oleh hijab duniawinya.  Selanjutnya Allah Swt. berfirman:
کَلَّاۤ  اِنَّ  کِتٰبَ الۡاَبۡرَارِ لَفِیۡ عِلِّیِّیۡنَ ﴿ؕ﴾ وَ مَاۤ  اَدۡرٰىکَ مَا عِلِّیُّوۡنَ ﴿ؕ﴾ کِتٰبٌ مَّرۡقُوۡمٌ ﴿ۙ﴾ یَّشۡہَدُہُ  الۡمُقَرَّبُوۡنَ ﴿ؕ﴾
Sekali-kali tidak, sesungguhnya rekaman orang-orang yang berbuat kebajikan (abrār) itu niscaya ada di dalam ‘illiyyīn, dan tahukah  engkau   apa ‘illiyyūn itu?   Yaitu sebuah Kitab tertulis.   Orang-orang yang didekatkan kepada Allah  akan  menyaksikannya.     (Al-Muthaffifīn [83]:19-23).
  ‘Illiyyūn  yang dianggap oleh sebagian orang berasal dari ‘ala, yang berarti  sesuatu itu tinggi atau menjadi tinggi, maksudnya martabat-martabat paling mulia yang akan dinikmati oleh orang-orang beriman yang bertakwa. Menurut  Al-Mufradat ‘illiyyūn itu orang-orang bertakwa  pilihan, yang akan menikmati kelebihan ruhani di atas orang-orang beriman.
 Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya,  kata  ‘Illiyyūn  itu dapat juga menampilkan bagian-bagian Al-Quran yang mengandung nubuatan-nubuatan mengenai kemajuan dan kesejahteraan besar orang-orang beriman. Menurut Ibn ‘Abbas kata itu berarti surga (Tafsir Ibnu Katsir), sedang Imam Raghib menganggap ‘illiyyūn itu sebutan bagi para penghuninya.
    Karena sijjīn itu mufrad (tunggal) dan ‘illiyyīn jamak, maka nampak bahwa sementara hukuman bagi orang-orang berdosa akan statis yakni tetap pada satu tempat, sedangkan kemajuan ruhani orang-orang bertakwa akan berkesinambungan tanpa rintangan dan akan mengambil bentuk berbeda-beda. Mereka akan maju dari satu tingkat ruhani kepada tingkat ruhani lebih tinggi, sebagaimana tergambar dalam  firman-Nya berikut  ini:
یٰۤاَیُّہَا  الَّذِیۡنَ  اٰمَنُوۡا تُوۡبُوۡۤا  اِلَی اللّٰہِ تَوۡبَۃً  نَّصُوۡحًا ؕ عَسٰی رَبُّکُمۡ  اَنۡ یُّکَفِّرَ عَنۡکُمۡ سَیِّاٰتِکُمۡ وَ یُدۡخِلَکُمۡ جَنّٰتٍ تَجۡرِیۡ  مِنۡ تَحۡتِہَا الۡاَنۡہٰرُ ۙ یَوۡمَ لَا یُخۡزِی اللّٰہُ  النَّبِیَّ  وَ الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا مَعَہٗ ۚ  نُوۡرُہُمۡ  یَسۡعٰی بَیۡنَ اَیۡدِیۡہِمۡ وَ بِاَیۡمَانِہِمۡ  یَقُوۡلُوۡنَ  رَبَّنَاۤ اَتۡمِمۡ  لَنَا نُوۡرَنَا وَ اغۡفِرۡ لَنَا ۚ اِنَّکَ عَلٰی کُلِّ شَیۡءٍ قَدِیۡرٌ ﴿﴾
Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan seikhlas-ikhlas taubat. Boleh jadi Rabb (Tuhan) kamu akan menghapuskan dari kamu keburukan-keburukanmu dan akan memasukkan kamu ke dalam  kebun-kebun yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak akan menghinakan Nabi maupun orang-orang yang beriman besertanya, نُوۡرُہُمۡ  یَسۡعٰی بَیۡنَ اَیۡدِیۡہِمۡ وَ بِاَیۡمَانِہِمۡ  -- cahaya mereka akan berlari-lari di hadapan mereka dan  di sebelah kanan mereka, mereka  akan berkata:   رَبَّنَاۤ اَتۡمِمۡ  لَنَا نُوۡرَنَا وَ اغۡفِرۡ لَنَا ۚ اِنَّکَ عَلٰی کُلِّ شَیۡءٍ قَدِیۡرٌ  --  Hai Rabb (Tuhan) kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami, dan maafkanlah kami, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.”(At-Tahrīm [66]:9).

(Bersambung)                                   

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar,  31 Maret      2014




[1] Tuhan berkuasa mengerjakan tiap sesuatu. Ya, Kitab Ilahi mengamukakan mengenai peraturan berkenaan dengan doa, bahwa Dia memperlakukan manusia yang shalih dengan amat kasih-sayang bagaikan seorang sahabat. Yakni, adakalanya Dia melepaskan Kehendak-Nya  Sendiri dan mengabulkan doa orang itu , sebagaimana Dia Sendiri berfirman: "Berdoalah kepada-Ku dan Aku akan menjawab doa kamu" - QS. Al-Mu'min [40]:61). Tetapi kadangkala Dia ingin agar kehendak-Nya diikuti sebagaimana Dia berfirman: "Niscaya Kami akan menguji kamu dengan sesuatu ketakutan dan kelaparan" (Al-Baqarah [2]:156).
      Hal demikian niscaya dilakukan-Nya agar kadang-kadang Dia memperlakukan manusia sesuai dengan doanya untuk memberi kemajuan kepadanya dalam keyakinan dan kemakrifatan. Dan kadangkala Dia berlaku menurut kehendak-Nya Sendiri dan menganugerahkan kepada orang itu baju kehormatan ridha-Nya serta mengangkat martabatnya serta dengan mencintai orang itu Dia  memberi kemajuan kepadanya pada jalan petunjuk. (Pen.)