Jumat, 15 November 2013

Nabi Besar Muhammad saw. dan "Hizbullaah" (Golongan Allah) Hakiki







بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم

Khazanah Ruhani Surah  Shād

Bab  71

            Nabi Besar Muhammad saw. dan Hizbullāh (Golongan Allah) yang Hakiki   

Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma
Dalam akhir  Bab sebelumnya  telah dikemukakan  mengenai daya gravitasi kecintaan sempurna Nabi Besar Muhammad Saw. Sebagai “rahmat bagi seluruh alam”, yakni di antara para Rasul Allah  yang membawa  syariat, hanya Nabi Besar Muhammad saw. sajalah yang  pada masa hidupnya berhasil membangun suatu tatanan kerajaan (pemerintahan) jasmani mau pun  ruhani yang keadaannya sama dengan tatanan kerajaan alam semesta jasmani, yaitu tanpa   ditopang  oleh “tiang-tiang  penunjang” yang dapat dilihat oleh mata jasmani, yakni berdasarkan gravitasi (daya tarik-menarik)  berupa cinta-kasih dan musyawarah. Sehubungan dengan hal tersebut Allah Swt. berfirman:
فَبِمَا رَحۡمَۃٍ مِّنَ اللّٰہِ لِنۡتَ لَہُمۡ ۚ وَ لَوۡ کُنۡتَ فَظًّا غَلِیۡظَ الۡقَلۡبِ لَانۡفَضُّوۡا مِنۡ حَوۡلِکَ ۪ فَاعۡفُ عَنۡہُمۡ وَ اسۡتَغۡفِرۡ لَہُمۡ وَ شَاوِرۡہُمۡ فِی الۡاَمۡرِ ۚ فَاِذَا عَزَمۡتَ فَتَوَکَّلۡ عَلَی اللّٰہِ ؕ اِنَّ اللّٰہَ یُحِبُّ الۡمُتَوَکِّلِیۡنَ ﴿﴾
Maka karena rahmat dari Allah-lah engkau bersikap lemah-lembut  terhadap mereka, dan seandainya engkau   berlaku kasar dan keras hati, niscaya mereka akan bercerai-berai dari sekitar engkau, karena itu maafkanlah mereka, mintalah ampunan dari Allah untuk mereka,  bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan yang penting, dan apabila engkau telah menetapkan tekad yakni keputusan maka bertawakkallah kepada Allah, sesungguhnya Allah  mencintai orang-orang yang bertawakal. (Ali ‘Imran [3]:160).
  Kata-kata  لِنۡتَ لَہُمۡ   --  “engkau bersikap lemah-lembut  terhadap mereka” melukiskan keindahan watak  Nabi Besar Muhammad saw.. Di antara perangai (watak) yang paling baik lagi menonjol adalah kasih-sayang beliau saw. yang meliputi segala sesuatu, karena beliau saw. diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam (QS.21:108).
      Nabi Besar Muhammad saw..  penuh dengan kemesraan cinta-kasih manusiawi, dan beliau saw. bukan saja berlaku baik terhadap para sahabat dan para pengikut beliau saw., bahkan  penuh kasih-sayang dan belas-kasih terhadap musuh-musuh beliau saw. yang senantiasa mencari-cari kesempatan untuk menikam dari belakang.
T     erukir di dalam sejarah bahwa  Nabi Besar Muhammad saw.  tidak mengambil tindakan apa pun terhadap orang-orang munafik Madinah pimpinan Abdullah bin Ubay,  yang khianat dan telah meninggalkan beliau saw. pada waktu Perang Uhud, sehingga nyaris membuat beliau saw.  menjadi syahid.  Bahkan beliau saw. meminta musyawarah (pendapat) mereka dalam urusan kenegaraan.

Pentingnya Melakukan Musyawarah

       Di samping hal-hal lain, Islam mempunyai keistimewaan dalam segi ini yaitu Islam memasukkan unsur musyawarah ke dalam asas-asas pokoknya وَ شَاوِرۡہُمۡ فِی الۡاَمۡرِ -- “bermusyawarahlah  dengan mereka dalam urusan yang penting,” Islam mewajibkan kepada negara Islam mengadakan musyawarah dengan orang-orang Muslim dalam segala urusan kenegaraan yang penting-penting.
       Nabi Besar Muhammad saw.   biasa bermusyawarah dengan para pengikut beliau saw. sebelum perang  Badar, perang Uhud, dan perang Ahzab, dan pula ketika sebuah tuduhan palsu dilancarkan  oleh orang-orang munafik Madinah terhadap istri mulia beliau saw., Siti ‘Aisyah r.a..
      Abu Hurairah r.a. mengatakan: “Rasulullah saw. mempunyai hasrat amat besar sekali untuk meminta musyawarah mengenai segala urusan penting” (Mantsur, II, 90).  ‘Umar  bin Khaththab r.a. -- Khalifah kedua  Nabi Besar Muhammad saw. --  diriwayatkan pernah bersabda: “Tiada khilafat tanpa musyawarah(Izalat al-Khifa ‘an Khilafat al-Khulafa’).
        Jadi, mengadakan musyawarah dalam urusan penting merupakan perintah asasi Islam dan menjadi suatu keharusan bagi pemimpin-pemimpin ruhani maupun pemimpin-pemimpin duniawi di kalangan umat Islam. Khalifah atau Kepala negara Islam harus meminta saran (musyawarah) dari orang-orang Muslim terkemuka, meskipun putusan terakhir tetap berada di tangannya:  فَاِذَا عَزَمۡتَ فَتَوَکَّلۡ عَلَی اللّٰہِ   --  “dan apabila engkau telah menetapkan tekad yakni keputusan maka bertawakkallah kepada Allah.
      Syura atau musyawarah, menurut Islam, bukan suatu bentuk parlemen dalam artian yang dipakai di Barat. Kepala negara Islam mempunyai wewenang penuh untuk menolak saran (musyawarah) yang diajukan kepadanya. Tetapi ia tidak boleh memakai wewenang itu seenaknya saja dan harus menghargai saran (musyawarah) dari golongan terbanyak.
     Dalam ayat selanjutnya Allah Swt. mempertegas pentingnya peran musyawarah dan bertawakkal kepada-Nya jika telah diambil keputusan terakhir oleh pemegang wewenang tertinggi, firman-Nya:
  اِنۡ یَّنۡصُرۡکُمُ اللّٰہُ فَلَا غَالِبَ لَکُمۡ ۚ وَ اِنۡ یَّخۡذُلۡکُمۡ فَمَنۡ ذَا الَّذِیۡ یَنۡصُرُکُمۡ مِّنۡۢ بَعۡدِہٖ ؕ وَ عَلَی اللّٰہِ فَلۡیَتَوَکَّلِ الۡمُؤۡمِنُوۡنَ ﴿﴾  
Jika Allah menolong kamu  maka tidak ada yang akan dapat mengalahkan kamu, tetapi jika Dia meninggalkan kamu maka siapakah yang akan menolong kamu selain Dia?  Dan kepada Allah-lah orang-orang yang beriman bertawakal.  (Ali ‘Imran [3]:161).

Pentingnya Berpegang-teguh pada “Tali Allah

      Ungkapan min ba’dihi   diterjemahkan  “selain Dia”, dan secara harfiah berarti “sesudah Dia”,  dan dapat disalin menjadi “untuk melawan Dia” , artinya upaya apa pun yang dilakukan tetapi apabila Allah Swt. telah meninggalkan suatu kaum karena kedurhakaan mereka kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya – dalam hal ini Nabi Besar Muhammad saw. --  maka upaya-upaya mereka pasti akan menemui kegagalan. Contohnya  yang terjadi di Akhir Zaman ini.
       Kepatuh-taatan kepada Allah Swt. dan Nabi Besar Muhammad saw. di kalangan umat Islam adalah mutlak harus dilakukan oleh  mereka (QS.4:60), sebab hal tersebut selain merupakan “Tali Allah” yang terulur dari langit (QS.3:103-105) juga merupakan “tali pengikat kecintaan” yang sangat kokoh, dan yang mengawali terbentuknya satu  jama’ah kaum Muslimin di zaman Nabi Besar Muhammad saw., firman-Nya:
وَ اَلَّفَ بَیۡنَ قُلُوۡبِہِمۡ ؕ لَوۡ اَنۡفَقۡتَ مَا فِی الۡاَرۡضِ جَمِیۡعًا مَّاۤ  اَلَّفۡتَ بَیۡنَ قُلُوۡبِہِمۡ وَ لٰکِنَّ اللّٰہَ  اَلَّفَ بَیۡنَہُمۡ ؕ اِنَّہٗ  عَزِیۡزٌ  حَکِیۡمٌ ﴿﴾  یٰۤاَیُّہَا النَّبِیُّ حَسۡبُکَ اللّٰہُ وَ مَنِ اتَّبَعَکَ  مِنَ  الۡمُؤۡمِنِیۡنَ ﴿٪﴾  
Dan Dia telah menanamkan kecintaan di antara hati mereka, seandainya engkau membelanjakan yang ada di bumi ini seluruhnya, engkau  sekali-kali tidak akan dapat menanamkan kecintaan di antara hati mereka, tetapi Allah  telah menanamkan kecintaan di antara mereka, sesungguhnya Dia Maha Perkasa, Maha Bijaksana.   Hai Nabi,   Allah mencukupi bagi engkau dan bagi  orang-orang yang mengikuti engkau di antara orang-orang beriman. (Al-Anfāl [8]:64-65).
     Bukti mengenai mengenai kokohnya “tali pengikat” berdasarkan kecintaan kepada Allah  Swt. dan kepada Nabi Besar Muhammad saw. tersebut Allah Swt. berfirman mengenai upaya  buruk Abdullah bin Ubay, pemimpin kaum munafik Madinah, untuk menghancurkan kesatuan dan persatuan  Jamaah Muslim yang dibentuk oleh Nabi Besar Muhammad saw.:
ہُمُ  الَّذِیۡنَ یَقُوۡلُوۡنَ  لَا تُنۡفِقُوۡا عَلٰی مَنۡ عِنۡدَ  رَسُوۡلِ اللّٰہِ  حَتّٰی  یَنۡفَضُّوۡا ؕ وَ لِلّٰہِ خَزَآئِنُ  السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ وَ لٰکِنَّ  الۡمُنٰفِقِیۡنَ  لَا  یَفۡقَہُوۡنَ ﴿﴾  یَقُوۡلُوۡنَ  لَئِنۡ  رَّجَعۡنَاۤ  اِلَی  الۡمَدِیۡنَۃِ لَیُخۡرِجَنَّ الۡاَعَزُّ  مِنۡہَا الۡاَذَلَّ ؕ وَ لِلّٰہِ الۡعِزَّۃُ  وَ لِرَسُوۡلِہٖ وَ لِلۡمُؤۡمِنِیۡنَ وَ لٰکِنَّ  الۡمُنٰفِقِیۡنَ  لَا  یَعۡلَمُوۡنَ ٪﴿﴾
Merekalah orang-orang yang berkata: “Janganlah kamu membelanjakan harta bagi orang yang bersama Rasul Allah, supaya mereka lari karena kelaparan.  Padahal kepunyaan Allah khazanah-khazanah seluruh langit dan bumi,  tetapi orang-orang munafik itu tidak mengerti.  Mereka berkata: “Jika kita kembali ke Medinah, niscaya  orang yang paling mulia akan mengeluarkan orang yang paling hina darinya.” Padahal kemuliaan hakiki itu milik Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman, tetapi orang-orang munafik itu tidak mengetahui. (Al-Munāfiqūn [63):8-9).

Kemurnian Kecintaan Para Sahabat Nabi Besar Muhammad Saw.
dari Golongan Muhajirin dan Golongan Anshar

    Karena tidak ada ketulusan dan kejujuran dalam dirinya maka   orang munafik memandang orang-orang lain seperti dirinya sendiri. Kaum munafikin Medinah membuat pikiran totol dan keliru sama sekali mengenai ketulusan tujuan para sahabat Nabi Besar Muhammad saw.,  sebab mereka menyangka para sahabat  beliau saw. telah berkumpul di sekitar beliau  saw. karena pertimbangan kepentingan duniawi, dan mereka menyangka apabila mereka (para sahabat) itu menyadari bahwa harapan mereka itu tidak terlaksana, mereka itu akan meninggalkan Nabi Besar Muhammad saw.  terbukti perjalanan masa membatalkan sama sekali segala harapan sia-sia  pemimpin orang-orang munafik  itu.
 Dalam ayat selanjutnya dikemukakan mengenai harapan sia-sia lainnya dari Abdullah bin Ubay tersebut,  yakni dalam suatu gerakan pasukan (mungkin gerakan pasukan menggempur Banu Musthaliq) yang dipimpin oleh Nabi Besar Muhammad saw.,   disertai juga oleh  pemimpin kaum munafik Medinah tersebut, yang harapan besarnya menjadi pemimpin kaum Medinah telah hancur berantakan dengan kedatangan Nabi Besar Muhammad saw.   -- pada peristiwa itu   diriwayatkan pernah mengatakan bahwa sekembali ke Medinah ia “yang paling mulia dari antara penduduknya,” – maksudnya ia sendiri – “akan mengusir dia yang paling hina dari antara mereka,” maksudnya,  Nabi Besar Muhammad saw.  
    Anak laki-laki ‘Abdullah bin Ubay  mendengar kecongkakan kotor ayahnya tersebut, dan ketika rombongan sampai ke Medinah, ia menghunus pedangnya  dan menghalangi ayahnya masuk kota, sebelum ayahnya mau mengakui dan menyatakan bahwa ayahnya sendirilah yang paling hina di antara penduduk kota Medinah, dan bahwa Nabi Besar Muhammad saw.  adalah yang paling mulia di antara mereka. Dengan demikian keangkuhannya telah berbalik menimpa kepalanya sendiri.
    Kecintaan anak laki-laki ‘Abdullah bin Ubay  -- yang juga bernama ‘Abdullah --  kepada Nabi Besar Muhammad saw. tersebut membuktikan benarnya firman Allah Swt. berikut ini mengenai kecintaan  luar biasa para pengikut Nabi Besar Muhammad saw.  kepada beliau saw.,  baik dari kalangan kaum Muhajirin  dari Mekkah  mau pun  dari kalangan Anshar   Madinah:
اِنَّ  الَّذِیۡنَ یُحَآدُّوۡنَ اللّٰہَ وَ رَسُوۡلَہٗۤ اُولٰٓئِکَ فِی  الۡاَذَلِّیۡنَ ﴿﴾   کَتَبَ اللّٰہُ  لَاَغۡلِبَنَّ  اَنَا وَ  رُسُلِیۡ ؕ اِنَّ اللّٰہَ  قَوِیٌّ عَزِیۡزٌ ﴿﴾
Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya mereka itu termasuk orang-orang yang sangat hina.   Allah telah menetapkan: “Aku dan rasul-rasul-Ku pasti akan menang. Sesungguhnya Allah Maha Kuat, Maha Perkasa. (Al-Mujādilah [58]:21-22).

Hizbullāh (Golongan Allah) yang Hakiki

Ada tersurat nyata pada lembaran-lembaran sejarah kenabian bahwa kebenaran senantiasa menang terhadap kepalsuan. Selanjutnya Allah Swt. berfirman  kepada Nabi Besar Muhammad saw. mengenai kecintaan para pengikut beliau saw.  kepada beliau saw.,   bahkan melebihi kecintaan mereka kepada  kedua orang tua mereka dan saudara-saudara sekandung mereka sendiri:
لَا تَجِدُ قَوۡمًا یُّؤۡمِنُوۡنَ بِاللّٰہِ وَ الۡیَوۡمِ الۡاٰخِرِ  یُوَآدُّوۡنَ مَنۡ حَآدَّ اللّٰہَ وَ رَسُوۡلَہٗ  وَ لَوۡ کَانُوۡۤا  اٰبَآءَہُمۡ  اَوۡ اَبۡنَآءَہُمۡ  اَوۡ  اِخۡوَانَہُمۡ  اَوۡ عَشِیۡرَتَہُمۡ ؕ اُولٰٓئِکَ  کَتَبَ فِیۡ قُلُوۡبِہِمُ الۡاِیۡمَانَ وَ اَیَّدَہُمۡ  بِرُوۡحٍ مِّنۡہُ ؕ وَ یُدۡخِلُہُمۡ جَنّٰتٍ تَجۡرِیۡ مِنۡ تَحۡتِہَا الۡاَنۡہٰرُ خٰلِدِیۡنَ  فِیۡہَا ؕ رَضِیَ اللّٰہُ  عَنۡہُمۡ وَ رَضُوۡا عَنۡہُ ؕ اُولٰٓئِکَ حِزۡبُ اللّٰہِ ؕ اَلَاۤ اِنَّ  حِزۡبَ اللّٰہِ ہُمُ الۡمُفۡلِحُوۡنَ ﴿٪﴾
Engkau tidak akan mendapatkan suatu kaum yang menya-takan beriman kepada Allah dan Hari Akhir  namun demikian mereka mencintai orang-orang yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya,  walau pun mereka  itu bapak-bapak mereka atau anak-anak mereka atau saudara-saudara mereka atau pun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang di dalam hati mereka Dia telah menanamkan iman dan Dia telah meneguhkan mereka dengan ilham dari Dia sendiri, dan Dia akan memasukkan mereka ke dalam kebun-kebun yang  di bawahnya mengalir sungai-sungai. Mereka kekal  di dalamnya.  Allah ridha kepada mereka dan mereka ridha kepada-Nya. Itulah golongan Allah. Ketahuilah, sesungguhnya golongan Allāh  itulah orang-orang yang berhasil. (Al-Mujādilah [58]:23). 
 Tidak mungkin terdapat persahabatan atau perhubungan cinta sejati atau sungguh-sungguh di antara orang-orang beriman  dengan  orang-orang kafir karena  cita-cita, pendirian-pendirian, dan kepercayaan agama dari kedua golongan itu bertentangan satu sama lain.
 Karena kesamaan dan perhubungan kepentingan itu merupakan syarat mutlak bagi perhubungan yang sungguh-sungguh erat menjadi tidak ada, maka orang-orang beriman  diminta jangan mempunyai persahabatan yang erat lagi mesra dengan orang-orang kafir. Ikatan agama mengatasi segala perhubungan lainnya, malahan mengatasi pertalian darah yang amat dekat sekalipun. Ayat ini nampaknya merupakan seruan umum. Tetapi secara khusus seruan   (larangan) itu tertuju kepada orang-orang kafir yang ada dalam berperang dengan kaum Muslim.
Pendek kata, ‘Abdullah – anak laki-laki ‘Abdullah bin Ubay, pemimpin kaum munafik Madinah --   merupakan bukti kebenaran pernyataan Allah Swt. tersebut mengenai kecintaan luar biasa para sahabat kepada Nabi Besar Muhammad saw. dan Allah Swt. menyebut mereka itu Hizbullāh (golongan Allah) yang perjuangan sucinya pasti sukses.

 (Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar,   3 November    2013



Tidak ada komentar:

Posting Komentar