Rabu, 06 November 2013

Hanya Agama Islam yang memiliki "Dua Kalimah Syajadat"




ۡ بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ

Khazanah Ruhani Surah  Shād


Bab  62

    Hanya Agama Islam yang Memiliki “Dua Kalimah Syahadat     

Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

D
alam akhir  Bab sebelumnya  telah dijelaskan   mengenai   hakikat “Dua Kalimah Syahadat” -- dimana di dalamnya  sebutan (nama)  Allah Swt. disandingkan dengan nama  Rasulullah saw., yaitu Muhammad saw. -- sehubungan dengan kedekatan  sempurna Nabi Besar Muhammad saw. dengan Allah Swt. dalam peristiwa mi’raj (kenaikan ruhani) yang beliau saw. alami,  firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ ﴿﴾  وَ النَّجۡمِ   اِذَا ہَوٰی  ۙ﴿﴾  مَا ضَلَّ صَاحِبُکُمۡ  وَ مَا غَوٰی ۚ﴿﴾  وَ مَا یَنۡطِقُ عَنِ  الۡہَوٰی  ؕ﴿﴾  اِنۡ  ہُوَ   اِلَّا  وَحۡیٌ   یُّوۡحٰی  ۙ﴿﴾ عَلَّمَہٗ  شَدِیۡدُ الۡقُوٰی  ۙ﴿﴾ ذُوۡ مِرَّۃٍ ؕ  فَاسۡتَوٰی  ۙ﴿﴾ وَ ہُوَ  بِالۡاُفُقِ الۡاَعۡلٰی ؕ﴿﴾  ثُمَّ  دَنَا فَتَدَلّٰی ۙ﴿﴾  فَکَانَ قَابَ قَوۡسَیۡنِ  اَوۡ اَدۡنٰی  ۚ﴿﴾ فَاَوۡحٰۤی  اِلٰی عَبۡدِہٖ  مَاۤ  اَوۡحٰی  ﴿ؕ﴾ مَا کَذَبَ الۡفُؤَادُ  مَا  رَاٰی  ﴿﴾ اَفَتُمٰرُوۡنَہٗ  عَلٰی مَا یَرٰی ﴿﴾  وَ لَقَدۡ رَاٰہُ  نَزۡلَۃً   اُخۡرٰی  ﴿ۙ﴾ عِنۡدَ سِدۡرَۃِ  الۡمُنۡتَہٰی ﴿﴾  عِنۡدَہَا جَنَّۃُ  الۡمَاۡوٰی  ﴿ؕ﴾ اِذۡ  یَغۡشَی السِّدۡرَۃَ  مَا یَغۡشٰی  ﴿ۙ﴾ مَا زَاغَ الۡبَصَرُ  وَ مَا طَغٰی ﴿﴾  لَقَدۡ رَاٰی مِنۡ اٰیٰتِ رَبِّہِ  الۡکُبۡرٰی ﴿﴾
Aku baca  dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang.  Demi bintang apabila  jatuh.  Sahabat kamu tidaklah sesat   dan tidak pula keliru.  Dan ia sekali-kali tidak berkata-kata menuruti keinginannya.   Perkataannya itu tidak lain melainkan wahyu yang diwahyukan.  Tuhan Yang Mahakuat Perkasa mengajarinya,   Pemilik Kekuatan, lalu  Dia bersemayam di atas ‘Arasy. Dan Dia mewahyukan Kalam-Nya ketika ia, Rasulullah, berada di ufuk tertinggi. Kemudian ia, Rasulullah, mendekati Allah, lalu Dia kian dekat kepadanya,  maka jadilah ia, seakan-akan, seutas tali dari dua buah busur,  atau lebih dekat lagi. Lalu Dia mewahyukan kepada hamba-Nya apa yang telah Dia wahyukan.  Hati Rasulullah sekali-kali tidak berdusta mengenai apa yang dia lihat.  Maka apakah kamu membantahnya mengenai apa yang telah dia lihat?   Dan  sungguh   dia benar-benar melihat-Nya kedua kali,   dekat pohon Sidrah tertinggi,   yang di dekatnya ada surga tempat tinggal. Ketika pohon Sidrah diselubungi oleh sesuatu yang menyelubungi, penglihatannya sekali-kali tidak menyimpang dan tidak pula melantur.   Sungguh  ia benar-benar melihat Tanda paling besar dari Tanda-tanda Rab-Nya (Tuhan-Nya). (An-Najm [53]:1-19). 
  Ayat   ثُمَّ  دَنَا فَتَدَلّٰی  -- “Kemudian ia, Rasulullah, mendekati Allah, lalu Dia kian dekat kepadanya,” dilanjutkan dengan ayat  فَکَانَ قَابَ قَوۡسَیۡنِ  اَوۡ اَدۡنٰی  -- “maka jadilah ia, seakan-akan, seutas tali dari dua buah busur   atau lebih dekat lagi ,  kalimat  اَوۡ اَدۡنٰی     --   atau lebih dekat lagi”,  mengandung arti   bahwa perhubungan antara Nabi Besar Muhammad saw. dengan Allah Swt. menjadi kian dekat dan kian mesra lebih daripada yang dapat dibayangkan pikiran.
   Dengan demikian jelaslah mengapa dalam “Dua Kalimah Syahadat” – yang merupakan Rukun Islam yang pertama – nama Nabi Besar Muhammad saw. disandinglan dengan sebutan Allah Swt., yakni:
“Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul Allah.
 Salah sdatu makna kedua Kalimah Syahadat tersebut,  berarti bahwa sejak diwahyukan  agama Islam (Al-Quran) sebagai agama terakhir dan tersempurna kepada Nabi Besar Muhammad saw. (QS.5:4), maka   kecuali beriman sepenuhnya kepada Nabi Besar Muhammad saw. dan mengamalkan ajaran Islam (Al-Quran),  tidak akan ada seorang pun   akan  mendapat kecintaan dan  pengampunan Allah Swt.  (QS.3:20, 32, 86-87; QS.33:22; QS.4:70-71).

Hanya Agama Islam yang Memiliki “Dua Kalimah Syahadat

 Oleh karena itu sangat keliru kepercayaan    di kalangan sekelompok  umat Islam yang mengatakan bahwa setiap agama memiliki “Dua Kalimah Syahadat”nya masing-masing – contohnya:
“Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah, dan aku bersaksi bahwa Ibrahim adalah   Khālilullāh (Sahabat Allah).
kemudian:
“Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah, dan aku bersaksi bahwa Musa adalah Kālimullāh (Kalam Allah).
dan:
“Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah, dan aku bersaksi bahwa Isa Ibnu Maryam  adalah Rūhullāh (Ruh Allah).
    Pendek kata Dua Kalimah Syahadat  dalam agama Islam merupakan cap atau stempel atau segel atau meterai  yang tanpa mengikrarkan dan memahaminya  secara benar  maka ke-Muslim-man dan ke-Mukmin-an  seseorang tidak  sah di sisi Allah Swt., firman-Nya  kepada Nabi Besar Muhammad saw.:
قَالَتِ الۡاَعۡرَابُ اٰمَنَّا ؕ قُلۡ لَّمۡ تُؤۡمِنُوۡا وَ لٰکِنۡ  قُوۡلُوۡۤا  اَسۡلَمۡنَا وَ لَمَّا یَدۡخُلِ الۡاِیۡمَانُ فِیۡ  قُلُوۡبِکُمۡ ؕ وَ اِنۡ تُطِیۡعُوا اللّٰہَ وَ رَسُوۡلَہٗ  لَا یَلِتۡکُمۡ مِّنۡ اَعۡمَالِکُمۡ شَیۡئًا ؕ اِنَّ اللّٰہَ غَفُوۡرٌ رَّحِیۡمٌ ﴿﴾  اِنَّمَا  الۡمُؤۡمِنُوۡنَ  الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا بِاللّٰہِ وَ رَسُوۡلِہٖ  ثُمَّ لَمۡ یَرۡتَابُوۡا وَ جٰہَدُوۡا بِاَمۡوَالِہِمۡ وَ اَنۡفُسِہِمۡ فِیۡ سَبِیۡلِ اللّٰہِ ؕ اُولٰٓئِکَ  ہُمُ  الصّٰدِقُوۡنَ ﴿﴾  قُلۡ اَتُعَلِّمُوۡنَ اللّٰہَ بِدِیۡنِکُمۡ ؕ وَ اللّٰہُ یَعۡلَمُ مَا فِی السَّمٰوٰتِ وَ مَا فِی الۡاَرۡضِ ؕ وَ اللّٰہُ  بِکُلِّ  شَیۡءٍ عَلِیۡمٌ ﴿﴾  یَمُنُّوۡنَ عَلَیۡکَ اَنۡ  اَسۡلَمُوۡا ؕ قُلۡ  لَّا تَمُنُّوۡا عَلَیَّ  اِسۡلَامَکُمۡ ۚ بَلِ اللّٰہُ یَمُنُّ عَلَیۡکُمۡ  اَنۡ ہَدٰىکُمۡ  لِلۡاِیۡمَانِ  اِنۡ کُنۡتُمۡ صٰدِقِیۡنَ ﴿﴾  اِنَّ  اللّٰہَ  یَعۡلَمُ غَیۡبَ السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ ؕ وَ اللّٰہُ  بَصِیۡرٌۢ  بِمَا تَعۡمَلُوۡنَ ﴿٪﴾
Orang-orang Arab gurun berkata: “Kami telah beriman.” Katakanlah: “Kamu belum beriman,   tetapi katakanlah:  “Kami telah berserah diri (Muslim), karena keimanan belum masuk ke dalam hati kamu.”  Tetapi jika kamu menaati Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sesuatu dari amal-amal kamu, sesungguhnya Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. Sesungguhnya orang beriman adalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian tidak ragu-ragu dan terus berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar. Katakanlah, “Apakah kamu mengajarkan (memberitahukan) kepada Allah tentang agama kamu? Padahal  Allah mengetahui apa yang ada di seluruh langit dan bumi. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”  Mereka mengira telah memberi anugerah  kepada engkau karena mereka telah menjadi orang Islam (Muslim). Katakanlah: “Janganlah kamu merasa memberi anugerah kepadaku karena ke-Islam-an kamu, bahkan  Allah-lah Yang memberi anugerah terhadap kamu karena Dia telah memberi kamu petunjuk kepada iman, jika kamu orang-orang yang benar.” Sesungguhnya Allah mengetahui yang gaib di seluruh langit dan bumi. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (Al-Hujurāt [49]:15-19).

Kedekatan Sempurna Nabi Besar Muhammad Saw. dengan Allah Swt.

  Kembali kepada Surah An Najm ayat 1-19 sebelumnya, ayat-ayat 8 sampai 18 menggambarkan mikraj  Nabi Besar Muhammad saw.   ketika beliau saw. secara ruhani dibawa ke langit dan dianugerahi pemandangan  suatu penjelmaan   ruhani Allah Swt., dan secara ruhani beliau saw. naik sampai dekat sekali kepada Khāliq-nya. Pada hakikatnya, mikraj merupakan dua pengalaman ruhani, yakni (1) kenaikan ruhani (mi’raj) Nabi Besar Muhammad saw.   dan (2) turunnya tajalli (penampakan kebesaran) Allah Swt. kepada beliau.
  Dalam pikiran umum, mi’raj telah dicampurbaurkan dengan isra’ (perjalanan  Nabi Besar Muhammad saw.  pada waktu malam ke Yerusalem – QS.17:2), sedangkan masing-masing berlainan dan terpisah waktu terjadinya. Peristiwa Isra  terjadi pada tahun ke-11 atau ke-12 tahun Nabawi (Zurqani), padahal  Nabi Besar Muhammad saw.   telah lebih dahulu mengalami  mikraj pada tahun ke-5, tidak lama sesudah hijrah pertama ke Abessinia 6 atau 7 tahun sebelum terjadi peristiwa  isra’.
  Penelaahan saksama dan teliti mengenai rincian kedua peristiwa itu, sebagaimana disebut-sebut di dalam hadits  juga mendukung pendapat ini. Untuk keterangan lebih  terinci  mengenai kedua peristiwa  mikraj dan isra  keduanya merupakan kejadian yang terpisah dan berbeda satu sama lain.  
 Kata     dalam ayat  فَاَوۡحٰۤی  اِلٰی عَبۡدِہٖ  مَاۤ  اَوۡحٰی    --  Lalu Dia mewahyukan kepada hamba-Nya apa yang telah Dia wahyukan”, kadang-kadang dipergunakan untuk menyatakan kehormatan, keheranan, atau untuk memberikan tekanan arti (Aqrab-al-Mawarid). Ayat ini mengandung arti bahwa Allah Swt. menurunkan wahyu Al-Quran kepada hamba-Nya, dan alangkah bagus lagi hebatnya wahyu itu!
 Makna ayat مَا کَذَبَ الۡفُؤَادُ  مَا  رَاٰی  -- “Hati Rasulullah sekali-kali tidak berdusta mengenai apa yang dia lihat  hakikatnya  ialah bahwa  apa yang telah dilihat oleh  Nabi Besar Muhammad saw. dalam peristiwa mi’raj tersebut     adalah pengalaman hakiki, dan pengalaman itu adalah kebenaran sejati dan bukan tipuan khayal beliau saw..

Tajjali Ilahi (Penjelmaan Kekuasaan Tuhan) Terbesar
kepada Nabi Besar Muhammad Saw.

      Makna ayat  وَ لَقَدۡ رَاٰہُ  نَزۡلَۃً   اُخۡرٰی     -- “ Dan  sungguh   dia benar-benar melihat-Nya kedua kali” yakni   kasyaf  (pengalaman ruhani) Nabi Besar Muhammad saw.   itu suatu pengalaman ruhani berganda.
Menurut ayat-ayat tersebut, pada waktu mikraj,  Nabi Besar  Muhammad saw. telah mencapai martabat qurb Ilahi (kedekatan kepada Allah) demikian tinggi, sehingga sungguh berada di luar jangkauan otak manusia untuk memahaminya; atau ayat ini dapat berarti bahwa pada martabat itu terbentang di hadapan beliau saw. samudera luas tanpa tepi – samudera makrifat Ilahi,  hakikat-hakikat serta kebenaran-kebenaran abadi.
 Sadir yang diambil dari akar kata yang sama berarti bahwa makrifat Ilahi yang dilimpahkan kepada  Nabi Besar Muhammad saw.   akan seperti halnya pohon Sidrah memberikan kesenangan dan naungan kepada para musafir ruhani yang merasa kakinya letih dan payah. Lebih-lebih karena daun pohon Sidrah memiliki khasiat mengawetkan mayat dari proses pembusukan, ayat ini dapat berarti  bahwa ajaran Al-Quran yang diwahyukan kepada Nabi Besar Muhammad saw.  tidak hanya kebal terhadap bahaya kerusakan (QS.15:10), tetapi   juga baik sekali guna menolong dan memelihara umat manusia terhadap kerusakan.
 Atau, ayat ini mengandung kabar gaib yang mengisyaratkan kepada sebatang pohon, yang di bawah pohon itu para sahabat Nabi Besar Muhammad saw.  mengikat janji setia (bai'at) kepada beliau saw. pada peristiwa Perjanjian Hudaibiyah.
  Kata-kata “yang menyelubungi”  dalam ayat  اِذۡ  یَغۡشَی السِّدۡرَۃَ  مَا یَغۡشٰی    -- “Ketika pohon Sidrah diselubungi oleh sesuatu yang menyelubungi, maknanya ialah penjelmaan Ilahi yang paling sempurna kepada agama Islam (Al-Quran) dan Nabi Besar Muhammad saw.
 Jadi, kembali kepada firman Allah Swt. mengenai dasar tingkatan akhlak tertinggi  iytā-i-dzil-qurba  (memberi seperti terhadap kerabat)  dan hubungannya dengan  Sifat Rabubiyyat Allah Swt.,  firman-Nya: 
اِنَّ اللّٰہَ یَاۡمُرُ بِالۡعَدۡلِ وَ الۡاِحۡسَانِ وَ اِیۡتَآیِٔ ذِی الۡقُرۡبٰی وَ یَنۡہٰی عَنِ الۡفَحۡشَآءِ  وَ الۡمُنۡکَرِ وَ الۡبَغۡیِ ۚ یَعِظُکُمۡ   لَعَلَّکُمۡ   تَذَکَّرُوۡنَ ﴿﴾
Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil, berbuat ihsan (kebajikan), dan  memberi  seperti kepada kaum kerabat, serta melarang dari perbuatan keji, mungkar, dan pemberontakan.  Dia nasihatkan kepada kamu  supaya kamu mengambil pelajaran. (An-Nahl [16]:91).
      Kenyataan tersebut hanya Nabi Besar Muhammad saw. sajalah yang  mampu mengamalkan اِیۡتَآیِٔ ذِی الۡقُرۡبٰی (memberi seperti terhadap kerabat)  dalam hubungannya dengan  Sifat Rabbubiyyat Allah Swt.,   sebagaimana digambarkan mengenai kedekatan sempurna beliau saw.  dengan Allah Swt. dalam peristiwa mi’raj dan yang diabadikan dalam “Dua Kalimah Syahadat”.

Segi Baik dan Buruk Akhlak Manusia  

     Kembali kepada firman Allah Swt. yang merupakan pokok pembahasan,  firman-Nya:
اِنَّ اللّٰہَ یَاۡمُرُ بِالۡعَدۡلِ وَ الۡاِحۡسَانِ وَ اِیۡتَآیِٔ ذِی الۡقُرۡبٰی وَ یَنۡہٰی عَنِ الۡفَحۡشَآءِ  وَ الۡمُنۡکَرِ وَ الۡبَغۡیِ ۚ یَعِظُکُمۡ   لَعَلَّکُمۡ   تَذَکَّرُوۡنَ ﴿﴾
Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil, berbuat ihsan (kebajikan), dan  memberi  seperti kepada kaum kerabat, serta melarang dari perbuatan keji, mungkar, dan pemberontakan.  Dia nasihatkan kepada kamu  supaya kamu mengambil pelajaran. (An-Nahl [16]:91).
      Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa ayat ini mengandung tiga macam perintah dan tiga macam larangan, yang secara singkat membahas semua macam derajat perkembangan akhlak dan keruhanian manusia -- bersama segi kebaikan dan keburukannya masing-masing.
      Ayat ini menganjurkan (1) berlaku adil, (2) berbuat  ihsan (kebajikan) kepada orang lain, dan (3) berlaku kasih sayang antara kaum kerabat; dan sebaliknya (1) melarang berbuat hal yang tidak senonoh (fahsyaa-i), (2) berbuat keburukan (munkar), dan (3) pelanggaran yang nyata (baghyi).
   Keadilan (‘adl) mengandung arti bahwa seseorang harus memperlakukan orang-orang lain seperti ia diperlakukan oleh mereka. Ia hendaknya membalas kebaikan dan keburukan orang-orang lain secara setimpal menurut besarnya dan ukurannya yang diterima olehnya dari mereka.
      Lebih tinggi dari ‘adl (keadilan) adalah derajat ihsan (kebajikan) bila manusia harus berbuat  ihsan (kebaikan yang lebih) kepada orang-orang lain tanpa mengindahkan macamnya perlakuan yang diterima dari mereka --  atau sekalipun ia diperlakukan buruk oleh mereka -- perbuatannya tidak boleh digerakkan oleh pertimbangan-pertimbangan menuntut balasan, sekali  pun sekedar ucap  “terima kasih”  dari orang yang diperlakukan ihsan (QS.92:18-22; QS.76:6-11).
      Pada derajat perkembangan akhlak terakhir dan tertinggi, ialah ītā’i dzil qurbā (memberi seperti kepada kerabat), yakni seorang beriman  diharapkan untuk berlaku baik terhadap orang-orang lain, bukan sebagai membalas sesuatu kebaikan yang diterima dari mereka (‘adil) , begitu pun tidak dengan pertimbangan untuk berbuat lebih baik (ihsan) dari kebaikan yang ia peroleh, melainkan untuk berbuat kebaikan yang ditimbulkan oleh dorongan fitri (fitrat),  seperti ia berbuat baik kepada orang-orang yang mempunyai perhubungan darah yang dekat sekali.
     Ketiga derajat akhlak ini merupakan segi baiknya dari perkembangan akhlak manusia. Segi buruknya digambarkan dengan tiga perkataan juga, yakni (1) fahsyā (perbuatan yang tidak senonoh), (2) munkar (keburukan yang nyata), dan (3)  baghy (pelanggaran keji).
      Perbuatan buruk yang disebut  munkar,  mengandung arti keburukan-keburukan yang orang-orang lain juga melihat dan mengutuknya,  walaupun mereka boleh jadi tidak menderita sesuatu kerugian atau pelanggaran atas hak-hak mereka sendiri oleh si pelaku dosa itu. Ada pun  perbuatan buruk yang disebut  baghy merangkum semua dosa dan keburukan, yang tidak hanya nampak, dirasakan, dan dicela oleh orang-orang lain, bahkan menimbulkan kemudaratan yang nyata pada mereka. Ketiga kata yang sederhana ini meliputi segala macam dosa.

Penjelasan Pendiri Jemaat Ahmadiyah Mengenai Keempat
Sifat Utama Tasybihiyyah Allah Swt.:  (1) Sifat Rabbubiyyat

     Kembali kepada  empat Sifat utama Tasybihiyyah Allah Swt. dalam Surah Al-Fatihah serta hubungannya dengan  ‘adil, ihsan, dan iytā-i dzil-qurba, menurut tingkatannya Sifat Rabbubiyyat Allah Swt.  bersifat sangat umum karena menyangkut seluruh tatanan alam semesta; Sifat Rahmāniyyat Allah Swt. bersifat umum karena   berlaku hanya bagi segala jenis  makhluk hidup --  termasuk orang-orang beriman mau pun orang-orang kafir; dan Sifat Rahīmiyyat Allah Swt. bersifat khusus  karena   menyangkut hanya orang-orang yang beriman; sedangkan Sifat  Mālikiyyat Allah Swt. bersifat sangat khusus karena   menyangkut  pembalasan sepenuhnya kepada  orang-orang beriman mau pun orang kafir kepada Allah Swt..
      Sehubungan dengan hal tersebut berikut adalah penjelasan Mirza Ghulam Ahmad a.s. – Imam Mahdi a.s. dan Al-Masih Mua’ud a.s. --  mengenai keempat Sifat utama Tasybihiyyah Allah Swt. dalam Surah Al-Fatihah tersebut:
      “Dalam Surah Al-Fatihah, Allah Yang Maha Perkasa mengemukakan 4  Sifat-sifat-Nya yaitu  Rabbubiyat, Rahmāniyat, Rahīmiyat dan Māliki Yaumiddīn. Urutan  penyampaian Sifat-sifat itu merupakan urutan alamiah perwujudannya. Rahmat Ilahi dimanifestasikan di dunia dalam 4 bentuk. Yang pertama, adalah rahmat yang berlaku sangat umum. Ini adalah Sifat yang merupakan rahmat mutlak yang melingkupi semua hal di seluruh langit dan di bumi tanpa membedakan makhluk hidup dengan benda mati. Perwujudan segala hal dari keadaan ketiadaan yang kemudian berkembang menuju kesempurnaannya adalah berkat dari rahmat ini.
      Tidak ada yang berada di luar ruang lingkup rahmat ini. Semua jasmani dan ruhani dimanifestasikan oleh dan melalui rahmat ini dan semuanya berkembang atau dikembangkan melalui rahmat tersebut. Rahmat ini adalah inti kehidupan dari alam semesta. Jika rahmat ini dihentikan sesaat saja maka alam semesta ini akan berakhir, dan jika bukan karena rahmat ini maka tidak akan ada penciptaan. Dalam Al-Quran, sifat ini disebut sebagai Rabubiyat dan karena itu Allah disebut Rabbul ‘Alamīn sebagaimana dikatakan:
وَّ ہُوَ رَبُّ کُلِّ شَیۡءٍ
 Dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu  (Al-An’ām [6]:165).
    Tidak ada suatu pun di alam ini yang berada di luar rangkuman sifat Rabubiyat-Nya. Jadi Sifat  Rabbul ‘Alamīn disebutkan dalam Surah Al-Fatihah sebagai yang pertama dari semua Sifat rahmat. Sifat ini memiliki prioritas alamiah, baik karena mewujud mendahului Sifat-sifat yang lain dan karena bersifat yang paling umum dalam ruang lingkupnya mengingat mencakup baik makhluk hidup maupun benda mati.

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid

***

Pajajaran Anyar,  25 Oktober    2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar