ۡ بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah Ruhani Surah
Shād
Bab 62
Hanya Agama Islam
yang Memiliki “Dua Kalimah Syahadat“
Oleh
Ki
Langlang Buana Kusuma
D
|
alam akhir Bab
sebelumnya telah dijelaskan mengenai hakikat “Dua
Kalimah Syahadat” -- dimana di dalamnya
sebutan (nama) Allah Swt. disandingkan dengan nama Rasulullah
saw., yaitu Muhammad saw. -- sehubungan dengan kedekatan sempurna Nabi Besar
Muhammad saw. dengan Allah Swt. dalam peristiwa mi’raj (kenaikan ruhani) yang beliau saw. alami, firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
﴿﴾ وَ النَّجۡمِ اِذَا ہَوٰی
ۙ﴿﴾ مَا ضَلَّ صَاحِبُکُمۡ وَ مَا غَوٰی ۚ﴿﴾ وَ مَا یَنۡطِقُ عَنِ
الۡہَوٰی ؕ﴿﴾
اِنۡ ہُوَ اِلَّا
وَحۡیٌ یُّوۡحٰی ۙ﴿﴾ عَلَّمَہٗ
شَدِیۡدُ الۡقُوٰی ۙ﴿﴾ ذُوۡ مِرَّۃٍ ؕ فَاسۡتَوٰی
ۙ﴿﴾ وَ
ہُوَ بِالۡاُفُقِ الۡاَعۡلٰی ؕ﴿﴾ ثُمَّ دَنَا فَتَدَلّٰی ۙ﴿﴾ فَکَانَ قَابَ قَوۡسَیۡنِ اَوۡ اَدۡنٰی
ۚ﴿﴾
فَاَوۡحٰۤی اِلٰی عَبۡدِہٖ مَاۤ
اَوۡحٰی ﴿ؕ﴾ مَا کَذَبَ الۡفُؤَادُ مَا
رَاٰی ﴿﴾ اَفَتُمٰرُوۡنَہٗ عَلٰی مَا یَرٰی ﴿﴾ وَ لَقَدۡ رَاٰہُ نَزۡلَۃً
اُخۡرٰی ﴿ۙ﴾ عِنۡدَ سِدۡرَۃِ الۡمُنۡتَہٰی ﴿﴾ عِنۡدَہَا جَنَّۃُ
الۡمَاۡوٰی ﴿ؕ﴾ اِذۡ
یَغۡشَی السِّدۡرَۃَ مَا یَغۡشٰی ﴿ۙ﴾ مَا زَاغَ الۡبَصَرُ وَ مَا طَغٰی ﴿﴾ لَقَدۡ رَاٰی مِنۡ اٰیٰتِ رَبِّہِ الۡکُبۡرٰی ﴿﴾
Aku baca dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang. Demi bintang apabila
jatuh. Sahabat kamu tidaklah sesat
dan tidak
pula keliru. Dan ia sekali-kali tidak berkata-kata menuruti
keinginannya. Perkataannya itu tidak lain melainkan wahyu
yang diwahyukan. Tuhan
Yang Mahakuat Perkasa mengajarinya, Pemilik
Kekuatan, lalu Dia bersemayam di atas
‘Arasy. Dan Dia mewahyukan Kalam-Nya ketika ia, Rasulullah, berada di ufuk tertinggi. Kemudian ia, Rasulullah, mendekati Allah, lalu Dia kian dekat kepadanya, maka jadilah
ia, seakan-akan, seutas tali
dari dua buah busur, atau lebih
dekat lagi. Lalu Dia mewahyukan
kepada hamba-Nya apa yang telah Dia
wahyukan. Hati Rasulullah sekali-kali tidak berdusta mengenai apa yang dia lihat.
Maka apakah kamu membantahnya mengenai apa yang telah dia lihat?
Dan sungguh dia
benar-benar melihat-Nya kedua kali, dekat pohon
Sidrah tertinggi, yang
di dekatnya ada surga tempat tinggal. Ketika pohon Sidrah diselubungi oleh sesuatu
yang menyelubungi, penglihatannya sekali-kali tidak menyimpang dan tidak pula melantur. Sungguh
ia benar-benar melihat Tanda
paling besar dari Tanda-tanda
Rab-Nya (Tuhan-Nya). (An-Najm [53]:1-19).
Ayat ثُمَّ
دَنَا فَتَدَلّٰی -- “Kemudian
ia, Rasulullah, mendekati Allah, lalu Dia kian dekat kepadanya,”
dilanjutkan dengan ayat فَکَانَ قَابَ
قَوۡسَیۡنِ اَوۡ اَدۡنٰی -- “maka jadilah ia, seakan-akan, seutas tali dari dua buah busur atau lebih dekat lagi” , kalimat اَوۡ اَدۡنٰی -- atau lebih
dekat lagi”, mengandung arti bahwa perhubungan antara Nabi Besar Muhammad
saw. dengan Allah Swt. menjadi kian dekat
dan kian mesra lebih daripada yang
dapat dibayangkan pikiran.
Dengan demikian jelaslah mengapa dalam “Dua Kalimah Syahadat” – yang merupakan Rukun Islam yang pertama
– nama Nabi Besar Muhammad saw.
disandinglan dengan sebutan Allah Swt.,
yakni:
“Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad
adalah Rasul Allah.”
Salah sdatu makna kedua Kalimah Syahadat tersebut, berarti bahwa sejak diwahyukan agama Islam (Al-Quran) sebagai agama terakhir dan tersempurna kepada Nabi Besar Muhammad saw. (QS.5:4), maka kecuali beriman
sepenuhnya kepada Nabi Besar Muhammad saw. dan mengamalkan ajaran Islam (Al-Quran),
tidak akan ada seorang pun akan mendapat kecintaan
dan pengampunan Allah Swt. (QS.3:20, 32, 86-87; QS.33:22; QS.4:70-71).
Hanya Agama Islam yang Memiliki “Dua
Kalimah Syahadat”
Oleh karena itu sangat keliru
kepercayaan di
kalangan sekelompok umat Islam yang
mengatakan bahwa setiap agama
memiliki “Dua Kalimah Syahadat”nya
masing-masing – contohnya:
“Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah, dan aku bersaksi bahwa Ibrahim adalah
Khālilullāh (Sahabat Allah).”
kemudian:
“Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah, dan aku bersaksi bahwa Musa adalah
Kālimullāh (Kalam Allah).”
dan:
“Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah, dan aku bersaksi bahwa Isa Ibnu
Maryam adalah Rūhullāh (Ruh Allah).”
Pendek kata Dua Kalimah Syahadat dalam
agama Islam merupakan cap atau stempel atau segel atau meterai yang tanpa mengikrarkan
dan memahaminya secara benar
maka ke-Muslim-man dan ke-Mukmin-an seseorang tidak sah di sisi Allah Swt., firman-Nya kepada Nabi Besar Muhammad saw.:
قَالَتِ الۡاَعۡرَابُ اٰمَنَّا ؕ قُلۡ لَّمۡ تُؤۡمِنُوۡا وَ لٰکِنۡ قُوۡلُوۡۤا
اَسۡلَمۡنَا وَ لَمَّا یَدۡخُلِ الۡاِیۡمَانُ فِیۡ قُلُوۡبِکُمۡ ؕ وَ اِنۡ تُطِیۡعُوا اللّٰہَ وَ
رَسُوۡلَہٗ لَا یَلِتۡکُمۡ مِّنۡ اَعۡمَالِکُمۡ
شَیۡئًا ؕ اِنَّ اللّٰہَ غَفُوۡرٌ رَّحِیۡمٌ ﴿﴾ اِنَّمَا
الۡمُؤۡمِنُوۡنَ الَّذِیۡنَ
اٰمَنُوۡا بِاللّٰہِ وَ رَسُوۡلِہٖ ثُمَّ
لَمۡ یَرۡتَابُوۡا وَ جٰہَدُوۡا بِاَمۡوَالِہِمۡ وَ اَنۡفُسِہِمۡ فِیۡ سَبِیۡلِ
اللّٰہِ ؕ اُولٰٓئِکَ ہُمُ الصّٰدِقُوۡنَ ﴿﴾ قُلۡ اَتُعَلِّمُوۡنَ اللّٰہَ بِدِیۡنِکُمۡ ؕ وَ
اللّٰہُ یَعۡلَمُ مَا فِی السَّمٰوٰتِ وَ مَا فِی الۡاَرۡضِ ؕ وَ اللّٰہُ بِکُلِّ
شَیۡءٍ عَلِیۡمٌ ﴿﴾ یَمُنُّوۡنَ
عَلَیۡکَ اَنۡ اَسۡلَمُوۡا ؕ قُلۡ لَّا تَمُنُّوۡا عَلَیَّ اِسۡلَامَکُمۡ ۚ بَلِ اللّٰہُ یَمُنُّ
عَلَیۡکُمۡ اَنۡ ہَدٰىکُمۡ لِلۡاِیۡمَانِ
اِنۡ کُنۡتُمۡ صٰدِقِیۡنَ ﴿﴾
اِنَّ
اللّٰہَ یَعۡلَمُ غَیۡبَ
السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ ؕ وَ اللّٰہُ
بَصِیۡرٌۢ بِمَا تَعۡمَلُوۡنَ ﴿٪﴾
Orang-orang Arab gurun berkata: “Kami telah
beriman.” Katakanlah: “Kamu belum
beriman, tetapi katakanlah: “Kami telah berserah diri (Muslim), karena keimanan
belum masuk ke dalam hati kamu.” Tetapi jika kamu menaati Allah dan Rasul-Nya,
Dia tidak akan mengurangi sesuatu dari amal-amal kamu, sesungguhnya Allah
Maha Pengampun, Maha Penyayang. Sesungguhnya orang beriman adalah orang-orang
yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian tidak ragu-ragu dan terus
berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah. Mereka
itulah orang-orang yang benar. Katakanlah, “Apakah kamu mengajarkan (memberitahukan) kepada Allah tentang agama kamu? Padahal Allah
mengetahui apa yang ada di seluruh langit dan bumi. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Mereka mengira telah
memberi anugerah kepada engkau
karena mereka telah menjadi orang Islam
(Muslim). Katakanlah: “Janganlah kamu
merasa memberi anugerah kepadaku karena ke-Islam-an kamu, bahkan Allah-lah Yang memberi anugerah
terhadap kamu karena Dia telah
memberi kamu petunjuk kepada iman, jika kamu orang-orang yang benar.” Sesungguhnya
Allah mengetahui yang gaib di
seluruh langit dan bumi. Dan Allah Maha
Melihat apa yang kamu kerjakan. (Al-Hujurāt [49]:15-19).
Kedekatan Sempurna Nabi Besar Muhammad
Saw. dengan Allah Swt.
Kembali kepada Surah An Najm ayat 1-19 sebelumnya, ayat-ayat
8 sampai 18 menggambarkan mikraj Nabi
Besar Muhammad saw. ketika beliau saw. secara ruhani dibawa ke langit
dan dianugerahi pemandangan suatu penjelmaan ruhani Allah Swt., dan secara ruhani beliau saw. naik sampai dekat sekali kepada Khāliq-nya. Pada hakikatnya, mikraj merupakan dua pengalaman ruhani, yakni (1) kenaikan ruhani (mi’raj) Nabi Besar
Muhammad saw. dan (2) turunnya tajalli (penampakan
kebesaran) Allah Swt. kepada beliau.
Dalam pikiran umum, mi’raj
telah dicampurbaurkan dengan isra’ (perjalanan Nabi Besar Muhammad saw. pada waktu malam ke Yerusalem – QS.17:2), sedangkan masing-masing berlainan
dan terpisah waktu terjadinya. Peristiwa Isra terjadi pada tahun ke-11 atau ke-12 tahun
Nabawi (Zurqani), padahal Nabi
Besar Muhammad saw. telah
lebih dahulu mengalami mikraj
pada tahun ke-5, tidak lama sesudah hijrah
pertama ke Abessinia 6 atau 7 tahun sebelum terjadi peristiwa isra’.
Penelaahan saksama dan teliti mengenai rincian kedua peristiwa
itu, sebagaimana disebut-sebut di dalam hadits
juga mendukung pendapat ini. Untuk keterangan lebih terinci
mengenai kedua peristiwa mikraj
dan isra’ keduanya merupakan
kejadian yang terpisah dan berbeda satu sama lain.
Kata mā dalam
ayat فَاَوۡحٰۤی اِلٰی عَبۡدِہٖ مَاۤ
اَوۡحٰی -- “Lalu Dia mewahyukan kepada
hamba-Nya apa yang telah Dia wahyukan”, kadang-kadang dipergunakan untuk
menyatakan kehormatan, keheranan, atau untuk memberikan tekanan
arti (Aqrab-al-Mawarid). Ayat
ini mengandung arti bahwa Allah Swt. menurunkan wahyu Al-Quran kepada hamba-Nya,
dan alangkah bagus lagi hebatnya wahyu
itu!
Makna ayat مَا کَذَبَ
الۡفُؤَادُ مَا رَاٰی -- “Hati Rasulullah
sekali-kali tidak berdusta mengenai apa yang dia lihat” hakikatnya ialah bahwa apa yang telah dilihat oleh Nabi Besar
Muhammad saw. dalam peristiwa mi’raj
tersebut adalah pengalaman hakiki, dan pengalaman
itu adalah kebenaran sejati dan bukan
tipuan khayal beliau saw..
Tajjali Ilahi (Penjelmaan Kekuasaan Tuhan)
Terbesar
kepada Nabi Besar Muhammad Saw.
Makna ayat وَ لَقَدۡ رَاٰہُ نَزۡلَۃً
اُخۡرٰی -- “ Dan
sungguh dia benar-benar melihat-Nya kedua kali” yakni kasyaf
(pengalaman ruhani) Nabi Besar Muhammad
saw. itu suatu pengalaman ruhani berganda.
Menurut ayat-ayat tersebut, pada waktu mikraj, Nabi Besar
Muhammad saw. telah
mencapai martabat qurb Ilahi (kedekatan kepada Allah) demikian tinggi, sehingga sungguh berada di luar
jangkauan otak manusia untuk memahaminya; atau ayat ini dapat berarti bahwa
pada martabat itu terbentang di
hadapan beliau saw. samudera luas
tanpa tepi – samudera makrifat Ilahi,
hakikat-hakikat serta kebenaran-kebenaran abadi.
Sadir yang diambil
dari akar kata yang sama berarti bahwa makrifat Ilahi yang dilimpahkan
kepada Nabi Besar Muhammad saw. akan seperti halnya pohon Sidrah memberikan kesenangan dan naungan kepada para musafir
ruhani yang merasa kakinya letih dan payah. Lebih-lebih karena daun pohon Sidrah memiliki khasiat mengawetkan mayat dari proses pembusukan, ayat ini dapat berarti bahwa ajaran
Al-Quran yang diwahyukan kepada
Nabi Besar Muhammad saw. tidak hanya kebal terhadap bahaya kerusakan (QS.15:10), tetapi juga baik sekali guna menolong dan memelihara
umat manusia terhadap kerusakan.
Atau, ayat ini mengandung kabar gaib yang mengisyaratkan kepada
sebatang pohon, yang di bawah pohon itu para sahabat Nabi Besar
Muhammad saw. mengikat janji
setia (bai'at) kepada beliau saw. pada peristiwa Perjanjian
Hudaibiyah.
Kata-kata “yang
menyelubungi” dalam ayat
اِذۡ یَغۡشَی السِّدۡرَۃَ مَا یَغۡشٰی -- “Ketika pohon Sidrah diselubungi oleh sesuatu
yang menyelubungi,”
maknanya ialah penjelmaan Ilahi yang
paling sempurna kepada agama Islam (Al-Quran) dan Nabi Besar Muhammad saw.
Jadi, kembali kepada firman
Allah Swt. mengenai dasar tingkatan akhlak
tertinggi iytā-i-dzil-qurba (memberi
seperti terhadap kerabat) dan
hubungannya dengan Sifat Rabubiyyat
Allah Swt., firman-Nya:
اِنَّ اللّٰہَ یَاۡمُرُ
بِالۡعَدۡلِ وَ الۡاِحۡسَانِ وَ اِیۡتَآیِٔ ذِی الۡقُرۡبٰی وَ یَنۡہٰی
عَنِ الۡفَحۡشَآءِ وَ الۡمُنۡکَرِ وَ الۡبَغۡیِ ۚ یَعِظُکُمۡ
لَعَلَّکُمۡ تَذَکَّرُوۡنَ
﴿﴾
Sesungguhnya Allah
menyuruh berlaku adil, berbuat ihsan (kebajikan), dan memberi seperti kepada kaum kerabat, serta melarang dari perbuatan keji, mungkar,
dan pemberontakan. Dia nasihatkan
kepada kamu supaya kamu mengambil pelajaran. (An-Nahl [16]:91).
Kenyataan
tersebut hanya Nabi Besar Muhammad saw. sajalah yang mampu mengamalkan
اِیۡتَآیِٔ ذِی الۡقُرۡبٰی (memberi
seperti terhadap kerabat) dalam hubungannya
dengan Sifat Rabbubiyyat Allah Swt., sebagaimana digambarkan mengenai kedekatan sempurna beliau saw. dengan Allah Swt. dalam peristiwa mi’raj dan yang diabadikan dalam “Dua Kalimah
Syahadat”.
Segi Baik dan Buruk Akhlak Manusia
Kembali kepada firman Allah Swt.
yang merupakan pokok pembahasan,
firman-Nya:
اِنَّ اللّٰہَ یَاۡمُرُ
بِالۡعَدۡلِ وَ الۡاِحۡسَانِ وَ اِیۡتَآیِٔ ذِی الۡقُرۡبٰی وَ یَنۡہٰی
عَنِ الۡفَحۡشَآءِ وَ الۡمُنۡکَرِ وَ الۡبَغۡیِ ۚ یَعِظُکُمۡ
لَعَلَّکُمۡ تَذَکَّرُوۡنَ
﴿﴾
Sesungguhnya Allah
menyuruh berlaku adil, berbuat ihsan (kebajikan), dan memberi seperti kepada kaum kerabat, serta melarang dari perbuatan keji, mungkar,
dan pemberontakan. Dia nasihatkan kepada kamu supaya kamu mengambil pelajaran. (An-Nahl
[16]:91).
Sebagaimana
telah dijelaskan sebelumnya, bahwa ayat ini mengandung tiga macam perintah dan tiga
macam larangan, yang secara singkat membahas semua macam derajat perkembangan akhlak dan keruhanian manusia -- bersama segi kebaikan dan keburukannya masing-masing.
Ayat
ini menganjurkan (1) berlaku adil,
(2) berbuat ihsan (kebajikan) kepada orang lain, dan (3) berlaku kasih sayang antara kaum kerabat; dan sebaliknya
(1) melarang berbuat hal yang tidak senonoh (fahsyaa-i), (2) berbuat keburukan (munkar), dan (3) pelanggaran yang nyata (baghyi).
Keadilan
(‘adl) mengandung arti bahwa seseorang harus
memperlakukan orang-orang lain seperti ia diperlakukan oleh mereka. Ia hendaknya membalas kebaikan dan keburukan orang-orang lain secara setimpal menurut besarnya dan ukurannya
yang diterima olehnya dari mereka.
Lebih
tinggi dari ‘adl (keadilan) adalah derajat ihsan (kebajikan) bila
manusia harus berbuat ihsan (kebaikan yang lebih) kepada
orang-orang lain tanpa mengindahkan
macamnya perlakuan yang diterima dari
mereka -- atau sekalipun ia diperlakukan buruk oleh mereka -- perbuatannya
tidak boleh digerakkan oleh pertimbangan-pertimbangan menuntut balasan, sekali pun
sekedar ucap “terima kasih” dari orang yang
diperlakukan ihsan (QS.92:18-22;
QS.76:6-11).
Pada derajat perkembangan akhlak terakhir dan tertinggi, ialah ītā’i dzil
qurbā (memberi seperti kepada kerabat), yakni seorang beriman diharapkan
untuk berlaku baik terhadap orang-orang lain, bukan sebagai membalas sesuatu kebaikan yang diterima
dari mereka (‘adil) , begitu pun tidak dengan pertimbangan untuk berbuat lebih baik (ihsan) dari kebaikan yang ia peroleh, melainkan
untuk berbuat kebaikan yang
ditimbulkan oleh dorongan fitri
(fitrat), seperti ia berbuat baik kepada orang-orang yang
mempunyai perhubungan darah yang dekat sekali.
Ketiga derajat akhlak ini merupakan segi baiknya dari perkembangan akhlak manusia. Segi buruknya digambarkan dengan tiga
perkataan juga, yakni (1) fahsyā (perbuatan yang tidak senonoh), (2) munkar
(keburukan yang nyata), dan (3) baghy
(pelanggaran keji).
Perbuatan buruk yang disebut munkar, mengandung arti keburukan-keburukan yang orang-orang lain juga melihat dan mengutuknya, walaupun mereka boleh jadi tidak menderita
sesuatu kerugian atau pelanggaran atas hak-hak mereka sendiri oleh si pelaku
dosa itu. Ada pun perbuatan buruk yang disebut baghy merangkum semua dosa dan keburukan, yang tidak hanya nampak,
dirasakan, dan dicela oleh orang-orang lain, bahkan menimbulkan kemudaratan yang nyata pada mereka. Ketiga kata yang sederhana ini meliputi segala
macam dosa.
Penjelasan Pendiri Jemaat Ahmadiyah Mengenai Keempat
Sifat Utama Tasybihiyyah Allah
Swt.: (1) Sifat Rabbubiyyat
Kembali kepada empat Sifat utama Tasybihiyyah Allah Swt. dalam Surah Al-Fatihah serta hubungannya dengan
‘adil, ihsan, dan iytā-i dzil-qurba,
menurut tingkatannya Sifat Rabbubiyyat Allah Swt. bersifat sangat
umum karena menyangkut seluruh tatanan alam
semesta; Sifat Rahmāniyyat Allah
Swt. bersifat umum karena berlaku
hanya bagi segala jenis makhluk hidup -- termasuk orang-orang beriman mau pun orang-orang kafir;
dan Sifat Rahīmiyyat Allah Swt.
bersifat khusus karena menyangkut hanya orang-orang yang beriman; sedangkan Sifat Mālikiyyat
Allah Swt. bersifat sangat khusus
karena menyangkut pembalasan
sepenuhnya kepada orang-orang beriman mau pun orang kafir kepada Allah Swt..
Sehubungan dengan hal tersebut berikut
adalah penjelasan Mirza Ghulam Ahmad a.s. – Imam
Mahdi a.s. dan Al-Masih Mua’ud a.s.
-- mengenai keempat Sifat utama Tasybihiyyah Allah Swt. dalam Surah Al-Fatihah tersebut:
“Dalam Surah Al-Fatihah, Allah Yang
Maha Perkasa mengemukakan 4 Sifat-sifat-Nya
yaitu Rabbubiyat, Rahmāniyat, Rahīmiyat dan Māliki Yaumiddīn. Urutan
penyampaian Sifat-sifat itu
merupakan urutan alamiah perwujudannya. Rahmat Ilahi dimanifestasikan di
dunia dalam 4 bentuk. Yang pertama, adalah rahmat yang berlaku sangat
umum. Ini adalah Sifat yang merupakan rahmat mutlak yang
melingkupi semua hal di seluruh langit dan di bumi tanpa membedakan makhluk hidup dengan benda mati. Perwujudan segala hal dari
keadaan ketiadaan yang kemudian berkembang menuju kesempurnaannya
adalah berkat dari rahmat ini.
Tidak
ada yang berada di luar ruang lingkup rahmat ini. Semua jasmani dan ruhani dimanifestasikan oleh dan melalui rahmat ini dan
semuanya berkembang atau dikembangkan melalui rahmat tersebut.
Rahmat ini adalah inti kehidupan dari alam semesta. Jika rahmat ini dihentikan sesaat saja maka
alam semesta ini akan berakhir, dan jika bukan karena rahmat ini maka
tidak akan ada penciptaan. Dalam Al-Quran, sifat ini disebut sebagai Rabubiyat dan karena itu Allah disebut Rabbul ‘Alamīn sebagaimana
dikatakan:
وَّ ہُوَ رَبُّ کُلِّ شَیۡءٍ
Dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu (Al-An’ām [6]:165).
Tidak ada suatu pun di alam ini yang berada di luar rangkuman sifat Rabubiyat-Nya. Jadi Sifat Rabbul
‘Alamīn disebutkan dalam Surah Al-Fatihah sebagai
yang pertama dari semua Sifat rahmat. Sifat ini memiliki prioritas
alamiah, baik karena mewujud mendahului Sifat-sifat yang lain dan
karena bersifat yang paling umum dalam ruang lingkupnya mengingat
mencakup baik makhluk hidup maupun benda mati.
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 25 Oktober
2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar