Minggu, 27 Oktober 2013

Pengamalan Empat Sifat Tasybihiyyah Allah Swt. dalam Surah Al-Fatihah oleh Nabi Daud a.s. dan Nabi Sulaiman a.s.



ۡ بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ

Khazanah Ruhani Surah  Shād


Bab 58

    Pengamalan Empat Sifat Tasybihiyyah Allah Swt. dalam Surah Al-Fatihah oleh  Nabi Daud a.s. dan Nabi Sulaiman a.s.    

Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma



D
alam   Bab sebelumnya  telah dijelaskan  ayat 2    Surah Al-Fatihah  tentang  Sifat Rabbubiyyat Allah Swt.   اَلۡحَمۡدُ لِلّٰہِ رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ  --  “segala puji bagi Allah Rabb (Pencipta) seluruh alam”,    yang berdasarkan Sifat Rabbuibiyyat-Nya itulah Allah Swt. telah menciptakan tatanan alam semesta jasmani ini   -- yang pada hakikatnyta merupakan bagian dari “kerajaan” Allah Swt.,  firman-Nya: 
اَلۡحَمۡدُ لِلّٰہِ رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ ۙ﴿﴾   الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ ۙ﴿﴾ مٰلِکِ یَوۡمِ الدِّیۡنِ ؕ﴿﴾
Segala  puji  hanya bagi  Allah, Tuhan  seluruh alam,  Maha Pemurah,  Maha Pe-nyayang,  Pemilik   Hari  Pembalasan. (Al-Fatihah [1]:2-4).

Makna Nama “Allah

      Sebagaimana telah dijelaskan bahwa kata Allah dalam ayat  اَلۡحَمۡدُ لِلّٰہِ    --    Segala  puji  hanya bagi  Allah” adalah nama Zat Maha Agung, Pemilik Tunggal semua Sifat  sempurna, dan sama sekali bebas dari segala kekurangan. Dalam bahasa Arab  lafaz Allah  tidak pernah dipakai untuk benda atau zat lain apa pun. Tidak ada bahasa lain yang memiliki nama tertentu atau nama khusus untuk Dzat Yang Maha Agung itu. Nama-nama yang terdapat dalam bahasa-bahasa lain semuanya nama-penunjuk-sifat atau nama pemerian (pelukisan), dan seringkali dipakai dalam bentuk jamak, sedangkan   lafaz   Allāh  tidak pernah dipakai dalam bentuk jamak.
       Lafaz  Allah  adalah  ism zat (nama zat),   bukan  ism musytak, yakni  tidak diambil dari kata lain dan tidak pernah dipakai sebagai keterangan atau sifat. Karena tidak ada  lafaz lain yang sepadan maka  lafaz  Allah  dipergunakan di seluruh terjemahan ayat-ayat Al-Quran.
    Pandangan ini didukung oleh para alim bahasa Arab terkemuka. Menurut pendapat yang paling tepat  lafaz    Allah   adalah nama Wujud bagi Dzat yang wajib ada-Nya menurut Dzat-Nya Sendiri, Pemilik segala sifat  sempurna, dan huruf al  tidak terpi-sahkan dari lafaz Allāh (Lexicon Lane).
     Dalam bahasa Arab, kata al   pada ayat   اَلۡحَمۡدُ لِلّٰہِ    --    Segala  puji  hanya bagi  Allah  itu lebih-kurang sama artinya dengan kata  “the” dalam bahasa Inggeris. Kata al dipergunakan untuk menunjukkan keluasan yang berarti meliputi semua segi atau jenis sesuatu pokok, atau untuk melukiskan kesempurnaan, yang juga suatu segi keluasan,   karena meliputi semua tingkat dan derajat. Al dipakai juga untuk menyatakan sesuatu yang telah disebut atau suatu pengertian atau konsep yang ada dalam pikiran.

Makna Kalimat “Segala Puji bagi Allah” &
Makna  al-’Ālamīn  (Seluruh Alam)

     Dalam bahasa Arab dua kata madah dan hamd dalam ayat    اَلۡحَمۡدُ لِلّٰہِ    --    Segala puji  hanya bagi  Allah” dipakai dalam arti pujian atau syukur, tetapi kalau madah  mungkin palsu, sedangkan hamd senantiasa benar. Lagi pula, madah dapat dipakai mengenai perbuatan baik yang tidak dikuasai oleh pelakunya, tetapi hamd hanya dipakai mengenai perbuatan yang dilakukan dengan kerelaan hati dan dengan kemauan sendiri (Al-Mufradat).
      Hamd mengandung pula arti: pengaguman, penyanjungan, dan penghormatan terhadap yang dituju oleh pujian itu, dan kerendahan, kehinaan, dan kepatuhan orang yang memberi pujian (Lexicon Lane).  Jadi hamd  adalah kata yang paling tepat dipakai di sini, untuk maksud mengutarakan kebaikan, dan puji-pujian yang sungguh wajar lagi layak serta  sebagai sanjungan akan kemuliaan Allah  Swt.. Menurut kebiasaan, kata hamd kemudian menjadi khusus ditujukan hanya kepada  Allah Swt.
      Surah Al-Fatihah     ayat 2:    اَلۡحَمۡدُ لِلّٰہِ رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ – (Segala puji bagi Allah Rabb seluruh alam),  dimana makna   kata rabb dalam Sifat Rabbubiyyat Allah Swt. telah dijelaskan sebelumnya, ada pun  kalimat    al-’ālamīn  adalah jamak dari al-’alam, berasal dari akar kata ‘ilm yang berarti “mengetahui.” Kata  al-’ālamīn  itu bukan saja telah dikenakan kepada semua wujud atau benda yang dengan sarana (perantaraan) itu orang dapat mengetahui Al-Khāliq  --  Maha Pencipta (Aqrab-al-Mawarid), sebagaimana firman-Nya dalam Al-Quran (QS.2:165; QS.3:27-28 & 191-195; QS.10:7; QS.30:21-28;  QS.42:30; QS.45:4-7).  
       Kata  al-’ālamīn   dikenakan bukan saja kepada segala macam wujud atau benda yang dijadikan, tetapi pula kepada golongan-golongannya secara kolektif, sehingga orang berkata ‘alamul-ins, artinya  “alam manusia” atau ‘alam-ul-hayawan   yakni “alam binatang” atau  ‘alamul-nabat yakni “alam tumbuh-tumbuhan.”
     Kata al-’ālamīn tidak hanya dipakai untuk menyebut wujud-wujud berakal — seperti manusia dan malaikat — saja, Al-Quran  pun mengenakannya kepada semua benda yang diciptakan (QS.26:24-29 dan QS.41:10). Akan tetapi tentu saja kadang-kadang kata itu dipakai dalam arti yang terbatas (QS.2:123). Di sini kata  al-’ālamīn itu dipakai dalam arti yang seluas-luasnya dan mengandung arti “segala sesuatu yang ada selain Allah” yakni  benda-benda berjiwa dan tidak berjiwa dan mencakup juga benda-benda langit — matahari, bulan, bintang, dan sebagainya.
      Dengan demikian  dalam ayat  ayat   اَلۡحَمۡدُ لِلّٰہِ رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ – (Segala puji bagi Allah Rabb seluruh alam) secara jelas terpisah antara Allah Swt. sebagai Rabb  dan al-’ālamīn  (seluruh alam) sebagai ciptaan (makhluk) Allah Swt., sehingga tidak mungkin semua makhluk  ciptaan Allah Swt. yang diciptakan melalui sifat Rabbubiyyat-Nya dapat berubah berkedudukannya  menjadi Khaliq (Tuhan Pencipta), melainkan hanya sekedar meniru sifat Al-Khaliq (Maha Pencipta) Allah Swt. serta Sifat-sifat Tasybihiyyah Allah Swt. lainnya.
     Ungkapan “Segala puji bagi Allah  lebih luas dan lebih mendalam artinya daripada “Aku memuji Allah”, sebab manusia hanya dapat memuji Allah Swt. menurut pengetahuannya yang terbatas,   sedangkan  anak kalimat “Segala puji bagi Allah” meliputi bukan saja puji-pujian yang diketahui manusia bahkan juga puji-pujian  yang tidak diketahuinya. Allah Swt.  layak mendapat puji-pujian setiap waktu, terlepas dari pengetahuan atau kesadaran manusia yang tidak sempurna.
     Tambahan pula  kata al-hamd  adalah  masdar dan karena itu dapat diartikan kedua-duanya, sebagai pokok kalimat atau sebagai tujuan kalimat. Diartikan sebagai pokok, Alhamdulillāhi berarti hanyalah Allah Swt. sajalah   Yang  berhak memberikan pujian sejati; dan diartikan secara tujuan kalimat, Alhamdulillāhi berarti bahwa segala pujian sejati dan tiap-tiap macam pujian yang sempurna hanya layak bagi Allah Swt.  semata-mata.  

Proses  Evolusi    Merupakan  Rangkaian Hukum “Sebab-Akibat
Sesuai  Sifat Rabbubiyyat Allah Swt.  

      Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa ayat menunjuk kepada hukum evolusi di alam semesta, artinya bahwa segala sesuatu di alam semesta jasmani ini mengalami perkembangan dan bahwa perkembangan itu terus-menerus — dan terlaksana secara bertahap.
     Penggunaan  ucapan Ya Rabbiy (Ya Tuhan-ku)  dan Rabbanā  (Ya Tuhan kami) dalam doa-doa yang dipanjatkan dalam Al-Quran mengisyaratkan kepada   Sifat Rabbubiyyat Allah Swt., yakni mengisyaratkan kepada Sifat  Allah Swt. Yang membuat segala sesuatu tumbuh dan berkembang setingkat demi setingkat menuju kepada tujuan penciptaan yang telah ditetapkan-Nya.
       Selanjutnya  ayat ini menunjuk kepada kenyataan bahwa manusia dijadikan untuk kemajuan tidak terbatas, sebab ungkapan  رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ    (Rabb seluruh alam)  itu mengandung arti bahwa Allah Swt.   mengembangkan segala sesuatu dari tingkatan rendah kepada yang lebih tinggi, dan hal itu hanya mungkin jika tiap-tiap tingkatan itu diikuti oleh tingkatan lain dalam proses yang tidak ada henti-hentinya.
     Mengisyaratkan kepada kenyataan itu pulalah Allah Swt. telah berfirman mengenai pentingnya  kesabaran   dalam hal terkabulnya doa yang dipanjatkan kepada-Nya atau pun  suatu upaya (usaha) yang sedang dilakukan --   walau Allah Swt. berkuasa mewujudkan segala sesuatu dengan ucapan “Kun, fayakun” (“Jadilah” maka terjadilah) --  firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوا اسۡتَعِیۡنُوۡا بِالصَّبۡرِ وَ الصَّلٰوۃِ ؕ اِنَّ اللّٰہَ مَعَ الصّٰبِرِیۡنَ ﴿﴾
Hai orang-orang yang beriman,  mohonlah pertolongan dengan sabar dan shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.   (Al-Baqarah [2]:154)
    Shabr (sabar) berarti: (1) tekun dalam menjalankan sesuatu; (2) memikul kemalangan dengan ketabahan dan tanpa berkeluh-kesah; (3) berpegang teguh kepada syariat dan petunjuk akal; (4) menjauhi perbuatan yang dilarang oleh syariat dan akal  (Al-Mufradat).
       Ayat ini mengandung satu asas yang hebat sekali untuk mencapai keberhasilan (kesuksesan). Pertama, seorang Muslim harus tekun dalam usahanya dan sedikit pun tidak boleh berputus asa. Di samping itu ia harus menjauhi apa-apa yang berbahaya dan berpegang teguh kepada segala hal yang baik. Kedua, ia hendaknya mendoa kepada  Allah Swt. untuk keberhasilan, sebab hanya Allah Swt.  sajalah Sumber segala kebaikan.
       Kata shabr (sabar) mendahului kata shalat dalam ayat ini dengan maksud untuk menekankan pentingnya melaksanakan hukum Ilahi   -- termasuk “hukum alam” atau “hukum sebab-akibat” --  yang terkadang diremehkan karena tidak mengetahui. Lazimnya doa akan terkabul hanya bila didampingi oleh penggunaan segala sarana yang diciptakan  Allah Swt.   untuk mencapai sesuatu tujuan.
       Ayat     اَلۡحَمۡدُ لِلّٰہِ رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ – (Segala puji bagi Allah Rabb seluruh alam)   menjelaskan pula, bahwa prinsip evolusi  (perubahan secara  bertahap) tidak bertentangan dengan kepercayaan kepada Allah Swt., tetapi proses evolusi yang disebut di sini, tidak sama dengan teori evolusi seperti biasanya diartikan, sebagaimana teori Charles Darwin yang mengatakan bahwa manusia berasal dari kera. Kata-kata itu dipergunakan dalam arti umum.

Pengamalan Empat Sifat Tasybihiyyah Allah Swt. dalam Surah Al-Fatihah
Oleh Nabi Daud a.s. dan Nabi Sulaiman a.s.  

       Jadi, sebagaimana halnya Allah Swt.   – Yang merupakan “Maharaja   hakiki dari “kerajaan” tatanan alam semesta -- demikian pula halnya kewajiban seorang Kepala Negara (Kepala Pemerintahan)  pun harus berusaha memperagakan Sifat Rabbubiyyat Allah Swt. sehingga tercipta berbagai macam fasilitas kehidupan yang diperlukan oleh seluruh lapisan masyarakat (rakyat) yang dipimpinnya.
     Salah satu contoh yang dikemukakan Allah Swt. dalam Al-Quran  mengenai pelaksanaan Sifat Rabbubiyat Allah Swt.   tersebut adalah yang dilakukan oleh Nabi Daud a.s. dan Nabi Sulaiman a.s., sebagaimana yang telah dijelaskan dalam beberapa Bab sebelum ini.
      Walau pun benar bahwa misi kerasulan kedua raja besar Bani Israil tersebut pada hakikatnya hanya untuk kalangan Bani Israil saja (QS.2:88-89; QS.61:7), tetapi  dalam kenyataannya Allah Swt, telah memberikan izin kepada  Nabi Daud a.s. dan Nabi Sulaiman a.s.  untuk  “mengelola” atau “memanfaatkan” SDM (sumber daya manusia)  suku-suku asing  yang  telah mereka taklukan, karena mereka itu sebelumnya mendiami wilayah  negeri yang dijanjikan  kepada Bani Israil (QS.5:21-27) dan mereka pun senantiasa menyerang Bani  Israil.
      Bangsa-bangsa asing bukan Bani Israil yang menguasai “negeri yang dijanjikan” tersebut  mulai dapat dikalahkan sejak masa tampilnya Thalut (Gideon) sebagai raja Bani Israil dan kerajaan Bani Israil mencapai puncaknya kejayaannya pada masa pemerintahan Nabi Daud a.s. dan Nabi Sulaiman a.s.  ketika berhasil “membunuh Jalut” dan “bala tentaranya” (QS.2: 247-253).
      Masalah ini telah dijelaskan dalam Bab-bab sebelumnya, bahwa “kaum-kaum asing”  yang ditaklukan  oleh Nabi Daud a.s. dan Nabi Sulaiman a.s.   dalam Al-Quran  secara  kiasan  disebut jin dan syaitan,  serta berbagai kemampuan (SDM) mereka itu dimanfaatkan  oleh Nabi Daud a.s. dan Nabi Sulaiman a.s. untuk  kepentingan kerajaan Bani Israil.
     Sesuai Sunnatullah, kemudian tiba masanya ketika kerajaan Bani Israil yang dibangun oleh Nabi Daud a.s.  dan Nabi Sulaiman a.s. tersebut mulai mengalami masa  keruntuhannya   setelah Nabi Sulaiman a.s. wafat, karena para pewaris  kerajaan Bani Israil  selanjutnya tidak mampu memperagakan Sifat-sifat Utama  Tasybihiyyah  Allah Swt.  dalam Surah Al-Fatihah, yang telah dilakukan (diamalkan) oleh Nabi Daud a.s. dan Nabi Sulaiman a.s, yakni Sifat Rabbubiyyat, Rahmāniyyat, Rahīmiyyat dan Māliki yaumiddīn.
      Mengisyaratkan kepada kenyataan  itulah Allah Swt.  dalam Al-Quran   telah  menyebut para pewaris kerajaan   sebagai  jasad tak bernyawa  yang “duduk di atas singgasana”,  hal tersebut  mengisyaratkan kelemahan akhlak dan ruhani  para raja Bani Israil setelah Nabi Sulaiman a.s. wafat, firman-Nya:
وَ لَقَدۡ فَتَنَّا سُلَیۡمٰنَ وَ اَلۡقَیۡنَا عَلٰی کُرۡسِیِّہٖ  جَسَدًا ثُمَّ  اَنَابَ ﴿﴾  قَالَ رَبِّ اغۡفِرۡ لِیۡ وَ ہَبۡ لِیۡ مُلۡکًا لَّا یَنۡۢبَغِیۡ لِاَحَدٍ مِّنۡۢ بَعۡدِیۡ ۚ اِنَّکَ اَنۡتَ الۡوَہَّابُ  ﴿﴾
Dan  sungguh  Kami benar-benar telah menguji Sulaiman serta Kami menempatkan di atas singgasananya suatu tubuh belaka, kemudian ia kembali kepada Tuhan-nya. Ia berkata: “Wahai Tuhan-ku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku suatu kerajaan yang tidak layak diwarisi oleh seseorang sesudahku. Sesungguhnya Engkau benar-benar Maha Pemberi anugerah.” (Shād [38]:35-36).

Rayap Bumi” Pemakan “Tongkat” Nabi Sulaiman a.s.

     Dalam QS.34:15 ungkapan yang dipakai ialah, “rayap bumi,” yang dapat mengisyaratkan kepada putra dan ahli waris Nabi Sulaiman a.s.  yaitu Rehoboam, seorang-orang yang tidak berharga, atau kepada Jeroboam, oknum yang mengibarkan panji pemberontakan terhadap wangsa (dinasti) Nabi Daud a.s. (I Raja-raja 12:28).
      Nabi Sulaiman a.s.  telah menyadari bahwa sesudah beliau wafat, kerajaan beliau tak akan dapat mempertahankan keutuhannya di bawah para penerus beliau yang tak cakap lagi tanpa berkemampuan itu. Oleh karena itu beliau menghadap dan mendoa ke hadirat Allah Swt. . Doa itu dicantumkan dalam ayat berikutnya  وَ ہَبۡ لِیۡ مُلۡکًا لَّا یَنۡۢبَغِیۡ لِاَحَدٍ مِّنۡۢ بَعۡدِیۡ   – “Wahai Tuhan-ku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku suatu kerajaan yang tidak layak diwarisi oleh seseorang sesudahku.
       Seperti nampak dari ayat sebelum ini Nabi Sulaiman a.s.    telah mempunyai firasat bahwa kerajaan duniawi beliau akan menjadi terpecah-belah sesudah beliau wafat, disebabkan oleh kelemahan mental putra beliau yang tolol dan tidak berharga itu; maka beliau mendoa supaya kerajaan ruhani yang telah dianugerahkan Tuhan kepada keturunannya dapat berjalan terus.
    Bila kata-kata  “suatu kerajaan yang tidak layak diwarisi oleh seseorang sesudahku,” diartikan secara harfiah, maka doa Nabi Sulaiman a.s. akan dipahami sudah terkabul dalam artian bahwa sesudah wafat beliau tidak akan ada raja di antara kaum Bani Israil yang memiliki kekuasaan dan pamor seperti beliau sendiri, karena itu keruntuhan kerajaan Bani Israil setelah Nabi Sulaiman a.s. wafat  diumpamakan  seperti “tongkat yang dimakan rayap”, firman-Nya:
فَلَمَّا قَضَیۡنَا عَلَیۡہِ  الۡمَوۡتَ مَا دَلَّہُمۡ عَلٰی مَوۡتِہٖۤ  اِلَّا دَآبَّۃُ  الۡاَرۡضِ تَاۡکُلُ مِنۡسَاَتَہٗ ۚ فَلَمَّا خَرَّ تَبَیَّنَتِ الۡجِنُّ اَنۡ لَّوۡ کَانُوۡا یَعۡلَمُوۡنَ الۡغَیۡبَ مَا لَبِثُوۡا فِی الۡعَذَابِ الۡمُہِیۡنِ ﴿ؕ﴾
Maka tatkala Kami menentukan kematiannya, sekali-kali tidak ada yang menunjukkan kematiannya kepada mereka selain rayap bumi yang memakan tongkatnya. Lalu tatkala tongkat itu jatuh, jin-jin  mengetahui dengan jelas bahwa seandainya mereka mengetahui yang gaib,  mereka sekali-kali tidak akan tetap dalam azab yang menghinakan.  (Saba [34]:15).

Para Pewaris  Kerajaan Bani Israil yang Berakhlak Lemah

    Putra yang sia-sia sebagai penerus Nabi Sulaiman a.s., Rehoboam; di bawah pemerintahannya yang lemah itu kerajaan Nabi Sulaiman a.s.  yang tadinya besar dan berkuasa telah menjadi berantakan (I  Raja-raja, fatsal 12, 13, 14 & Jewish  Encyclopaedia di bawah “Rehoboam”).
     Jadi, kehancuran dan keterpecahbelahan kerajaan Nabi Sulaiman a.s. . mulai berlaku pada masa pemerintahan Rehoboam dan di masa raja-raja selanjutnya, dan mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Zedekia  dengan terjadinya dua kali serangan balatentara raja Nebukarnezar dari kerajaan Babilonia sebagaimana yang telah dikemukakan sebelum ini  mengenai dihancurkannya kota Yerusalem (QS.17:5-6; QS.2:103, 1 Raja-raja 25:1-21).
       Ada yang menarik dari firman Allah Swt. mengenai “jin-jin” yang tidak mengetahui yang gaib mengenai keruntuhan kerajaan Nabi Sulaiman a.s. فَلَمَّا خَرَّ تَبَیَّنَتِ الۡجِنُّ اَنۡ لَّوۡ کَانُوۡا یَعۡلَمُوۡنَ الۡغَیۡبَ مَا لَبِثُوۡا فِی الۡعَذَابِ الۡمُہِیۡنِ  -- “Lalu tatkala tongkat itu jatuh, jin-jin mengetahui dengan jelas bahwa seandainya mereka mengetahui yang gaib, mereka sekali-kali tidak akan tetap dalam azab yang menghinakan.“
      Dengan demikian jelaslah bahwa penggunaan kata “jin” dan “syaitan” berkenaan dengan Nabi Sulaiman a.s. sama sekali tidak berhubungan dengan golongan makhluk harus yang disebut jin dan syaitan,   melainkan mengisyaratkan kepada bangsa-bangsa asing  para penyembah berhala yang telah  ditaklukkan oleh Nabi Daud a.s. dan Nabi Sulaiman a.s.,  yang kemudian atas izin Allah Swt. keahlian dan tenaga (SDM) mereka   dimanfaatkan oleh kedua raja besar Bani Israil – yang juga  sebagai  rasul Allah --  tersebut untuk kepentingan  kerajaan Bani Israil.

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid

***

Pajajaran Anyar,  21 Oktober    2013