Sabtu, 30 November 2013

Hakikat "Perpisahan Sementara" Nabi Besar Muhammad Saw. dengan Semua Istri Mulia Beliau Saw. & Kisah Kontroversial Mengharamkan Diri Minum Madu


بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ


Khazanah Ruhani Surah  Shād

Bab  88

Hakikat “Perpisahan Sementara” Nabi Besar Muhammad Saw. dengan Semua Istri Mulia Beliau saw. & Kisah Kontroversial Mengharamkan  Diri “Minum Madu”

Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

Dalam Akhir Bab sebelumnya  telah dikemukakan mengenai  keadaan ekonomi umat Islam  -- dan juga Baitul Māl (kas negara) -- secara berangsur  semakin membaik, karena itu  maka sangat wajar kalau para istri mulia Nabi Besar Muhammad saw.  pun  – yang diwakili oleh Siti ‘Aisyah r.a. binti Abu Bakar Shiddiq r.a. dan Siti Hafshah r.a. binti Umar bin Khaththab r.a. -- mengajukan permohonan kepada beliau  saw. agar ada sedikit  perbaikan dalam ekonomi  di lingkungan keluarga (rumahtangga)  beliau saw, karena selama bertahun-tahun seluruh keluarga atau Ahli Bait Nabi Besar Muhammad   saw. hidup dalam keadaan yang sangat  sederhana, melebihi keadaan keluarga para Sahabah beliau saw. yang paling miskin sekali pun.

“Menjauhi Tempat Tidur” Sementara

      Namun permohonan para istri beliau saw. yang sangat wajar tersebut  membuat Nabi Besar Muhammad saw. menjadi  “bersedih hati” atau “kecewa”, tetapi dalam menampakkan kekecewaannya tersebut  beliau saw. tidak menyatakannya dalam bentuk  penolakan melalui perkataan,  melainkan melalui sikap, yaitu beliau saw. untuk  beberapa lama tidak tidur di rumah para istri beliau saw.   – sesuai dengan salah satu dari tiga peraturan Al-Quran yakni “menjauhkan diri dari tempat tidur mereka   -- firman-Nya:
اَلرِّجَالُ قَوّٰمُوۡنَ عَلَی النِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰہُ بَعۡضَہُمۡ عَلٰی بَعۡضٍ وَّ بِمَاۤ اَنۡفَقُوۡا مِنۡ اَمۡوَالِہِمۡ ؕ فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلۡغَیۡبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰہُ ؕ وَ الّٰتِیۡ تَخَافُوۡنَ نُشُوۡزَہُنَّ فَعِظُوۡہُنَّ وَ اہۡجُرُوۡہُنَّ فِی الۡمَضَاجِعِ وَ اضۡرِبُوۡہُنَّ ۚ فَاِنۡ اَطَعۡنَکُمۡ فَلَا تَبۡغُوۡا عَلَیۡہِنَّ سَبِیۡلًا ؕ اِنَّ اللّٰہَ کَانَ عَلِیًّا کَبِیۡرًا ﴿﴾
Laki-laki adalah pelindung bagi perempuan-perempuan karena Allah telah melebihkan sebagian mereka di atas sebagian yang lain, dan karena mereka membelanjakan sebagian dari harta mereka, maka  perempuan-perempuan saleh adalah yang taat,  yang menjaga rahasia-rahasia suami mereka dari apa-apa yang telah dilindungi Allah. Dan ada pun perempuan-perempuan yang kamu khawa-tirkan kedurhakaan mereka  maka nasihatilah mereka,  jauhilah mereka di tempat tidur,  dan pukullah mereka, tetapi jika kemudian  mereka taat kepada kamu  maka janganlah kamu mencari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Tinggi, Maha Besar. (An-Nisa [4[:35).
       Dalam kasus yang dihadapi oleh Nabi Besar Muhammad saw.  tidak ada masalah kedurhakaan apa pun dari para istri mulia beliau saw., namun karena beliau saw. menginginkan agar para istri   -- sebagai Ummul-  mukminin (ibu orang-orang beriman – QS.33:7)  --  mereka tetap mempertahankan kehidupan sederhana seperti biasa,  karena itu   “permohonan” tersebut telah membuat beliau saw. merasa sedih atau kecewa.
     Menurut ayat tersebut ada 3 macam peraturan Al-Quran berkenaan 3 macam  tindakan  terhadap istri tersebut,  yang pertama adalah menasihati mereka,  yang kedua  adalah “memisahkan diri sementara waktu”, dan Nabi Besar Muhammad saw. yang bersifat “sangat lembut dan kasih-sayang  memilih tindakan yang nomor dua  yakni اہۡجُرُوۡہُنَّ فِی الۡمَضَاجِعِ  -- “jauhilah mereka di tempat tidur. 
       Anak kalimat tersebut dapat diartikan: (a) menjauhi perhubungan suami-istri; (b) tidur secara terpisah; (c) putus bicara dengan mereka.  Tetapi tindakan tersebut jangan berkelanjutan hingga jangka waktu yang tak tertentu, sebab menurut Allah Swt.  istri-istri jangan dibiarkan sebagai barang terkatung (QS.4:130).   Menurut Al-Quran, empat bulan   merupakan batas maksimum untuk menjauhi perhubungan suami-istri, yakni memisahkan diri secara lahiriah (QS.2:227).
      Tindakan yang ketiga adalah  وَ اضۡرِبُوۡہُنَّ  --  “dan pukullah mereka”. Menurut riwayat, Nabi Besar Muhammad saw.  pernah bersabda,  bahwa jika seorang Muslim benar-benar terpaksa harus memukul istrinya, maka pukulannya tidak boleh sampai meninggalkan bekas pada tubuhnya (Tirmidzi & Muslim). Tetapi  suami-suami yang memukul istri-istri mereka itu bukan orang-orang laki-laki  (suami) terbaik (Tafsir Ibnu Katsir, hlm. 111).

Peringatan Allah Swt. kepada Para  Suami  untuk Waspada

     Rasa sedih atau rasa kecewa Nabi Besar Muhammad saw. tersebut  sangat beralasan   karena Allah Swt. telah memperingatkan para suami  untuk mewaspadai keadaan keluarganya,  firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا  الَّذِیۡنَ  اٰمَنُوۡۤا اِنَّ مِنۡ اَزۡوَاجِکُمۡ وَ اَوۡلَادِکُمۡ عَدُوًّا  لَّکُمۡ   فَاحۡذَرُوۡہُمۡ ۚ  وَ  اِنۡ  تَعۡفُوۡا وَ تَصۡفَحُوۡا وَ تَغۡفِرُوۡا  فَاِنَّ اللّٰہَ  غَفُوۡرٌ  رَّحِیۡمٌ ﴿﴾ اِنَّمَاۤ  اَمۡوَالُکُمۡ وَ اَوۡلَادُکُمۡ  فِتۡنَۃٌ ؕ وَ اللّٰہُ  عِنۡدَہٗۤ   اَجۡرٌ  عَظِیۡمٌ ﴿﴾
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istri kamu dan anak-anak kamu ada yang merupakan  musuh bagi kamu, maka waspadalah terhadap mereka, dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi dan mengampuni, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. Sesungguhnya  harta kamu dan  anak-anak kamu adalah fitnah (ujian), dan Allah di sisi-Nya ganjaran yang besar. (At-Taghābun [64]:15-16).
       Nabi Besar Muhammad saw.  mengetahui,   bahwa yang menyebabkan Nabi Adam a.s. secara tidak sadar (tidak sengaja)  melupakan peringatan Allah Swt. tentang bahaya  tipu-daya   syaitan,     karena   syaitan membisikkan  tipu-dayanya tidak langsung kepada beliau melainkan melalui istri atau melalui  jama’ah  beliau – istri juga merupakan kiasan dari kaum atau jama’ah seorang rasul Allah (QS.66:11)  --  sehingga  di kalangan jama’ah beliau mulai timbul  ketidak-taatan atau pertentangan  yang dalam bahasa kiasan digambarkan sebagai “terlepasnya pakaian Adam dan istrinya” atau “terbuka aurat” dan terpaksa beliau harus hijrah  sementara dari tempat yang disebut “jannah” (QS.7:20-26; QS.20:116-123).
      Sehubungan dengan istri, Nabi Besar Muhammad saw. telah bersabda,  bahwa sebaik-baik harta bagi   suami adalah istri yang shalihah, sebab  istri-istri yang shalihah” itulah yang disebut oleh beliau saw. sebagai “ibu-ibu yang di bawah telapak kakinya ada surga” bagi anak-anaknya.
     Pendek kata,    permohonan istri-istri mulia Nabi Besar Muhammad saw. mengenai  sedikit perbaikan   keadaan ekonomi   di lingkungan keluarga (ahli bait) beliau saw., walau pun bukan merupakan suatu   kedurhakaan atau pun ketidaktaatan, namun bagi Nabi Besar Muhammad saw. adanya keinginan  untuk menikmati kehidupan duniawi  tersebut merupakan “celah” bagi syaitan  untuk masuk ke lingkungan Ahli Bait.

Kontroversi Riwayat yang Keliru Masalah “Madu”      

      Itulah yang menyebabkan  Nabi Besar Muhammad saw. sedih atau merasa kecewa lalu beliau  mengambil keputusan untuk sementara waktu menjauhi semua istri beliau saw.. Mengisyaratkan kepada peristiwa “pisah sementara” itulah firman Allah Swt. berikut ini --  yang telah menimbulkan berbagai macam pendapat keliru  mengenai peristiwa apa sebenarnya yang membuat  Nabi Besar Muhammad saw. “memisahkan diri” dari para istri mulia beliau saw. tersebut -- firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾ یٰۤاَیُّہَا النَّبِیُّ  لِمَ  تُحَرِّمُ مَاۤ  اَحَلَّ اللّٰہُ  لَکَ ۚ تَبۡتَغِیۡ  مَرۡضَاتَ  اَزۡوَاجِکَ ؕ وَ اللّٰہُ  غَفُوۡرٌ  رَّحِیۡمٌ ﴿﴾
Aku baca  dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang.   Hai Nabi, mengapa engkau mengharamkan apa yang Allah telah menghalalkannya bagi engkau karena engkau mencari kesenangan istri-istri engkau?  Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (At-Tahrīm [66]:1-2). 
  Menurut satu riwayat,  bahwa pada suatu hari salah seorang dari antara istri-istri  Nabi Besar Muhammad saw.   menghidangkan kepada beliau minuman terbuat dari madu yang nampaknya digemari beliau saw.. Seorang dari istri-istri beliau saw. lainnya, karena merasa jengkel berkata bahwa  nafas beliau saw. berbau maghafir, yaitu sejenis tanaman perdu yang rasanya seperti madu, tetapi mengeluarkan bau busuk.   Nabi Besar Muhammad saw.  yang berperasaan sangat halus, berjanji tidak akan minum lagi madu (Mu’jam al Buldan oleh Abu ‘Abd Allah Yaqut ibn ‘Abdullah al-Baghdadi).
   Kepada peristiwa yang dibuat-buat itulah ayat ini biasanya dianggap memberi isyarat. Tetapi nampaknya tidak mungkin Nabi Besar Muhammad saw. — hanya semata-mata hendak melipur kekesalan seorang istri atau istri-istri beliau saw.  — lalu mengambil tindakan keras dengan mengharamkan selama-lamanya atas diri beliau saw. sendiri penggunaan suatu barang yang halal  yakni madu,   teristimewa sesuatu yang di dalamnya menurut Al-Quran “ada daya penyembuh bagi manusia” (QS.16:70).
 Nampaknya orang atau orang-orang yang meriwayatkan peristiwa itu mengidap salah pengertian atau pikiran kacau, teristimewa ketika  Nabi Besar Muhammad saw. -- menurut riwayat --  membawa madu dari rumah Siti Zainab r.a.,  lalu Siti ‘Aisyah  r.a.  serta Siti Hafshah r.a.  mencari akal supaya beliau saw. terjebak hingga mengikrarkan janji tersebut.
    Sedangkan menurut riwayat lain, di rumah Siti Hafshah r.a.  sendirilah beliau saw.  dihidangi madu dan istri-istri yang menaruh keberatan adalah Siti ‘Aisyah r.a., Siti Zainab r.a.,  dan Siti Shafiyah r.a..  Tambahan pula, menurut hadits, dua atau paling banyak tiga dari istri-istri  Nabi Besar Muhammad saw.  terlibat di dalam peristiwa itu.
  Tetapi menurut ayat kedua dan keenam Surah At-Tahrim bahwa  semua istri beliau saw. tersangkut di dalam peristiwa itu, dua di antaranya mengambil peranan utama (ayat 5). Kenyataan itu menunjukkan bahwa Surah At-Tahrīm  ini menyebut suatu peristiwa lebih penting artinya daripada soal Nabi Besar Muhammad saw.   minum madu di rumah salah seorang dari istli-istri beliau saw..

Keterangan Umar bin Khaththab r.a.

 Dalam tafsiran mengenai Surah ini Bukhari (Kitab al-Muzhalim wa’l- Ghashb) mengutip Ibn ‘Abbas r.a., yang meriwayatkan bahwa ia senantiasa mencari-cari kesempatan menimba keterangan dari   Umar bin Khathtab r.a.   mengenai siapakah kedua istri  Nabi Besar Muhammad saw.   yang diisyaratkan dalam ayat  “Jika kamu berdua sekarang  bertaubat kepada Allah dan hati kamu berdua telah cenderung kepada-Nya“ (QS.66:5).
  Pada suatu hari ketika dijumpainya   Umar bin Khaththab r.a.  seorang diri, Ibn ‘Abbas r.a.  mencari keterangan demi kepuasan hatinya. Baru saja ia menyudahi pertanyaannya, demikian kata Ibn ‘Abbas r.a.,   Umar bin Khaththab r.a.  menjawab bahwa mereka itu Siti ‘Aisyah r.a.   dan Siti Hafshah r.a., putrinya sendiri, dan kemudian melanjutkan penuturannya sendiri seperti berikut:
 “Pada suatu ketika istriku menyampaikan saran mengenai urusan rumah tangga, kukatakan dengan singkat bahwa bukanlah urusannya memberi nasihat kepadaku, sebab pada masa itu kami tidak begitu menaruh hormat kepada perempuan-perempuan (istri-istri).
Istriku menjawab dengan garang: “Anak engkau, Hafshah, mendapat kebebasan bagitu banyak dari Rasulullah saw.  sehingga ia membantah bila beliau mengatakan sesuatu yang tidak disukainya, sehingga beliau merasa tersinggung, sedangkan engkau tidak mengizinkan aku mengatakan kepada engkau tentang urusan rumah tangga kita sekali-pun.”
  Atas perkataan itu, aku pergi mendapatkan Hafshah dan memperingatkan kepadanya agar tidak tersesat oleh kelakuan ‘Aisyah dalam urusan ini, sebab ‘Aisyah adalah lebih dekat kepada hati Rasulullah saw.. Kemudian aku pergi mendapatkan Ummi Salmah, dan baru saja aku menyinggung perkara itu, saat itu ia dengan singkat mengatakan kepadaku, agar tidak mencampuri urusan Rasulullah saw. dan istri-istri beliau.
Tidak lama sesudah itu Rasulullah saw. memisahkan diri dari isri-istri beliau dan mengambil keputusan tidak mendatangi rumah siapa pun dari antara mereka itu untuk sementara waktu. Berita tersebar bahwa Rasulullah saw.  telah menceraikan istri-istri beliau, saya menjumpai beliau dan menanyakan apakah benar beliau telah menceraikan istri-istri beliau dan beliau menjawab bahwa tidaklah demikian halnya.”

Tidak Ada Hubungannya dengan Masalah “Madu”

   Peristiwa itu menunjukkan bahwa ’Umar bin Khaththab r.a.  dan Ibn ’Abbas r.a. berpendapat bahwa ayat-ayat Surah  At-Tahrīm  ayat 2  menyebutkan perceraian sementara   Nabi Besar Muhammad saw.  dari istri-istri beliau saw.. Adanya Surah sebelumnya (Surah Ath-Thalaq) menyebut masalah talak, yang berarti perceraian untuk selama-lamanya, telah menguatkan kesimpulan bahwa ayat-ayat  Surah At Tahrīm tu, bertalian dengan perceraian Nabi Besar Muhammad saw.     dari istri-istri beliau saw. meskipun sifatnya hanya untuk sementara.
 Tambahan pula, seperti diriwayatkan oleh Siti ‘Aisyah r.a.  dalam riwayat tersebut di atas, segera sesudah masa perceraian sementara itu berakhir, ayat QS.33:29 diwahyukan dan istri-istri  Nabi Besar Muhammad saw.   disilahkan memilih antara hidup dalam kemiskinan dan kefakiran bersama Nabi Besar Muhammad saw.  di satu pihak, atau memilih  berpisah (bercerai) dari beliau saw. dengan kehidupan serba senang dan memuaskan serta segala macam karunia duniawi di pihak lain, firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا النَّبِیُّ  قُلۡ  لِّاَزۡوَاجِکَ اِنۡ  کُنۡـتُنَّ تُرِدۡنَ  الۡحَیٰوۃَ  الدُّنۡیَا وَ زِیۡنَتَہَا فَتَعَالَیۡنَ اُمَتِّعۡکُنَّ وَ اُسَرِّحۡکُنَّ سَرَاحًا جَمِیۡلًا ﴿﴾  وَ اِنۡ کُنۡـتُنَّ تُرِدۡنَ اللّٰہَ  وَ رَسُوۡلَہٗ وَ الدَّارَ الۡاٰخِرَۃَ  فَاِنَّ اللّٰہَ  اَعَدَّ لِلۡمُحۡسِنٰتِ مِنۡکُنَّ  اَجۡرًا عَظِیۡمًا ﴿﴾
Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istri engkau: “Jika kamu menginginkan kehidupan dunia ini dan perhiasannya maka marilah aku akan memberikannya kepada kamu dan aku akan menceraikan kamu dengan cara yang baik.  Tetapi jika kamu menginginkan Allah, Rasul-Nya, dan rumah di akhirat, maka sesungguhnya Allah telah menyediakan ganjaran yang besar bagi siapa di antara kamu yang berbuat ihsan.” (Al-Ahzāb [33]:29-30).
       Pilihan itu ditawarkan kepada semua istri Nabi Besar Muhammad saw. dan ayat yang sedang dibahas menyebut semua istri beliau, seperti juga ayat ke-4. Hal itu menunjukkan bahwa peristiwa yang disinggung dalam ayat-ayat ini meliputi semua istri beliau, yang di antaranya dua orang memegang peran utama, yaitu Siti ‘Aisyah binti Abu Bakar Shiddiq r.a. dan Siti Hafshah r.a. binti ‘Umar bin Khaththab r.a.
 Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, ada tercatat di dalam riwayat bahwa  peristiwa itu terjadi ketika istri-istri  Nabi Besar Muhammad saw.  yang dipimpin oleh Siti ‘Aisyah r.a.  dan Siti Hafshah r.a.  memohon kepada beliau saw. – yang karena keadaan keuangan kaum Muslimin telah kian membaik – supaya mereka pun seperti perempuan-perempuan Muslim lainnya, diizinkan menikmati kehidupan duniawi dan kehidupan yang menyenangkan (Fatah al-Qadir).
Jadi, kembali kepada firman-Nya sebelum ini mengenai  tindakan “pisah sementara” yang dilakukan Nabi Besar Muhammad saw. terhadap semua istri mulia beliau saw.:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾ یٰۤاَیُّہَا النَّبِیُّ  لِمَ  تُحَرِّمُ مَاۤ  اَحَلَّ اللّٰہُ  لَکَ ۚ تَبۡتَغِیۡ  مَرۡضَاتَ  اَزۡوَاجِکَ ؕ وَ اللّٰہُ  غَفُوۡرٌ  رَّحِیۡمٌ ﴿﴾
Aku baca  dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang.   Hai Nabi, mengapa engkau mengharamkan apa yang Allah telah menghalalkannya bagi engkau karena engkau mencari kesenangan istri-istri engkau?  Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (At-Tahrīm [66]:1-2). 
Nampaknya kata-kata  تَبۡتَغِیۡ  مَرۡضَاتَ  اَزۡوَاجِکَ  -- “karena engkau mencari kesenangan istri-istri engkau?”  berarti  kurang lebih sebagai berikut:
“Karena engkau senantiasa ingin menyenangkan hati istri-istri engkau dan mengabulkan kehendak mereka, hingga mereka telah menjadi lancang oleh sikap kasih-sayang engkau itu, dan mereka melupakan kedudukan engkau yang tinggi lagi luhur sebagai seorang Nabi Allah besar serta mengadakan tuntutan berlebih-lebihan kepada engkau.”

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid

***
Pajajaran Anyar,   19 November    2013

 

Jumat, 29 November 2013

Kehidupan Sederhana "Keluarga Suci" Nabi Besar Muhammad Saw. & Permohonan "Perbaikan Ekonomi Keluarga"



 بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ


Khazanah Ruhani Surah  Shād

Bab  87

Kehidupan Sederhana  Keluarga Suci  Nabi Besar Muhammad Saw. di Madinah & Permohonan “Perbaikan Ekonomi Keluarga”

Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

Dalam Akhir Bab sebelumnya  telah dikemukakan mengenai  meningkat keadaan kekuasaan dan keadaan ekonomi umat Islam   setelah hijrah ke Madinah – terutama setelah  memperoleh kemenangan dalam perang Badar  dengan demikian  mulailah babak baru  bagi Nabi Besar Muhammad saw. untuk memperagakan kesempurnaan akhlak dan ruhani beliau saw. dalam masa-masa ketika kekuasaan duniawi  yang secara berangsur-angsur dianugerahkan Allah Swt. kepada beliau saw., yaitu  dalam kepasitas beliau saw.sebagai rasul Allah dan juga sebagai seorang raja duniawi (Malik/Mālik),  untuk memperagakan   keempat  Sifat utama Tasybihiyyah Allah Swt. dalam Surah Al-Fatihah -- (Rabubiyyat, Rahmaniyyat, Rahimiyyat dan Malikiyyat) -- serta pelaksanaan sifat-sifat adil, ihsan dan iyta-i dzil-qurba (memberi seperti kepada kerabat  (QS.16:91).



Suri Teladan Terbaik Nabi Besar Muhammad Saw.

Sebagai Kepala  Keluarga dan Sebagai Kepala Negara



        Sejarah membuktikan kebenaran firman Allah Swt. mengenai kesempurnaan akhlak dan ruhani yang telah diperagakan oleh Nabi Besar Muhammad saw. dalam dua periode  di Mekkah dan di Madinah,  yang keadaannya sangat bertolak-belakang tersebut, firman-Nya:

لَقَدۡ کَانَ لَکُمۡ  فِیۡ رَسُوۡلِ اللّٰہِ  اُسۡوَۃٌ حَسَنَۃٌ  لِّمَنۡ کَانَ یَرۡجُوا اللّٰہَ وَ الۡیَوۡمَ  الۡاٰخِرَ  وَ ذَکَرَ  اللّٰہَ  کَثِیۡرًا ﴿ؕ﴾

Sungguh dalam  diri Rasulullah benar-benar terdapat  suri teladan yang sebaik-baiknya  bagi kamu, yaitu bagi  orang yang mengharapkan Allah dan Hari Akhir, dan bagi yang banyak mengingat Allah. (Al-Ahzab [33]:22). 

 Dalam segala segi kehidupan dan watak  Nabi Besar Muhammad saw. yang beraneka ragam, tidak ada duanya dan merupakan contoh yang tiada bandingannya bagi umat manusia untuk ditiru dan diikuti. Seluruh kehidupan  Nabi Besar Muhammad saw. nampak dengan jelas dan nyata dalam cahaya lampu-sorot sejarah.

 Nabi Besar Muhammad saw. mengawali kehidupan beliau sebagai anak yatim dan mengakhirinya dengan berperan sebagai wasit yang menentukan nasib seluruh bangsa. Sebagai kanak-kanak  Nabi Besar Muhammad saw. penyabar lagi gagah, dan di ambang pintu usia remaja, beliau saw. tetap merupakan contoh yang sempurna dalam akhlak, ketakwaan, dan kesabaran. Pada usia setengah-baya  Nabi Besar Muhammad saw. mendapat julukan Al-Amin (si Jujur dan setia kepada amanat) dan selaku seorang niagawan beliau terbukti paling jujur dan cermat.

   Nabi Besar Muhammad saw. menikah dengan perempuan-perempuan yang di antaranya ada yang jauh lebih tua daripada beliau saw. sendiri dan ada juga yang jauh lebih muda, namun semua bersedia memberi kesaksian dengan mengangkat sumpah mengenai kesetiaan, kecintaan, dan kekudusan beliau saw..

  Sebagai ayah,  Nabi Besar Muhammad saw. penuh dengan kasih-sayang, dan sebagai sahabat beliau sangat setia dan murah hati. Ketika beliau diamanati tugas yang amat besar dan berat dalam usaha memperbaiki suatu masyarakat yang sudah rusak, beliau saw. menjadi sasaran derita aniaya dan pembuangan, namun beliau saw. memikul semua penderitaan itu dengan sikap agung dan budi luhur, dan hanya dalam waktu 23 tahun saja di jazirah Arabia telah muncul “langit baru dan bumi baru yang penuh cahaya (QS.14:49-53; QS.39:70-71),  menggantikan “langit lama dan bumi lama” yang penuh kegelapan zaman jahiliyah (QS.30:42).



Kesaksian Seorang Penulis Non-Muslim



  Nabi Besar Muhammad saw.  bertempur sebagai prajurit gagah-berani dan memimpin pasukan-pasukan. Beliau saw. menghadapi kekalahan – misalnya dalam Perang Uhud – dan beliau saw. memperoleh kemenangan-kemenangan. Nabi Besar Muhammad saw. menghakimi dan mengambil serta menjatuhkan keputusan dalam berbagai perkara. Beliau saw. adalah seorang negarawan, seorang pendidik, dan seorang pemimpin. Sehubungan dengan hal tersebut  Boswort  Smith  menulis:

Kepala negara merangkap Penghulu Agama, beliau adalah Kaisar dan Paus sekaligus. Tetapi beliau adalah Paus yang tidak berlaga Paus, dan Kaisar tanpa pasukan-pasukan yang megah, tanpa balatentara tetap, tanpa pengawal, tanpa istana yang megah, tanpa pungutan pajak tetap dan tertentu, sehingga jika ada orang berhak mengatakan bahwa ia memerintah dengan hak ketuhanan, maka orang itu hanyalah Muhammad, sebab beliau mempunyai kekuasaan tanpa alat-alat kekuasaan dan tanpa bantuan kekuasaan.

Beliau biasa melakukan pekerjaan rumah tangga dengan tangan beliau sendiri, biasa tidur di atas sehelai tikar kulit, dan makanan beliau terdiri dari kurma dan air putih atau roti jawawut, dan setelah melakukan bermacam-macam tugas sehari penuh, beliau biasa melewatkan malam hari dengan mendirikan shalat dan doa-doa hingga kedua belah kaki beliau bengkak-bengkak. Tidak ada orang yang dalam keadaan dan suasana yang begitu banyak berubah telah berubah begitu sedikitnya.” (Muhammad and Muhammadanism).

       Demikianlah  gambaran dua keadaan yang dihadapi oleh Nabi Besar Muhammad saw. di Makkah  dan di Madinah,  dalam upaya beliau saw. melaksanakan amanat dari Allah Swt. untuk menciptakan “bumi baru dan langit baru” dalam kehidupan seluruh umat manusia yang    keadaannya paling sempurna jika dibandingkan dengan  upaya yang sama yang pernah dilakukan oleh para Rasul Allah sebelumnya di  lingkungan kaum mereka masing-masing.



Keluarga Merupakan Landasan  Utama Suatu Negara (Bangsa)



     Kembali kepada firman Allah Swt. dalam Bab sebelumnya mengenai istri-istri mulia Nabi Besar Muhammad saw., yang nadanya  “keras”,   firman-Nya:

یٰۤاَیُّہَا النَّبِیُّ  قُلۡ  لِّاَزۡوَاجِکَ اِنۡ  کُنۡـتُنَّ تُرِدۡنَ  الۡحَیٰوۃَ  الدُّنۡیَا وَ زِیۡنَتَہَا فَتَعَالَیۡنَ اُمَتِّعۡکُنَّ وَ اُسَرِّحۡکُنَّ سَرَاحًا جَمِیۡلًا ﴿﴾  وَ اِنۡ کُنۡـتُنَّ تُرِدۡنَ اللّٰہَ  وَ رَسُوۡلَہٗ وَ الدَّارَ الۡاٰخِرَۃَ  فَاِنَّ اللّٰہَ  اَعَدَّ لِلۡمُحۡسِنٰتِ مِنۡکُنَّ  اَجۡرًا عَظِیۡمًا ﴿﴾

Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istri engkau: “Jika kamu menginginkan kehidupan dunia ini dan perhiasannya maka marilah aku akan memberikannya kepada kamu dan aku akan menceraikan kamu dengan cara yang baik.  Tetapi jika kamu menginginkan Allah, Rasul-Nya, dan rumah di akhirat, maka sesungguhnya Allah telah menyediakan ganjaran yang besar bagi siapa di antara kamu yang berbuat ihsan.” (Al-Ahzāb [33]:29-30).

     Perlu diketahui, bahwa pada hakikat sebuah negara  atau suatu bangsa merupakan himpunan besar  dari keluarga-keluarga  -- yang terdiri dari suami, istri dan anak  --  yang berada di wilayah negara tersebut.  Mengenai hal tersebut Allah Swt. berfirman:

 یٰۤاَیُّہَا النَّاسُ  اِنَّا خَلَقۡنٰکُمۡ  مِّنۡ ذَکَرٍ وَّ اُنۡثٰی وَ جَعَلۡنٰکُمۡ شُعُوۡبًا وَّ قَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوۡا ؕ اِنَّ  اَکۡرَمَکُمۡ  عِنۡدَ اللّٰہِ  اَتۡقٰکُمۡ ؕ اِنَّ اللّٰہَ عَلِیۡمٌ خَبِیۡرٌ ﴿﴾

Hai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan,  dan Kami telah menjadikan kamu bangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu dapat saling mengenal.  Sesungguhnya  yang paling mulia  di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, Maha Waspada. (Al-Hujurāt [49]:14).

        Syu’ub itu jamak dari sya’b, yang berarti: suku bangsa besar, induk suku-suku bangsa disebut qabilah, tempat mereka berasal dan yang meliputi mereka; suku bangsa (Lexicon Lane). Ayat ini meletakkan dasar persaudaraan yang melingkupi dan meliputi seluruh umat manusia. Pada hakikatnya, ayat ini merupakan “Magna Charta” - piagam persaudaraan dan persamaan umat manusia.



Pentingnya Ketakwaan dalam Membangun Keluarga dan Negara



Ayat ini menumbangkan rasa dan sikap lebih unggul semu lagi bodoh, yang lahir dari keangkuhan rasial atau kesombongan nasional. Karena umat manusia sama-sama diciptakan dari jenis laki-laki dan perempuan, maka sebagai makhluk manusia semua orang telah dinyatakan sama dalam pandangan Allah Swt..

 Harga seseorang tidak dinilai oleh warna kulitnya, jumlah harta miliknya, oleh pangkatnya atau kedudukannya dalam masyarakat, keturunan atau asal-usulnya, melainkan oleh keagungan akhlaknya dan oleh caranya melaksanakan kewajiban kepada Allah Swt. (haququllah) dan manusia (haququl- ‘ibād).

 Seluruh keturunan manusia, tidak lain hanya suatu keluarga belaka. Pembagian suku-suku bangsa, bangsa-bangsa dan rumpun-rumpun bangsa dimaksudkan untuk memberikan kepada mereka saling pengertian yang lebih baik   -- lita’ārafu -- terhadap satu-sama lain,  agar mereka dapat saling mengambil manfaat dari kepribadian serta sifat-sifat baik bangsa-bangsa itu masing-masing.

  Pada peristiwa hajji terakhir (Hajji Wada) di Mekkah, tidak lama sebelum Nabi Besar Muhammad saw.   wafat, beliau saw. berkhutbah di hadapan sejumlah besar orang-orang Muslim dengan mengatakan:

“Wahai sekalian manusia! Tuhan kamu itu Esa dan  bapak kamu satu jua. Seorang orang Arab tidak mempunyai kelebihan atas orang-orang non Arab. Seorang kulit putih sekali-kali tidak mempunyai kelebihan atas orang-orang berkulit merah, begitu pula sebaliknya, seorang kulit merah tidak mempunyai kelebihan apa pun di atas orang berkulit putih melainkan kelebihannya ialah sampai sejauh mana ia melaksanakan kewajibannya terhadap Allah dan manusia.   Orang yang paling mulia di antara kamu sekalian pada pandangan Allah ialah yang paling bertakwa di antara kamu” (Baihaqi).

   Sabda agung ini menyimpulkan cita-cita paling luhur dan asas-asas paling kuat. Di tengah suatu masyarakat yang terpecah-belah dalam kelas-kelas yang berbeda itulah, Nabi Besar Muhammad saw.   mengajarkan asas yang sangat demokratis.



Kedudukan Mulia Para Istri Nabi Besar Muhammad Saw.

Sebagai “Ibu Orang-orang Beriman”



     Dikarenakan  Nabi Besar Muhammad saw merupakan suri teladan yang terbaik  (QS.33:22) dalam segala segi kehidupan – termasuk dalam kehidupan tatanan keluarga   --   oleh karena itu   dalam kedudukan beliau saw. sebagai Rasul Allah, yang merupakan “bapak ruhani” umat manusia,  maka demikian juga halnya   istri-istri mulia  beliau saw. pun harus benar-benar merupakan ummul mukminin (ibu orang-orang beriman) yang hakiki   sehingga juga  menjadi suri teladan terbaik bagi para para istri atau para perempuan beriman lainnya, firman-Nya:

اَلنَّبِیُّ  اَوۡلٰی بِالۡمُؤۡمِنِیۡنَ مِنۡ اَنۡفُسِہِمۡ وَ اَزۡوَاجُہٗۤ  اُمَّہٰتُہُمۡ ؕ

Nabi itu lebih dekat kepada orang-orang beriman daripada kepada diri mereka sendiri, dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka   (Al-Ahzāb [33]:7).

       Nah, dalam hubungannya dengan kedudukan mulia para istri Nabi Besar Muhammad saw. itulah firman Allah Swt.  yang nampak “keras” tersebut, firman-Nya:

یٰۤاَیُّہَا النَّبِیُّ  قُلۡ  لِّاَزۡوَاجِکَ اِنۡ  کُنۡـتُنَّ تُرِدۡنَ  الۡحَیٰوۃَ  الدُّنۡیَا وَ زِیۡنَتَہَا فَتَعَالَیۡنَ اُمَتِّعۡکُنَّ وَ اُسَرِّحۡکُنَّ سَرَاحًا جَمِیۡلًا ﴿﴾  وَ اِنۡ کُنۡـتُنَّ تُرِدۡنَ اللّٰہَ  وَ رَسُوۡلَہٗ وَ الدَّارَ الۡاٰخِرَۃَ  فَاِنَّ اللّٰہَ  اَعَدَّ لِلۡمُحۡسِنٰتِ مِنۡکُنَّ  اَجۡرًا عَظِیۡمًا ﴿﴾

Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istri engkau: “Jika kamu menginginkan kehidupan dunia ini dan perhiasannya maka marilah aku akan memberikannya kepada kamu dan aku akan menceraikan kamu dengan cara yang baik.  Tetapi jika kamu menginginkan Allah, Rasul-Nya, dan rumah di akhirat, maka sesungguhnya Allah telah menyediakan ganjaran yang besar bagi siapa di antara kamu yang berbuat ihsan.” (Al-Ahzāb [33]:29-30).

       Selanjutnya Allah Swt. berfirman  mengenai kedudukan mulia mereka sebagai  ”suri teladan” yang harus memberikan contoh yang terbaik kepada para perempuan mukmin lainnya:

یٰنِسَآءَ  النَّبِیِّ مَنۡ یَّاۡتِ مِنۡکُنَّ بِفَاحِشَۃٍ  مُّبَیِّنَۃٍ یُّضٰعَفۡ لَہَا الۡعَذَابُ ضِعۡفَیۡنِ ؕ وَ کَانَ ذٰلِکَ عَلَی اللّٰہِ  یَسِیۡرًا ﴿﴾  وَ مَنۡ یَّقۡنُتۡ مِنۡکُنَّ لِلّٰہِ وَ رَسُوۡلِہٖ وَ تَعۡمَلۡ صَالِحًا نُّؤۡتِہَاۤ  اَجۡرَہَا مَرَّتَیۡنِ ۙ وَ  اَعۡتَدۡنَا  لَہَا  رِزۡقًا کَرِیۡمًا ﴿﴾  یٰنِسَآءَ  النَّبِیِّ لَسۡتُنَّ کَاَحَدٍ مِّنَ النِّسَآءِ  اِنِ اتَّقَیۡتُنَّ فَلَا تَخۡضَعۡنَ بِالۡقَوۡلِ فَیَطۡمَعَ  الَّذِیۡ  فِیۡ قَلۡبِہٖ مَرَضٌ وَّ  قُلۡنَ  قَوۡلًا  مَّعۡرُوۡفًا ﴿ۚ﴾

Wahai istri-istri Nabi, barang-siapa di antara kamu berbuat kekejian yang nyata,  baginya azab akan dilipatgandakan  dua kali lipat, dan yang demikian itu mudah bagi Allah.  Tetapi barangsiapa  di antara kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya serta beramal saleh, Kami akan memberi kepadanya ganjarannya dua kali lipat, dan Kami telah menyediakan baginya rezeki yang mulia.    Wahai istri-istri Nabi, jika ka-mu bertakwa kamu tidak sama dengan salah seorang dari perempuan-perem-puan lain, karena itu  janganlah kamu lembut dalam berbicara,   sehingga orang yang dalam hatinya ada penyakit akan tergoda, dan ucapkanlah per-kataan yang baik.  (Al-Ahzāb [33]:31-33).



Meningkatnya Keadaan Ekonomi Umat Islam di Madinah



     Ayat 29-30 ini erat hubungannya dengan semakin membaiknya keadaan ekonomi umat Islam di Madinah,  setelah peristiwa  pengusiran terhadap orang-orang Yahudi di Khaibar, sebagaimana yang dikemukakan dalam firman-Nya mengenai pembagian fā-i (harta rampasan perang), firman-Nya:

وَ مَاۤ  اَفَآءَ اللّٰہُ  عَلٰی رَسُوۡلِہٖ  مِنۡہُمۡ فَمَاۤ اَوۡجَفۡتُمۡ عَلَیۡہِ مِنۡ خَیۡلٍ وَّ لَا رِکَابٍ وَّ لٰکِنَّ اللّٰہَ یُسَلِّطُ رُسُلَہٗ  عَلٰی مَنۡ یَّشَآءُ ؕ وَ اللّٰہُ  عَلٰی کُلِّ شَیۡءٍ  قَدِیۡرٌ ﴿﴾  مَاۤ  اَفَآءَ  اللّٰہُ  عَلٰی رَسُوۡلِہٖ  مِنۡ  اَہۡلِ الۡقُرٰی  فَلِلّٰہِ  وَ لِلرَّسُوۡلِ وَ  لِذِی الۡقُرۡبٰی وَ الۡیَتٰمٰی وَ الۡمَسٰکِیۡنِ وَ ابۡنِ السَّبِیۡلِ ۙ کَیۡ لَا یَکُوۡنَ  دُوۡلَۃًۢ  بَیۡنَ الۡاَغۡنِیَآءِ مِنۡکُمۡ ؕ وَ مَاۤ  اٰتٰىکُمُ الرَّسُوۡلُ  فَخُذُوۡہُ ٭ وَ مَا نَہٰىکُمۡ  عَنۡہُ فَانۡتَہُوۡا ۚ وَ  اتَّقُوا اللّٰہَ ؕ اِنَّ اللّٰہَ شَدِیۡدُ الۡعِقَابِ ۘ﴿﴾  لِلۡفُقَرَآءِ  الۡمُہٰجِرِیۡنَ  الَّذِیۡنَ  اُخۡرِجُوۡا  مِنۡ  دِیَارِہِمۡ وَ اَمۡوَالِہِمۡ یَبۡتَغُوۡنَ  فَضۡلًا مِّنَ اللّٰہِ  وَ رِضۡوَانًا وَّ یَنۡصُرُوۡنَ اللّٰہَ وَ رَسُوۡلَہٗ ؕ اُولٰٓئِکَ ہُمُ الصّٰدِقُوۡنَ ۚ﴿﴾ وَ الَّذِیۡنَ  تَبَوَّؤُ الدَّارَ وَ الۡاِیۡمَانَ مِنۡ قَبۡلِہِمۡ یُحِبُّوۡنَ مَنۡ  ہَاجَرَ  اِلَیۡہِمۡ وَ لَا یَجِدُوۡنَ  فِیۡ صُدُوۡرِہِمۡ حَاجَۃً  مِّمَّاۤ اُوۡتُوۡا وَ یُؤۡثِرُوۡنَ  عَلٰۤی  اَنۡفُسِہِمۡ وَ لَوۡ کَانَ بِہِمۡ خَصَاصَۃٌ ؕ۟ وَ مَنۡ یُّوۡقَ شُحَّ نَفۡسِہٖ  فَاُولٰٓئِکَ ہُمُ  الۡمُفۡلِحُوۡنَ ۚ﴿﴾  وَ الَّذِیۡنَ جَآءُوۡ مِنۡۢ  بَعۡدِہِمۡ یَقُوۡلُوۡنَ رَبَّنَا  اغۡفِرۡ لَنَا وَ لِاِخۡوَانِنَا  الَّذِیۡنَ سَبَقُوۡنَا بِالۡاِیۡمَانِ وَ لَا تَجۡعَلۡ  فِیۡ قُلُوۡبِنَا غِلًّا  لِّلَّذِیۡنَ  اٰمَنُوۡا  رَبَّنَاۤ  اِنَّکَ رَءُوۡفٌ  رَّحِیۡمٌ ﴿٪﴾

Dan  harta rampasan apa pun dari mereka yang Allah berikan kepada Rasul-Nya maka kamu tidak mengerahkan kuda maupun unta untuk harta itu,  tetapi Allah memberikan kewenangan kepada rasul-rasul-Nya atas siapa pun yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.   Harta apa pun  yang Allah berikan kepada Rasul-Nya sebagai ghanimah dari warga kota, itu bagi Allah dan bagi Rasul dan bagi kaum kerabat dan anak yatim dan orang miskin dan orang musafir, supaya harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya dari kamu. Dan apa yang diberikan Rasul kepada kamu maka ambillah itu, dan apa   yang dia melarang kamu darinya  maka hindarilah, dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya  hukuman Allah sangat keras.  Harta rampasan itu untuk orang-orang miskin yang berhijrah yang telah diusir dari rumah mereka dan dari harta mereka, mereka mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar.   Dan juga untuk orang-orang yang telah mendirikan rumah di Medinah dan sudah beriman sebelum mereka, mereka mencintai orang-orang yang  hijrah kepada mereka, dan mereka tidak mendapati suatu keinginan dalam dada mereka terhadap  apa yang diberikan itu, tetapi mereka mengutamakan para muhajir di atas diri mereka sendiri dan walaupun kemiskinan menyertai mereka.  Dan barangsiapa dapat mengatasi keserakahan dirinya maka mereka itulah  yang berhasil.   Dan orang-orang yang datang sesudah mereka, mereka berkata: “Hai Rabb (Tuhan) kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang mendahului kami dalam keimanan, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian tinggal dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Hai Rabb (Tuhan kami), sesungguhnya Engkau Maha Penyantun, Maha Penyayang.” (Al-Hasyr [59]:7-11).

      Jadi, yang diutamakan mendapat pembagian fā-i (harta rampasan perang) adalah   para muhajir dari Mekkah karena  mereka rela meningglkan semua orang yang mereka cintai —termasuk harta kekayaan  mereka – demi kecintaan mereka kepada Allah Swt. dan Nabi Besar Muhammad saw. yang telah hijrah ke Medinah.



Kehidupan Sederhana Para Sahabat Nabi Besar Muhammad Saw.

dari Golongan Anshar



       Dari hadits-hadits  diketahui bahwa kehidupan  dalam keluarga (rumahtangga)  Nabi Besar Muhammad saw. sangat sederhana sekali, sehingga di antara para istri beliau saw. ada yang menceritakan bahwa kadang-kadang berhari-hari dapur  mereka tidak dipergunakan untuk memasak karena tidak  bahan makanan yang dapat dimasak.

       Demikian pula dalam hadits lain diceritakan bahwa Nabi Besar Muhammad saw. menawarkan kepada para Sahabah beliau saw. untuk menjamu tamu beliau saw. , karena di rumah para istri mulia  beliau saw. -- kecuali air bening -- tidak ada makanan yang dapat dihidangkan, padahal beliau saw. pun mengetahui bahwa di rumah  Sahabah beliau saw. yang bersedia “menjamu tamu” beliau saw. pun keadaan ekonomi keluarganya tidak  berbeda dengan keadaan di keluarga (para istri) beliau saw., sebagaimana firman-Nya:

وَ الَّذِیۡنَ  تَبَوَّؤُ الدَّارَ وَ الۡاِیۡمَانَ مِنۡ قَبۡلِہِمۡ یُحِبُّوۡنَ مَنۡ  ہَاجَرَ  اِلَیۡہِمۡ وَ لَا یَجِدُوۡنَ  فِیۡ صُدُوۡرِہِمۡ حَاجَۃً  مِّمَّاۤ اُوۡتُوۡا وَ یُؤۡثِرُوۡنَ  عَلٰۤی  اَنۡفُسِہِمۡ وَ لَوۡ کَانَ بِہِمۡ خَصَاصَۃٌ ؕ۟ وَ مَنۡ یُّوۡقَ شُحَّ نَفۡسِہٖ  فَاُولٰٓئِکَ ہُمُ  الۡمُفۡلِحُوۡنَ ۚ﴿﴾ 

Dan juga untuk orang-orang yang telah mendirikan rumah di Medinah dan sudah beriman sebelum mereka, mereka mencintai orang-orang yang  hijrah kepada mereka, dan mereka tidak mendapati suatu keinginan dalam dada mereka terhadap  apa yang diberikan itu, tetapi mereka mengutamakan para muhajir di atas diri mereka sendiri dan walaupun kemiskinan menyertai mereka.  Dan barangsiapa dapat mengatasi keserakahan dirinya maka mereka itulah  yang berhasil.   (Al-Hasyr [59]:10).

       Pendek kata, selama bertahun-tahun demikian sederhananya keadaan ekonomi di lingkungan rumahtangga  Nabi Besar Muhammad saw. bersama para  istri mulia beliau saw., sehingga ketika keadaan ekonomi umat Islam  secara berangsur  semakin membaik maka sangat wajar kalau para istri mulia Nabi Besar Muhammad saw.   – yang diwakili oleh Siti ‘Aisyah r.a. binti Abu Bakar Shiddiq r.a. dan Siti Hafshah r.a. binti Umar bin Khaththab r.a. -- mengajukan permohonan kepada beliau  saw. agar ada sedikit  perbaikan dalam ekonomi  di lingkungan keluarga (rumahtangga)  beliau saw..



“Menjauhi Tempat Tidur”



   Namun permohonan yang sangat wajar tersebut  membuat Nabi Besar Muhammad saw. menjadi  “bersedih hati” atau “kecewa”,   tetapi dalam menampakkan kekecewaannya tersebut tidak beliau saw. nyatakan dalam bentuk penolakan melalui perkataan,  melainkan melalui sikap, yaitu beliau saw.  untuk beberapa lama tidak tidur di rumah para istri beliau saw..  – sesuai dengan salah satu dari tiga peraturan Al-Quran yakni “menjauhkan diri dari tempat tidur mereka   -- firman-Nya:

اَلرِّجَالُ قَوّٰمُوۡنَ عَلَی النِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰہُ بَعۡضَہُمۡ عَلٰی بَعۡضٍ وَّ بِمَاۤ اَنۡفَقُوۡا مِنۡ اَمۡوَالِہِمۡ ؕ فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلۡغَیۡبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰہُ ؕ وَ الّٰتِیۡ تَخَافُوۡنَ نُشُوۡزَہُنَّ فَعِظُوۡہُنَّ وَ اہۡجُرُوۡہُنَّ فِی الۡمَضَاجِعِ وَ اضۡرِبُوۡہُنَّ ۚ فَاِنۡ اَطَعۡنَکُمۡ فَلَا تَبۡغُوۡا عَلَیۡہِنَّ سَبِیۡلًا ؕ اِنَّ اللّٰہَ کَانَ عَلِیًّا کَبِیۡرًا ﴿﴾

Laki-laki adalah pelindung  bagi perempuan-perempuan  karena Allah telah melebihkan sebagian mereka di atas sebagian yang lain, dan karena mereka membelanjakan sebagian dari harta mereka, maka  perem-puan-perempuan saleh adalah yang taat,  yang menjaga rahasia-rahasia suami mereka dari apa-apa yang telah dilindungi Allah. Dan ada pun perempuan-perempuan yang kamu khawa-tirkan kedurhakaan mereka  maka nasihatilah mereka,  jauhilah mereka di tempat tidur,  dan pukullah mereka, tetapi jika kemudian  mereka taat kepada kamu  maka janganlah kamu mencari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Tinggi, Maha Besar. (An-Nisa [4[:35).

       Dari 3 macam peraturan Al-Quran berkenaan 3 macam  tindakan (hukuman) terhadap istri tersebut,  Nabi Besar Muhammad saw. yang bersifat “sangat lembut dan kasih-sayang memilih tindakan yang nomor dua,   yakni اہۡجُرُوۡہُنَّ فِی الۡمَضَاجِعِ  -- “jauhilah mereka di tempat tidur. 

       Anak kalimat ini dapat diartikan: (a) menjauhi perhubungan suami-istri; (b) tidur secara terpisah; (c) putus bicara dengan mereka.  Tetapi tindakan tersebut  jangan berkelanjutan hingga jangka waktu yang tak tertentu, sebab menurut Allah Swt.  istri-istri jangan dibiarkan sebagai barang terkatung (QS.4:130).

      Menurut Al-Quran, empat bulan   merupakan batas maksimum untuk menjauhi perhubungan suami-istri, yakni memisahkan diri secara lahiriah (QS.2:227). Andaikata si suami menganggap perkaranya cukup berat, ia akan diharuskan mengikuti cara-cara seperti yang tersebut dalam QS.4:16 dan QS.24:5-11 yakni dengan menghadirkan 4 orang saksi mata. Yang ujungnya adalah perceraian.     



(Bersambung)



Rujukan: The Holy Quran

Editor: Malik Ghulam Farid



***

Pajajaran Anyar,   18 November    2013