بِسۡمِ
اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah
Ruhani Surah Shād
Bab 88
Hakikat “Perpisahan Sementara” Nabi Besar Muhammad Saw. dengan Semua Istri Mulia Beliau saw.
& Kisah Kontroversial Mengharamkan Diri “Minum Madu”
Oleh
Ki Langlang Buana
Kusuma
Dalam Akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan mengenai keadaan ekonomi umat Islam -- dan
juga Baitul Māl (kas negara) --
secara berangsur semakin membaik, karena itu maka sangat
wajar kalau para istri mulia Nabi
Besar Muhammad saw. pun – yang diwakili oleh Siti ‘Aisyah r.a. binti Abu Bakar Shiddiq r.a. dan Siti Hafshah r.a. binti Umar bin
Khaththab r.a. -- mengajukan permohonan
kepada beliau saw. agar ada sedikit perbaikan
dalam ekonomi di lingkungan keluarga (rumahtangga)
beliau saw, karena selama bertahun-tahun seluruh keluarga atau Ahli Bait Nabi Besar Muhammad saw. hidup dalam keadaan yang sangat sederhana, melebihi keadaan keluarga para Sahabah beliau saw. yang
paling miskin sekali pun.
“Menjauhi Tempat Tidur” Sementara
Namun permohonan
para istri beliau saw. yang sangat wajar
tersebut membuat Nabi Besar Muhammad
saw. menjadi “bersedih hati” atau
“kecewa”, tetapi dalam menampakkan kekecewaannya
tersebut beliau saw. tidak menyatakannya
dalam bentuk penolakan melalui perkataan, melainkan melalui sikap, yaitu beliau saw. untuk
beberapa lama tidak tidur di
rumah para istri beliau saw. – sesuai dengan salah satu dari tiga peraturan Al-Quran yakni “menjauhkan diri dari tempat tidur mereka” -- firman-Nya:
اَلرِّجَالُ قَوّٰمُوۡنَ عَلَی النِّسَآءِ بِمَا
فَضَّلَ اللّٰہُ بَعۡضَہُمۡ عَلٰی بَعۡضٍ وَّ بِمَاۤ اَنۡفَقُوۡا مِنۡ
اَمۡوَالِہِمۡ ؕ فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلۡغَیۡبِ بِمَا حَفِظَ
اللّٰہُ ؕ وَ الّٰتِیۡ تَخَافُوۡنَ نُشُوۡزَہُنَّ فَعِظُوۡہُنَّ وَ اہۡجُرُوۡہُنَّ
فِی الۡمَضَاجِعِ وَ اضۡرِبُوۡہُنَّ ۚ فَاِنۡ اَطَعۡنَکُمۡ فَلَا تَبۡغُوۡا
عَلَیۡہِنَّ سَبِیۡلًا ؕ اِنَّ اللّٰہَ کَانَ عَلِیًّا کَبِیۡرًا ﴿﴾
Laki-laki adalah pelindung bagi perempuan-perempuan
karena Allah telah melebihkan sebagian
mereka di atas sebagian yang lain, dan karena mereka membelanjakan sebagian dari harta mereka, maka perempuan-perempuan
saleh adalah yang taat, yang menjaga rahasia-rahasia suami mereka
dari apa-apa yang telah dilindungi Allah.
Dan ada pun perempuan-perempuan
yang kamu khawa-tirkan kedurhakaan mereka maka nasihatilah
mereka, jauhilah mereka di tempat tidur, dan pukullah
mereka, tetapi jika kemudian
mereka taat kepada kamu maka janganlah
kamu mencari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah
benar-benar Maha Tinggi, Maha Besar. (An-Nisa [4[:35).
Dalam kasus yang dihadapi oleh Nabi Besar
Muhammad saw. tidak ada masalah kedurhakaan apa pun dari para istri mulia beliau saw., namun karena
beliau saw. menginginkan agar para istri
-- sebagai Ummul- mukminin (ibu orang-orang beriman –
QS.33:7) -- mereka
tetap mempertahankan kehidupan sederhana
seperti biasa, karena itu “permohonan” tersebut telah membuat beliau
saw. merasa sedih atau kecewa.
Menurut ayat tersebut ada 3 macam peraturan Al-Quran berkenaan 3
macam tindakan terhadap istri tersebut, yang pertama adalah menasihati mereka, yang
kedua adalah “memisahkan diri sementara waktu”, dan Nabi Besar Muhammad saw. yang
bersifat “sangat lembut dan kasih-sayang” memilih tindakan
yang nomor dua yakni اہۡجُرُوۡہُنَّ فِی الۡمَضَاجِعِ -- “jauhilah mereka di tempat tidur.”
Anak kalimat tersebut dapat diartikan:
(a) menjauhi perhubungan suami-istri;
(b) tidur secara terpisah; (c) putus bicara dengan mereka. Tetapi tindakan tersebut jangan berkelanjutan hingga jangka waktu yang tak tertentu, sebab menurut Allah
Swt. istri-istri jangan dibiarkan sebagai barang terkatung
(QS.4:130). Menurut Al-Quran, empat bulan merupakan batas maksimum untuk menjauhi perhubungan
suami-istri, yakni memisahkan
diri secara lahiriah (QS.2:227).
Tindakan yang ketiga adalah وَ اضۡرِبُوۡہُنَّ --
“dan pukullah mereka”. Menurut riwayat, Nabi Besar Muhammad saw. pernah bersabda, bahwa jika seorang Muslim benar-benar terpaksa harus memukul istrinya, maka pukulannya
tidak boleh sampai meninggalkan bekas
pada tubuhnya (Tirmidzi &
Muslim). Tetapi suami-suami
yang memukul istri-istri mereka itu bukan orang-orang laki-laki (suami) terbaik (Tafsir Ibnu Katsir, hlm. 111).
Peringatan Allah Swt. kepada Para Suami untuk Waspada
Rasa sedih
atau rasa kecewa Nabi Besar Muhammad
saw. tersebut sangat beralasan karena Allah Swt. telah memperingatkan para suami untuk mewaspadai
keadaan keluarganya, firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا
الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡۤا اِنَّ مِنۡ
اَزۡوَاجِکُمۡ وَ اَوۡلَادِکُمۡ عَدُوًّا
لَّکُمۡ فَاحۡذَرُوۡہُمۡ ۚ وَ
اِنۡ تَعۡفُوۡا وَ تَصۡفَحُوۡا وَ
تَغۡفِرُوۡا فَاِنَّ اللّٰہَ غَفُوۡرٌ
رَّحِیۡمٌ ﴿﴾ اِنَّمَاۤ اَمۡوَالُکُمۡ وَ
اَوۡلَادُکُمۡ فِتۡنَۃٌ ؕ وَ اللّٰہُ عِنۡدَہٗۤ
اَجۡرٌ عَظِیۡمٌ ﴿﴾
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istri kamu dan anak-anak kamu ada yang merupakan musuh bagi kamu, maka waspadalah terhadap mereka, dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi dan mengampuni, maka sesungguhnya
Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.
Sesungguhnya harta kamu dan anak-anak kamu adalah fitnah (ujian), dan Allah di sisi-Nya ganjaran yang besar.
(At-Taghābun
[64]:15-16).
Nabi Besar Muhammad
saw. mengetahui, bahwa yang menyebabkan Nabi Adam a.s. secara
tidak sadar (tidak sengaja) melupakan peringatan Allah Swt. tentang
bahaya tipu-daya
syaitan, karena
syaitan membisikkan tipu-dayanya
tidak langsung kepada beliau melainkan melalui istri atau melalui jama’ah
beliau – istri juga merupakan kiasan dari kaum atau jama’ah seorang
rasul Allah (QS.66:11) --
sehingga di kalangan jama’ah beliau mulai timbul ketidak-taatan
atau pertentangan yang dalam bahasa kiasan digambarkan sebagai “terlepasnya
pakaian Adam dan istrinya” atau “terbuka aurat” dan terpaksa beliau harus hijrah
sementara dari tempat yang disebut “jannah”
(QS.7:20-26; QS.20:116-123).
Sehubungan dengan istri, Nabi Besar Muhammad saw. telah bersabda, bahwa sebaik-baik
harta bagi suami adalah istri yang
shalihah, sebab “istri-istri yang shalihah” itulah yang
disebut oleh beliau saw. sebagai “ibu-ibu yang di bawah telapak kakinya ada surga”
bagi anak-anaknya.
Pendek kata, permohonan
istri-istri mulia Nabi Besar Muhammad saw. mengenai sedikit perbaikan
keadaan ekonomi di
lingkungan keluarga (ahli bait) beliau saw., walau pun bukan merupakan
suatu kedurhakaan atau pun ketidaktaatan,
namun bagi Nabi Besar Muhammad saw. adanya keinginan
untuk menikmati kehidupan duniawi tersebut
merupakan “celah” bagi syaitan untuk masuk ke lingkungan Ahli Bait.
Kontroversi Riwayat yang Keliru Masalah “Madu”
Itulah yang menyebabkan Nabi Besar
Muhammad saw. sedih atau merasa kecewa lalu beliau mengambil keputusan
untuk sementara waktu menjauhi semua
istri beliau saw.. Mengisyaratkan kepada peristiwa “pisah sementara” itulah firman Allah Swt. berikut ini -- yang telah menimbulkan berbagai macam pendapat keliru mengenai peristiwa
apa sebenarnya yang membuat Nabi
Besar Muhammad saw. “memisahkan diri” dari para istri mulia beliau saw. tersebut -- firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾ یٰۤاَیُّہَا
النَّبِیُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَاۤ اَحَلَّ اللّٰہُ لَکَ ۚ تَبۡتَغِیۡ مَرۡضَاتَ
اَزۡوَاجِکَ ؕ وَ اللّٰہُ
غَفُوۡرٌ رَّحِیۡمٌ ﴿﴾
Aku baca
dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang. Hai Nabi, mengapa engkau mengharamkan apa yang Allah telah menghalalkannya bagi engkau
karena engkau mencari kesenangan
istri-istri engkau? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (At-Tahrīm
[66]:1-2).
Menurut satu riwayat, bahwa pada
suatu hari salah seorang dari antara istri-istri Nabi Besar Muhammad saw. menghidangkan
kepada beliau minuman terbuat dari madu yang nampaknya digemari beliau
saw.. Seorang dari istri-istri beliau saw. lainnya, karena merasa jengkel berkata bahwa nafas beliau saw. berbau maghafir, yaitu
sejenis tanaman perdu yang rasanya
seperti madu, tetapi mengeluarkan bau busuk. Nabi Besar Muhammad saw. yang berperasaan sangat halus, berjanji tidak
akan minum lagi madu (Mu’jam al Buldan oleh Abu ‘Abd Allah Yaqut ibn ‘Abdullah
al-Baghdadi).
Kepada peristiwa yang dibuat-buat itulah ayat ini biasanya dianggap memberi isyarat.
Tetapi nampaknya tidak mungkin Nabi Besar Muhammad saw. — hanya semata-mata
hendak melipur kekesalan seorang istri atau istri-istri beliau saw. —
lalu mengambil tindakan keras dengan mengharamkan selama-lamanya atas diri beliau saw. sendiri
penggunaan suatu barang yang halal yakni madu, teristimewa sesuatu yang di dalamnya menurut
Al-Quran “ada daya penyembuh bagi manusia” (QS.16:70).
Nampaknya orang atau orang-orang yang meriwayatkan peristiwa itu mengidap salah pengertian atau pikiran kacau, teristimewa ketika Nabi Besar Muhammad saw. -- menurut riwayat
-- membawa madu dari rumah Siti Zainab r.a.,
lalu Siti ‘Aisyah r.a. serta Siti Hafshah r.a. mencari
akal supaya beliau saw. terjebak hingga mengikrarkan
janji tersebut.
Sedangkan menurut riwayat lain, di rumah
Siti Hafshah r.a. sendirilah
beliau saw. dihidangi madu dan istri-istri yang menaruh keberatan adalah Siti ‘Aisyah r.a.,
Siti Zainab r.a., dan
Siti Shafiyah r.a.. Tambahan
pula, menurut hadits, dua atau paling banyak tiga dari istri-istri Nabi Besar
Muhammad saw. terlibat di
dalam peristiwa itu.
Tetapi menurut ayat kedua dan keenam Surah At-Tahrim
bahwa semua istri beliau saw. tersangkut di dalam peristiwa itu, dua di antaranya mengambil peranan utama (ayat 5). Kenyataan itu menunjukkan bahwa Surah At-Tahrīm ini menyebut suatu peristiwa lebih penting artinya daripada soal Nabi Besar Muhammad
saw. minum
madu di rumah salah seorang dari istli-istri
beliau saw..
Keterangan Umar bin Khaththab r.a.
Dalam
tafsiran mengenai Surah ini Bukhari (Kitab al-Muzhalim wa’l-
Ghashb) mengutip Ibn ‘Abbas r.a., yang meriwayatkan bahwa ia senantiasa
mencari-cari kesempatan menimba keterangan dari Umar bin Khathtab r.a. mengenai siapakah kedua istri Nabi Besar
Muhammad saw. yang
diisyaratkan dalam ayat “Jika kamu
berdua sekarang bertaubat kepada Allah
dan hati kamu berdua telah cenderung kepada-Nya“ (QS.66:5).
Pada suatu hari ketika dijumpainya Umar
bin Khaththab r.a. seorang
diri, Ibn ‘Abbas r.a. mencari
keterangan demi kepuasan hatinya. Baru saja ia menyudahi pertanyaannya,
demikian kata Ibn ‘Abbas r.a., Umar bin Khaththab r.a. menjawab bahwa mereka itu Siti ‘Aisyah
r.a. dan Siti Hafshah r.a.,
putrinya sendiri, dan kemudian melanjutkan penuturannya sendiri seperti
berikut:
“Pada suatu ketika istriku menyampaikan saran mengenai urusan rumah tangga, kukatakan dengan singkat
bahwa bukanlah urusannya memberi nasihat kepadaku, sebab pada masa itu kami
tidak begitu menaruh hormat kepada perempuan-perempuan
(istri-istri).
Istriku
menjawab dengan garang: “Anak engkau, Hafshah, mendapat kebebasan bagitu banyak dari Rasulullah saw. sehingga ia membantah bila beliau mengatakan sesuatu yang tidak disukainya,
sehingga beliau merasa tersinggung, sedangkan engkau tidak mengizinkan aku
mengatakan kepada engkau tentang urusan rumah tangga kita sekali-pun.”
Atas perkataan itu, aku pergi mendapatkan
Hafshah dan memperingatkan kepadanya
agar tidak tersesat oleh kelakuan ‘Aisyah dalam urusan ini, sebab ‘Aisyah
adalah lebih dekat kepada hati
Rasulullah saw.. Kemudian aku pergi mendapatkan Ummi Salmah, dan baru saja aku
menyinggung perkara itu, saat itu ia dengan singkat mengatakan kepadaku, agar
tidak mencampuri urusan Rasulullah saw. dan istri-istri beliau.
Tidak
lama sesudah itu Rasulullah saw. memisahkan
diri dari isri-istri beliau dan mengambil keputusan tidak mendatangi rumah siapa pun dari antara mereka itu
untuk sementara waktu. Berita
tersebar bahwa Rasulullah saw. telah
menceraikan istri-istri beliau, saya
menjumpai beliau dan menanyakan apakah benar beliau telah menceraikan
istri-istri beliau dan beliau menjawab bahwa tidaklah demikian halnya.”
Tidak Ada Hubungannya dengan Masalah “Madu”
Peristiwa itu menunjukkan bahwa ’Umar bin Khaththab r.a. dan Ibn ’Abbas r.a. berpendapat
bahwa ayat-ayat Surah At-Tahrīm ayat 2
menyebutkan perceraian sementara Nabi Besar Muhammad saw. dari istri-istri
beliau saw.. Adanya Surah sebelumnya (Surah Ath-Thalaq)
menyebut masalah talak, yang berarti perceraian untuk selama-lamanya, telah menguatkan kesimpulan bahwa ayat-ayat Surah At
Tahrīm tu, bertalian dengan perceraian
Nabi Besar Muhammad saw. dari
istri-istri beliau saw. meskipun
sifatnya hanya untuk sementara.
Tambahan pula, seperti diriwayatkan oleh Siti
‘Aisyah r.a. dalam riwayat
tersebut di atas, segera sesudah masa perceraian
sementara itu berakhir, ayat QS.33:29 diwahyukan dan istri-istri Nabi Besar Muhammad saw. disilahkan memilih antara hidup dalam
kemiskinan dan kefakiran bersama
Nabi Besar Muhammad saw. di
satu pihak, atau memilih berpisah (bercerai) dari beliau saw.
dengan kehidupan serba senang dan memuaskan serta segala macam karunia duniawi di pihak lain,
firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا النَّبِیُّ قُلۡ
لِّاَزۡوَاجِکَ اِنۡ کُنۡـتُنَّ
تُرِدۡنَ الۡحَیٰوۃَ الدُّنۡیَا وَ زِیۡنَتَہَا فَتَعَالَیۡنَ
اُمَتِّعۡکُنَّ وَ اُسَرِّحۡکُنَّ سَرَاحًا جَمِیۡلًا ﴿﴾ وَ اِنۡ کُنۡـتُنَّ تُرِدۡنَ اللّٰہَ
وَ رَسُوۡلَہٗ وَ الدَّارَ الۡاٰخِرَۃَ
فَاِنَّ اللّٰہَ اَعَدَّ
لِلۡمُحۡسِنٰتِ مِنۡکُنَّ اَجۡرًا
عَظِیۡمًا ﴿﴾
Wahai Nabi, katakanlah kepada
istri-istri engkau: “Jika kamu
menginginkan kehidupan dunia ini dan perhiasannya
maka marilah aku akan memberikannya
kepada kamu dan aku akan menceraikan
kamu dengan cara yang baik. Tetapi
jika kamu menginginkan Allah, Rasul-Nya, dan rumah di akhirat, maka sesungguhnya
Allah telah menyediakan ganjaran yang besar bagi siapa di antara kamu yang berbuat ihsan.” (Al-Ahzāb [33]:29-30).
Pilihan itu ditawarkan kepada semua istri Nabi Besar Muhammad saw. dan ayat yang sedang dibahas
menyebut semua istri beliau, seperti
juga ayat ke-4. Hal itu menunjukkan bahwa peristiwa yang disinggung dalam
ayat-ayat ini meliputi semua istri beliau, yang di antaranya dua orang memegang peran utama, yaitu Siti ‘Aisyah binti Abu Bakar Shiddiq
r.a. dan Siti Hafshah r.a. binti
‘Umar bin Khaththab r.a.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, ada
tercatat di dalam riwayat bahwa peristiwa
itu terjadi ketika istri-istri Nabi
Besar Muhammad saw. yang
dipimpin oleh Siti ‘Aisyah r.a. dan
Siti Hafshah r.a. memohon
kepada beliau saw. – yang karena keadaan keuangan
kaum Muslimin telah kian membaik – supaya mereka pun seperti perempuan-perempuan Muslim lainnya,
diizinkan menikmati kehidupan duniawi
dan kehidupan yang menyenangkan (Fatah
al-Qadir).
Jadi,
kembali kepada firman-Nya sebelum ini mengenai
tindakan “pisah sementara”
yang dilakukan Nabi Besar Muhammad saw. terhadap semua istri mulia beliau saw.:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾ یٰۤاَیُّہَا
النَّبِیُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَاۤ اَحَلَّ اللّٰہُ لَکَ ۚ تَبۡتَغِیۡ مَرۡضَاتَ
اَزۡوَاجِکَ ؕ وَ اللّٰہُ
غَفُوۡرٌ رَّحِیۡمٌ ﴿﴾
Aku baca
dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang. Hai Nabi, mengapa engkau mengharamkan apa yang Allah telah menghalalkannya bagi engkau
karena engkau mencari kesenangan
istri-istri engkau? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (At-Tahrīm
[66]:1-2).
Nampaknya
kata-kata تَبۡتَغِیۡ مَرۡضَاتَ اَزۡوَاجِکَ -- “karena engkau
mencari kesenangan istri-istri engkau?” berarti
kurang lebih sebagai berikut:
“Karena engkau senantiasa ingin
menyenangkan hati istri-istri engkau
dan mengabulkan kehendak mereka,
hingga mereka telah menjadi lancang oleh
sikap kasih-sayang engkau itu, dan
mereka melupakan kedudukan engkau
yang tinggi lagi luhur sebagai seorang Nabi
Allah besar serta mengadakan tuntutan
berlebih-lebihan kepada engkau.”
(Bersambung)
Rujukan: The
Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 19 November 2013