بِسۡمِ
اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم
Khazanah Ruhani Surah Shād
Bab 253
Pertarungan Antara “Pengaruh Sihir” Tukang-tukang Sihir
Fir’aun dengan Mukjizat Tongkat
Nabi Musa a.s.
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam akhir Bab
sebelumnya telah dikemukakan mengenai
“Sunnatullāh,”
bahwa berkenaan dengan sesuatu masalah
yang dimunculkan ke publik, pasti akan
terjadi pro dan kontra mengenai hal tersebut, berikut adalah artikel pendapat
yang kontra mengenai masalah “tenaga dalam”:
RAHASIA DI BALIK TENAGA DALAM?
Oleh: E. Halawa
Artikel ini muncul setelah penulis
membaca berita berjudul Fenomena Fisika
di Balik Tenaga Prana di Kompas Cyber Media, Rabu 25 Juni 2003, yang memuat
pandangan Prof. Dr. Pantur Silaban,
seorang pakar Fisika, dan Indra Abidin, seorang praktisi “Tenaga Dalam”. Tulisan ini pernah penulis kirim ke harian Kompas.
Yang menarik dari berita itu ialah bahwa
dua bentuk “pengetahuan” yang selama ini selalu dianggap tak bisa bertemu yaitu
“pengetahuan alam” dan “pengetahuan supranatural”, berusaha dipertemukan oleh dua orang pakar atau praktisi
di bidangnya dalam sebuah lokakarya
bertema “Rahasia di Balik Tenaga Dalam”.
Apakah kedua pakar praktisi itu berhasil mempertemukan
dua bentuk “pengetahuan” yang selama ini seperti air dengan api itu? Hal inilah
yang coba dibahas dalam tulisan ini. Akan dibahas juga mengenai kemungkinan
pemeriksaan keberlakuan hukum kekekalan energi pada gejala irasional ini.
Istilah-istilah
yang Belum “Bertemu”
Sesuai dengan bidangnya masing-masing, kedua pakar menggunakan istilah-istilah yang lazim di bidangnya. Silaban menyebut istilah impuls listrik, medan listrik, gravitasi, gelombang magnet, dan sebagainya, sementara Indra memunculkan istilah-istilah seperti: getaran, hawa panas, pancaran sinar, gelombang otak, energi halus (baik), energi kasar (buruk), tenaga dalam halus, sinar tubuh, dan sebagainya.
Perlu digarisbawahi di sini, bahwa
penjelasan para praktisi “tenaga dalam”
mengenai pengertian dari istilah-istilah yang mereka pakai tidak pernah jelas.
Dalam berbagai tabloid dan majalah “supranatural”
misalnya muncul berbagai istilah berikut: “Transfer chip energi hiper
metafisik, jatidiri dimensi 217 / 211, evolusi jati diri manusia, chip gaib”
dsb. Kita tidak pernah mengerti apa yang mereka maksudkan dengan
istilah-istilah itu yang terkesan asal dimunculkan.
Adakah kesejajaran antara
istilah-istilah dari dua bidang “pengetahuan” yang berbeda di ini?
Ketika Silaban merujuk pada energi
atau tenaga dalam, misalnya, apakah istilah itu mempunyai pengertian yang sama dengan pengertian Abidin, praktisi “tenaga dalam”?
Apakah benar, bahwa energi dari impuls listrik
tubuh yang menurut Silaban dihasilkan oleh adenosine
triphosphate (ATP) adalah energi
yang digunakan oleh Abidin ketika Abidin mengobati
orang sakit misalnya?
Apakah Silaban (mewakili pengetahuan
alam) bisa menjelaskan secara ilmiah
bagaimana seorang praktisi “tenaga dalam”
mentransfer energi kepada orang lain?
Apakah dunia ilmiah bisa menjelaskan mekanisme
terbentuknya energi yang “dahsyat”
ketika misalnya seseorang memukul orang lain dari jarak jauh?
Apakah aura (pancaran sinar) yang memancar dari wajah
seseorang yang memiliki “tenaga dalam”
bisa dikaitkan dengan keberadaan ATP
dalam tubuh seseorang? Dan bagaimana pula menjelaskan hilangnya aura tersebut secara seketika, yang bisa dilihat dan
diamati dengan jelas pada orang-orang yang memiliki “tenaga dalam”?
Sekilas
Hasil Pengamatan Pribadi
Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada Prof. Silaban, saya ingin menyampaikan keraguan saya atas penjelasan ilmiah beliau terhadap gejala-gejala yang biasa disebut sebagai tenaga dalam, paranormal, energi positif atau sejumlah istilah lain dalam dunia yang masih misterius itu. Keraguan saya atas penjelasan Silaban berkaitan dengan sejumlah pengamatan pribadi saya terhadap sejumlah orang yang memiliki “daya irasional” semacam itu.
Kalau kita agak jeli memperhatikan, maka
sebenarnya orang yang memiliki daya
irasional itu memiliki ciri utama: penampilan
fisiknya berubah-ubah. Ada saat-saat di mana penampilannya begitu “menarik”:
wajahnya berbinar-binar, mempesona, mengundang simpatik, berwibawa, dan
sebagainya.
Penampilan fisik yang mempesona itu
biasanya terlihat ketika yang bersangkutan berada dalam situasi “membutuhkan” daya itu: dalam pertemuan penting,
kampanye, pemunculan di televisi, dalam menyampaikan makalah di seminar, dalam
berdebat, dalam membela perkara, dalam pemilihan kepala desa (bagi calon) dan
sebagainya.
Apabila yang bersangkutan adalah seorang
pemuda yang menaksir seorang gadis,
maka penampilan fisik yang mempesona itu muncul lebih kentara
ketika si pemuda bertemu dengan sang
gadis. Demikian juga, gadis yang memiliki daya
irasional itu, apabila berpapasan dengan orang-orang lain di tengah jalan
akan mengundang perhatian orang-orang
itu sehingga mereka akan memandang
terus ke arahnya sampai jarak tertentu dari lokasi mereka berpapasan. Mereka
akan memutar kepala ke arah gadis
itu.
Penampilan fisik yang mempesona itu dibarengi dengan sejumlah
ciri lain: kelancaran berbicara, humor
yang bisa memancing gelak tawa yang luar biasa, wibawa yang mengundang ketakutan
atau rasa takjub pihak lain, suara yang lebih dalam dan berwibawa, ucapan-ucapan yang menggetarkan dan menggentarkan
yang membuat orang lain terkesima,
serta beberapa ciri penampilan lain
yang memang dibutuhkan oleh yang
bersangkutan dalam situasi itu.
Jika yang memiliki daya irasional adalah seorang perempuan
maka penampilan fisik yang mempesona disertai dengan suara yang lebih indah/mantap, raut muka yang kelihatan cantik nyaris sempurna, orang merasa nyaman berada di sampingnya sehingga
tidak jarang terjadi kerumunan di
sekitarnya.
Ciri-ciri yang disebutkan di atas
sebenarnya dimanfaatkan oleh dan
menjadi senjata utama dari the invisible hand atau sumber daya irasional itu untuk melemahkan kesadaran dan akal budi orang-orang di sekitar. Ciri-ciri dari orang yang menjadi korban dari proses pelemahan kesadaran dan akal
budi itu beragam menurut situasi.
Apabila seorang bawahan menjadi korban
pelemahan kesadaran atasannya, maka si bawahan
akan semakin takut dan tunduk, tidak berani memandang atasannya, tak berani berdebat atau mengkritik, tidak berani duduk
lama-lama di depan atasannya, dan cenderung menghindari
pertemuan atau tatap muka dengan
atasan.
Jika seorang gadis menjadi korban
pelemahan kesadaran itu, maka dia akan begitu terpesona dengan si pemuda, walau tadinya ia membencinya setengah mati. Ia akan mengingat terus sang pemuda dalam setiap detik kehidupannya, siang
dan malam. Dan dalam kasus-kasus yang berat, ini bisa menjurus kepada kekacauan pikiran secara permanen.
Akan tetapi penampilan fisik yang mempesona itu memang tidak langgeng, pada saat-saat tertentu penampilan yang mempesona itu hilang
disertai ciri-ciri berikut: wajah yang
keriput tak menarik, tak berbinar,
kelihatan letih sekali, kelihatan kurus, bahkan terkesan seperti baru menderita diare.
Ini bisa disaksikan pada saat yang
bersangkutan sedang asyik sendiri
tanpa ada interaksi dengan pihak
lain, ketika baru bangun sambil
melamun sendiri, ketika berjalan seorang
diri, atau di tengah-tengah para sahabat atau keluarga yang tidak merupakan
“ancaman”. Pada saat itu, daya itu memang tidak dibutuhkan dan karenanya tidak
diaktifkan.
Daya
Irasional
Beberapa praktisi “tenaga dalam” mengakui bahwa “tenaga” yang mereka miliki adalah tenaga irasional. Maka, agak mengejutkan ketika Silaban dengan cukup berani coba memberikan penjelasan ilmiah (baca: rasional) terhadap gejala irasional itu. Saya cenderung menggunakan istilah “irasional” karena menurut hemat saya kekuatan itu memang muncul sebagai akibat dari pelemahan kesadaran, akibat dari tunduknya rasio terhadap hal-hal yang irasional.
Daya-daya
itu diperoleh dengan cara-cara irasional:
kepercayaan terhadap kekuatan benda-benda
tertentu (cincin, batu-batu tertentu, patung, dsb.), tempat-tempat
tertentu (kuburan, gua, dsb.), angka-angka tertentu, kalimat-kalimat
tertentu (dalam bentuk mantra), dan sebagainya.
Dengan mempercayai adanya kekuatan-kekuatan itu, kesadaran dan akal budi kita diperlemah,
dikaburkan, dan akhirnya tunduk dan menghamba pada irasionalitas.
Begitu irasionalitas menang, “kekuatan-kekuatan” itu pun muncul dengan sendirinya dan instan.
Tidak jarang umat dari berbagai agama
mencari dan memburu “nama” dan atau “sifat-sifat” Ilahi untuk dijadikan sumber kekuatan itu. Maka muncullah nama atau sifat-sifat Ilahi dalam gulungan
atau lipatan-lipatan kertas yang
ditempatkan di dalam saku baju. Dan apabila gulungan
kertas itu tidak muat dalam saku baju, ia dimasukkan dalam dompet yang biasanya ditaruh di kantong belakang celana, daerah yang
selalu bergesekan dengan tempat duduk. Begitu nama atau sifat Ilahi itu
(yang seharusnya dijunjung tinggi) berada di tempat yang tidak pantas
itu, kesadaran dan akal budi dibiarkan tunduk atau takluk kepada
irasionalitas. Dan kekuatan itu pun menjadi milik kita (sebenarnya lebih tepat: menguasai kita).
Ruang
bagi Penjelasan Ilmiah
Sisi positif dari terobosan Prof. Silaban adalah munculnya kemungkinan mencari penjelasan ilmiah atas gejala irasional itu. Akan tetapi menurut saya tidak pertama-tama melalui “jalur penjelasan ATP” yang telah dimulai Silaban. Barangkali yang paling relevan adalah pemeriksaan apakah hukum pertama termodinamika tentang kelestarian energi berlaku juga bagi daya-daya irasional itu? Salah satu keberatan para ilmuwan untuk mengkaji gejala “supranatural” adalah karena menurut mereka gejala itu tidak tunduk kepada hukum alam, antara lain hukum kekekalan energi.
Saya punya keyakinan sebaliknya, daya-daya
irasional itu tunduk kepada hukum
pertama termodinamika, hal yang juga membuat saya menyimpulkan bahwa gejala
irasional itu sebaiknya kita hindari. Akan tetapi untuk memeriksa keberlakuan hukum itu, ada dua konsep yang mungkin perlu
“didefinisi” ulang: energi dan sistem.
Pemahaman saya terhadap gejala irasional itu adalah sebagai
berikut. Kekuatan yang dahsyat itu muncul dalam berbagai
bentuk: kekuatan atau kemampuan yang luar biasa baik fisik maupun mental. Contoh-contoh kekuatan
atau kemampuan fisik adalah: (1) kekebalan terhadap senjata tajam dan api, (2) kemampuan
lolos dari serangan senjata api, (3) penampilan
fisik yang mempesona, (3) suara yang berat berwibawa atau indah dan menawan, dan sebagainya.
(4) Kekuatan atau kemampuan
mental muncul dalam bentuk: wibawa
(untuk menundukkan orang lain), (5) kemampuan bersilat lidah, (6) kemampuan
memukau massa, (6) kemampuan mengubah pikiran orang lain (misalnya dalam hal pelet memelet atau dagang), dan sebagainya.
Kekuatan
atau kemampuan lain yang dimiliki
oleh gejala irasional itu adalah: kekuatan atau kemampuan “menyembuhkan” penyakit, baik penyakit fisik maupun mental.
Saya sendiri sangat menyangsikan
kemampuan terakhir ini.
Untuk memungkinkan pemahaman ilmiah terhadap gejala
irasional ini, konsep-konsep kekuatan
atau kemampuan yang disebutkan di
atas harus juga dimasukkan dalam definisi
baru “energi” itu. Kita pun perlu mendefinisikan sistem secara tepat.
Sistem di sini adalah orang yang memiliki daya
irasional itu sendiri, mencakup fisik
dan pikirannya. Dengan bekal kedua definisi “baru” tadi, mari kita coba
memulai sebuah pengamatan ilmiah.
Di
sebuah pesta perkawinan di kampung saya, sekitar 40 tahun lalu, saya
menyaksikan sesuatu yang hingga saat ini terbayang jelas dalam ingatan saya.
Dalam pesta itu disuguhkan sebuah pertunjukkan silat, di mana dua orang beradu
kelincahan dalam sebuah lapangan berukuran sekitar 5 x 6 m. Mula-mula keduanya
beratraksi dengan tangan kosong dengan gerakan-gerakan yang sangat memukau.
Atraksi mereka terkadang dibarengi dengan gejala irasional berupa penampakan
muka mereka dalam bentuk muka harimau.
Setelah atraksi tangan kosong, atraksi
dilanjutkan dengan menggunakan sebuah pisau yang sangat tajam sekitar 20 cm
panjangnya. Si A memegang pisau, si B memegang sarung pisaunya. Setelah
beberapa saat, atraksi menuju puncaknya: si A menghujamkan pisau dengan kecepatan
tinggi ke arah jantung si B. Si B, juga dengan kecepatan yang sangat tinggi segera menyambut tusukan si A dengan sarung
pisau. Pisau “tertancap” dalam sarungnya!
Selanjutnya Si B melemparkan sarung
pisau ke tanah, dan dengan penuh keberanian menyambut 3 kali tusukan si A
dengan dadanya sendiri. Tusukan itu mengeluarkan bunyi seperti kalau seseorang
memukul karet. Atraksi puncak ini membuat penonton berteriak histeris tetapi
sekali gus terkagum-kagum: tidak ada bekas goresan apa pun di dada si B!
Empat tahun lalu, dalam
sebuah pertemuan dengan si B, saya mendapat sebuah pengakuan ini: fisiknya kini sangat menderita. Di
bagian tubuh tempat kenanya tusukan-tusukan pisau itu dia merasakan ngilu yang
luar biasa setiap saat. Tentu saja atraksi yang saya tonton itu hanya satu dari
sejumlah “atraksi” lain yang dia lakukan pada berbagai kesempatan lain. Dia
juga mudah gelisah, kuatir dan berbagai perasaan tak nyaman lain selalu
menyelimuti kehidupannya.
Kisah di atas mencoba menjelaskan
bagaimana kita harus melihat efek daya
irasional itu terhadap orang yang memilikinya.
Dalam kisah itu, yang terjadi adalah pengurasan
energi untuk keperluan sesaat, tetapi berakibat
jangka panjang. Penalaran yang sama dapat diterapkan pada setiap gejala irasional lain. Misalnya saja,
orang yang mendapat kemasyhuran, jabatan tinggi, rejeki atau perlindungan
fisik dari daya-daya irasional
itu akan mengalami efek samping yang
dahsyat di kemudian hari. Orang yang
meminta perlindungan fisik dari kecelakaan mobil atau pesawat udara barangkali akan mati lewat tembakan sebuah senapan. Orang yang tiba-tiba melejit dalam jabatannya
mungkin di kemudian hari mendapat malu,
diturunkan dari jabatannya secara tidak terhormat.
Secara fisik, efek pengurasan energi
dari sistem dalam periode
awal akan dapat diamati pada periode akhir, misalnya ketika daya
irasional itu dipaksa keluar,
barangkali oleh daya irasional lain, yang dapat diamati adalah: volume
fisiknya berkurang atau menyusut sekali, mukanya kelihatan sangat tua dan tidak
menarik. Hilangnya pesona fisik ini selalu disertai dengan hilangnya wibawa
yang bersangkutan di depan umum, hilangnya kharisma, hilangnya rasa hormat
orang lain terhadapnya, dan sebagainya.
Dari contoh-contoh di atas, bukankah
secara kualitatif bisa kita simpulkan bahwa hukum kekekalan “energi“ berlaku? (Pengamatan secara kuantitatif
mungkin akan mengalami berbagai hambatan besar, hal yang akan dipaparkan dalam
sebuah tulisan lain.)
Modus operandi si “invisible hand” itu boleh dikatakan
sama dalam setiap kasus: mengerahkan
atau menguras “energi” sistem (baca
orang yang memiliki daya irasional
itu) selama periode tertentu,
sehingga pada periode sisa, sistem akan mengalami starvasi
(kemelaratan) energi.
Atas dasar uraian di atas, saya juga menyangsikan efek positif penerapan “tenaga dalam” untuk penyembuhan penyakit, baik fisik
maupun mental.”
Kemampuan Luarbiasa Ahli-ahli Sihir Fir’aun
Tanpa bermaksud meremehkan
dua artikel sebelumnya, saya
setuju dengan berbagai hal yang
dipaparkan penulis (E.Halawa) dalam artikel yang ketiga, barangkali
phenomena “jenglot” -- yang dipercayai sebagai tubuh orang-orang yang menggeluti ilmu kanuragan BK (Batara Karang) -- dapat dikemukakan sebagai salah satu bukti atau bahan penelitian E. Halawa selanjutnya untuk mendukung kebenaran paragraf
yang dimiringkan dan paragraf terakhir artikel tersebut:
“Modus operandi si “invisible hand” itu boleh
dikatakan sama dalam setiap kasus: mengerahkan
atau menguras “energi” sistem (baca orang
yang memiliki daya irasional itu)
selama periode tertentu, sehingga pada periode sisa, sistem akan
mengalami starvasi (kemelaratan)
energi.”
Pertanyaan
yang mungkin timbul adalah: Apakah Al-Quran
ada menyinggung masalah yang menjadi
bahan perdebatan (pro-kontra)
tersebut? Berikut adalah jawaban
mengenai pemanfaatan “kekuatan pikiran” atau khayal tersebut berkenaan kemampuan tukang-tukang sihir Fir’aun -- si “invisible
hand” pada zaman itu.
Allah Swt. berfirman mengenai tuduhan Fir’aun terhadap Nabi Musa a.s. dan Nabi Harun a.s., firman-Nya:
قَالُوۡۤا اِنۡ ہٰذٰىنِ لَسٰحِرٰنِ یُرِیۡدٰنِ اَنۡ
یُّخۡرِجٰکُمۡ مِّنۡ اَرۡضِکُمۡ بِسِحۡرِہِمَا وَ یَذۡہَبَا بِطَرِیۡقَتِکُمُ الۡمُثۡلٰی ﴿﴾ فَاَجۡمِعُوۡا
کَیۡدَکُمۡ ثُمَّ ائۡتُوۡا
صَفًّا ۚ وَ قَدۡ اَفۡلَحَ
الۡیَوۡمَ مَنِ اسۡتَعۡلٰی ﴿﴾ قَالُوۡا
یٰمُوۡسٰۤی اِمَّاۤ اَنۡ تُلۡقِیَ وَ اِمَّاۤ
اَنۡ نَّکُوۡنَ اَوَّلَ مَنۡ
اَلۡقٰی ﴿﴾ قَالَ بَلۡ
اَلۡقُوۡا ۚ فَاِذَا حِبَالُہُمۡ وَ عِصِیُّہُمۡ
یُخَیَّلُ اِلَیۡہِ مِنۡ
سِحۡرِہِمۡ اَنَّہَا تَسۡعٰی ﴿﴾ فَاَوۡجَسَ فِیۡ
نَفۡسِہٖ خِیۡفَۃً مُّوۡسٰی ﴿﴾
Mereka
berkata: "Sesungguhnya kedua orang ini benar-benar tukang sihir
yang hendak mengusir kamu dari negeri kamu dengan sihir
mereka berdua dan menghapuskan cara
hidup kamu yang terbaik, maka
himpunlah tipu-daya kamu kemudian datanglah berbaris, dan sungguh
akan berhasil siapa yang unggul pada hari ini." Mereka (tukang-tukang sihir) berkata:
"Ya Musa, apakah engkau yang
akan melempar, ataukah kami
yang pertama melempar?" Ia, Musa, berkata: “Silakan kamulah yang mulai
melempar.” Maka tiba-tiba
tali-tali mereka dan tongkat-tongkat
mereka یُخَیَّلُ اِلَیۡہِ مِنۡ
سِحۡرِہِمۡ اَنَّہَا تَسۡعٰی -- terbayang
kepadanya seakan-akan bergerak-gerak
dengan cepat karena sihir mereka. فَاَوۡجَسَ فِیۡ
نَفۡسِہٖ خِیۡفَۃً مُّوۡسٰی -- maka Musa merasa takut dalam hatinya. (Thā
Hā [20]:64-68).
Ada pun
yang dituduhkan Fir’aun sebagai “sihir”
mengenai Nabi Musa a.s. adalah dua
mukjizat yang sebelumnya
diperlihatkan oleh Nabi Musa a.s. di hadapan Fir’aun dan para pembesarnya, guna mendukung kebenaran pendakwaan beliau dan Nabi Harun a.s. sebagai Rasul Allah, yaitu berupa berubahnya tongkat yang dlemparkan Nabi
Musa a.s. seperti ular dan putihnya
atau bercahayanya kedua tangan Nabi
Musa a.s. setelah dikeluarkan dari
kepitan ketiak beliau (QS.7:104-109; 20:18-25; QS.26:24-34; QS.27:8-15;
28:30-43).
Makna
kata thariqah dalam ucapan
Fir’aun selanjutnya وَ یَذۡہَبَا
بِطَرِیۡقَتِکُمُ الۡمُثۡلٰی -- “dan
menghapuskan cara hidup kamu yang
terbaik” berarti, cara hidup; cita-cita; lembaga; adat istiadat (Lexicon Lane). Dengan demikian jelaslah, bahwa adanya berbagai macam thariqah itu bukan hanya di kalangan umat beragama saja m – termasuk di kalangan umat Islam -- tetapi berbagai jenis kemusyrikan pun pada
hakikatnya merupakan thariqah yang menurut para penganutnya sebagai “cara hidup mereka” yang terbaik, dan menyatakan thariqah-thariqah lainnya sebagai kesesatan.
Guna mendukung tuduhannya
tersebut Fir’aun -- atas saran para pembesarnya (QS.7:110-114; QS.20:64;
QS.26:35-36) -- telah menghadirkan ahli-ahli sihir terbaik di wilayah kekuasaannya. Ketika pada hari yang disepakati
kedua belah pihak mereka telah saling berhadapan, selanjutnya Allah Swt.
berfirman:
قَالُوۡا یٰمُوۡسٰۤی اِمَّاۤ
اَنۡ تُلۡقِیَ وَ اِمَّاۤ اَنۡ نَّکُوۡنَ اَوَّلَ
مَنۡ اَلۡقٰی
Mereka
(tukang-tukang sihir) berkata: "Ya Musa,
apakah engkau yang akan melempar, ataukah kami yang pertama melempar?" Ia, Musa, berkata: “Silakan kamulah yang mulai
melempar.” (Thā Hā [20]:66).
Makna “Rasa Takut” Nabi Musa a.s.
Jawaban Nabi Musa a.s. بَلۡ اَلۡقُوۡا
-- “Silakan kamulah yang mulai
melempar.” Nabi-nabi Allah tidak pernah
memulai serangan. Mereka menunggu sampai mereka diserang dan barulah kemudian mereka membela diri. Demikian pula halnya dengan izin berperang bagi umat
Islam (QS.22:40-41) karena dalam masalah agama (keimanan) tidak boleh melakukan paksaan dan tindak kekerasan
(QS.2:257; QS.10:100; QS.11:119;QS.18:30; QS.76:4).
Selanjutnya Allah Swt. berfirman فَاِذَا حِبَالُہُمۡ وَ عِصِیُّہُمۡ یُخَیَّلُ
اِلَیۡہِ مِنۡ سِحۡرِہِمۡ
اَنَّہَا تَسۡعٰی -- “Maka tiba-tiba
tali-tali mereka dan tongkat-tongkat
mereka terbayang kepadanya seakan-akan bergerak-gerak dengan cepat
karena sihir mereka.” (Thā
Hā [20]:67).
Tali
dan tongkat para tukang sihir tersebut tidak
benar-benar berubah menjadi benda-benda
yang bergerak-gerak, melainkan یُخَیَّلُ اِلَیۡہِ yakni terbayang
(tampak) dalam khayalan pikiran Nabi Musa a.s. -- dan orang-orang lain yang
hadir saat itu -- seolah-olah
sedang berlari-larian., padahal sebenarnya
benda-benda itu tidak berlari-lari.
Makna ayat selanjutnya فَاَوۡجَسَ فِیۡ
نَفۡسِہٖ خِیۡفَۃً مُّوۡسٰی
– “maka Musa merasa takut dalam hatinya,” Nabi Musa a.s. tidak
takut kepada tali-tali dan tongkat-tongkat para tukang sihir itu, sebab para nabi Allah mempunyai keyakinan yang teguh, kecuali kepada Allah Swt. mereka tidak pernah takut kepada apa pun. Nabi Musa a.s. hanya khawatir jangan-jangan orang-orang terperdaya oleh kepandaian
tukang-tukang sihir itu -- “invisible hand” -- itu.
Selanjutnya Allah Swt. berfirman:
قُلۡنَا
لَا تَخَفۡ اِنَّکَ اَنۡتَ الۡاَعۡلٰی ﴿﴾ وَ اَلۡقِ مَا فِیۡ یَمِیۡنِکَ تَلۡقَفۡ مَا صَنَعُوۡا
ؕ اِنَّمَا صَنَعُوۡا کَیۡدُ سٰحِرٍ ؕ وَ لَا
یُفۡلِحُ السَّاحِرُ حَیۡثُ
اَتٰی ﴿﴾ فَاُلۡقِیَ السَّحَرَۃُ سُجَّدًا قَالُوۡۤا اٰمَنَّا بِرَبِّ ہٰرُوۡنَ وَ
مُوۡسٰی ﴿﴾
Kami
berfirman: "Janganlah engkau takut
karena sesungguhnya engkaulah yang
paling unggul. Dan lemparkanlah apa yang ada di tangan kanan
engkau, itu akan menelan
apa yang mereka buat, sesungguhnya apa yang mereka perbuat adalah tipu-daya
tukang sihir, dan tukang sihir tidak
akan berhasil dari mana pun ia
datang," Maka kesadaran akan kebenaran membuat semua tukang sihir itu menyungkur bersujud, mereka berkata: “Kami beriman kepada Rabb
(Tuhan) Harun dan Musa." (Thā Hā [20]:69-71). Lihat
pula QS.7:110-127).
Ayat ini
menjadikan peristiwa itu jelas, bahwa tongkat Nabi Musa a.s. itulah -- dan bukan sesuatu benda lain -- yang "menelan"
yakni melenyapkan “kekuatan khayalan” yang
telah ditimbulkan oleh pemusatan pikiran
para tukang sihir serta menggagalkan sihir mereka yang hebat itu.
Tongkat Nabi Musa a.s. yang
telah digerakkan oleh kekuatan ruhani yang dimiliki seorang
nabi besar dan dilemparkan atas perintah Allah
Swt., Tuhan Yang Maha Kuasa, membongkar
penipuan yang para tukang sihir itu yang telah lakukan
dengan kepandaiannya terhadap para
penonton.
Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik
Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 10 Juni
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar