Rabu, 02 Juli 2014

Pertarungan Antara "Pengaruh Sihir" Tukang-tukang Sihir Fir'aun dengan "Mukjizat Tongkat" Nabi Musa a.s.



بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم


Khazanah Ruhani Surah  Shād


Bab   253

Pertarungan Antara “Pengaruh Sihir” Tukang-tukang  Sihir Fir’aun dengan Mukjizat  Tongkat  Nabi Musa a.s.

Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma
 
D
alam  akhir Bab sebelumnya   telah dikemukakan    mengenai    Sunnatullāh,” bahwa berkenaan dengan sesuatu masalah yang dimunculkan ke publik,  pasti akan terjadi pro dan kontra mengenai hal tersebut, berikut adalah artikel  pendapat yang kontra  mengenai masalah “tenaga dalam”:

RAHASIA DI BALIK TENAGA DALAM?

 Oleh: E. Halawa

 

        Artikel ini muncul setelah penulis membaca berita berjudul Fenomena Fisika di Balik Tenaga Prana di Kompas Cyber Media, Rabu 25 Juni 2003, yang memuat pandangan Prof. Dr. Pantur Silaban, seorang pakar Fisika, dan Indra Abidin, seorang praktisi “Tenaga Dalam”. Tulisan ini pernah penulis kirim ke harian Kompas.
       Yang menarik dari berita itu ialah bahwa dua bentuk “pengetahuan” yang selama ini selalu dianggap tak bisa bertemu yaitu “pengetahuan alam” dan “pengetahuan supranatural”, berusaha dipertemukan oleh dua orang pakar atau praktisi di bidangnya dalam sebuah lokakarya bertema “Rahasia di Balik Tenaga Dalam”. Apakah kedua pakar praktisi itu berhasil mempertemukan dua bentuk “pengetahuan” yang selama ini seperti air dengan api itu? Hal inilah yang coba dibahas dalam tulisan ini. Akan dibahas juga mengenai kemungkinan pemeriksaan keberlakuan hukum kekekalan energi pada gejala irasional ini.

Istilah-istilah yang Belum “Bertemu”

        Sesuai dengan bidangnya masing-masing, kedua pakar menggunakan istilah-istilah yang lazim di bidangnya. Silaban menyebut istilah impuls listrik, medan listrik, gravitasi, gelombang magnet, dan sebagainya,  sementara Indra memunculkan istilah-istilah seperti: getaran, hawa panas, pancaran sinar, gelombang otak, energi halus (baik), energi kasar (buruk), tenaga dalam halus, sinar tubuh, dan sebagainya.
       Perlu digarisbawahi di sini, bahwa penjelasan para praktisi “tenaga dalam” mengenai pengertian dari istilah-istilah yang mereka pakai tidak pernah jelas. Dalam berbagai tabloid dan majalah “supranatural” misalnya muncul berbagai istilah berikut: “Transfer chip energi hiper metafisik, jatidiri dimensi 217 / 211, evolusi jati diri manusia, chip gaib” dsb. Kita tidak pernah mengerti apa yang mereka maksudkan dengan istilah-istilah itu yang terkesan asal dimunculkan.
        Adakah kesejajaran antara istilah-istilah dari dua bidang “pengetahuan” yang berbeda di ini? 
      Ketika Silaban merujuk pada energi atau tenaga dalam, misalnya, apakah istilah itu mempunyai pengertian yang sama dengan pengertian Abidin, praktisi “tenaga dalam”?
      Apakah benar, bahwa energi dari impuls listrik tubuh yang menurut Silaban dihasilkan oleh adenosine triphosphate (ATP) adalah energi yang digunakan oleh Abidin ketika Abidin mengobati orang sakit misalnya?
      Apakah Silaban (mewakili pengetahuan alam) bisa menjelaskan secara ilmiah bagaimana seorang praktisi “tenaga dalam” mentransfer energi kepada orang lain?
      Apakah dunia ilmiah bisa menjelaskan mekanisme terbentuknya energi yang “dahsyat” ketika misalnya seseorang memukul orang lain dari jarak jauh?
       Apakah aura (pancaran sinar) yang memancar dari wajah seseorang yang memiliki “tenaga dalam” bisa dikaitkan dengan keberadaan ATP dalam tubuh seseorang? Dan bagaimana pula menjelaskan hilangnya aura tersebut secara seketika, yang bisa dilihat dan diamati dengan jelas pada orang-orang yang memiliki “tenaga dalam”?

Sekilas Hasil Pengamatan Pribadi

        Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada Prof. Silaban, saya ingin menyampaikan keraguan saya atas penjelasan ilmiah beliau terhadap gejala-gejala yang biasa disebut sebagai tenaga dalam, paranormal, energi positif atau sejumlah istilah lain dalam dunia yang masih misterius itu.   Keraguan saya atas penjelasan Silaban berkaitan dengan sejumlah pengamatan pribadi saya terhadap sejumlah orang yang memiliki “daya irasional” semacam itu.
       Kalau kita agak jeli memperhatikan, maka sebenarnya orang yang memiliki daya irasional itu memiliki ciri utama: penampilan fisiknya berubah-ubah. Ada saat-saat di mana penampilannya begitu “menarik”: wajahnya berbinar-binar, mempesona, mengundang simpatik, berwibawa, dan sebagainya.
       Penampilan fisik yang mempesona itu biasanya terlihat ketika yang bersangkutan berada dalam situasi “membutuhkan” daya itu: dalam pertemuan penting, kampanye, pemunculan di televisi, dalam menyampaikan makalah di seminar, dalam berdebat, dalam membela perkara, dalam pemilihan kepala desa (bagi calon) dan sebagainya.
       Apabila yang bersangkutan adalah seorang pemuda yang menaksir seorang gadis, maka penampilan fisik yang mempesona itu muncul lebih kentara ketika si pemuda bertemu dengan sang gadis. Demikian juga, gadis yang memiliki daya irasional itu, apabila berpapasan dengan orang-orang lain di tengah jalan akan mengundang perhatian orang-orang itu sehingga mereka akan memandang terus ke arahnya sampai jarak tertentu dari lokasi mereka berpapasan. Mereka akan memutar kepala ke arah gadis itu.
         Penampilan fisik yang mempesona itu dibarengi dengan sejumlah ciri lain: kelancaran berbicara, humor yang bisa memancing gelak tawa yang luar biasa, wibawa yang mengundang ketakutan atau rasa takjub pihak lain, suara yang lebih dalam dan berwibawa, ucapan-ucapan yang menggetarkan dan menggentarkan yang membuat orang lain terkesima, serta beberapa ciri penampilan lain yang memang dibutuhkan oleh yang bersangkutan dalam situasi itu.
       Jika yang memiliki daya irasional adalah seorang perempuan maka penampilan fisik yang mempesona disertai dengan suara yang lebih indah/mantap, raut muka yang kelihatan cantik nyaris sempurna, orang merasa nyaman berada di sampingnya sehingga tidak jarang terjadi kerumunan di sekitarnya.
       Ciri-ciri yang disebutkan di atas sebenarnya dimanfaatkan oleh dan menjadi senjata utama dari the invisible hand atau sumber daya irasional itu untuk melemahkan kesadaran dan akal budi orang-orang di sekitar. Ciri-ciri dari orang yang menjadi korban dari proses pelemahan kesadaran dan akal budi itu beragam menurut situasi.
        Apabila seorang bawahan menjadi korban pelemahan kesadaran atasannya, maka si bawahan akan semakin takut dan tunduk, tidak berani memandang atasannya, tak berani berdebat atau mengkritik, tidak berani duduk lama-lama di depan atasannya, dan cenderung menghindari pertemuan atau tatap muka dengan atasan.
        Jika seorang gadis menjadi korban pelemahan kesadaran itu, maka dia akan begitu terpesona dengan si pemuda, walau tadinya ia membencinya setengah mati. Ia akan mengingat terus sang pemuda dalam setiap detik kehidupannya, siang dan malam. Dan dalam kasus-kasus yang berat, ini bisa menjurus kepada kekacauan pikiran secara permanen.
       Akan tetapi penampilan fisik yang mempesona itu memang tidak langgeng, pada saat-saat tertentu penampilan yang mempesona itu hilang disertai ciri-ciri berikut: wajah yang keriput tak menarik, tak berbinar, kelihatan letih sekali, kelihatan kurus, bahkan terkesan seperti baru menderita diare. Ini bisa disaksikan pada saat yang bersangkutan sedang asyik sendiri tanpa ada interaksi dengan pihak lain, ketika baru bangun sambil melamun sendiri, ketika berjalan seorang diri, atau di tengah-tengah para sahabat atau keluarga yang tidak merupakan “ancaman”. Pada saat itu, daya itu memang tidak dibutuhkan dan karenanya tidak diaktifkan.

Daya Irasional

       Beberapa praktisi “tenaga dalam” mengakui bahwa “tenaga” yang mereka miliki adalah tenaga irasional. Maka, agak mengejutkan ketika Silaban dengan cukup berani coba memberikan penjelasan ilmiah (baca: rasional) terhadap gejala irasional itu. Saya cenderung menggunakan istilah “irasional” karena menurut hemat saya kekuatan itu memang muncul sebagai akibat dari pelemahan kesadaran, akibat dari tunduknya rasio terhadap hal-hal yang irasional.
       Daya-daya itu diperoleh dengan cara-cara irasional: kepercayaan terhadap kekuatan benda-benda tertentu (cincin, batu-batu tertentu, patung, dsb.), tempat-tempat tertentu (kuburan, gua, dsb.), angka-angka tertentu, kalimat-kalimat tertentu (dalam bentuk mantra), dan sebagainya.
        Dengan mempercayai adanya kekuatan-kekuatan itu, kesadaran dan akal budi kita diperlemah, dikaburkan, dan akhirnya tunduk dan menghamba pada irasionalitas. Begitu irasionalitas menang, “kekuatan-kekuatan” itu pun muncul dengan sendirinya dan instan.
       Tidak jarang umat dari berbagai agama mencari dan memburu “nama” dan atau “sifat-sifat” Ilahi untuk dijadikan sumber kekuatan itu. Maka muncullah nama atau sifat-sifat Ilahi dalam gulungan atau lipatan-lipatan kertas yang ditempatkan di dalam saku baju. Dan apabila gulungan kertas itu tidak muat dalam saku baju, ia dimasukkan dalam dompet yang biasanya ditaruh di kantong belakang celana, daerah yang selalu bergesekan dengan tempat duduk. Begitu nama atau sifat Ilahi itu (yang seharusnya dijunjung tinggi) berada di tempat yang tidak pantas itu, kesadaran dan akal budi dibiarkan tunduk atau takluk kepada irasionalitas. Dan kekuatan itu pun menjadi milik kita (sebenarnya lebih tepat: menguasai kita).

Ruang bagi Penjelasan Ilmiah

     Sisi positif dari terobosan Prof. Silaban adalah munculnya kemungkinan mencari penjelasan ilmiah atas gejala irasional itu. Akan tetapi menurut saya tidak pertama-tama melalui “jalur penjelasan ATP” yang telah dimulai Silaban. Barangkali yang paling relevan adalah pemeriksaan apakah hukum pertama termodinamika tentang kelestarian energi berlaku juga bagi daya-daya irasional itu? Salah satu keberatan para ilmuwan untuk mengkaji gejala “supranatural” adalah karena menurut mereka gejala itu tidak tunduk kepada hukum alam, antara lain hukum kekekalan energi.
         Saya punya keyakinan sebaliknya, daya-daya irasional itu tunduk kepada hukum pertama termodinamika, hal yang juga membuat saya menyimpulkan bahwa gejala irasional itu sebaiknya kita hindari. Akan tetapi untuk memeriksa keberlakuan hukum itu, ada dua konsep yang mungkin perlu “didefinisi” ulang: energi dan sistem.
       Pemahaman saya terhadap gejala irasional itu adalah sebagai berikut. Kekuatan yang dahsyat itu muncul dalam berbagai bentuk: kekuatan atau kemampuan yang luar biasa baik fisik maupun mental. Contoh-contoh kekuatan atau kemampuan fisik adalah: (1) kekebalan terhadap senjata tajam dan api,  (2) kemampuan lolos dari serangan senjata api,  (3) penampilan fisik yang mempesona, (3) suara yang berat berwibawa atau indah dan menawan, dan sebagainya.  (4)   Kekuatan atau kemampuan mental muncul dalam bentuk: wibawa (untuk menundukkan orang lain), (5) kemampuan bersilat lidah, (6) kemampuan memukau massa, (6) kemampuan mengubah pikiran orang lain (misalnya dalam hal pelet memelet atau dagang), dan sebagainya.
        Kekuatan atau kemampuan lain yang dimiliki oleh gejala irasional itu adalah: kekuatan atau kemampuanmenyembuhkanpenyakit, baik penyakit fisik maupun mental. Saya sendiri sangat menyangsikan kemampuan terakhir ini.
        Untuk memungkinkan pemahaman ilmiah terhadap gejala irasional ini, konsep-konsep kekuatan atau kemampuan yang disebutkan di atas harus juga dimasukkan dalam definisi baru “energi” itu. Kita pun perlu mendefinisikan sistem secara tepat. Sistem di sini adalah orang yang memiliki daya irasional itu sendiri, mencakup fisik dan pikirannya. Dengan bekal kedua definisi “baru” tadi, mari kita coba memulai sebuah pengamatan ilmiah.
         Di sebuah pesta perkawinan di kampung saya, sekitar 40 tahun lalu, saya menyaksikan sesuatu yang hingga saat ini terbayang jelas dalam ingatan saya. Dalam pesta itu disuguhkan sebuah pertunjukkan silat, di mana dua orang beradu kelincahan dalam sebuah lapangan berukuran sekitar 5 x 6 m. Mula-mula keduanya beratraksi dengan tangan kosong dengan gerakan-gerakan yang sangat memukau. Atraksi mereka terkadang dibarengi dengan gejala irasional berupa penampakan muka mereka dalam bentuk muka harimau.
       Setelah atraksi tangan kosong, atraksi dilanjutkan dengan menggunakan sebuah pisau yang sangat tajam sekitar 20 cm panjangnya. Si A memegang pisau, si B memegang sarung pisaunya. Setelah beberapa saat, atraksi menuju puncaknya: si A menghujamkan pisau dengan kecepatan tinggi ke arah jantung si B. Si B, juga dengan kecepatan yang sangat tinggi  segera menyambut tusukan si A dengan sarung pisau. Pisau “tertancap” dalam sarungnya!
       Selanjutnya Si B melemparkan sarung pisau ke tanah, dan dengan penuh keberanian menyambut 3 kali tusukan si A dengan dadanya sendiri. Tusukan itu mengeluarkan bunyi seperti kalau seseorang memukul karet. Atraksi puncak ini membuat penonton berteriak histeris tetapi sekali gus terkagum-kagum: tidak ada bekas goresan apa pun di dada si B!
       Empat tahun lalu, dalam sebuah pertemuan dengan si B, saya mendapat sebuah pengakuan ini: fisiknya kini sangat menderita. Di bagian tubuh tempat kenanya tusukan-tusukan pisau itu dia merasakan ngilu yang luar biasa setiap saat. Tentu saja atraksi yang saya tonton itu hanya satu dari sejumlah “atraksi” lain yang dia lakukan pada berbagai kesempatan lain. Dia juga mudah gelisah, kuatir dan berbagai perasaan tak nyaman lain selalu menyelimuti kehidupannya.
        Kisah di atas mencoba menjelaskan bagaimana kita harus melihat efek daya irasional itu terhadap orang yang memilikinya. Dalam kisah itu, yang terjadi adalah pengurasan energi untuk keperluan sesaat, tetapi berakibat jangka panjang. Penalaran yang sama dapat diterapkan pada setiap gejala irasional lain. Misalnya saja, orang yang mendapat kemasyhuran, jabatan tinggi, rejeki atau perlindungan fisik dari daya-daya irasional itu akan mengalami efek samping yang dahsyat di kemudian hari. Orang yang meminta perlindungan fisik dari kecelakaan mobil atau pesawat udara barangkali akan mati lewat tembakan sebuah senapan. Orang yang tiba-tiba melejit dalam jabatannya mungkin di kemudian hari mendapat malu, diturunkan dari jabatannya secara tidak terhormat.
        Secara fisik, efek pengurasan energi dari sistem dalam periode awal akan dapat diamati pada periode akhir, misalnya ketika daya irasional itu dipaksa keluar, barangkali oleh daya irasional lain, yang dapat diamati adalah: volume fisiknya berkurang atau menyusut sekali, mukanya kelihatan sangat tua dan tidak menarik. Hilangnya pesona fisik ini selalu disertai dengan hilangnya wibawa yang bersangkutan di depan umum, hilangnya kharisma, hilangnya rasa hormat orang lain terhadapnya, dan sebagainya.
        Dari contoh-contoh di atas, bukankah secara kualitatif bisa kita simpulkan bahwa hukum kekekalan “energi“ berlaku? (Pengamatan secara kuantitatif mungkin akan mengalami berbagai hambatan besar, hal yang akan dipaparkan dalam sebuah tulisan lain.)
    Modus operandi si “invisible hand” itu boleh dikatakan sama dalam setiap kasus: mengerahkan atau menguras “energi” sistem (baca orang yang memiliki daya irasional itu) selama periode tertentu, sehingga pada periode sisa, sistem akan mengalami starvasi (kemelaratan) energi.
      Atas dasar uraian di atas, saya juga menyangsikan efek positif penerapan “tenaga dalam” untuk penyembuhan penyakit, baik fisik maupun mental.”

Kemampuan Luarbiasa Ahli-ahli Sihir Fir’aun

        Tanpa bermaksud  meremehkan  dua artikel sebelumnya,  saya  setuju dengan   berbagai hal yang dipaparkan  penulis (E.Halawa) dalam artikel yang ketiga, barangkali phenomena “jenglot     -- yang dipercayai sebagai tubuh orang-orang yang menggeluti ilmu kanuragan BK (Batara Karang)  -- dapat dikemukakan sebagai salah satu bukti atau bahan penelitian E. Halawa selanjutnya  untuk mendukung kebenaran  paragraf yang dimiringkan dan  paragraf  terakhir artikel tersebut:
“Modus operandi si “invisible hand” itu boleh dikatakan sama dalam setiap kasus: mengerahkan atau menguras “energi” sistem (baca orang yang memiliki daya irasional itu) selama periode tertentu,  sehingga pada periode sisa, sistem akan mengalami starvasi (kemelaratan) energi.”
     Pertanyaan yang mungkin timbul adalah: Apakah Al-Quran ada menyinggung  masalah yang menjadi bahan perdebatan (pro-kontra) tersebut?  Berikut adalah jawaban mengenai  pemanfaatan “kekuatan pikiran” atau khayal    tersebut berkenaan kemampuan tukang-tukang sihir Fir’aun   -- si “invisible hand pada zaman itu.
        Allah Swt. berfirman  mengenai tuduhan Fir’aun terhadap Nabi Musa a.s. dan Nabi Harun a.s., firman-Nya:
قَالُوۡۤا  اِنۡ ہٰذٰىنِ لَسٰحِرٰنِ یُرِیۡدٰنِ اَنۡ یُّخۡرِجٰکُمۡ  مِّنۡ اَرۡضِکُمۡ  بِسِحۡرِہِمَا وَ یَذۡہَبَا بِطَرِیۡقَتِکُمُ  الۡمُثۡلٰی ﴿﴾ فَاَجۡمِعُوۡا کَیۡدَکُمۡ  ثُمَّ  ائۡتُوۡا  صَفًّا ۚ وَ  قَدۡ  اَفۡلَحَ  الۡیَوۡمَ  مَنِ  اسۡتَعۡلٰی ﴿﴾ قَالُوۡا یٰمُوۡسٰۤی  اِمَّاۤ  اَنۡ تُلۡقِیَ وَ  اِمَّاۤ  اَنۡ نَّکُوۡنَ  اَوَّلَ  مَنۡ  اَلۡقٰی ﴿﴾  قَالَ بَلۡ اَلۡقُوۡا ۚ فَاِذَا حِبَالُہُمۡ وَ عِصِیُّہُمۡ  یُخَیَّلُ   اِلَیۡہِ مِنۡ سِحۡرِہِمۡ  اَنَّہَا  تَسۡعٰی  ﴿﴾ فَاَوۡجَسَ  فِیۡ  نَفۡسِہٖ  خِیۡفَۃً  مُّوۡسٰی ﴿﴾
Mereka berkata: "Sesung­guhnya  kedua orang ini benar-benar tukang sihir yang hendak  mengusir kamu dari negeri kamu dengan sihir mereka berdua dan menghapuskan cara hidup kamu yang terbaik,  maka himpunlah tipu-daya kamu kemudian datanglah berbaris, dan  sungguh akan berhasil siapa yang unggul pada hari ini."   Mereka (tukang-tukang sihir) berkata: "Ya Musa, apakah engkau yang  akan melempar, ataukah kami yang pertama melempar?"   Ia, Musa,  berkata: “Silakan kamulah yang  mulai melempar.” Maka tiba-tiba tali-tali mereka dan tongkat-tongkat mereka  یُخَیَّلُ   اِلَیۡہِ مِنۡ سِحۡرِہِمۡ  اَنَّہَا  تَسۡعٰی  --  ter­bayang  kepadanya seakan-akan bergerak-gerak dengan cepat  karena sihir mereka. فَاَوۡجَسَ  فِیۡ  نَفۡسِہٖ  خِیۡفَۃً  مُّوۡسٰی  -- maka Musa merasa takut dalam hatinya. (Thā Hā [20]:64-68).
        Ada pun  yang dituduhkan Fir’aun  sebagai   sihir” mengenai Nabi Musa a.s. adalah dua mukjizat  yang sebelumnya diperlihatkan oleh Nabi Musa a.s. di hadapan Fir’aun dan para pembesarnya,  guna mendukung kebenaran pendakwaan beliau dan Nabi Harun a.s. sebagai Rasul Allah, yaitu berupa berubahnya tongkat  yang dlemparkan Nabi Musa a.s. seperti ular  dan putihnya atau bercahayanya kedua tangan Nabi Musa a.s.  setelah dikeluarkan dari kepitan ketiak beliau (QS.7:104-109; 20:18-25; QS.26:24-34; QS.27:8-15; 28:30-43).
  Makna kata thariqah dalam  ucapan Fir’aun selanjutnya  وَ یَذۡہَبَا بِطَرِیۡقَتِکُمُ  الۡمُثۡلٰی  -- “dan menghapuskan cara hidup kamu yang terbaik” berarti, cara hidup; cita-cita; lembaga; adat istiadat (Lexicon Lane).  Dengan demikian jelaslah, bahwa  adanya berbagai macam thariqah itu bukan hanya di kalangan umat beragama saja m – termasuk di kalangan umat Islam -- tetapi berbagai jenis kemusyrikan pun  pada hakikatnya merupakan thariqah  yang menurut para penganutnya sebagai “cara hidup mereka” yang terbaik, dan  menyatakan thariqah-thariqah lainnya sebagai kesesatan.
   Guna mendukung tuduhannya tersebut Fir’aun -- atas saran para pembesarnya (QS.7:110-114; QS.20:64; QS.26:35-36)  -- telah menghadirkan ahli-ahli sihir terbaik di wilayah kekuasaannya.  Ketika pada hari yang disepakati kedua belah pihak  mereka telah saling berhadapan, selanjutnya Allah Swt. berfirman:
قَالُوۡا یٰمُوۡسٰۤی  اِمَّاۤ  اَنۡ تُلۡقِیَ وَ  اِمَّاۤ  اَنۡ نَّکُوۡنَ  اَوَّلَ  مَنۡ  اَلۡقٰی
Mereka (tukang-tukang sihir) berkata: "Ya Musa, apakah engkau yang  akan melempar, ataukah kami yang pertama melempar?"   Ia, Musa,  berkata: “Silakan kamulah yang  mulai melempar.” (Thā Hā [20]:66).

Makna “Rasa Takut” Nabi Musa a.s.

  Jawaban Nabi Musa a.s.   بَلۡ اَلۡقُوۡا  -- “Silakan kamulah yang  mulai melempar.”  Nabi-nabi Allah tidak pernah memulai serangan. Mereka menunggu sampai mereka diserang dan barulah kemudian mereka membela diri. Demikian pula halnya dengan izin berperang bagi umat Islam (QS.22:40-41) karena dalam masalah agama (keimanan) tidak boleh melakukan paksaan dan tindak kekerasan (QS.2:257; QS.10:100; QS.11:119;QS.18:30; QS.76:4).
   Selanjutnya Allah Swt. berfirman  فَاِذَا حِبَالُہُمۡ وَ عِصِیُّہُمۡ  یُخَیَّلُ   اِلَیۡہِ مِنۡ سِحۡرِہِمۡ  اَنَّہَا  تَسۡعٰی  -- “Maka tiba-tiba tali-tali mereka dan tongkat-tongkat mereka  ter­bayang  kepadanya seakan-akan bergerak-gerak dengan cepat  karena sihir mereka.” (Thā Hā [20]:67).
  Tali dan tongkat para tukang sihir  tersebut tidak benar-benar berubah menjadi  benda-benda yang  bergerak-gerak, melainkan   یُخَیَّلُ   اِلَیۡہِ    yakni  terbayang (tampak) dalam khayalan pikiran  Nabi Musa a.s. -- dan orang-orang lain yang hadir saat itu --  seolah­-olah sedang berlari-larian., padahal sebenarnya benda-benda itu tidak berlari-lari.
   Makna ayat selanjutnya   فَاَوۡجَسَ  فِیۡ  نَفۡسِہٖ  خِیۡفَۃً  مُّوۡسٰی   – “maka Musa merasa takut dalam hatinya, Nabi Musa a.s.  tidak takut kepada tali-tali dan tongkat-tongkat para tukang sihir itu, sebab para nabi Allah mempunyai keyakinan yang teguh, kecuali kepada Allah Swt.  mereka tidak pernah takut kepada apa pun. Nabi Musa a.s.  hanya khawatir jangan-jangan orang-orang terperdaya oleh kepandaian tukang-tukang sihir itu --   invisible hand    -- itu.  Selanjutnya Allah Swt. berfirman:
قُلۡنَا لَا  تَخَفۡ اِنَّکَ اَنۡتَ الۡاَعۡلٰی ﴿﴾  وَ اَلۡقِ مَا فِیۡ یَمِیۡنِکَ تَلۡقَفۡ مَا صَنَعُوۡا ؕ اِنَّمَا صَنَعُوۡا کَیۡدُ سٰحِرٍ ؕ وَ لَا  یُفۡلِحُ  السَّاحِرُ  حَیۡثُ  اَتٰی ﴿﴾   فَاُلۡقِیَ السَّحَرَۃُ  سُجَّدًا قَالُوۡۤا  اٰمَنَّا بِرَبِّ ہٰرُوۡنَ  وَ  مُوۡسٰی ﴿﴾
Kami berfirman: "Janganlah engkau takut karena sesungguhnya engkaulah yang paling unggul.  Dan lemparkanlah apa yang ada di tangan kanan engkau, itu akan menelan apa yang mereka buat, sesungguhnya apa yang mereka perbuat adalah tipu-daya tukang sihir, dan tukang sihir tidak akan berhasil dari mana pun ia datang,"  Maka  kesadaran akan kebenaran membuat semua tukang sihir itu menyungkur bersujud, mereka berkata:  Kami beriman kepada Rabb (Tuhan) Harun dan Musa." (Thā Hā [20]:69-71). Lihat pula QS.7:110-127).
   Ayat ini menjadikan peristiwa itu jelas,  bahwa tongkat Nabi Musa a.s.  itulah  -- dan bukan sesuatu benda lain -- yang "menelan"  yakni  melenyapkan “kekuatan khayalan  yang telah ditimbulkan oleh pemusatan  pikiran para tukang sihir serta menggagalkan sihir mereka yang hebat  itu.
 Tongkat Nabi Musa a.s.   yang telah digerakkan oleh kekuatan ruhani yang dimiliki seorang nabi besar dan dilemparkan atas perintah  Allah Swt.,  Tuhan Yang Maha Kuasa,  membongkar penipuan yang para tukang sihir itu yang telah lakukan dengan kepandaiannya terhadap para penonton.

Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar,  10 Juni    2014


Tidak ada komentar:

Posting Komentar