Selasa, 15 Juli 2014

Nubuatan Al-Quran Mengenai Kebangkitan Kembali "Kaum Lain" di Kalangan Umat Islam Sebagai "


 بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم



 
Khazanah Ruhani Surah  Shād


Bab   263

  Nubuatan Al-Quran Mengenai Kebangkitan Kembali   Kaum Lain” di Kalangan  Umat Islam  Sebagai  Pewaris  “Pemelihara” Baitullah dan Tauhid Ilahi

 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

D
alam  akhir Bab sebelumnya   telah dikemukakan mengenai  musuh-musuh  Nabi Besar Muhammad saw., mereka  dalam Surah Al-Kautsar   telah disebut dengan kata-kata tegas bahwa mereka itu abtar (tidak mempunyai anak laki-laki), sedangkan menurut kenyataan sejarah sendiri, semua putra  (anakk laki-laki) beliau saw. --  baik yang dilahirkan sebelum maupun sesudah ayat ini turun -- telah wafat dan beliau  saw. tidak meninggalkan seorang pun putra.
        Hal itu menunjukkan bahwa kata abtar di sini hanya berarti: orang yang tidak mempunyai keturunan ruhani (putra-putra ruhani) dan bukan  anak-anak jasmani seperti biasa dikatakan orang, firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾  اِنَّاۤ  اَعۡطَیۡنٰکَ  الۡکَوۡثَرَ ؕ﴿﴾  فَصَلِّ  لِرَبِّکَ وَ انۡحَرۡ ؕ﴿﴾  اِنَّ شَانِئَکَ ہُوَ الۡاَبۡتَرُ ٪﴿﴾
Aku baca  dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang.   Sesungguhnya Kami  telah  menganugerahkan kepada engkau berlimpah-limpah kebaikan. Maka shalatlah  bagi  Rabb (Tuhan) engkau dan berkorbanlah, اِنَّ شَانِئَکَ ہُوَ الۡاَبۡتَرُ  -- Sesungguhnya musuh engkau, dialah  yang  tanpa keturunan. (Al-Kautsar [108]:1-4). 

“Persaudaraan Ruhani” & Makna Khātaman Nabiyyīn

      Pada hakikatnya, hal ini merupakan rencana Allah  Swt. Sendiri bahwa  Nabi Besar Muhammad saw.   tidak akan meninggalkan anak laki-laki seorang pun, oleh karena beliau telah ditakdirkan menjadi ayah ruhani   dari  berjuta-juta   bahkan milyaran    putra ruhani, sepanjang masa sampai Akhir Zaman – yaitu  putra-putra ruhani  beliau saw. yang akan jauh lebih setia, patuh taat dan penuh cinta daripada putra-putra jasmani ayah mana pun, firman-Nya:
اَلنَّبِیُّ  اَوۡلٰی بِالۡمُؤۡمِنِیۡنَ مِنۡ اَنۡفُسِہِمۡ وَ اَزۡوَاجُہٗۤ  اُمَّہٰتُہُمۡ ؕ وَ اُولُوا الۡاَرۡحَامِ بَعۡضُہُمۡ اَوۡلٰی بِبَعۡضٍ فِیۡ کِتٰبِ اللّٰہِ مِنَ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ وَ الۡمُہٰجِرِیۡنَ  اِلَّاۤ  اَنۡ تَفۡعَلُوۡۤا  اِلٰۤی  اَوۡلِیٰٓئِکُمۡ مَّعۡرُوۡفًا ؕ کَانَ ذٰلِکَ فِی الۡکِتٰبِ مَسۡطُوۡرًا ﴿﴾
Nabi itu lebih dekat kepada orang-orang beriman daripada kepada diri mereka sendiri, dan istri-istrinya adalah ibu-ibu  mereka.  Tetapi menurut Kitab Allah keluarga yang sedarah lebih dekat satu sama  daripada orang-orang beriman  dan orang-orang yang berhijrah,  kecuali jika kamu ber-buat kebaikan terhadap sahabat kamu,  yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab Al-Quran.  (Al-Ahzāb [33]:7).
   Ayat ini menghindarkan kemungkinan timbulnya dua macam tanggapan dari penyalahartian perintah yang terkandung dalam ayat ke-6  sebelumnya, dimana a dalam ayat itu orang-orang beriman dianjurkan supaya memanggil mereka (anak-anak angkat) dengan nama bapak mereka, maka dalam ayat ini  Nabi Besar Muhammad saw.  dengan sendirinya telah disebut bapak orang-orang beriman.
      Ayat sebelumnya membicarakan hubungan darah, tetapi ayat yang sedang dibahas ini, membicarakan hubungan ruhani yang ada antara  Nabi Besar Muhammad saw.  dan orang-orang beriman. Ukhuwah Islamiyah atau persaudaraan dalam Islam yang telah menjelma melalui kebapak-ruhanian Nabi Besar Muhammad saw.  mungkin telah menjuruskan orang-orang kepada salah pengertian, bahwa orang-orang Islam  yang tidak punya hubungan  darah dapat saling mewarisi harta kekayaan masing-masing.
    Ayat ini berikhtiar menghilangkan salah pengertian itu dengan menetapkan, bahwa hanya keluarga yang ada hubungan darah sajalah yang dapat mewarisi satu sama lain, dan bahwa dari keluarga sedarah pun hanya yang mukmin saja yang dapat mewarisi satu sama lain, sedang orang-orang yang kafir telah dicegah dari mewarisi harta keluarga mereka yang beriman.
    Ayat ini pun melenyapkan bentuk persaudaraan yang diadakan antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar, waktu kaum Muhajirin sampai di Medinah, yang menurut perjanjian persaudaraan itu bahkan seorang Muhajir akan mewarisi juga harta yang ditinggalkan seorang Anshar.
Persaudaraan yang tadinya hanya merupakan tindakan sementara dan diambil guna memulihkan kembali keadaan ekonomi  kaum Muhajirin itu, sekarang ditiadakan dan hanya hubungan darah — dan bukan hubungan atas dasar keimanan semata — menjadi faktor penentu dalam menetapkan pembagian warisan dan dalam urusan-urusan kekeluargaan lainnya. Akan tetapi Ukhuwah Islamiyah yang lebih luas berlanjut terus, dan orang-orang Muslim diharapkan memperlakukan satu sama lain seperti saudara (QS.49:11). 
    Jadi, kembali kepada Surah Al-Kautsar,  menurut Allah Swt. bukan Nabi Besar Muhammad saw.   melainkan musuh-musuh beliau saw. lah yang abtar (mati tanpa berketurunan), sebab dengan masuknya putra-putra mereka ke dalam pangkuan Islam    -- contohnya Khalil bin Walid  r.a. dan dua orang saudara laki-lakinya -- mereka itu telah menjadi putra-putra ruhani  Nabi Besar Muhammad saw.,   dan mereka itu merasa malu dan merasa hina, bila asal-usul mereka itu dikaitkan kepada ayah yang melahirkan mereka sendiri.
     Dalam  pengertian inilah makna hakiki gelar Khātaman-Nabiyyīn Nabi Besar Muhammad saw.  dalam melakukan pembelaan  terhadap  kesucian nabi Besar Muhammad saw. yang telah dituduh oleh para pemuka kaum kafir Quraisy telah menikahi “janda” dari anak-angkatnya sendiri, yang menurut mereka  bertentangan dengan adat-istiadat bangsa Arab jahiliyah   karena   menurut mereka  kedudukan    anak-angkat  sama dengan anak kandung (QS.33:5-7)  --yang dibantah Allah Swt. dalam QS.33:6 -- Allah Swt. berfirman kepada  para penuduh yang jahil tersebut:
مَا کَانَ مُحَمَّدٌ اَبَاۤ  اَحَدٍ مِّنۡ رِّجَالِکُمۡ وَ لٰکِنۡ رَّسُوۡلَ اللّٰہِ وَ خَاتَمَ  النَّبِیّٖنَ ؕ وَ  کَانَ اللّٰہُ  بِکُلِّ شَیۡءٍ عَلِیۡمًا ﴿٪﴾
Muhammad bukanlah bapak salah seorang laki-laki di antara laki-laki  kamu,  وَ لٰکِنۡ رَّسُوۡلَ اللّٰہِ    -- akan tetapi ia adalah Rasul Allah, وَ خَاتَمَ  النَّبِیّٖنَ  --  dan meterai sekalian nabi,  dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Al-Ahzāb [33]:41).

Kebangkitan “Kaum Lain” di Kalangan Umat Islam

        Dalam  kedudukan “Bapak ruhani” Nabi Besar Muhammad saw. sebagai Rasul Allah yang bergelar Khātaman-Nabiyyīn tersebut terkandung nubuatan, bahwa apabila umat Islam dari kalangan Bani Ismail  di Timur Tengah  kemudian melakukan langkah-langkah kedurhakaan yang sama dengan Bani Israil, sesuai dengan Sunnatullah maka nikmat kenabian (QS.4:70) dan pemeliharaan Ka’bah (Baitullah) pun, Insya Allah, akan diwariskan Allah Swt. kepada “kaum lain” dari kalangan umat Islam.
        Kenapa demikian?   Sebab dalam kenyataannya ketika Nabi Besar Muhammad saw.  diangkat sebagai Rasul Allah di kalangan Bani Ismail  -- sesuai dengan doa Nabi Ibrahim a.s. (QS.2:28-30) –  mereka    menentang  keras Nabi Besar Muhammad saw., bahkan berusaha untuk membunuh beliau saw. (QS.8:31),  karena itu sangat  wajar jika kemudian Allah Swt. akan membangkitkan “kaum  lain” dari kalangan umat Islam, bukan saja sebagai “khalifah” (pengganti/penerus) mereka,   tetapi juga  akan menjadi “pewaris” amanat Allah Swt. mengenai tugas  pemeliharaanKa’bah (Baitullah), tanpa melakukan diskriminasi terhadap siapa pun yang akan melaksanakan kewajiban ibadah haji  ke Baitullah  di Makkah  memenuhi “panggilan” Allah Swt. melalui Nabi Ibrahim a.s. (QS.22:28-34),  firman-Nya:

یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا مَنۡ یَّرۡتَدَّ مِنۡکُمۡ عَنۡ دِیۡنِہٖ فَسَوۡفَ یَاۡتِی اللّٰہُ بِقَوۡمٍ یُّحِبُّہُمۡ وَ یُحِبُّوۡنَہٗۤ ۙ اَذِلَّۃٍ عَلَی الۡمُؤۡمِنِیۡنَ اَعِزَّۃٍ عَلَی الۡکٰفِرِیۡنَ ۫ یُجَاہِدُوۡنَ فِیۡ سَبِیۡلِ اللّٰہِ وَ لَا  یَخَافُوۡنَ لَوۡمَۃَ لَآئِمٍ ؕ ذٰلِکَ فَضۡلُ اللّٰہِ یُؤۡتِیۡہِ مَنۡ  یَّشَآءُ ؕ وَ اللّٰہُ  وَاسِعٌ  عَلِیۡمٌ ﴿﴾  اِنَّمَا وَلِیُّکُمُ اللّٰہُ وَ رَسُوۡلُہٗ وَ الَّذِیۡنَ اٰمَنُوا الَّذِیۡنَ یُقِیۡمُوۡنَ الصَّلٰوۃَ وَ یُؤۡتُوۡنَ  الزَّکٰوۃَ  وَ ہُمۡ  رٰکِعُوۡنَ ﴿﴾  وَ مَنۡ یَّتَوَلَّ اللّٰہَ وَ رَسُوۡلَہٗ وَ الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا فَاِنَّ حِزۡبَ اللّٰہِ ہُمُ الۡغٰلِبُوۡنَ ﴿٪﴾
Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu  murtad dari agamanya maka Allah segera akan mendatangkan suatu kaum, Dia akan mencintai mereka dan mereka pun akan mencintai-Nya, mereka akan bersikap lemah-lembut terhadap  orang-orang beriman  dan keras terhadap orang-orang kafir. Mereka akan berjuang di jalan Allah dan tidak takut akan celaan seorang pencela. Itulah karunia Allah, Dia memberikannya kepada siapa yang Dia kehendaki dan Allah Maha Luas karunia-Nya, Maha Mengetahui. Sesungguhnya pelindung kamu adalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman yang senantiasa mendirikan shalat dan membayar zakat dan mereka taat kepada Allah. Dan barangsiapa menjadikan Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman sebagai pelindung (sahabat), فَاِنَّ حِزۡبَ اللّٰہِ ہُمُ الۡغٰلِبُوۡنَ  -- maka  sesungguhnya   jamaat Allah pasti menang. (Al-Maidah [5]:55-57). 
      Berikut firman-Nya lagi mengenai akan dibangkitkan-Nya “kaum lain” dari kalangan umat Islam, yang pada hakikatnya merupakan pengutusan kedua kali Nabi Besar Muhammad saw. secara ruhani di Akhir Zaman ini dalam wujud Rasul Akhir Zaman:
ہُوَ الَّذِیۡ  بَعَثَ فِی  الۡاُمِّیّٖنَ  رَسُوۡلًا مِّنۡہُمۡ  یَتۡلُوۡا عَلَیۡہِمۡ  اٰیٰتِہٖ  وَ  یُزَکِّیۡہِمۡ وَ  یُعَلِّمُہُمُ  الۡکِتٰبَ وَ  الۡحِکۡمَۃَ ٭ وَ  اِنۡ کَانُوۡا مِنۡ  قَبۡلُ  لَفِیۡ ضَلٰلٍ  مُّبِیۡنٍ ۙ﴿﴾       وَّ اٰخَرِیۡنَ مِنۡہُمۡ  لَمَّا یَلۡحَقُوۡا بِہِمۡ ؕ وَ ہُوَ  الۡعَزِیۡزُ  الۡحَکِیۡمُ ﴿﴾  ذٰلِکَ فَضۡلُ اللّٰہِ یُؤۡتِیۡہِ مَنۡ یَّشَآءُ ؕ وَ اللّٰہُ  ذُو الۡفَضۡلِ الۡعَظِیۡمِ ﴿﴾
Dia-lah Yang telah membangkitkan di kalangan bangsa yang buta huruf seorang rasul dari antara mereka, yang membacakan kepada mereka Tanda-tanda-Nya, mensucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah walaupun sebelumnya mereka berada dalam kesesatan yang nyata, وَّ اٰخَرِیۡنَ مِنۡہُمۡ  لَمَّا یَلۡحَقُوۡا بِہِمۡ  --  dan juga Dia akan membangkitkannya pada kaum lain dari antara mereka, yang belum bertemu dengan mereka, وَ ہُوَ  الۡعَزِیۡزُ  الۡحَکِیۡمُ  --   dan Dia-lah Yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana.  Itulah karunia Allah, Dia menganugerahkannya kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah mempunyai karunia yang besar. (Al-Jumu’ah [63]:3-5).

Merebaknya  Kembali “Kejahiliyah” dan “Kemusyrikan” di Timur Tengah &  Berbagai Manfaat Besar Dalam    Ibadah Haji

        Keadaan perpecahan hebat yang terjadi saat ini di kalangan umat Islam Bani Isma’il di Timur Tengah membuktikan,  bahwa pada hakikatnya berbagai bentuk “kejahiliyah  dan  kemusyrikan” telah kembali muncul di sana,  karena  perintah Allah Swt.  kepada umat Islam untuk  berpegang teguh pada “tali Allah” tidak mereka laksanakan (QS.3:103-110), sebab  mereka  lebih suka berpecah-belah  dan berperang seperti qabilah-qabilah bangsa Arab di masa jahiliyah, yang menurut Al-Quran merupakan “kemusyrikan   (QS.30:31-33) sebab  sebab “kemusyrikan” identik dengan “keterpecah-belahan  dan perselisihan umat” (QS.3:106; QS.6:160; QS.8:47), sehingga menghadapi negara zionis Israel  yang sangat kecil pun  negara-negara Islam di Timur Tengah    tidak berdaya terhadap  sikap  arogan penerus Bani Israil tersebut.
       Perlu diketahui, bahwa tanpa  kembali berpegang-teguh pada “tali Allah” – yakni Al-Quran dan Sunnah Nabi Besar Muhammad saw.” (QS.4:60) --  maka  kesatuan dan persatuan umat” di kalangan umat Islam mustahil akan terwujud, sebab perselisihan dan pertentangan akan menimbulkan  perpecahan umat yang membuat kekuatan umat Islam menjadi lemah (QS.8:47).
         Demikian juga selama umat Islam tidak memiliki satu pimpinan ruhani  yang diangkat Allah Swt.  sebagai khalifah ruhani Nabi Besar Muhammad saw. di Akhir Zaman ini yang bersifat internasional  (QS.61:10)  -- seperti Allah Swt. sebelumnya telah menjadikan Adam sebagai Khalifah-Nya (QS.2:31-35)  -- maka selama itu pula berbagai upaya untuk kembali kepada Al-Quran dan Sunnah Nabi Besar Muhammad saw.  sulit dilaksanakan,  karena setiap golongan Islam akan tetap terjerumus ke dalam perselisihan pendapat mengenai Al-Quran dan Sunnah Nabi Besar Muhammad saw. itu sendiri  dan  setiap golongan (firqah) Islam akan bertahan  pada ijtihad yang mereka  sendiri  yang tanpa bimbingan wahyu Ilahi (QS.30:31-33).
         Bukti lainnya bahwa  umat Islam Bani Isma’il di Timur Tengah  telah terjerumus ke dalam berbagai  bentuk  kejahiliyah  dan  kemusyrikan”  terselubung adalah tidak berfungsinya tujuan utama melaksanakan ibadah haji sebagaimana yang diperintahkan Allah Swt. melalui Nabi Ibrahim a.s., firman-Nya:
وَ اِذۡ بَوَّاۡنَا لِاِبۡرٰہِیۡمَ مَکَانَ الۡبَیۡتِ اَنۡ لَّا تُشۡرِکۡ بِیۡ شَیۡئًا وَّ طَہِّرۡ بَیۡتِیَ لِلطَّآئِفِیۡنَ وَ الۡقَآئِمِیۡنَ وَ الرُّکَّعِ السُّجُوۡدِ ﴿﴾
Dan ingatlah ketika Kami menempatkan    Ibrahim di tempat  rumah  Allah dan berfirman: “Janganlah mempersekutukan Aku dengan sesuatu, dan  bersihkanlah rumah-Ku  bagi orang-orang yang thawaf,  yang berdiri tegak dan orang-orang yang rukuk  serta sujud. (Al-Hajj [22]:27). Lihat pula QS.2:126.
        Ayat ini menunjukkan bahwa tempat letaknya Ka’bah telah ada, lama sebelum zaman Nabi Ibrahim a.s.  Pada hakikatnya Ka’bah didirikan oleh Nabi Adam a.s.. Ka’bah itu rumah peribadatan pertama yang dibangun di dunia (QS.3:97). Kira-kira pada masa Nabi Ibrahim a.s.  rumah Allah (Baitullah) itu telah menjadi puing, dan letaknya beliau telah diberitahu  melalui wahyu, beliau dan putra beliau, Nabi Isma’il  a.s. -- yaitu leluhur Nabi Besar Muhammad saw. --  membangunnya kembali (QS.2:128-30). 
        Ka’bah telah disebut dalam Al-Quran dengan berbagai nama, ialah Baitī (“Rumah-Ku” - QS.2:126 dan QS.22:27). Baitul-muharram (“Rumah Suci” - QS.14:38), Masjidilharam  - QS.2:151). Albait (“Rumah itu” - QS.2:128, 159; QS.3:98; QS.8:36; 22: 27); Baitul-’atiq   (“Rumah Kuno” - QS.22:30, 34), dan Baitul-ma’mur (“Rumah yang ramai dikunjungi” -  QS.52:5). Semua nama berlain-lainan itu mengisyaratkan kepada kemuliaan Ka’bah, sebagai pusat peribadatan yang terbesar bagi umat manusia.

Makna Perintah “Mensucikan” Baitullah dari Kekotoran Syirik  & Makna Thawaf  di Baitullah

         Kata-kata وَّ طَہِّرۡ بَیۡتِیَ  --    dan bersihkanlah rumah-Ku mengandung suatu perintah dan juga suatu nubuatan. Perintah itu yaitu bahwa Ka’bah tidak boleh dikotori dengan penyembahan berhala (syirik),  karena ia didirikan guna beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa, sedang nubuatan itu terletak dalam kenyataan, bahwa perintah itu akan dilanggar, dan Rumah Allah itu akan menjadi rumah berhala, tetapi pada akhirnya  melalui pengutusan Nabi Besar Muhammad saw.  (QS.2:130) sama sekali dibersihkan dari berhala-berhala itu (QS.17:82; QS.21:19; QS.45:50).
        Ayat ini berperan sebagai pengantar kepada masalah haji yang merupakan inti Surah Al-Hajj. Mengadakan thawaf di sekitar Masjidilharam (Ka’bah) adalah upacara paling penting dalam ibadah haji, karena itu isyarat singkat kepada pentingnya kesucian Ka’bah merupakan pengantar yang tepat kepada masalah hajji.
        Makna lain   yang terkandung dalam firman-Nya    اَنۡ لَّا تُشۡرِکۡ بِیۡ شَیۡئًا  --  Janganlah mempersekutukan Aku dengan sesuatu,” dan hubungannya dengan  وَّ طَہِّرۡ بَیۡتِیَ  -- “dan bersihkanlah rumah-Ku” adalah bahwa pada hakikatnya kemusyrikan (syirik) itu mengotorkan hati (jiwa) manusia,  karena  Ka’bah (Baitullah) yang letaknya berada di lembah Bakkah (Mekkah – QS.3:97) merupakan kiasan dari qalbu (hati) atau ruh (jiwa) yang berada dalam tubuh manusia   yang  di dalam qalbu tersebut Allah Swt. telah menanamkan Tauhid Ilahi, firman-Nya:
وَ اِذۡ اَخَذَ رَبُّکَ مِنۡۢ بَنِیۡۤ اٰدَمَ مِنۡ ظُہُوۡرِہِمۡ ذُرِّیَّتَہُمۡ وَ اَشۡہَدَہُمۡ عَلٰۤی اَنۡفُسِہِمۡ ۚ اَلَسۡتُ بِرَبِّکُمۡ ؕ قَالُوۡا بَلٰی ۚۛ شَہِدۡنَا ۚۛ اَنۡ تَقُوۡلُوۡا یَوۡمَ  الۡقِیٰمَۃِ  اِنَّا کُنَّا عَنۡ  ہٰذَا غٰفِلِیۡنَ ﴿﴾ۙ  اَوۡ تَقُوۡلُوۡۤا  اِنَّمَاۤ  اَشۡرَکَ  اٰبَآؤُنَا مِنۡ  قَبۡلُ وَ کُنَّا ذُرِّیَّۃً مِّنۡۢ بَعۡدِہِمۡ ۚ اَفَتُہۡلِکُنَا بِمَا فَعَلَ الۡمُبۡطِلُوۡنَ﴿﴾ وَ کَذٰلِکَ نُفَصِّلُ الۡاٰیٰتِ وَ لَعَلَّہُمۡ یَرۡجِعُوۡنَ ﴿﴾
Dan ingatlah ketika Rabb (Tuhan) engkau mengambil  kesaksian dari  bani (keturunan) Adam  yakni   dari sulbi  keturunan  mereka serta menjadikan mereka saksi atas dirinya sendiri  sambil berfirman:  اَلَسۡتُ بِرَبِّکُمۡ   -- ”Bukankah Aku Tuhan kamu?”  قَالُوۡا بَلٰی ۚۛ شَہِدۡنَا  -- Mereka berkata: “Ya benar, kami menjadi saksi.” Hal  itu supaya  kamu tidak berkata pada Hari Kiamat:   اِنَّا کُنَّا عَنۡ  ہٰذَا غٰفِلِیۡنَ  -- “Sesungguhnya kami  benar-benar lengah dari hal ini.  Atau kamu mengatakan:  اِنَّمَاۤ  اَشۡرَکَ  اٰبَآؤُنَا مِنۡ  قَبۡلُ وَ کُنَّا ذُرِّیَّۃً مِّنۡۢ بَعۡدِہِمۡ   --  “Sesungguhnya bapak-bapak kami dahulu yang berbuat syirik, sedangkan kami hanyalah keturunan sesudah mereka.  اَفَتُہۡلِکُنَا بِمَا فَعَلَ الۡمُبۡطِلُوۡنَ  -- Apakah Engkau akan membinasakan kami karena apa yang telah  dikerjakan oleh orang-orang yang  berbuat batil itu?”  Dan demikianlah Kami men-jelaskan Tanda-tanda itu  dan supaya mereka kembali kepada yang haq. (Al-A’rāf [7]:173-175).
         Makna ayat selanjutnya    لِلطَّآئِفِیۡنَ  -- bagi orang-orang yang thawaf (QS.22:27). Menurut bahasa kata thawaf adalah bentuk jamak dari kata thaif, artinya “orang yang berthawaf  (berputar-putar) di sekeliling Baitul Haram (Ka’bah). Menurut istilah: mengelilingi Ka’bah sebanyak 7 kali putaran, di mana tiga kali pertama dengan lari-lari kecil (jika mungkin) dan selanjutnya dengan berjalan biasa yang arahnya berlawanan dengan arah jarum jam. Thawaf dimulai dan berakhir di Hajar Aswad (tempat batu hitam) dengan menjadikan Baitullah di sebelah kiri.
        Maknanya adalah bahwa manusia  selama hidupnya  dalam melaksanakan berbagai aktivitas kehidupannya   harus bergerak     — yakni  berthawaf  (berkeliling-keliling) di sekitar Tauhid Ilahi,   karena   7  (tujuh) dalam bahasa Arab melambangkan jumlah yang tidak terbatas.
         Ada pun makna  وَ الۡقَآئِمِیۡنَ   -- yang berdiri tegak (QS.22:27) melambangkan orang-orang yang sebelumnya berada pada tahap “thawaf” (bekeliling-keliling) di sekitar “Tauhid Ilahi” kemudian menjadi orang-orang telah berdiri tegak (teguh)  di atas Tauhid Ilahi, firman-Nya:
اِنَّ  الَّذِیۡنَ قَالُوۡا رَبُّنَا اللّٰہُ  ثُمَّ اسۡتَقَامُوۡا تَتَنَزَّلُ عَلَیۡہِمُ الۡمَلٰٓئِکَۃُ  اَلَّا تَخَافُوۡا وَ لَا تَحۡزَنُوۡا وَ اَبۡشِرُوۡا بِالۡجَنَّۃِ  الَّتِیۡ  کُنۡتُمۡ تُوۡعَدُوۡنَ ﴿﴾  نَحۡنُ اَوۡلِیٰٓؤُکُمۡ فِی الۡحَیٰوۃِ  الدُّنۡیَا وَ فِی الۡاٰخِرَۃِ ۚ وَ لَکُمۡ فِیۡہَا مَا تَشۡتَہِیۡۤ اَنۡفُسُکُمۡ وَ لَکُمۡ فِیۡہَا مَا تَدَّعُوۡنَ ﴿ؕ﴾  نُزُلًا  مِّنۡ غَفُوۡرٍ  رَّحِیۡمٍ ﴿٪﴾
Sesungguhnya orang-orang yang berkata: ” Rabb (Tuhan) kami Allah,” ثُمَّ اسۡتَقَامُوۡ  -- kemudian mereka teguh,  kepada mereka turun  malaikat-malaikat seraya berkata: Janganlah kamu takut, dan jangan pula bersedih, dan bergem-biralah  kamu dengan surga yang telah dijanjikan kepada kamu.   نَحۡنُ اَوۡلِیٰٓؤُکُمۡ فِی الۡحَیٰوۃِ  الدُّنۡیَا وَ فِی الۡاٰخِرَۃِ  -- Kami adalah teman-teman kamu di dalam kehidupan dunia dan di akhirat. وَ لَکُمۡ فِیۡہَا مَا تَشۡتَہِیۡۤ اَنۡفُسُکُمۡ    -- dan bagi  kamu di dalamnya apa yang diinginkan diri kamu,  وَ لَکُمۡ فِیۡہَا مَا تَدَّعُوۡنَ --  dan bagi kamu di dalamnya apa yang kamu minta.  نُزُلًا  مِّنۡ غَفُوۡرٍ  رَّحِیۡمٍ   -- sebagai hidangan dari Tuhan Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (  Mīm  - As-Sajdah (Al-Fushshilat – 41):31-33). Lihat pula QS.46:14-15.


(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar,  19 Juni    2014



Tidak ada komentar:

Posting Komentar