بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم
Khazanah Ruhani Surah Shād
Bab 263
Nubuatan Al-Quran Mengenai
Kebangkitan Kembali “Kaum Lain” di Kalangan Umat Islam
Sebagai Pewaris “Pemelihara” Baitullah dan Tauhid Ilahi
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam akhir Bab
sebelumnya telah dikemukakan
mengenai musuh-musuh Nabi Besar
Muhammad saw., mereka dalam Surah Al-Kautsar telah
disebut dengan kata-kata tegas bahwa mereka itu abtar (tidak mempunyai
anak laki-laki), sedangkan menurut kenyataan sejarah sendiri, semua putra
(anakk laki-laki) beliau saw. --
baik yang dilahirkan sebelum maupun sesudah ayat ini turun -- telah wafat dan beliau saw. tidak meninggalkan seorang pun putra.
Hal itu
menunjukkan bahwa kata abtar di sini hanya berarti: orang yang tidak
mempunyai keturunan ruhani
(putra-putra ruhani) dan bukan anak-anak jasmani seperti biasa dikatakan
orang, firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾ اِنَّاۤ
اَعۡطَیۡنٰکَ الۡکَوۡثَرَ ؕ﴿﴾ فَصَلِّ لِرَبِّکَ
وَ انۡحَرۡ ؕ﴿﴾ اِنَّ
شَانِئَکَ ہُوَ الۡاَبۡتَرُ ٪﴿﴾
Aku baca dengan nama Allah, Maha
Pemurah, Maha Penyayang. Sesungguhnya Kami telah menganugerahkan kepada engkau berlimpah-limpah
kebaikan. Maka shalatlah bagi
Rabb (Tuhan) engkau dan berkorbanlah,
اِنَّ شَانِئَکَ ہُوَ الۡاَبۡتَرُ -- Sesungguhnya musuh engkau, dialah yang tanpa keturunan. (Al-Kautsar
[108]:1-4).
“Persaudaraan
Ruhani” & Makna Khātaman Nabiyyīn
Pada hakikatnya, hal ini merupakan rencana
Allah Swt. Sendiri bahwa Nabi Besar Muhammad saw. tidak akan meninggalkan anak laki-laki seorang pun, oleh karena
beliau telah ditakdirkan menjadi ayah
ruhani dari berjuta-juta bahkan milyaran putra
ruhani, sepanjang masa sampai Akhir
Zaman – yaitu putra-putra ruhani beliau
saw. yang akan jauh lebih setia, patuh taat dan penuh cinta daripada putra-putra jasmani ayah
mana pun, firman-Nya:
اَلنَّبِیُّ اَوۡلٰی بِالۡمُؤۡمِنِیۡنَ مِنۡ اَنۡفُسِہِمۡ
وَ اَزۡوَاجُہٗۤ اُمَّہٰتُہُمۡ ؕ وَ
اُولُوا الۡاَرۡحَامِ بَعۡضُہُمۡ اَوۡلٰی بِبَعۡضٍ فِیۡ کِتٰبِ اللّٰہِ مِنَ
الۡمُؤۡمِنِیۡنَ وَ الۡمُہٰجِرِیۡنَ
اِلَّاۤ اَنۡ تَفۡعَلُوۡۤا اِلٰۤی
اَوۡلِیٰٓئِکُمۡ مَّعۡرُوۡفًا ؕ کَانَ ذٰلِکَ فِی الۡکِتٰبِ مَسۡطُوۡرًا ﴿﴾
Nabi
itu lebih dekat
kepada orang-orang beriman daripada
kepada diri mereka sendiri, dan istri-istrinya
adalah ibu-ibu mereka. Tetapi menurut Kitab Allah keluarga yang sedarah lebih dekat satu sama daripada orang-orang
beriman dan orang-orang yang berhijrah, kecuali jika
kamu ber-buat kebaikan terhadap sahabat kamu, yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab Al-Quran. (Al-Ahzāb [33]:7).
Ayat ini
menghindarkan kemungkinan timbulnya dua macam tanggapan dari penyalahartian perintah yang terkandung
dalam ayat ke-6 sebelumnya, dimana a
dalam ayat itu orang-orang beriman dianjurkan supaya memanggil mereka (anak-anak angkat) dengan nama bapak
mereka, maka dalam ayat ini
Nabi Besar Muhammad saw. dengan
sendirinya telah disebut bapak
orang-orang beriman.
Ayat sebelumnya
membicarakan hubungan darah, tetapi ayat yang sedang dibahas ini, membicarakan
hubungan ruhani yang ada antara Nabi Besar Muhammad saw. dan
orang-orang beriman. Ukhuwah Islamiyah atau persaudaraan dalam Islam yang telah menjelma melalui kebapak-ruhanian Nabi Besar Muhammad
saw. mungkin telah
menjuruskan orang-orang kepada salah
pengertian, bahwa orang-orang Islam yang tidak punya hubungan darah dapat saling mewarisi harta kekayaan
masing-masing.
Ayat ini berikhtiar menghilangkan salah
pengertian itu dengan menetapkan, bahwa hanya keluarga yang ada hubungan
darah sajalah yang dapat mewarisi
satu sama lain, dan bahwa dari keluarga
sedarah pun hanya yang mukmin
saja yang dapat mewarisi satu sama
lain, sedang orang-orang yang kafir
telah dicegah dari mewarisi harta keluarga mereka yang beriman.
Ayat ini pun melenyapkan bentuk persaudaraan
yang diadakan antara kaum Muhajirin
dan kaum Anshar, waktu kaum Muhajirin sampai di Medinah, yang
menurut perjanjian persaudaraan itu
bahkan seorang Muhajir akan mewarisi juga harta yang ditinggalkan seorang Anshar.
Persaudaraan yang tadinya hanya merupakan tindakan sementara dan diambil guna memulihkan kembali keadaan ekonomi kaum Muhajirin
itu, sekarang ditiadakan dan hanya hubungan
darah — dan bukan hubungan atas dasar keimanan
semata — menjadi faktor penentu dalam menetapkan pembagian warisan dan dalam urusan-urusan kekeluargaan
lainnya. Akan tetapi Ukhuwah Islamiyah yang lebih luas berlanjut terus,
dan orang-orang Muslim diharapkan memperlakukan satu sama lain seperti saudara (QS.49:11).
Jadi, kembali kepada Surah Al-Kautsar, menurut Allah Swt. bukan Nabi Besar Muhammad
saw. melainkan musuh-musuh beliau saw. lah yang abtar (mati tanpa berketurunan), sebab
dengan masuknya putra-putra mereka ke
dalam pangkuan Islam -- contohnya Khalil bin Walid r.a. dan
dua orang saudara laki-lakinya -- mereka itu telah menjadi putra-putra ruhani Nabi
Besar Muhammad saw., dan mereka itu merasa malu dan merasa hina, bila asal-usul
mereka itu dikaitkan kepada ayah yang melahirkan mereka sendiri.
Dalam pengertian inilah makna hakiki gelar Khātaman-Nabiyyīn Nabi Besar Muhammad saw. dalam melakukan pembelaan terhadap kesucian
nabi Besar Muhammad saw. yang telah dituduh
oleh para pemuka kaum kafir Quraisy telah menikahi “janda” dari anak-angkatnya
sendiri, yang menurut mereka bertentangan dengan adat-istiadat bangsa Arab
jahiliyah karena menurut mereka kedudukan
anak-angkat sama dengan anak kandung (QS.33:5-7)
--yang dibantah Allah Swt. dalam QS.33:6 -- Allah Swt. berfirman
kepada para penuduh yang jahil tersebut:
مَا کَانَ مُحَمَّدٌ اَبَاۤ اَحَدٍ مِّنۡ رِّجَالِکُمۡ وَ لٰکِنۡ رَّسُوۡلَ
اللّٰہِ وَ خَاتَمَ النَّبِیّٖنَ ؕ
وَ کَانَ اللّٰہُ بِکُلِّ شَیۡءٍ عَلِیۡمًا ﴿٪﴾
Muhammad bukanlah bapak
salah seorang laki-laki di antara laki-laki kamu,
وَ لٰکِنۡ
رَّسُوۡلَ اللّٰہِ --
akan tetapi ia adalah Rasul Allah,
وَ خَاتَمَ
النَّبِیّٖنَ -- dan meterai
sekalian nabi, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Al-Ahzāb
[33]:41).
Kebangkitan “Kaum Lain” di Kalangan Umat Islam
Dalam kedudukan “Bapak ruhani” Nabi Besar Muhammad saw. sebagai Rasul Allah yang bergelar Khātaman-Nabiyyīn
tersebut terkandung nubuatan, bahwa
apabila umat Islam dari kalangan Bani Ismail di Timur Tengah kemudian melakukan langkah-langkah kedurhakaan yang sama dengan Bani Israil, sesuai dengan Sunnatullah
maka nikmat kenabian (QS.4:70) dan
pemeliharaan Ka’bah (Baitullah) pun, Insya Allah, akan diwariskan Allah Swt. kepada “kaum
lain” dari kalangan umat Islam.
Kenapa
demikian? Sebab dalam kenyataannya
ketika Nabi Besar Muhammad saw. diangkat sebagai Rasul Allah di kalangan Bani
Ismail -- sesuai dengan doa Nabi Ibrahim a.s. (QS.2:28-30)
– mereka menentang keras Nabi Besar Muhammad saw., bahkan
berusaha untuk membunuh beliau saw.
(QS.8:31), karena itu sangat wajar
jika kemudian Allah Swt. akan membangkitkan “kaum lain” dari kalangan umat Islam, bukan saja sebagai “khalifah” (pengganti/penerus)
mereka, tetapi juga akan menjadi “pewaris” amanat Allah Swt. mengenai tugas
“pemeliharaan” Ka’bah (Baitullah), tanpa melakukan diskriminasi terhadap siapa pun yang akan melaksanakan kewajiban ibadah haji ke Baitullah di Makkah
memenuhi “panggilan” Allah
Swt. melalui Nabi Ibrahim a.s. (QS.22:28-34),
firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا مَنۡ یَّرۡتَدَّ مِنۡکُمۡ
عَنۡ دِیۡنِہٖ فَسَوۡفَ یَاۡتِی اللّٰہُ بِقَوۡمٍ یُّحِبُّہُمۡ وَ یُحِبُّوۡنَہٗۤ
ۙ اَذِلَّۃٍ عَلَی الۡمُؤۡمِنِیۡنَ اَعِزَّۃٍ عَلَی الۡکٰفِرِیۡنَ ۫ یُجَاہِدُوۡنَ
فِیۡ سَبِیۡلِ اللّٰہِ وَ لَا یَخَافُوۡنَ
لَوۡمَۃَ لَآئِمٍ ؕ ذٰلِکَ فَضۡلُ اللّٰہِ یُؤۡتِیۡہِ مَنۡ یَّشَآءُ ؕ وَ اللّٰہُ وَاسِعٌ
عَلِیۡمٌ ﴿﴾ اِنَّمَا
وَلِیُّکُمُ اللّٰہُ وَ رَسُوۡلُہٗ وَ الَّذِیۡنَ اٰمَنُوا الَّذِیۡنَ
یُقِیۡمُوۡنَ الصَّلٰوۃَ وَ یُؤۡتُوۡنَ
الزَّکٰوۃَ وَ ہُمۡ رٰکِعُوۡنَ ﴿﴾ وَ مَنۡ یَّتَوَلَّ اللّٰہَ وَ رَسُوۡلَہٗ وَ الَّذِیۡنَ
اٰمَنُوۡا فَاِنَّ حِزۡبَ اللّٰہِ ہُمُ الۡغٰلِبُوۡنَ ﴿٪﴾
Hai orang-orang
yang beriman, barangsiapa di antara
kamu murtad dari
agamanya maka Allah segera akan
mendatangkan suatu kaum, Dia akan mencintai mereka dan mereka pun akan
mencintai-Nya, mereka akan bersikap
lemah-lembut terhadap orang-orang
beriman dan keras terhadap orang-orang kafir. Mereka akan berjuang di jalan Allah dan tidak takut akan celaan seorang pencela. Itulah karunia Allah, Dia memberikannya kepada siapa yang Dia kehendaki dan Allah Maha Luas karunia-Nya, Maha Mengetahui. Sesungguhnya pelindung kamu adalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman yang senantiasa
mendirikan shalat dan membayar zakat
dan mereka taat kepada Allah.
Dan barangsiapa menjadikan Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman sebagai pelindung (sahabat), فَاِنَّ حِزۡبَ اللّٰہِ ہُمُ الۡغٰلِبُوۡنَ -- maka
sesungguhnya jamaat Allah pasti menang. (Al-Maidah
[5]:55-57).
Berikut
firman-Nya lagi mengenai akan dibangkitkan-Nya “kaum lain” dari kalangan umat
Islam, yang pada hakikatnya merupakan pengutusan
kedua kali Nabi Besar Muhammad saw. secara
ruhani di Akhir Zaman ini dalam
wujud Rasul Akhir Zaman:
ہُوَ الَّذِیۡ بَعَثَ فِی
الۡاُمِّیّٖنَ رَسُوۡلًا
مِّنۡہُمۡ یَتۡلُوۡا عَلَیۡہِمۡ اٰیٰتِہٖ
وَ یُزَکِّیۡہِمۡ وَ یُعَلِّمُہُمُ
الۡکِتٰبَ وَ الۡحِکۡمَۃَ ٭
وَ اِنۡ کَانُوۡا مِنۡ قَبۡلُ
لَفِیۡ ضَلٰلٍ مُّبِیۡنٍ ۙ﴿﴾ وَّ اٰخَرِیۡنَ مِنۡہُمۡ لَمَّا یَلۡحَقُوۡا بِہِمۡ ؕ وَ ہُوَ الۡعَزِیۡزُ
الۡحَکِیۡمُ ﴿﴾ ذٰلِکَ فَضۡلُ
اللّٰہِ یُؤۡتِیۡہِ مَنۡ یَّشَآءُ ؕ وَ اللّٰہُ
ذُو الۡفَضۡلِ الۡعَظِیۡمِ ﴿﴾
Dia-lah Yang telah
membangkitkan di kalangan bangsa yang buta huruf seorang rasul dari antara mereka, yang membacakan kepada mereka Tanda-tanda-Nya, mensucikan mereka, dan mengajarkan
kepada mereka Kitab dan Hikmah
walaupun sebelumnya mereka berada
dalam kesesatan yang nyata, وَّ اٰخَرِیۡنَ مِنۡہُمۡ لَمَّا یَلۡحَقُوۡا بِہِمۡ -- dan juga Dia akan membangkitkannya pada kaum lain dari antara mereka, yang
belum bertemu dengan mereka, وَ ہُوَ الۡعَزِیۡزُ
الۡحَکِیۡمُ -- dan Dia-lah
Yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana. Itulah karunia
Allah, Dia menganugerahkannya kepada
siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah
mempunyai karunia yang besar. (Al-Jumu’ah
[63]:3-5).
Merebaknya Kembali “Kejahiliyah”
dan “Kemusyrikan” di Timur Tengah
& Berbagai Manfaat Besar Dalam Ibadah
Haji
Keadaan perpecahan hebat yang terjadi saat ini
di kalangan umat Islam Bani Isma’il
di Timur Tengah membuktikan, bahwa pada
hakikatnya berbagai bentuk “kejahiliyah” dan “kemusyrikan” telah kembali muncul di
sana, karena perintah
Allah Swt. kepada umat Islam untuk berpegang teguh pada “tali Allah” tidak mereka laksanakan (QS.3:103-110), sebab mereka
lebih suka berpecah-belah dan berperang
seperti qabilah-qabilah bangsa Arab
di masa jahiliyah, yang menurut
Al-Quran merupakan “kemusyrikan” (QS.30:31-33) sebab sebab “kemusyrikan”
identik dengan “keterpecah-belahan dan perselisihan
umat” (QS.3:106; QS.6:160; QS.8:47), sehingga menghadapi negara zionis Israel yang sangat kecil pun negara-negara
Islam di Timur Tengah tidak berdaya terhadap sikap arogan penerus Bani Israil tersebut.
Perlu
diketahui, bahwa tanpa kembali berpegang-teguh pada “tali Allah” – yakni Al-Quran dan Sunnah Nabi
Besar Muhammad saw.” (QS.4:60) --
maka “kesatuan dan persatuan umat”
di kalangan umat Islam mustahil akan
terwujud, sebab perselisihan dan pertentangan akan menimbulkan perpecahan
umat yang membuat kekuatan umat
Islam menjadi lemah (QS.8:47).
Demikian
juga selama umat Islam tidak memiliki
satu pimpinan ruhani yang diangkat
Allah Swt. sebagai khalifah ruhani Nabi Besar Muhammad saw. di Akhir Zaman ini yang bersifat internasional (QS.61:10)
-- seperti Allah Swt. sebelumnya telah menjadikan Adam sebagai Khalifah-Nya
(QS.2:31-35) -- maka selama itu pula
berbagai upaya untuk kembali kepada Al-Quran dan Sunnah Nabi Besar Muhammad saw.
sulit dilaksanakan, karena setiap
golongan Islam akan tetap terjerumus
ke dalam perselisihan pendapat
mengenai Al-Quran dan Sunnah Nabi Besar Muhammad saw. itu
sendiri dan setiap golongan
(firqah) Islam akan bertahan
pada ijtihad yang mereka sendiri
yang tanpa bimbingan wahyu Ilahi
(QS.30:31-33).
Bukti
lainnya bahwa umat Islam Bani Isma’il di Timur
Tengah telah terjerumus ke dalam
berbagai bentuk “kejahiliyah” dan “kemusyrikan” terselubung adalah tidak berfungsinya tujuan utama melaksanakan ibadah haji sebagaimana yang diperintahkan Allah Swt. melalui Nabi
Ibrahim a.s., firman-Nya:
وَ اِذۡ بَوَّاۡنَا
لِاِبۡرٰہِیۡمَ مَکَانَ الۡبَیۡتِ اَنۡ لَّا تُشۡرِکۡ بِیۡ شَیۡئًا وَّ طَہِّرۡ
بَیۡتِیَ لِلطَّآئِفِیۡنَ وَ الۡقَآئِمِیۡنَ وَ الرُّکَّعِ السُّجُوۡدِ ﴿﴾
Dan ingatlah ketika Kami menempatkan Ibrahim di tempat rumah
Allah dan berfirman: “Janganlah mempersekutukan Aku dengan
sesuatu, dan bersihkanlah rumah-Ku bagi orang-orang
yang thawaf, yang berdiri tegak dan orang-orang yang rukuk serta sujud. (Al-Hajj [22]:27). Lihat pula QS.2:126.
Ayat ini
menunjukkan bahwa tempat letaknya Ka’bah
telah ada, lama sebelum zaman Nabi Ibrahim a.s. Pada hakikatnya Ka’bah didirikan oleh Nabi Adam a.s.. Ka’bah itu rumah peribadatan
pertama yang dibangun di dunia (QS.3:97). Kira-kira pada masa Nabi Ibrahim
a.s. rumah Allah (Baitullah) itu telah menjadi puing, dan letaknya
beliau telah diberitahu melalui wahyu, beliau dan putra beliau, Nabi
Isma’il a.s. -- yaitu leluhur Nabi Besar
Muhammad saw. -- membangunnya kembali (QS.2:128-30).
Ka’bah telah disebut dalam Al-Quran
dengan berbagai nama, ialah Baitī (“Rumah-Ku” - QS.2:126 dan QS.22:27). Baitul-muharram
(“Rumah Suci” - QS.14:38), Masjidilharam - QS.2:151). Albait (“Rumah itu” -
QS.2:128, 159; QS.3:98; QS.8:36; 22: 27); Baitul-’atiq (“Rumah Kuno” - QS.22:30, 34), dan Baitul-ma’mur
(“Rumah yang ramai dikunjungi” -
QS.52:5). Semua nama berlain-lainan itu mengisyaratkan kepada kemuliaan Ka’bah, sebagai pusat peribadatan yang terbesar bagi umat manusia.
Makna Perintah “Mensucikan” Baitullah dari Kekotoran Syirik
& Makna Thawaf di Baitullah
Kata-kata وَّ طَہِّرۡ بَیۡتِیَ -- dan
bersihkanlah rumah-Ku mengandung suatu perintah
dan juga suatu nubuatan. Perintah itu
yaitu bahwa Ka’bah tidak boleh dikotori dengan penyembahan berhala (syirik),
karena ia didirikan guna beribadah
kepada Tuhan Yang Maha Esa, sedang nubuatan itu terletak dalam kenyataan,
bahwa perintah itu akan dilanggar, dan Rumah Allah itu akan menjadi rumah
berhala, tetapi pada akhirnya
melalui pengutusan Nabi Besar Muhammad saw. (QS.2:130) sama sekali dibersihkan dari berhala-berhala
itu (QS.17:82; QS.21:19; QS.45:50).
Ayat ini
berperan sebagai pengantar kepada masalah
haji yang merupakan inti Surah Al-Hajj.
Mengadakan thawaf di sekitar Masjidilharam (Ka’bah) adalah upacara paling penting dalam ibadah haji,
karena itu isyarat singkat kepada pentingnya kesucian Ka’bah merupakan pengantar
yang tepat kepada masalah hajji.
Makna
lain yang terkandung dalam
firman-Nya اَنۡ لَّا تُشۡرِکۡ بِیۡ شَیۡئًا -- “Janganlah mempersekutukan Aku dengan
sesuatu,” dan hubungannya dengan وَّ طَہِّرۡ بَیۡتِیَ -- “dan bersihkanlah rumah-Ku” adalah bahwa
pada hakikatnya kemusyrikan (syirik)
itu mengotorkan hati (jiwa)
manusia, karena Ka’bah
(Baitullah) yang letaknya berada di lembah
Bakkah (Mekkah – QS.3:97) merupakan kiasan
dari qalbu (hati) atau ruh (jiwa) yang berada dalam tubuh manusia yang di dalam qalbu tersebut Allah Swt. telah menanamkan Tauhid Ilahi, firman-Nya:
وَ اِذۡ اَخَذَ رَبُّکَ مِنۡۢ
بَنِیۡۤ اٰدَمَ مِنۡ ظُہُوۡرِہِمۡ ذُرِّیَّتَہُمۡ وَ اَشۡہَدَہُمۡ عَلٰۤی
اَنۡفُسِہِمۡ ۚ اَلَسۡتُ بِرَبِّکُمۡ ؕ قَالُوۡا بَلٰی ۚۛ شَہِدۡنَا ۚۛ اَنۡ
تَقُوۡلُوۡا یَوۡمَ الۡقِیٰمَۃِ اِنَّا کُنَّا عَنۡ ہٰذَا غٰفِلِیۡنَ ﴿﴾ۙ اَوۡ تَقُوۡلُوۡۤا
اِنَّمَاۤ اَشۡرَکَ اٰبَآؤُنَا مِنۡ قَبۡلُ وَ کُنَّا ذُرِّیَّۃً مِّنۡۢ بَعۡدِہِمۡ
ۚ اَفَتُہۡلِکُنَا بِمَا فَعَلَ الۡمُبۡطِلُوۡنَ﴿﴾
وَ کَذٰلِکَ
نُفَصِّلُ الۡاٰیٰتِ وَ لَعَلَّہُمۡ یَرۡجِعُوۡنَ ﴿﴾
Dan ingatlah ketika Rabb (Tuhan) engkau mengambil
kesaksian dari bani (keturunan) Adam yakni dari sulbi keturunan mereka serta menjadikan mereka saksi atas dirinya sendiri sambil berfirman: اَلَسۡتُ بِرَبِّکُمۡ -- ”Bukankah Aku Tuhan kamu?” قَالُوۡا بَلٰی ۚۛ شَہِدۡنَا -- Mereka berkata: “Ya benar, kami menjadi
saksi.” Hal itu supaya kamu
tidak berkata pada Hari Kiamat: اِنَّا کُنَّا عَنۡ ہٰذَا غٰفِلِیۡنَ --
“Sesungguhnya kami benar-benar lengah dari hal ini. Atau kamu mengatakan: اِنَّمَاۤ اَشۡرَکَ
اٰبَآؤُنَا مِنۡ قَبۡلُ وَ کُنَّا
ذُرِّیَّۃً مِّنۡۢ بَعۡدِہِمۡ -- “Sesungguhnya bapak-bapak kami dahulu yang berbuat syirik, sedangkan kami hanyalah
keturunan sesudah mereka. اَفَتُہۡلِکُنَا بِمَا فَعَلَ
الۡمُبۡطِلُوۡنَ -- Apakah Engkau akan membinasakan kami karena apa yang telah dikerjakan oleh orang-orang yang berbuat batil itu?” Dan demikianlah Kami men-jelaskan Tanda-tanda itu dan supaya mereka kembali kepada yang haq. (Al-A’rāf
[7]:173-175).
Makna ayat selanjutnya لِلطَّآئِفِیۡنَ -- bagi orang-orang yang thawaf (QS.22:27). Menurut bahasa kata
thawaf adalah bentuk jamak dari kata thaif, artinya “orang yang berthawaf (berputar-putar) di sekeliling Baitul Haram (Ka’bah). Menurut istilah: mengelilingi Ka’bah sebanyak 7 kali
putaran, di mana tiga kali pertama dengan lari-lari kecil (jika mungkin) dan
selanjutnya dengan berjalan biasa yang arahnya berlawanan dengan arah jarum
jam. Thawaf dimulai dan berakhir di Hajar
Aswad (tempat batu hitam) dengan menjadikan Baitullah di sebelah kiri.
Maknanya
adalah bahwa manusia selama
hidupnya dalam melaksanakan berbagai
aktivitas kehidupannya harus bergerak — yakni
berthawaf (berkeliling-keliling) di sekitar Tauhid Ilahi, karena
7 (tujuh) dalam bahasa Arab melambangkan jumlah yang tidak terbatas.
Ada pun
makna وَ الۡقَآئِمِیۡنَ -- yang berdiri
tegak (QS.22:27) melambangkan orang-orang yang sebelumnya berada pada tahap
“thawaf” (bekeliling-keliling) di sekitar “Tauhid
Ilahi” kemudian menjadi orang-orang telah berdiri tegak
(teguh) di atas Tauhid Ilahi, firman-Nya:
اِنَّ الَّذِیۡنَ قَالُوۡا رَبُّنَا اللّٰہُ ثُمَّ اسۡتَقَامُوۡا تَتَنَزَّلُ عَلَیۡہِمُ الۡمَلٰٓئِکَۃُ اَلَّا تَخَافُوۡا وَ لَا تَحۡزَنُوۡا وَ
اَبۡشِرُوۡا بِالۡجَنَّۃِ الَّتِیۡ کُنۡتُمۡ تُوۡعَدُوۡنَ ﴿﴾ نَحۡنُ اَوۡلِیٰٓؤُکُمۡ فِی الۡحَیٰوۃِ الدُّنۡیَا وَ فِی الۡاٰخِرَۃِ ۚ وَ لَکُمۡ
فِیۡہَا مَا تَشۡتَہِیۡۤ اَنۡفُسُکُمۡ وَ لَکُمۡ فِیۡہَا مَا تَدَّعُوۡنَ ﴿ؕ﴾ نُزُلًا مِّنۡ غَفُوۡرٍ رَّحِیۡمٍ ﴿٪﴾
Sesungguhnya orang-orang yang berkata: ” Rabb (Tuhan) kami Allah,” ثُمَّ اسۡتَقَامُوۡ -- kemudian mereka teguh, kepada mereka turun malaikat-malaikat seraya
berkata: ”Janganlah kamu
takut, dan jangan pula bersedih, dan bergem-biralah kamu dengan surga
yang telah dijanjikan kepada kamu. نَحۡنُ اَوۡلِیٰٓؤُکُمۡ فِی
الۡحَیٰوۃِ الدُّنۡیَا وَ فِی الۡاٰخِرَۃِ -- Kami adalah teman-teman kamu di dalam kehidupan
dunia dan di akhirat. وَ لَکُمۡ فِیۡہَا مَا
تَشۡتَہِیۡۤ اَنۡفُسُکُمۡ -- dan bagi kamu di dalamnya apa yang diinginkan diri kamu, وَ لَکُمۡ فِیۡہَا مَا
تَدَّعُوۡنَ -- dan bagi kamu di dalamnya apa yang kamu minta. نُزُلًا مِّنۡ غَفُوۡرٍ رَّحِیۡمٍ --
sebagai hidangan dari Tuhan Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (Hā Mīm - As-Sajdah (Al-Fushshilat
– 41):31-33). Lihat pula QS.46:14-15.
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik
Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 19 Juni
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar