Jumat, 04 Juli 2014

Makna Tangan Nabi Musa a.s. "Bercahaya Putih" & "Cahaya" Orang-orang yang Beriman kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya




بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم


Khazanah Ruhani Surah  Shād


Bab   255

Makna Tangan Nabi Musa a.s.  Berwarna (Bercahaya) “Putih  &  Cahaya  Orang-orang yang Beriman kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya

 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma
 
D
alam  akhir Bab sebelumnya   telah dikemukakan mengenai mukjizat-mukjizat yang diperlihatkan oleh para nabi Allah tidak seperti permainan  kelihaian kecepatan tangan  tukang-tukang sulap. Sebab  mukjizat-mukjizat itu dimaksudkan untuk memenuhi suatu tujuan besar yang erat bertalian dengan akhlak dan keruhanian, yaitu untuk menimbulkan keyakinan dan perasaan tawadhu’ (rendah hati) serta takut kepada Allah Swt.   dalam hati mereka yang menyaksikannya.
 Oleh karena itu jika tongkat  Nabi Musa a.s. itu benar-benar telah berubah menjadi ular – sebagaimana yang umumnya dipercayai -- maka seluruh pertunjukan itu tentu nampaknya seperti kelihaian tukang sulap belaka, dan bu-kan mukjizat dari seorang nabi.
Kendati pun apa saja yang mungkin dikatakan Bible mengenai mukjizat ini, tetapi Al-Quran tidak menunjang pendapat bahwa tongkat itu benar-benar telah berubah menjadi ular asli dan hidup   -- demikian pula halnya dengan penciptaan “burung” dari tanah liat oleh Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. (QS.3:50; QS.5:111). Sedikit pun tidak nampak terjadinya hal semacam itu.

Karamah Khalifah Umar bin Khaththab r.a.

 Tongkat itu hanya nampak seperti ular yang bergerak-gerak amat lincah. Mukjizat itu semacam kasyaf (pandangan gaib) saat  Allah Swt.   menguasai secara istimewa penglihatan penonton-penonton supaya membuat mereka melihat tongkat itu dalam bentuk ular, ataupun tongkat itu sendiri ditampakkan seperti ular;  begitu pula pemandangan gaib ini disaksikan oleh Fir’aun serta pemuka-pemukanya dan oleh tukang-tukang sihir bersama Nabi Musa a.s..  
 Tongkat itu tetap tongkat jua adanya, tetapi hanya nampak kepada Nabi Musa a.s. dan lain-lainnya seperti ular. Hal itu merupakan gejala keruhanian yang umum bahwa dalam kasyaf itu bila manusia menembus hijab-hijab (tirai-tirai)  badan kasarnya dan untuk sementara waktu berpindah ke alam ruhani, ia dapat melihat hal-hal yang terjadi di luar batas pengetahuannya dan sama sekali tidak nampak oleh mata jasmaninya.
  Mukjizat-mukjizat berubahnya tongkat menjadi ular merupakan suatu pengalaman ruhani semacam itu. Suatu gejala keruhanian semacam itu terjadi di masa  Nabi Besar Muhammad saw. ketika bulan — tidak hanya kelihatan oleh beliau saw.  melainkan juga oleh beberapa pengikut beliau saw. dan musuh-musuh beliau saw.— seakan-akan telah terbelah (QS.54:2; Bukhari, bab Tafsir).
 Hadits mengatakan kepada kita bahwa  Malaikat Jibril  a.s. yang acap terlihat oleh  Nabi Besar Muhammad saw.  dalam kasyaf-kasyaf beliau saw., pada suatu ketika juga terlihat oleh sahabat-sahabat beliau saw. yang tengah duduk-duduk bersama beliau saw. (Bukhari, bab Iman). Demikian pula beberapa malaikat terlihat bahkan pula oleh beberapa orang kafir pada Perang Badar (Tafsir Ibnu Jarir, VI hlm. 47).
Contoh lain semacam ini terjadi ketika sebuah pasukan Islam di bawah pimpinan Sariya, penglima Islam termasyhur, sedang bertempur melawan musuh di Irak. Sayyidina Umar bin Khaththab r.a.,  Khalifah yang kedua, tatkala beliau sedang berkhutbah Jum’at di kota Medinah melihat dalam kasyaf bahwa pasukan Muslim sedang dikepung oleh musuh yang bilangannya besar, dan bahwa pasukan Muslim terancam kekalahan yang hebat.
Melihat hal itu beliau tiba-tiba beliau  menghentikan khutbah beliau, lalu berseru dari mimbar dengan mengatakan: “Hai Sariyah, naik ke bukit, naik ke bukitI.” Sariyah yang berada pada jarak ratusan mil jauhnya serentak mendengar suara Sayyidina Umar bin Khaththab r.a. di tengah gegap gempita medan pertempuran yang memekakkan telinga, segera menaati perintah Khalifah dan dengan demikian pasukan Islam itu telah selamat dari kehancuran (Tharikh a-l-Khamis, ii, hlm. 370).

Makna Mukjizat Tongkat  dan “Tangan  Putih” Nabi Musa a.s.

  Mukjizat Nabi Musa a.s.   mengandung makna yang istimewa. Mukjizat itu dapat ditafsirkan kurang lebih demikian: Allah Swt.  berfirman kepada Nabi Musa a.s.  melemparkan tongkatnya yang ketika itu nampak kepada beliau seperti ular, dan bila atas perintah Allah Swt. beliau mengangkatnya maka ular itu hanya berupa sepotong tongkat kayu belaka (QS.20:10-23; QS.27:8-15; QS.28:30-33. 
 Dalam kasyaf  dan mimpi makna ular melambangkan musuh, sedangkan tongkat perumpamaan jemaat (Ta’thir-ul-anam). Dengan demikian lewat kasyaf itu Allah Swt. memberitahukan kepada Nabi Musa a.s.   bahwa jika beliau melemparkan umatnya jauh dari beliau, mereka benar-benar akan bersifat ular. Tetapi jika beliau mengambil mereka di bawah asuhan sendiri, mereka akan menjadi jemaat yang kuat lagi baik, terdiri atas orang-orang mukhlis lagi bertakwa kepada Allah Swt..
 Ada pun mengenai  mukjizat “tangan” Nabi Musa a.s. menjadi “putih”, tubuh orang-orang yang tinggi keruhaniannya   -- terutama para Nabi Allah dan para wali Allah -- mengeluarkan sinar-sinar berbagai warna menurut derajat atau sifat (kaifiat) perkembangan ruhani mereka.
Sinar-sinar atau pancaran  aura yang dikeluarkan tubuh para nabi Allah itu putih bersih. Begitu pula sinar-sinar (aura) yang keluar dari tangan Nabi Musa a.s.  tentunya berwarna demikian juga  bila sinar-sinar itu dinampakkan, tangan beliau tentu tampak berwarna putih kepada orang-orang yang melihatnya.
Sehubungan dengan keberadaan “cahaya   para Rasul Allah serta orang-orang beriman yang menyertainya tersebut Allah Swt. berfirman:
یٰۤاَیُّہَا  الَّذِیۡنَ  اٰمَنُوۡا تُوۡبُوۡۤا  اِلَی اللّٰہِ تَوۡبَۃً  نَّصُوۡحًا ؕ عَسٰی رَبُّکُمۡ  اَنۡ یُّکَفِّرَ عَنۡکُمۡ سَیِّاٰتِکُمۡ وَ یُدۡخِلَکُمۡ جَنّٰتٍ تَجۡرِیۡ  مِنۡ تَحۡتِہَا الۡاَنۡہٰرُ ۙ یَوۡمَ لَا یُخۡزِی اللّٰہُ  النَّبِیَّ  وَ الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا مَعَہٗ ۚ  نُوۡرُہُمۡ  یَسۡعٰی بَیۡنَ اَیۡدِیۡہِمۡ وَ بِاَیۡمَانِہِمۡ  یَقُوۡلُوۡنَ  رَبَّنَاۤ اَتۡمِمۡ  لَنَا نُوۡرَنَا وَ اغۡفِرۡ لَنَا ۚ اِنَّکَ عَلٰی کُلِّ شَیۡءٍ قَدِیۡرٌ ﴿﴾
Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan seikhlas-ikhlas taubat. Boleh jadi Rabb (Tuhan) kamu akan menghapuskan dari kamu keburukan-keburukan kamu dan akan memasukkan kamu ke dalam kebun-kebun yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak akan menghinakan Nabi maupun orang-orang yang beriman besertanya, cahaya mereka akan berlari-lari di hadapan mereka dan  di sebelah kanannya, mereka  akan berkata: “Hai  Rabb (Tuhan) kami, sempurna-kanlah bagi kami cahaya kami,  dan maafkanlah kami,  sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (At-Tahrīm [66]:9).

Perumpamaan Keadaan Orang-orang Munafik dan Orang-orang Kafir

      Kemudian mengenai  keadaan  orang-orang munafik   di akhirat Allah Swt.  berfirman:
یَوۡمَ یَقُوۡلُ  الۡمُنٰفِقُوۡنَ وَ الۡمُنٰفِقٰتُ لِلَّذِیۡنَ اٰمَنُوا انۡظُرُوۡنَا نَقۡتَبِسۡ مِنۡ نُّوۡرِکُمۡ ۚ  قِیۡلَ ارۡجِعُوۡا وَرَآءَکُمۡ فَالۡتَمِسُوۡا نُوۡرًا ؕ فَضُرِبَ بَیۡنَہُمۡ بِسُوۡرٍ لَّہٗ  بَابٌ ؕ بَاطِنُہٗ  فِیۡہِ الرَّحۡمَۃُ وَ ظَاہِرُہٗ  مِنۡ  قِبَلِہِ  الۡعَذَابُ  ﴿ؕ﴾
Pada hari ketika orang-orang munafik laki-laki dan orang-orang munafik perempuan akan berkata kepada orang-orang beriman: “Tunggulah kami supaya kami memperoleh sebagian cahaya kamu.”  Dikatakan: Kembalilah ke belakang kamu  dan carilah cahaya.” Maka akan didirikan di antara mereka dinding yang berpintu, di dalamnya ada rahmat dan di luarnya ada azab. (Al-Hadīd [57]:14).
   Makna  نُّوۡرِکُمۡ   -- “cahaya kamu” dapat diartikan, “cahaya keimanan kamu dan amal shalih kamu” atau,  cahaya makrifat Ilahi dan cahaya kemampuan mencari serta mencapai keridhaan Allah  di dunia ini juga.   Kata warā’akum (ke belakang kamu) dapat diartikan kehidupan di dunia ini.  
   Sedangkan kata ata “dinding”,  boleh diartikan dinding Islam atau dinding Al-Quran. Karena orang-orang munafik tinggal di sebelah luar dinding itu, maka tindakan mereka itu di akhirat akan mengambil bentuk seperti sebuah dinding. Firman-Nya lagi:
وَ الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا بِاللّٰہِ  وَ رُسُلِہٖۤ  اُولٰٓئِکَ ہُمُ الصِّدِّیۡقُوۡنَ ٭ۖ وَ الشُّہَدَآءُ  عِنۡدَ رَبِّہِمۡ ؕ لَہُمۡ  اَجۡرُہُمۡ وَ نُوۡرُہُمۡ ؕ وَ الَّذِیۡنَ کَفَرُوۡا وَ کَذَّبُوۡا بِاٰیٰتِنَاۤ اُولٰٓئِکَ اَصۡحٰبُ الۡجَحِیۡمِ ﴿٪﴾
Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya, mereka adalah orang-orang yang benar dan syuhada (saksi-saksi) di sisi Rabb (Tuhan) mereka. Bagi mereka ada ganjaran mereka dan cahaya mereka. Tetapi  orang-orang yang kafir dan mendustakan Tanda-tanda Kami mereka adalah penghuni-penghuni Jahannam. (Al-Hadīd [57]:14).
       Karena orang-orang munafik tersebut tidak memiliki “cahaya keimanan  yang melekat pada diri mereka,   itulah sebabnya  langkah-langkah mereka di jalan Allah Swt.  tidak mulus seperti perjalanan orang-orang beriman yang memiliki cahaya keimanan sendiri yang  berbinar-binar.
    Sehubungan dengan hal tersebut berikut ini firman Allah Swt.  mengenai perumpamaan keadaan orang-orang munafik dan orang-orang kafir:
مَثَلُہُمۡ کَمَثَلِ الَّذِی اسۡتَوۡقَدَ نَارًا ۚ  فَلَمَّاۤ اَضَآءَتۡ مَا حَوۡلَہٗ ذَہَبَ اللّٰہُ بِنُوۡرِہِمۡ وَ تَرَکَہُمۡ فِیۡ ظُلُمٰتٍ لَّا یُبۡصِرُوۡنَ ﴿﴾ صُمٌّۢ  بُکۡمٌ عُمۡیٌ فَہُمۡ لَا یَرۡجِعُوۡنَ ﴿ۙ﴾  اَوۡ کَصَیِّبٍ مِّنَ السَّمَآءِ فِیۡہِ ظُلُمٰتٌ وَّ رَعۡدٌ وَّ بَرۡقٌ ۚ یَجۡعَلُوۡنَ اَصَابِعَہُمۡ فِیۡۤ  اٰذَانِہِمۡ مِّنَ الصَّوَاعِقِ حَذَرَ الۡمَوۡتِ ؕ وَ اللّٰہُ مُحِیۡطٌۢ بِالۡکٰفِرِیۡنَ ﴿﴾  یَکَادُ الۡبَرۡقُ یَخۡطَفُ اَبۡصَارَہُمۡ ؕ کُلَّمَاۤ اَضَآءَ لَہُمۡ مَّشَوۡا فِیۡہِ ٭ۙ وَ اِذَاۤ اَظۡلَمَ عَلَیۡہِمۡ قَامُوۡا ؕ وَ لَوۡ شَآءَ اللّٰہُ  لَذَہَبَ بِسَمۡعِہِمۡ وَ اَبۡصَارِہِمۡ ؕ اِنَّ اللّٰہَ عَلٰی کُلِّ شَیۡءٍ قَدِیۡرٌ ﴿٪﴾
Perumpamaan mereka seperti keadaan orang yang menyalakan api,  maka tatkala api itu telah menyinari apa yang ada di sekelilingnya, Allah melenyapkan cahaya mereka dan  meninggalkan mereka dalam kegelapan,  mereka tidak dapat melihat.   Mereka  tuli, bisu, buta, maka mereka tidak akan kembali.  Atau keadaan mereka seperti hujan lebat dari langit  yang di dalamnya berbagai macam kegelapan,  dan guruh, dan  kilat, mereka memasukkan jari mereka ke dalam telinganya  disebabkan petir karena takut mati, dan Allah mengepung  orang-orang kafir. Nyaris kilat itu menyambar penglihatan mereka. Setiap kali kilat menyinarinya   mereka  berjalan   di dalamnya tetapi   apabila gelap meliputinya mereka berhenti. Dan seandainya Allah menghendaki niscaya Dia menghilangkan pendengaran mereka dan penglihatan mereka, sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu. (Al-Baqarah [2]:18-21).

Berbagai Arti Kata Sihir

     Kembali kepada pembahasan masalah  kedua tangan Nabi Musa a.s. yang nampak   bercahaya putih kepada mereka, mengenai hal tersebut  orang-orang pernah mempunyai pengalaman-pengalaman ruhani semacam itu  di masa nabi-nabi Allah lain juga   -- terutama di zaman Nabi Besar Muhammad saw. sebab beliau saw. adalah "Nur di atas nur" (QS.24:36-39) --  berikut firman-Nya kepada Nabi Musa a.s.:
اُسۡلُکۡ یَدَکَ فِیۡ جَیۡبِکَ تَخۡرُجۡ بَیۡضَآءَ مِنۡ غَیۡرِ سُوۡٓءٍ ۫ وَّ اضۡمُمۡ  اِلَیۡکَ جَنَاحَکَ مِنَ الرَّہۡبِ فَذٰنِکَ بُرۡہَانٰنِ مِنۡ رَّبِّکَ اِلٰی فِرۡعَوۡنَ وَ مَلَا۠ئِہٖ ؕ اِنَّہُمۡ کَانُوۡا قَوۡمًا فٰسِقِیۡنَ ﴿﴾
Masukkan tangan engkau ke leher baju engkau, ia akan keluar putih tanpa cacat, dan dekapkan tangan eng-kau pada dada engkau  jika ketakutan. Maka inilah dua bukti dari Rabb (Tuhan) engkau kepada Fir’aun dan pembesar-pembesarnya, sesungguhnya mereka adalah kaum durhaka.”  (Al-Qashash [28]:33).
Dalam bahasa perumpamaan,  kalimat  اُسۡلُکۡ یَدَکَ فِیۡ جَیۡبِکَ تَخۡرُجۡ بَیۡضَآءَ مِنۡ غَیۡرِ سُوۡٓءٍ    --    Masukkan tangan engkau ke leher baju engkau, ia akan keluar putih tanpa cacat,” merupakan satu isyarat yang jelas kepada Nabi Musa a.s.,   bahwa bila beliau menghimpun pengikut-pengikut beliau langsung di bawah asuhan beliau, bukan hanya mereka sendiri akan menjadi manusia-manusia bercahaya, tetapi juga memberikan cahaya kepada orang-orang lain, tetapi bila tidak dihimpun, mereka tidak hanya akan menjadi hitam, tetapi juga akan mengidap bermacam penyakit akhlaki. Oleh karena itu mukjizat tersebut bukan pertunjukan tukang sihir, melainkan suatu Tanda Kebenaran yang sarat dengan arti keruhanian yang mendalam.
        Ucapan para pemuka Fir’aun mengenai mukjizat  Nabi Musa a.s. sebagai sihir:     اِنَّ ہٰذَا لَسٰحِرٌ  عَلِیۡمٌ   -- “Sesungguhnya  orang ini tukang sihir  yang pandai”,  dan  اَرۡجِہۡ  وَ اَخَاہُ  وَ اَرۡسِلۡ فِی الۡمَدَآئِنِ  حٰشِرِیۡنَ  ۙ   --  Tahanlah kepergian dia dan saudaranya dan kirimlah ke kota-kota orang-orang yang akan mengumpulkan,  یَاۡتُوۡکَ  بِکُلِّ  سٰحِرٍ  عَلِیۡمٍ   -- yang akan mendatangkan kepada engkau setiap tukang sihir yang pandai.”  (QS.7:110-113; QS.20:64; QS. 26:35-38).
      Kata  sihr berarti: akal licik, dursila; sihir; mengadakan apa-apa yang palsu dalam bentuk kebenaran; setiap kejadian yang sebab-sebabnya tersembunyi, dan disangka lain dari kenyataannya (Lexicon Lane). Jadi setiap kepalsuan, penipuan atau akal licik yang dimaksudkan untuk menyembunyikan tujuan sebenarnya dari penglihatan orang, adalah termasuk sihir juga.
  Tetapi  Kata sāhir tidak selamanya harus diartikan tukang sihir, kata itu pun berarti orang yang mempunyai daya pikat; orang yang terampil dan cerdas; orang yang sanggup membuat orang lain melihat sesuatu benda nampak lain dari keadaan yang sebenarnya; penipu, penyihir mata atau perayu, dan lain-lain (Lexicon Lane).

Para Pecinta  Kehormatan  dan Keuntungan Duniawi
  
Kembali kepada  masalah perbedaan pengaruh yang ditimbulkan mukjizat atau karamah dengan pengaruh  kanuragan atau olah kebatinan, yaitu timbulnya ketakaburan dari mereka yang merasa “memiliki kesaktian” tersebut tergambar dari ucapan ahli-ahli sihir yang dikumpulkan oleh Fir’aun untuk menghadapi Nabi Musa a.s., firman-Nya:
وَ  جَآءَ  السَّحَرَۃُ  فِرۡعَوۡنَ  قَالُوۡۤا اِنَّ  لَنَا  لَاَجۡرًا  اِنۡ  کُنَّا نَحۡنُ الۡغٰلِبِیۡنَ ﴿﴾  قَالَ  نَعَمۡ  وَ  اِنَّکُمۡ لَمِنَ الۡمُقَرَّبِیۡنَ ﴿﴾
Dan  para ahli sihir itu datang kepada Fir’aun, mereka berkata: “Kami tentu akan diberi imbalan jika kami menang.” Ia (Fir’aun) berkata: “Ya, dan sesungguhnya kamu pasti akan termasuk orang-orang yang dekat denganku.” (Al-A’rāf [7]:114-115).
       Para hakikatnya ketakaburan itu pulalah yang membuat para ahli sihir Fir’aun tersebut menawarkan kepada Nabi Musa a.s.  mengenai siapa yang akan terlebih dulu melemparkan tongkat,  sebab mereka merasa  sangat yakin akan dapat mengalahkan mukjizat   Nabi Musa a.s., firman-Nya:
قَالُوۡا یٰمُوۡسٰۤی  اِمَّاۤ  اَنۡ تُلۡقِیَ وَ  اِمَّاۤ  اَنۡ نَّکُوۡنَ  نَحۡنُ الۡمُلۡقِیۡنَ ﴿﴾  قَالَ  اَلۡقُوۡا ۚ فَلَمَّاۤ  اَلۡقَوۡا سَحَرُوۡۤا  اَعۡیُنَ النَّاسِ وَ اسۡتَرۡہَبُوۡہُمۡ  وَ جَآءُوۡ  بِسِحۡرٍ عَظِیۡمٍ ﴿﴾  
Mereka berkata: “Hai Musa, apakah engkau yang akan mulai melempar, ataukah kami yang harus  menjadi pelempar pertama?”  Ia berkata: “Lemparkanlah.”  Maka tatkala mereka  melemparkan, mereka menyihir mata orang-orang serta membuat mereka itu takut,  وَ جَآءُوۡ  بِسِحۡرٍ عَظِیۡمٍ  --  dan mereka menampilkan     sihir yang hebat.  (Al-‘Arāf [7]:116).
        Bayangkan ketegangan adegan itu, kedua pihak berhadap-hadapan dan siap untuk mulai bertarung dalam pertandingan yang menentukan.  Tetapi  Nabi-nabi Allah tidak pernah mulai membuka serangan lebih dahulu. Mereka menanti serangan dari pihak musuh, sebab mereka lebih suka menjadi pihak yang membela diri lalu menghadap kepada  Allah Swt.   memohon pertolongan-Nya. Selanjutnya Allah Swt. berfirman: 
وَ اَوۡحَیۡنَاۤ  اِلٰی مُوۡسٰۤی اَنۡ اَلۡقِ عَصَاکَ ۚ فَاِذَا  ہِیَ تَلۡقَفُ  مَا  یَاۡفِکُوۡنَ ﴿﴾ۚ  فَوَقَعَ الۡحَقُّ وَ بَطَلَ مَا کَانُوۡا یَعۡمَلُوۡنَ ﴿﴾ۚ  فَغُلِبُوۡا ہُنَالِکَ وَ انۡقَلَبُوۡا صٰغِرِیۡنَ ﴿﴾ۚ  وَ اُلۡقِیَ  السَّحَرَۃُ  سٰجِدِیۡنَ ﴿﴾ۚۖ  قَالُوۡۤا  اٰمَنَّا  بِرَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ ﴿﴾ۙ  رَبِّ  مُوۡسٰی  وَ ہٰرُوۡنَ ﴿﴾
Dan Kami mewahyukan kepada Musa:  Lemparkanlah tongkat engkau!” Maka tiba-tiba tongkat itu nampak seperti menelan  apa yang   dibuat-buat mereka. Maka tegaklah yang benar dan lenyaplah yang telah mereka kerjakan.  Lalu  mereka dikalahkan di situ dan kembalilah mereka dalam keadaan terhina.   Dan   tukang-tukang sihir itu jatuh bersujud.   Mereka berkata: “Kami beriman kepada Rabb (Tuhan) seluruh alam.     Rabb (Tuhan) Musa dan Harun.”  (Al-‘Arāf [7]:118-123).
        Makna ayat  فَاِذَا  ہِیَ تَلۡقَفُ  مَا  یَاۡفِکُوۡنَ    -- “Maka tiba-tiba tongkat itu nampak seperti menelan  apa yang   dibuat-buat mereka.   فَوَقَعَ الۡحَقُّ وَ بَطَلَ مَا کَانُوۡا یَعۡمَلُوۡنَ -- Maka tegaklah yang benar dan lenyaplah yang telah mereka kerjakan.” Bukan “ular” yang terbuat dari tongkat itu, melainkan tongkat itu sendiri yang menggagalkan daya sihir tukang-tukang sihir.
      Tongkat Nabi Musa a.s.  yang diberi daya oleh kekuatan ruhani seorang Nabi Besar dan dilemparkan atas perintah Allah, menyingkap kedok penipuan yang telah dilakukan mereka atas penonton-penonton dan menghancurkan berkeping-keping barang-barang -- yang dengan kekuatan sihir mereka -- telah menyebabkan penonton-penonton menyangka ular-ular sungguhan.
     Kalimat “tongkat itu menelan apa-apa yang disihir mereka” maksudnya adalah bahwa  tongkat itu segera menyingkapkan tabir tipu-daya  yang dilakukan oleh tukang-tukang sihir itu. تَلۡقَفُ -- “menelan” mengandung arti “membinasakan pengaruh atau meniadakan kesan yang ditimbulkan oleh sesuatu.”
       Ayat  فَغُلِبُوۡا ہُنَالِکَ وَ انۡقَلَبُوۡا صٰغِرِیۡنَ  -- “Lalu  mereka dikalahkan di situ dan kembalilah mereka dalam keadaan terhina,  mengisyaratkan kepada Fir’aun dan pemuka-pemukanya dan bukan kepada tukang-tukang sihir. Adapun ihwal tukang-tukang sihir diterangkan di dalam ayat berikutnya. Kata “terhina” tidak boleh ditujukan kepada orang-orang yang memperlihatkan rasa hormat demikian rupa terhadap kebenaran sehingga menerima kebenaran itu tanpa menanti keputusan Fir’aun atas hal itu.
   Artinya ialah, mereka (Fir’aun dan pemuka-pemukanya) yang beberapa saat sebelumnya telah datang ke tempat pertarungan dengan sikap sombong lagi angkuh dan merasa yakin akan menang, sekarang pulang dengan perasaan terhina dan kecewa.

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar,  12 Juni    2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar