بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم
Khazanah Ruhani Surah Shād
Bab 264
Orang-orang
yang Paling “Dekat” dengan Nabi
Ibrahim a.s. & Ke-Muslim-an Paling Sempurna Nabi Besar
Muhammad Saw.
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam akhir Bab
sebelumnya telah dikemukakan mengenai
makna lain yang terkandung dalam
firman-Nya اَنۡ لَّا تُشۡرِکۡ بِیۡ شَیۡئًا
-- “Janganlah mempersekutukan Aku dengan sesuatu,” dan hubungannya
dengan وَّ طَہِّرۡ بَیۡتِیَ --
“dan bersihkanlah
rumah-Ku, firman-Nya:
وَ اِذۡ بَوَّاۡنَا لِاِبۡرٰہِیۡمَ مَکَانَ الۡبَیۡتِ اَنۡ
لَّا تُشۡرِکۡ بِیۡ شَیۡئًا وَّ طَہِّرۡ بَیۡتِیَ لِلطَّآئِفِیۡنَ وَ
الۡقَآئِمِیۡنَ وَ الرُّکَّعِ السُّجُوۡدِ ﴿﴾
Dan ingatlah ketika Kami menempatkan Ibrahim di tempat rumah
Allah dan berfirman: “Janganlah mempersekutukan Aku dengan
sesuatu, dan bersihkanlah rumah-Ku bagi orang-orang
yang thawaf, yang berdiri tegak dan orang-orang yang rukuk serta sujud. (Al-Hajj [22]:27). Lihat pula QS.2:126.
Hubungan “Baitullah” dengan Kesaksian “Qalbu” Manusia Mengenai Tauhid
Ilahi
Pada hakikatnya kemusyrikan (syirik) itu mengotorkan
hati (jiwa) manusia, karena Ka’bah
(Baitullah) yang letaknya berada di lembah
Bakkah (Mekkah – QS.3:97) merupakan kiasan
dari qalbu (hati) atau ruh (jiwa) yang berada dalam tubuh manusia yang di dalam qalbu tersebut Allah Swt. telah menanamkan Tauhid Ilahi, firman-Nya:
وَ اِذۡ اَخَذَ رَبُّکَ مِنۡۢ بَنِیۡۤ اٰدَمَ مِنۡ
ظُہُوۡرِہِمۡ ذُرِّیَّتَہُمۡ وَ اَشۡہَدَہُمۡ عَلٰۤی اَنۡفُسِہِمۡ ۚ اَلَسۡتُ
بِرَبِّکُمۡ ؕ قَالُوۡا بَلٰی ۚۛ شَہِدۡنَا ۚۛ اَنۡ تَقُوۡلُوۡا یَوۡمَ الۡقِیٰمَۃِ
اِنَّا کُنَّا عَنۡ ہٰذَا
غٰفِلِیۡنَ ﴿﴾ۙ اَوۡ
تَقُوۡلُوۡۤا اِنَّمَاۤ اَشۡرَکَ
اٰبَآؤُنَا مِنۡ قَبۡلُ وَ کُنَّا
ذُرِّیَّۃً مِّنۡۢ بَعۡدِہِمۡ ۚ اَفَتُہۡلِکُنَا بِمَا فَعَلَ الۡمُبۡطِلُوۡنَ﴿﴾ وَ کَذٰلِکَ نُفَصِّلُ الۡاٰیٰتِ وَ لَعَلَّہُمۡ
یَرۡجِعُوۡنَ ﴿﴾
Dan ingatlah ketika Rabb (Tuhan) engkau mengambil
kesaksian dari bani (keturunan) Adam yakni dari sulbi keturunan mereka serta menjadikan mereka saksi atas dirinya sendiri sambil berfirman: اَلَسۡتُ بِرَبِّکُمۡ --
”Bukankah Aku Tuhan kamu?” قَالُوۡا بَلٰی ۚۛ شَہِدۡنَا --
Mereka berkata: “Ya benar, kami menjadi saksi.” Hal itu supaya kamu
tidak berkata pada Hari Kiamat: اِنَّا کُنَّا عَنۡ
ہٰذَا غٰفِلِیۡنَ -- “Sesungguhnya
kami benar-benar lengah dari hal ini. Atau kamu
mengatakan: اِنَّمَاۤ
اَشۡرَکَ اٰبَآؤُنَا مِنۡ قَبۡلُ وَ کُنَّا ذُرِّیَّۃً مِّنۡۢ بَعۡدِہِمۡ
--
“Sesungguhnya bapak-bapak kami
dahulu yang berbuat syirik, sedangkan kami hanyalah keturunan sesudah mereka. اَفَتُہۡلِکُنَا بِمَا فَعَلَ الۡمُبۡطِلُوۡنَ -- Apakah Engkau akan membinasakan kami karena apa yang telah dikerjakan oleh
orang-orang yang berbuat batil
itu?” Dan demikianlah Kami menjelaskan Tanda-tanda itu dan supaya mereka kembali kepada yang haq. (Al-A’rāf
[7]:173-175).
Itulah
hikmah lain dari makna larangan mempersekutukan
Allah Swt. dalam firman-Nya:
وَ اِذۡ بَوَّاۡنَا لِاِبۡرٰہِیۡمَ مَکَانَ الۡبَیۡتِ اَنۡ
لَّا تُشۡرِکۡ بِیۡ شَیۡئًا وَّ طَہِّرۡ بَیۡتِیَ لِلطَّآئِفِیۡنَ وَ
الۡقَآئِمِیۡنَ وَ الرُّکَّعِ السُّجُوۡدِ ﴿﴾
Dan ingatlah ketika Kami menempatkan Ibrahim di tempat rumah
Allah dan berfirman: “Janganlah mempersekutukan Aku dengan
sesuatu, dan bersihkanlah rumah-Ku bagi orang-orang
yang thawaf, yang berdiri tegak dan orang-orang yang rukuk serta sujud. (Al-Hajj [22]:27). Lihat pula QS.2:126.
Makna Lain Thawaf dan Qiyam
Makna ayat
selanjutnya لِلطَّآئِفِیۡنَ --
bagi orang-orang yang thawaf (QS.22:27).
Menurut bahasa kata thawaf adalah bentuk jamak dari kata thaif,
artinya “orang yang berthawaf (berputar-putar) di sekeliling Baitul Haram (Ka’bah). Menurut istilah: mengelilingi Ka’bah sebanyak 7 kali
putaran, di mana tiga kali pertama dengan lari-lari kecil (jika mungkin) dan
selanjutnya dengan berjalan biasa yang arahnya berlawanan dengan arah jarum
jam. Thawaf dimulai dan berakhir di Hajar
Aswad (tempat batu hitam) dengan menjadikan Baitullah di sebelah kiri.
Maknanya
adalah bahwa manusia selama
hidupnya dalam melaksanakan berbagai
aktivitas kehidupannya harus bergerak — yakni
berthawaf (berkeliling-keliling) di sekitar Tauhid Ilahi, karena
7 (tujuh) dalam bahasa Arab melambangkan jumlah yang tidak terbatas.
Ada
pun makna وَ الۡقَآئِمِیۡنَ --
yang berdiri tegak (QS.22:27)
melambangkan orang-orang yang sebelumnya berada pada tahap “thawaf”
(bekeliling-keliling) di sekitar “Tauhid
Ilahi” kemudian menjadi orang-orang telah berdiri tegak
(teguh) di atas Tauhid Ilahi, firman-Nya:
اِنَّ الَّذِیۡنَ
قَالُوۡا رَبُّنَا اللّٰہُ ثُمَّ
اسۡتَقَامُوۡا تَتَنَزَّلُ عَلَیۡہِمُ الۡمَلٰٓئِکَۃُ اَلَّا تَخَافُوۡا وَ لَا تَحۡزَنُوۡا وَ
اَبۡشِرُوۡا بِالۡجَنَّۃِ الَّتِیۡ کُنۡتُمۡ تُوۡعَدُوۡنَ ﴿﴾ نَحۡنُ
اَوۡلِیٰٓؤُکُمۡ فِی الۡحَیٰوۃِ
الدُّنۡیَا وَ فِی الۡاٰخِرَۃِ ۚ وَ لَکُمۡ فِیۡہَا مَا تَشۡتَہِیۡۤ
اَنۡفُسُکُمۡ وَ لَکُمۡ فِیۡہَا مَا تَدَّعُوۡنَ ﴿ؕ﴾ نُزُلًا مِّنۡ
غَفُوۡرٍ رَّحِیۡمٍ ﴿٪﴾
Sesungguhnya orang-orang yang berkata: ” Rabb (Tuhan) kami Allah,” ثُمَّ
اسۡتَقَامُوۡ -- kemudian mereka teguh, kepada mereka turun malaikat-malaikat seraya
berkata: ”Janganlah kamu
takut, dan jangan pula bersedih, dan bergembiralah kamu dengan surga
yang telah dijanjikan kepada kamu. نَحۡنُ اَوۡلِیٰٓؤُکُمۡ فِی الۡحَیٰوۃِ الدُّنۡیَا وَ فِی الۡاٰخِرَۃِ -- Kami adalah teman-teman kamu di dalam kehidupan
dunia dan di akhirat. وَ لَکُمۡ فِیۡہَا مَا تَشۡتَہِیۡۤ اَنۡفُسُکُمۡ -- dan bagi kamu di dalamnya apa yang diinginkan diri kamu, وَ لَکُمۡ فِیۡہَا مَا تَدَّعُوۡنَ --
dan bagi kamu di dalamnya apa yang kamu minta. نُزُلًا مِّنۡ
غَفُوۡرٍ رَّحِیۡمٍ --
sebagai hidangan dari Tuhan Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (Hā Mīm - As-Sajdah (Al-Fushshilat
– 41):31-33). Lihat pula QS.46:14-15.
Makna Lain Rukuk dan Sujud & Hubungannya dengan “Aslim”
(Berserah Diri)
Selanjutnya makna lain dari rukuk
dalam ayat وَ
الرُّکَّعِ -- “orang-orang yang rukuk”, dalam shalat arti rukuk adalah membungkukkan
tubuh yang melambangkan kepatuh-taatan, firman-Nya mengenai Bani
Israil:
وَ اَقِیۡمُوا الصَّلٰوۃَ وَ اٰتُوا الزَّکٰوۃَ وَ
ارۡکَعُوۡا مَعَ الرّٰکِعِیۡنَ ﴿﴾
Dan dirikanlah
shalat, bayarlah zakat, dan rukuklah
bersama orang-orang yang rukuk.
(Al-Baqarah [2]:44). Lihat pula QS.3:44; QS.5:56; QS.9:112.
Raki’ berarti orang yang rukuk di hadapan Allah Swt. (Lisan-al-Arab).
Orang-orang Arab memakai kata itu untuk orang
yang menyembah Allah Swt. semata-mata dan bukan untuk orang yang menyembah berhala (Haqiqatul Asas).
Selanjutnya
mengenai makna kata السُّجُوۡدِ -- “sujud” melambangkan penyerahan diri atau kepatuh-taatan sempurna kepada Allah Swt., sebagaimana perintah
Allah Swt. kepada para malaikat,
firman-Nya:
وَ اِذۡ قُلۡنَا لِلۡمَلٰٓئِکَۃِ اسۡجُدُوۡا لِاٰدَمَ
فَسَجَدُوۡۤا اِلَّاۤ اِبۡلِیۡسَ ؕ اَبٰی وَ اسۡتَکۡبَرَ
٭۫ وَ کَانَ مِنَ الۡکٰفِرِیۡنَ ﴿﴾
Dan ingatlah ketika Kami berfirman kepada para malaikat:
“Sujudlah yakni tunduk-patuhlah kamu kepada Adam”
lalu mereka sujud kecuali iblis,
ia menolak dan takabur, dan ia
termasuk dari antara orang-orang yang
kafir. (Al-Baqarah [2]:35).
Adam sebagai “Khalifah Allah” atau Rasul Allah melambangkan perwujudan Tauhid Ilahi di muka bumi ini, sebab hanya kepadanya Allah Swt. membukakan rahasia-rahasia
gaib Wujud-Nya atau al-Asmā
Allah Swt. (QS.2:31-34;
QS.3:180; QS.72:27-29), karena itu sudah
seharusnya manusia dalam melakukan perjalanan ruhani (suluk)
kepada Allah Swt. yang dimulai dengan thawaf, qiyam dan rukuk
-- harus berakhir dengan “sujud”
kepada-Nya atau aslim (berserah diri) kepada
Allah Swt. sebagaimana dilambangkan
dalam shalat.
Mengenai
makna “sujud” atau aslim (berserah diri) kepada Allah Swt.
tersebut, berikut firman-Nya mengenai millat (sikap beragama) Nabi Ibrahim a.s. yang beliau “wariskan” kepada seluruh keturunan
beliau:
وَ مَنۡ یَّرۡغَبُ عَنۡ مِّلَّۃِ اِبۡرٰہٖمَ اِلَّا مَنۡ سَفِہَ نَفۡسَہٗ ؕ وَ لَقَدِ اصۡطَفَیۡنٰہُ فِی الدُّنۡیَا ۚ وَ اِنَّہٗ فِی الۡاٰخِرَۃِ لَمِنَ الصّٰلِحِیۡنَ ﴿﴾ اِذۡ قَالَ لَہٗ رَبُّہٗۤ اَسۡلِمۡ ۙ قَالَ اَسۡلَمۡتُ لِرَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ ﴿﴾ وَ وَصّٰی بِہَاۤ اِبۡرٰہٖمُ بَنِیۡہِ وَ یَعۡقُوۡبُ ؕ یٰبَنِیَّ اِنَّ اللّٰہَ اصۡطَفٰی لَکُمُ الدِّیۡنَ فَلَا تَمُوۡتُنَّ
اِلَّا وَ اَنۡتُمۡ مُّسۡلِمُوۡنَ﴿﴾ؕ
Dan siapakah yang berpaling عَنۡ مِّلَّۃِ اِبۡرٰہٖمَ اِلَّا مَنۡ سَفِہَ نَفۡسَہٗ -- dari agama
Ibrahim selain orang yang memperbodoh
dirinya sendiri? Dan sungguh Kami benar-benar telah memilihnya di dunia dan
sesungguhnya di akhirat pun dia termasuk orang-orang yang saleh. Ingatlah ketika Rabb-nya (Tuhan-nya) berfirman kepadanya: اَسۡلِمۡ ۙ ق -- “Berserah-dirilah”, قَالَ اَسۡلَمۡتُ لِرَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ -- ia berkata: ”Aku telah berserah diri kepada Rabb
(Tuhan) seluruh alam.”
وَ وَصّٰی بِہَاۤ اِبۡرٰہٖمُ بَنِیۡہِ وَ یَعۡقُوۡبُ -- dan Ibrahim mewasiatkan yang demikian kepada anak-anaknya dan demikian pula Ya’qub seraya berkata: یٰبَنِیَّ اِنَّ اللّٰہَ اصۡطَفٰی لَکُمُ الدِّیۡنَ فَلَا تَمُوۡتُنَّ اِلَّا وَ اَنۡتُمۡ مُّسۡلِمُوۡنَ --
“Hai anak-anakku, sesungguhnya Allah
telah memilih agama ini bagi kamu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam
keadaan berserah diri.” (Al-Baqarah [2]:131-133).
“Millat” (Sikap Hidup
Beragama) Nabi Ibrahim a.s. .
Sebutan “Muslim” Bagi Para
Pelakunya
Berbagai bentuk dari kata safiha, safaha
dan safuha berkenaan ayat مَنۡ سَفِہَ نَفۡسَ mempunyai arti yang
berbeda, safiha berarti: ia jahil, bodoh atau kurang akal. Jika kata itu
dipakai bersama dengan nafsahu, seolah-olah sebagai pelengkapnya seperti
dalam ayat ini, kata itu tidak sungguh-sungguh menjadi transitif (berpelengkap),
hanya nampaknya saja demikian (Lisan-al-‘Arab
dan Al-Mufradat).
Kata-kata itu berarti juga “yang telah membinasakan jiwanya sendiri.”
Makna
ayat فَلَا تَمُوۡتُنَّ اِلَّا وَ اَنۡتُمۡ مُّسۡلِمُوۡنَ -- “maka janganlah
kamu mati kecuali dalam keadaan
berserah diri,” karena tidak ada saat ditentukan untuk mati, maka orang hendaknya setiap saat menjalani kehidupannya
dengan berserah diri sepenuhnya
(aslim) kepada Allah Swt..
Ayat ini dapat pula berarti bahwa orang beriman sejati hendaknya begitu
sepenuhnya berserah diri (aslim)
kepada kehendak Ilahi dan meraih keridhaan-Nya begitu sempurna sehingga
Allah Swt. . dengan kemurahan-Nya
yang tidak terbatas, akan mengatur
demikian rupa sehingga kematian akan
datang kepadanya pada saat ketika ia berserah diri sepenuhnya (aslim) kepada kehendak-Nya.
Mengisyaratkan kepada millat
(sikap hidup) Nabi Ibrahim a.s.
itulah maka para pelakunya dinamakan Muslim,
firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوا ارۡکَعُوۡا وَ اسۡجُدُوۡا وَ اعۡبُدُوۡا رَبَّکُمۡ وَ
افۡعَلُوا الۡخَیۡرَ لَعَلَّکُمۡ تُفۡلِحُوۡنَ ﴿ۚٛ﴾ وَ جَاہِدُوۡا فِی اللّٰہِ حَقَّ جِہَادِہٖ ؕ ہُوَ
اجۡتَبٰىکُمۡ وَ مَا جَعَلَ عَلَیۡکُمۡ فِی الدِّیۡنِ مِنۡ حَرَجٍ ؕ مِلَّۃَ اَبِیۡکُمۡ اِبۡرٰہِیۡمَ ؕ ہُوَ سَمّٰىکُمُ
الۡمُسۡلِمِیۡنَ ۬ۙ مِنۡ قَبۡلُ وَ فِیۡ ہٰذَا
لِیَکُوۡنَ الرَّسُوۡلُ شَہِیۡدًا عَلَیۡکُمۡ وَ تَکُوۡنُوۡا شُہَدَآءَ
عَلَی النَّاسِ ۚۖ فَاَقِیۡمُوا الصَّلٰوۃَ
وَ اٰتُوا الزَّکٰوۃَ وَ
اعۡتَصِمُوۡا بِاللّٰہِ ؕ ہُوَ مَوۡلٰىکُمۡ ۚ فَنِعۡمَ الۡمَوۡلٰی وَ نِعۡمَ
النَّصِیۡرُ ﴿٪﴾
Hai orang-orang yang beriman, ارۡکَعُوۡا
وَ اسۡجُدُوۡا وَ اعۡبُدُوۡا رَبَّکُمۡ وَ افۡعَلُوا الۡخَیۡرَ لَعَلَّکُمۡ
تُفۡلِحُوۡنَ --rukuklah kamu, sujudlah,
sembahlah Rabb (Tuhan) kamu, dan berbuatlah
kebaikan supaya kamu memperoleh
kebahagiaan. جَاہِدُوۡا فِی اللّٰہِ حَقَّ
جِہَادِہٖ وَ -- dan berjihadlah kamu di jalan Allah
dengan jihad yang sebenar-benarnya,
ہُوَ اجۡتَبٰىکُمۡ --
Dia telah memilih kamu, dan Dia tidak
menjadikan kesukaran pada kamu dalam
urusan agama, مِلَّۃَ اَبِیۡکُمۡ
اِبۡرٰہِیۡمَ -- Ikutilah agama bapak kamu, Ibrahim,
ہُوَ سَمّٰىکُمُ الۡمُسۡلِمِیۡنَ ۬ۙ مِنۡ
قَبۡلُ وَ فِیۡ ہٰذَا -- Dia telah memberi kamu nama Muslimin dahulu dan dalam Kitab ini, supaya
Rasul itu menjadi saksi atas kamu dan supaya kamu menjadi saksi atas umat manusia. Maka dirikanlah shalat, bayarlah zakat, dan berpegang
teguhlah kepada Allah. Dia Pelindung
kamu maka Dia-lah sebaik-baik Pelin-dung
dan sebaik-baik Penolong. (Al-Hājj
[78-79).
Jihad
itu ada dua macam: (a) Jihad melawan keinginan-keinginan dan
kecenderungan buruk manusia sendiri, dan
(b) jihad melawan musuh-musuh kebenaran yang meliputi pula berperang
untuk membela diri. Jihad macam
pertama dapat dinamakan “Jihad dalam Allah” dan yang terakhir “Jihad
di jalan Allah”. Nabi Besar Muhammad saw.
telah menamakan jihad yang
pertama itu sebagai jihad besar (jihad kabir) dan yang kedua sebagai
jihad kecil (jihad saghir).
Di Akhir Zaman
ini umumnya umat Islam
membangga-banggakan "jihad" jenis kedua, tetapi benar-benar lalai dalam melaksanakan jenis "jihad"
yang kedua, yaitu melakukan perbaikan
akhlak dan ruhani yang menjadi
tujuan utama beribadah kepada Allah Swt. (QS.51:57; QS. QS.107:1-8),
padahal yang menjadi sasaran jihad fisik mereka itu bukan saja pihak Non-Muslim tetapi juga terhadap
sesama Muslim, padahal jelas
menurut Nabi Besar Muhammad saw. orang-orang yang membunuh sesama Muslim dengan sengaja balasannya bukan
"surga" melainkan "neraka jahannam" , bahkan
di dunia ini juga (QS.4:93-95;
QS.25:69-70), termasuk melakukan perusakan terhadap rumah-rumah ibadah, suatu perbuatan buruk yang sangat dikecam keras oleh Allah Swt. (QS.2:114; QS.22:40-41).
Ke-Muslim-an Paling Sempurna
Nabi Besar Muhammad saw.
Kata-kata “Dia telah memberi kamu nama Muslimin, dahulu dan dalam Kitab ini,”
menunjuk kepada nubuatan Nabi Yesaya a.s.:
“maka engkau akan disebut dengan
nama yang baharu, yang akan ditentukan oleh firman Tuhan .....” (Yesaya 62:2 dan 65:15)
Isyarat dalam kata-kata “dan dalam Kitab
ini” ditujukan kepada doa Nabi Ibrahim
a.s. yang dikutip dalam Al-Quran, yaitu:
رَبَّنَا وَ اجۡعَلۡنَا مُسۡلِمَیۡنِ لَکَ وَ مِنۡ ذُرِّیَّتِنَاۤ اُمَّۃً مُّسۡلِمَۃً لَّکَ ۪
“Ya Rabb (Tuhan) kami, jadikanlah kami
berdua ini مُسۡلِمَیۡنِ لَکَ -- hamba yang
menyerahkan diri kepada Engkau, dan juga dari anak-cucu kami jadikanlah اُمَّۃً مُّسۡلِمَۃً لَّکَ -- satu umat yang tunduk kepada Engkau.” (Al-Baqarah
[2]:129).
Aslim
(penyerahan diri) yang
diperagakan sebagai Muslim (orang yang berserah kiri) yang paling sempurna dalam segala seginya adalah yang diperagakan
oleh Nabi Besar Muhammad saw.,
berikut firman-Nya kepada beliau saw.:
قُلۡ اِنَّنِیۡ
ہَدٰىنِیۡ رَبِّیۡۤ اِلٰی صِرَاطٍ
مُّسۡتَقِیۡمٍ ۬ۚ دِیۡنًا قِیَمًا مِّلَّۃَ
اِبۡرٰہِیۡمَ حَنِیۡفًا ۚ وَ مَا کَانَ مِنَ الۡمُشۡرِکِیۡنَ ﴿﴾ قُلۡ اِنَّ
صَلَاتِیۡ وَ نُسُکِیۡ وَ مَحۡیَایَ وَ
مَمَاتِیۡ لِلّٰہِ رَبِّ
الۡعٰلَمِیۡنَ ﴿﴾ۙ لَا شَرِیۡکَ لَہٗ ۚ وَ بِذٰلِکَ اُمِرۡتُ وَ اَنَا اَوَّلُ الۡمُسۡلِمِیۡنَ ﴿﴾
Katakanlah: “Sesungguhnya aku telah diberi petunjuk oleh Rabb-ku (Tuhan-ku) kepada jalan lurus, agama yang teguh, مِّلَّۃَ
اِبۡرٰہِیۡمَ حَنِیۡفًا -- agama
Ibrahim yang lurus, وَ مَا کَانَ مِنَ الۡمُشۡرِکِیۡنَ -- dan dia bukanlah dari orang-orang musyrik.” قُلۡ اِنَّ
صَلَاتِیۡ وَ نُسُکِیۡ وَ مَحۡیَایَ وَ
مَمَاتِیۡ لِلّٰہِ رَبِّ
الۡعٰلَمِیۡنَ -- Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, pengorbananku, kehidupanku, dan kematianku
hanyalah untuk Allah, Rabb (Tuhan) seluruh alam; لَا شَرِیۡکَ لَہٗ ۚ وَ بِذٰلِکَ اُمِرۡتُ -- Tidak ada sekutu bagi-Nya, untuk itulah aku diperintahkan, وَ اَنَا اَوَّلُ
الۡمُسۡلِمِیۡنَ -- dan akulah
orang pertama yang berserah diri. (Al-An’ām [162-163).
Makna ayat وَ اَنَا اَوَّلُ
الۡمُسۡلِمِیۡنَ -- “dan akulah
orang pertama yang berserah diri,” yaitu bahwa
Nabi Besar Muhammad saw. adalah orang
yang pertama dalam memperagakan ke-Muslim-an yang paling sempurna dalam segala seginya, bahkan jauh lebih sempurna daripada ke-Muslim-an
Nabi Ibrahim a.s. sendiri, sebagaimana digambarkan dalam peristiwa mikraj
Nabi Besar Muhammad saw. mencapai
Sidratul Muntaha (QS.53:QS.1-19).
Orang yang Paling “Dekat”
dengan Nabi Ibrahim a.s. & Kesia-siaan Membanggakan Memiliki “Hubungan Darah”
Dalam makna
itu pulalah Allah Swt. telah menyatakan bahwa orang yang “paling dekat” dengan maqam
(martabat ke-Muslim-an) Nabi Ibrahim
a.s. adalah Nabi Besar Muhammad saw.
dan orang-orang beriman yang mengikuti sepenuhnya beliau saw.,
firman-Nya:
مَا کَانَ
اِبۡرٰہِیۡمُ یَہُوۡدِیًّا وَّ لَا نَصۡرَانِیًّا وَّ لٰکِنۡ کَانَ
حَنِیۡفًا مُّسۡلِمًا ؕ وَ مَا کَانَ مِنَ الۡمُشۡرِکِیۡنَ ﴿﴾ اِنَّ اَوۡلَی النَّاسِ بِاِبۡرٰہِیۡمَ لَلَّذِیۡنَ
اتَّبَعُوۡہُ وَ ہٰذَا النَّبِیُّ وَ الَّذِیۡنَ
اٰمَنُوۡا ؕ وَ اللّٰہُ وَلِیُّ
الۡمُؤۡمِنِیۡنَ ﴿﴾
Ibrahim sekali-kali bukanlah seorang Yahudi dan bukan
pula seorang Nasrani, وَّ لٰکِنۡ کَانَ حَنِیۡفًا مُّسۡلِمًا --
melainkan ia seorang yang selalu cenderung kepada Allāh dan berserah diri kepada-Nya, وَ مَا کَانَ مِنَ الۡمُشۡرِکِیۡنَ -- dan dia sama sekali bukan dari antara orang-orang musyrik. اِنَّ اَوۡلَی النَّاسِ بِاِبۡرٰہِیۡمَ لَلَّذِیۡنَ
اتَّبَعُوۡہُ --
Sesungguhnya manusia yang paling dekat kepada Ibrahim adalah orang-orang yang
benar-benar mengikutinya, وَ ہٰذَا النَّبِیُّ وَ الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا ؕ وَ اللّٰہُ وَلِیُّ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ
-- dan terutama Nabi ini serta orang-orang yang beriman kepadanya, وَ اللّٰہُ وَلِیُّ
الۡمُؤۡمِنِیۡنَ -- dan
Allah adalah Pelindung orang-orang yang beriman. (Ali ‘Imran [3]:68-69).
Dikarenakan Nabi Besar Muhammad saw. dan (Al-Quran) adalah Rasul Allah dan agama
untuk seluruh umat manusia (QS.7:159;
QS.21:108; QS.25:2; QS.34:29), karena itu adanya hubungan darah atau hubungan kebangsaan
serta kesukuan dengan Nabi Besar Muhammad saw. –
demikian pula dengan Nabi Ibrahim
a.s. -- bukanlah sesuatu yang harus diperhitungkan, apalagi harus dibangga-banggakan. Demikianlah penegasan Allah Swt. dalam firman-Nya tersebut.
Mengenai kesia-siaan membangga-banggakan “hubungan
darah” seperti itu Allah Swt. berfirman:
وَ اِذِ ابۡتَلٰۤی اِبۡرٰہٖمَ رَبُّہٗ بِکَلِمٰتٍ فَاَتَمَّہُنَّ ؕ قَالَ
اِنِّیۡ جَاعِلُکَ لِلنَّاسِ
اِمَامًا ؕ قَالَ وَ مِنۡ ذُرِّیَّتِیۡ ؕ قَالَ لَا یَنَالُ عَہۡدِی الظّٰلِمِیۡنَ ﴿﴾
Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji oleh Rabb-nya (Tuhan-nya) dengan beberapa perintah maka dilaksana-kannya
sepenuhnya. قَالَ اِنِّیۡ جَاعِلُکَ لِلنَّاسِ
اِمَامًا -- Dia berfirman:
“Sesungguhnya Aku akan
menjadikan engkau imam bagi manusia.” قَالَ وَ مِنۡ ذُرِّیَّتِیۡ --
Ia, Ibrahim, berkata: “Dan jadikanlah
juga imam dari keturunanku.” قَالَ لَا یَنَالُ عَہۡدِی الظّٰلِمِیۡنَ -- Dia berfirman: “Janji-Ku tidak mencapai yakni tidak
berlaku bagi orang-orang zalim.”
(Al-Baqarah
[2]:125).
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik
Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 20 Juni
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar