Selasa, 15 Juli 2014

Orang-orang yang Paling "Dekat" dengan Nabi Ibrahim a.s. & Ke-Muslim-an Paling Sempurna Nabi Besar Muhammad Saw.



 بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم


Khazanah Ruhani Surah  Shād


Bab   264

  Orang-orang yang Paling “Dekat” dengan Nabi Ibrahim a.s.  & Ke-Muslim-an Paling Sempurna Nabi Besar Muhammad Saw.

 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma
 
D
alam  akhir Bab sebelumnya   telah dikemukakan mengenai makna lain   yang terkandung dalam firman-Nya  اَنۡ لَّا تُشۡرِکۡ بِیۡ شَیۡئًا  --  Janganlah mempersekutukan Aku dengan sesuatu,” dan hubungannya dengan  وَّ طَہِّرۡ بَیۡتِیَ  -- “dan bersihkanlah rumah-Ku, firman-Nya:
وَ اِذۡ بَوَّاۡنَا لِاِبۡرٰہِیۡمَ مَکَانَ الۡبَیۡتِ اَنۡ لَّا تُشۡرِکۡ بِیۡ شَیۡئًا وَّ طَہِّرۡ بَیۡتِیَ لِلطَّآئِفِیۡنَ وَ الۡقَآئِمِیۡنَ وَ الرُّکَّعِ السُّجُوۡدِ ﴿﴾
Dan ingatlah ketika Kami menempatkan    Ibrahim di tempat  rumah  Allah dan berfirman: “Janganlah mempersekutukan Aku dengan sesuatu, dan  bersihkanlah rumah-Ku  bagi orang-orang yang thawaf,  yang berdiri tegak dan orang-orang yang rukuk  serta sujud. (Al-Hajj [22]:27). Lihat pula QS.2:126.

Hubungan “Baitullah” dengan  Kesaksian “Qalbu” Manusia Mengenai Tauhid Ilahi

        Pada hakikatnya kemusyrikan (syirik) itu mengotorkan hati (jiwa) manusia,  karena  Ka’bah (Baitullah) yang letaknya berada di lembah Bakkah (Mekkah – QS.3:97) merupakan kiasan dari qalbu (hati) atau ruh (jiwa) yang berada dalam tubuh manusia   yang  di dalam qalbu tersebut Allah Swt. telah menanamkan Tauhid Ilahi, firman-Nya:
وَ اِذۡ اَخَذَ رَبُّکَ مِنۡۢ بَنِیۡۤ اٰدَمَ مِنۡ ظُہُوۡرِہِمۡ ذُرِّیَّتَہُمۡ وَ اَشۡہَدَہُمۡ عَلٰۤی اَنۡفُسِہِمۡ ۚ اَلَسۡتُ بِرَبِّکُمۡ ؕ قَالُوۡا بَلٰی ۚۛ شَہِدۡنَا ۚۛ اَنۡ تَقُوۡلُوۡا یَوۡمَ  الۡقِیٰمَۃِ  اِنَّا کُنَّا عَنۡ  ہٰذَا غٰفِلِیۡنَ ﴿﴾ۙ  اَوۡ تَقُوۡلُوۡۤا  اِنَّمَاۤ  اَشۡرَکَ  اٰبَآؤُنَا مِنۡ  قَبۡلُ وَ کُنَّا ذُرِّیَّۃً مِّنۡۢ بَعۡدِہِمۡ ۚ اَفَتُہۡلِکُنَا بِمَا فَعَلَ الۡمُبۡطِلُوۡنَ﴿﴾ وَ کَذٰلِکَ نُفَصِّلُ الۡاٰیٰتِ وَ لَعَلَّہُمۡ یَرۡجِعُوۡنَ ﴿﴾
Dan ingatlah ketika Rabb (Tuhan) engkau mengambil  kesaksian dari  bani (keturunan) Adam  yakni   dari sulbi  keturunan  mereka serta menjadikan mereka saksi atas dirinya sendiri  sambil berfirman:  اَلَسۡتُ بِرَبِّکُمۡ   -- ”Bukankah Aku Tuhan kamu?”  قَالُوۡا بَلٰی ۚۛ شَہِدۡنَا  -- Mereka berkata: “Ya benar, kami menjadi saksi.” Hal  itu supaya  kamu tidak berkata pada Hari Kiamat:   اِنَّا کُنَّا عَنۡ  ہٰذَا غٰفِلِیۡنَ  -- “Sesungguhnya kami  benar-benar lengah dari hal ini.  Atau kamu mengatakan:  اِنَّمَاۤ  اَشۡرَکَ  اٰبَآؤُنَا مِنۡ  قَبۡلُ وَ کُنَّا ذُرِّیَّۃً مِّنۡۢ بَعۡدِہِمۡ   --  “Sesungguhnya bapak-bapak kami dahulu yang berbuat syirik, sedangkan kami hanyalah keturunan sesudah mereka.  اَفَتُہۡلِکُنَا بِمَا فَعَلَ الۡمُبۡطِلُوۡنَ  -- Apakah Engkau akan membinasakan kami karena apa yang telah  dikerjakan oleh orang-orang yang  berbuat batil itu?”  Dan demikianlah Kami menjelaskan Tanda-tanda itu  dan supaya mereka kembali kepada yang haq. (Al-A’rāf [7]:173-175).
          Itulah hikmah lain dari makna larangan mempersekutukan Allah Swt. dalam firman-Nya:
وَ اِذۡ بَوَّاۡنَا لِاِبۡرٰہِیۡمَ مَکَانَ الۡبَیۡتِ اَنۡ لَّا تُشۡرِکۡ بِیۡ شَیۡئًا وَّ طَہِّرۡ بَیۡتِیَ لِلطَّآئِفِیۡنَ وَ الۡقَآئِمِیۡنَ وَ الرُّکَّعِ السُّجُوۡدِ ﴿﴾
Dan ingatlah ketika Kami menempatkan Ibrahim di tempat  rumah  Allah dan berfirman: “Janganlah mempersekutukan Aku dengan sesuatu, dan  bersihkanlah rumah-Ku  bagi orang-orang yang thawaf,  yang berdiri tegak dan orang-orang yang rukuk  serta sujud. (Al-Hajj [22]:27). Lihat pula QS.2:126.

Makna Lain Thawaf  dan Qiyam

         Makna ayat selanjutnya    لِلطَّآئِفِیۡنَ  -- bagi orang-orang yang thawaf (QS.22:27). Menurut bahasa kata thawaf adalah bentuk jamak dari kata thaif, artinya “orang yang berthawaf  (berputar-putar) di sekeliling Baitul Haram (Ka’bah). Menurut istilah: mengelilingi Ka’bah sebanyak 7 kali putaran, di mana tiga kali pertama dengan lari-lari kecil (jika mungkin) dan selanjutnya dengan berjalan biasa yang arahnya berlawanan dengan arah jarum jam. Thawaf dimulai dan berakhir di Hajar Aswad (tempat batu hitam) dengan menjadikan Baitullah di sebelah kiri.
        Maknanya adalah bahwa manusia  selama hidupnya  dalam melaksanakan berbagai aktivitas kehidupannya   harus bergerak   — yakni  berthawaf  (berkeliling-keliling) di sekitar Tauhid Ilahi,   karena   7  (tujuh) dalam bahasa Arab melambangkan jumlah yang tidak terbatas.
        Ada pun makna  وَ الۡقَآئِمِیۡنَ   -- yang berdiri tegak (QS.22:27) melambangkan orang-orang yang sebelumnya berada pada tahap “thawaf” (bekeliling-keliling) di sekitar “Tauhid Ilahi” kemudian menjadi orang-orang telah berdiri tegak (teguh)  di atas Tauhid Ilahi, firman-Nya:
اِنَّ  الَّذِیۡنَ قَالُوۡا رَبُّنَا اللّٰہُ  ثُمَّ اسۡتَقَامُوۡا تَتَنَزَّلُ عَلَیۡہِمُ الۡمَلٰٓئِکَۃُ  اَلَّا تَخَافُوۡا وَ لَا تَحۡزَنُوۡا وَ اَبۡشِرُوۡا بِالۡجَنَّۃِ  الَّتِیۡ  کُنۡتُمۡ تُوۡعَدُوۡنَ ﴿﴾ نَحۡنُ اَوۡلِیٰٓؤُکُمۡ فِی الۡحَیٰوۃِ  الدُّنۡیَا وَ فِی الۡاٰخِرَۃِ ۚ وَ لَکُمۡ فِیۡہَا مَا تَشۡتَہِیۡۤ اَنۡفُسُکُمۡ وَ لَکُمۡ فِیۡہَا مَا تَدَّعُوۡنَ ﴿ؕ﴾  نُزُلًا  مِّنۡ غَفُوۡرٍ  رَّحِیۡمٍ ﴿٪﴾
Sesungguhnya orang-orang yang berkata: ” Rabb (Tuhan) kami Allah,” ثُمَّ اسۡتَقَامُوۡ  -- kemudian mereka teguh,  kepada mereka turun  malaikat-malaikat seraya berkata: Janganlah kamu takut, dan jangan pula bersedih, dan bergembiralah  kamu dengan surga yang telah dijanjikan kepada kamu.   نَحۡنُ اَوۡلِیٰٓؤُکُمۡ فِی الۡحَیٰوۃِ  الدُّنۡیَا وَ فِی الۡاٰخِرَۃِ  -- Kami adalah teman-teman kamu di dalam kehidupan dunia dan di akhirat. وَ لَکُمۡ فِیۡہَا مَا تَشۡتَہِیۡۤ اَنۡفُسُکُمۡ    -- dan bagi  kamu di dalamnya apa yang diinginkan diri kamu,  وَ لَکُمۡ فِیۡہَا مَا تَدَّعُوۡنَ --  dan bagi kamu di dalamnya apa yang kamu minta.  نُزُلًا  مِّنۡ غَفُوۡرٍ  رَّحِیۡمٍ   -- sebagai hidangan dari Tuhan Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (  Mīm  - As-Sajdah (Al-Fushshilat – 41):31-33). Lihat pula QS.46:14-15.

Makna Lain Rukuk dan Sujud & Hubungannya dengan “Aslim” (Berserah Diri)

       Selanjutnya makna lain dari rukuk    dalam ayat وَ الرُّکَّعِ   -- “orang-orang yang rukuk”, dalam shalat  arti rukuk  adalah membungkukkan tubuh  yang melambangkan kepatuh-taatan, firman-Nya  mengenai Bani Israil:
وَ اَقِیۡمُوا الصَّلٰوۃَ وَ اٰتُوا الزَّکٰوۃَ وَ ارۡکَعُوۡا مَعَ الرّٰکِعِیۡنَ ﴿﴾
Dan  dirikanlah shalat,  bayarlah zakat, dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk.  (Al-Baqarah [2]:44). Lihat pula QS.3:44; QS.5:56; QS.9:112.
         Raki’ berarti orang yang rukuk di hadapan Allah Swt.  (Lisan-al-Arab). Orang-orang Arab memakai kata itu untuk orang yang menyembah Allah Swt.  semata-mata dan bukan untuk orang yang menyembah berhala (Haqiqatul Asas).
         Selanjutnya mengenai makna  kata    السُّجُوۡدِ -- “sujud” melambangkan penyerahan diri  atau kepatuh-taatan   sempurna kepada Allah Swt., sebagaimana  perintah Allah Swt. kepada para malaikat, firman-Nya: 
وَ اِذۡ قُلۡنَا لِلۡمَلٰٓئِکَۃِ اسۡجُدُوۡا لِاٰدَمَ فَسَجَدُوۡۤا  اِلَّاۤ  اِبۡلِیۡسَ ؕ اَبٰی وَ اسۡتَکۡبَرَ ٭۫ وَ  کَانَ مِنَ الۡکٰفِرِیۡنَ ﴿﴾
Dan ingatlah  ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah  yakni tunduk-patuhlah  kamu kepada  Adam” lalu mereka sujud kecuali  iblis,  ia menolak dan takabur,  dan   ia  termasuk dari antara orang-orang yang  kafir. (Al-Baqarah [2]:35).
         Adam sebagai “Khalifah Allah  atau Rasul Allah  melambangkan perwujudan Tauhid Ilahi   di muka bumi ini,  sebab hanya kepadanya Allah Swt. membukakan rahasia-rahasia gaib Wujud-Nya atau  al-Asmā  Allah Swt. (QS.2:31-34; QS.3:180; QS.72:27-29),  karena itu sudah seharusnya manusia dalam melakukan  perjalanan ruhani  (suluk)  kepada Allah Swt. yang dimulai dengan thawaf, qiyam dan rukuk  -- harus berakhir dengan “sujud” kepada-Nya  atau aslim  (berserah diri) kepada Allah Swt.     sebagaimana dilambangkan dalam shalat.
         Mengenai    makna “sujud  atau aslim  (berserah diri) kepada Allah Swt. tersebut,  berikut firman-Nya  mengenai millat  (sikap beragama)  Nabi Ibrahim a.s. yang beliau “wariskan” kepada seluruh keturunan beliau:
وَ مَنۡ یَّرۡغَبُ عَنۡ مِّلَّۃِ  اِبۡرٰہٖمَ  اِلَّا مَنۡ سَفِہَ نَفۡسَہٗ ؕ وَ لَقَدِ اصۡطَفَیۡنٰہُ فِی الدُّنۡیَا ۚ وَ اِنَّہٗ فِی الۡاٰخِرَۃِ  لَمِنَ الصّٰلِحِیۡنَ ﴿﴾ اِذۡ قَالَ لَہٗ رَبُّہٗۤ  اَسۡلِمۡ ۙ قَالَ اَسۡلَمۡتُ لِرَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ ﴿﴾ وَ وَصّٰی بِہَاۤ اِبۡرٰہٖمُ  بَنِیۡہِ وَ یَعۡقُوۡبُ ؕ یٰبَنِیَّ  اِنَّ اللّٰہَ اصۡطَفٰی لَکُمُ الدِّیۡنَ فَلَا تَمُوۡتُنَّ  اِلَّا وَ اَنۡتُمۡ  مُّسۡلِمُوۡنَ﴿﴾ؕ
Dan siapakah yang berpaling   عَنۡ مِّلَّۃِ  اِبۡرٰہٖمَ  اِلَّا مَنۡ سَفِہَ نَفۡسَہٗ  -- dari  agama Ibrahim selain orang yang memperbodoh dirinya sendiri?  Dan  sungguh  Kami  benar-benar telah memilihnya di dunia dan sesungguhnya di akhirat pun dia termasuk orang-orang yang saleh.   Ingatlah ketika Rabb-nya (Tuhan-nya) berfirman kepadanya:  اَسۡلِمۡ ۙ ق   -- “Berserah-dirilah”,  قَالَ اَسۡلَمۡتُ لِرَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ    -- ia berkata:  Aku telah berserah diri kepada Rabb (Tuhan) seluruh  alam.”  وَ وَصّٰی بِہَاۤ اِبۡرٰہٖمُ  بَنِیۡہِ وَ یَعۡقُوۡبُ    --   dan Ibrahim mewasiatkan yang demikian kepada anak-anaknya dan demikian pula Ya’qub  seraya  berkata:  یٰبَنِیَّ  اِنَّ اللّٰہَ اصۡطَفٰی لَکُمُ الدِّیۡنَ فَلَا تَمُوۡتُنَّ  اِلَّا وَ اَنۡتُمۡ  مُّسۡلِمُوۡنَ    -- “Hai anak-anakku, sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagi kamu,  maka janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan berserah diri.  (Al-Baqarah [2]:131-133).

“Millat” (Sikap Hidup Beragama) Nabi Ibrahim a.s. .     Sebutan   Muslim” Bagi  Para Pelakunya 

         Berbagai bentuk dari kata safiha, safaha dan safuha  berkenaan ayat  مَنۡ سَفِہَ نَفۡسَ    mempunyai arti yang berbeda, safiha berarti: ia jahil, bodoh atau kurang akal. Jika kata itu dipakai bersama dengan nafsahu, seolah-olah sebagai pelengkapnya seperti dalam ayat ini, kata itu tidak sungguh-sungguh menjadi transitif (berpelengkap), hanya nampaknya saja demikian (Lisan-al-‘Arab dan Al-Mufradat). Kata-kata itu berarti juga  yang telah membinasakan jiwanya sendiri.”
         Makna ayat    فَلَا تَمُوۡتُنَّ  اِلَّا وَ اَنۡتُمۡ  مُّسۡلِمُوۡنَ  -- “maka janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan berserah diri,” karena tidak ada saat ditentukan untuk mati, maka orang hendaknya setiap saat menjalani kehidupannya dengan berserah diri sepenuhnya (aslim) kepada Allah Swt..
      Ayat ini dapat pula berarti bahwa orang beriman sejati hendaknya begitu sepenuhnya berserah diri (aslim) kepada kehendak Ilahi dan meraih keridhaan-Nya begitu sempurna sehingga Allah Swt. . dengan kemurahan-Nya yang tidak terbatas, akan mengatur demikian rupa sehingga kematian akan datang kepadanya pada saat ketika ia berserah  diri sepenuhnya (aslim) kepada kehendak-Nya.
         Mengisyaratkan kepada millat (sikap hidup) Nabi Ibrahim a.s. itulah  maka   para pelakunya dinamakan  Muslim, firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوا ارۡکَعُوۡا  وَ اسۡجُدُوۡا وَ اعۡبُدُوۡا رَبَّکُمۡ وَ افۡعَلُوا الۡخَیۡرَ  لَعَلَّکُمۡ  تُفۡلِحُوۡنَ ﴿ۚٛ﴾ وَ جَاہِدُوۡا فِی اللّٰہِ حَقَّ جِہَادِہٖ ؕ ہُوَ اجۡتَبٰىکُمۡ وَ مَا جَعَلَ عَلَیۡکُمۡ فِی الدِّیۡنِ مِنۡ حَرَجٍ ؕ مِلَّۃَ  اَبِیۡکُمۡ اِبۡرٰہِیۡمَ ؕ ہُوَ سَمّٰىکُمُ الۡمُسۡلِمِیۡنَ ۬ۙ مِنۡ قَبۡلُ وَ فِیۡ ہٰذَا  لِیَکُوۡنَ الرَّسُوۡلُ شَہِیۡدًا عَلَیۡکُمۡ وَ تَکُوۡنُوۡا شُہَدَآءَ عَلَی النَّاسِ ۚۖ فَاَقِیۡمُوا الصَّلٰوۃَ  وَ اٰتُوا الزَّکٰوۃَ  وَ اعۡتَصِمُوۡا بِاللّٰہِ ؕ ہُوَ مَوۡلٰىکُمۡ ۚ فَنِعۡمَ الۡمَوۡلٰی وَ نِعۡمَ النَّصِیۡرُ ﴿٪﴾
Hai orang-orang yang beriman,   ارۡکَعُوۡا  وَ اسۡجُدُوۡا وَ اعۡبُدُوۡا رَبَّکُمۡ وَ افۡعَلُوا الۡخَیۡرَ  لَعَلَّکُمۡ  تُفۡلِحُوۡنَ  --rukuklah kamu, sujudlah, sembahlah  Rabb (Tuhan) kamu, dan berbuatlah kebaikan supaya kamu memperoleh kebahagiaan. جَاہِدُوۡا فِی اللّٰہِ حَقَّ  جِہَادِہٖ وَ --  dan berjihadlah kamu di jalan Allah   dengan jihad  yang sebenar-benarnya, ہُوَ اجۡتَبٰىکُمۡ  -- Dia telah memilih kamu, dan Dia tidak menjadikan kesukaran pada  kamu dalam urusan agama, مِلَّۃَ  اَبِیۡکُمۡ اِبۡرٰہِیۡمَ -- Ikutilah agama bapak kamu, Ibrahim, ہُوَ سَمّٰىکُمُ الۡمُسۡلِمِیۡنَ ۬ۙ مِنۡ قَبۡلُ وَ فِیۡ ہٰذَا    -- Dia telah memberi kamu nama Muslimin  dahulu dan dalam Kitab ini,    supaya Rasul itu menjadi saksi atas kamu  dan supaya kamu menjadi saksi atas umat manusia. Maka dirikanlah shalat, bayarlah zakat, dan berpegang teguhlah kepada Allah. Dia Pelindung kamu  maka Dia-lah sebaik-baik Pelin-dung  dan sebaik-baik Penolong. (Al-Hājj [78-79).
     Jihad itu ada dua macam: (a) Jihad melawan keinginan-keinginan dan kecenderungan buruk manusia sendiri,  dan (b) jihad melawan musuh-musuh kebenaran yang meliputi pula berperang untuk membela diri. Jihad macam pertama dapat dinamakan “Jihad dalam Allah” dan yang terakhir “Jihad di jalan Allah”. Nabi Besar Muhammad saw.  telah menamakan jihad yang pertama itu sebagai jihad besar (jihad kabir) dan yang kedua sebagai jihad kecil (jihad saghir).
        Di Akhir Zaman ini  umumnya umat Islam membangga-banggakan "jihad" jenis kedua, tetapi benar-benar lalai dalam melaksanakan  jenis "jihad" yang kedua, yaitu melakukan perbaikan akhlak dan ruhani yang menjadi tujuan utama beribadah kepada Allah Swt. (QS.51:57; QS. QS.107:1-8), padahal yang menjadi sasaran  jihad  fisik mereka itu bukan saja  pihak Non-Muslim tetapi juga  terhadap  sesama Muslim, padahal jelas menurut Nabi Besar Muhammad saw. orang-orang yang membunuh sesama  Muslim dengan sengaja balasannya bukan "surga" melainkan "neraka jahannam" , bahkan di dunia ini juga (QS.4:93-95; QS.25:69-70), termasuk melakukan perusakan terhadap rumah-rumah ibadah,  suatu perbuatan buruk yang sangat dikecam keras  oleh Allah Swt. (QS.2:114; QS.22:40-41).

Ke-Muslim-an  Paling Sempurna Nabi Besar Muhammad saw.

          Kata-kata “Dia telah memberi kamu nama Muslimin, dahulu dan dalam Kitab ini,” menunjuk kepada nubuatan Nabi Yesaya a.s.:  maka engkau akan disebut dengan nama yang baharu, yang akan ditentukan oleh firman Tuhan .....” (Yesaya 62:2 dan 65:15)
        Isyarat dalam kata-kata “dan dalam Kitab ini” ditujukan kepada doa  Nabi Ibrahim  a.s.   yang dikutip dalam Al-Quran, yaitu:
رَبَّنَا وَ اجۡعَلۡنَا مُسۡلِمَیۡنِ لَکَ وَ مِنۡ ذُرِّیَّتِنَاۤ اُمَّۃً مُّسۡلِمَۃً  لَّکَ ۪
“Ya  Rabb (Tuhan) kami, jadikanlah kami berdua ini  مُسۡلِمَیۡنِ لَکَ -- hamba yang menyerahkan diri kepada Engkau, dan juga dari anak-cucu kami jadikanlah اُمَّۃً مُّسۡلِمَۃً  لَّکَ  -- satu umat yang tunduk kepada Engkau.” (Al-Baqarah [2]:129).
       Aslim  (penyerahan diri)  yang diperagakan sebagai Muslim  (orang yang berserah kiri) yang paling sempurna  dalam segala seginya adalah yang diperagakan oleh Nabi Besar Muhammad saw., berikut  firman-Nya kepada beliau saw.: 
قُلۡ  اِنَّنِیۡ ہَدٰىنِیۡ رَبِّیۡۤ  اِلٰی صِرَاطٍ مُّسۡتَقِیۡمٍ ۬ۚ دِیۡنًا قِیَمًا مِّلَّۃَ  اِبۡرٰہِیۡمَ حَنِیۡفًا ۚ وَ مَا کَانَ مِنَ الۡمُشۡرِکِیۡنَ ﴿﴾  قُلۡ  اِنَّ صَلَاتِیۡ  وَ نُسُکِیۡ وَ مَحۡیَایَ وَ مَمَاتِیۡ   لِلّٰہِ   رَبِّ  الۡعٰلَمِیۡنَ ﴿﴾ۙ   لَا شَرِیۡکَ لَہٗ ۚ وَ بِذٰلِکَ اُمِرۡتُ وَ اَنَا  اَوَّلُ الۡمُسۡلِمِیۡنَ ﴿﴾
Katakanlah: “Sesungguhnya aku telah diberi petunjuk oleh Rabb-ku (Tuhan-ku) kepada jalan lurus, agama yang teguh,  مِّلَّۃَ  اِبۡرٰہِیۡمَ حَنِیۡفًا  --  agama Ibrahim yang lurus,  وَ مَا کَانَ مِنَ الۡمُشۡرِکِیۡنَ -- dan dia bukanlah dari   orang-orang musyrik.” قُلۡ  اِنَّ صَلَاتِیۡ  وَ نُسُکِیۡ وَ مَحۡیَایَ وَ مَمَاتِیۡ   لِلّٰہِ   رَبِّ  الۡعٰلَمِیۡنَ  --   Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, pengorbananku,  kehidupanku, dan  kematianku  hanyalah untuk Allah, Rabb (Tuhan) seluruh  alam;      لَا شَرِیۡکَ لَہٗ ۚ وَ بِذٰلِکَ اُمِرۡتُ --    Tidak ada sekutu bagi-Nya, untuk itulah aku diperintahkan,  وَ اَنَا  اَوَّلُ الۡمُسۡلِمِیۡنَ   --  dan akulah orang pertama  yang berserah diri. (Al-An’ām [162-163).
        Makna ayat     وَ اَنَا  اَوَّلُ الۡمُسۡلِمِیۡنَ   --  “dan akulah orang pertama  yang berserah diri,” yaitu     bahwa Nabi Besar Muhammad saw. adalah orang yang pertama dalam memperagakan ke-Muslim-an    yang paling sempurna dalam segala seginya, bahkan jauh lebih sempurna daripada ke-Muslim-an Nabi Ibrahim a.s. sendiri, sebagaimana digambarkan dalam peristiwa mikraj  Nabi Besar Muhammad saw.  mencapai Sidratul Muntaha  (QS.53:QS.1-19).

Orang yang Paling  Dekat” dengan Nabi Ibrahim a.s. & Kesia-siaan Membanggakan  Memiliki “Hubungan Darah”

       Dalam makna itu pulalah Allah Swt. telah menyatakan bahwa orang yang “paling dekat” dengan maqam (martabat ke-Muslim-an) Nabi Ibrahim a.s. adalah Nabi Besar Muhammad saw. dan orang-orang beriman yang mengikuti sepenuhnya beliau saw., firman-Nya: 
مَا کَانَ  اِبۡرٰہِیۡمُ یَہُوۡدِیًّا وَّ لَا نَصۡرَانِیًّا وَّ لٰکِنۡ کَانَ حَنِیۡفًا مُّسۡلِمًا ؕ وَ مَا کَانَ مِنَ الۡمُشۡرِکِیۡنَ ﴿﴾  اِنَّ اَوۡلَی النَّاسِ بِاِبۡرٰہِیۡمَ لَلَّذِیۡنَ اتَّبَعُوۡہُ وَ ہٰذَا النَّبِیُّ وَ الَّذِیۡنَ  اٰمَنُوۡا ؕ وَ اللّٰہُ وَلِیُّ  الۡمُؤۡمِنِیۡنَ ﴿﴾
Ibrahim sekali-kali bukanlah seorang Yahudi dan  bukan pula seorang Nasrani,  وَّ لٰکِنۡ کَانَ حَنِیۡفًا مُّسۡلِمًا  --  melainkan  ia seorang yang selalu  cenderung kepada Allāh dan berserah  diri kepada-Nya,  وَ مَا کَانَ مِنَ الۡمُشۡرِکِیۡنَ -- dan dia sama sekali bukan dari antara orang-orang musyrik. اِنَّ اَوۡلَی النَّاسِ بِاِبۡرٰہِیۡمَ لَلَّذِیۡنَ اتَّبَعُوۡہُ         --  Sesungguhnya manusia yang paling dekat kepada Ibrahim adalah orang-orang yang benar-benar mengikutinya,   وَ ہٰذَا النَّبِیُّ وَ الَّذِیۡنَ  اٰمَنُوۡا ؕ وَ اللّٰہُ وَلِیُّ  الۡمُؤۡمِنِیۡنَ     --    dan terutama  Nabi ini  serta  orang-orang yang beriman kepadanya,  وَ اللّٰہُ وَلِیُّ  الۡمُؤۡمِنِیۡنَ   --  dan Allah adalah Pelindung  orang-orang  yang beriman. (Ali ‘Imran [3]:68-69).
        Dikarenakan Nabi Besar Muhammad saw. dan    (Al-Quran) adalah Rasul Allah dan agama untuk seluruh umat manusia (QS.7:159; QS.21:108; QS.25:2; QS.34:29), karena itu adanya hubungan darah atau hubungan kebangsaan serta kesukuan dengan Nabi Besar Muhammad saw.      demikian pula dengan Nabi Ibrahim a.s.  -- bukanlah sesuatu yang harus diperhitungkan,  apalagi harus dibangga-banggakan. Demikianlah penegasan  Allah Swt. dalam firman-Nya tersebut.
      Mengenai kesia-siaan membangga-banggakan  hubungan darah” seperti itu Allah Swt. berfirman:
وَ اِذِ ابۡتَلٰۤی  اِبۡرٰہٖمَ  رَبُّہٗ بِکَلِمٰتٍ فَاَتَمَّہُنَّ ؕ قَالَ اِنِّیۡ جَاعِلُکَ لِلنَّاسِ  اِمَامًا ؕ قَالَ وَ مِنۡ ذُرِّیَّتِیۡ ؕ قَالَ لَا یَنَالُ عَہۡدِی الظّٰلِمِیۡنَ ﴿﴾
Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji oleh Rabb-nya (Tuhan-nya) dengan beberapa perintah  maka dilaksana-kannya sepenuhnya. قَالَ اِنِّیۡ جَاعِلُکَ لِلنَّاسِ  اِمَامًا   -- Dia berfirman: “Sesungguhnya  Aku akan  menjadikan engkau imam  bagi manusia.”  قَالَ وَ مِنۡ ذُرِّیَّتِیۡ   -- Ia, Ibrahim,  berkata: “Dan jadikanlah juga imam dari  keturunanku.  قَالَ لَا یَنَالُ عَہۡدِی الظّٰلِمِیۡنَ  -- Dia berfirman: “Janji-Ku tidak mencapai yakni tidak berlaku bagi orang-orang zalim.” (Al-Baqarah [2]:125).


(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar,  20 Juni    2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar