Selasa, 15 Juli 2014

Cara Meraih Derajat "Haji Mabrur" & Pengabulan Doa Memperoleh "Nikmat-nikmat Ruhani" Dalam Surah Al-Fatihah


  بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم


Khazanah Ruhani Surah  Shād


Bab   266

     Cara Meraih Derajat “Haji Mabrur” & Pengabulan Doa Memperoleh "Nikmat-nikmat Ruhani" Dalam Surah Al-Fatihah

 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma


D
alam  akhir Bab sebelumnya   telah dikemukakan mengenai kalimat یَاۡتُوۡکَ  رِجَالًا وَّ عَلٰی کُلِّ ضَامِرٍ یَّاۡتِیۡنَ مِنۡ کُلِّ فَجٍّ عَمِیۡقٍ -- ‘’mereka akan datang kepada engkau berjalan kaki dan menunggang unta yang kurus datang dari segenap penjuru yang jauh-jauh,dalam firman-Nya:
وَ اَذِّنۡ فِی النَّاسِ بِالۡحَجِّ  یَاۡتُوۡکَ  رِجَالًا وَّ عَلٰی کُلِّ ضَامِرٍ یَّاۡتِیۡنَ مِنۡ کُلِّ فَجٍّ عَمِیۡقٍ ﴿ۙ﴾
”Dan umumkanlah  kepada manusia untuk ibadah haji, mereka akan datang kepada engkau berjalan kaki dan menunggang unta yang kurus, datang dari segenap penjuru yang jauh-jauh. (Al-Hājj [22]:28).
       Di dalam ayat tersebut  tergambar  ketaatan  serta kecintaan  para “tamu Allah” yang sangat berhasrat untuk  memenuhi panggilan  atau pengumuman Allah Swt. melalui Nabi Ibrahim a.s. tersebut, seakan-akan merupakan  jawaban tegas ruh ketika ditanya oleh Allah Swt.:  اَلَسۡتُ بِرَبِّکُمۡ   -- ”Bukankah Aku  Rabb (Tuhan) kamu?”  قَالُوۡا بَلٰی ۚۛ شَہِدۡنَا  -- mereka berkata: “Ya benar, kami menjadi saksi,” firman-Nya:
وَ اِذۡ اَخَذَ رَبُّکَ مِنۡۢ بَنِیۡۤ اٰدَمَ مِنۡ ظُہُوۡرِہِمۡ ذُرِّیَّتَہُمۡ وَ اَشۡہَدَہُمۡ عَلٰۤی اَنۡفُسِہِمۡ ۚ اَلَسۡتُ بِرَبِّکُمۡ ؕ قَالُوۡا بَلٰی ۚۛ شَہِدۡنَا ۚۛ اَنۡ تَقُوۡلُوۡا یَوۡمَ  الۡقِیٰمَۃِ  اِنَّا کُنَّا عَنۡ  ہٰذَا غٰفِلِیۡنَ ﴿﴾ۙ  اَوۡ تَقُوۡلُوۡۤا  اِنَّمَاۤ  اَشۡرَکَ  اٰبَآؤُنَا مِنۡ  قَبۡلُ وَ کُنَّا ذُرِّیَّۃً مِّنۡۢ بَعۡدِہِمۡ ۚ اَفَتُہۡلِکُنَا بِمَا فَعَلَ الۡمُبۡطِلُوۡنَ﴿﴾ وَ کَذٰلِکَ نُفَصِّلُ الۡاٰیٰتِ وَ لَعَلَّہُمۡ یَرۡجِعُوۡنَ ﴿﴾
Dan ingatlah ketika Rabb (Tuhan) engkau mengambil  kesaksian dari  bani (keturunan) Adam  yakni   dari sulbi  keturunan  mereka serta menjadikan mereka saksi atas dirinya sendiri  sambil berfirman:  اَلَسۡتُ بِرَبِّکُمۡ   -- ”Bukankah Aku Rabb (Tuhan) kamu?”  قَالُوۡا بَلٰی ۚۛ شَہِدۡنَا  -- Mereka berkata: “Ya benar, kami menjadi saksi.” Hal itu supaya  kamu tidak berkata pada Hari Kiamat:   اِنَّا کُنَّا عَنۡ  ہٰذَا غٰفِلِیۡنَ  -- “Sesungguhnya kami  benar-benar lengah dari hal ini.  Atau kamu mengatakan:  اِنَّمَاۤ  اَشۡرَکَ  اٰبَآؤُنَا مِنۡ  قَبۡلُ وَ کُنَّا ذُرِّیَّۃً مِّنۡۢ بَعۡدِہِمۡ   --  “Sesungguhnya bapak-bapak kami dahulu yang berbuat syirik, sedangkan kami hanyalah keturunan sesudah mereka.  اَفَتُہۡلِکُنَا بِمَا فَعَلَ الۡمُبۡطِلُوۡنَ  -- Apakah Engkau akan membinasakan kami karena apa yang telah  dikerjakan oleh orang-orang yang  berbuat batil itu?”  Dan demikianlah Kami menjelaskan Tanda-tanda itu  dan supaya mereka kembali kepada yang haq. (Al-A’rāf [7]:173-175).

 Pentingnya  Para “Tamu” Allah Swt. Mengupayakan Pensucian Jiwa

        Selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai berbagai manfaat dari melaksanakan ibadah haji:
لِّیَشۡہَدُوۡا مَنَافِعَ  لَہُمۡ  وَ یَذۡکُرُوا  اسۡمَ اللّٰہِ فِیۡۤ  اَیَّامٍ مَّعۡلُوۡمٰتٍ عَلٰی مَا رَزَقَہُمۡ مِّنۡۢ بَہِیۡمَۃِ الۡاَنۡعَامِ ۚ فَکُلُوۡا مِنۡہَا وَ اَطۡعِمُوا  الۡبَآئِسَ الۡفَقِیۡرَ ﴿۫﴾
“Supaya  mereka dapat menyaksikan manfaat-manfaatnya   bagi mereka, dan dapat mengingat  nama Allah  selama hari-hari yang ditetapkan atas apa yang telah Dia rezekikan kepada mereka dari binatang ternak berkaki empat. Maka makanlah da-rinya dan berilah makan orang-orang sengsara, dan fakir. (Al-Hajj [22]:29).
       Selain faedah ruhani yang diperoleh seorang Muslim dari ibadah haji, peraturan ibadah haji  pun  mempunyai nilai kemasyarakatan dan politik yang besar. Ibadah haji memiliki daya besar untuk mempersatukan kaum Muslimin dari berbagai kebangsaan menjadi satu dalam persaudaraan Islamiah internasional yang kuat.
      Orang-orang Islam dari seluruh bagian dunia yang bertemu di Mekkah sekali setahun dapat saling tukar pandangan mengenai hal-hal yang mempunyai  kepentingan internasional, memperbaharui hubungan-hubungan yang lama, dan mengadakan hubungan-hubungan yang baru. Mereka mempunyai kesempatan berkenalan dengan persoalan-persoalan yang dihadapi saudara-saudara seagama mereka di negeri-negeri lain, memperoleh faedah dari pengalaman satu sama lain, dan bekerja sama satu sama lain dengan berbagai cara dan upaya. Oleh karena Mekkah merupakan pusat agama Islam yang ditetapkan  Allah Swt.  maka peraturan haji dapat berperan sebagai PBB untuk seluruh dunia Islam.
       Selanjutnya Allah Swt. memberitahukan mengenai kewajiban yang paling penting   melakukan ibadah haji, firman-Nya:
ثُمَّ لۡیَقۡضُوۡا تَفَثَہُمۡ وَ لۡیُوۡفُوۡا نُذُوۡرَہُمۡ وَ لۡیَطَّوَّفُوۡا بِالۡبَیۡتِ الۡعَتِیۡقِ ﴿﴾
Kemudian hendaklah mereka membersihkan kekotoran mereka, dan  menyempurnakan nazar-nazar mereka, dan berthawaf di sekeliling Rumah Kuno itu.” (Al-Hajj [22]:30).
       Karena tujuan utama kedatangan para peziarah dalam  melaksanakan ibadah haji itu adalah untuk “bertamu” dan “bertemu” dengan Pemilik Ka’bah – yakni Allah Swt., Wujud Yang Maha Suci  --   karena itu  sebagai  para “tamu” Allah Swt. sudah merupakan kewajiban  mereka  sejak awal keberangkatan pun  mereka harus berusaha menghiasi pribadinya dengan berbagai bentuk “kesucian” dan menyingkirkan berbagai bentuk “kekotoran”,  firman-Nya:
اَلۡحَجُّ اَشۡہُرٌ مَّعۡلُوۡمٰتٌ ۚ فَمَنۡ فَرَضَ فِیۡہِنَّ الۡحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَ لَا فُسُوۡقَ  ۙ وَ لَا جِدَالَ فِی الۡحَجِّ ؕ وَ مَا تَفۡعَلُوۡا مِنۡ خَیۡرٍ  یَّعۡلَمۡہُ اللّٰہُ  ؕؔ وَ تَزَوَّدُوۡا فَاِنَّ خَیۡرَ الزَّادِ التَّقۡوٰی ۫ وَ اتَّقُوۡنِ یٰۤاُولِی الۡاَلۡبَابِ ﴿﴾
Ibadah haji dilakukan dalam bulan-bulan yang dikenal, lalu   barangsiapa telah bertekad akan menunaikan ibadah haji dalam bulan-bulan itu maka janganlah membicarakan hal yang tidak senonoh,  jangan melanggar peraturan, jangan bertengkar pada musim haji, dan kebaikan apa pun yang kamu kerjakan Allah mengetahuinya. Dan siapkanlah bekal dan sesungguhnya sebaik-baik  bekal  adalah  takwa, dan bertakwalah kepada-Ku, hai orang-orang yang berakal. (Al-Baqarah [2]:198).

Pentingnya  Bekal Ketakwaan  & Makna “Haji Mabrūr

      Rafats  dalam ayat  فَمَنۡ فَرَضَ فِیۡہِنَّ الۡحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَ لَا فُسُوۡقَ  ۙ وَ لَا جِدَالَ فِی الۡحَجِّ  -- “lalu  barangsiapa telah bertekad akan menunaikan ibadah haji dalam bulan-bulan itu maka janganlah membicarakan hal yang tidak senonoh,  jangan melanggar peraturan, jangan bertengkar pada musim haji, ” kata itu  mencakup segala percakapan kotor, tidak sopan, dan cabul; begitu juga perbuatan yang berhubungan dengan seks.
        Fusuq (durhaka) berarti pelanggaran terhadap hukum Tuhan dan sikap tidak mau tunduk kepada perintah yang berwajib,   baik  ruhani maupun duniawi. Dan jidal berarti perbantahan dan perselisihan dengan teman seperjalanan, sahabat, dan tetangga. 
      Selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai pentingnya  para peziarah  haji berbekal  ketakwaan  kepada Allah Swt., firman-Nya:  تَزَوَّدُوۡا فَاِنَّ خَیۡرَ الزَّادِ التَّقۡوٰی وَ --  “Dan siapkanlah bekal dan sesungguhnya sebaik-baik  bekal  adalah  takwa, وَ اتَّقُوۡنِ یٰۤاُولِی الۡاَلۡبَابِ  -- dan bertakwalah kepada-Ku, hai orang-orang yang berakal.”
        Para pelaksana ibadah haji yang memenuhi semua persyaratan yang ditetapkan Allah Swt.    – baik mengenai  manasik haji  mau pun mengenai ketakwaan kepada Allah Swt. --   disebut haji mabrūr,  karena  sepulangnya melaksanakan ibadah haji keadaan akhlak dan ruhani mereka  menjadi  lebih baik daripada sebelum  berangkat menunaikan ibadah haji,  karena mereka akan menjadi para pelaku kebajikan yang disebut birr (abrar),  sebagaimana doa yang dipanjatkan orang-orang yang “mempergunakan akal”:      وَ تَوَفَّنَا مَعَ  الۡاَبۡرَارِ     --   “dan wafatkanlah  kami sebagai para pelaku kebajikan  (QS.3:191-195),
       Kemudian dalam  firman-Nya  berikut ini  Allah Swt. sangat menekankan kepada para peziarah   -- sepulangnya mereka dari melaksanakan ibadah haji   -- mengenai pentingnya lebih banyak lagi  dzikr Ilahi  atau mengingat Allah Swt.:
فَاِذَا قَضَیۡتُمۡ مَّنَاسِکَکُمۡ فَاذۡکُرُوا اللّٰہَ  کَذِکۡرِکُمۡ اٰبَآءَکُمۡ اَوۡ اَشَدَّ ذِکۡرًا ؕ فَمِنَ النَّاسِ مَنۡ یَّقُوۡلُ رَبَّنَاۤ  اٰتِنَا فِی الدُّنۡیَا وَ مَا لَہٗ فِی الۡاٰخِرَۃِ  مِنۡ خَلَاقٍ ﴿﴾
Maka apabila  kamu telah  menunaikan  cara-cara ibadah haji kamu, maka  ingatlah  Allah sebagaimana kamu mengingat bapak-bapak kamu atau mengingat-Nya  lebih keras  lagi. Dan  di antara manusia ada yang berkata: رَبَّنَاۤ  اٰتِنَا فِی الدُّنۡیَا  --  Ya Tuhan kami, anugerahilah kami kesenangan hidup  di dunia ini”,  وَ مَا لَہٗ فِی الۡاٰخِرَۃِ  مِنۡ خَلَاقٍ  -- dan tidak ada baginya  bagian di akhirat. (Al-Baqarah [2]:201).
         Ada yang memahami  ayat  فَاذۡکُرُوا اللّٰہَ  کَذِکۡرِکُمۡ اٰبَآءَکُمۡ اَوۡ اَشَدَّ ذِکۡرًا   -- “maka   ingatlah  Allah sebagaimana kamu mengingat bapak-bapak kamu atau mengingat-Nya  lebih keras  lagi” adalah  melakukan wirid  atau mengulang-ulang  serta menghitung-hitung  menyebut Asma Ilahi, seperti yang dilakukan para penganut berbagai thariqah tertentu, padahal makna yang sebenarnya dari perintah Allah Swt. tersebut adalah bahwa hendaknya kecintaan orang-orang Islam terhadap Allah Swt. dan Nabi Besar Muhammad saw.  harus  melebihi kecintaan mereka terhadap  اٰبَآءَکُمۡ --  bapak-bapak mereka, termasuk terhadap “leluhur-leluhur” mereka, sebab dengan jelas Allah Swt. telah menyebut Nabi Besar Muhammad saw. dan istri-istri beliau saw. sebagai “bapak dan ibu ruhani” orang-orang beriman (QS.33:7; QS.33:41).

Pentingnya Mengikuti “Sunnah” Nabi Besar Muhammad Saw. & Empat Macam “Martabat Ruhani”

       Menurut Allah Swt.,  cara yang paling baik dalam membuktikan kecintaan kepada  Allah Swt. agar mendapat kecintaan-Nya  dan pengampunan-Nya  atas dosa-dosa dan kelemahan-kelemahan mereka adalah mengikuti  Nabi Besar Muhammad saw., berikut ini firman-Nya kepada Nabi Besar Muhammad saw.:
قُلۡ  اِنۡ کُنۡتُمۡ تُحِبُّوۡنَ اللّٰہَ فَاتَّبِعُوۡنِیۡ یُحۡبِبۡکُمُ اللّٰہُ وَ یَغۡفِرۡ لَکُمۡ ذُنُوۡبَکُمۡ ؕ وَ اللّٰہُ غَفُوۡرٌ  رَّحِیۡمٌ﴿﴾  قُلۡ اَطِیۡعُوا اللّٰہَ وَ الرَّسُوۡلَ ۚ فَاِنۡ تَوَلَّوۡا فَاِنَّ اللّٰہَ  لَا یُحِبُّ الۡکٰفِرِیۡنَ ﴿﴾
Katakanlah:  Jika kamu benar-benar mencintai Allah -- فَاتَّبِعُوۡنِیۡ  maka ikutilah aku, Allah pun akan mencintai kamu dan akan mengampuni dosa-dosa kamu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”   Katakanlah:  Taatilah Allah dan Rasul ini”, kemudian jika mereka berpaling maka ketahuilah sesungguhnya Allah tidak mencintai orang-orang kafir. (Ali ‘Imran [3]:32-33).
       Ayat ini dengan tegas menyatakan bahwa tujuan memperoleh kecintaan Ilahi setelah diturunnya agama Islam (Al-Quran)  tidak mungkin terlaksana kecuali dengan mengikuti Nabi Besar Muhammad saw.  Selanjutnya ayat ini melenyapkan kesalahpahaman yang mungkin dapat timbul dari QS.2:63 bahwa iman kepada adanya Tuhan dan alam akhirat saja sudah cukup untuk memperoleh najat (keselamatan).
      Dalam firman-Nya berikut ini Allah Swt. menjelaskan bahwa tanda bahwa seseorang Muslim mendapat kecintaan Allah Swt. dan pengampunan-Nya adalah mereka akan termasuk ke dalam salah satu dari empat golongan orang-orang yang kepada mereka  Allah Swt. menganugrahkan  nikmat-nikmat ruhani, firman-Nya: 
وَ مَنۡ یُّطِعِ اللّٰہَ وَ الرَّسُوۡلَ فَاُولٰٓئِکَ مَعَ الَّذِیۡنَ اَنۡعَمَ اللّٰہُ عَلَیۡہِمۡ مِّنَ النَّبِیّٖنَ وَ الصِّدِّیۡقِیۡنَ وَ الشُّہَدَآءِ وَ الصّٰلِحِیۡنَ ۚ وَ حَسُنَ اُولٰٓئِکَ رَفِیۡقًا ﴿ؕ﴾  ذٰلِکَ الۡفَضۡلُ مِنَ اللّٰہِ ؕ وَ کَفٰی بِاللّٰہِ عَلِیۡمًا﴿٪﴾
Dan  barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul ini maka mereka akan termasuk di antara  orang-orang  yang Allah memberi nikmat kepada mereka yakni:  مِّنَ النَّبِیّٖنَ وَ الصِّدِّیۡقِیۡنَ وَ الشُّہَدَآءِ وَ الصّٰلِحِیۡنَ  -- nabi-nabi, shiddiq-shiddiq, syahid-syahid, dan orang-orang shalih, dan mereka  itulah sahabat yang sejati.  ذٰلِکَ الۡفَضۡلُ مِنَ اللّٰہِ ؕ وَ کَفٰی بِاللّٰہِ عَلِیۡمًا -- Itulah karunia dari Allah,  dan cukuplah Allah Yang Maha Menge-tahui. (An-Nisa [4]:70-71).

Pengabulan Doa Dalam Surah Al-Fatihah

        Pada hakikatnya nikmat-nikmat ruhani itulah yang dimaksud Allah Swt. dalam doa Surah Al-Fatihah mengenai “jalan lurus” yaitu “jalan” yang dengan menempuhnya maka akan  mendapat “nikmat-nikmat ruhani” dari Allah Swt., sehingga terhindari dari menjadi orang-orang mendapat “kemurkaan-Nya  karena menolak menerima nikmat-nikmat ruhani tersebut seperti halnya orang-orang Yahudi (QS.2:88-89),  dan “tersesat” dari Tauhil Ilahi  karena telalu berlebihan dalam menghormatinya seperti kaum Nasrani  karena menganggapnya sebagai “tuhan sembahan” (QS.9:30-31-33), firman-Nya: 
اِیَّاکَ نَعۡبُدُ وَ اِیَّاکَ نَسۡتَعِیۡنُ ؕ﴿﴾ اِہۡدِ نَا الصِّرَاطَ الۡمُسۡتَقِیۡمَ ۙ﴿﴾   صِرَاطَ الَّذِیۡنَ اَنۡعَمۡتَ عَلَیۡہِمۡ ۙ۬  غَیۡرِ الۡمَغۡضُوۡبِ عَلَیۡہِمۡ وَ لَا الضَّآلِّیۡنَ٪﴿﴾ 
Hanya Engkau-lah Yang kami sembah  dan  hanya kepada Engkau-lah kami mohon pertolongan.  Tunjukilah kami    jalan yang lurus,  yaitu صِرَاطَ الَّذِیۡنَ اَنۡعَمۡتَ عَلَیۡہِمۡ  -- jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat atas mereka, لَا الضَّآلِّیۡنَ  غَیۡرِ الۡمَغۡضُوۡبِ عَلَیۡہِمۡ وَ -- bukan jalan mereka  yang dimurkai dan bukan pula jalan mereka  yang sesat. (Al-Fatihah [1]:5-7). 
        Firman Allah Swt. dalam Surah An-Nisa ayat 70  tersebut  sangat penting, sebab ia menerangkan semua jalur kemajuan ruhani yang terbuka bagi kaum Muslimin. Keempat martabat keruhanian —  nabi-nabi,   shiddiq-shiddiq,   syuhada (saksi-saksi) dan orang-orang  shalih   — kini semuanya dapat dicapai hanya dengan jalan mengikuti  Nabi Besar Muhammad saw. (QS.3:32; QS.33:22).
        Hal ini merupakan kehormatan khusus bagi  Nabi Besar Muhammad saw.  semata. Tidak ada nabi Allah  lain menyamai beliau  saw. dalam perolehan nikmat ini. Kesimpulan itu lebih lanjut ditunjang oleh ayat yang membicarakan nabi-nabi secara umum dan mengatakan: “Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan para rasul-Nya, mereka adalah orang-orang shiddiq dan  syuhada (saksi-saksi) di sisi Rabb (Tuhan) mereka” (QS.57: 20).
       Apabila kedua ayat ini dibaca bersama-sama maka kedua ayat itu berarti bahwa, kalau para pengikut nabi-nabi Allah lainnya dapat mencapai martabat shiddiq, syahid, dan shalih dan tidak lebih tinggi dari itu, maka pengiku Nabi Besar Muhammad saw. dapat naik ke martabat nabi juga, yaitu nabi  Allah yang tidak membawa syariat, yang disebut “nabi ummati” atau nabi zilli atau buruzi (nabi bayangan), seperti bayangan seseorang yang berdiri  di hadapan cermin.  Sebab itulah makna lain  dari gelar Khātaman Nabiyyīn (QS.33:41) Nabi Besar Muhammad saw., seperti sebuah stempel  (cap)  yang mampu membuat gambar-gambar  lainnya jika menempel dengannya.
         Kitab “Bahr-ul-Muhit” (jilid III, hlm. 287) menukil Al-Raghib yang mengatakan: “Tuhan telah membagi orang-orang beriman  dalam empat golongan dalam ayat ini, dan telah menetapkan bagi mereka empat tingkatan, sebagian di antaranya lebih rendah dari yang lain, dan Dia telah mendorong orang-orang beriman sejati agar jangan tertinggal dari keempat tingkatan ini.” Dan membubuhkan bahwa: “Kenabian itu ada dua macam: umum dan khusus. Kenabian khusus, yakni kenabian yang membawa syariat, sekarang tidak dapat dicapai lagi; tetapi kenabian yang umum masih tetap dapat dicapai.”     

Pelanggaran Umumnya Para Pemuka Umat Islam Terhadap Berbagai Perintah Allah Dalam Surah Al-Maidah Ayat 2-3

       Jika umat Islam yang melaksanakan ibadah haji dapat mencapai derajat “haji mabrūr” seperti itu   -- terlebih lagi orang-orang yang berulang kali melaksanakan ibadah haji -- maka negara-negara Muslim tempat  mereka berasal pasti akan menjadi pelaksana perintah Allah Swt. berikut ini  -- sehingga mereka benar-benar menjadi Muslim yang merupakan “rahmat bagi seluruh alam” sebagaimana yang diperagakan oleh Nabi Besar Muhammad saw. (QS.21:108) dan sebagai “umat terbaik” (QS.2:144; QS.3:111),   terutama di kawasan Timur  Tengah – mengenai hal tersebut  Allah Swt. berfirman:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾ یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡۤا اَوۡفُوۡا بِالۡعُقُوۡدِ ۬ؕ اُحِلَّتۡ لَکُمۡ بَہِیۡمَۃُ الۡاَنۡعَامِ  اِلَّا مَا یُتۡلٰی عَلَیۡکُمۡ غَیۡرَ مُحِلِّی الصَّیۡدِ وَ اَنۡتُمۡ حُرُمٌ ؕ اِنَّ اللّٰہَ  یَحۡکُمُ مَا یُرِیۡدُ ﴿﴾ یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا لَا تُحِلُّوۡا شَعَآئِرَ اللّٰہِ وَ لَا الشَّہۡرَ الۡحَرَامَ وَ لَا الۡہَدۡیَ وَ لَا الۡقَلَآئِدَ وَ لَاۤ  آٰمِّیۡنَ الۡبَیۡتَ الۡحَرَامَ یَبۡتَغُوۡنَ فَضۡلًا مِّنۡ رَّبِّہِمۡ وَ رِضۡوَانًا ؕ وَ اِذَا حَلَلۡتُمۡ فَاصۡطَادُوۡا ؕ وَ لَا یَجۡرِمَنَّکُمۡ شَنَاٰنُ قَوۡمٍ اَنۡ صَدُّوۡکُمۡ عَنِ الۡمَسۡجِدِ الۡحَرَامِ اَنۡ تَعۡتَدُوۡا ۘ وَ تَعَاوَنُوۡا عَلَی الۡبِرِّ وَ التَّقۡوٰی ۪ وَ لَا تَعَاوَنُوۡا عَلَی الۡاِثۡمِ وَ الۡعُدۡوَانِ ۪ وَ اتَّقُوا اللّٰہَ ؕ اِنَّ اللّٰہَ  شَدِیۡدُ الۡعِقَابِ ﴿﴾
Aku baca dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang.   Hai orang-orang yang beriman, penuhilah  perjanjian-perjanjian kamu. Dihalalkan bagi kamu binatang binatang  berkaki empat, kecuali  apa yang akan diberitahukan kepada kamu,  dengan tidak menghalalkan binatang buruan  selama kamu dalam keadaan ihram, sesungguhnya Allah menetapkan hukum mengenai apa yang Dia kehendaki.  Hai orang-orang yang beriman, janganlah mencemari Syiar-syiar Allah,  jangan mencemari Bulan  Haram,  jangan mencemari binatang-binatang kurban, jangan mencemari binatang-binatang kurban yang ditandai kalung,   وَ لَاۤ  آٰمِّیۡنَ الۡبَیۡتَ الۡحَرَامَ یَبۡتَغُوۡنَ فَضۡلًا مِّنۡ رَّبِّہِمۡ وَ رِضۡوَانًا   -- dan jangan  mencemari yakni menghalangi orang-orang yang   menziarahi Baitul Haram untuk  mencari karunia dan keridhaan dari  Rabb (Tuhan) mereka. Tetapi apabila kamu telah melepas pakaian ihram maka kamu boleh berburu.  وَ لَا یَجۡرِمَنَّکُمۡ شَنَاٰنُ قَوۡمٍ اَنۡ صَدُّوۡکُمۡ عَنِ الۡمَسۡجِدِ الۡحَرَامِ اَنۡ تَعۡتَدُوۡا   -- Dan  janganlah kebencian sesuatu kaum kepada kamu  karena mereka telah  menghalang-halangi kamu dari Masjidil Haram mendorongmu melampaui batas. وَ تَعَاوَنُوۡا عَلَی الۡبِرِّ وَ التَّقۡوٰی   -- Dan tolong-menolonglah kamu dalam birr (kebajikan) dan takwa,   ۪ وَ لَا تَعَاوَنُوۡا عَلَی الۡاِثۡمِ وَ الۡعُدۡوَانِ  -- janganlah kamu tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan,  وَ اتَّقُوا اللّٰہَ ؕ اِنَّ اللّٰہَ  شَدِیۡدُ الۡعِقَابِ  --  dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya siksaan Allah sangat keras. (Al-Maidah [5]:1-3).
        Tetapi kenyataan yang terjadi selama ini   di  negara-negara Muslim – terutama di kawasan Timur tengah – adalah  benarnya pernyataan Allah:  اِنَّ اللّٰہَ  شَدِیۡدُ الۡعِقَابِ  -- sesungguhnya siksaan Allah sangat keras. (Al-Maidah [5]:3). Hal tersebut merupakan bukti yang tidak dapat dibantah,  bahwa dalam pandangan Allah Swt. terdapat  kesalahan pada pihak “pemelihara” Ka’bah (Baitullah)  di Mekkah sebagai “penerima” para “tamu Allah”,  -- termasuk  para penyelenggara keberangkatan para peziarah haji  -- demikian juga   pasti ada yang  salah dengan  para “tamu Allah” yang setiap tahun melaksanakan ibadah haji ke Mekkah.
        Mengapa demikian? Sebab jika tidak begitu,  pasti Allah Swt. akan memenuhi janji-Nya   kepada umat Islam, sebagaimana firman-Nya:
لِّیَشۡہَدُوۡا مَنَافِعَ  لَہُمۡ  وَ یَذۡکُرُوا  اسۡمَ اللّٰہِ فِیۡۤ  اَیَّامٍ مَّعۡلُوۡمٰتٍ عَلٰی مَا رَزَقَہُمۡ مِّنۡۢ بَہِیۡمَۃِ الۡاَنۡعَامِ ۚ فَکُلُوۡا مِنۡہَا وَ اَطۡعِمُوا  الۡبَآئِسَ الۡفَقِیۡرَ ﴿۫﴾
“Supaya  mereka dapat menyaksikan manfaat-manfaatnya   bagi mereka, dan dapat mengingat  nama Allah  selama hari-hari yang ditetapkan atas apa yang telah Dia rezekikan kepada mereka dari binatang ternak berkaki empat. Maka makanlah da-rinya dan berilah makan orang-orang sengsara, dan fakir. (Al-Hajj [22]:29).

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar,  22 Juni    2014



Tidak ada komentar:

Posting Komentar