بِسۡمِ
اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم
Khazanah Ruhani Surah Shād
Bab 254
Para Nabi
Allah Tidak Pernah Merasa Memiliki Mukjizat atau Kesaktian & Berbagai Makna Sebutan "Ular" Tongkat Nabi Musa a.s.
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam
akhir Bab sebelumnya telah
dikemukakan mengenai kehadiran ahli-ahli sihir terbaik di wilayah
kekuasaan Fir’aun pada hari yang disepakati kedua belah pihak
untuk menghadapi Nabi Musa a.s., selanjutnya
Allah Swt. berfirman:
قَالُوۡا
یٰمُوۡسٰۤی اِمَّاۤ اَنۡ تُلۡقِیَ وَ اِمَّاۤ
اَنۡ نَّکُوۡنَ اَوَّلَ مَنۡ
اَلۡقٰی
Mereka
(tukang-tukang sihir) berkata: "Ya Musa,
apakah engkau yang akan melempar, ataukah kami yang pertama melempar?" Ia, Musa, berkata: “Silakan kamulah yang mulai
melempar.” (Thā Hā [20]:66).
Jawaban Nabi Musa a.s. بَلۡ اَلۡقُوۡا
-- “Tidak, silakan kamulah yang mulai
melempar.” Nabi-nabi Allah tidak pernah
memulai serangan. Mereka menunggu sampai mereka diserang dan barulah kemudian mereka membela diri. Demikian pula halnya dengan izin berperang bagi umat
Islam (QS.22:40-41), yakni terutama
untuk membela diri, karena mereka terus menerus mendapat
perlakuan zalim dari para penentang mereka yang kejam, sebab Allah Swt. dalam
Al-Quran menyatakan dengan tegas bahwa dalam masalah agama (keimanan) tidak boleh melakukan paksaan dan tindak kekerasan
(QS.2:257; QS.10:100; QS.11:119;QS.18:30; QS.76:4).
Selanjutnya Allah Swt. berfirman فَاِذَا حِبَالُہُمۡ وَ عِصِیُّہُمۡ یُخَیَّلُ
اِلَیۡہِ مِنۡ سِحۡرِہِمۡ
اَنَّہَا تَسۡعٰی -- “Maka tiba-tiba
tali-tali mereka dan tongkat-tongkat
mereka terbayang kepadanya seakan-akan bergerak-gerak dengan cepat
karena sihir mereka.” (Thā
Hā [20]:67).
Pada hakikatnya tali dan tongkat para tukang sihir tersebut tidak benar-benar berubah menjadi benda-benda
lain yang bergerak-gerak, melainkan یُخَیَّلُ اِلَیۡہِ yakni terbayang
(tampak) dalam khayalan pikiran Nabi Musa a.s. -- dan orang-orang lain yang hadir saat itu -- seolah-olah sedang berlari-larian, padahal sebenarnya benda-benda itu tidak
berlari-lari.
Makna “Rasa Takut” Nabi Musa a.s.
Makna ayat
selanjutnya فَاَوۡجَسَ فِیۡ
نَفۡسِہٖ خِیۡفَۃً مُّوۡسٰی
– “maka Musa merasa takut dalam hatinya,” Nabi Musa a.s. tidak
takut kepada tali-tali dan tongkat-tongkat para tukang sihir itu, sebab para nabi Allah mempunyai keyakinan yang teguh, kecuali kepada Allah Swt. mereka tidak pernah takut kepada apa pun. Nabi Musa a.s. hanya khawatir jangan-jangan orang-orang terperdaya oleh kepandaian
tukang-tukang sihir itu -- “invisible hand” -- itu.
Selanjutnya Allah Swt. berfirman:
قُلۡنَا
لَا تَخَفۡ اِنَّکَ اَنۡتَ الۡاَعۡلٰی ﴿﴾ وَ اَلۡقِ مَا فِیۡ یَمِیۡنِکَ تَلۡقَفۡ مَا صَنَعُوۡا
ؕ اِنَّمَا صَنَعُوۡا کَیۡدُ سٰحِرٍ ؕ وَ لَا
یُفۡلِحُ السَّاحِرُ حَیۡثُ
اَتٰی ﴿﴾ فَاُلۡقِیَ السَّحَرَۃُ سُجَّدًا قَالُوۡۤا اٰمَنَّا بِرَبِّ ہٰرُوۡنَ وَ
مُوۡسٰی ﴿﴾
Kami
berfirman: "Janganlah engkau takut
karena sesungguhnya engkaulah yang
paling unggul. Dan lemparkanlah apa yang ada di tangan kanan
engkau, itu akan menelan apa yang mereka buat, sesungguhnya
apa yang mereka perbuat adalah tipu-daya tukang sihir, dan tukang sihir tidak akan berhasil dari
mana pun ia datang," Maka kesadaran akan kebenaran membuat semua tukang sihir itu menyungkur bersujud, mereka berkata: “Kami beriman kepada Rabb
(Tuhan) Harun dan Musa." (Thā Hā [20]:69-71). Lihat
pula QS.7:110-127).
Ayat ini
menjadikan peristiwa itu jelas, bahwa tongkat Nabi Musa a.s. itulah -- dan bukan sesuatu benda lain -- yang "menelan"
yakni
melenyapkan “kekuatan khayalan” yang telah ditimbulkan oleh pemusatan pikiran
para tukang sihir serta menggagalkan sihir mereka yang hebat itu.
Tongkat Nabi Musa a.s. yang
telah digerakkan oleh kekuatan ruhani yang dimiliki seorang
nabi besar dan dilemparkan atas perintah Allah
Swt., Tuhan Yang Maha Kuasa, membongkar
penipuan yang para tukang sihir itu yang telah lakukan
dengan kepandaiannya terhadap para
penonton.
Di tempat lain
dalam Al-Quran, tongkat dan tali tukang-tukang sihir digambarkan
sebagai kebohongan yang mereka ada-adakan (ya-fikūn) serta rekayasa atau tipu-daya (kaydu) mereka (QS.7:117-119; QS.20:70). Dan yang merasa
“takut” (khawatir) itu bukan hanya
Nabi Musa a.s. tetapi juga semua penonton
yang hadir, tetapi “rasa takut” Nabi Musa a.s. berbeda dengan “rasa takut” para penonton, yakni Nabi Musa a.s. khawatir para penonton akan terprovokasi oleh kedustaan sihir yang ditampilkan oleh ahli-ahli sihir Fir’aun, firman-Nya:
قَالُوۡا
یٰمُوۡسٰۤی اِمَّاۤ اَنۡ تُلۡقِیَ وَ اِمَّاۤ
اَنۡ نَّکُوۡنَ نَحۡنُ
الۡمُلۡقِیۡنَ ﴿﴾ قَالَ اَلۡقُوۡا ۚ فَلَمَّاۤ اَلۡقَوۡا سَحَرُوۡۤا اَعۡیُنَ النَّاسِ وَ اسۡتَرۡہَبُوۡہُمۡ وَ جَآءُوۡ
بِسِحۡرٍ عَظِیۡمٍ ﴿﴾
Mereka
berkata: “Hai Musa, apakah engkau yang akan mulai melempar, ataukah kami yang harus menjadi
pelempar pertama?” Ia berkata: “Lemparkanlah.” Maka tatkala
mereka melemparkan,
mereka menyihir mata orang-orang serta membuat
mereka itu takut, وَ جَآءُوۡ بِسِحۡرٍ عَظِیۡمٍ -- dan mereka
menampilkan sihir yang hebat. (Al-‘Arāf [7]:116).
Para Nabi Allah Tidak Pernah Merasa Memiliki Kesaktian atau Mukjizat
Bayangkan ketegangan adegan
itu, kedua pihak berhadap-hadapan dan siap untuk mulai bertarung dalam pertandingan
yang menentukan. Tetapi Nabi-nabi
Allah tidak pernah mulai membuka
serangan lebih dahulu. Mereka menanti
serangan dari pihak musuh, sebab
mereka lebih suka menjadi pihak yang membela
diri lalu menghadap kepada Allah Swt. memohon
pertolongan-Nya. Selanjutnya Allah Swt. berfirman:
وَ
اَوۡحَیۡنَاۤ اِلٰی مُوۡسٰۤی اَنۡ اَلۡقِ
عَصَاکَ ۚ فَاِذَا ہِیَ تَلۡقَفُ مَا
یَاۡفِکُوۡنَ ﴿﴾ۚ فَوَقَعَ الۡحَقُّ
وَ بَطَلَ مَا کَانُوۡا یَعۡمَلُوۡنَ ﴿﴾ۚ فَغُلِبُوۡا ہُنَالِکَ وَ انۡقَلَبُوۡا صٰغِرِیۡنَ ﴿﴾ۚ وَ اُلۡقِیَ
السَّحَرَۃُ سٰجِدِیۡنَ ﴿﴾ۚۖ قَالُوۡۤا
اٰمَنَّا بِرَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ
﴿﴾ۙ رَبِّ
مُوۡسٰی وَ ہٰرُوۡنَ ﴿﴾
Dan Kami mewahyukan kepada Musa: ”Lemparkanlah tongkat engkau!” Maka tiba-tiba tongkat itu
nampak seperti menelan apa yang
dibuat-buat mereka. Maka tegaklah
yang benar dan lenyaplah yang telah
mereka kerjakan. Lalu mereka
dikalahkan di situ dan kembalilah
mereka dalam keadaan terhina.
Dan tukang-tukang
sihir itu jatuh bersujud. Mereka berkata: “Kami beriman kepada Rabb (Tuhan) seluruh alam. Rabb (Tuhan) Musa
dan Harun.” (Al-‘Arāf [7]:118-123).
Dari ayat
وَ اَوۡحَیۡنَاۤ اِلٰی مُوۡسٰۤی
اَنۡ اَلۡقِ عَصَاکَ -- “Dan Kami
mewahyukan kepada Musa: ”Lemparkanlah tongkat engkau!” diketahui bahwa:
(1) Para nabi Allah tidak pernah mulai membuka serangan lebih dahulu. Mereka menanti serangan dari pihak musuh,
sebab mereka lebih suka menjadi pihak yang membela
diri lalu menghadap kepada Allah Swt. memohon
pertolongan-Nya.
(2)
Para nabi Allah tidak pernah merasa dirinya memiliki kemampuan supranatural atau kesaktian
atau pun karamah -- bahkan mukjizat
-- yang dapat ditampakkan sekehendak hati mereka kapan pun mereka menghendaki seperti para pemilik kanuragan (QS.14:11-13; QS.17:91-94; QS.20:134; QS.21:6).
Ketika mereka menuntut agar Nabi Besar
Muhammad saw. memperlihatkan mukjizat
sebagaimana keinginan mereka, beliau
saw. diperintahkan Allah Swt. mengtakan قُلۡ سُبۡحَانَ رَبِّیۡ ہَلۡ
کُنۡتُ اِلَّا بَشَرًا رَّسُوۡلًا -- “Katakanlah: “Maha
Suci Rabb-ku (Tuhan-ku), aku tidak lain melainkan seorang manusia sebagai
seorang rasul.”, firman-Nya:
وَ قَالُوۡا
لَنۡ نُّؤۡمِنَ لَکَ حَتّٰی تَفۡجُرَ
لَنَا مِنَ الۡاَرۡضِ یَنۡۢبُوۡعًا ﴿ۙ﴾ اَوۡ تَکُوۡنَ لَکَ جَنَّۃٌ مِّنۡ نَّخِیۡلٍ وَّ عِنَبٍ فَتُفَجِّرَ الۡاَنۡہٰرَ
خِلٰلَہَا تَفۡجِیۡرًا ﴿ۙ﴾ اَوۡ تُسۡقِطَ السَّمَآءَ کَمَا زَعَمۡتَ عَلَیۡنَا
کِسَفًا اَوۡ تَاۡتِیَ بِاللّٰہِ وَ
الۡمَلٰٓئِکَۃِ قَبِیۡلًا ﴿ۙ﴾ اَوۡ یَکُوۡنَ
لَکَ بَیۡتٌ مِّنۡ زُخۡرُفٍ اَوۡ تَرۡقٰی فِی السَّمَآءِ ؕ وَ لَنۡ نُّؤۡمِنَ
لِرُقِیِّکَ حَتّٰی تُنَزِّلَ عَلَیۡنَا کِتٰبًا نَّقۡرَؤُہٗ ؕ قُلۡ سُبۡحَانَ رَبِّیۡ ہَلۡ کُنۡتُ
اِلَّا بَشَرًا رَّسُوۡلًا ﴿٪﴾
Dan mereka
berkata: “Kami tidak akan pernah beriman
kepada engkau sebelum engkau
memancarkan dari bumi sebuah mata air untuk kami, atau engkau
mempunyai kebun kurma dan anggur lalu engkau
mengalirkan sungai-sungai yang deras alirannya di tengah-tengahnya, atau engkau
menjatuhkan ke-pingan-kepingan langit
atas kami sebagaimana telah engkau dakwakan, atau engkau mendatangkan Allah dan para malaikat
berhadap-hadapan, atau engkau mempunyai sebuah rumah dari emas atau
engkau naik ke langit, tetapi kami tidak akan pernah mempercayai kenaikan
engkau ke langit hingga engkau
menurunkan kepada kami sebuah kitab yang kami dapat membacanya.”
Katakanlah: ۡ سُبۡحَانَ رَبِّیۡ
ہَلۡ کُنۡتُ اِلَّا بَشَرًا
رَّسُوۡلًا -- “Maha
Suci Rabb-ku (Tuhan-ku), aku tidak
lain melainkan seorang manusia sebagai seorang rasul.” (Bani Israil [17]:91-94).
Ketika
orang-orang kafir Mekkah terbungkam oleh jawaban-jawaban Al_Quran mengenai pertanyaan-pertanyaan dan
keberatan-keberatan mereka -- termasuk
mengenai masalah ruh (QS.86-89) -- mereka
berputar balik dan menuntut kepada Nabi
Besar Muhammad saw., bahwa jika Al-Quran meliputi segala macam ilmu dan kemajuan,
beliau saw. harus dapat
memperlihatkan mukjizat-mukjizat — misalnya
membuat beberapa mata air memancar keluar dari bumi, membuat kebun-kebun serta
membangun rumah-rumah dari emas bagi diri beliau saw. sendiri, dan sebagainya.
Sebagai
jawaban terhadap tuntutan-tuntutan
mereka, yang jauh dari kesopanan itu,
orang-orang kafir diberitahu, bahwa tuntutan-tuntutan
itu bertalian dengan Allah Swt. atau
Nabi Besar Muhammad saw.. Tuntutan yang
pertama adalah asal omong dan bunyi belaka, karena Allah Swt. adalah di atas segala hal yang
serampangan semacam itu.
Adapun
mengenai tuntutan-tuntutan mereka
yang bertalian dengan Nabi Besar
Muhammad saw., tuntutan-tuntutan itu bertentangan dengan kemampuan-kemampuan beliau saw. yang terbatas sebagai seorang manusia dan tidak selaras dengan tugas
beliau saw.sebagai seorang rasul Allah.
Pengaruh Olah Kanuragan atau Olah Kebathinan
& Munculnya Ketakaburan
Itulah sebabnya terdapat perbedaan mengenai pengaruh yang ditimbulkan oleh karamah
dan mukjizat para wali
Allah dan para Nabi Allah dengan berbagai kemampuan yang dihasilkan oleh kanuragan
atau olah kebathinan , yakni dalam diri para wali Allah dan para Nabi
Allah tidak pernah merasa takabur dengan terjadinya berbagai karamah atau mukjizat yang terjadi atas izin
atau kehendak Allah Swt. tersebut,
sebab mereka tidak pernah merasa
memilikinya atas upaya merek sendiri melainkan
semata-mata karunia (fadhal) Allah
Swt..
Sebaliknya, karena pada umumnya munculnya berbagai kemampuan
kanuragan atau olah kebathinan merupakan hasil usaha dan kerjakeras
sebagaimana yang mereka niatkan (inginkan) karena itu
-- disadari atau pun tidak disadari – menimbulkan semacam ketakaburan pada diri para “pemiliknya”, -- misalnya menganggap diri mereka sebagai “orang-orang sakti” atau sebagai para “wali Allah” -- sebagaimana nampak dari
sikap para ahli sihir Fir’aun yang sangat bangga
akan kemampuan sihir mereka,
firman-Nya:
قَالَ اِنۡ
کُنۡتَ جِئۡتَ بِاٰیَۃٍ فَاۡتِ
بِہَاۤ اِنۡ کُنۡتَ
مِنَ الصّٰدِقِیۡنَ ﴿﴾ فَاَلۡقٰی عَصَاہُ فَاِذَا ہِیَ
ثُعۡبَانٌ مُّبِیۡنٌ ﴿﴾ۚۖ وَّ نَزَعَ یَدَہٗ فَاِذَا ہِیَ
بَیۡضَآءُ لِلنّٰظِرِیۡنَ ﴿﴾٪ قَالَ الۡمَلَاُ مِنۡ قَوۡمِ فِرۡعَوۡنَ
اِنَّ ہٰذَا لَسٰحِرٌ عَلِیۡمٌ ﴿﴾ۙ یُّرِیۡدُ اَنۡ یُّخۡرِجَکُمۡ
مِّنۡ اَرۡضِکُمۡ ۚ فَمَا ذَا تَاۡمُرُوۡنَ ﴿﴾ قَالُوۡۤا اَرۡجِہۡ وَ اَخَاہُ
وَ اَرۡسِلۡ فِی الۡمَدَآئِنِ
حٰشِرِیۡنَ ﴿﴾ۙ یَاۡتُوۡکَ بِکُلِّ سٰحِرٍ
عَلِیۡمٍ ﴿﴾
Ia, Fir’aun, berkata: ”Jika betul engkau
datang dengan suatu Tanda maka kemukakanlah itu jika engkau sungguh termasuk orang-orang yang benar.” Lalu
Musa melemparkan
tongkatnya maka tiba-tiba tongkat itu menjadi seekor ular yang nyata. Dan ia mengeluarkan tangannya maka tiba-tiba tangan itu nampak putih bagi orang-orang yang menyaksikannya. Pemuka-pemuka kaum Fir’aun berkata: “Sesungguhnya orang ini tukang sihir yang
pandai. Ia bermaksud mengusir kamu dari
negeri kamu, maka bagaimana pendapat kamu?” Mereka berkata: “Tahanlah kepergian dia dan saudaranya dan kirimlah ke kota-kota orang-orang yang akan mengumpulkan, yang akan mendatangkan kepada engkau setiap
tukang sihir yang pandai.” (Al-A’raf
[7]:107-113).
Ketika
Nabi Musa a.s. pergi
menghadap Fir’aun, tujuan beliau terutama bukan untuk menyampaikan seruan beliau kepadanya, melainkan
hendak meminta agar Fir’aun memperkenankan
orang-orang Bani Israil ikut bersama beliau, walaupun beliau sudah barang
tentu berdakwah juga kepadanya.
Pada hakikatnya Amanat Nabi Musa a.s. itu
dimaksudkan terutama bagi kaum Bani
Israil, tetapi selama orang-orang Bani
Israil tinggal bersama-sama dengan penduduk
asli Mesir maka Nabi Musa a.s. harus
bertabligh kepada kedua pihak mereka.
Tetapi ketika orang-orang Israil
meninggalkan negeri itu, beliau tidak berkepentingan dengan orang-orang Mesir dan membatasi
perhatian beliau pada sanak-saudara beliau yang kepada mereka beliau diutus.
Berbagai
Makna Sebutan “Ular” Tongkat Nabi
Musa a.s. & Hakikat Mukjizat
Kembali
kepada masalah “pertandingan” antara mukjizat
Nabi Musa a.s. dengan kemampuan sihir para ahli
sihir Fir’aun, Al-Quran telah mempergunakan tiga bentuk kata yang berlainan
untuk menggambarkan perubahan tongkat
Musa a.s. menjadi ular, yaitu, hayyah seperti dalam QS.20:21, jann seperti dalam QS.27:11 dan
QS.28:32 dan tsu’ban seperti
dalam QS.26:33 dan dalam ayat ini.
Kata yang pertama (hayyah)
mempunyai makna umum dan dipergunakan untuk segala macam ular. Kata kedua (jann) dipakai untuk ular kecil. Kata yang ketiga (tsu’ban) berarti ular gemuk lagi panjang. Dengan demikian penggunaan ketiga kata yang berlainan pada tiga tempat yang berbeda-beda dalam
Al-Quran mempunyai arti tersendiri
dan jelas dimaksudkan untuk tujuan
tertentu.
Kata jann
dipergunakan karena menilik kecepatan
gerak ular itu dan tsu’ban menilik besarnya. Apabila yang
dimaksudkan hanya berubahnya tongkat
menjadi ular saja, maka yang
dipergunakannya ialah kata hayyah, tetapi manakala disebut bahwa tongkat itu telah berubah menjadi ular di hadapan Nabi Musa a.s. saja maka dipergunakanlah kata jann
(ular kecil). Tetapi bila mukjizat
berubahnya tongkat itu menjadi ular
diperlihatkan kepada Fir’aun, tukang-tukang sihir, dan khalayak umum maka kata tsu’ban
yang dipergunakan.
Kata-kata yang berlainan pada
peristiwa-peristiwa yang berbeda mengandung pemahaman
yang berlainan pula. Kata hayyah berarti bahwa suatu kaum yang sudah mati (asha selain
tongkat berarti juga masyarakat), begitulah keadaan orang-orang Bani Israil pada masa itu, akan menerima kehidupan baru lagi penuh semangat
dengan perantaraan Nabi Musa a.s.. (inilah mafhum akar kata hayyah).
Ada pun kata jann
(seekor ular kecil yang gesit) berarti, bahwa dari satu masyarakat kecil lagi terbelakang
mereka akan mencapai kemajuan pesat dan akan menjadi
tsu’ban (ular panjang lagi gemuk) bagi Fir’aun
dan rakyatnya, yakni kaum Bani Israil akan menjadi sarana
dan alat untuk kehancuran mereka.
Patut diperhatikan bahwa mukjizat ini, seperti juga mukjizat-mukjizat lainnya yang
diperlihatkan oleh para nabi Allah pada dasarnya tidak bertentangan dengan hukum
alam. Jika sesuatu hal terbukti benar-benar terjadi, maka hal itu harus dianggap benar, sekalipun hal itu tidak
dapat diterangkan atau dipahami
menurut hukum alam yang kita pahami.
Kenapa
demikian? Sebab pengetahuan kita
mengenai hukum alam -- bagaimana pun luasnya -- masih sangat terbatas (QS.18:110; QS.31:28) karena itu kita tidak boleh menyangkal suatu kenyataan
yang sebenarnya atas dasar pengetahuan
kita yang serba terbatas dan tak sempurna itu. Lebih-lebih, mukjizat yang diperlihatkan oleh Nabi
Musa a.s. tidak terjadi
dengan cara seperti yang dipahami oleh orang pada umumnya.
Mukjizat Berbeda dengan Permainan Sulap
Mukjizat-mukjizat yang diperlihatkan oleh para nabi Allah tidak seperti permainan kelihaian kecepatan
tangan tukang-tukang sulap. Mukjizat-mukjizat itu dimaksudkan untuk
memenuhi suatu tujuan besar yang erat
bertalian dengan akhlak dan keruhanian, yaitu untuk menimbulkan keyakinan dan perasaan tawadhu’ (rendah hati) serta takut kepada Allah Swt. dalam hati mereka yang menyaksikannya.
Oleh karena itu jika tongkat Nabi Musa a.s. itu
benar-benar telah berubah menjadi ular
– sebagaimana yang umumnya dipercayai -- maka seluruh pertunjukan itu tentu nampaknya seperti kelihaian tukang sulap belaka, dan bu-kan mukjizat dari seorang nabi.
Kendati pun apa saja
yang mungkin dikatakan Bible mengenai
mukjizat ini, tetapi Al-Quran tidak menunjang pendapat bahwa tongkat itu benar-benar telah berubah menjadi ular asli dan hidup, demikian pula halnya dengan penciptaan
“burung” dari tanah liat oleh Nabi
Isa Ibnu Maryam a.s. (QS.3:50; QS.5:111). Sedikit pun tidak nampak terjadinya
hal semacam itu.
Tongkat itu hanya nampak seperti ular yang bergerak-gerak amat lincah. Mukjizat
itu semacam kasyaf (pandangan gaib) saat
Allah Swt. menguasai secara istimewa penglihatan penonton-penonton supaya
membuat mereka melihat tongkat itu
dalam bentuk ular, ataupun tongkat itu sendiri ditampakkan seperti ular; begitu pula pemandangan gaib ini disaksikan oleh Fir’aun serta pemuka-pemukanya
dan oleh tukang-tukang sihir bersama
Nabi Musa a.s..
Tongkat
itu tetap tongkat jua adanya, tetapi
hanya nampak kepada Nabi Musa a.s. dan lain-lainnya seperti ular. Hal itu merupakan gejala
keruhanian yang umum bahwa dalam kasyaf
itu bila manusia menembus hijab-hijab (tirai-tirai) badan
kasarnya dan untuk sementara waktu berpindah
ke alam ruhani, ia dapat melihat hal-hal yang terjadi di luar batas pengetahuannya dan sama
sekali tidak nampak oleh mata jasmaninya.
Mukjizat-mukjizat
berubahnya tongkat menjadi ular merupakan suatu pengalaman ruhani semacam itu. Suatu
gejala keruhanian semacam itu terjadi
di masa Nabi Besar Muhammad saw. ketika bulan — tidak hanya kelihatan oleh beliau
saw. melainkan juga oleh
beberapa pengikut beliau saw. dan
musuh-musuh beliau saw.— seakan-akan telah terbelah (QS.54:2; Bukhari, bab Tafsir).
Hadits mengatakan
kepada kita bahwa Malaikat Jibril a.s. yang acap terlihat oleh Nabi Besar
Muhammad saw. dalam kasyaf-kasyaf beliau saw., pada suatu
ketika juga terlihat oleh sahabat-sahabat beliau saw. yang tengah
duduk-duduk bersama beliau saw. (Bukhari,
bab Iman). Demikian pula beberapa malaikat
terlihat bahkan pula oleh beberapa orang kafir pada Perang Badar (Tafsir Ibnu Jarir,
VI hlm. 47).
Karamah
Khalifah Umar bin Khaththab r.a.
Contoh lain semacam
ini terjadi ketika sebuah pasukan Islam
di bawah pimpinan Sariya, penglima
Islam termasyhur, sedang bertempur melawan musuh di Irak. Sayyidina Umar bin Khaththab r.a., Khalifah yang kedua, tatkala beliau
sedang berkhutbah Jum’at di kota
Medinah melihat dalam kasyaf bahwa pasukan Muslim sedang dikepung oleh musuh yang bilangannya
besar, dan bahwa pasukan Muslim terancam kekalahan yang hebat.
Melihat hal itu
beliau tiba-tiba beliau menghentikan
khutbah beliau, lalu berseru dari mimbar dengan mengatakan: “Hai Sariyah, naik ke bukit, naik ke bukitI.”
Sariyah yang berada pada jarak ratusan
mil jauhnya serentak mendengar suara
Sayyidina Umar bin Khaththab r.a.
di tengah gegap gempita medan
pertempuran yang memekakkan telinga, segera menaati perintah Khalifah
dan dengan demikian pasukan Islam itu
telah selamat dari kehancuran (Tharikh a-l-Khamis, ii, hlm.
370).
Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik
Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 11 Juni
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar