Jumat, 04 Juli 2014

Para Nabi Allah Tidak Pernah Merasa Memiliki "Mukjizat" atau "Kesaktian" & Berbagai Makna Sebutan "Ular" Nabi Musa a.s.




بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم


Khazanah Ruhani Surah  Shād


Bab   254

Para Nabi Allah    Tidak Pernah Merasa Memiliki Mukjizat   atau Kesaktian & Berbagai Makna Sebutan "Ular" Tongkat Nabi Musa a.s.

Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma
 
D
alam  akhir Bab sebelumnya   telah dikemukakan    mengenai kehadiran     ahli-ahli sihir terbaik di wilayah kekuasaan Fir’aun pada hari yang disepakati kedua belah pihak   untuk menghadapi Nabi Musa a.s., selanjutnya Allah Swt. berfirman:
قَالُوۡا یٰمُوۡسٰۤی  اِمَّاۤ  اَنۡ تُلۡقِیَ وَ  اِمَّاۤ  اَنۡ نَّکُوۡنَ  اَوَّلَ  مَنۡ  اَلۡقٰی
Mereka (tukang-tukang sihir) berkata: "Ya Musa, apakah engkau yang  akan melempar, ataukah kami yang pertama melempar?"   Ia, Musa,  berkata: “Silakan kamulah yang  mulai melempar.” (Thā Hā [20]:66).
  Jawaban Nabi Musa a.s.   بَلۡ اَلۡقُوۡا  -- “Tidak, silakan kamulah yang  mulai melempar.”  Nabi-nabi Allah tidak pernah memulai serangan. Mereka menunggu sampai mereka diserang dan barulah kemudian mereka membela diri. Demikian pula halnya dengan izin berperang bagi umat Islam (QS.22:40-41),  yakni terutama untuk membela diri,  karena mereka terus menerus mendapat perlakuan zalim dari para penentang mereka yang kejam, sebab Allah Swt. dalam Al-Quran menyatakan dengan tegas bahwa dalam masalah agama (keimanan) tidak boleh melakukan paksaan dan tindak kekerasan (QS.2:257; QS.10:100; QS.11:119;QS.18:30; QS.76:4).
   Selanjutnya Allah Swt. berfirman  فَاِذَا حِبَالُہُمۡ وَ عِصِیُّہُمۡ  یُخَیَّلُ   اِلَیۡہِ مِنۡ سِحۡرِہِمۡ  اَنَّہَا  تَسۡعٰی  -- “Maka tiba-tiba tali-tali mereka dan tongkat-tongkat mereka  ter­bayang  kepadanya seakan-akan bergerak-gerak dengan cepat  karena sihir mereka.” (Thā Hā [20]:67).
  Pada hakikatnya tali dan tongkat para tukang sihir  tersebut tidak benar-benar berubah menjadi  benda-benda lain yang  bergerak-gerak, melainkan   یُخَیَّلُ   اِلَیۡہِ    yakni  terbayang (tampak) dalam khayalan pikiran  Nabi Musa a.s. -- dan orang-orang lain yang hadir saat itu --   seolah­-olah sedang berlari-larian, padahal sebenarnya benda-benda itu tidak berlari-lari.

Makna “Rasa Takut” Nabi Musa a.s.

  Makna ayat selanjutnya   فَاَوۡجَسَ  فِیۡ  نَفۡسِہٖ  خِیۡفَۃً  مُّوۡسٰی   – “maka Musa merasa takut dalam hatinya, Nabi Musa a.s.  tidak takut kepada tali-tali dan tongkat-tongkat para tukang sihir itu, sebab para nabi Allah mempunyai keyakinan yang teguh, kecuali kepada Allah Swt.  mereka tidak pernah takut kepada apa pun. Nabi Musa a.s.  hanya khawatir jangan-jangan orang-orang terperdaya oleh kepandaian tukang-tukang sihir itu --   invisible hand    -- itu.  Selanjutnya Allah Swt. berfirman:
قُلۡنَا لَا  تَخَفۡ اِنَّکَ اَنۡتَ الۡاَعۡلٰی ﴿﴾  وَ اَلۡقِ مَا فِیۡ یَمِیۡنِکَ تَلۡقَفۡ مَا صَنَعُوۡا ؕ اِنَّمَا صَنَعُوۡا کَیۡدُ سٰحِرٍ ؕ وَ لَا  یُفۡلِحُ  السَّاحِرُ  حَیۡثُ  اَتٰی ﴿﴾   فَاُلۡقِیَ السَّحَرَۃُ  سُجَّدًا قَالُوۡۤا  اٰمَنَّا بِرَبِّ ہٰرُوۡنَ  وَ  مُوۡسٰی ﴿﴾
Kami berfirman: "Janganlah engkau takut karena sesungguhnya engkaulah yang paling unggul.  Dan lemparkanlah apa yang ada di tangan kanan engkau,  itu akan menelan apa yang mereka buat, sesungguhnya apa yang mereka perbuat adalah tipu-daya tukang sihir, dan tukang sihir tidak akan berhasil dari mana pun ia datang,"  Maka  kesadaran akan kebenaran membuat semua tukang sihir itu menyungkur bersujud, mereka berkata:  Kami beriman kepada Rabb (Tuhan) Harun dan Musa." (Thā Hā [20]:69-71). Lihat pula QS.7:110-127).
   Ayat ini menjadikan peristiwa itu jelas,  bahwa tongkat Nabi Musa a.s.  itulah  -- dan bukan sesuatu benda lain -- yang "menelan"  yakni  melenyapkan “kekuatan khayalan  yang telah ditimbulkan oleh pemusatan  pikiran para tukang sihir serta menggagalkan sihir mereka yang hebat  itu.
 Tongkat Nabi Musa a.s.   yang telah digerakkan oleh kekuatan ruhani yang dimiliki seorang nabi besar dan dilemparkan atas perintah  Allah Swt.,  Tuhan Yang Maha Kuasa,  membongkar penipuan yang para tukang sihir itu yang telah lakukan dengan kepandaiannya terhadap para penonton.
  Di tempat lain dalam Al-Quran, tongkat dan tali tukang-tukang sihir digambarkan sebagai kebohongan yang mereka ada-adakan (ya-fikūn) serta rekayasa atau tipu-daya (kaydu) mereka (QS.7:117-119; QS.20:70). Dan yang merasa “takut” (khawatir) itu bukan hanya Nabi Musa a.s. tetapi juga semua penonton yang hadir, tetapi  rasa takut Nabi  Musa a.s. berbeda dengan “rasa takut  para penonton, yakni Nabi Musa a.s. khawatir para penonton akan terprovokasi oleh kedustaan sihir yang ditampilkan oleh ahli-ahli sihir Fir’aun, firman-Nya:
قَالُوۡا یٰمُوۡسٰۤی  اِمَّاۤ  اَنۡ تُلۡقِیَ وَ  اِمَّاۤ  اَنۡ نَّکُوۡنَ  نَحۡنُ الۡمُلۡقِیۡنَ ﴿﴾  قَالَ  اَلۡقُوۡا ۚ فَلَمَّاۤ  اَلۡقَوۡا سَحَرُوۡۤا  اَعۡیُنَ النَّاسِ وَ اسۡتَرۡہَبُوۡہُمۡ  وَ جَآءُوۡ  بِسِحۡرٍ عَظِیۡمٍ ﴿﴾  
Mereka berkata: “Hai Musa, apakah engkau yang akan mulai melempar, ataukah kami yang harus  menjadi pelempar pertama?”  Ia berkata: “Lemparkanlah.”  Maka tatkala mereka  melemparkan, mereka menyihir mata orang-orang serta membuat mereka itu takut,  وَ جَآءُوۡ  بِسِحۡرٍ عَظِیۡمٍ  --  dan mereka menampilkan     sihir yang hebat.  (Al-‘Arāf [7]:116).

Para Nabi Allah Tidak Pernah Merasa Memiliki  Kesaktian  atau Mukjizat

      Bayangkan ketegangan adegan itu, kedua pihak berhadap-hadapan dan siap untuk mulai bertarung dalam pertandingan yang menentukan.  Tetapi  Nabi-nabi Allah tidak pernah mulai membuka serangan lebih dahulu. Mereka menanti serangan dari pihak musuh, sebab mereka lebih suka menjadi pihak yang membela diri lalu menghadap kepada  Allah Swt.   memohon pertolongan-Nya. Selanjutnya Allah Swt. berfirman: 
وَ اَوۡحَیۡنَاۤ  اِلٰی مُوۡسٰۤی اَنۡ اَلۡقِ عَصَاکَ ۚ فَاِذَا  ہِیَ تَلۡقَفُ  مَا  یَاۡفِکُوۡنَ ﴿﴾ۚ  فَوَقَعَ الۡحَقُّ وَ بَطَلَ مَا کَانُوۡا یَعۡمَلُوۡنَ ﴿﴾ۚ  فَغُلِبُوۡا ہُنَالِکَ وَ انۡقَلَبُوۡا صٰغِرِیۡنَ ﴿﴾ۚ  وَ اُلۡقِیَ  السَّحَرَۃُ  سٰجِدِیۡنَ ﴿﴾ۚۖ  قَالُوۡۤا  اٰمَنَّا  بِرَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ ﴿﴾ۙ  رَبِّ  مُوۡسٰی  وَ ہٰرُوۡنَ ﴿﴾
Dan Kami mewahyukan kepada Musa:  Lemparkanlah tongkat engkau!” Maka tiba-tiba tongkat itu nampak seperti menelan  apa yang   dibuat-buat mereka. Maka tegaklah yang benar dan lenyaplah yang telah mereka kerjakan.  Lalu  mereka dikalahkan di situ dan kembalilah mereka dalam keadaan terhina.   Dan   tukang-tukang sihir itu jatuh bersujud.   Mereka berkata: “Kami beriman kepada Rabb (Tuhan) seluruh alam.     Rabb (Tuhan) Musa dan Harun.”  (Al-‘Arāf [7]:118-123).
         Dari ayat  وَ اَوۡحَیۡنَاۤ  اِلٰی مُوۡسٰۤی اَنۡ اَلۡقِ عَصَاکَ  -- “Dan Kami mewahyukan kepada Musa:  Lemparkanlah tongkat engkau!” diketahui bahwa:
         (1)  Para nabi Allah tidak pernah mulai membuka serangan lebih dahulu. Mereka menanti serangan dari pihak musuh, sebab mereka lebih suka menjadi pihak yang membela diri lalu menghadap kepada  Allah Swt.   memohon pertolongan-Nya.
     (2) Para nabi Allah tidak pernah merasa dirinya memiliki kemampuan supranatural atau kesaktian atau pun karamah  -- bahkan mukjizat -- yang dapat ditampakkan sekehendak  hati mereka kapan pun mereka menghendaki  seperti para pemilik kanuragan (QS.14:11-13; QS.17:91-94; QS.20:134; QS.21:6).
      Ketika mereka menuntut agar Nabi Besar Muhammad saw.  memperlihatkan mukjizat sebagaimana  keinginan mereka, beliau saw. diperintahkan Allah Swt. mengtakan  قُلۡ سُبۡحَانَ رَبِّیۡ  ہَلۡ کُنۡتُ  اِلَّا بَشَرًا رَّسُوۡلًا -- “Katakanlah: “Maha Suci  Rabb-ku (Tuhan-ku), aku tidak lain melainkan seorang manusia  sebagai seorang rasul.”, firman-Nya:
وَ قَالُوۡا لَنۡ نُّؤۡمِنَ لَکَ حَتّٰی تَفۡجُرَ  لَنَا مِنَ  الۡاَرۡضِ  یَنۡۢبُوۡعًا ﴿ۙ﴾  اَوۡ تَکُوۡنَ لَکَ جَنَّۃٌ  مِّنۡ نَّخِیۡلٍ وَّ عِنَبٍ فَتُفَجِّرَ  الۡاَنۡہٰرَ  خِلٰلَہَا تَفۡجِیۡرًا ﴿ۙ﴾  اَوۡ تُسۡقِطَ السَّمَآءَ کَمَا زَعَمۡتَ عَلَیۡنَا کِسَفًا اَوۡ تَاۡتِیَ بِاللّٰہِ  وَ الۡمَلٰٓئِکَۃِ  قَبِیۡلًا ﴿ۙ﴾  اَوۡ  یَکُوۡنَ لَکَ بَیۡتٌ مِّنۡ زُخۡرُفٍ اَوۡ تَرۡقٰی فِی السَّمَآءِ ؕ وَ لَنۡ نُّؤۡمِنَ لِرُقِیِّکَ حَتّٰی تُنَزِّلَ عَلَیۡنَا کِتٰبًا نَّقۡرَؤُہٗ ؕ قُلۡ سُبۡحَانَ رَبِّیۡ  ہَلۡ کُنۡتُ  اِلَّا بَشَرًا رَّسُوۡلًا ﴿٪﴾
Dan mereka berkata: “Kami tidak akan pernah beriman kepada engkau sebelum engkau memancarkan dari bumi sebuah mata air untuk kami, atau engkau mempunyai kebun kurma dan anggur lalu engkau mengalirkan sungai-sungai yang deras alirannya  di tengah-tengahnya, atau engkau menjatuhkan ke-pingan-kepingan langit  atas kami sebagaimana telah engkau dakwakan, atau engkau mendatangkan Allah dan para malaikat berhadap-hadapan, atau  engkau mempunyai sebuah rumah dari emas atau engkau naik ke langit, tetapi kami tidak akan pernah mempercayai kenaikan engkau ke langit hingga engkau menurunkan kepada kami sebuah kitab yang kami dapat membacanya.” Katakanlah:  ۡ سُبۡحَانَ رَبِّیۡ  ہَلۡ کُنۡتُ  اِلَّا بَشَرًا رَّسُوۡلًا   -- “Maha Suci  Rabb-ku (Tuhan-ku), aku tidak lain melainkan seorang manusia  sebagai seorang rasul.”  (Bani Israil [17]:91-94).
        Ketika orang-orang kafir  Mekkah terbungkam oleh jawaban-jawaban Al_Quran mengenai pertanyaan-pertanyaan dan keberatan-keberatan mereka   -- termasuk mengenai masalah ruh    (QS.86-89) -- mereka berputar balik dan menuntut kepada Nabi Besar Muhammad saw., bahwa jika Al-Quran meliputi segala macam ilmu dan kemajuan,  beliau saw. harus dapat memperlihatkan mukjizat-mukjizat — misalnya membuat beberapa mata air memancar keluar dari bumi, membuat kebun-kebun serta membangun rumah-rumah dari emas bagi diri beliau saw. sendiri, dan sebagainya.
         Sebagai jawaban terhadap tuntutan-tuntutan mereka, yang jauh dari kesopanan itu, orang-orang kafir diberitahu, bahwa tuntutan-tuntutan itu bertalian dengan Allah Swt.  atau  Nabi Besar Muhammad saw.. Tuntutan yang pertama adalah asal omong dan bunyi belaka,  karena Allah Swt.   adalah di atas segala hal yang serampangan semacam itu.
          Adapun mengenai tuntutan-tuntutan mereka yang bertalian dengan  Nabi Besar Muhammad saw.,  tuntutan-tuntutan itu bertentangan dengan kemampuan-kemampuan beliau saw. yang terbatas sebagai seorang manusia dan tidak selaras dengan tugas beliau  saw.sebagai seorang rasul Allah.

Pengaruh Olah Kanuragan  atau Olah Kebathinan & Munculnya Ketakaburan

          Itulah sebabnya terdapat perbedaan mengenai pengaruh yang ditimbulkan oleh karamah dan mukjizat  para wali Allah dan para Nabi Allah  dengan berbagai kemampuan yang dihasilkan  oleh kanuragan  atau olah kebathinan , yakni dalam diri para wali Allah dan para Nabi Allah tidak pernah merasa takabur  dengan terjadinya berbagai karamah atau mukjizat yang terjadi atas izin atau kehendak Allah Swt. tersebut, sebab mereka tidak pernah merasa memilikinya  atas upaya merek sendiri melainkan semata-mata karunia (fadhal) Allah Swt..
       Sebaliknya, karena pada umumnya munculnya  berbagai kemampuan kanuragan atau olah kebathinan merupakan hasil usaha  dan kerjakeras  sebagaimana yang mereka niatkan (inginkan)  karena itu   -- disadari atau pun tidak disadari – menimbulkan semacam ketakaburan  pada diri para “pemiliknya”, -- misalnya menganggap diri mereka sebagai “orang-orang sakti” atau sebagai para “wali Allah   -- sebagaimana nampak dari sikap  para ahli sihir Fir’aun yang sangat bangga akan kemampuan sihir mereka, firman-Nya:
قَالَ  اِنۡ کُنۡتَ جِئۡتَ بِاٰیَۃٍ  فَاۡتِ بِہَاۤ  اِنۡ  کُنۡتَ  مِنَ  الصّٰدِقِیۡنَ ﴿﴾  فَاَلۡقٰی عَصَاہُ  فَاِذَا ہِیَ ثُعۡبَانٌ  مُّبِیۡنٌ ﴿﴾ۚۖ  وَّ نَزَعَ یَدَہٗ  فَاِذَا ہِیَ بَیۡضَآءُ  لِلنّٰظِرِیۡنَ ﴿﴾٪  قَالَ الۡمَلَاُ مِنۡ  قَوۡمِ  فِرۡعَوۡنَ   اِنَّ ہٰذَا لَسٰحِرٌ  عَلِیۡمٌ ﴿﴾ۙ  یُّرِیۡدُ  اَنۡ یُّخۡرِجَکُمۡ مِّنۡ  اَرۡضِکُمۡ ۚ فَمَا ذَا  تَاۡمُرُوۡنَ ﴿﴾ قَالُوۡۤا اَرۡجِہۡ  وَ اَخَاہُ  وَ اَرۡسِلۡ فِی الۡمَدَآئِنِ  حٰشِرِیۡنَ ﴿﴾ۙ یَاۡتُوۡکَ  بِکُلِّ  سٰحِرٍ  عَلِیۡمٍ ﴿﴾
Ia, Fir’aun, berkata: ”Jika betul  engkau datang dengan suatu Tanda maka kemukakanlah  itu jika  engkau sungguh termasuk orang-orang yang benar.”   Lalu  Musa melemparkan tongkatnya maka  tiba-tiba tongkat itu menjadi seekor ular yang nyata.  Dan  ia mengeluarkan tangannya maka tiba-tiba tangan itu nampak putih bagi orang-orang yang menyaksikannya.   Pemuka-pemuka kaum Fir’aun berkata: “Sesungguhnya  orang ini tukang sihir  yang pandai.  Ia bermaksud mengusir  kamu dari negeri kamu,  maka bagaimana pendapat kamu?”  Mereka berkata: “Tahanlah kepergian dia dan saudaranya dan kirimlah ke kota-kota orang-orang yang akan mengumpulkan, yang akan mendatangkan kepada engkau setiap tukang sihir yang pandai.”  (Al-A’raf [7]:107-113).
  Ketika Nabi Musa a.s.  pergi menghadap Fir’aun, tujuan beliau terutama bukan untuk menyampaikan seruan beliau kepadanya, melainkan hendak meminta agar Fir’aun memperkenankan orang-orang Bani Israil ikut bersama beliau, walaupun beliau sudah barang tentu berdakwah juga kepadanya.
 Pada hakikatnya Amanat Nabi Musa a.s.   itu dimaksudkan terutama bagi kaum Bani Israil, tetapi selama orang-orang Bani Israil tinggal bersama-sama dengan penduduk asli Mesir maka Nabi Musa a.s.  harus bertabligh kepada kedua pihak mereka. Tetapi ketika orang-orang Israil meninggalkan negeri itu, beliau tidak berkepentingan dengan orang-orang Mesir dan membatasi perhatian beliau pada sanak-saudara beliau yang kepada mereka beliau diutus.

Berbagai Makna Sebutan “Ular” Tongkat Nabi Musa a.s. & Hakikat Mukjizat

  Kembali kepada masalah “pertandingan” antara mukjizat Nabi Musa a.s. dengan kemampuan sihir  para ahli sihir Fir’aun, Al-Quran telah mempergunakan tiga bentuk kata yang berlainan untuk menggambarkan perubahan tongkat Musa a.s. menjadi ular, yaitu, hayyah seperti dalam QS.20:21, jann seperti dalam QS.27:11 dan QS.28:32 dan tsu’ban seperti dalam QS.26:33 dan dalam ayat ini.
Kata yang pertama (hayyah) mempunyai makna umum dan dipergunakan untuk segala macam ular. Kata kedua (jann) dipakai untuk ular kecil. Kata yang ketiga (tsu’ban) berarti ular gemuk lagi panjang. Dengan demikian penggunaan ketiga kata yang berlainan pada tiga tempat yang berbeda-beda dalam Al-Quran mempunyai arti tersendiri dan jelas dimaksudkan untuk tujuan tertentu.
Kata jann dipergunakan karena menilik kecepatan gerak ular itu dan tsu’ban menilik besarnya. Apabila yang dimaksudkan hanya berubahnya tongkat menjadi ular saja, maka yang dipergunakannya ialah kata hayyah, tetapi manakala disebut bahwa tongkat itu telah berubah menjadi ular di hadapan Nabi Musa a.s.   saja maka dipergunakanlah kata jann (ular kecil). Tetapi bila mukjizat berubahnya tongkat itu menjadi ular diperlihatkan kepada Fir’aun, tukang-tukang sihir, dan khalayak umum maka kata tsu’ban yang dipergunakan.
 Kata-kata yang berlainan pada peristiwa-peristiwa yang berbeda mengandung pemahaman yang berlainan pula. Kata hayyah berarti bahwa suatu kaum yang sudah mati (asha selain tongkat   berarti juga masyarakat), begitulah keadaan orang-orang Bani Israil pada masa itu, akan menerima kehidupan baru lagi penuh semangat dengan perantaraan Nabi Musa a.s.. (inilah mafhum akar kata hayyah).
Ada pun  kata jann (seekor ular kecil yang gesit) berarti, bahwa dari satu masyarakat kecil lagi terbelakang  mereka akan mencapai kemajuan pesat dan akan menjadi tsu’ban (ular panjang lagi gemuk) bagi Fir’aun dan rakyatnya,  yakni kaum Bani Israil akan menjadi sarana dan alat untuk kehancuran mereka.
   Patut diperhatikan bahwa mukjizat ini, seperti juga mukjizat-mukjizat lainnya yang diperlihatkan oleh para nabi Allah  pada dasarnya tidak bertentangan dengan hukum alam. Jika sesuatu hal terbukti benar-benar terjadi, maka hal itu harus dianggap benar, sekalipun hal itu tidak dapat diterangkan atau dipahami menurut hukum alam yang kita pahami.
  Kenapa demikian? Sebab pengetahuan kita mengenai hukum alam -- bagaimana pun luasnya -- masih sangat terbatas (QS.18:110; QS.31:28) karena itu  kita tidak boleh menyangkal suatu kenyataan yang sebenarnya atas dasar pengetahuan kita yang serba terbatas dan tak sempurna itu. Lebih-lebih, mukjizat yang diperlihatkan oleh Nabi Musa a.s.  tidak terjadi dengan cara seperti yang dipahami oleh orang pada umumnya.

Mukjizat  Berbeda dengan  Permainan Sulap

  Mukjizat-mukjizat yang diperlihatkan oleh para nabi Allah tidak seperti permainan  kelihaian kecepatan tangan  tukang-tukang sulap. Mukjizat-mukjizat itu dimaksudkan untuk memenuhi suatu tujuan besar yang erat bertalian dengan akhlak dan keruhanian, yaitu untuk menimbulkan keyakinan dan perasaan tawadhu’ (rendah hati) serta takut kepada Allah Swt.   dalam hati mereka yang menyaksikannya.
 Oleh karena itu jika tongkat  Nabi Musa a.s. itu benar-benar telah berubah menjadi ular – sebagaimana yang umumnya dipercayai -- maka seluruh pertunjukan itu tentu nampaknya seperti kelihaian tukang sulap belaka, dan bu-kan mukjizat dari seorang nabi.
Kendati pun apa saja yang mungkin dikatakan Bible mengenai mukjizat ini, tetapi Al-Quran tidak menunjang pendapat bahwa tongkat itu benar-benar telah berubah menjadi ular asli dan hidup,  demikian pula halnya dengan penciptaan “burung” dari tanah liat oleh Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. (QS.3:50; QS.5:111). Sedikit pun tidak nampak terjadinya hal semacam itu.
 Tongkat itu hanya nampak seperti ular yang bergerak-gerak amat lincah. Mukjizat itu semacam kasyaf (pandangan gaib) saat  Allah Swt.   menguasai secara istimewa penglihatan penonton-penonton supaya membuat mereka melihat tongkat itu dalam bentuk ular, ataupun tongkat itu sendiri ditampakkan seperti ular;  begitu pula pemandangan gaib ini disaksikan oleh Fir’aun serta pemuka-pemukanya dan oleh tukang-tukang sihir bersama Nabi Musa a.s..  
 Tongkat itu tetap tongkat jua adanya, tetapi hanya nampak kepada Nabi Musa a.s.  dan lain-lainnya seperti ular. Hal itu merupakan gejala keruhanian yang umum bahwa dalam kasyaf itu bila manusia menembus hijab-hijab (tirai-tirai)  badan kasarnya dan untuk sementara waktu berpindah ke alam ruhani, ia dapat melihat hal-hal yang terjadi di luar batas pengetahuannya dan sama sekali tidak nampak oleh mata jasmaninya.
 Mukjizat-mukjizat berubahnya tongkat menjadi ular merupakan suatu pengalaman ruhani semacam itu. Suatu gejala keruhanian semacam itu terjadi di masa  Nabi Besar Muhammad saw. ketika bulan — tidak hanya kelihatan oleh beliau saw.  melainkan juga oleh beberapa pengikut beliau saw. dan musuh-musuh beliau saw.— seakan-akan telah terbelah (QS.54:2; Bukhari, bab Tafsir).
Hadits mengatakan kepada kita bahwa  Malaikat Jibril  a.s. yang acap terlihat oleh  Nabi Besar Muhammad saw.  dalam kasyaf-kasyaf beliau saw., pada suatu ketika juga terlihat oleh sahabat-sahabat beliau saw. yang tengah duduk-duduk bersama beliau saw. (Bukhari, bab Iman). Demikian pula beberapa malaikat terlihat bahkan pula oleh beberapa orang kafir pada Perang Badar (Tafsir Ibnu Jarir, VI hlm. 47).

Karamah Khalifah Umar bin Khaththab r.a.

  Contoh lain semacam ini terjadi ketika sebuah pasukan Islam di bawah pimpinan Sariya, penglima Islam termasyhur, sedang bertempur melawan musuh di Irak. Sayyidina Umar bin Khaththab r.a.,  Khalifah yang kedua, tatkala beliau sedang berkhutbah Jum’at di kota Medinah melihat dalam kasyaf bahwa pasukan Muslim sedang dikepung oleh musuh yang bilangannya besar, dan bahwa pasukan Muslim terancam kekalahan yang hebat.
Melihat hal itu beliau tiba-tiba beliau  menghentikan khutbah beliau, lalu berseru dari mimbar dengan mengatakan: “Hai Sariyah, naik ke bukit, naik ke bukitI.” Sariyah yang berada pada jarak ratusan mil jauhnya serentak mendengar suara Sayyidina Umar bin Khaththab r.a. di tengah gegap gempita medan pertempuran yang memekakkan telinga, segera menaati perintah Khalifah dan dengan demikian pasukan Islam itu telah selamat dari kehancuran (Tharikh a-l-Khamis, ii, hlm. 370).

Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar,  11 Juni    2014


Tidak ada komentar:

Posting Komentar