Selasa, 15 Juli 2014

Orang-orang yang Mendurhakai "Millat" Nabi Ibrahim a.s. & Berbagai Manfaat Ibadah Haji Bagi "Kesatuan dan Persatuan" Umat Islam



بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم

Khazanah Ruhani Surah  Shād


Bab   265

Orang-orang yang Mendurhakai “Millat” Nabi Ibrahim a.s. &  Berbagai Manfaat  Ibadah Haji  Bagi “Kesatuan dan Persatuan” Umat Islam

 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

D
alam  akhir Bab sebelumnya   telah dikemukakan mengenai  makna ayat     وَ اَنَا  اَوَّلُ الۡمُسۡلِمِیۡنَ   --  “dan akulah orang pertama  yang berserah diri   adalah bahwa Nabi Besar Muhammad saw. adalah orang yang pertama dalam memperagakan ke-Muslim-an   yang paling sempurna dalam segala seginya, bahkan jauh lebih sempurna daripada ke-Muslim-an Nabi Ibrahim a.s. sendiri, sebagaimana digambarkan dalam peristiwa mikraj  Nabi Besar Muhammad saw. (QS.53:QS.1-19), firman-Nya:
قُلۡ  اِنَّنِیۡ ہَدٰىنِیۡ رَبِّیۡۤ  اِلٰی صِرَاطٍ مُّسۡتَقِیۡمٍ ۬ۚ دِیۡنًا قِیَمًا مِّلَّۃَ  اِبۡرٰہِیۡمَ حَنِیۡفًا ۚ وَ مَا کَانَ مِنَ الۡمُشۡرِکِیۡنَ ﴿﴾  قُلۡ  اِنَّ صَلَاتِیۡ  وَ نُسُکِیۡ وَ مَحۡیَایَ وَ مَمَاتِیۡ   لِلّٰہِ   رَبِّ  الۡعٰلَمِیۡنَ ﴿﴾ۙ   لَا شَرِیۡکَ لَہٗ ۚ وَ بِذٰلِکَ اُمِرۡتُ وَ اَنَا  اَوَّلُ الۡمُسۡلِمِیۡنَ ﴿﴾
Katakanlah: “Sesungguhnya aku telah diberi petunjuk oleh Rabb-ku (Tuhan-ku) kepada jalan lurus, agama yang teguh,   agama Ibrahim yang lurus,  dan dia bukanlah dari   orang-orang musyrik.” قُلۡ  اِنَّ صَلَاتِیۡ  وَ نُسُکِیۡ وَ مَحۡیَایَ وَ مَمَاتِیۡ   لِلّٰہِ   رَبِّ  الۡعٰلَمِیۡنَ  --   Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, pengorbananku,  kehidupanku, dan  kematianku  hanyalah untuk Allah, Rabb (Tuhan) seluruh  alam;      لَا شَرِیۡکَ لَہٗ ۚ وَ بِذٰلِکَ اُمِرۡتُ --    Tidak ada sekutu bagi-Nya, untuk itulah aku diperintahkan,  وَ اَنَا  اَوَّلُ الۡمُسۡلِمِیۡنَ   --  dan akulah orang pertama  yang berserah diri. (Al-An’ām [162-163).

Orang yang Paling  Dekat” dengan Nabi Ibrahim a.s. & Kesia-siaan Membanggakan  Memiliki “Hubungan Darah

         Dalam makna ke-Muslim-an Nabi Besar Muhammad saw.    itu pulalah, Allah Swt. telah menyatakan bahwa orang yang “paling dekat” dengan maqam (martabat ke-Muslim-an) Nabi Ibrahim a.s. adalah Nabi Besar Muhammad saw. dan orang-orang beriman yang mengikuti sepenuhnya beliau saw., firman-Nya: 
مَا کَانَ  اِبۡرٰہِیۡمُ یَہُوۡدِیًّا وَّ لَا نَصۡرَانِیًّا وَّ لٰکِنۡ کَانَ حَنِیۡفًا مُّسۡلِمًا ؕ وَ مَا کَانَ مِنَ الۡمُشۡرِکِیۡنَ ﴿﴾  اِنَّ اَوۡلَی النَّاسِ بِاِبۡرٰہِیۡمَ لَلَّذِیۡنَ اتَّبَعُوۡہُ وَ ہٰذَا النَّبِیُّ وَ الَّذِیۡنَ  اٰمَنُوۡا ؕ وَ اللّٰہُ وَلِیُّ  الۡمُؤۡمِنِیۡنَ ﴿﴾
Ibrahim sekali-kali bukanlah seorang Yahudi dan  bukan pula seorang Nasrani,  وَّ لٰکِنۡ کَانَ حَنِیۡفًا مُّسۡلِمًا  --  melainkan  ia seorang yang selalu  cenderung kepada Allah dan berserah  diri kepada-Nya,  وَ مَا کَانَ مِنَ الۡمُشۡرِکِیۡنَ -- dan dia sama sekali bukan dari antara orang-orang musyrik. اِنَّ اَوۡلَی النَّاسِ بِاِبۡرٰہِیۡمَ لَلَّذِیۡنَ اتَّبَعُوۡہُ         --  Sesungguhnya manusia yang paling dekat kepada Ibrahim   adalah orang-orang yang benar-benar mengikutinya,   وَ ہٰذَا النَّبِیُّ وَ الَّذِیۡنَ  اٰمَنُوۡا ؕ وَ اللّٰہُ وَلِیُّ  الۡمُؤۡمِنِیۡنَ     --    dan terutama  Nabi ini  serta  orang-orang yang beriman kepadanya,  وَ اللّٰہُ وَلِیُّ  الۡمُؤۡمِنِیۡنَ   --  dan Allah adalah Pelindung  orang-orang  yang beriman. (Ali ‘Imran [3]:68-69).
        Dikarenakan Nabi Besar Muhammad saw. dan    (Al-Quran) adalah Rasul Allah dan agama untuk seluruh umat manusia (QS.7:159; QS.21:108; QS.25:2; QS.34:29), karena itu adanya hubungan darah atau hubungan kebangsaan serta kesukuan dengan Nabi Besar Muhammad saw.    demikian pula dengan Nabi Ibrahim a.s.  -- bukanlah sesuatu yang harus diperhitungkan,  apalagi harus dibangga-banggakan. Demikianlah penegasan  Allah Swt. dalam firman-Nya tersebut.
      Mengenai kesia-siaan membangga-banggakan  hubungan darah” seperti itu Allah Swt. berfirman:
وَ اِذِ ابۡتَلٰۤی  اِبۡرٰہٖمَ  رَبُّہٗ بِکَلِمٰتٍ فَاَتَمَّہُنَّ ؕ قَالَ اِنِّیۡ جَاعِلُکَ لِلنَّاسِ  اِمَامًا ؕ قَالَ وَ مِنۡ ذُرِّیَّتِیۡ ؕ قَالَ لَا یَنَالُ عَہۡدِی الظّٰلِمِیۡنَ ﴿﴾

Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji oleh Rabb-nya (Tuhan-nya) dengan beberapa perintah  maka dilaksanakannya sepenuhnya. قَالَ اِنِّیۡ جَاعِلُکَ لِلنَّاسِ  اِمَامًا   -- Dia berfirman: “Sesungguhnya  Aku akan  menjadikan engkau imam  bagi manusia.”  قَالَ وَ مِنۡ ذُرِّیَّتِیۡ   -- Ia, Ibrahim,  berkata: “Dan jadikanlah juga imam dari  keturunanku.  قَالَ لَا یَنَالُ عَہۡدِی الظّٰلِمِیۡنَ  -- Dia berfirman: “Janji-Ku tidak mencapai yakni tidak berlaku bagi orang-orang zalim.” (Al-Baqarah [2]:125).
       Jadi, jawaban tegas Allah Swt.  لَا یَنَالُ عَہۡدِی الظّٰلِمِیۡنَ  --  Janji-Ku tidak mencapai yakni tidak berlaku bagi orang-orang zalim” tersebut berarti, “Wahai Ibrahim a.s., jika keturunan engkau tetap berdiri tegak pada “millat” engkau maka janji-Ku ini berlaku pula  pada mereka,  tetapi jika mereka menyimpang dari “millat” engkau maka    لَا یَنَالُ عَہۡدِی الظّٰلِمِیۡنَ  --  Janji-Ku tidak mencapai yakni tidak berlaku bagi orang-orang zalim.  

Mereka yang Mendurhakai  Millat” Nabi Ibrahim a.s.

        Jadi, kembali kepada firman-Nya mengenai perintah Allah Swt. berkenaan dengan Ka’bah (Baitullah):
وَ اِذۡ جَعَلۡنَا الۡبَیۡتَ مَثَابَۃً لِّلنَّاسِ وَ اَمۡنًا ؕ وَ اتَّخِذُوۡا مِنۡ مَّقَامِ اِبۡرٰہٖمَ مُصَلًّی ؕ وَ عَہِدۡنَاۤ اِلٰۤی اِبۡرٰہٖمَ  وَ اِسۡمٰعِیۡلَ اَنۡ طَہِّرَا بَیۡتِیَ  لِلطَّآئِفِیۡنَ وَ الۡعٰکِفِیۡنَ وَ الرُّکَّعِ  السُّجُوۡدِ ﴿﴾

Dan ingatlah ketika Kami jadikan Rumah (Ka’bah) itu مَثَابَۃً لِّلنَّاسِ وَ اَمۡنًا  --  tempat berkumpul  bagi manusia dan tempat yang aman,   وَ اتَّخِذُوۡا مِنۡ مَّقَامِ اِبۡرٰہٖمَ مُصَلًّی   -- dan  jadikanlah maqām  Ibrahim sebagai tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Isma'il:  اَنۡ طَہِّرَا بَیۡتِیَ  لِلطَّآئِفِیۡنَ وَ الۡعٰکِفِیۡنَ وَ الرُّکَّعِ  السُّجُوۡدِ -- “Sucikanlah rumah-Ku itu untuk orang-orang yang tawaf, yang ‘itikaf, yang rukuk dan yang sujud.” (Al-Baqarah [2]:126).
       Sehubungan dengan hal tersebut, berikut adalah perintah Allah Swt. lainnya kepada Nabi Ibrahim a.s. mengenai seruan untuk melaksanakan ibadah  haji, firman-Nya:
وَ اَذِّنۡ فِی النَّاسِ بِالۡحَجِّ  یَاۡتُوۡکَ  رِجَالًا وَّ عَلٰی کُلِّ ضَامِرٍ یَّاۡتِیۡنَ مِنۡ کُلِّ فَجٍّ عَمِیۡقٍ ﴿ۙ﴾
”Dan umumkanlah  kepada manusia untuk ibadah haji, mereka akan datang kepada engkau berjalan kaki dan menunggang unta yang kurus, datang dari segenap penjuru yang jauh-jauh. (Al-Hājj [22]:28).
        Apabila kedua perintah Allah Swt. tersebut digabungkan maka akan berarti, bahwa merupakan kewajiban bagi Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Ismail a.s. serta kewajiban bagi keturunan berikutnya  -- yang mendapat amanat dari Allah Swt. sebagai “pemelihara  Ka’bah (Baitullah) di Makkah  -- bahwa mereka harus mengikuti “millat  (sikap beragama) Nabi Ibrahim a.s. yang   hanīf  (lurus – QS.3:68-69),  mereka harus terbebas sepenuhnya dari berbagai bentuk “kemusyrikan” dan  mereka benar-benar   sebagai  Muslim hakiki  sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Besar Muhammad saw. (QS.6:162-164). Sebab jika tidak demikian, mereka itu tidak pantas menjadi “pemelihara” Ka’bah (Baitullah) dan menjadi penerima “tamu-tamu terhormat” Allah Swt. yang diundang-Nya melalui Nabi Ibrahim a.s..
     Naik haji atau ibadah haji sebagai suatu peraturan agama dimukai  oleh  Nabi  Nabi Ibrahim a.s., sebagaimana ditunjukkan oleh kata-kata  وَ اَذِّنۡ فِی النَّاسِ بِالۡحَجِّ    -- “Dan umumkanlah kepada manusia untuk naik haji.”  Karena itu  siapa pun dan pihak mana pun  tidak berhak untuk menghalang-halangi atau untuk melarang sesama  umat Islam  atau sesama Muslim  untuk melakukan ibadah haji  dan ‘umrah ke Baitullah sebagaimana telah ditetapkan  perintahnya oleh Allah Swt. dalam Al-Quran (QS.2:197-204), hanya semata-mata karena adanya perbedaan faham atau perbedaan penafsiran mengenai  beberapa masalah pemahaman agama Islam (Al-Quran).

Kezaliman Pihak yang Melarang Melakukan Ibadah Haji  & Peran  Ilmu Fiqih Dalam Perpecahan Umat Islam

     Mereka yang melakukan pelarangan melakukan ibadah haji secara zalim berarti mereka itu dalam pandangan Allah Swt. “tidak layak” lagi menjadi penerima dan pengkhidmat  “para tamu terhormat”  Allah Swt. -- yang dengan susah-payah menyambut seruan Allah Swt. melalui Nabi Ibrahim a.s.  – karena  mereka telah menganggap dirinya sebagai “sekutu” Allah Swt. dalam menentukan “benar-tidaknya” keimanan sesama  Muslim yang berbeda faham dengan mereka.
     Mengapa demikian? Sebab hanya wewenang Allah Swt. sajalah untuk menentukan “benar-tidaknya” atau “baik-buruknya”  keimanan  seseorang Muslim,   bukan wewenang lembaga-lembaga  agama buatan manusia mau pun wewenang pemerintah duniawi mana pun – apalagi pemerintah yang    kekuasaannya saat  ini di Timur tengah karena didukung oleh kekuatan Non-Muslim -- firman-Nya: 
قُلۡ کُلٌّ یَّعۡمَلُ عَلٰی شَاکِلَتِہٖ ؕ فَرَبُّکُمۡ اَعۡلَمُ  بِمَنۡ  ہُوَ  اَہۡدٰی  سَبِیۡلًا ﴿٪﴾
Katakanlah: “Setiap orang beramal  عَلٰی شَاکِلَتِہٖ  -- menurut caranya sendiri   maka  Rabb Tuhan) kamu lebih mengetahui siapa yang lebih terpimpin pada jalan-Nya.” (Bani  Israil [17]:85).
       Kata-kata ‘alā  syākilati-hi berarti: sesuai dengan niat, cara berpikir, tujuan-tujuan, dan maksud-maksud sendiri. Oleh karena itu  mengukur “benar-tidaknya” keimanan seseorang kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya dengan kaidah-kaidah ilmu fiqih   adalah perbuatan yang sangat tidak masuk akal, karena ilmu fiqih hanyalah berkaitan dengan masalah jasmani, bukan masalah ruhani.
          Bahkan dalam kenyataannya,  terjadinya perpecahan  di lingkungan  umat Islam pun  pada umumnya disebabkan masalah fiqih, walau pun mereka sama-sama mengaku golongan Sunni. Selanjutnya Allah Swt. berfirman:
مَا  کَانَ اللّٰہُ لِیَذَرَ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ عَلٰی مَاۤ  اَنۡتُمۡ عَلَیۡہِ حَتّٰی یَمِیۡزَ  الۡخَبِیۡثَ مِنَ الطَّیِّبِ ؕ وَ مَا کَانَ اللّٰہُ لِیُطۡلِعَکُمۡ عَلَی الۡغَیۡبِ وَ لٰکِنَّ اللّٰہَ یَجۡتَبِیۡ مِنۡ رُّسُلِہٖ مَنۡ یَّشَآءُ ۪ فَاٰمِنُوۡا بِاللّٰہِ وَ رُسُلِہٖ ۚ وَ  اِنۡ تُؤۡمِنُوۡا وَ تَتَّقُوۡا فَلَکُمۡ  اَجۡرٌ  عَظِیۡمٌ ﴿﴾
Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman di dalam keadaan kamu berada di dalamnya    hingga  Dia memisahkan yang buruk dari yang baik. Dan Allah sekali-kali tidak akan  memperlihatkan  yang gaib kepada kamu, tetapi Allah memilih  di an-tara rasul-rasul-Nya siapa yang Dia kehendaki, karena itu berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan jika kamu beriman dan bertakwa, maka bagi kamu ganjaran yang besar. (Ali ‘Imran [3]:180).
     Jadi, karena masalah keimanan adalah hal yang “gaib”, itulah sebabnya satu-satunya cara yang dijadikan sarana  pemisah oleh Allah Swt. adalah dengan mengutus Rasul Allah yang kedatangannya dijanjikan kepada umat beragama (QS.7:35-37; QS.3:180; QS.73:27-29).
       Menurut Allah Swt.,  orang-orang yang keimanannya benar adalah orang-orang yang beriman kepada Rasul Allah, walau pun mereka itu merupakan “golongan minoritas”,  karena menentukan  “benar-tidaknya” keimanan seseorang tidak sama dengan  keputusan politik” yang selalu mengandalkan “suara mayoritas”.
      Dengan demikian benarlah firman-Nya kepada Nabi Besar Muhammad saw. berikut ini : 
وَ اِنۡ تُطِعۡ  اَکۡثَرَ مَنۡ  فِی الۡاَرۡضِ یُضِلُّوۡکَ عَنۡ سَبِیۡلِ اللّٰہِ ؕ اِنۡ یَّتَّبِعُوۡنَ اِلَّا الظَّنَّ  وَ اِنۡ  ہُمۡ  اِلَّا یَخۡرُصُوۡنَ ﴿﴾
Dan jika engkau mentaati kebanyakan orang di bumi, mereka akan menyesatkan engkau dari jalan Allah,  tidak lain yang mereka ikuti melainkan prasangka, dan mereka tidak lain hanya membuat-buat kebohongan. (Al-An’ām [6]:117).
Firman-Nya lagi:
وَ لَوِ اتَّبَعَ الۡحَقُّ اَہۡوَآءَہُمۡ لَفَسَدَتِ السَّمٰوٰتُ وَ الۡاَرۡضُ وَ مَنۡ فِیۡہِنَّ ؕ بَلۡ اَتَیۡنٰہُمۡ بِذِکۡرِہِمۡ فَہُمۡ عَنۡ ذِکۡرِہِمۡ مُّعۡرِضُوۡنَ ﴿ؕ﴾
Dan seandainya haq yakni kebenaran  mengikuti hawa nafsu mereka  niscaya akan rusak  seluruh langit, bumi dan siapa pun yang ada di dalamnya. Bahkan Kami telah memberikan sarana  kemuliaan  kepada mereka  tetapi dari  sarana kemuliaan mereka itu  mereka berpaling. (Al-Mu’minūn [23]:72).

 Peragaan Nyata   Jawaban   “Ruh” Terhadap Pertanyaan Allah Swt.

        Kembali kepada masalah ibadah haji, menurut Allah Swt.  ibadah haji bukan adat lembaga kemusyrikan yang dimasukkan ke dalam Islam oleh  Nabi Besar Muhammad saw. guna mengambil hati orang-orang Arab penyembah berhala, sebagaimana beberapa pengarang Kristen telah terbawa-bawa berpikiran demikian,  Allah Swt. berfirman kepada Nabi Ibrahim a.s.:
وَ اَذِّنۡ فِی النَّاسِ بِالۡحَجِّ  یَاۡتُوۡکَ  رِجَالًا وَّ عَلٰی کُلِّ ضَامِرٍ یَّاۡتِیۡنَ مِنۡ کُلِّ فَجٍّ عَمِیۡقٍ ﴿ۙ﴾
”Dan umumkanlah  kepada manusia untuk ibadah haji, mereka akan datang kepada engkau berjalan kaki dan menunggang unta yang kurus, datang dari segenap penjuru yang jauh-jauh. (Al-Hājj [22]:28).
        Semenjak Nabi Ibrahim a.s.  ibadah haji telah berlangsung terus tanpa putus-putusnya sampai hari ini. Berkumpulnya beratus-ratus ribu bahkan jutaan   orang Islam     dari negeri-negeri jauh tiap-tiap tahun di kota Mekkah merupakan bukti yang tidak dapat dipatahkan mengenai sempurnanya nubuatan  dalam firman-Nya kepada Nabi Ibrahim a.s. tersebut.
      Dalam kalimat یَاۡتُوۡکَ  رِجَالًا وَّ عَلٰی کُلِّ ضَامِرٍ یَّاۡتِیۡنَ مِنۡ کُلِّ فَجٍّ عَمِیۡقٍ -- ‘’mereka akan datang kepada engkau berjalan kaki dan menunggang unta yang kurus datang dari segenap penjuru yang jauh-jauh, tergambar mengenai ketaatan  serta kecintaan  mereka yang sangat berhasrat untuk  memenuhi panggilan  atau pengumuman Allah Swt. melalui Nabi Ibrahim a.s. tersebut, seakan-akan jawaban tegas ruh ketika ditanya oleh Allah Swt.:  اَلَسۡتُ بِرَبِّکُمۡ   -- ”Bukankah Aku  Rabb (Tuhan) kamu?”  قَالُوۡا بَلٰی ۚۛ شَہِدۡنَا  -- mereka berkata: “Ya benar, kami menjadi saksi,” firman-Nya:
وَ اِذۡ اَخَذَ رَبُّکَ مِنۡۢ بَنِیۡۤ اٰدَمَ مِنۡ ظُہُوۡرِہِمۡ ذُرِّیَّتَہُمۡ وَ اَشۡہَدَہُمۡ عَلٰۤی اَنۡفُسِہِمۡ ۚ اَلَسۡتُ بِرَبِّکُمۡ ؕ قَالُوۡا بَلٰی ۚۛ شَہِدۡنَا ۚۛ اَنۡ تَقُوۡلُوۡا یَوۡمَ  الۡقِیٰمَۃِ  اِنَّا کُنَّا عَنۡ  ہٰذَا غٰفِلِیۡنَ ﴿﴾ۙ  اَوۡ تَقُوۡلُوۡۤا  اِنَّمَاۤ  اَشۡرَکَ  اٰبَآؤُنَا مِنۡ  قَبۡلُ وَ کُنَّا ذُرِّیَّۃً مِّنۡۢ بَعۡدِہِمۡ ۚ اَفَتُہۡلِکُنَا بِمَا فَعَلَ الۡمُبۡطِلُوۡنَ﴿﴾ وَ کَذٰلِکَ نُفَصِّلُ الۡاٰیٰتِ وَ لَعَلَّہُمۡ یَرۡجِعُوۡنَ ﴿﴾
Dan ingatlah ketika Rabb (Tuhan) engkau mengambil  kesaksian dari  bani (keturunan) Adam  yakni   dari sulbi  keturunan  mereka serta menjadikan mereka saksi atas dirinya sendiri  sambil berfirman:  اَلَسۡتُ بِرَبِّکُمۡ   -- ”Bukankah Aku Rabb (Tuhan) kamu?”  قَالُوۡا بَلٰی ۚۛ شَہِدۡنَا  -- Mereka berkata: “Ya benar, kami menjadi saksi.” Hal  itu supaya  kamu tidak berkata pada Hari Kiamat:   اِنَّا کُنَّا عَنۡ  ہٰذَا غٰفِلِیۡنَ  -- “Sesungguhnya kami  benar-benar lengah dari hal ini.  Atau kamu mengatakan:  اِنَّمَاۤ  اَشۡرَکَ  اٰبَآؤُنَا مِنۡ  قَبۡلُ وَ کُنَّا ذُرِّیَّۃً مِّنۡۢ بَعۡدِہِمۡ   --  “Sesungguhnya bapak-bapak kami dahulu yang berbuat syirik, sedangkan kami hanyalah keturunan sesudah mereka.  اَفَتُہۡلِکُنَا بِمَا فَعَلَ الۡمُبۡطِلُوۡنَ  -- Apakah Engkau akan membinasakan kami karena apa yang telah  dikerjakan oleh orang-orang yang  berbuat batil itu?”  Dan demikianlah Kami menjelaskan Tanda-tanda itu  dan supaya mereka kembali kepada yang haq. (Al-A’rāf [7]:173-175).

Manfaat-manfaat Melaksanakan Ibadah Haji  & Pentingnya Upaya Pensucian Jiwa

        Selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai berbagai manfaat dari melaksanakan ibadah haji:
لِّیَشۡہَدُوۡا مَنَافِعَ  لَہُمۡ  وَ یَذۡکُرُوا  اسۡمَ اللّٰہِ فِیۡۤ  اَیَّامٍ مَّعۡلُوۡمٰتٍ عَلٰی مَا رَزَقَہُمۡ مِّنۡۢ بَہِیۡمَۃِ الۡاَنۡعَامِ ۚ فَکُلُوۡا مِنۡہَا وَ اَطۡعِمُوا  الۡبَآئِسَ الۡفَقِیۡرَ ﴿۫﴾
“Supaya  mereka dapat menyaksikan manfaat-manfaatnya   bagi mereka, dan dapat mengingat  nama Allah  selama hari-hari yang ditetapkan atas apa yang telah Dia rezekikan kepada mereka dari binatang ternak berkaki empat. Maka makanlah da-rinya dan berilah makan orang-orang sengsara, dan fakir. (Al-Hajj [22]:29).
       Selain faedah ruhani yang diperoleh seorang Muslim dari ibadah haji, peraturan ibadah haji  pun  mempunyai nilai kemasyarakatan dan politik yang besar. Ibadah haji memiliki daya besar untuk mempersatukan kaum Muslimin dari berbagai kebangsaan menjadi satu dalam persaudaraan Islamiah internasional yang kuat.
      Orang-orang Islam dari seluruh bagian dunia yang bertemu di Mekkah sekali setahun dapat saling tukar pandangan mengenai hal-hal yang mempunyai  kepentingan internasional, memperbaharui hubungan-hubungan yang lama, dan mengadakan hubungan-hubungan yang baru. Mereka mempunyai kesempatan berkenalan dengan persoalan-persoalan yang dihadapi saudara-saudara seagama mereka di negeri-negeri lain, memperoleh faedah dari pengalaman satu sama lain, dan bekerja sama satu sama lain dengan berbagai cara dan upaya. Oleh karena Mekkah merupakan pusat agama Islam yang ditetapkan  Allah Swt.  maka peraturan haji dapat berperan sebagai PBB untuk seluruh dunia Islam.

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar,  21 Juni    2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar