بِسۡمِ
اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم
Khazanah Ruhani Surah Shād
Bab 265
Orang-orang yang Mendurhakai “Millat” Nabi Ibrahim a.s. & Berbagai Manfaat Ibadah Haji Bagi “Kesatuan dan Persatuan” Umat Islam
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam akhir Bab
sebelumnya telah dikemukakan
mengenai makna ayat وَ اَنَا اَوَّلُ
الۡمُسۡلِمِیۡنَ -- “dan akulah orang pertama yang
berserah diri” adalah bahwa Nabi
Besar Muhammad saw. adalah orang yang
pertama dalam memperagakan ke-Muslim-an yang paling sempurna dalam segala seginya, bahkan jauh lebih sempurna daripada ke-Muslim-an
Nabi Ibrahim a.s. sendiri, sebagaimana digambarkan dalam peristiwa mikraj
Nabi Besar Muhammad saw. (QS.53:QS.1-19), firman-Nya:
قُلۡ اِنَّنِیۡ
ہَدٰىنِیۡ رَبِّیۡۤ اِلٰی صِرَاطٍ
مُّسۡتَقِیۡمٍ ۬ۚ دِیۡنًا قِیَمًا مِّلَّۃَ
اِبۡرٰہِیۡمَ حَنِیۡفًا ۚ وَ مَا کَانَ مِنَ الۡمُشۡرِکِیۡنَ ﴿﴾ قُلۡ اِنَّ
صَلَاتِیۡ وَ نُسُکِیۡ وَ مَحۡیَایَ وَ
مَمَاتِیۡ لِلّٰہِ رَبِّ
الۡعٰلَمِیۡنَ ﴿﴾ۙ لَا شَرِیۡکَ لَہٗ ۚ وَ بِذٰلِکَ اُمِرۡتُ وَ اَنَا اَوَّلُ الۡمُسۡلِمِیۡنَ ﴿﴾
Katakanlah: “Sesungguhnya aku telah diberi petunjuk oleh Rabb-ku (Tuhan-ku) kepada jalan lurus, agama yang teguh, agama
Ibrahim yang lurus, dan dia bukanlah dari orang-orang
musyrik.” قُلۡ اِنَّ صَلَاتِیۡ وَ نُسُکِیۡ وَ مَحۡیَایَ وَ مَمَاتِیۡ لِلّٰہِ
رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ --
Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku,
pengorbananku, kehidupanku,
dan kematianku
hanyalah untuk Allah, Rabb (Tuhan) seluruh alam; لَا شَرِیۡکَ لَہٗ ۚ وَ بِذٰلِکَ اُمِرۡتُ -- Tidak ada sekutu bagi-Nya, untuk itulah aku diperintahkan, وَ اَنَا اَوَّلُ
الۡمُسۡلِمِیۡنَ -- dan akulah
orang pertama yang berserah diri. (Al-An’ām [162-163).
Orang yang Paling “Dekat”
dengan Nabi Ibrahim a.s. & Kesia-siaan Membanggakan Memiliki “Hubungan
Darah”
Dalam
makna ke-Muslim-an Nabi Besar
Muhammad saw. itu pulalah, Allah Swt.
telah menyatakan bahwa orang yang “paling
dekat” dengan maqam (martabat ke-Muslim-an) Nabi Ibrahim a.s. adalah Nabi Besar Muhammad saw. dan orang-orang
beriman yang mengikuti sepenuhnya
beliau saw., firman-Nya:
مَا کَانَ
اِبۡرٰہِیۡمُ یَہُوۡدِیًّا وَّ لَا نَصۡرَانِیًّا وَّ لٰکِنۡ کَانَ
حَنِیۡفًا مُّسۡلِمًا ؕ وَ مَا کَانَ مِنَ الۡمُشۡرِکِیۡنَ ﴿﴾ اِنَّ اَوۡلَی النَّاسِ بِاِبۡرٰہِیۡمَ لَلَّذِیۡنَ
اتَّبَعُوۡہُ وَ ہٰذَا النَّبِیُّ وَ الَّذِیۡنَ
اٰمَنُوۡا ؕ وَ اللّٰہُ وَلِیُّ
الۡمُؤۡمِنِیۡنَ ﴿﴾
Ibrahim sekali-kali bukanlah seorang Yahudi dan bukan
pula seorang Nasrani, وَّ لٰکِنۡ کَانَ حَنِیۡفًا مُّسۡلِمًا --
melainkan ia seorang yang selalu cenderung kepada Allah dan
berserah
diri kepada-Nya, وَ مَا کَانَ مِنَ الۡمُشۡرِکِیۡنَ -- dan dia sama sekali bukan dari antara orang-orang musyrik. اِنَّ اَوۡلَی النَّاسِ بِاِبۡرٰہِیۡمَ لَلَّذِیۡنَ
اتَّبَعُوۡہُ --
Sesungguhnya manusia yang paling dekat kepada Ibrahim adalah orang-orang yang benar-benar mengikutinya, وَ ہٰذَا النَّبِیُّ وَ الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا ؕ وَ اللّٰہُ وَلِیُّ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ
-- dan terutama Nabi ini serta orang-orang yang beriman kepadanya, وَ اللّٰہُ وَلِیُّ
الۡمُؤۡمِنِیۡنَ -- dan Allah adalah Pelindung orang-orang yang beriman. (Ali ‘Imran [3]:68-69).
Dikarenakan Nabi Besar Muhammad
saw. dan (Al-Quran) adalah Rasul Allah dan agama untuk seluruh umat
manusia (QS.7:159; QS.21:108; QS.25:2; QS.34:29), karena itu adanya hubungan darah atau hubungan kebangsaan serta kesukuan dengan Nabi Besar
Muhammad saw. – demikian pula dengan Nabi Ibrahim a.s. --
bukanlah sesuatu yang harus diperhitungkan, apalagi harus dibangga-banggakan. Demikianlah penegasan Allah Swt. dalam firman-Nya tersebut.
Mengenai kesia-siaan membangga-banggakan “hubungan
darah” seperti itu Allah Swt. berfirman:
وَ اِذِ ابۡتَلٰۤی اِبۡرٰہٖمَ رَبُّہٗ بِکَلِمٰتٍ فَاَتَمَّہُنَّ ؕ قَالَ
اِنِّیۡ جَاعِلُکَ لِلنَّاسِ
اِمَامًا ؕ قَالَ وَ مِنۡ ذُرِّیَّتِیۡ ؕ قَالَ لَا یَنَالُ عَہۡدِی الظّٰلِمِیۡنَ ﴿﴾
Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji oleh Rabb-nya (Tuhan-nya) dengan beberapa perintah maka dilaksanakannya
sepenuhnya. قَالَ اِنِّیۡ جَاعِلُکَ لِلنَّاسِ
اِمَامًا -- Dia berfirman:
“Sesungguhnya Aku akan
menjadikan engkau imam bagi manusia.” قَالَ وَ مِنۡ ذُرِّیَّتِیۡ --
Ia, Ibrahim, berkata: “Dan jadikanlah
juga imam dari keturunanku.” قَالَ لَا یَنَالُ عَہۡدِی الظّٰلِمِیۡنَ -- Dia berfirman: “Janji-Ku tidak mencapai yakni tidak
berlaku bagi orang-orang zalim.”
(Al-Baqarah
[2]:125).
Jadi, jawaban tegas Allah Swt. لَا یَنَالُ عَہۡدِی الظّٰلِمِیۡنَ -- “Janji-Ku
tidak mencapai yakni tidak berlaku bagi orang-orang zalim” tersebut berarti, “Wahai Ibrahim a.s., jika keturunan engkau tetap berdiri tegak pada “millat” engkau maka janji-Ku
ini berlaku pula pada mereka,
tetapi jika mereka menyimpang
dari “millat” engkau maka لَا یَنَالُ عَہۡدِی الظّٰلِمِیۡنَ -- “Janji-Ku
tidak mencapai yakni tidak berlaku bagi orang-orang zalim.”
Mereka yang
Mendurhakai “Millat” Nabi Ibrahim a.s.
Jadi,
kembali kepada firman-Nya mengenai perintah
Allah Swt. berkenaan dengan Ka’bah (Baitullah):
وَ اِذۡ جَعَلۡنَا الۡبَیۡتَ مَثَابَۃً لِّلنَّاسِ وَ اَمۡنًا ؕ وَ اتَّخِذُوۡا مِنۡ مَّقَامِ
اِبۡرٰہٖمَ مُصَلًّی ؕ وَ عَہِدۡنَاۤ اِلٰۤی اِبۡرٰہٖمَ وَ
اِسۡمٰعِیۡلَ اَنۡ طَہِّرَا بَیۡتِیَ لِلطَّآئِفِیۡنَ وَ الۡعٰکِفِیۡنَ وَ الرُّکَّعِ السُّجُوۡدِ ﴿﴾
Dan ingatlah ketika Kami jadikan Rumah (Ka’bah) itu مَثَابَۃً لِّلنَّاسِ
وَ اَمۡنًا
-- tempat berkumpul bagi
manusia dan tempat yang aman, وَ اتَّخِذُوۡا مِنۡ مَّقَامِ اِبۡرٰہٖمَ مُصَلًّی -- dan jadikanlah maqām Ibrahim sebagai tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan
kepada Ibrahim dan Isma'il: اَنۡ طَہِّرَا بَیۡتِیَ لِلطَّآئِفِیۡنَ وَ الۡعٰکِفِیۡنَ وَ الرُّکَّعِ السُّجُوۡدِ -- “Sucikanlah rumah-Ku
itu untuk orang-orang yang tawaf,
yang ‘itikaf, yang rukuk dan yang sujud.” (Al-Baqarah [2]:126).
Sehubungan
dengan hal tersebut, berikut adalah perintah
Allah Swt. lainnya kepada Nabi Ibrahim a.s. mengenai seruan untuk melaksanakan ibadah haji, firman-Nya:
وَ اَذِّنۡ فِی النَّاسِ
بِالۡحَجِّ یَاۡتُوۡکَ رِجَالًا وَّ عَلٰی کُلِّ ضَامِرٍ یَّاۡتِیۡنَ
مِنۡ کُلِّ فَجٍّ عَمِیۡقٍ ﴿ۙ﴾
”Dan umumkanlah kepada manusia
untuk ibadah haji, mereka akan datang kepada engkau berjalan kaki
dan menunggang unta yang kurus, datang
dari segenap penjuru yang jauh-jauh.
(Al-Hājj
[22]:28).
Apabila
kedua perintah Allah Swt. tersebut digabungkan maka akan berarti, bahwa
merupakan kewajiban bagi Nabi Ibrahim
a.s. dan Nabi Ismail a.s. serta kewajiban bagi keturunan berikutnya -- yang
mendapat amanat dari Allah Swt.
sebagai “pemelihara” Ka’bah
(Baitullah) di Makkah -- bahwa mereka
harus mengikuti “millat” (sikap beragama) Nabi Ibrahim a.s. yang hanīf
(lurus – QS.3:68-69), mereka
harus terbebas sepenuhnya dari
berbagai bentuk “kemusyrikan”
dan mereka benar-benar sebagai
Muslim hakiki sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Besar
Muhammad saw. (QS.6:162-164). Sebab jika tidak demikian, mereka itu tidak pantas menjadi “pemelihara” Ka’bah (Baitullah) dan menjadi penerima
“tamu-tamu terhormat” Allah Swt. yang
diundang-Nya melalui Nabi Ibrahim a.s..
Naik haji atau ibadah haji sebagai suatu peraturan
agama dimukai oleh Nabi
Nabi Ibrahim a.s., sebagaimana ditunjukkan oleh kata-kata وَ اَذِّنۡ فِی النَّاسِ
بِالۡحَجِّ -- “Dan
umumkanlah kepada manusia untuk naik haji.”
Karena itu siapa pun dan pihak mana
pun tidak berhak untuk menghalang-halangi atau untuk melarang sesama umat
Islam atau sesama Muslim
untuk melakukan ibadah haji dan ‘umrah
ke Baitullah
sebagaimana telah ditetapkan perintahnya oleh Allah Swt. dalam
Al-Quran (QS.2:197-204), hanya semata-mata karena adanya perbedaan faham atau perbedaan
penafsiran mengenai beberapa masalah
pemahaman agama Islam (Al-Quran).
Kezaliman Pihak
yang Melarang Melakukan Ibadah Haji
& Peran Ilmu Fiqih Dalam Perpecahan Umat Islam
Mereka yang
melakukan pelarangan melakukan ibadah haji secara zalim berarti mereka itu dalam pandangan Allah Swt. “tidak layak” lagi menjadi penerima dan pengkhidmat “para tamu
terhormat” Allah Swt. -- yang dengan susah-payah menyambut seruan Allah
Swt. melalui Nabi Ibrahim a.s. – karena
mereka telah menganggap dirinya
sebagai “sekutu” Allah Swt. dalam
menentukan “benar-tidaknya” keimanan
sesama Muslim yang berbeda faham
dengan mereka.
Mengapa
demikian? Sebab hanya wewenang Allah
Swt. sajalah untuk menentukan “benar-tidaknya” atau “baik-buruknya” keimanan seseorang Muslim, bukan wewenang lembaga-lembaga agama buatan
manusia mau pun wewenang pemerintah duniawi mana pun – apalagi pemerintah yang kekuasaannya
saat ini di Timur tengah karena didukung
oleh kekuatan Non-Muslim --
firman-Nya:
قُلۡ کُلٌّ یَّعۡمَلُ عَلٰی
شَاکِلَتِہٖ ؕ فَرَبُّکُمۡ اَعۡلَمُ
بِمَنۡ ہُوَ اَہۡدٰی
سَبِیۡلًا ﴿٪﴾
Katakanlah: “Setiap orang beramal عَلٰی شَاکِلَتِہٖ -- menurut caranya sendiri maka Rabb
Tuhan) kamu lebih mengetahui siapa yang
lebih terpimpin pada jalan-Nya.” (Bani Israil [17]:85).
Kata-kata ‘alā syākilati-hi
berarti: sesuai dengan niat, cara berpikir, tujuan-tujuan, dan maksud-maksud
sendiri. Oleh karena itu mengukur
“benar-tidaknya” keimanan seseorang
kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya dengan kaidah-kaidah ilmu fiqih adalah perbuatan yang sangat tidak masuk
akal, karena ilmu fiqih hanyalah
berkaitan dengan masalah jasmani,
bukan masalah ruhani.
Bahkan
dalam kenyataannya, terjadinya perpecahan di lingkungan umat Islam pun pada umumnya disebabkan masalah fiqih, walau pun mereka sama-sama
mengaku golongan Sunni. Selanjutnya
Allah Swt. berfirman:
مَا کَانَ اللّٰہُ لِیَذَرَ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ عَلٰی
مَاۤ اَنۡتُمۡ عَلَیۡہِ حَتّٰی
یَمِیۡزَ الۡخَبِیۡثَ مِنَ الطَّیِّبِ ؕ
وَ مَا کَانَ اللّٰہُ لِیُطۡلِعَکُمۡ عَلَی الۡغَیۡبِ وَ لٰکِنَّ اللّٰہَ
یَجۡتَبِیۡ مِنۡ رُّسُلِہٖ مَنۡ یَّشَآءُ ۪ فَاٰمِنُوۡا بِاللّٰہِ وَ رُسُلِہٖ ۚ
وَ اِنۡ تُؤۡمِنُوۡا وَ تَتَّقُوۡا
فَلَکُمۡ اَجۡرٌ عَظِیۡمٌ ﴿﴾
Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang
beriman di dalam keadaan kamu berada
di dalamnya hingga Dia
memisahkan yang buruk dari yang baik. Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan yang gaib kepada kamu, tetapi Allah memilih di an-tara rasul-rasul-Nya siapa yang Dia
kehendaki, karena itu berimanlah
kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya,
dan jika kamu beriman dan bertakwa, maka bagi kamu ganjaran yang besar. (Ali ‘Imran [3]:180).
Jadi, karena
masalah keimanan adalah hal yang
“gaib”, itulah sebabnya satu-satunya cara
yang dijadikan sarana pemisah
oleh Allah Swt. adalah dengan mengutus Rasul
Allah yang kedatangannya dijanjikan
kepada umat beragama (QS.7:35-37;
QS.3:180; QS.73:27-29).
Menurut
Allah Swt., orang-orang yang keimanannya benar adalah orang-orang yang beriman kepada Rasul Allah, walau pun mereka itu
merupakan “golongan minoritas”, karena menentukan “benar-tidaknya” keimanan seseorang tidak sama dengan “keputusan
politik” yang selalu mengandalkan “suara
mayoritas”.
Dengan
demikian benarlah firman-Nya kepada Nabi Besar Muhammad saw. berikut ini :
وَ اِنۡ تُطِعۡ اَکۡثَرَ مَنۡ فِی الۡاَرۡضِ یُضِلُّوۡکَ عَنۡ سَبِیۡلِ اللّٰہِ ؕ اِنۡ یَّتَّبِعُوۡنَ اِلَّا الظَّنَّ وَ اِنۡ ہُمۡ اِلَّا یَخۡرُصُوۡنَ ﴿﴾
Dan jika engkau mentaati
kebanyakan orang di bumi, mereka akan
menyesatkan engkau dari jalan Allah, tidak lain yang mereka ikuti melainkan prasangka, dan mereka tidak lain hanya membuat-buat kebohongan. (Al-An’ām
[6]:117).
Firman-Nya lagi:
وَ لَوِ اتَّبَعَ الۡحَقُّ
اَہۡوَآءَہُمۡ لَفَسَدَتِ السَّمٰوٰتُ وَ الۡاَرۡضُ وَ مَنۡ فِیۡہِنَّ ؕ بَلۡ
اَتَیۡنٰہُمۡ بِذِکۡرِہِمۡ فَہُمۡ عَنۡ ذِکۡرِہِمۡ مُّعۡرِضُوۡنَ ﴿ؕ﴾
Dan seandainya haq
yakni kebenaran mengikuti hawa nafsu mereka niscaya akan
rusak seluruh langit, bumi dan siapa pun yang ada di dalamnya. Bahkan Kami telah memberikan sarana kemuliaan kepada mereka tetapi dari sarana kemuliaan mereka itu mereka berpaling.
(Al-Mu’minūn
[23]:72).
Peragaan Nyata Jawaban “Ruh” Terhadap Pertanyaan Allah Swt.
Kembali kepada masalah ibadah haji,
menurut Allah Swt. ibadah haji bukan adat lembaga kemusyrikan
yang dimasukkan ke dalam Islam oleh Nabi
Besar Muhammad saw. guna mengambil hati
orang-orang Arab penyembah berhala,
sebagaimana beberapa pengarang Kristen
telah terbawa-bawa berpikiran demikian,
Allah Swt. berfirman kepada Nabi Ibrahim a.s.:
وَ اَذِّنۡ فِی النَّاسِ
بِالۡحَجِّ یَاۡتُوۡکَ رِجَالًا وَّ عَلٰی کُلِّ ضَامِرٍ یَّاۡتِیۡنَ
مِنۡ کُلِّ فَجٍّ عَمِیۡقٍ ﴿ۙ﴾
”Dan umumkanlah kepada manusia
untuk ibadah haji, mereka akan datang kepada engkau berjalan kaki
dan menunggang unta yang kurus,
datang dari segenap penjuru yang
jauh-jauh. (Al-Hājj [22]:28).
Semenjak Nabi
Ibrahim a.s. ibadah haji telah berlangsung terus tanpa putus-putusnya sampai hari ini.
Berkumpulnya beratus-ratus ribu bahkan jutaan orang Islam dari negeri-negeri jauh tiap-tiap tahun di
kota Mekkah merupakan bukti yang
tidak dapat dipatahkan mengenai sempurnanya nubuatan dalam firman-Nya kepada Nabi Ibrahim a.s.
tersebut.
Dalam kalimat
یَاۡتُوۡکَ رِجَالًا وَّ عَلٰی کُلِّ ضَامِرٍ یَّاۡتِیۡنَ
مِنۡ کُلِّ فَجٍّ عَمِیۡقٍ -- ‘’mereka akan datang
kepada engkau berjalan kaki dan menunggang
unta yang kurus datang dari segenap
penjuru yang jauh-jauh, ”
tergambar mengenai ketaatan serta kecintaan
mereka yang sangat berhasrat untuk memenuhi panggilan atau pengumuman
Allah Swt. melalui Nabi Ibrahim a.s.
tersebut, seakan-akan jawaban tegas ruh
ketika ditanya oleh Allah Swt.: اَلَسۡتُ بِرَبِّکُمۡ --
”Bukankah Aku Rabb (Tuhan) kamu?” قَالُوۡا بَلٰی ۚۛ شَہِدۡنَا --
mereka berkata: “Ya benar, kami
menjadi saksi,” firman-Nya:
وَ اِذۡ اَخَذَ رَبُّکَ مِنۡۢ بَنِیۡۤ اٰدَمَ مِنۡ
ظُہُوۡرِہِمۡ ذُرِّیَّتَہُمۡ وَ اَشۡہَدَہُمۡ عَلٰۤی اَنۡفُسِہِمۡ ۚ اَلَسۡتُ
بِرَبِّکُمۡ ؕ قَالُوۡا بَلٰی ۚۛ شَہِدۡنَا ۚۛ اَنۡ تَقُوۡلُوۡا یَوۡمَ الۡقِیٰمَۃِ
اِنَّا کُنَّا عَنۡ ہٰذَا
غٰفِلِیۡنَ ﴿﴾ۙ اَوۡ
تَقُوۡلُوۡۤا اِنَّمَاۤ اَشۡرَکَ
اٰبَآؤُنَا مِنۡ قَبۡلُ وَ کُنَّا
ذُرِّیَّۃً مِّنۡۢ بَعۡدِہِمۡ ۚ اَفَتُہۡلِکُنَا بِمَا فَعَلَ الۡمُبۡطِلُوۡنَ﴿﴾ وَ کَذٰلِکَ نُفَصِّلُ الۡاٰیٰتِ وَ لَعَلَّہُمۡ
یَرۡجِعُوۡنَ ﴿﴾
Dan ingatlah ketika Rabb (Tuhan) engkau mengambil
kesaksian dari bani (keturunan) Adam yakni dari sulbi keturunan mereka serta menjadikan mereka saksi atas dirinya sendiri sambil berfirman: اَلَسۡتُ بِرَبِّکُمۡ --
”Bukankah Aku Rabb (Tuhan)
kamu?” قَالُوۡا بَلٰی ۚۛ شَہِدۡنَا --
Mereka berkata: “Ya benar, kami menjadi saksi.” Hal itu supaya kamu
tidak berkata pada Hari Kiamat: اِنَّا کُنَّا عَنۡ
ہٰذَا غٰفِلِیۡنَ -- “Sesungguhnya
kami benar-benar lengah dari hal ini. Atau
kamu mengatakan: اِنَّمَاۤ
اَشۡرَکَ اٰبَآؤُنَا مِنۡ قَبۡلُ وَ کُنَّا ذُرِّیَّۃً مِّنۡۢ بَعۡدِہِمۡ
--
“Sesungguhnya bapak-bapak kami
dahulu yang berbuat syirik, sedangkan kami hanyalah keturunan sesudah mereka. اَفَتُہۡلِکُنَا بِمَا فَعَلَ الۡمُبۡطِلُوۡنَ -- Apakah Engkau akan membinasakan kami karena apa yang telah dikerjakan oleh
orang-orang yang berbuat batil
itu?” Dan demikianlah Kami menjelaskan Tanda-tanda itu dan supaya mereka kembali kepada yang haq. (Al-A’rāf
[7]:173-175).
Manfaat-manfaat
Melaksanakan Ibadah Haji & Pentingnya Upaya Pensucian Jiwa
Selanjutnya
Allah Swt. berfirman mengenai berbagai manfaat
dari melaksanakan ibadah haji:
لِّیَشۡہَدُوۡا مَنَافِعَ لَہُمۡ
وَ یَذۡکُرُوا اسۡمَ اللّٰہِ
فِیۡۤ اَیَّامٍ مَّعۡلُوۡمٰتٍ عَلٰی مَا
رَزَقَہُمۡ مِّنۡۢ بَہِیۡمَۃِ الۡاَنۡعَامِ ۚ فَکُلُوۡا مِنۡہَا وَ
اَطۡعِمُوا الۡبَآئِسَ الۡفَقِیۡرَ ﴿۫﴾
“Supaya mereka
dapat menyaksikan manfaat-manfaatnya
bagi mereka, dan dapat mengingat
nama Allah selama
hari-hari yang ditetapkan atas apa yang telah Dia rezekikan kepada mereka
dari binatang ternak berkaki empat.
Maka makanlah da-rinya dan berilah makan orang-orang sengsara, dan
fakir. (Al-Hajj [22]:29).
Selain faedah ruhani yang diperoleh seorang Muslim dari ibadah haji, peraturan ibadah
haji pun mempunyai nilai
kemasyarakatan dan politik yang
besar. Ibadah haji memiliki daya besar untuk mempersatukan kaum Muslimin dari berbagai kebangsaan menjadi satu dalam persaudaraan
Islamiah internasional yang kuat.
Orang-orang Islam dari seluruh bagian dunia yang bertemu di Mekkah sekali setahun dapat saling
tukar pandangan mengenai hal-hal yang mempunyai kepentingan internasional, memperbaharui hubungan-hubungan
yang lama, dan mengadakan hubungan-hubungan yang baru. Mereka mempunyai kesempatan berkenalan dengan persoalan-persoalan yang dihadapi saudara-saudara seagama mereka di negeri-negeri lain, memperoleh faedah dari pengalaman satu sama lain, dan bekerja
sama satu sama lain dengan berbagai cara
dan upaya. Oleh karena Mekkah merupakan pusat agama Islam yang ditetapkan
Allah Swt. maka peraturan haji dapat berperan sebagai PBB untuk seluruh dunia Islam.
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik
Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 21 Juni
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar