بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم
Khazanah Ruhani Surah Shād
Bab 305
Makna Pernyataan ke-Muslim-an yang Pertama Nabi
Besar Muhammad Saw. & Beratnya “Memikul“ Amanat Syariat Terakhir dan Tersempurna
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam bagian akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan
mengenai makna “Muslim” (berserah diri) yang sebenarnya, sehubungan
dengan ayat وَ
لَنَبۡلُوَنَّکُمۡ بِشَیۡءٍ مِّنَ الۡخَوۡفِ وَ الۡجُوۡعِ وَ نَقۡصٍ مِّنَ
الۡاَمۡوَالِ وَ الۡاَنۡفُسِ وَ الثَّمَرٰتِ
-- dan Kami
niscaya akan menguji kamu dengan sesuatu berupa
ketakutan, kelaparan, kekurangan dalam harta, jiwa
dan buah-buahan,” bahwa kaum Muslimin harus siap-sedia
bukan saja mengorbankan jiwa mereka
untuk kepentingan Islam tetapi mereka
harus juga bersedia menderita segala
macam kesedihan yang akan menimpa mereka sebagai cobaan atau ujian di jalan Allah Swt..
Hikmah dari
ayat الَّذِیۡنَ
اِذَاۤ اَصَابَتۡہُمۡ مُّصِیۡبَۃٌ -- yaitu orang-orang yang apabila suatu musibah menimpa mereka, ۙ قَالُوۡۤا اِنَّا لِلّٰہِ
وَ اِنَّاۤ اِلَیۡہِ رٰجِعُوۡنَ -- mereka berkata: ”Sesungguhnya kami milik Allah
dan sesungguhnya kepada-Nya-lah
kami kembali.” Allah Swt. adalah Pemilik segala yang kita miliki, termasuk diri kita sendiri. Bila Sang Pemilik itu, sesuai dengan kebijaksanaan-Nya yang tidak ada
batasnya, menganggap tepat untuk
mengambil sesuatu dari kita, kita tidak punya alasan untuk berkeluh-kesah
atau menggerutu.
Ke-Muslim-an Sempurna
Nabi Besar Muhammad Saw.
Oleh karena itu keliru beranggapan bahwa ucapan
اِنَّا لِلّٰہِ وَ اِنَّاۤ اِلَیۡہِ رٰجِعُوۡنَ -- ”Sesungguhnya kami milik Allah
dan sesungguhnya kepada-Nya-lah kami kembali” hanya
berhubungan dengan kematian saja, tetapi harus
diucapkan juga ketika orang-orang beriman mengalami
berbagai ujian-ujian keimanan lainnya
sebagai
bukti keridhaan mereka terhadap
kehendak Allah Swt., sebagai bukti ke-Muslim-an
(penyerahan diri) yang sempurna kepada Allah Swt., mengenai hal itu berikut firman-Nya kepada
Nabi Besar Muhammad saw.:
قُلۡ اِنَّنِیۡ ہَدٰىنِیۡ رَبِّیۡۤ اِلٰی صِرَاطٍ مُّسۡتَقِیۡمٍ ۬ۚ دِیۡنًا
قِیَمًا مِّلَّۃَ اِبۡرٰہِیۡمَ حَنِیۡفًا
ۚ وَ مَا کَانَ مِنَ الۡمُشۡرِکِیۡنَ ﴿﴾ قُلۡ اِنَّ
صَلَاتِیۡ وَ نُسُکِیۡ وَ مَحۡیَایَ وَ
مَمَاتِیۡ لِلّٰہِ رَبِّ
الۡعٰلَمِیۡنَ ﴿﴾ۙ لَا شَرِیۡکَ لَہٗ ۚ
وَ بِذٰلِکَ اُمِرۡتُ وَ اَنَا اَوَّلُ
الۡمُسۡلِمِیۡنَ ﴿﴾
Katakanlah:
“Sesungguhnya aku telah diberi petunjuk
oleh Rabb-ku (Tuhan-ku) kepada jalan
lurus, agama yang teguh, مِّلَّۃَ اِبۡرٰہِیۡمَ حَنِیۡفًا
-- agama Ibrahim yang lurus, وَ مَا کَانَ مِنَ الۡمُشۡرِکِیۡنَ -- dan dia bukanlah dari orang-orang
musyrik.” قُلۡ اِنَّ صَلَاتِیۡ وَ نُسُکِیۡ وَ مَحۡیَایَ وَ مَمَاتِیۡ لِلّٰہِ
رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ -- Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, pengorbananku, kehidupanku,
dan kematianku
hanyalah untuk Allah, Rabb (Tuhan) seluruh alam;
لَا
شَرِیۡکَ لَہٗ ۚ وَ بِذٰلِکَ اُمِرۡتُ وَ اَنَا
اَوَّلُ الۡمُسۡلِمِیۡنَ -- tidak ada sekutu bagi-Nya, untuk itulah aku
diperintahkan, dan akulah orang pertama yang
berserah diri. (Al-An’ām [6]:162-164).
Shalat, korban, hidup, dan mati meliputi
seluruh bidang amal perbuatan
manusia; dan Nabi Besar Muhammad saw. – untuk menjadi suri teladan terbaik (QS.3:32; QS.33:22) -- diperintah
menyatakan bahwa semua segi kehidupan di dunia ini dipersembahkan oleh beliau saw. kepada Allah Swt., semua amal ibadah beliau saw. dipersembahkan
kepada Allah
Swt., semua pengorbanan
dilakukan beliau saw. semata-mata untuk Dia; segala penghidupan dihibahkan
beliau saw. untuk berbakti kepada-Nya,
maka bila di jalan agama beliau saw. mencari
maut (kematian), itu pun guna meraih keridhaan-Nya.
Jadi, kematian
di jalan Allah yang dicari-cari oleh
Nabi Besar Muhammad saw. dan para Sahabah
beliau saw. bukanlah kematian melalui cara-cara
yang bertentangan dengan ajaran Islam (Al-Quran) yang telah disunnahkan oleh Nabi Besar Muhammad
saw. dan diamalkan oleh para Sahabah beliau saw. di masa awal,
melainkan memperagakan dalam bentuk
amalan firman-Nya sebelum ini:
قُلۡ اِنَّ صَلَاتِیۡ وَ نُسُکِیۡ وَ مَحۡیَایَ وَ مَمَاتِیۡ لِلّٰہِ
رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ ﴿﴾ۙ لَا شَرِیۡکَ لَہٗ ۚ وَ بِذٰلِکَ اُمِرۡتُ
وَ اَنَا اَوَّلُ الۡمُسۡلِمِیۡنَ ﴿﴾
Katakanlah:
“Sesungguhnya shalatku, pengorbananku, kehidupanku,
dan kematianku
hanyalah untuk Allah, Rabb (Tuhan) seluruh alam;
لَا
شَرِیۡکَ لَہٗ ۚ وَ بِذٰلِکَ اُمِرۡتُ -- tidak
ada sekutu bagi-Nya, untuk itulah aku diperintahkan, وَ اَنَا اَوَّلُ الۡمُسۡلِمِیۡنَ -- dan
akulah orang pertama yang berserah diri. (Al-An’ām [6]:163-164).
Mungkin
timbul pertanyaan: Apa makna وَ اَنَا اَوَّلُ الۡمُسۡلِمِیۡنَ -- “dan
akulah orang pertama yang berserah diri,” padahal dalam ayat
sebelumnya Nabi Besar Muhammad saw. hanyalah mengikuti ke-Muslim-an yang telah diperagakan oleh Nabi Ibrahim a.s. (QS.2:125).
Jawabannya adalah: Memang
benar bahwa menurut Allah Swt. sejak awal agama
diturunkan Allah Swt. kepada umat manusia melalui para rasul
Allah, agama itu adalah Islam dan pemeluknya di sebut Muslim (QS.3:20; QS.22:78-79), tetapi karena – sesuai dengan Sifat Rabbubiyyat Allah Sw. -- dari segi hukum-hukumnya, baik dari segi kuantitas maupun dari segi kualitasnya masih dalam proses penyempurnaan, maka sampai dengan masa diutusnya Nabi Isa Ibu Maryam a.s. nama Islam dan sebutan Muslim belum diberikan Allah Swt. kepada “agama” yang diturunkan kepada para Rasul Allah pembawa syariat tersebut.
Kedatangan “Roh Kebenaran” Membawa “Seluruh Kebenaran”
Mengisyaratkan kepada
kenyataan itulah penjelasan Allah Swt. melalui perkataan Nabi
Isa Ibnu Maryam a.s. atau Yesus a.s.
dalam Injil Yohanes (Yahya) berikut
ini mengenai kedatangan Roh Kebenaran, yakni Nabi Besar Muhammad saw. dan agama Islam (Al-Quran):
16:12 Masih banyak hal yang harus Kukatakan
kepadamu, tetapi sekarang kamu belum dapat menanggungnya. 16:13 Tetapi apabila Ia datang, yaitu
Roh Kebenaran, Ia akan memimpin kamu ke dalam seluruh
kebenaran; sebab Ia tidak akan berkata-kata dari
diri-Nya sendiri, tetapi segala sesuatu yang didengar-Nya itulah yang akan
dikatakan-Nya dan Ia akan memberitakan kepadamu hal-hal yang akan datang. (Injil Yohanes 16:12-13).
Ucapan
Nabi isa Ibu Maryam a.s. “tetapi sekarang kamu belum dapat
menanggungnya” memperkuat kebenaran firman Allah Swt. dalam Al-Quran mengenai “pingsannya”
Nabi Musa a.s. dalam peristiwa ruhani
di gunung Thur ketika beliau ingin
menyaksikan tajalli Ilahi (penampakan kebesaran-Nya – QS.7:143-144))
yang akan diperagakan oleh “nabi yang seperti Musa” yakni Nabi Besar
Muhammad saw. (Ulangan 18:18; QS.46:11).
Jadi,
“pingsannya” Nabi Musa a.s. dalam peristiwa ruhani di gunung Thur dan ucapan
Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. tersebut membuktikan benarnya firman Allah Swt. mengenai
“penolakan” gunung-gunung, bumi dan seluruh langit ketika “ditawari” Allah Swt.
untuk “memikul” amanat syariat terakhir dan tersempurna (agama Islam/Al-Quran –
QS.5:4) karena Allah Swt. telah menakdirkan bahwa hanya Insan kamil (manusia sempurna) --
Nabi Besar Muhammad saw. --
sajalah yang mampu “memikulnya”
secara sempurna, firman-Nya:
اِنَّا
عَرَضۡنَا الۡاَمَانَۃَ عَلَی السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ وَ الۡجِبَالِ فَاَبَیۡنَ
اَنۡ یَّحۡمِلۡنَہَا وَ اَشۡفَقۡنَ مِنۡہَا
وَ حَمَلَہَا الۡاِنۡسَانُ ؕ
اِنَّہٗ کَانَ ظَلُوۡمًا جَہُوۡلًا ﴿ۙ﴾ لِّیُعَذِّبَ اللّٰہُ
الۡمُنٰفِقِیۡنَ وَ الۡمُنٰفِقٰتِ وَ الۡمُشۡرِکِیۡنَ وَ الۡمُشۡرِکٰتِ وَ
یَتُوۡبَ اللّٰہُ عَلَی الۡمُؤۡمِنِیۡنَ وَ
الۡمُؤۡمِنٰتِ ؕ وَ کَانَ اللّٰہُ
غَفُوۡرًا رَّحِیۡمًا ﴿٪﴾
Sesungguhnya
Kami telah menawarkan amanat syariat kepada
seluruh langit, bumi dan gunung-gunung, tetapi semuanya enggan me-mikulnya dan mereka
takut terhadapnya, وَ حَمَلَہَا الۡاِنۡسَانُ ؕ اِنَّہٗ کَانَ ظَلُوۡمًا جَہُوۡلًا -- sedangkan insan (manusia) memikulnya, sesungguhnya ia sanggup
berbuat zalim dan abai terhadap dirinya. Supaya Allah
akan menghukum orang-orang munafik lelaki dan orang-orang munafik perempuan, dan
orang-orang musyrik lelaki dan
orang-orang musyrik perempuan, dan Allah senantiasa kembali dengan kasih sayang kepada orang-orang lelaki dan perempuan-perempuan yang beriman, dan Allah adalah Maha Pengampun, Maha
Penyayang. (Al-Ahzāb [33]:73-74).
Walau pun semua agama yang diwahyukan
Allah Swt. kepada para Rasul Allah
pembawa syariat --
termasuk agama Islam
(Al-Quran) -- memiliki
ajaran pokok yang sama, yakni haququlLāh
(pengamalan hak-hak Allah Swt.) dan haququl-‘ibād (pengamalan hak-hak sesama hamba
Allah), tetapi dari segi kuantitas
dan kualitas kesempurnaan hukum-hukumnya tidak sama.
Proses Penyempurnaan Hukum-hukum Syariat
Menurut Allah Swt. yang paling sempurna dalam segala seginya adalah agama Islam (Al-Quran – QS.5:4), sebab
agama Islam (Al-Quran merupakan puncak
kesempurnaan proses penyempurnaan hukum-hukum
syariat (QS.2:107), yang disebut
oleh Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. sebagai “seluruh kebenaran” yang dibawa oleh Roh Kebenaran, firman-Nya:
مَا نَنۡسَخۡ مِنۡ
اٰیَۃٍ اَوۡ نُنۡسِہَا
نَاۡتِ بِخَیۡرٍ مِّنۡہَاۤ اَوۡ مِثۡلِہَا
ؕ اَلَمۡ تَعۡلَمۡ اَنَّ اللّٰہَ عَلٰی کُلِّ شَیۡءٍ قَدِیۡرٌ ﴿ ﴾
Ayat mana pun yang Kami mansukhkan yakni batalkan atau Kami biarkan terlupa, maka Kami
datangkan yang lebih baik darinya atau yang semisalnya. Apakah kamu tidak
mengetahui bahwa sesungguh-nya
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu? (Al-Baqarah [2]:107).
Ada kekeliruan dalam mengambil kesimpulan dari
ayat ini bahwa beberapa ayat Al-Quran
telah dimansukhkan (dibatalkan).
Kesimpulan itu jelas salah dan tidak beralasan. Tidak ada sesuatu dalam
ayat ini yang menunjukkan bahwa kata āyah itu maksudnya ayat-ayat
Al-Quran, sebab Allah Swt. telah menjamin pemeliharaan-Nya terhadap Al-Quran
(QS.15:10).
Dalam ayat sebelum dan sesudahnya
telah disinggung mengenai Ahlul Kitab
dan kedengkian mereka terhadap wahyu baru yang
menunjukkan bahwa āyah yang disebut dalam ayat ini sebagai mansukh (batal) menunjuk kepada wahyu-wahyu syariat terdahulu.
Dijelaskan bahwa Kitab Suci terdahulu mengandung dua macam perintah: (a) yang
menghendaki penghapusan karena
keadaan sudah berubah dan karena keuniversilan
wahyu baru itu menghendaki pembatalan; (b) yang mengandung kebenaran kekal-abadi, atau memerlukan penyegaran kembali sehingga orang dapat
diingatkan kembali akan kebenaran
yang terlupakan, karena itu perlu sekali menghapuskan bagian-bagian tertentu
Kitab-kitab Suci itu dan mengganti dengan perintah-perintah
baru dan pula menegakkan kembali perintah-perintah yang sudah hilang, maka Allah Swt. menghapuskan
beberapa bagian wahyu-wahyu
terdahulu, menggantikannya dengan yang baru dan lebih baik, dan di samping itu memasukkan
lagi bagian-bagian yang hilang dengan yang sama. Itulah arti yang sesuai dan cocok dengan konteks (letak) ayat
ini dan dengan jiwa umum ajaran Al-Quran.
Al-Quran telah membatalkan
semua Kitab Suci sebelumnya, sebab — mengingat keadaan umat manusia telah
berubah — Al-Quran membawa syariat baru yang bukan saja lebih baik daripada semua syariat lama, tetapi ditujukan pula
kepada seluruh umat manusia dari semua zaman. Karena itu ajaran yang lebih rendah dengan lingkup
tugas yang terbatas harus
memberikan tempatnya kepada ajaran yang lebih baik dan lebih tinggi dengan lingkup tugas universal, yakni agama Islam (Al-Quran – QS.5:4).
Dalam ayat ini kata nansakh
(Kami membatalkan) bertalian dengan kata bi-khairin (yang lebih baik),
dan kata nunsiha (Kami biarkan terlupakan) bertalian dengan kata bi-mitslihā
(yang semisalnya), maksudnya bahwa jika Allah Swt. menghapuskan
sesuatu maka Dia menggantikannya
dengan yang lebih baik, dan bila
untuk sementara waktu Dia membiarkan sesuatu dilupakan orang, Dia menghidupkannya
kembali pada waktu yang lain. Diakui oleh ulama-ulama
Yahudi sendiri bahwa sesudah bangsa Yahudi diangkut sebagai tawanan
ke Babil oleh Nebukadnezar,
(QS.2:260) seluruh Taurat (lima Kitab
Nabi Musa a.s..) telah hilang (Encyclopaedia
Biblica).
Mengisyaratkan kepada kenyataan
kesinambungan perpindahan nikmat kenabian dan kerajaan itulah di kalangan umat beragama (QS.5:21) firman Allah Swt. berikut ini:
قُلِ
اللّٰہُمَّ مٰلِکَ الۡمُلۡکِ تُؤۡتِی الۡمُلۡکَ مَنۡ تَشَآءُ وَ تَنۡزِعُ
الۡمُلۡکَ مِمَّنۡ تَشَآءُ ۫ وَ تُعِزُّ مَنۡ تَشَآءُ وَ تُذِلُّ مَنۡ تَشَآءُ
ؕ بِیَدِکَ الۡخَیۡرُ ؕ اِنَّکَ عَلٰی کُلِّ شَیۡءٍ قَدِیۡرٌ ﴿﴾ تُوۡلِجُ الَّیۡلَ فِی النَّہَارِ وَ تُوۡلِجُ
النَّہَارَ فِی الَّیۡلِ ۫ وَ تُخۡرِجُ الۡحَیَّ مِنَ الۡمَیِّتِ وَ تُخۡرِجُ الۡمَیِّتَ
مِنَ الۡحَیِّ ۫ وَ تَرۡزُقُ مَنۡ تَشَآءُ بِغَیۡرِ حِسَابٍ ﴿﴾
Katakanlah:
“Wahai Allah, Pemilik
kedaulatan, Engkau memberikan kedaulatan
kepada siapa yang Engkau kehendaki, dan Engkau
mencabut kedaulatan dari siapa yang Engkau kehendaki, Engkau
memuliakan siapa yang Engkau kehendaki, dan Engkau menghinakan siapa yang Engkau kehendaki, di
tangan Engkau-lah segala kebaikan, sesungguhnya
Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Engkau memasukkan malam ke dalam
siang dan Engkau memasukkan siang ke
dalam malam. Engkau
mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan Engkau mengeluarkan yang mati dari
yang hidup, dan Engkau memberi rezeki
kepada siapa yang Engkau kehendaki tanpa hi-sab.” (Ali
‘Imran [3]:27-28).
Rasul-rasul Allah Harus
Menjadi Pengamal Pertama Hukum-hukum
Syariat
Karena sudah merupakan kewajiban
para rasul
Allah pembawa syariat untuk memperagakan
dalam bentuk amal perbuatan agar diamalkan oleh para pengikutnya dalam kehidupan mereka, maka dalam makna itulah Nabi Besar Muhammad saw. --
yang menerima syariat terakhir
dan tersempurna -- telah diperintahkan Allah Swt. untuk
mengucapkan وَ اَنَا اَوَّلُ الۡمُسۡلِمِیۡنَ -- dan akulah
orang pertama yang berserah diri. (Al-An’ām
[6]:164).
Mengapa demikian? Sebab seluruh
segi kehidupan beliau saw.
benar-benar merupakan pengamalan nyata yang paling sempurna dari hukum-hukum Islam (Al-Quran) -- sebagaimana diisyaratkan dalam ayat sebelumnya --
agar beliau saw. dapat menjadi suri
teladan terbaik (QS.3:1:32; QS.33:22), firman-Nya:
قُلۡ اِنَّ صَلَاتِیۡ وَ نُسُکِیۡ وَ مَحۡیَایَ وَ مَمَاتِیۡ لِلّٰہِ
رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ ﴿﴾ۙ لَا شَرِیۡکَ لَہٗ ۚ
وَ بِذٰلِکَ اُمِرۡتُ وَ اَنَا اَوَّلُ
الۡمُسۡلِمِیۡنَ ﴿﴾
Katakanlah:
“Sesungguhnya shalatku, pengorbananku, kehidupanku,
dan kematianku
hanyalah untuk Allah, Rabb (Tuhan) seluruh alam;
لَا
شَرِیۡکَ لَہٗ ۚ وَ بِذٰلِکَ اُمِرۡتُ -- tidak ada sekutu bagi-Nya, untuk itulah
aku diperintahkan, وَ اَنَا اَوَّلُ الۡمُسۡلِمِیۡنَ -- dan
akulah orang pertama yang berserah diri. (Al-An’ām [6]:163-164).
Mengisyaratkan kepada kenyataan itu
pulalah jawaban ringkas istri Nabi
Besar Muhammad saw. – Siti ‘Aisyah r.a.
– ketika ditanya oleh seseorang mengenai keadaan akhlak Nabi Besar Muhammad saw.: “Kāna khuluquhul- qurān” yakni “akhlaknya adalah Al-Quran.”
Diriwayatkan oleh Ibnul Munzir, Ibnu Mardawaih dan Al
Baihaqi dari sahabat Abud- Dardaa'
r.a., ia berkata : ''Siti 'Aisyah r.a. pernah ditanya tentang perangai
Rasulullah s.a.w., lalu ia berkata ''Kaana khuluquhul qur-an, Yardha liridhahu
wa yaskhatu lisakhatihi.'' (Perangai
beliau itu adalah Al Qur'an. Beliau suka
karena sukanya (Al Quran), dan beliau benci karena bencinya (Al Qur'an).''
Mengapa penting bagi Nabi Besar Muhammad saw. untuk mengamalkan semua petunjuk Al-Quran? Sebab jika tidak
maka beliau saw. tidak mungkin akan menjadi “suri teladan terbaik”
(QS.33:22; QS.3:32), dan akan terkena peringatan keras Allah Swt. berikut ini:
یٰۤاَیُّہَا
الرَّسُوۡلُ بَلِّغۡ مَاۤ اُنۡزِلَ
اِلَیۡکَ مِنۡ رَّبِّکَ ؕ وَ اِنۡ لَّمۡ تَفۡعَلۡ فَمَا بَلَّغۡتَ
رِسَالَتَہٗ ؕ وَ اللّٰہُ یَعۡصِمُکَ مِنَ النَّاسِ ؕ اِنَّ اللّٰہَ لَا یَہۡدِی الۡقَوۡمَ الۡکٰفِرِیۡنَ ﴿﴾
Hai Rasul, sampaikanlah
apa yang diturunkan kepada engkau dari Rabb (Tuhan) engkau, dan jika engkau tidak melakukan hal itu maka engkau sekali-kali tidak menyampaikan
amanat-Nya. Dan Allah akan melindungi engkau dari manusia, sesungguhnya Allah tidak akan memberi petunjuk kepada
kaum kafir. (Al-Māidah [5]:68).
Kata-kata وَ
اِنۡ لَّمۡ تَفۡعَلۡ فَمَا بَلَّغۡتَ رِسَالَتَہٗ -- “dan jika engkau tidak melakukan hal itu maka engkau sekali-kali tidak
menyampaikan amanat-Nya,” tidak
menunjukkan suatu kelalaian dari
pihak Nabi Besar Muhammad saw. dalam menyampaikan amanat Ilahi. Kata-kata itu hanya menyatakan satu kaidah umum bahwa seseorang yang tidak menyampaikan sebagian amanat yang
dipercayakan kepadanya sebenarnya ia
tidak menyampaikannya sama sekali.
Ungkapan وَ اللّٰہُ یَعۡصِمُکَ مِنَ النَّاسِ -- “Dan Allah akan melindungi engkau dari manusia,”
itu berarti bahwa Allah Swt. tidak
akan membiarkan orang-orang kafir
mengambil nyawa Nabi Besar Muhammad
saw. atau melumpuhkan beliau saw. untuk selama-lamanya, sehingga beliau saw. idak mampu lagi melakukan tugas kerasulan beliau saw..
Pembatalan Larangan Ayah
Angkat Menikahi Janda Anak Angkat
Salah satu contoh beratnya “memikul amanat” (syariat) Islam yang harus dilaksanakan oleh Nabi Besar
Muhammad saw. adalah dalam masalah
peraturan pernikahan. Yakni untuk membatalkan adat-istiadat jahiliyah bangsa Arab
Nabi Besar Muhammad saw. telah diperintahkan Allah Swt. menikahi Siti Zainab r.a., bekas istri (janda) dari anak angkat beliau saw. (Zaid bin
Haristsah r.a. – QS.33:37-40), padahal
menurut adat kebiasaan jahiliyah
bangsa Arab kedudukan anak
angkat sama dengan anak
kandung, sehingga menurut mereka
seorang ayah angkat tidak boleh (dilarang) menikahi janda anak-angkatnya, sedangkan
menurut Allah Swt. tidak demikian
(QS.33:5-6).
Itulah latar-belakang Allah Swt. telah memerintahkan Nabi Besar Muhammad saw. untuk menikahi Siti Zainab r.a., mantan istri Zaid bin Haritsah r.a.
– anak angkat beliau saw.. -- yang menimbulkan kegemparan di kalangan bangsa
Arab jahiliyah dan membuat kebengkokan hati mereka semakin menjadi-jadi dalam melakukan penentangan terhadap beliau
saw..
Dengan demikian benarlah firman Allah Swt.
berikut ini mengenai kepatuh-taat
sempurna atau penyerahan diri
sempurna – yakni ke-Muslim-an -- Nabi
Besar Muhammad saw. terhadap
seluruh kehendak Allah Swt., dan kehendak
Allah Swt. tersebut telah diabadikan dalam bentuk kesempurnaan syariat Islam (Al-Quran -- QS.5:4),
sehingga beliau saw. diperintahkan untuk menyatakan: وَ اَنَا
اَوَّلُ الۡمُسۡلِمِیۡنَ -- dan akulah
orang pertama yang berserah diri. (Al-An’ām
[6]:164) dalam kuantias dan kualitasnya yang paling sempurna,
firman-Nya:
مَا کَانَ
عَلَی النَّبِیِّ مِنۡ حَرَجٍ فِیۡمَا فَرَضَ اللّٰہُ لَہٗ ؕ سُنَّۃَ اللّٰہِ فِی الَّذِیۡنَ خَلَوۡا مِنۡ قَبۡلُ ؕ وَ
کَانَ اَمۡرُ اللّٰہِ
قَدَرًا مَّقۡدُوۡرَۨا ﴿۫ۙ﴾ الَّذِیۡنَ یُبَلِّغُوۡنَ رِسٰلٰتِ اللّٰہِ وَ یَخۡشَوۡنَہٗ وَ لَا یَخۡشَوۡنَ اَحَدًا
اِلَّا اللّٰہَ ؕ وَ کَفٰی
بِاللّٰہِ حَسِیۡبًا ﴿﴾ مَا کَانَ مُحَمَّدٌ اَبَاۤ اَحَدٍ مِّنۡ رِّجَالِکُمۡ وَ لٰکِنۡ رَّسُوۡلَ
اللّٰہِ وَ خَاتَمَ النَّبِیّٖنَ ؕ
وَ کَانَ اللّٰہُ بِکُلِّ شَیۡءٍ عَلِیۡمًا ﴿٪﴾
Sekali-kali tidak ada keberatan atas Nabi
mengenai apa yang telah diwajibkan Allah kepadanya. Inilah sunnah Allah yang Dia tetapkan terhadap orang-orang yang telah berlalu sebelumnya, dan perintah Allah adalah suatu keputusan yang telah ditetapkan. Orang-orang yang menyampaikan amanat Allah dan
takut kepada-Nya,
dan tidak ada mereka takut siapa pun
selain Allah, dan cukuplah Allāh sebagai
Penghisab. مَا کَانَ مُحَمَّدٌ اَبَاۤ اَحَدٍ
مِّنۡ رِّجَالِکُمۡ وَ لٰکِنۡ رَّسُوۡلَ اللّٰہِ وَ خَاتَمَ النَّبِیّٖنَ ؕ وَ کَانَ اللّٰہُ
بِکُلِّ شَیۡءٍ عَلِیۡمًا -- Muhammad bukanlah bapak salah seorang laki-laki di antara laki kamu, akan tetapi ia adalah Rasul Allah dan meterai sekalian nabi, dan Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu. (Al-Ahzāb [33]:39-41).
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik
Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 10 Agustus
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar