Minggu, 17 Agustus 2014

Pengulangan "Lailatul-Qadr" (Malam Takdir) Terbesar yang Penuh Berkat di Akhir Zaman




بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم


 Khazanah Ruhani Surah  Shād


Bab   296

    Pengulangan Lailatul Qadr (Malam Takdir)  Terbesar yang Penuh Berkat di Akhir Zaman


 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

D
alam akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan mengenai  isyarat bahaya terjadinya “perpecahan umat” dalam ayat   وَ مِنۡ  شَرِّ النَّفّٰثٰتِ فِی الۡعُقَدِ   --  “dan dari keburukan orang-orang yang meniupkan ke dalam buhul”,  ini rupanya ditujukan kepada mereka yang membisik-bisikkan kisikan-kisikan jahat dan menyebabkan ikatan-ikatan serta persahabatan-persahabatan yang tulus jadi berantakan dan menimbulkan pikiran pada orang-orang semangat melawan kekuasaan yang sah atau melanggar sumpah kesetiakawanan, lalu dengan demikian berusaha menimbulkan keresahan dan perpecahan di kalangan umat Islam dan menimbulkan di antara mereka kecenderungan-kecenderungan pecah belah.

Rintangan-rintangan yang Diletakkan Syaitan di Jalan Para Rasul Allah

    Surah Al-Falaq  ini membahas segi duniawi kehidupan manusia, sedang Surah An-Nās berikutnya membahas segi ruhaninya. Manusia dihadapkan kepada macam-macam bahaya dan kesulitan dalam kehidupan ini. Ketika ia di tengah kesibukan melaksanakan sesuatu yang sungguh penting, terutama ketika ia mewajibkan atas dirinya menyebarkan cahaya kebenaran, maka kekuatan-kekuatan kegelapan mengerubutinya dari segala penjuru; dan ketika ia rupa-rupanya akan berhasil, orang-orang yang mempunyai rencana-rencana jahat menghalangi jalannya dan menimbulkan segala macam rintangan dan kesulitan baginya. Tetapi bila ia pada akhirnya berada di mahkota keberhasilan, maka orang-orang berwatak dengki berusaha meluputkan dia dari meraih buah usahanya, firman-Nya:
وَ مَاۤ  اَرۡسَلۡنَا مِنۡ قَبۡلِکَ مِنۡ رَّسُوۡلٍ وَّ لَا نَبِیٍّ  اِلَّاۤ  اِذَا تَمَنّٰۤی اَلۡقَی الشَّیۡطٰنُ فِیۡۤ اُمۡنِیَّتِہٖ ۚ فَیَنۡسَخُ اللّٰہُ مَا یُلۡقِی الشَّیۡطٰنُ ثُمَّ  یُحۡکِمُ  اللّٰہُ  اٰیٰتِہٖ ؕ وَ  اللّٰہُ عَلِیۡمٌ  حَکِیۡمٌ  ﴿ۙ﴾ لِّیَجۡعَلَ مَا یُلۡقِی الشَّیۡطٰنُ فِتۡنَۃً لِّلَّذِیۡنَ فِیۡ قُلُوۡبِہِمۡ مَّرَضٌ وَّ الۡقَاسِیَۃِ  قُلُوۡبُہُمۡ ؕ وَ اِنَّ الظّٰلِمِیۡنَ لَفِیۡ شِقَاقٍۭ بَعِیۡدٍ ﴿ۙ﴾  وَّ لِیَعۡلَمَ الَّذِیۡنَ اُوۡتُوا الۡعِلۡمَ اَنَّہُ الۡحَقُّ مِنۡ رَّبِّکَ فَیُؤۡمِنُوۡا بِہٖ فَتُخۡبِتَ لَہٗ قُلُوۡبُہُمۡ ؕ وَ اِنَّ اللّٰہَ لَہَادِ الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡۤا  اِلٰی  صِرَاطٍ  مُّسۡتَقِیۡمٍ ﴿﴾
Dan Kami tidak pernah mengirim seorang rasul dan tidak pula seorang nabi melainkan apabila ia menginginkan sesuatu maka syaitan meletakkan hambatan pada keinginannya, tetapi Allah melenyapkan hambatan yang diletakkan oleh syaitan,  dan Allah  Maha Mengetahui, Maha Bijaksana. Supaya Dia menjadikan rintangan yang diletakkan oleh syaitan sebagai ujian bagi orang-orang yang dalam hatinya ada penyakit dan mereka yang hatinya keras, dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu benar-benar dalam permusuhan yang sangat.    Dan supaya  diketahui oleh orang-orang yang diberi ilmu  sesungguhnya Al-Quran itu adalah haq dari Rabb (Tuhan) engkau lalu  mereka beriman kepadanya dan hati mereka tunduk kepadanya, dan sesungguhnya Allah pasti memberi petunjuk kepada orang-orang yang beriman ke jalan yang lurus. (Al-Hājj [22]:53-55). Lihat pula QS.6:111-114.
     Sebagai penjagaan terhadap segala macam rintangan, kesulitan dan bahaya dalam menempuh jalan hidupnya, orang-orang beriman diperintahkan agar memohon pertolongan dan bantuan dari Rabbul-Falaq supaya memberinya nur (cahaya)  ketika kegelapan mengepung dari semua jurusan,  dan supaya melindunginya dari rencana-rencana jahat tukang-tukang fitnah dan dari persekongkolan jahat para pendengki: وَ مِنۡ  شَرِّ النَّفّٰثٰتِ فِی الۡعُقَدِ   --  dan dari keburukan orang-orang yang meniupkan ke dalam buhul,  وَ مِنۡ  شَرِّ حَاسِدٍ  اِذَا حَسَدَ  -- dan dari keburukan orang yang  dengki apabila ia mendengki.” (Al-Falāq [112]:5-6), firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾  قُلۡ اَعُوۡذُ  بِرَبِّ الۡفَلَقِ ۙ﴿﴾  مِنۡ  شَرِّ مَا خَلَقَ ۙ﴿﴾ وَ مِنۡ  شَرِّ غَاسِقٍ  اِذَا وَقَبَ ۙ﴿﴾ وَ مِنۡ  شَرِّ النَّفّٰثٰتِ فِی الۡعُقَدِ ۙ﴿﴾  وَ مِنۡ  شَرِّ حَاسِدٍ  اِذَا حَسَدَ٪﴿﴾
Aku baca  dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang.   Katakanlah: “Aku berlindung kepada  Rabb (Tuhan) Yang Memiliki fajar,  مِنۡ  شَرِّ مَا خَلَقَ   -- dari keburukan makhluk yang Dia ciptakan,  وَ مِنۡ  شَرِّ غَاسِقٍ  اِذَا وَقَبَ  --   dan dari keburukan kegelapan malam   apabila meliputi, وَ مِنۡ  شَرِّ النَّفّٰثٰتِ فِی الۡعُقَدِ   --  dan dari keburukan orang-orang yang meniupkan ke dalam buhul,  وَ مِنۡ  شَرِّ حَاسِدٍ  اِذَا حَسَدَ  -- dan dari keburukan orang yang  dengki apabila ia mendengki.”          (Al-Falāq [112]:1-6).

Pengulangan Lailatul-Qadr (Malam Takdir) di Akhir Zaman

      Sebagaimana telah dikemukakan berulang-ulang berdasarkan Surah Al-Jumu’ah ayat 3-5, bahwa ada dua kali pengutusan Nabi Besar Muhammad saw., yakni di masa awal    pada zaman jahiliyah awal      dan di Akhir Zaman pada masa jahiliyah akhir, firman-Nya:
ہُوَ الَّذِیۡ  بَعَثَ فِی  الۡاُمِّیّٖنَ  رَسُوۡلًا مِّنۡہُمۡ  یَتۡلُوۡا عَلَیۡہِمۡ  اٰیٰتِہٖ  وَ  یُزَکِّیۡہِمۡ وَ  یُعَلِّمُہُمُ  الۡکِتٰبَ وَ  الۡحِکۡمَۃَ ٭ وَ  اِنۡ کَانُوۡا مِنۡ  قَبۡلُ  لَفِیۡ ضَلٰلٍ  مُّبِیۡنٍ ۙ﴿﴾       وَّ اٰخَرِیۡنَ مِنۡہُمۡ  لَمَّا یَلۡحَقُوۡا بِہِمۡ ؕ وَ ہُوَ  الۡعَزِیۡزُ  الۡحَکِیۡمُ ﴿﴾   ذٰلِکَ فَضۡلُ اللّٰہِ یُؤۡتِیۡہِ مَنۡ یَّشَآءُ ؕ وَ اللّٰہُ  ذُو الۡفَضۡلِ الۡعَظِیۡمِ ﴿﴾
Dia-lah Yang telah membangkitkan di kalangan bangsa yang buta huruf seorang rasul dari antara mereka, yang membacakan kepada mereka Tanda-tanda-Nya, dan  mensucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah walaupun sebelumnya mereka berada dalam kesesatan yang nyata, وَّ اٰخَرِیۡنَ مِنۡہُمۡ  لَمَّا یَلۡحَقُوۡا بِہِمۡ ؕ وَ ہُوَ  الۡعَزِیۡزُ  الۡحَکِیۡمُ --  dan juga akan membangkitkannya pada kaum lain dari antara mereka, yang belum bertemu dengan mereka.  Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana. ٰلِکَ فَضۡلُ اللّٰہِ یُؤۡتِیۡہِ مَنۡ یَّشَآءُ  --   Itulah karunia Allah, Dia menganugerahkannya kepada siapa yang Dia kehendaki. وَ اللّٰہُ  ذُو الۡفَضۡلِ الۡعَظِیۡمِ -- dan Allah mempunyai karunia yang besar. (Al-Jumu’ah [62]:3-5).
       Huruf   وَ  di awal ayat   وَّ اٰخَرِیۡنَ مِنۡہُمۡ      adalah   wau ataf  yang  memberitahukan bahwa  berbagai keadaan dan peristiwa yang diceritakan dalam ayat sebelumnya,  akan kembali terjadi sepenuhnya  di Akhir Zaman ini      ketika  Allah  Swt. mengutus  Nabi Besar Muhammad saw. kedua kali secara ruhani  di kalangan اٰخَرِیۡنَ مِنۡہُمۡ  -- (kaum lain dari antara mereka), لَمَّا یَلۡحَقُوۡا بِہِمۡ    -- “yang belum bertemu dengan mereka” yaitu dalam wujud Pendiri Jemaat Muslim Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad a.s. atau Al-Masih Mau’ud a.s..
     Jadi, sebagaimana   pengutusan Nabi Besar Muhammad saw. di masa awal merupakan Lailatul- qadr (Malam Takdir), demikian pula pengutusan beliau saw. kedua kali secara ruhani di Akhir Zaman pun merupakan Lailatul- qadr (Malam Takdir) pula, sebab kedua  pengutusan tersebut terjadi masa  malam kegelapan akhlak dan ruhani yang sangat pekat.
     Lailatul Qadr  (malam kegelapan akhlak dan  ruhani) yang pertama adalah akibat masa jedanya (terhentinya) pengutusan Rasul Allah  selama hampir 3000 tahun sejak zaman Nabi Isma’il a.s. sampai menjelang pengutusan Nabi Besar Muhammad saw., sebagai pengabulan doa Nabi Ibrahim a.s. (QS.2:130); sedangkan Lailatul Qadr  (malam kegelapan akhlak dan  ruhani) yang kedua di Akhir Zaman ini adalah akibat dicabutnya (ditariknya) kembali ruh Al-Quran (agama Islam) oleh Allah Swt. secara berangsur-angsur selama 1000 tahun sejak berlalunya  3 abad masa kejayaan Islam yang pertama (QS.32:6; QS.17:86-89).
      Dengan demikian jelaslah, bahwa doa yang diajarkan Allah Swt. dalam Surah Al-Falaq dan Surah An-Nās pun  memiliki hubungan erat dengan kedua  zaman “Malam Kegelapan” yang sangat pekat, yang merupakan dua Lailatul-Qadr (Malam Takdir), firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿ۖ﴾  اِنَّاۤ  اَنۡزَلۡنٰہُ  فِیۡ  لَیۡلَۃِ  الۡقَدۡرِ ۚ﴿ۖ﴾  وَ مَاۤ  اَدۡرٰىکَ مَا لَیۡلَۃُ  الۡقَدۡرِ ؕ﴿﴾   لَیۡلَۃُ  الۡقَدۡرِ ۬ۙ خَیۡرٌ  مِّنۡ  اَلۡفِ شَہۡرٍ ؕ﴿ؔ﴾  تَنَزَّلُ الۡمَلٰٓئِکَۃُ وَ الرُّوۡحُ  فِیۡہَا بِاِذۡنِ رَبِّہِمۡ ۚ مِنۡ  کُلِّ  اَمۡرٍ ۙ﴿ۛ﴾  سَلٰمٌ ۟ۛ ہِیَ حَتّٰی مَطۡلَعِ  الۡفَجۡرِ ٪﴿﴾
Aku baca dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang.   Sesungguhnya Kami telah menurunkannya pada Malam Takdir,       dan apakah engkau mengetahui apa Malam Takdir itu?  Malam Takdir  itu lebih baik daripada seribu bulan.  Di dalamnya turun  malaikat-malaikat dan ruh  dengan izin Rabb (Tuhan) mereka  mengenai segala perintah.   Malam itu penuh kesejahtaraan  hingga fajar terbit.  (Al-Qadr [97]:1-6).

Berbagai Makna Lailatul-Qadr (Malam Takdir)

   Sebagaimana telah dijelaskan bahwa pada umumnya lail dan lailah kedua-duanya berarti malam, tetapi menurut Marzuqi, penyusun kamus terkenal, kata lail dipakai sebagai lawan kata nahar dan lailah sebagai lawan kata yaum. Lailah mengandung arti lebih luas dan berjangkauan lebih jauh daripada kata lail, seperti kata yaum yang adalah lawan kata lailah, mengandung arti lebih luas daripada nahar yang adalah lawan kata lail.
  Kata lailah telah dipergunakan sebanyak delapan kali dalam Al-Quran (sekali dalam QS.2:52; QS.2:188; QS.44:4; dua kali dalam QS.7:143 dan tiga kali dalam ayat-ayat yang sedang dibahas), dan di setiap tempat kata itu dipergunakan sehubungan dengan turun Al-Quran dan masalah-masalah yang bertalian dengan itu. Dengan demikian kata lailah mengisyaratkan kepada kemuliaan, keagungan, dan kebesaran malam-malam yang di dalamnya Al-Quran diturunkan (diwahyukan).
   Qadr berarti: nilai, kecukupan, kebesaran, takdir, nasib, kekuasaan (Lexicon Lane). Menimbang berbagai arti qadr dan lailah itu, maka ayat اِنَّاۤ  اَنۡزَلۡنٰہُ  فِیۡ  لَیۡلَۃِ  الۡقَدۡرِ   --  “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya pada Malam Takdir” ini dapat diberi tafsiran sebagai berikut:  Al-Quran telah diturunkan di dalam suatu malam  -- yakni malam kegelapan akhlak dan ruhani yang paling pekat -- yang secara khusus telah diperuntukkan bagi penampakan kekuasaan Ilahi yang istimewa, atau di dalam suatu malam yang mempunyai nilai sama dengan seluruh jumlah malam-malam kegelapan akhlak dan ruhani lainnya, atau di dalam suatu malam yang mempunyai kebesaran, keagungan, dan kehormatan; atau, di dalam suatu malam yang mempunyai kecukupan, yaitu Al-Quran memenuhi selengkapnya semua kebutuhan dan keperluan manusia, baik mengenai akhlak maupun ruhaninya. Atau, artinya ialah Allah Swt.  telah menurunkannya dalam Malam Takdir atau Malam Nasib, yakni Al-Quran diturunkan pada saat ketika nasib manusia ditakdirkan, pola alam semesta masa mendatang telah ditetapkan, dan asas-asas petunjuk yang tepat bagi umat manusia telah diletakkan untuk sepanjang masa mendatang.
 Dalam berbagai  makna Lailatul Qadr (Malam Takdir) itulah Allah Swt. telah menetapkan Nabi Besar Muhammad saw. dan  agama Islam (Al-Quran)  sebagai Rasul Allah pembawa amanat syariat terakhir dan tersempurna (QS.5:5:4) merupakan Lailatul- Qadr (Malam Takdir)  terbesar,  sehingga siapa pun yang mencari agama selain Islam (Al-Quran) maka agama tersebut tidak akan diterima di  hadhirat Allah Swt. dan para pemeluknya di akhirat akan menjadi orang-orang yang merugi (QS.3:20 & 86).

Kejahiliyah di Akhir Zaman  & “Malam Penuh Keberkatan”

     Masa kemunculan seorang mushlih rabbani besar – yakni para rasul Allah -- disebut Lailatul Qadr, karena pada masa itu dosa dan kejahatan merajalela serta kekuatan kegelapan menguasai segala yang lain, termasuk di Akhir Zaman ini. Inilah sebabnya Allah Swt. telah menjanjikan kepada semua umat beragama mengenai kedatangan Rasul Akhir Zaman  untuk mengajak mereka   yang telah tenggelam  dalam berbagai bentuk  kemusyrikan  atau kejahiliyahan yang muncul kembali di Akhir Zaman kembali kepada agama atau Tauhid Ilahi yang hakiki  (QS.61:10; QS.62:3-4).
   Lailatul Qadr telah diartikan pula sebagai suatu malam tertentu di antara malam-malam tanggal ganjil pada sepuluh hari terakhir di dalam bulan Ramadhan, tatkala Al-Quran pertama kali mulai diturunkan. Atau, ayat itu dapat berarti, seluruh jangka waktu 23 tahun yang meliputi risalat Nabi Besar Muhammad saw., ketika selama jangka waktu itu Al-Quran diturunkan (diwahyukan) secara berangsur-angsur kepada Nabi Besar Muhammad saw.
   Makna ayat  وَ مَاۤ  اَدۡرٰىکَ مَا لَیۡلَۃُ  الۡقَدۡرِ  -- “dan apakah engkau mengetahui apa Malam Takdir itu?” bahwa berkat-berkat Lailatul Qadr melampaui perhitungan dan perkiraan manusia.  Sedangkan makna  ayat   لَیۡلَۃُ  الۡقَدۡرِ ۬ۙ خَیۡرٌ  مِّنۡ  اَلۡفِ شَہۡرٍ  -- “Malam Takdir  itu lebih baik daripada seribu bulan.    Alf (seribu), yang merupakan bilangan paling tinggi dalam bahasa Arab dan berarti bilangan yang tidak terhitung banyaknya.
     Ayat itu berarti bahwa Malam Takdir atau Malam Nasib itu nilainya lebih baik daripada semua bulan yang tidak terhitung bilangannya, yaitu zaman Nabi Besar Muhammad saw.  itu lebih baik dan lebih unggul daripada semua zaman  para Rasul Allah dijumlahkan.
    Dalam Surah lain Allah Swt. menyebut Lailatul-Qadr (Malam Takdir) dengan “Malam yang penuh berkat”, firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿ۚۛ﴾  حٰمٓ ﴿ۚۛ﴾  وَ الۡکِتٰبِ الۡمُبِیۡنِ ۙ﴿ۛ﴾  اِنَّاۤ  اَنۡزَلۡنٰہُ  فِیۡ  لَیۡلَۃٍ  مُّبٰرَکَۃٍ  اِنَّا کُنَّا مُنۡذِرِیۡنَ ﴿﴾  فِیۡہَا یُفۡرَقُ کُلُّ  اَمۡرٍ  حَکِیۡمٍ ۙ﴿﴾  اَمۡرًا مِّنۡ عِنۡدِنَا ؕ اِنَّا کُنَّا مُرۡسِلِیۡنَ ۚ﴿﴾  رَحۡمَۃً  مِّنۡ  رَّبِّکَ ؕ اِنَّہٗ  ہُوَ السَّمِیۡعُ الۡعَلِیۡمُ ۙ﴿﴾  رَبِّ السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ وَ مَا بَیۡنَہُمَا  ۘ اِنۡ  کُنۡتُمۡ  مُّوۡقِنِیۡنَ ﴿﴾  لَاۤ  اِلٰہَ  اِلَّا ہُوَ یُحۡیٖ وَ یُمِیۡتُ ؕ رَبُّکُمۡ  وَ رَبُّ اٰبَآئِکُمُ  الۡاَوَّلِیۡنَ ﴿﴾
Aku baca dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang.  حٰمٓ   --   Tuhan Maha Terpuji, Maha Mulia.  وَ الۡکِتٰبِ الۡمُبِیۡنِ  -- demi Kitab yang menjelaskan, اِنَّاۤ  اَنۡزَلۡنٰہُ  فِیۡ  لَیۡلَۃٍ  مُّبٰرَکَۃٍ  اِنَّا کُنَّا مُنۡذِرِیۡنَ --    sesungguhnya   Kami menurunkannya dalam suatu malam yang penuh berkat,  sesungguhnya Kami selalu memberi peringatan. فِیۡہَا یُفۡرَقُ کُلُّ  اَمۡرٍ  حَکِیۡمٍ ۙ  -- di dalamnya diputuskan semua urusan kebijaksanaan,   ۙ  اَمۡرًا مِّنۡ عِنۡدِنَا ؕ اِنَّا کُنَّا مُرۡسِلِیۡنَ  -- dengan perintah dari sisi Kami, sesungguhnya Kami selalu mengutus rasul-rasul.    رَحۡمَۃً  مِّنۡ  رَّبِّکَ ؕ اِنَّہٗ  ہُوَ السَّمِیۡعُ الۡعَلِیۡمُ   -- suatu rahmat dari Rabb (Tuhan) engkau, sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui.  رَبِّ السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ وَ مَا بَیۡنَہُمَا  ۘ اِنۡ  کُنۡتُمۡ  مُّوۡقِنِیۡنَ Rabb (Tuhan) seluruh langit dan bumi dan segala yang ada di antara keduanya, jika kamu orang-orang yang   yakin.  لَاۤ  اِلٰہَ  اِلَّا ہُوَ یُحۡیٖ وَ یُمِیۡتُ  --  Tidak ada Tuhan melainkan Dia.  Dia  menghidupkan dan Dia mematikan.  رَبُّکُمۡ  وَ رَبُّ اٰبَآئِکُمُ  الۡاَوَّلِیۡنَ  -- Rabb (Tuhan) kamu dan Rabb (Tuhan) bapak-bapakmu dahulu. (Ad-Dukhān [44]:1-9).
    Di tempat lain dalam Al-Quran (Surah Al-Qadr) malam itu disebut "Malam Takdir" (Lailatul Qadr — QS.97:2). Menurut hadits-hadits shahih "Lailatul Qadr" pada umumnya jatuh di dalam sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya Al-Quran diwahyukan (QS.2:186), lebih tepat lagi pada malam ke-24 Ramadhan (Musnad Ahmad bin Hanbal dan Tafsir Ibnu  Jarir).

Al-Mundzirīn (Yang Selalu Memberi Peringatan) dan Al-Mursilīn (Yang Selalu Mengutus Rasul)

     “Malam yang beberkat” atau "Malam Takdir" itu ialah kata kiasan yang biasa dipakai Al-Quran untuk suatu masa (zaman) ketika kegelapan ruhani menyelubungi seluruh permukaan bumi,  dan seorang pembaharu rabbani    -- khususnya Rasul Allah --  dibangkitkan untuk memperbaiki dan menghidupkan kembali umat manusia yang sudah rusak (QS.30:42-44).
   “Malam” yang memberikan kepada umat manusia Guru terbesarnya (Nabi Besar Muhammad saw.) dan syariat terakhir lagi paling sempurna itu (QS.5:4) sungguh merupakan "Malam Takdir" bagi seluruh umat manusia. Malam itu dapat dianggap meliputi seluruh masa yang di dalamnya Al-Quran terus-menerus diturunkan (diwahyukan) kepada Nabi Besar Muhammad saw. selama 23 tahun.
     "Lailatul Qadr" atau waktu datangnya seorang pembaharu agung mewartakan mulainya suatu era (zaman) baru, suatu orde (tertib) baru segala sesuatu, ketika hari depan umat manusia pada hakikatnya diputuskan dan ditetapkan. Saat ketika Al-Quran diturunkan merupakan "Lailatul Qadr" paling besar untuk seluruh umat manusia, sebab pada saat itulah dasar-dasar nasib seluruh umat manusia diletakkan untuk masa yang akan datang.
      Kata  مُنۡذِرِیۡنَ  dalam ayat اِنَّاۤ  اَنۡزَلۡنٰہُ  فِیۡ  لَیۡلَۃٍ  مُّبٰرَکَۃٍ  اِنَّا کُنَّا مُنۡذِرِیۡنَ --    “sesungguhnya Kami menurunkannya dalam suatu malam yang penuh berkat,  sesungguhnya Kami selalu memberi peringatan” membantah itikad sesat mengenai faham “lā nabiya ba’dahu”  (tidak ada lagi nabi setelahnya) berkenaan dengan Nabi Besar Muhammad saw., yang merupakan itikad sesat yang diwariskan para penentang Rasul Allah dari zaman ke zaman (QS.10:72-75; QS.40:35-36); QS.72:8).
      Peringatan Allah Swt. mengenai kedatangan azab Ilahi  selalu disampaikan oleh  para Rasul Allah  karena itu rasul Allah – terutama Nabi Besar Muhammad saw. -- disebut  bashīran (pemberi kabar gembira) dan nadzīran (pemberi peringatan – QS.33:46-48).
       Dalam Surah lain yang digunakan bukan kata   مُنۡذِرِیۡنَ  -- (yang selalu memberi peringatan) melainkan  مُرۡسِلِیۡنَ (yang selalu mengutus rasul-rasul), firman-Nya kepada Nabi Besar Muhammad saw.:
وَ لٰکِنَّاۤ  اَنۡشَاۡنَا قُرُوۡنًا فَتَطَاوَلَ عَلَیۡہِمُ الۡعُمُرُ ۚ وَ مَا کُنۡتَ ثَاوِیًا فِیۡۤ  اَہۡلِ مَدۡیَنَ تَتۡلُوۡا عَلَیۡہِمۡ اٰیٰتِنَا ۙ وَ لٰکِنَّا کُنَّا  مُرۡسِلِیۡنَ﴿﴾ 
Tetapi Kami telah  menjadikan generasi-generasi  maka  berlalulah atas mereka masa yang panjang, dan engkau sekali-kali tidak tinggal bersama penduduk Midian, yang membacakan Tanda-tanda Kami kepada mereka,  وَ لٰکِنَّا کُنَّا  مُرۡسِلِیۡنَ  -- tetapi Kami-lah yang mengutus rasul-rasul. (Al-Qashash [28]:46).
      Jadi, jelaslah bahwa dua Sifat Allah Swt.  مُنۡذِرِیۡنَ  -- (yang selalu memberi peringatan) dan    مُرۡسِلِیۡنَ (yang selalu mengutus rasul-rasul) sama kekalnya dengan Sifat-sifat Allah Swt. lainnya, termasuk Sifat Al-Mutakallīm  (Yang Maha Berbicara – QS.42:52-54).
      Orang-orang yang menolak ketiga Sifat Allah Swt. tersebut       -- Al-Mundzirīn, Al-Mursilīn, dan Al-Mutakallīm  -- pasti  mereka akan berada dalam “kegelapan” yang pekat  dan mereka  tidak akan pernah dapat keluar dari “malam   kegelapanakhlak dan ruhani yang meliputi mereka,  termasuk di   Akhir Zaman ini,  firman-Nya:
اَوَ مَنۡ کَانَ مَیۡتًا فَاَحۡیَیۡنٰہُ وَ جَعَلۡنَا لَہٗ نُوۡرًا یَّمۡشِیۡ بِہٖ فِی النَّاسِ کَمَنۡ مَّثَلُہٗ فِی الظُّلُمٰتِ لَیۡسَ بِخَارِجٍ مِّنۡہَا ؕ کَذٰلِکَ زُیِّنَ لِلۡکٰفِرِیۡنَ مَا کَانُوۡا یَعۡمَلُوۡنَ ﴿﴾  وَ کَذٰلِکَ جَعَلۡنَا فِیۡ کُلِّ قَرۡیَۃٍ اَکٰبِرَ مُجۡرِمِیۡہَا لِیَمۡکُرُوۡا فِیۡہَا ؕ وَ مَا یَمۡکُرُوۡنَ  اِلَّا بِاَنۡفُسِہِمۡ وَ مَا یَشۡعُرُوۡنَ ﴿﴾
Dan apakah  orang yang telah mati lalu Kami menghidupkannya dan Kami menjadikan baginya cahaya dan ia berjalan dengan cahaya itu  di tengah-tengah manusia, sama  seperti keadaan  orang yang berada di dalam berbagai macam kegelapan  dan ia  sekali-kali tidak  dapat keluar darinya?  Demikianlah telah ditampakkan indah bagi orang-orang kafir apa yang senantiasa mereka kerjakan.  Dan demikianlah Kami  menjadikan di dalam tiap negeri pendosa-pendosa besarnya, supaya mereka melakukan makar di dalam negeri itu, tetapi sekali-kali tidak ada yang ter-kena makar mereka kecuali dirinya sendiri tetapi mereka tidak menyadarinya. (Al-An’ām [6]:123-124).
Firman-Nya lagi:
وَ الَّذِیۡنَ  کَفَرُوۡۤا اَعۡمَالُہُمۡ کَسَرَابٍۭ بِقِیۡعَۃٍ یَّحۡسَبُہُ الظَّمۡاٰنُ مَآءً ؕ حَتّٰۤی اِذَا جَآءَہٗ  لَمۡ  یَجِدۡہُ شَیۡئًا وَّ وَجَدَ  اللّٰہَ عِنۡدَہٗ  فَوَفّٰىہُ حِسَابَہٗ ؕ وَ اللّٰہُ سَرِیۡعُ الۡحِسَابِ ﴿ۙ﴾  اَوۡ کَظُلُمٰتٍ فِیۡ بَحۡرٍ لُّجِّیٍّ یَّغۡشٰہُ مَوۡجٌ مِّنۡ فَوۡقِہٖ مَوۡجٌ مِّنۡ فَوۡقِہٖ سَحَابٌ ؕ ظُلُمٰتٌۢ  بَعۡضُہَا فَوۡقَ بَعۡضٍ ؕ اِذَاۤ اَخۡرَجَ یَدَہٗ  لَمۡ  یَکَدۡ یَرٰىہَا ؕ وَ مَنۡ  لَّمۡ یَجۡعَلِ اللّٰہُ   لَہٗ   نُوۡرًا  فَمَا  لَہٗ  مِنۡ  نُّوۡرٍ ﴿٪﴾
Dan orang-orang kafir   amal-amal mereka seperti fatamorgana di padang pasir, orang-orang  yang haus menyangkanya air,  hingga apabila ia mendatanginya  ia tidak mendapati sesuatu pun, dan ia mendapati Allah di sisinya lalu Dia membayar penuh per-itungannya, dan Allah sangat cepat dalam perhitungan.   Atau seperti kegelapan di lautan yang dalam, di atasnya gelombang demi gelombang meliputinya, di atasnya lagi ada awan hitam. ظُلُمٰتٌۢ  بَعۡضُہَا فَوۡقَ بَعۡضٍ  -- kegelapan sebagiannya di atas sebagian lain.  اِذَاۤ اَخۡرَجَ یَدَہٗ  لَمۡ  یَکَدۡ یَرٰىہَا  -- apabila ia mengulurkan tangannya ia hampir-hampir tidak dapat melihatnya,   وَ مَنۡ  لَّمۡ یَجۡعَلِ اللّٰہُ   لَہٗ   نُوۡرًا  فَمَا  لَہٗ  مِنۡ  نُّوۡرٍ  -- dan barangsiapa baginya   Allah tidak menjadikan nur maka baginya tidak ada nur.   (An-Nūr [24]:40-41).

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
                                                                              ***
Pajajaran Anyar,  27 Juli     2014
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar