بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم
Khazanah
Ruhani Surah Shād
Bab 296
Pengulangan Lailatul Qadr (Malam Takdir) Terbesar
yang Penuh Berkat di Akhir Zaman
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan mengenai isyarat bahaya terjadinya “perpecahan umat” dalam ayat وَ
مِنۡ شَرِّ النَّفّٰثٰتِ فِی الۡعُقَدِ --
“dan dari keburukan orang-orang
yang meniupkan ke dalam buhul”, ini rupanya ditujukan kepada mereka yang membisik-bisikkan kisikan-kisikan jahat
dan menyebabkan ikatan-ikatan serta persahabatan-persahabatan yang tulus
jadi berantakan dan menimbulkan pikiran pada orang-orang semangat melawan kekuasaan yang sah atau melanggar sumpah kesetiakawanan,
lalu dengan demikian berusaha menimbulkan
keresahan dan perpecahan
di kalangan umat Islam dan
menimbulkan di antara mereka kecenderungan-kecenderungan
pecah belah.
Rintangan-rintangan
yang Diletakkan Syaitan di Jalan Para
Rasul Allah
Surah Al-Falaq ini membahas
segi duniawi kehidupan manusia, sedang Surah An-Nās berikutnya membahas segi ruhaninya.
Manusia dihadapkan kepada macam-macam bahaya
dan kesulitan dalam kehidupan ini.
Ketika ia di tengah kesibukan melaksanakan sesuatu yang sungguh penting,
terutama ketika ia mewajibkan atas
dirinya menyebarkan cahaya kebenaran,
maka kekuatan-kekuatan kegelapan
mengerubutinya dari segala penjuru; dan ketika ia rupa-rupanya akan berhasil,
orang-orang yang mempunyai rencana-rencana
jahat menghalangi jalannya dan menimbulkan segala macam rintangan dan kesulitan baginya. Tetapi bila ia pada akhirnya berada di mahkota keberhasilan, maka orang-orang berwatak dengki berusaha meluputkan dia dari meraih buah usahanya, firman-Nya:
وَ مَاۤ اَرۡسَلۡنَا مِنۡ قَبۡلِکَ
مِنۡ رَّسُوۡلٍ وَّ لَا نَبِیٍّ
اِلَّاۤ اِذَا تَمَنّٰۤی اَلۡقَی
الشَّیۡطٰنُ فِیۡۤ اُمۡنِیَّتِہٖ ۚ فَیَنۡسَخُ اللّٰہُ مَا یُلۡقِی الشَّیۡطٰنُ
ثُمَّ یُحۡکِمُ اللّٰہُ
اٰیٰتِہٖ ؕ وَ اللّٰہُ
عَلِیۡمٌ حَکِیۡمٌ ﴿ۙ﴾ لِّیَجۡعَلَ مَا یُلۡقِی الشَّیۡطٰنُ
فِتۡنَۃً لِّلَّذِیۡنَ فِیۡ قُلُوۡبِہِمۡ مَّرَضٌ وَّ الۡقَاسِیَۃِ قُلُوۡبُہُمۡ ؕ وَ اِنَّ الظّٰلِمِیۡنَ لَفِیۡ
شِقَاقٍۭ بَعِیۡدٍ ﴿ۙ﴾ وَّ لِیَعۡلَمَ الَّذِیۡنَ اُوۡتُوا الۡعِلۡمَ اَنَّہُ الۡحَقُّ مِنۡ
رَّبِّکَ فَیُؤۡمِنُوۡا بِہٖ فَتُخۡبِتَ لَہٗ قُلُوۡبُہُمۡ ؕ وَ اِنَّ اللّٰہَ
لَہَادِ الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡۤا اِلٰی صِرَاطٍ
مُّسۡتَقِیۡمٍ ﴿﴾
Dan Kami tidak
pernah mengirim seorang rasul dan tidak
pula seorang nabi melainkan apabila
ia menginginkan sesuatu maka syaitan
meletakkan hambatan pada keinginannya, tetapi Allah melenyapkan hambatan yang diletakkan oleh syaitan, dan Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana. Supaya Dia menjadikan rintangan yang
diletakkan oleh syaitan sebagai ujian bagi orang-orang yang dalam hatinya ada penyakit dan mereka yang hatinya keras, dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu
benar-benar dalam permusuhan yang sangat.
Dan supaya diketahui oleh orang-orang yang diberi ilmu
sesungguhnya Al-Quran itu adalah haq dari Rabb (Tuhan) engkau
lalu mereka beriman kepadanya dan hati
mereka tunduk kepadanya, dan sesungguhnya Allah pasti memberi petunjuk kepada orang-orang yang beriman ke jalan
yang lurus. (Al-Hājj [22]:53-55). Lihat pula QS.6:111-114.
Sebagai penjagaan terhadap
segala macam rintangan, kesulitan dan bahaya dalam menempuh jalan hidupnya, orang-orang beriman
diperintahkan agar memohon pertolongan
dan bantuan dari Rabbul-Falaq supaya memberinya nur (cahaya) ketika kegelapan mengepung dari semua
jurusan, dan supaya melindunginya dari rencana-rencana
jahat tukang-tukang fitnah dan
dari persekongkolan jahat para pendengki: وَ مِنۡ شَرِّ النَّفّٰثٰتِ فِی
الۡعُقَدِ -- dan dari keburukan
orang-orang yang meniupkan ke dalam buhul,
وَ
مِنۡ شَرِّ حَاسِدٍ اِذَا حَسَدَ --
dan dari keburukan orang yang
dengki apabila ia mendengki.” (Al-Falāq [112]:5-6), firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾
قُلۡ اَعُوۡذُ بِرَبِّ الۡفَلَقِ
ۙ﴿﴾ مِنۡ
شَرِّ مَا خَلَقَ ۙ﴿﴾ وَ مِنۡ
شَرِّ غَاسِقٍ اِذَا وَقَبَ ۙ﴿﴾ وَ
مِنۡ شَرِّ النَّفّٰثٰتِ فِی الۡعُقَدِ
ۙ﴿﴾ وَ مِنۡ شَرِّ حَاسِدٍ
اِذَا حَسَدَ٪﴿﴾
Aku baca dengan nama Allah,
Maha Pemurah, Maha Penyayang.
Katakanlah: “Aku berlindung
kepada Rabb (Tuhan) Yang Memiliki fajar, مِنۡ شَرِّ مَا خَلَقَ --
dari keburukan makhluk yang Dia ciptakan, وَ
مِنۡ شَرِّ غَاسِقٍ اِذَا وَقَبَ
-- dan dari keburukan kegelapan malam
apabila meliputi, وَ مِنۡ شَرِّ النَّفّٰثٰتِ فِی
الۡعُقَدِ -- dan dari keburukan
orang-orang yang meniupkan ke dalam buhul,
وَ
مِنۡ شَرِّ حَاسِدٍ اِذَا حَسَدَ --
dan dari keburukan orang yang
dengki apabila ia mendengki.” (Al-Falāq [112]:1-6).
Pengulangan Lailatul-Qadr (Malam Takdir) di Akhir Zaman
Sebagaimana telah dikemukakan
berulang-ulang berdasarkan Surah Al-Jumu’ah ayat 3-5, bahwa ada dua
kali pengutusan Nabi Besar Muhammad saw., yakni di masa awal pada zaman jahiliyah awal dan di Akhir Zaman pada masa
jahiliyah akhir, firman-Nya:
ہُوَ
الَّذِیۡ بَعَثَ فِی الۡاُمِّیّٖنَ
رَسُوۡلًا مِّنۡہُمۡ یَتۡلُوۡا
عَلَیۡہِمۡ اٰیٰتِہٖ وَ
یُزَکِّیۡہِمۡ وَ
یُعَلِّمُہُمُ الۡکِتٰبَ وَ الۡحِکۡمَۃَ ٭ وَ اِنۡ کَانُوۡا مِنۡ قَبۡلُ
لَفِیۡ ضَلٰلٍ مُّبِیۡنٍ ۙ﴿﴾ وَّ اٰخَرِیۡنَ مِنۡہُمۡ لَمَّا یَلۡحَقُوۡا بِہِمۡ ؕ وَ ہُوَ الۡعَزِیۡزُ
الۡحَکِیۡمُ ﴿﴾ ذٰلِکَ فَضۡلُ
اللّٰہِ یُؤۡتِیۡہِ مَنۡ یَّشَآءُ ؕ وَ اللّٰہُ
ذُو الۡفَضۡلِ الۡعَظِیۡمِ ﴿﴾
Dia-lah Yang telah membangkitkan di kalangan bangsa
yang buta huruf seorang rasul dari antara mereka, yang membacakan kepada mereka Tanda-tanda-Nya, dan mensucikan
mereka, dan mengajarkan kepada mereka
Kitab dan Hikmah walaupun
sebelumnya mereka berada dalam kesesatan
yang nyata, وَّ اٰخَرِیۡنَ مِنۡہُمۡ لَمَّا
یَلۡحَقُوۡا بِہِمۡ ؕ وَ ہُوَ
الۡعَزِیۡزُ الۡحَکِیۡمُ -- dan
juga akan membangkitkannya pada kaum
lain dari antara mereka, yang belum
bertemu dengan mereka. Dan Dia-lah
Yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana.
ٰلِکَ
فَضۡلُ اللّٰہِ یُؤۡتِیۡہِ مَنۡ یَّشَآءُ -- Itulah
karunia Allah, Dia menganugerahkannya kepada siapa yang Dia kehendaki. وَ اللّٰہُ ذُو الۡفَضۡلِ الۡعَظِیۡمِ -- dan Allah mempunyai karunia yang besar. (Al-Jumu’ah
[62]:3-5).
Huruf
وَ di awal ayat
وَّ اٰخَرِیۡنَ مِنۡہُمۡ adalah
wau ataf yang
memberitahukan bahwa berbagai keadaan dan peristiwa yang diceritakan dalam ayat sebelumnya, akan
kembali terjadi sepenuhnya di Akhir Zaman ini ketika
Allah Swt. mengutus Nabi Besar Muhammad saw. kedua kali secara ruhani di kalangan اٰخَرِیۡنَ مِنۡہُمۡ -- (kaum lain dari
antara mereka), لَمَّا یَلۡحَقُوۡا بِہِمۡ -- “yang belum bertemu dengan mereka” yaitu dalam wujud Pendiri Jemaat Muslim
Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad a.s.
atau Al-Masih Mau’ud a.s..
Jadi, sebagaimana pengutusan Nabi Besar Muhammad saw. di masa
awal merupakan Lailatul- qadr (Malam
Takdir), demikian pula pengutusan beliau saw. kedua kali secara ruhani di
Akhir Zaman pun merupakan Lailatul- qadr (Malam Takdir) pula,
sebab kedua pengutusan tersebut terjadi masa
malam kegelapan akhlak dan ruhani yang sangat pekat.
Lailatul Qadr (malam kegelapan akhlak dan ruhani) yang pertama adalah akibat masa jedanya (terhentinya) pengutusan Rasul Allah selama hampir 3000 tahun sejak zaman Nabi Isma’il a.s. sampai menjelang
pengutusan Nabi Besar Muhammad saw.,
sebagai pengabulan doa Nabi Ibrahim
a.s. (QS.2:130); sedangkan Lailatul Qadr (malam kegelapan akhlak dan ruhani) yang kedua di Akhir Zaman ini adalah akibat dicabutnya
(ditariknya) kembali ruh Al-Quran
(agama Islam) oleh Allah Swt. secara berangsur-angsur selama 1000 tahun sejak
berlalunya 3 abad masa kejayaan Islam
yang pertama (QS.32:6; QS.17:86-89).
Dengan demikian jelaslah, bahwa doa yang diajarkan Allah Swt. dalam
Surah Al-Falaq dan Surah An-Nās pun memiliki hubungan
erat dengan kedua zaman “Malam Kegelapan” yang sangat pekat, yang merupakan dua Lailatul-Qadr (Malam Takdir),
firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿ۖ﴾ اِنَّاۤ
اَنۡزَلۡنٰہُ فِیۡ لَیۡلَۃِ
الۡقَدۡرِ ۚ﴿ۖ﴾ وَ مَاۤ
اَدۡرٰىکَ مَا لَیۡلَۃُ الۡقَدۡرِ
ؕ﴿﴾ لَیۡلَۃُ الۡقَدۡرِ ۬ۙ خَیۡرٌ مِّنۡ
اَلۡفِ شَہۡرٍ ؕ﴿ؔ﴾ تَنَزَّلُ
الۡمَلٰٓئِکَۃُ وَ الرُّوۡحُ فِیۡہَا
بِاِذۡنِ رَبِّہِمۡ ۚ مِنۡ کُلِّ اَمۡرٍ ۙ﴿ۛ﴾ سَلٰمٌ ۟ۛ ہِیَ
حَتّٰی مَطۡلَعِ الۡفَجۡرِ ٪﴿﴾
Aku baca
dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha
Penyayang. Sesungguhnya Kami telah menurunkannya pada Malam Takdir, dan apakah engkau mengetahui apa Malam Takdir itu? Malam
Takdir itu lebih baik daripada seribu
bulan. Di dalamnya turun malaikat-malaikat dan ruh dengan izin
Rabb (Tuhan) mereka mengenai
segala perintah. Malam
itu penuh kesejahtaraan hingga fajar
terbit. (Al-Qadr [97]:1-6).
Berbagai Makna Lailatul-Qadr
(Malam Takdir)
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa pada
umumnya lail dan lailah kedua-duanya berarti malam, tetapi menurut Marzuqi,
penyusun kamus terkenal, kata lail dipakai sebagai lawan kata nahar dan
lailah sebagai lawan kata yaum. Lailah mengandung arti
lebih luas dan berjangkauan lebih jauh daripada kata lail, seperti kata yaum
yang adalah lawan kata lailah, mengandung arti lebih luas daripada nahar
yang adalah lawan kata lail.
Kata lailah telah dipergunakan
sebanyak delapan kali dalam Al-Quran (sekali dalam QS.2:52; QS.2:188; QS.44:4;
dua kali dalam QS.7:143 dan tiga kali dalam ayat-ayat yang sedang dibahas), dan
di setiap tempat kata itu dipergunakan sehubungan dengan turun Al-Quran dan
masalah-masalah yang bertalian dengan itu. Dengan demikian kata lailah mengisyaratkan
kepada kemuliaan, keagungan, dan kebesaran malam-malam
yang di dalamnya Al-Quran diturunkan
(diwahyukan).
Qadr
berarti: nilai, kecukupan, kebesaran, takdir, nasib, kekuasaan (Lexicon Lane). Menimbang
berbagai arti qadr dan lailah itu, maka ayat اِنَّاۤ اَنۡزَلۡنٰہُ
فِیۡ لَیۡلَۃِ الۡقَدۡرِ -- “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya pada Malam Takdir” ini dapat diberi
tafsiran sebagai berikut: Al-Quran telah diturunkan di dalam suatu malam -- yakni malam
kegelapan akhlak dan ruhani yang
paling pekat -- yang secara khusus
telah diperuntukkan bagi penampakan kekuasaan
Ilahi yang istimewa, atau di dalam suatu malam yang mempunyai nilai
sama dengan seluruh jumlah malam-malam
kegelapan akhlak dan ruhani lainnya, atau di dalam suatu malam yang mempunyai kebesaran, keagungan, dan kehormatan;
atau, di dalam suatu malam yang
mempunyai kecukupan, yaitu Al-Quran memenuhi selengkapnya semua kebutuhan dan keperluan manusia, baik mengenai akhlak maupun ruhaninya. Atau, artinya ialah Allah Swt. telah menurunkannya dalam Malam Takdir atau Malam
Nasib, yakni Al-Quran diturunkan pada saat ketika nasib manusia ditakdirkan, pola
alam semesta masa mendatang telah ditetapkan,
dan asas-asas petunjuk yang tepat
bagi umat manusia telah diletakkan untuk sepanjang masa mendatang.
Dalam berbagai makna Lailatul
Qadr (Malam Takdir) itulah Allah Swt. telah menetapkan Nabi Besar Muhammad
saw. dan agama Islam (Al-Quran) sebagai Rasul
Allah pembawa amanat syariat terakhir
dan tersempurna (QS.5:5:4) merupakan Lailatul- Qadr (Malam Takdir) terbesar,
sehingga siapa pun yang mencari agama
selain Islam (Al-Quran) maka agama tersebut tidak akan diterima di hadhirat Allah Swt. dan para pemeluknya di akhirat akan menjadi orang-orang yang merugi (QS.3:20 & 86).
Kejahiliyah di Akhir Zaman & “Malam Penuh Keberkatan”
Masa kemunculan seorang mushlih rabbani besar – yakni para rasul Allah -- disebut Lailatul Qadr,
karena pada masa itu dosa dan kejahatan merajalela serta kekuatan kegelapan menguasai segala yang lain, termasuk di Akhir Zaman ini. Inilah sebabnya Allah
Swt. telah menjanjikan kepada semua umat beragama mengenai kedatangan Rasul
Akhir Zaman untuk mengajak mereka yang telah tenggelam dalam berbagai
bentuk kemusyrikan atau kejahiliyahan yang muncul kembali di Akhir Zaman kembali kepada agama atau Tauhid Ilahi yang hakiki (QS.61:10; QS.62:3-4).
Lailatul Qadr telah diartikan pula sebagai
suatu malam tertentu di antara malam-malam tanggal ganjil pada sepuluh hari
terakhir di dalam bulan Ramadhan,
tatkala Al-Quran pertama kali mulai diturunkan. Atau, ayat itu dapat berarti,
seluruh jangka waktu 23 tahun yang
meliputi risalat Nabi Besar Muhammad
saw., ketika selama jangka waktu itu Al-Quran
diturunkan (diwahyukan) secara berangsur-angsur
kepada Nabi Besar Muhammad saw.
Makna ayat
وَ مَاۤ
اَدۡرٰىکَ مَا لَیۡلَۃُ الۡقَدۡرِ -- “dan apakah engkau mengetahui apa Malam Takdir itu?” bahwa berkat-berkat Lailatul
Qadr melampaui perhitungan dan perkiraan manusia. Sedangkan makna ayat لَیۡلَۃُ الۡقَدۡرِ ۬ۙ خَیۡرٌ مِّنۡ
اَلۡفِ شَہۡرٍ -- “Malam Takdir itu lebih baik daripada seribu bulan. ” Alf
(seribu), yang merupakan bilangan paling tinggi dalam bahasa Arab dan
berarti bilangan yang tidak terhitung banyaknya.
Ayat itu berarti bahwa Malam Takdir atau Malam Nasib itu nilainya
lebih baik daripada semua bulan yang
tidak terhitung bilangannya, yaitu zaman
Nabi Besar Muhammad saw. itu lebih baik dan lebih unggul daripada semua zaman para Rasul Allah dijumlahkan.
Dalam Surah lain Allah Swt. menyebut Lailatul-Qadr (Malam Takdir) dengan “Malam yang penuh berkat”, firman-Nya:
بِسۡمِ
اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿ۚۛ﴾ حٰمٓ
﴿ۚۛ﴾ وَ الۡکِتٰبِ
الۡمُبِیۡنِ ۙ﴿ۛ﴾ اِنَّاۤ اَنۡزَلۡنٰہُ فِیۡ
لَیۡلَۃٍ مُّبٰرَکَۃٍ اِنَّا کُنَّا مُنۡذِرِیۡنَ ﴿﴾ فِیۡہَا یُفۡرَقُ
کُلُّ اَمۡرٍ حَکِیۡمٍ ۙ﴿﴾ اَمۡرًا مِّنۡ
عِنۡدِنَا ؕ اِنَّا کُنَّا مُرۡسِلِیۡنَ ۚ﴿﴾ رَحۡمَۃً مِّنۡ
رَّبِّکَ ؕ اِنَّہٗ ہُوَ
السَّمِیۡعُ الۡعَلِیۡمُ ۙ﴿﴾ رَبِّ السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ وَ مَا بَیۡنَہُمَا ۘ اِنۡ
کُنۡتُمۡ مُّوۡقِنِیۡنَ ﴿﴾ لَاۤ اِلٰہَ
اِلَّا ہُوَ یُحۡیٖ وَ یُمِیۡتُ ؕ رَبُّکُمۡ وَ رَبُّ اٰبَآئِکُمُ الۡاَوَّلِیۡنَ ﴿﴾
Aku baca dengan nama Allah, Maha Pemurah,
Maha Penyayang. حٰمٓ -- Tuhan Maha Terpuji, Maha Mulia.
وَ
الۡکِتٰبِ الۡمُبِیۡنِ --
demi Kitab yang menjelaskan, اِنَّاۤ اَنۡزَلۡنٰہُ فِیۡ
لَیۡلَۃٍ مُّبٰرَکَۃٍ اِنَّا کُنَّا مُنۡذِرِیۡنَ -- sesungguhnya Kami
menurunkannya dalam suatu malam yang penuh berkat, sesungguhnya Kami selalu memberi peringatan. فِیۡہَا
یُفۡرَقُ کُلُّ اَمۡرٍ حَکِیۡمٍ ۙ -- di dalamnya diputuskan semua urusan
kebijaksanaan, ۙ اَمۡرًا
مِّنۡ عِنۡدِنَا ؕ اِنَّا کُنَّا مُرۡسِلِیۡنَ -- dengan perintah dari sisi Kami, sesungguhnya
Kami selalu mengutus rasul-rasul.
رَحۡمَۃً مِّنۡ
رَّبِّکَ ؕ اِنَّہٗ ہُوَ
السَّمِیۡعُ الۡعَلِیۡمُ --
suatu rahmat dari Rabb (Tuhan) engkau, sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui. رَبِّ
السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ وَ مَا بَیۡنَہُمَا
ۘ اِنۡ کُنۡتُمۡ مُّوۡقِنِیۡنَ –
Rabb (Tuhan) seluruh langit dan bumi dan segala
yang ada di antara keduanya, jika kamu orang-orang
yang yakin. لَاۤ اِلٰہَ
اِلَّا ہُوَ یُحۡیٖ وَ یُمِیۡتُ -- Tidak ada Tuhan melainkan Dia. Dia
menghidupkan dan Dia mematikan. رَبُّکُمۡ وَ رَبُّ اٰبَآئِکُمُ الۡاَوَّلِیۡنَ -- Rabb
(Tuhan) kamu dan Rabb (Tuhan)
bapak-bapakmu dahulu. (Ad-Dukhān [44]:1-9).
Di tempat lain dalam Al-Quran (Surah Al-Qadr) malam
itu disebut "Malam Takdir"
(Lailatul Qadr — QS.97:2). Menurut hadits-hadits shahih "Lailatul Qadr" pada umumnya jatuh
di dalam sepuluh malam terakhir bulan
Ramadhan, bulan yang di dalamnya Al-Quran diwahyukan (QS.2:186), lebih
tepat lagi pada malam ke-24 Ramadhan (Musnad Ahmad bin Hanbal dan Tafsir
Ibnu Jarir).
Al-Mundzirīn (Yang Selalu Memberi Peringatan) dan Al-Mursilīn (Yang Selalu Mengutus Rasul)
“Malam yang
beberkat” atau "Malam Takdir"
itu ialah kata kiasan yang biasa
dipakai Al-Quran untuk suatu masa (zaman)
ketika kegelapan ruhani menyelubungi
seluruh permukaan bumi, dan seorang pembaharu
rabbani -- khususnya Rasul Allah -- dibangkitkan untuk memperbaiki dan menghidupkan kembali umat manusia yang sudah rusak (QS.30:42-44).
“Malam” yang memberikan kepada umat
manusia Guru terbesarnya (Nabi Besar
Muhammad saw.) dan syariat terakhir
lagi paling sempurna itu (QS.5:4) sungguh
merupakan "Malam Takdir"
bagi seluruh umat manusia. Malam itu
dapat dianggap meliputi seluruh masa
yang di dalamnya Al-Quran terus-menerus
diturunkan (diwahyukan) kepada Nabi Besar Muhammad saw. selama 23 tahun.
"Lailatul Qadr" atau waktu datangnya
seorang pembaharu agung mewartakan mulainya suatu era (zaman) baru, suatu orde (tertib) baru segala sesuatu, ketika hari
depan umat manusia pada hakikatnya diputuskan
dan ditetapkan. Saat ketika Al-Quran diturunkan merupakan "Lailatul Qadr" paling besar untuk
seluruh umat manusia, sebab pada saat itulah dasar-dasar nasib seluruh umat manusia diletakkan untuk masa yang
akan datang.
Kata مُنۡذِرِیۡنَ dalam ayat اِنَّاۤ اَنۡزَلۡنٰہُ
فِیۡ لَیۡلَۃٍ مُّبٰرَکَۃٍ
اِنَّا کُنَّا مُنۡذِرِیۡنَ -- “sesungguhnya Kami
menurunkannya dalam suatu malam yang penuh berkat, sesungguhnya Kami selalu memberi peringatan” membantah itikad sesat mengenai faham “lā
nabiya ba’dahu” (tidak ada lagi nabi
setelahnya) berkenaan dengan Nabi Besar Muhammad saw., yang merupakan itikad sesat yang diwariskan para penentang
Rasul Allah dari zaman ke zaman (QS.10:72-75; QS.40:35-36);
QS.72:8).
Peringatan
Allah Swt. mengenai kedatangan azab Ilahi
selalu disampaikan oleh para Rasul
Allah karena itu rasul Allah – terutama Nabi Besar
Muhammad saw. -- disebut bashīran (pemberi kabar gembira) dan nadzīran (pemberi peringatan – QS.33:46-48).
Dalam
Surah lain yang digunakan bukan kata مُنۡذِرِیۡنَ -- (yang selalu memberi
peringatan) melainkan مُرۡسِلِیۡنَ (yang selalu mengutus rasul-rasul),
firman-Nya kepada Nabi Besar Muhammad saw.:
وَ
لٰکِنَّاۤ اَنۡشَاۡنَا قُرُوۡنًا
فَتَطَاوَلَ عَلَیۡہِمُ الۡعُمُرُ ۚ وَ مَا کُنۡتَ ثَاوِیًا فِیۡۤ اَہۡلِ مَدۡیَنَ تَتۡلُوۡا عَلَیۡہِمۡ
اٰیٰتِنَا ۙ وَ لٰکِنَّا کُنَّا
مُرۡسِلِیۡنَ﴿﴾
Tetapi Kami telah
menjadikan generasi-generasi
maka berlalulah atas mereka masa yang panjang, dan engkau sekali-kali tidak tinggal bersama
penduduk Midian, yang membacakan Tanda-tanda Kami kepada mereka, وَ لٰکِنَّا کُنَّا مُرۡسِلِیۡنَ -- tetapi
Kami-lah yang mengutus rasul-rasul.
(Al-Qashash
[28]:46).
Jadi, jelaslah bahwa dua Sifat Allah Swt. مُنۡذِرِیۡنَ --
(yang selalu memberi peringatan) dan مُرۡسِلِیۡنَ (yang selalu mengutus rasul-rasul) sama kekalnya dengan Sifat-sifat
Allah Swt. lainnya, termasuk Sifat Al-Mutakallīm
(Yang Maha Berbicara – QS.42:52-54).
Orang-orang
yang menolak ketiga Sifat Allah Swt.
tersebut -- Al-Mundzirīn,
Al-Mursilīn, dan Al-Mutakallīm -- pasti mereka akan berada dalam “kegelapan” yang pekat dan mereka tidak akan pernah dapat keluar dari “malam kegelapan” akhlak dan ruhani yang
meliputi mereka, termasuk di Akhir Zaman ini, firman-Nya:
اَوَ مَنۡ کَانَ مَیۡتًا فَاَحۡیَیۡنٰہُ وَ جَعَلۡنَا
لَہٗ نُوۡرًا یَّمۡشِیۡ بِہٖ فِی
النَّاسِ کَمَنۡ مَّثَلُہٗ فِی
الظُّلُمٰتِ لَیۡسَ
بِخَارِجٍ مِّنۡہَا ؕ کَذٰلِکَ زُیِّنَ لِلۡکٰفِرِیۡنَ مَا
کَانُوۡا یَعۡمَلُوۡنَ ﴿﴾ وَ کَذٰلِکَ
جَعَلۡنَا فِیۡ کُلِّ
قَرۡیَۃٍ اَکٰبِرَ
مُجۡرِمِیۡہَا لِیَمۡکُرُوۡا فِیۡہَا ؕ وَ مَا یَمۡکُرُوۡنَ اِلَّا بِاَنۡفُسِہِمۡ وَ مَا یَشۡعُرُوۡنَ ﴿﴾
Dan apakah orang
yang telah mati lalu Kami
menghidupkannya dan Kami menjadikan
baginya cahaya dan ia
berjalan dengan cahaya itu di tengah-tengah manusia, sama seperti
keadaan orang yang berada di dalam
berbagai macam kegelapan dan
ia sekali-kali tidak dapat
keluar darinya? Demikianlah
telah ditampakkan indah bagi orang-orang
kafir apa yang senantiasa mereka kerjakan.
Dan demikianlah Kami menjadikan di dalam tiap negeri
pendosa-pendosa besarnya, supaya mereka
melakukan makar di dalam negeri itu, tetapi sekali-kali tidak ada yang ter-kena makar mereka
kecuali dirinya sendiri tetapi mereka tidak menyadarinya. (Al-An’ām
[6]:123-124).
Firman-Nya lagi:
وَ
الَّذِیۡنَ کَفَرُوۡۤا اَعۡمَالُہُمۡ
کَسَرَابٍۭ بِقِیۡعَۃٍ یَّحۡسَبُہُ الظَّمۡاٰنُ مَآءً ؕ حَتّٰۤی اِذَا
جَآءَہٗ لَمۡ یَجِدۡہُ شَیۡئًا وَّ وَجَدَ اللّٰہَ عِنۡدَہٗ فَوَفّٰىہُ حِسَابَہٗ ؕ وَ اللّٰہُ سَرِیۡعُ
الۡحِسَابِ ﴿ۙ﴾ اَوۡ کَظُلُمٰتٍ فِیۡ بَحۡرٍ لُّجِّیٍّ یَّغۡشٰہُ
مَوۡجٌ مِّنۡ فَوۡقِہٖ مَوۡجٌ مِّنۡ فَوۡقِہٖ سَحَابٌ ؕ ظُلُمٰتٌۢ بَعۡضُہَا فَوۡقَ بَعۡضٍ ؕ اِذَاۤ اَخۡرَجَ
یَدَہٗ لَمۡ یَکَدۡ یَرٰىہَا ؕ وَ مَنۡ لَّمۡ یَجۡعَلِ اللّٰہُ لَہٗ
نُوۡرًا فَمَا لَہٗ
مِنۡ نُّوۡرٍ ﴿٪﴾
Dan orang-orang kafir amal-amal mereka seperti fatamorgana di padang pasir, orang-orang
yang haus menyangkanya air,
hingga apabila ia mendatanginya ia tidak mendapati sesuatu pun, dan ia mendapati Allah di sisinya lalu Dia membayar penuh per-itungannya, dan Allah sangat cepat dalam perhitungan. Atau
seperti kegelapan di lautan yang dalam,
di atasnya gelombang demi gelombang meliputinya, di atasnya lagi ada awan hitam. ظُلُمٰتٌۢ بَعۡضُہَا فَوۡقَ بَعۡضٍ -- kegelapan
sebagiannya di atas sebagian lain. اِذَاۤ اَخۡرَجَ یَدَہٗ لَمۡ یَکَدۡ یَرٰىہَا --
apabila ia mengulurkan tangannya ia hampir-hampir tidak dapat melihatnya, وَ مَنۡ لَّمۡ یَجۡعَلِ
اللّٰہُ لَہٗ نُوۡرًا
فَمَا لَہٗ مِنۡ
نُّوۡرٍ -- dan barangsiapa baginya Allah tidak menjadikan nur maka baginya tidak ada nur. (An-Nūr [24]:40-41).
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik
Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 27 Juli
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar