بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم
Khazanah
Ruhani Surah Shād
Bab 294
Cara Mewaspadai Aktivitas ISIS di NKRI & Firman Allah Swt. dan Sabda Nabi Besar Muhammad Saw. Tentang “Akan
Berkumpulnya Ruh yang Sama”
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan mengenai
sempurnanya nubuatan tentang jatuhnya Mekkah dan dengan tegaknya syariat Islam di negeri Arab dalam peristiwa
Fatah Mekkah (Penalukkan Mekkah),
tanpa adanya tindakan balas dendam dari
umat Islam berupa “pembantaian massal” terhadap penduduk
kota Mekkah, seperti yang terjadi di Akhir
Zaman ini di wilayah Timur Tengah, termasuk
di
wilayah negara-negara Muslim.
Dengan demikian kebenaran
Nabi Besar Muhammad saw. telah terbukti dengan sempurna dan beliau saw. bebas dari tuntutan orang-orang Mekkah bahwa
-- sesuai dengan nubuatan-nubuatan
dalam Al-Quran dan dengan pernyataan
beliau saw. yang
berulang-ulang -- kota Mekkah harus jatuh ke tangan beliau saw., itulah makna kata barā-a dalam firman-Nya:
بَرَآءَۃٌ مِّنَ اللّٰہِ وَ رَسُوۡلِہٖۤ اِلَی الَّذِیۡنَ عٰہَدۡتُّمۡ مِّنَ
الۡمُشۡرِکِیۡنَ ؕ﴿﴾ فَسِیۡحُوۡا فِی الۡاَرۡضِ اَرۡبَعَۃَ اَشۡہُرٍ وَّ اعۡلَمُوۡۤا اَنَّکُمۡ غَیۡرُ مُعۡجِزِی اللّٰہِ ۙ وَ
اَنَّ اللّٰہَ مُخۡزِی
الۡکٰفِرِیۡنَ ﴿﴾
Inilah suatu pernyataan bebas dari
Allah dan Rasul-Nya kepada orang-orang musyrik yang dengan mereka
itu kamu telah membuat perjanjian bahwa kamu pasti akan mendapat kemenangan. Maka jelajahilah bumi ini selama empat bulan dan ketahuilah sesungguhnya kamu
tidak dapat menggagalkan
rencana Allah, dan sesungguhnya
Allah akan menghinakan
orang-orang kafir. (At-Taubah [9]:1-1).
Surah Al-Bara’ah (At-Taubah) Merupakan Kelajutan Surah Al-Anfāl
Dalam Surah
sebelumnya -- yakni Surah Anfāl -- dinubuatkan
bahwa Allah Swt. akan memberi kemenangan besar kepada orang-orang Islam dan bahwa harta kekayaan dan milik musuh mereka akan jatuh ke tangan mereka. Nubuatan ini terus-menerus menjadi sumber tertawaan orang-orang kafir
mengenai orang Islam, sebab Allah Swt. —
selaras dengan hikmah kebijaksanaan-Nya
yang tidak pernah salah dan sesuai
dengan undang-undang-Nya yang abadi —
telah menunda penggenapan apa-apa
yang dinubuatkan itu, seiring dengan
turunnya wahyu pada bagian Surah Anfāl,
yang menyebutkan nubuatan itu.
Ketika kota Mekkah jatuh dan nubuatan tersebut di atas menjadi sempurna maka bagian Surah Al-Anfāl
yang tadinya tertunda barulah
Surah At- Taubah diturunkan, bagian itu mulai dengan:
بَرَآءَۃٌ مِّنَ اللّٰہِ وَ رَسُوۡلِہٖۤ اِلَی الَّذِیۡنَ عٰہَدۡتُّمۡ مِّنَ
الۡمُشۡرِکِیۡنَ ؕ﴿﴾ فَسِیۡحُوۡا فِی الۡاَرۡضِ اَرۡبَعَۃَ اَشۡہُرٍ وَّ اعۡلَمُوۡۤا اَنَّکُمۡ غَیۡرُ مُعۡجِزِی اللّٰہِ ۙ وَ
اَنَّ اللّٰہَ مُخۡزِی
الۡکٰفِرِیۡنَ ﴿﴾
Inilah suatu pernyataan bebas dari
Allah dan Rasul-Nya kepada orang-orang musyrik yang dengan mereka
itu kamu telah membuat perjanjian bahwa kamu pasti akan mendapat kemenangan. Maka jelajahilah bumi ini selama empat bulan dan ketahuilah sesungguhnya kamu
tidak dapat menggagalkan
rencana Allah, dan sesungguhnya
Allah akan menghinakan
orang-orang kafir. (At-Taubah [9]:1-1).
Sambil lalu dapat dicatat di
sini, bahwa beberapa ahli tafsir telah mengartikan kata pernyataan bebas atau berlepas-diri
dalam ayat tersebut, bahwa jangka waktu selama empat bulan
telah diberikan kepada orang-orang
musyrik -- yang dengan mereka orang-orang
Islam telah mengadakan perjanjian tidak
tertulis, dan bahwa jangka
waktu tersebut dimaksudkan sebagai satu peringatan
bahwa sesudah itu semua perjanjian
dan persetujuan dengan mereka akan
dianggap berakhir.
Penafsiran terhadap kata بَرَآءَۃٌ -- pernyataaan
bebas seperti itu nyata sekali tidak
benar, sebab jika yang dimaksudkan sebagai peringatan
adalah untuk mencabut segala perjanjian
dengan mereka, maka tidak ada artinya merangkaikan pernyataan itu dengan perintah
supaya mereka menjelajahi seluruh negeri
selama 4 bulan dan melihat dengan mata sendiri, bahwa maksud membuat persiapan-persiapan secepatnya untuk melakukan
perjalanan itu adalah bukan untuk bertolak ke suatu tempat yang aman serta tidak akan berjalan keliling negeri seperti orang
berwisata, melainkan untuk menyaksikan dengan mata kepala mereka sendiri mengenai semakin meluasnya pengaruh agama Islam di berbagai wilayah Arabia.
Lagi pula, jika ayat ini
diartikan sebagai peringatan untuk
mengakhiri perjanjian yang telah ada dan untuk memberi batas waktu pada kabilah-kabilah musyrik yang telah bersekutu dengan orang Islam, bagaimanakah dapat dijelaskan ayat
berikutnya yang mengatakan bahwa mereka yang telah mengadakan perjanjian
dengan orang-orang Islam tak boleh diusir
sebelum berakhir masa perjanjian mereka.
Dengan demikian jelaslah bahwa kata-kata Al-Quran: alladzīna
‘ahadtum yang dipergunakan dalam ayat pertama Surah Al-Taubah tidak ditujukan kepada suatu perjanjian atau persetujuan politik, melainkan hanya
kepada pernyataan-pernyataan yang telah dibuat oleh orang-orang Islam dan orang-orang
kafir terhadap satu sama lain
mengenai kemenangan terakhir cita-cita
mereka masing-masing.
Berkenaan dengan pihak Islam, dinyatakan dalam Surah Al-Anfāl
bahwa harta ke-kayaan dan milik
orang-orang kafir akan jatuh ke tangan orang-orang Islam, sedangkan
berkenaan dengan pihak orang-orang kafir telah dinyatakan bahwa agama Islam akan dimusnahkan dan mereka akan merampas milik orang-orang Islam.
Pernyataan-pernyataan yang berlawanan inilah yang secara kiasan telah disebut ‘ahd
yaitu perjanjian dalam ayat tersebut. Orang-orang musyrik disuruh agar menjelajahi seluruh bagian negeri dan
boleh melihat sendiri, apakah pernyataan
dalam Surah Al-Anfāl mengenai kehancuran
mereka pada akhirnya telah terbukti benar atau tidak?
Jadi, pada hakikatnya, Surah Al-Bara’ah atau At-Taubah hanya merupakan
satu pernyataan mengenai sempurnanya nubuatan
agung dalam Surah Al-Anfāl dan dengan demikian At-Taubah tidak merupakan
satu Surah yang terpisah dari Surah Al-Anfāl.
Singkatnya, di antara kedua Surah ini terdapat suatu hubungan yang amat nyata, sehingga kedua-duanya sebenarnya merupakan satu Surah belaka, sebab seperti disebutkan di atas, Surah Al-Anfāl diturunkan di masa Perang Badar dan di dalamnya tercantum nubuatan yang jelas mengenai kesudahan orang-orang kafir.
Kemudian sesudah pertempuran terakhir
dengan orang-orang musyrik Mekkah usai, diwahyukan Surah Al-Bara’ah (At-Taubah) untuk mengumumkan
sempurnanya nubuatan itu dan
terbitnya suatu masa baru.
Kekhawatiran Tentang
Aktivitas ISIS di NKRI & Adab Berperang Menurut Al-Quran dan Sunnah Nabi Besar Muhammad Saw.
Sehubungan
dengan merebaknya isu tentang kelompok bersenjata penganut “garis
keras” di Irak yang disebut ISIS, singkatan dari Islamic State in Iraq and
Syria (Negara/Daulah Islam
di Irak dan Suriah), yang melakukan berbagai bentuk kekerasan atau pembantaian, bukan saja terhadap golongan Non-Muslim tetapi juga terhadap sesama umat Islam yang berbeda faham atau pun politik atau berbeda kepentingan
dengan mereka.
Sesuai
dengan penjelasan dalam Bab sebelumnya mengenai adab perang, berikut ini “copas” berkenaan dengan adab dalam perang menurut ajaran Islam (Al-Quran) dan Sunnah
Nabi Besar Muhammad saw. yang disusun oleh IsA,
di awal risalahnya ia menulis:
Jihad Islam mempunyai adab-adab yang mengikat gerak dan menjadi ciri watak pasukan Islam, dan adab-adab
itulah yang membedakannya dengan perang-perang
lain yang diterjuni oleh pasukan-pasukan
non-Islam. Kami sebutkan 10 diantaranya yang utama:
1. Mendakwahi
orang-orang kafir supaya memeluk Dienul Islam sebelum mulai memerangi mereka,
disertai dengan penjelasan tentang hakikat Dienul Islam, agar mereka mengetahui
apa tujuan kaum Muslimin memerangi mereka.
Ini adalah tuntutan yang pertama. Dan jika
mereka menolak masuk Islam, mereka tidak akan dipaksa meninggalkan Dien mereka
dan dipaksa masuk Islam, tetapi
diminta untuk memenuhi tuntutan yang
lain, yakni membayar jizyah kepada kaum Muslimin, agar supaya mereka di bawah perlindungan kaum Muslimin, di bawah kekuasaan mereka serta di dalam penjagaan
mereka seperti orang-orang Muslim
yang lain. Itu adalah tuntutan yang
kedua. Dan jika mereka tetap menolak maka
mereka akan diperangi dan diserang di negeri mereka sampai tunduk
kepada hukum Islam dan kaum Muslimin.
Allah
Azza wa Jalla berfirman: “….Tidak ada paksaan untuk (memasuki) Dien
(Islam); sesungguhnya telah jelas yang benar dari jalan yang sesat….” (Al-Baqarah
(2): 256).
Allah Azza wa Jalla berfirman:“Sampai
mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk….” (At-Taubah
(9): 29).
2. Memenuhi
janji dan kesepakatan yang telah dijalin antara kaum Muslimin dan kaum kufar,
serta tidak melanggar dan tidak berlaku khianat.
3. Melindungi
darah manusia kecuali dengan alasan yang benar, melindungi nyawa orang-orang
lemah dari pihak musuh, serta tidak menyiksa mereka. Golongan orang-orang lemah
yang dimaksud seperti kaum wanita, anak-anak, kaum lelaki yang telah tua renta,
orang-orang yang cacat fisik, rahib-rahib dan biarawan-biarawan yang mengurung
diri dalam tempat peribadatan mereka, serta golongan orang-orang lemah lain
yang seperti mereka.
Islam melarang membunuh mereka dalam peperangan, selama mereka tidak
turut andil di dalamnya dengan senjata atau bantuan fisik, atau pendapat, atau
pengarahan, atau pengobaran semangat atau taktik.
Allah Azza wa Jalla berfirman:“Dan
janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan Allah melainkan dengan sesuatu
(sebab) yang benar. Demikian itu diperintahkan oleh Rabb kalian kepada kalian
supaya kalian memahami(nya)” (Al-An’am (6): 151).
Ibnu ‘Umar ra meriwayatkan bahwasanya
Nabi shalallahu 'alaihi wasallam melarang (kaum Muslimin) membunuh wanita dan anak-anak. Diriwayatkan
pula dari Nabi shalallahu 'alaihi wasallam, bahwasanya beliau pernah
bersabda:“Berangkatlah kalian dengan menyebut nama Allah, jangan membunuh
lelaki yang telah tua renta, atau anak kecil atau wanita.”
Dan dari Ibnu Abbas ra, dia berkata: “Nabi
pernah melewati mayat seorang perempuan yang mati terbunuh pada perang Khandaq.
Lalu beliau bertanya, "Siapa yang telah membunuh perempuan ini?” “Saya, ya
Rasulullah” sahut seseorang. “Kenapa?” Tanya beliau. Orang tersebut menjawab,
”Dia berusaha merebut gagang pedang saya.” Mendengar jawabannya, beliau diam.
Dan diriwayatkan pula bahwa Nabi saw.
pernah berdiri di depan mayat perempuan yang terbunuh, lalu beliau berkata,”Kenapa
gerangan dia dibunuh, sedangkan dia tidak ikut berperang?”
4. Larangan
mencincang korban yang telah tewas.
Ibnu
Ishaq menuturkan, “Rasulullah saw. keluar berperang pada perang Uhud, menurut
riwayat yang sampai kepadaku, beliau mencari-cari Hamzah bin Abdul Muthalib,
dan akhirnya beliau menemukan jasadnya di tengah lembah, perutnya telah
dibelah, dan diambil hatinya serta disayat-sayat hingga berurai isinya, hidung
dan telinganya dipotong.
Muhammad bin Ja’far bin Az-Zubair
menceritakan kepadaku, bahwa ketika Rasulullah saw. melihat perbuatan yang sangat sadis itu, maka berkatalah beliau,
“Kalaulah tidak mengingat akan kesedihan Shafiyah dan khawatir akan menjadi
sunnah (tradisi yang jadi ikutan) sepeninggalku, tentu aku akan membiarkannya
sehingga berpindah ke perut binatang buas dan burung pemakan bangkai. Dan
sekiranya Allah memenangkanku atas kaum Quraisy di satu peperangan, pasti aku
akan mencincang 30 orang diantara mereka.”
Melihat kesedihan yang melanda
Rasulullah saw. atas orang-orang yang melakukan perbuatan biadab terhadap jasad pamannya itu, maka berkatalah
orang-orang Muslim, ”Demi Allah, sekiranya Allah memenangkan kami atas
mereka pada suatu hari kelak, pasti kami akan mencincang-cincang mereka
sedemikian rupa sadisnya, yang mana tak seorang Arab pun pernah melakukannya.”
Berkata Ibnu Hisyam, “Ketika Rasulullah saw.
berdiri di depan [jenazah] Hamzah, maka berkatalah beliau, “Tak pernah
sekalipun aku tertimpa musibah seperti ini, dan belum pernah aku merasakan
kemarahan yang sedemikian hebatnya melebihi kemarahanku saat ini.” Kemudian beliau berkata, ”Lalu Jibril
datang kepadaku dan memberitahukan bahwa Hamzah bin Abdul Muthalib telah
tertulis di kalangan penghuni langit sebagai singa Allah dan singa
Rasul-Nya.”
Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam, Hamzah dan Abu Salamah bin Abdul Asad
merupakan saudara sesusu. Mereka
disusui oleh Maulah (budak perempuan) Abu Lahab -- dia adalah Tsuwaibah.
Ibnu Ishaq berkata, ”Telah
menceritakan kepadaku Hamid At-Thawil dari Al Hasan, dari Samurah bin Jundab,
dia berkata, “Tiadalah sama sekali Rasulullah berdiri di satu tempat kemudian
meninggalkannya sehingga dia memerintahkan kepada kami bersedekah dan melarang kami mencincang (mayat musuh)“.
Kemudian dalam ulasan yang bertalian
dengan persoalan tersebut dikemukakan: (Jika ada yang mengatakan,
“Rasulullah pernah memotong-motong anggota badan orang-orang ‘Urani – yakni
golongan Muharib -- beliau memotong
tangan-tangan mereka dan mencongkel mata mereka serta mimbiarkan mereka mati
kehausan”), maka kami jawab:
Pertama: Beliau melakukan hal tersebut adalah
sebagai hukum qishash bagi mereka,
oleh karena mereka telah memotong tangan dan kaki para penggembala serta
mencongkel mata mereka. Kisah ini diriwayatkan dalam hadits Anas. Kedua:
Peristiwa itu adalah sebelum datang pengharaman
mencincang.
Jika yang mengatakan, “Sesungguhnya
beliau membiarkan mereka, minta minum tetapi tidak diberi minum, sampai mereka
mati kehausan”, maka kami menjawab: “Beliau membuat mereka kehausan sebab
mereka telah membuat haus keluarga Nabi pada malam tersebut. Diriwayatkan dalam
hadits marfu’, bahwa tatkala sampai kepadanya kabar dibunuhnya para
penggembala…. Maka beliau dan keluarganya tidak bisa minum susu pada malam itu.
Lalu beliau berdo’a: “Ya Allah,
hauskanlah orang-orang yang telah membuat kehausan ahli bait Nabi-Mu”.
Riwayat ini terdapat pada Syarah Ibnu
Baththal, dan dikeluarkan pula oleh An-Nawwi. Tatkala turun ayat, “Wa in
aqabtum fa’aaqibuu bimitsli maa ‘uuqibtumbihi… Sampai akhir”, maka
berkatalah Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam, “Kami bersabar, dan tidak
akan membalas”.
Dan dari Buraidah, dia berkata: “Adalah
Rasulullah apabila mengangkat seorang komandan bagi suatu pasukan atau
sariyyah, maka beliau mewasiatinya secara khusus agar bertaqwa kepada Allah, dan agar berlaku baik kepada kaum Muslimin
yang ikut bersamanya. Kemudian beliau berpesan kepadanya: “Berperanglah
kalian dengan menyebut nama Allah, di jalan Allah, perangilah orang-orang yang
kafir kepada Allah. Berperanglah tapi jangan bertindak melampaui batas, jangan
khianat, jangan mencincang dan jangan membunuh anak-anak”.
Dari Abdullah bin Yazid Al-Anshar dia
berkata: “Rasulullah melarang menjarah dan mencincang”.
Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Manusia yang paling santun dalam membunuh (musuh) adalah kaum beriman”.
Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Manusia yang paling santun dalam membunuh (musuh) adalah kaum beriman”.
5. Larangan
Merusak. Seperti membakar, merobohkan (bangunan),
menebang pepohonan, membantai binatang ternak bukan untuk dimakan, kecuali jika
komandan pasukan melihat dalam perkara tersebut terdapat maslahat yang besar,
seperti melemahkan hati musuh, menjatuhkan moral mereka, membuat mereka putus
asa dan hina…. Maka sesungguhnya yang demikian itu dibolehkan…Allah Swt. berfirman:“Apa
saja yang kamu tebang dari pohon kurma (milik orang-orang kafir) atau yang kamu
biarkan (tumbuh) berdiri di atas pokoknya, maka (semua itu) adalah dengan izin
Allah; dan karena Dia hendak memberikan kehinaan kepada orang-orang fasik”.
(Al-Hasyr
(59): 5).
6. Larangan
Ghulul. Ghulul adalah mengambil sesuatu
dari harta rampasan perang atau menilap sesuatu daripadanya tanpa izin Imam,
sebelum dibagikan kepada mereka yang berhak menerimanya. Perbuatan ini termasuk
dosa besar.
Telah meriwayatkan bahwa kaum muslimin
kehilangan selimut beludru merah pada perang Badar, maka diantara shahabat ada
yang berkata, “barangkali Rasulullah telah mengambilnya”. Kemudian Allah
Swt. menurunkan ayat:“Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan
harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang
itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu;
kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan
dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya”. (Ali
Imran (3): 161).
Ibnu Abbas ra berkata, “Tidak
selayaknya bagi seorang Nabi berlaku khianat dan mengkhususkan sesuatu untuk
dirinya”. Dan dari Abu Hurairah ra, bahwasanya ia berkata, Suatu hari
Rasulullah berdiri di tengah-tengah kami, lalu beliau menyebut tentang ghulul. Beliau memandangnya besar dan
memandang besar urusannya. Lalu beliau
saw. berkata:
“Kelak
aku benar-benar akan menemui salah seorang di antara kalian pada hari kiamat,
di atas tengkuknya ada onta yang sedang melenguh. Dia berkata memelas,
“Wahai Rasulullah, tolonglah aku”. Lalu kujawab, “Aku tidak kuasa sedikitpun
untuk menolongmu dari siksa Allah. Dulu telah aku sampaikan kepadamu”.
“Kelak
aku benar-benar akan menemui salah seorang di antara kalian pada hari kiamat,
di atas tengkuknya ada kambing yang
sedang mengembik. Dia berkata memelas, “Wahai Rasulullah, tolonglah aku”. Lalu
kujawab, “Aku tidak kuasa sedikitpun untuk menolongmu dari siksa Allah. Dulu
telah aku sampaikan kepadamu”.
“Kelak aku benar-benar akan menemui salah
seorang di antara kalian pada hari kiamat, di atas tengkuknya ada jiwa (orang) yang menjerit. Dia berkata
memelas, “Wahai Rasulullah, tolonglah aku”. Lalu kujawab, “Aku tidak kuasa
sedikitpun untuk menolongmu dari siksa Allah. Dulu telah aku sampaikan
kepadamu”.
“Kelak aku benar-benar akan menemui
salah seorang di antara kalian pada hari kiamat, di atas tengkuknya ada lembaran kain yang bergerai-gerai. Dia
berkata memelas, “Wahai Rasulullah, tolonglah aku”. Lalu kujawab, “Aku tidak
kuasa sedikitpun untuk menolongmu dari siksa Allah. Dulu telah aku sampaikan
kepadamu”.
“Kelak aku benar-benar akan menemui
salah seorang di antara kalian pada hari kiamat, di atas tengkuknya emas dan perak. Dia berkata memelas, “Wahai Rasulullah, tolonglah aku”. Lalu
kujawab, “Aku tidak kuasa sedikitpun untuk menolongmu dari siksa Allah. Dulu
telah aku sampaikan kepadamu”.
Dari Abdullah bin Amru bin Al-Ash, dia
berkata, “Ada seorang laki-laki bernama Karkaran, yang menjaga barang-barang
bawaan milik Rasulullah. Orang tersebut mati, namun Rasulullah mengatakan bahwa
dia masuk naar (neraka). Maka orang-orang pun pergi untuk menyelidiki
perihalnya. Ternyata mereka menemukan mantel
(jubah) yang telah diambil sebelum harta rampasan perang dibagi”.
7. Memberikan
Perlindungan kepada Musta’jir (orang yang minta perlindungan) dan Utusan. Siapa dari pihak musuh yang
minta keamanan atas keselamatan nyawanya dari pembunuhan, untuk mendengarkan Kalamullah serta untuk mengetahui syari’at-syari’at-Nya, maka orang
tersebut harus diberi keamanan,
kemudian dikembalikan ke tempat yang aman
atau ke tempat tinggal kaumnya,
berdasarkan firman Allah Swt. “Dan jika seseorang dari orang-orang musyrikin
itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat
mendengar Kalamullah (firman Allah), kemudian antarkanlah ia ke tempat yang
aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka adalah kaum yang tidak
mengetahui”. (QS. At-Taubah (9): 6)
Dalam Sirah Nabawiyah disebutkan, tatkala dua utusan Musailamah Al-Kadzab datang membawa surat Musailamah kepada Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam,
maka beliau bertanya kepada mereka setelah membacanya, “Apa yang kalian berdua
katakan?” Keduanya menjawab: “Kami
mengatakan yang ia (Musailamah) katakan”. Lalu Nabi shalallahu 'alaihi
wasallam berkata, “Ketahuilah, demi Allah, andaikata bukan lantaran aturan “Seorang utusan tidak boleh dibunuh”,
pasti aku akan memenggal leher kalian
berdua”.
Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam
bersabda:“Barangsiapa yang minta perlindungan kepada kalian dengan menyebut nama Allah, maka berikan perlindungan kepadanya, dan
barangsiapa yang minta kepada kalian
dengan menyebut Wajah Allah, maka berilah dia”.
Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam
bersabda:“Barangsiapa yang minta perlindungan kepada kalian dengan menyebut
nama Allah, maka berikan perlindungan kepadanya. Barangsiapa minta kepada
kalian dengan menyebut nama Allah, maka berilah dia. Barangsiapa yang
mengundang kalian, maka penuhilah undangannya. Barangsiapa yang berbuat sesuatu
kebaikan kepada kalian, maka berikan kepadanya hadiah sebagai balasan, maka
jika kalian tidak mendapatkan sesuatu hadiah untuk membalasnya, maka berdo’alah
untuknya sampai kalian merasa bahwa kalian telah memberikan hadiah kepadanya
sebagai balasan”.
8. Berbuat
Baik kepada Tawanan. Tawanan perang
terdiri dari tiga macam:
(a). Kaum wanita dan anak-anak dan
orang-orang yang sekedudukan hukum dengan mereka – sebagaimana telah diutarakan
- yang tidak boleh dibunuh. Mereka menjadi budak bagi kaum Muslimin, yang harus
diperlakukan secara baik; atau Imam membebaskan mereka, atau mengambil dari
mereka tebusan berupa harta atau menukarnya dengan tawanan Muslim atau
melepaskan mereka, menurut sisi maslahat yang dilihatnya.
(b). Kaum laki-laki dari golongan Ahli
Kitab dan Majusi. Dalam hal ini Imam boleh memilih dari empat alternatif yang
ada: membunuhnya, atau membebaskannya cuma-cuma, atau meminta tebusan sebagai
syarat pembebasannya, atau menjadikannya sebagai budak.
(c). Para penyembah berhala dari golongan
kaum musyrikin yang lain. Dalam hal ini Imam bebas memilih tiga alternatif yang
ada: membunuhnya, atau membebaskannya cuma-cuma, atau meminta tebusan.
Keterangan rinci mengenai persoalan ini
dapat diruju’ dalam kitab-kitab ahli ilmu pada empat mazhab yang ada. Allah
Azza wa Jalla berfirman:“Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di
medan perang) maka pancunglah batang leher mereka. Sehingga apabila kamu telah
mengalahkan mereka maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan
mereka atau menerima tebusan sampai perang berhenti”. (QS. Muhammad
(47): 4).
Yang jelas, seorang tawanan harus
diperlakukan secara baik, dipergauli dengan ramah, santun dan bijak, dengan
harapan ia mau masuk Islam. Allah Azza wa Jalla berfirman:
“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih”. (QS. Al-Insan (76): 8-9)
“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih”. (QS. Al-Insan (76): 8-9)
Berkata Ibnu Ishaq, “Telah
mengabarkan kepadaku Nabih bin Wahab, seseorang dari Bani Abdiddar, bahwasanya
setelah Rasulullah mendatangi para tawanan –pada perang Badar-- lalu beliau
serahkan mereka secara terpisah kepada para shahabatnya seraya berpesan,
“Perlakukan mereka dengan baik!”. Adalah shahabat (yang diberi amanat tersebut)
mengutamakan makan mereka –para tawanan itu— atas diri mereka sendiri dengan
makanan yang lebih enak ketika mereka makan.
Termasuk
di antara perlakuan baik kepada tawanan juga adalah tidak memisahkan antara ibu
dan anaknya, bapak dengan anaknya.Nabi melarang memisahkan dalam tawanan antara
ibu dan anaknya. Beliau saw bersabda:“Barangsiapa yang memisahkan antara ibu
dan anaknya, maka kelak Allah akan memisahkan antara dia dengan orang-orang
yang dicintainya pada hari kiamat”.
Adalah beliau shalallahu 'alaihi
wasallam pernah mendapatkan tawanan, lalu beliau memberikan semuanya kepada
ahli baitnya, karena tidak suka memisah-misahkan antara mereka”.
9. Adil
terhadap Ahli Dzimmah dan berlaku santun kepada mereka. Ahlu dzimmah, mereka adalah orang-orang kafir yang menegakkan isi perjanjian yang mereka adakan dengan
kaum Muslimin, mereka mempunyai hak keamanan atas nyawa, harta,
kehormatan dan agama mereka; serta tidak boleh mendapat gangguan apapun, oleh
karena mereka berada dalam jaminan
dan perlindungan kaum Muslimin
sebagai ganti dari pembayaran jizyah
mereka serta iltizam mereka terhadap hukum-hukum Islam yang dikenakan atas
mereka dalam bentuk pelaksanaan hak atau meninggalkan hal yang haram…. Mereka
berhak mengembalikan dalam perselisihan yang terjadi antara mereka kepada
hukum-hukum syari’at mereka memuat aturan dalam perkara-perkara yang bersifat
pribadi; akan tetapi jika tidak; maka mereka harus mengembalikannya kepada
hukum Islam dan syari’at-Nya seperti kaum Muslimin yang lain.
Seorang dzimmi tidak wajib
menetapi seluruh hukum-hukum Islam, akan tetapi yang wajib bagi mereka untuk
menetapinya hanyalah perkara-perkara yang tidak bertentangan dengan keyakinan
diennya. Dia dihukumi dengan hukum-hukum Islam dalam soal pertanggungjawaban
jiwa, harta dan kehormatan; ditegakkan hukum hudud atas mereka dalam perkara
yang mereka yakini keharamannya seperti mencuri, tetapi tidak dalam perkara
yang mereka yakini kehalalannya, seperti minum khamr.
Sebagaimana mereka juga diwajibkan untuk
tidak melakukan mu’amalah dengan mereka melalui cara-cara yang rusak dan
terlarang dalam syari’at yang mengakibatkan kepada keburukan, kerusakan dan
bahaya terhadap masyarakat, meskipun mereka telah terbiasa dengan mu’amalah
seperti itu sebelumnya, seperti riba, judi, rumah-rumah bordil.
Sebagaimana juga diharuskan untuk
menjaga rasa malu, kesopanan, menutup aurat dan tidak tabarruj (mempertontonkan
hiasan dan kecantikan kepada orang lain).
Semuanya itu adalah untuk menjaga keselamatan masyarakat dan kehormatannya.
Mereka juga diberi kesempatan untuk
memperhatikan dan mengembangkan aspek-aspek kehidupan dunia mereka.Allah Azza
Wa jalla berfirman: “Jika mereka
(orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta keputusan), maka putuskanlah
(perkara itu) diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka, jika kamu
berpaling dari mereka maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu
sedikitpun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara
itu) diantara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
adil”. (Al-Maidah (5): 42).
Allah Azza Wa jalla berfirman:“Maka
putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu mereka”. (Al-Maidah (5): 48).
Mereka tidak mempunyai hak untuk turut
campur atau ikut andil bersama kaum Muslimin di dalam menjalankan kemudi
kekuasaan ataupun dalam bidang kepemimpinan dan pemerintahan, sebab mereka
tidak mempunyai hak kepemimpinan terhadap kaum Muslimin, bahkan kaum
Musliminlah yang justru menjadi pemimpin mereka.
Allah Azza Wa jalla berfirman:“Allah
sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan
orang-orang yang beriman”. (An-Nisa’: 141)
Allah Azza Wa jalla berfirman:“Allah
tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang
yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari
negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”. (Al-Mumtahanah
(60): 8)
Dari Asma’ bin Abu Bakar Ash-Shiddiq,
dia berkata, “Ibuku datang (mengunjungiku) sedangkan ia masih musyrik, pada
masa kaum Quraisy melakukan perjanjian. Maka aku datang menemui Nabi dan
bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah aku boleh memperhubunginya?”. Beliau
menjawab, “Ya, silakan perhubungilah ibumu”.
Rasulullah saw bersabda:“Barangsiapa
yang menyakiti dzimmi, maka aku adalah musuhnya; dan barangsiapa yang aku jadi
musuhnya, maka akan aku musuhi dia pada hari kiamat”.
Rasulullah saw bersabda:“Barangsiapa
yang memberi keamanan seseorang atas keselamatan darah (nyawa)nya, lalu dia
membunuhnya, maka sesungguhnya aku berlepas diri dari si pembunuh, meskipun
yang terbunuh adalah seorang kafir”.
Dalam risalah Khalid bin Al-Walid
disebutkan, “…aku tetapkan kepada mereka –yakni ahlu dzimmah—siapapun,
laki-laki tua yang telah lemah untuk bekerja, atau terkena suatu musibah atau
semula kaya lalu menjadi miskin, sehingga kaum yang seagama dengannya
memberikan sedekah kepadanya, maka aku lepaskan tanggungan jizyahnya, dan
diberi nafkah dari Baitul Mal Muslimin serta keluarganya selama dia menetap di
Darul Hijrah dan Darul Islam. Akan tetapi jika mereka keluar dari negeri yang
bukan Darul Hijrah dan Darul Islam, maka tidak ada kewajiban bagi kaum Muslimin
untuk memberikan nafkah kepada keluarga mereka…”
Golongan ahlu dzimmah hidup berabad-abad dalam naungan Daulah Islamiyah bersama kaum
Muslimin dalam keadaan aman jiwa,
kehormatan, Dien, dan mu’amalah mereka; mereka menikmati kehidupan yang lapang
dan tarikh (sejarah) belum pernah mencatat bahwa mereka menghadapi kezhaliman,
penindasan atau gangguan dari kaum Muslimin.
Keadaan mereka tidak sebagaimana yang
menimpa sebagaian kaum Muslimin di negeri-negeri Islam yang dirampas oleh
orang-orang kafir dan diperintah oleh mereka. Mereka menimpakan kepada kaum
Muslimin berbagai macam perlakuan yang sangat buruk, baik penindasan,
penyiksaan, pembunuhan maupun pengusiran.
Sebagaimana yang pernah diperbuat oleh
kaum Nasrani ketika menguasai negeri Andalusia dan merampasnya dari tangan kaum
Muslimin, yang mana mereka memaksa kaum Muslimin untuk meninggalkan Dien mereka
serta memeluk agama Nasrani, dan siapa yang menolak akan dibakar di
tungku-tungku pembuatan roti…. Mahkamah-mahkamah pemeriksaan yang diadakan orang-orang
Nasrani di negeri Andalusia tidaklah akan hilang dari ingatan sejarah dan tidak
akan terlupakan.
Demikian pula pembantaian-pembantaian
massal dan individu yang dilakukan oleh bangsa Rusia komunis terhadap kaum
Muslimin di negeri-negeri Islam yang telah mereka rampas dan mereka kuasai
seperti Samarqand, Bukhara, Azerbaijan, Turkistan, dan Kurdistan serta
negeri-negeri Islam lain, telah menghilangkan nyawa berpuluh-puluh juta kaum
Muslimin.
Mereka membakar mushaf-mushaf Al-Qur’an
dan kitab-kitab Islam serta merubah masjid-masjid yang menjadi tempat ibadah
dan dikumandangkan dari tempat adzannya suara takbir, menjadi kandang-kandang
ternak dan hewan. Dan mereka juga memaksa manusia untuk mengikuti doktrin
atheisme dan untuk meyakini bahwa agama adalah opium yang meracuni pikiran
rakyat.
Demikian pula negeri Palestina, tatkala
bangsa Yahudi Zionis penebar angkara murka, merampasnya dari tangan kaum
Muslmin. Mereka membunuh kaum Muslimin dan mengusir mereka, serta menjarah
harta milik mereka dan tanah mereka, kemudian merubahnya menjadi koloni kaum
zionis. Adapun kaum Muslimin yang masih tinggal di sana mereka perintah dengan
tangan besi.
Serta negeri-negeri Islam lain yang
diperintah oleh penguasa-penguasa kafir, dimana kaum Muslimin yang hidup di
negeri tersebut merasakan berbagai macam bentuk penyiksaan, pembunuhan dan
pengusiran. Dosa mereka hanyalah karena mereka itu orang-orang Muslim. Benarlah
Allah Yang Maha Agung yang berfirman: “Bagaimana bisa (ada perjanjian dari
sisi Allah dan Rasul-Nya dengan orang-orang musyrikin), padahal mereka
memperoleh kemenangan terhadap kamu, mereka tidak memelihara hubungan
kekerabatan terhadap kamu dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian. Mereka
menyenangkan hatimu dengan mulutnya, sedang hatinya menolak. Dan kebanyakan
mereka adalah orang-orang yang fasik”. (At-Taubah (9): 8)
Allah Azza wa Jalla berfirman: “Dan
mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang yang mukmin
itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji”. (Al-Buruj
(85): 8)
10. Berlaku
keras dalam perang dan belas kasih di waktu damai. Berlaku keras dalam perang melawan orang-orang
kafir ketika mereka diperangi, dan bersikap adil serta lembut terhadap mereka
di waktu damai. Sebab dalam kondisi berperang, haruslah berlaku keras, kejam
dan bengis untuk menggentarkan dan menyiutkan nyali
musuh, untuk menakut-nakuti mereka, mencerai-beraikan mereka, dan merusak
moral mereka, sehingga mereka dapat dikalahkan… Serta membuat gentar siapa saja
yang terbetik dalam hatinya keinginan untuk memerangi kaum Muslimin. Adapun
dalam keadaan damai, dalam keadaan orang-orang kafir berdamai dengan kaum Muslimin, maka sudah selayaknya
untuk berlaku adil, lembut dan baik
kepada mereka, berharap akan ke-Islam-an
mereka dan mengangankan keimanan mereka.
Allah Azza wa Jalla berfirman: “Jika
kamu menemui mereka dalam peperangan, maka cerai-beraikanlah orang-orang yang
di belakang mereka dengan (menumpas) mereka, supaya mereka mengambil pelajaran”.
(Al-Anfal
(8): 57)
Berkata Ibnu Abbas, Al-Hasan Al-Bashri,
Adh-Dhahhak, As-Suddi, Atho’ Al-Khurasani, dan Ibnu ‘Uyainah: “Keraslah
dalam menghukum mereka serta banyak-banyaklah membunuh mereka, agar musuh
selain mereka dari kalangan Arab maupun yang lain menjadi takut dan gentar, dan
agar hal tersebut menjadi pelajaran bagi mereka”
Allah Azza wa Jalla berfirman:“Apabila
kalian bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka pancunglah
batang leher mereka. Sehingga apabila kalian telah mengalahkan mereka maka
tawanlah mereka dan sesudah itu kalian boleh membebaskan mereka atau tebusan
sampai perang berhenti”. (QS. Muhammad (47): 4)
Allah Azza wa Jalla berfirman:“Hai
Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap
keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka Jahannam dan itu adalah
seburuk-buruk tempat kembali”. (At-Tahrim (66): 9)
Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam
bersabda: “Aku diberi sesuatu yang
mana hal tersebut tidak diberikan kepada salah seorang dari nabi-nabi
sebelumku; aku dimenangkan dengan rasa takut (yang menghinggapi musuh); aku
diberi kunci-kunci perbendaharaan bumi; aku diberi nama Ahmad; dijadikan debu
itu suci bagiku; dan umatku dijadikan sebaik-baik umat”.
Lantas
di manakah keteladanan, akhlaq dan adab-adab jihad Islam dalam perang-perang
yang terjadi sekarang ini? Bahkan yang ada di dalamnya hanyalah pengkhianatan,
permusuhan, kejahatan, pelanggaran susila, keganasan, kerendahan moral yang
mencoreng nilai-nilai kemanusiaan, yang mana hal tersebut sangat tidak pantas
dikerjakan bahkan terhadap hewan sekalipun.
Peperangan-peperangan itu tidak terikat
sama sekali dengan sesuatu (aturan moral), tidak memperhitungkan sesuatu
apapun, dan menghancurkan segala sesuatu.
Peringatan Allah
Swt. Dalam Al-Quran dan Nabi Besar Muhammad Saw.
Sehubungan dengan merebaknya berbagai berita tentang ISIS dan timbulnya kekhawatiran
berbagai pihak mengenai keberadaan aktivitas ISIS di NKRI tercinta ini, sehingga
muncul berbagai pernyataan keras
dari berbagai pihak yang menolak
keberadaan ISIS di NKRI.
Munculnya kekhawatiran tersebut sangat wajar,
sebab dalam beberapa tahun belakangan
ini di NKRI pun telah muncul
golongan-golongan “penganut garis keras”
yang cukup merepotkan pihak
pemerintah NKRI, dan yang paling sering menjadi sasaran tindakan mereka yang melanggar HAM tersebut adalah “golongan-golongan
minoritas” -- terutama Jemaat Muslim Ahmadiyah.
Kemunculan berbagai golongan penganut “garis keras” di kalangan umat Islam tersebut membuktikan
kebenaran nubuatan atau Sunnatullah dalam firman-Nya berikut ini:
اَلَمۡ یَاۡنِ
لِلَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡۤا اَنۡ تَخۡشَعَ قُلُوۡبُہُمۡ لِذِکۡرِ اللّٰہِ وَ مَا
نَزَلَ مِنَ الۡحَقِّ ۙ وَ لَا یَکُوۡنُوۡا کَالَّذِیۡنَ اُوۡتُوا
الۡکِتٰبَ مِنۡ قَبۡلُ فَطَالَ عَلَیۡہِمُ
الۡاَمَدُ فَقَسَتۡ قُلُوۡبُہُمۡ ؕ وَ کَثِیۡرٌ مِّنۡہُمۡ فٰسِقُوۡنَ ﴿﴾ اِعۡلَمُوۡۤا اَنَّ اللّٰہَ یُحۡیِ الۡاَرۡضَ بَعۡدَ
مَوۡتِہَا ؕ قَدۡ بَیَّنَّا لَکُمُ الۡاٰیٰتِ لَعَلَّکُمۡ تَعۡقِلُوۡنَ ﴿ ﴾
Apakah belum
sampai waktu bagi orang-orang yang
beriman, bahwa hati mereka tunduk
untuk mengingat Allah dan mengingat
kebenaran yang telah turun kepada
mereka, وَ لَا یَکُوۡنُوۡا کَالَّذِیۡنَ
اُوۡتُوا الۡکِتٰبَ مِنۡ قَبۡلُ فَطَالَ عَلَیۡہِمُ الۡاَمَدُ فَقَسَتۡ قُلُوۡبُہُمۡ -- dan mereka tidak menjadi seperti
orang-orang yang diberi kitab sebelumnya, makazaman kesejahteraan
menjadi panjang atas mereka فَقَسَتۡ قُلُوۡبُہُمۡ -- lalu
hati mereka menjadi keras, وَ کَثِیۡرٌ مِّنۡہُمۡ فٰسِقُوۡنَ --dan kebanyakan dari mereka menjadi durhaka?
Ketahuilah, bahwasanya Allah
menghidupkan bumi sesudah matinya. Sungguh Kami telah menjelaskan Tanda-tanda kepada kamu supaya kamu mengerti. (Al-Hadīd [57]:17-18).
Jadi, jika
Allah Swt. telah menyatakan seseorang
atau suatu kaum sebagai fasiq (durhaka), lalu bagaimana mungkin
mereka dapat mendakwakan diri atau dinyatakan
sebagai para syuhada di jalan Allah?
Nabi Besar Muhammad saw. telah bersabda
bahwa “ruh-ruh yang sejenis akan
berkumpul”, artinya sudah merupakan fitrat
dan tabiat manusia, mereka -- dalam
masalah apa pun -- akan berkumpul
dengan orang-orang yang memiliki kecenderungan
atau hobby yang sama, Allah Swt. berfirman:
یَوۡمَئِذٍ یَّصۡدُرُ النَّاسُ
اَشۡتَاتًا ۬ۙ لِّیُرَوۡا اَعۡمَالَہُمۡ ؕ﴿﴾
Pada hari itu manusia akan keluar dalam
golongan-golongan terpisah supaya kepada mereka dapat diperlihatkan amal mereka. (Al-Zilzal [99]:7).
Ucapan Nabi Besar Muhammad saw.
dan firman Allah Swt. tersebut patut
mendapat perhatian pihak Pemerintah –
khususnya aparat keamanan -- berkenaan dengan merebaknya kekhawatiran
berkenaan keberadaan ISIS di NKRI
tercinta ini dan hubungannya dengan keberadaan berbagai kelompok penganut “garis keras”, sebab “jubah” yang dipakai bisa saja
berbeda-beda tetapi kesamaan
karakter, ucapan dan tindakan sulit disembunyikan mengenai cita-cita mereka yang sama, yakni –
kalau ada kesempatan -- merebut kekuasaan dengan cara-cara kekerasan.
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik
Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 25 Juli
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar