Senin, 25 Agustus 2014

Makna Lain "Syuhada" dan Hubungannya dengan Kewafatan Khalid bin Walid r.a. -- "Pedang Allah" -- di Tempat Tidur



 بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم


 Khazanah Ruhani Surah  Shād


Bab   301

Makna Lain Syuhada  dan Hubungannya dengan     Kewafatan  Khalid bin Walid r.a. – “Pedang Allah” – di Tempat Tidur  
    

 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

D
alam Bab sebelumnya, sehubungan dengan firman Allah Swt. mengenai dua kali pengutusan Nabi  Besar Muhammad saw. di masa awal  di kalangan bangsa Arab (QS.62:3) dan di Akhir Zaman  dalam ayat   adalah  وَّ اٰخَرِیۡنَ مِنۡہُمۡ  لَمَّا یَلۡحَقُوۡا بِہِمۡ ؕ وَ ہُوَ  الۡعَزِیۡزُ  الۡحَکِیۡمُ --  dan juga akan membangkitkannya pada kaum lain dari antara mereka, yang belum bertemu dengan mereka.  Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana. (QS.62:3), telah dikemukakan mengenai penjelasan Nabi Besar Muhammad saw. mengenai perbedaan “sahabat-sahabat” beliau saw. dengan “saudara-saudara” beliau saw. yang “belum bertemu” dengan beliau saw., dan juga dengan para sahabah r.a.:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَى الْمَقْبُرَةَ فَقَالَ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ دَارَ قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لَاحِقُونَ وَدِدْتُ أَنَّا قَدْ رَأَيْنَا إِخْوَانَنَا قَالُوا أَوَلَسْنَا إِخْوَانَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَنْتُمْ أَصْحَابِي وَإِخْوَانُنَا الَّذِينَ لَمْ يَأْتُوا بَعْدُ فَقَالُوا كَيْفَ تَعْرِفُ مَنْ لَمْ يَأْتِ بَعْدُ مِنْ أُمَّتِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَقَالَ أَرَأَيْتَ لَوْ أَنَّ رَجُلًا لَهُ خَيْلٌ غُرٌّ مُحَجَّلَةٌ بَيْنَ ظَهْرَيْ خَيْلٍ دُهْمٍ بُهْمٍ أَلَا يَعْرِفُ خَيْلَهُ قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ فَإِنَّهُمْ يَأْتُونَ غُرًّا مُحَجَّلِينَ مِنْ الْوُضُوءِ وَأَنَا فَرَطُهُمْ عَلَى الْحَوْضِ أَلَا لَيُذَادَنَّ رِجَالٌ عَنْ حَوْضِي كَمَا يُذَادُ الْبَعِيرُ الضَّالُّ أُنَادِيهِمْ أَلَا هَلُمَّ فَيُقَالُ إِنَّهُمْ قَدْ بَدَّلُوا بَعْدَكَ فَأَقُولُ سُحْقًا سُحْقًا
Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah
mendatangi pekuburan lalu bersabda: "Semoga keselamatan terlimpahkah atas kalian penghuni kuburan kaum mukminin, dan sesungguhnya insya Allah kami akan bertemu kalian
. Sungguh aku sangat gembira seandainya kita dapat melihat saudara-saudara kita.” Para sahabat bertanya, “Tidakkah kami semua saudara-saudara engkau wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Kamu semua adaah sahabatku, sedangkan  saudara-saudara kita ialah mereka yang belum berwujud.” Sahabat bertanya lagi, “Bagaimana engkau dapat mengenali mereka yang belum berwujud dari kalangan umat engkau wahai Rasulullah?”  Beliau menjawab dengan bersabda: "Apa pendapat kalian, seandainya seorang lelaki mempunyai seekor kuda yang berbulu putih di dahi serta di kakinya, dan kuda itu berada di tengah-tengah sekelompok kuda yang hitam legam. Apakah dia akan mengenali kudanya itu?” Para Sahabat menjawab, “Sudah tentu wahai Rasulullah.” Beliau bersabda lagi: “Maka mereka datang dalam keadaan muka dan kaki mereka putih bercahaya karena bekas wudlu. Aku mendahului mereka ke telaga. Ingatlah! Ada golongan lelaki yang dihalangi dari datang ke telagaku sebagaimana dihalaunya unta-unta sesat. Aku memanggil mereka, 'Kemarilah kamu semua'. Maka dikatakan, “'Sesungguhnya mereka telah menukar ajaran engkau selepas engkau wafat'. Maka aku bersabda: "Pergilah jauh-jauh dari sini." (HR. Muslim No. 367).

“Beruntunglah”

           Dalam hadis riwayat Ahmad dari Abu Umamah, diterangkan bahwa orang yang hidup sepeninggal Nabi Besar Muhammad saw.,  yang tidak pernah berjumpa dengan beliau saw. tetapi beriman kepada beliau, maka kepada orang-orang seperti itu beliau saw. katakan dengan kalimat "Beruntunglah!,” kalimat ini diucapkan beliau hingga tujuh kali. Selengkapnya dapat dibaca dalam hadis berikut ini: 
 عَنْ أَبِي أُمَامَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طُوبَى لِمَنْ رَآنِي وَآمَنَ بِي وَطُوبَى لِمَنْ آمَنَ بِي وَلَمْ يَرَنِي سَبْعَ مِرَارٍ                      
Dari Abu Umamah, Rasulullah saw. bersabda: Beruntunglah/Berbahagialah orang yang pernah melihatku kemudian beriman kepadaku, dan beruntunglah orang yang beriman kepadaku, padahal ia tidak pernah melihatku, hal ini diucapkan hingga tujuh kali (HR. Ahmad dan disahihkan oleh Al-Albani).
         Memang benar orang-orang Muslim dari kalanngan Jemaat Ahmadiyah tidak pernah melihat dan tidak bertemu dengan Nabi Besar Muhammad saw., tetapi mereka telah “bertemu” dengan pengutusan keduakali secara ruhani beliau saw. di Akhir Zaman ini dalam  wujud Al-Masih Mau’ud a.s., yang kedatangannya ditunggu-tunggu oleh seluruh umat beragama dengan nama yang berbeda-beda, firman-Nya:
ہُوَ الَّذِیۡ  بَعَثَ فِی  الۡاُمِّیّٖنَ  رَسُوۡلًا مِّنۡہُمۡ  یَتۡلُوۡا عَلَیۡہِمۡ  اٰیٰتِہٖ  وَ  یُزَکِّیۡہِمۡ وَ  یُعَلِّمُہُمُ  الۡکِتٰبَ وَ  الۡحِکۡمَۃَ ٭ وَ  اِنۡ کَانُوۡا مِنۡ  قَبۡلُ  لَفِیۡ ضَلٰلٍ  مُّبِیۡنٍ ۙ﴿﴾       وَّ اٰخَرِیۡنَ مِنۡہُمۡ  لَمَّا یَلۡحَقُوۡا بِہِمۡ ؕ وَ ہُوَ  الۡعَزِیۡزُ  الۡحَکِیۡمُ ﴿﴾   ذٰلِکَ فَضۡلُ اللّٰہِ یُؤۡتِیۡہِ مَنۡ یَّشَآءُ ؕ وَ اللّٰہُ  ذُو الۡفَضۡلِ الۡعَظِیۡمِ ﴿﴾
Dia-lah Yang telah membangkitkan di kalangan bangsa yang buta huruf seorang  rasul dari antara mereka, yang membacakan kepada mereka Tanda-tanda-Nya, dan  mensucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah walaupun sebelumnya mereka berada dalam kesesatan yang nyata, وَّ اٰخَرِیۡنَ مِنۡہُمۡ  لَمَّا یَلۡحَقُوۡا بِہِمۡ ؕ وَ ہُوَ  الۡعَزِیۡزُ  الۡحَکِیۡمُ --  dan juga akan membangkitkannya pada kaum lain dari antara mereka, yang belum bertemu dengan mereka.  Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana.  ذٰلِکَ فَضۡلُ اللّٰہِ یُؤۡتِیۡہِ مَنۡ یَّشَآءُ ؕ    --   Itulah karunia Allah, Dia menganugerahkannya kepada siapa yang Dia kehendaki. وَ اللّٰہُ  ذُو الۡفَضۡلِ الۡعَظِیۡمِ -- dan Allah mempunyai karunia yang besar. (Al-Jumu’ah [62]:3-5). Lihat pula   QS,11:18;  QS,7:35-37; QS.61:10; QS.77:12.
       Ada pun hubungan  dengan  kegembiraan syuhada  mengenai وَّ اٰخَرِیۡنَ مِنۡہُمۡ  لَمَّا یَلۡحَقُوۡا بِہِمۡ ؕ وَ ہُوَ  الۡعَزِیۡزُ  الۡحَکِیۡمُ --  dan juga akan membangkitkannya pada kaum lain dari antara mereka, yang belum bertemu dengan mereka.  Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana,”   yang dikemukakan Allah Swt. dalam  firman-Nya:
وَ لَا تَحۡسَبَنَّ الَّذِیۡنَ قُتِلُوۡا فِیۡ سَبِیۡلِ اللّٰہِ اَمۡوَاتًا ؕ بَلۡ اَحۡیَآءٌ عِنۡدَ رَبِّہِمۡ یُرۡزَقُوۡنَ ﴿﴾ۙ  فَرِحِیۡنَ بِمَاۤ  اٰتٰہُمُ اللّٰہُ مِنۡ فَضۡلِہٖ ۙ وَ یَسۡتَبۡشِرُوۡنَ بِالَّذِیۡنَ لَمۡ یَلۡحَقُوۡا بِہِمۡ مِّنۡ خَلۡفِہِمۡ ۙ اَلَّا خَوۡفٌ عَلَیۡہِمۡ وَ لَا ہُمۡ یَحۡزَنُوۡنَ ﴿﴾ۘ
Dan janganlah kamu menyangka mengenai orang-orang yang terbunuh  di jalan Allah bahwa mereka itu mati, بَلۡ اَحۡیَآءٌ عِنۡدَ رَبِّہِمۡ یُرۡزَقُوۡنَ -- tidak, bahkan mereka itu hidup di sisi Rabb (Tuhan) mereka,  mereka diberi rezeki.   فَرِحِیۡنَ بِمَاۤ  اٰتٰہُمُ اللّٰہُ مِنۡ فَضۡلِہٖ    -- mereka bergirang hati  dengan apa yang diberikan Allah kepada mereka dari karunia-Nya, وَ یَسۡتَبۡشِرُوۡنَ بِالَّذِیۡنَ لَمۡ یَلۡحَقُوۡا بِہِمۡ مِّنۡ خَلۡفِہِمۡ  -- dan mereka bergembira terhadap orang-orang  di belakangnya yang  belum pernah bergabung dengan mereka, اَلَّا خَوۡفٌ عَلَیۡہِمۡ وَ لَا ہُمۡ یَحۡزَنُوۡنَ  --  bahwa tidak ada ketakutan  atas mereka, dan tidak pula mereka  bersedih. (Ali ‘Imran [3]:170-171).

Untuk Menjadi Syuhada Tidak   Harus  Mati Terbunuh    di “Jalan Allah”

      Sehubungan dengan hal itu, dalam  firman Allah Swt. berikut ini dikemukakan, bahwa untuk menjadi syuhada  atau  untuk meraih martabat syahid  (saksi)  tidaklah mutlak  bahwa orang-orang beriman harus terbunuh secara fisik  di dalam peperangan, sebagaimana  telah  keliru difahami.
     Salah satu contohnya adalah Khalid bin Walid r.a. yang mendapat gelar kehormatan  Syaifullah (pedang Allah), kewafatan beliau terjadi di tempat tidur karena sakit.   Dengan demikian “kasus” wafatnya Khalid bin Walid r.a. di tempat tidur  -- dan beliau “meratapi” kewafatannya seperti itu  -- sebenarnya merupakan kehendak Allah Swt. juga,  yaitu untuk meredam pendapat keliru bahwa untuk meraih derajat sebagai syahid atau  untuk tergolongan sebagai syuhada tidak harus selalu terbunuh secara fisik di dalam perang agama atau harus mati tenggelam pada saat dalam perjalanan menuju perang, atau mati akibat wabah pes  demi menjaga agar wabah pes tidak menyebar dan akibat peristiwa-peristiwa  lainnya, sebagaimana sabda Nabi Besar Muhammad saw..
       Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah r.a., bahwasanya Rasulullah saw. bersabda:
Syuhadaa’ (orang-orang yang mati syahid) itu ada lima,:  Orang mati karena terkena penyakit tha’un (lepra), orang yang meninggal karena sakit perut, orang yang mati tenggelam, orang yang tertimpa bangunan rumah atau tembok; dan orang yang gugur di jalan Allah.” [HR. Bukhari dan Muslim].
          Di dalam Shahih Muslim juga diriwayatkan sebuah hadits, bahwa Rasulullah saw. bertanya:
“Siapakah diantara kalian yang terhitung mati syahid?” Para shahabat menjawab, “Ya Rasulullah! Siapa saja yang terbunuh di jalan Allah, ia adalah syahid.” Nabi saw berkata, ”Kalau begitu, orang yang mati syahid dari kalangan umatku tentunya sangat sedikit.” Para shahabat pun bertanya, “Lantas, siapakah mereka yang Rasulullah? Nabi menjawab, “Siapa saja yang terbunuh di jalan Allah, ia adalah syahid. Siapa saja yang mati di jalan Allah, ia adalah syahid, dan siapa saja yang mati karena terserang penyakit lepra  ia adalah syahid. Siapa saja yang mati karena sakit perut maka ia adalah syahid.” [HR. Imam Muslim].
      Dalam riwayat lain, Imam Muslim juga menuturkan sebuah hadits dari Anas bin Malik ra, bahwasanya Rasulullah saw. bersabda:
Siapa saja yang bersungguh-sungguh ingin mendapatkan syahid, maka ia akan diberikan pahala (syahid) meskipun ia tidak mendapatkannya.” [HR. Imam Muslim].
        Imam Thabaraniy mengetengahkan sebuah riwayat dari Jabir bin ‘Utaik, bahwa Rasulullah saw .bersabda:
Syahid ada tujuh macam selain gugur (terbunuh) di jalan Allah; orang yang mati karena penyakit lepra adalah syahid. Orang yang mati tenggelam adalah syahid, orang yang mati karena penyakit bisul perut adalah syahid; orang yang mati terbakar adalah syahid; orang yang mati karena tertimpa bangunan atau tembok adalah syahid; dan wanita yang gugur disaat melahirkan (nifas).” [HR. Imam Thabaraniy].
      Di dalam hadits yang diriwayatkan Imam Thabaraniy juga dituturkan, bahwasanya Rasulullah saw. bersabda:
 Siapa saja yang mati karena terlempar dari kendaraannya, ia adalah syahid.” [HR. Imam Thabaraniy].
         Imam Thabaraniy juga meriwayatkan sebuah hadits, dengan sanad shahih, dari Ibnu Mas’ud, bahwasanya Nabi saw bersabda:
“Siapa saja yang mati karena jatuh dari puncak gunung, atau dimangsa bintang buas, atau tenggelam di laut  maka ia syahid di sisi Allah Swt.” [HR. Imam Thabaraniy].
          Dalam sebuah riwayat yang dikisahkan oleh Imam Abu Dawud dituturkan bahwasanya Nabi saw bersabda:
 “Siapa saja yang terbunuh karena mempertahankan hartanya, maka ia mati syahid. Siapa saja yang terbunuh karena membela keluarganya, nyawanya, atau agamanya, maka ia mati syahid.” [HR. Imam Abu Dawud].
        Imam Nasaiy juga mengetengahkan sebuah hadits shahih dari Suwaid bin Muqarrin, bahwasanya Nabi saw. bersabda:
 “Siapa yang terbunuh karena tidak ingin dizalimi  maka ia adalah syahid.”[HR. al-Nasaiy, hadits ini shahih]
        Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata, “Imam Daruquthniy telah menshahihkan sebuah hadits yang diriwayatkan Ibnu ‘Umar:
 Kematian gharib (orang yang terasingkan) termasuk syahid.”[1]
       Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Musa al-Asy’ariy, bahwasanya ada seorang laki-laki mendatangi Rasulullah saw dan berkata:
Ada seorang laki-laki berperang karena ingin mendapatkan ghanimah, ada pula yang berperang untuk diingat (kemasyhuran), dan ada pula yang berperang supaya kedudukannya tinggi; lantas siapa orang yang benar-benar berjihad di jalan Allah? Rasulullah saw menjawab, “Siapa saja yang berperang untuk meninggikan kalimat Allah, maka ia benar-benar berjihad di jalan Allah.”[HR. Muslim].
        Di dalam riwayat Muslim juga dituturkan, bahwa syarat agar memperoleh pahala syahid di akherat adalah tidak melakukan kemaksiyatan. Imam Muslim menuturkan sebuah riwayat dari ‘Abdullah bin Abi Qatadah, dari Qatadah, bahwasanya Rasulullah saw. berdiri di antara para shahabat, dan menyampaikan kepada mereka bahwa jihad di jalan Allah, dan iman kepada Allah merupakan seutama-utama amal. Seorang laki-laki berdiri dan bertanya kepada Nabi saw:
“Apakah jika aku gugur di jalan Allah, semua dosa-dosaku akan terampuni? Nabi saw menjawab, “Ya. Jika engkau terbunuh di jalan Allah, dan engkau  bersabar atas apa yang menimpa engkau, dan kamu tidak berbuat maksiyat.” Lalu, Rasulullah saw bertanya lagi, “Apa kata engkau? Laki-laki itu menjawab, “Jika aku terbunuh di jalan Allah, apakah dosa-dosaku akan terhapus? Nabi saw menjawab, “Benar. Dan engkau bersabar atas apa yang menimpa engkau dan tidak melakukan maksiyat, kecuali hutang. Sebab, Jibril a.s. telah mengabarkan hal itu kepadaku.” [HR. Imam Muslim].
       Di dalam hadits lain juga dituturkan mengenai siksaan Allah Swt. bagi orang yang berperang supaya dianggap pemberani. Diriwayatkan oleh Imam Muslim, bahwasanya Rasulullah saw. bersabda:
“Sesungguhnya, orang yang pertama kali dihisab kelak di hari kiamat adalah seorang laki-laki yang mati syahid. Kemudian ia membawa amalnya itu di hadapan Allah swt. Allah swt bertanya kepadanya, “Amal apa yang telah kamu perbuat di dunia? Laki-laki itu menjawab, “Saya berperang untuk-Mu hingga aku mati syahid.” Allah Swt. berfirman, “Engkau bohong. Sesungguhnya kamu berperang agar dikatakan pemberani.” Kemudian Allah menghisabnya, dan menyeret wajahnya, hingga ia dilemparkan ke dalam neraka.”[HR. Imam Muslim].
         Hadits ini menunjukkan, bahwa orang yang berperang dengan motif sam’ah (supaya disebut pemberani) tidak akan mendapatkan pahala syahid di akherat; meskipun di dunia ia diperlakukan sebagai orang yang mati syahid (tidak dimandikan dan disholatkan).

 Empat Martabat Ruhani yang Terbuka  &  Sirrul-Asrār” Syeikh Abdul Qadir  Al-Jailani

       Sesuai dengan peristiwa “kesyahidan” Khalid bin Walid r.a. di tempat tidur  karena sakit tersebut Allah Swt. berfirman mengenai  martabat syuhada yang disediakan-Nya   bagi para pecinta  hakiki Nabi Besar Muhammad saw. (QS.3:32):
وَ مَنۡ یُّطِعِ اللّٰہَ وَ الرَّسُوۡلَ فَاُولٰٓئِکَ مَعَ الَّذِیۡنَ اَنۡعَمَ اللّٰہُ عَلَیۡہِمۡ مِّنَ النَّبِیّٖنَ وَ الصِّدِّیۡقِیۡنَ وَ الشُّہَدَآءِ وَ الصّٰلِحِیۡنَ ۚ وَ حَسُنَ اُولٰٓئِکَ رَفِیۡقًا ﴿ؕ﴾ ذٰلِکَ الۡفَضۡلُ مِنَ اللّٰہِ ؕ وَ کَفٰی بِاللّٰہِ عَلِیۡمًا ﴿٪﴾
Dan  barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul ini maka mereka akan termasuk di antara  orang-orang  yang Allah memberi nikmat kepada mereka yakni: nabi-nabi, shiddiq-shiddiq, syahid-syahid, dan orang-orang shalih, dan mereka itulah sahabat yang sejati.     Itulah karunia dari Allah,  dan cukuplah Allāh Yang Maha Mengetahui.   (An-Nisā [4]:70-71).
      Mengenai  firman Allah Swt. tentang keempat macam  nikmat   ruhani  --  nabi-nabi, shiddiq-shiddiq, syahid-syahid, dan orang-orang shalih -- yang ditetapkan Allah Swt. bagi orang-orang taat kepada-Nya dan taat kepada Nabi Besar Muhammad saw.,  Syeikh Abdul Qadir al-Jailani memberikan penjelasan dalam buku Sirrul-Asrār:
       “Manusia tidak dapat mencapai hakikat kecuali dia suci murni,  karena sifat-sifat keduniaannya tidak akan meninggalkannya sehingga  hakikat menyata dalam dirinya. Ini adalah keikhlasan sejati. Kejahilannya hanya akan meninggalkannya bila dia menerima pengetahuan tentang Zat Allah. Ini tidak dapat dicapai dengan pelajaran; hanya Allah tanpa pengantaraan bisa mengajarnya.
        Bila Allah Yang Maha Tinggi sendiri yang menjadi Guru, Dia karuniakan ilmu yang dari-Nya sebagaimana Dia lakukan kepada Khaidhir. Kemudian manusia dengan kesadaran yang diperolehnya sampai kepada peringkat makrifat di mana dia mengenali Tuhan-nya dan menyembah-Nya yang dia kenal.
        Orang yang sampai kepada suasana ini memiliki penyaksian ruh suci dan dapat melihat kekasih Allah, Nabi Muhammad saw.. Ia bisa berbicara dengan baginda saw. mengenai segala perkara dari awal hingga ke akhirnya, dan semua nabi-nabi yang lain memberikannya kabar gembira tentang janji penyatuan dengan Yang dikasihi.  Allah menggambarkan suasana ini:
"Karena Barangsiapa taat kepada Allah dan rasul-Nya, maka mereka beserta orang-orang yang diberi nikmat  yaitu nabi-nabi, shiddiqin, syuhada dan shalihin dan alangkah baiknya mereka ini sebagai sahabat karib". (Surah Nisā'  ayat 70).    
         Orang yang tidak bisa menemui pengetahuan ini di dalam dirinya tidak akan menjadi arif walaupun dia membaca seribu buah buku. Nikmat yang bisa diharapkan oleh orang yang mempelajari ilmu dhohir ialah surga; di sana semua yang dapat dilihat adalah kenyataan Sifat-sifat Ilahi dalam bentuk cahaya.
        Tidak terkira bagaimana sempurna pengetahuannya tentang perkara nyata yang bisa dilihat dan dipercaya, tetapi  ia tidak dapat membantu seseorang untuk masuk kepada suasana kesucian dan mulia, yaitu kehampiran (kedekatan) dengan Allah, karena seseorang itu perlu terbang ke tempat (maqam) tersebut, dan untuk terbang perlu   dua sayap.
       Hamba Allah yang sejati adalah yang terbang ke sana dengan menggunakan dua sayap, yaitu pengetahuan dhohir dan pengetahuan batin, tidak pernah berhenti di tengah jalan, tidak tertarik dengan apa sahaja yang ditemui dalam perjalanannya. Allah berfirman melalui rasul-Nya:
"Hai Hamba-Ku, jika engkau  ingin masuk kepada kesucian berhampiran dengan-Ku jangan pedulikan dunia ini atau pun alam tinggi para malaikat, tidak juga yang lebih tinggi di mana kamu bisa menerima Sifat-sifat-Ku yang suci".

Makna Kata Ma’a

       Berkenaan dengan firman Allah Swt. tentang  empat    golongan orang-orang yang mendapat nikmat Allah Swt. dalam QS.4:70-71   --  nabi-nabi, shiddiq-shiddiq, syahid-syahid, dan orang-orang shalih – sebelumnya, di kalangan umat Islam terdapat perbedaan pendapat mengenai makna kata ma’a, yakni ada yang mengartikannya:
        (1) “Bersama-sama” walau pun berbeda dalam derajat   ruhani, contohnya  semua pejabat pemerintah mulai dari Lurah (Kepala Desa) sampai dengan Kepala Negara (Presiden)  bersama-sama dalam satu ruangan dan mendapat perlakuan (fasilitas) yang sama; atau semua orang mulai dari yang berderajat shalihīn sampai dengan   nabiyyīn (nabi-nabi)  secara bersama-sama berada pada satu  hadirah  Allah Swt.  serta perlakuan yang sama dari Allah Swt..
       (2)   “Menjadi” atau “termasuk” dalam golongan nabi-nabi, shiddiq-shiddiq, syahid-syahid, dan orang-orang shalih, dan Allah Swt. akan memperlakukan mereka sesuai dengan derajat keruhaniannya masing-masing.
       Pendapat yang pertama membuahkan kesimpulan yang menyedihkan yaitu bahwa bagaimana pun patuh-taatnya  seorang Muslim kepada Allah Swt. dan Nabi Besar Muhammad saw. (QS.3:32), tetapi mereka tetap tidak akan pernah dapat meraih martabat shālihīn, syuhada (saksi-saksi), shiddiqīn apalagi meraih martabat nabiyyīn (nabi-nabi) serta  mereka tidak berhak disebut sebagai shalih, syahid, shiddiq mau pun nabi.
       Pendapat yang kedua  membuahkan kesimpulan yang menggembirakan yaitu bahwa apabila   seorang Muslim benar-benar patuh-taat  kepada Allah Swt. dan Nabi Besar Muhammad saw. (QS.3:32),  maka mereka dapat meraih martabat shālihīn, syuhada (saksi-saksi), shiddiqīn  termasuk meraih martabat nabiyyīn (nabi-nabi) serta  mereka  sesuai maqam  (martabat) ruhaninya  masing-masing  berhak disebut sebagai shalih, syahid, shiddiq mau pun nabi.
          Kata depan ma’a dalam ayat فَاُولٰٓئِکَ مَعَ الَّذِیۡنَ اَنۡعَمَ اللّٰہُ عَلَیۡہِمۡ   -- menunjukkan adanya dua orang atau lebih, bersama pada suatu tempat atau pada satu saat, kedudukan, pangkat atau keadaan. Kata itu mengandung arti bantuan, seperti tercantum dalam QS.9:40 (Al-Mufradat), yakni  Nabi Besar Muhammad saw. bersabda kepada Abu Bakar Shiddiq r.a. ketika keduanya bersembunyi di gua Tsaur dari kejaran para pemuka kaum kafir Mekkah yang sudah berada di depan gua: لَا تَحۡزَنۡ اِنَّ اللّٰہَ مَعَنَا  -- “jangan bersedih sesungguhnya  Allah  bersama kita”  Kata itu dipergunakan pada beberapa tempat dalam Al-Quran dengan artian fi artinya “di antara”  (QS.3:194; QS.4: 147).
   Ayat ini sangat penting sebab ia menerangkan semua jalur kemajuan ruhani yang terbuka bagi kaum Muslimin. Keempat martabat keruhanian nabi-nabi,   shiddiq-shiddiq,  syuhada (saksi-saksi) dan  orang-orang saleh  — kini semuanya dapat dicapai hanya dengan jalan mengikuti  Nabi Besar Muhammad saw. (QS.3:  32  & 86; QS.33:22)  Hal ini merupakan kehormatan khusus bagi  Nabi Besar Muhammad saw.  semata.
      Tidak ada nabi lain menyamai Nabi Besar Muhammad saw.  dalam perolehan nikmat ini. Kesimpulan itu lebih lanjut ditunjang oleh ayat yang membicarakan nabi-nabi secara umum dan mengatakan: “Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan para rasul-Nya, mereka adalah orang-orang shiddiq dan saksi-saksi (syuhada) di sisi Rabb (Tuhan) mereka” (QS.57: 20).
         Apabila kedua ayat ini dibaca bersama-sama maka kedua ayat itu berarti bahwa, kalau para pengikut nabi-nabi lainnya dapat mencapai martabat shiddiq, syahid, dan shalih dan tidak lebih tinggi dari itu, maka pengikut hakiki Nabi Besar Muhammad saw.  dapat naik ke martabat nabi juga, yakni nabi yang tidak membawa syariat sebab agama Islam (Al-Quran) merupakan agama terakhir dan tersempurna   (QS.5:4).

Kenabian yang Khusus dan Kenabian yang Umum

      Kitab “Bahr-ul-Muhit” (jilid III, hlm. 287) menukil Al-Raghib yang mengatakan: “Tuhan telah membagi orang-orang beriman  dalam empat golongan dalam ayat ini, dan telah menetapkan bagi mereka empat tingkatan, sebagian di antaranya lebih rendah dari yang lain, dan Dia telah mendorong orang-orang beriman sejati agar jangan tertinggal dari keempat tingkatan ini.” Dan membubuhkan bahwa: “Kenabian itu ada dua macam: umum dan khusus. Kenabian khusus, yakni kenabian yang membawa syariat, sekarang tidak dapat dicapai lagi; tetapi kenabian yang umum masih tetap dapat dicapai.”
      Dengan demikian jelaslah bahwa  pengutipan firman Allah Swt.  tersebut (QS.4:70) oleh Syeikh Abdul Qadir Jailani dalam buku Sirrul Asrār  mengandung makna yang sangat dalam:
        “….Bila Allah Yang Maha Tinggi sendiri yang menjadi Guru, Dia karuniakan ilmu yang dari-Nya sebagaimana Dia lakukan kepada Khaidhir. Kemudian manusia dengan kesadaran yang diperolehnya sampai kepada peringkat makrifat di mana dia mengenali Tuhan-nya dan menyembah-Nya yang dia kenal.
        Orang yang sampai kepada suasana ini memiliki penyaksian ruh suci dan dapat melihat kekasih Allah, Nabi Muhammad saw.. Ia bisa berbicara dengan baginda saw. mengenai segala perkara dari awal hingga ke akhirnya, dan semua nabi-nabi yang lain memberikannya kabar gembira tentang janji penyatuan dengan Yang dikasihi.  Allah menggambarkan suasana ini:
"Karena Barangsiapa taat kepada Allah dan rasul-Nya, maka mereka beserta orang-orang yang diberi nikmat  yaitu nabi-nabi, shiddiqin, syuhada dan shalihin dan alangkah baiknya mereka ini sebagai sahabat karib". (Surah Nisā'  ayat 70).    
         Orang yang tidak bisa menemui pengetahuan ini di dalam dirinya tidak akan menjadi arif walaupun dia membaca seribu buah buku. Nikmat yang bisa diharapkan oleh orang yang mempelajari ilmu dhohir ialah surga; di sana semua yang dapat dilihat adalah kenyataan Sifat-sifat Ilahi dalam bentuk cahaya.
        Tidak terkira bagaimana sempurna pengetahuannya tentang perkara nyata yang bisa dilihat dan dipercaya, tetapi  ia tidak dapat membantu seseorang untuk masuk kepada suasana kesucian dan mulia, yaitu kehampiran (kedekatan) dengan Allah, karena seseorang itu perlu terbang ke tempat (maqam) tersebut, dan untuk terbang perlu   dua sayap.
       Hamba Allah yang sejati adalah yang terbang ke sana dengan menggunakan dua sayap, yaitu pengetahuan dhohir dan pengetahuan batin, tidak pernah berhenti di tengah jalan, tidak tertarik dengan apa sahaja yang ditemui dalam perjalanannya. Allah berfirman melalui rasul-Nya:
"Hai Hamba-Ku, jika engkau  ingin masuk kepada kesucian berhampiran dengan-Ku jangan pedulikan dunia ini atau pun alam tinggi para malaikat, tidak juga yang lebih tinggi di mana kamu bisa menerima Sifat-sifat-Ku yang suci".
        Jadi,  menurut Allah Swt. dalam Al-Quran bahwa  bagi para pencinta hakiki Nabi  Besar Muhammad saw.  di atas martabat syuhada (saksi-saksi) ada dua martabat ruhani yang lebih tinggi yakni nabiyyīn (nabi-nabi) dan shiddiqīn, yang untuk memperolehnya  tidak harus “membunuh” atau “terbunuh” di jalan Allah, sebagaimana  yang  secara  keliru difahami oleh para penganut faham “garis keras”, firman-Nya:
ہُوَ الَّذِیۡ  بَعَثَ فِی  الۡاُمِّیّٖنَ  رَسُوۡلًا مِّنۡہُمۡ  یَتۡلُوۡا عَلَیۡہِمۡ  اٰیٰتِہٖ  وَ  یُزَکِّیۡہِمۡ وَ  یُعَلِّمُہُمُ  الۡکِتٰبَ وَ  الۡحِکۡمَۃَ ٭ وَ  اِنۡ کَانُوۡا مِنۡ  قَبۡلُ  لَفِیۡ ضَلٰلٍ  مُّبِیۡنٍ ۙ﴿﴾       وَّ اٰخَرِیۡنَ مِنۡہُمۡ  لَمَّا یَلۡحَقُوۡا بِہِمۡ ؕ وَ ہُوَ  الۡعَزِیۡزُ  الۡحَکِیۡمُ ﴿﴾   ذٰلِکَ فَضۡلُ اللّٰہِ یُؤۡتِیۡہِ مَنۡ یَّشَآءُ ؕ وَ اللّٰہُ  ذُو الۡفَضۡلِ الۡعَظِیۡمِ ﴿﴾
Dia-lah Yang telah membangkitkan di kalangan bangsa yang buta huruf seorang  rasul dari antara mereka, yang membacakan kepada mereka Tanda-tanda-Nya, dan  mensucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah walaupun sebelumnya mereka berada dalam kesesatan yang nyata, وَّ اٰخَرِیۡنَ مِنۡہُمۡ  لَمَّا یَلۡحَقُوۡا بِہِمۡ ؕ وَ ہُوَ  الۡعَزِیۡزُ  الۡحَکِیۡمُ --  dan juga akan membangkitkannya pada kaum lain dari antara mereka, yang belum bertemu dengan mereka.  Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana.  ذٰلِکَ فَضۡلُ اللّٰہِ یُؤۡتِیۡہِ مَنۡ یَّشَآءُ ؕ    --   Itulah karunia Allah, Dia menganugerahkannya kepada siapa yang Dia kehendaki. وَ اللّٰہُ  ذُو الۡفَضۡلِ الۡعَظِیۡمِ -- dan Allah mempunyai karunia yang besar. (Al-Jumu’ah [62]:3-5). Lihat pula   QS,11:18;  QS,7:35-37; QS.61:10; QS.77:12.

 (Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
                                                                              ***
Pajajaran Anyar,  4 Agustus     2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar