بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم
Khazanah
Ruhani Surah Shād
Bab 301
Makna Lain Syuhada dan Hubungannya dengan Kewafatan Khalid bin Walid r.a. – “Pedang Allah” – di
Tempat Tidur
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam Bab sebelumnya, sehubungan dengan firman
Allah Swt. mengenai dua kali pengutusan Nabi Besar Muhammad saw. di masa awal di kalangan bangsa Arab (QS.62:3) dan di Akhir
Zaman dalam ayat adalah
وَّ اٰخَرِیۡنَ مِنۡہُمۡ لَمَّا یَلۡحَقُوۡا بِہِمۡ ؕ وَ ہُوَ الۡعَزِیۡزُ
الۡحَکِیۡمُ -- dan juga akan
membangkitkannya pada kaum lain dari
antara mereka, yang belum bertemu
dengan mereka. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana. (QS.62:3), telah dikemukakan mengenai penjelasan Nabi Besar Muhammad saw. mengenai
perbedaan “sahabat-sahabat” beliau
saw. dengan “saudara-saudara” beliau
saw. yang “belum bertemu” dengan
beliau saw., dan juga dengan para sahabah r.a.:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَى الْمَقْبُرَةَ فَقَالَ السَّلَامُ
عَلَيْكُمْ دَارَ قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ
لَاحِقُونَ وَدِدْتُ أَنَّا قَدْ رَأَيْنَا إِخْوَانَنَا قَالُوا أَوَلَسْنَا
إِخْوَانَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَنْتُمْ أَصْحَابِي وَإِخْوَانُنَا
الَّذِينَ لَمْ يَأْتُوا بَعْدُ فَقَالُوا كَيْفَ تَعْرِفُ مَنْ لَمْ يَأْتِ
بَعْدُ مِنْ أُمَّتِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَقَالَ أَرَأَيْتَ لَوْ أَنَّ رَجُلًا
لَهُ خَيْلٌ غُرٌّ مُحَجَّلَةٌ بَيْنَ ظَهْرَيْ خَيْلٍ دُهْمٍ بُهْمٍ أَلَا
يَعْرِفُ خَيْلَهُ قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ فَإِنَّهُمْ يَأْتُونَ
غُرًّا مُحَجَّلِينَ مِنْ الْوُضُوءِ وَأَنَا فَرَطُهُمْ عَلَى الْحَوْضِ أَلَا
لَيُذَادَنَّ رِجَالٌ عَنْ حَوْضِي كَمَا يُذَادُ الْبَعِيرُ الضَّالُّ
أُنَادِيهِمْ أَلَا هَلُمَّ فَيُقَالُ إِنَّهُمْ قَدْ بَدَّلُوا بَعْدَكَ فَأَقُولُ
سُحْقًا سُحْقًا
Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam pernah
mendatangi pekuburan lalu bersabda: "Semoga keselamatan terlimpahkah atas kalian penghuni kuburan kaum mukminin, dan sesungguhnya insya Allah kami akan bertemu kalian. Sungguh aku sangat gembira seandainya kita dapat melihat saudara-saudara kita.” Para sahabat bertanya, “Tidakkah kami semua saudara-saudara engkau wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Kamu semua adaah sahabatku, sedangkan saudara-saudara kita ialah mereka yang belum berwujud.” Sahabat bertanya lagi, “Bagaimana engkau dapat mengenali mereka yang belum berwujud dari kalangan umat engkau wahai Rasulullah?” Beliau menjawab dengan bersabda: "Apa pendapat kalian, seandainya seorang lelaki mempunyai seekor kuda yang berbulu putih di dahi serta di kakinya, dan kuda itu berada di tengah-tengah sekelompok kuda yang hitam legam. Apakah dia akan mengenali kudanya itu?” Para Sahabat menjawab, “Sudah tentu wahai Rasulullah.” Beliau bersabda lagi: “Maka mereka datang dalam keadaan muka dan kaki mereka putih bercahaya karena bekas wudlu. Aku mendahului mereka ke telaga. Ingatlah! Ada golongan lelaki yang dihalangi dari datang ke telagaku sebagaimana dihalaunya unta-unta sesat. Aku memanggil mereka, 'Kemarilah kamu semua'. Maka dikatakan, “'Sesungguhnya mereka telah menukar ajaran engkau selepas engkau wafat'. Maka aku bersabda: "Pergilah jauh-jauh dari sini." (HR. Muslim No. 367).
mendatangi pekuburan lalu bersabda: "Semoga keselamatan terlimpahkah atas kalian penghuni kuburan kaum mukminin, dan sesungguhnya insya Allah kami akan bertemu kalian. Sungguh aku sangat gembira seandainya kita dapat melihat saudara-saudara kita.” Para sahabat bertanya, “Tidakkah kami semua saudara-saudara engkau wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Kamu semua adaah sahabatku, sedangkan saudara-saudara kita ialah mereka yang belum berwujud.” Sahabat bertanya lagi, “Bagaimana engkau dapat mengenali mereka yang belum berwujud dari kalangan umat engkau wahai Rasulullah?” Beliau menjawab dengan bersabda: "Apa pendapat kalian, seandainya seorang lelaki mempunyai seekor kuda yang berbulu putih di dahi serta di kakinya, dan kuda itu berada di tengah-tengah sekelompok kuda yang hitam legam. Apakah dia akan mengenali kudanya itu?” Para Sahabat menjawab, “Sudah tentu wahai Rasulullah.” Beliau bersabda lagi: “Maka mereka datang dalam keadaan muka dan kaki mereka putih bercahaya karena bekas wudlu. Aku mendahului mereka ke telaga. Ingatlah! Ada golongan lelaki yang dihalangi dari datang ke telagaku sebagaimana dihalaunya unta-unta sesat. Aku memanggil mereka, 'Kemarilah kamu semua'. Maka dikatakan, “'Sesungguhnya mereka telah menukar ajaran engkau selepas engkau wafat'. Maka aku bersabda: "Pergilah jauh-jauh dari sini." (HR. Muslim No. 367).
“Beruntunglah”
Dalam
hadis riwayat Ahmad dari Abu Umamah, diterangkan bahwa orang yang
hidup sepeninggal Nabi Besar Muhammad saw., yang tidak
pernah berjumpa dengan beliau saw. tetapi beriman kepada beliau, maka kepada orang-orang seperti itu beliau saw.
katakan dengan kalimat "Beruntunglah!,”
kalimat ini diucapkan beliau hingga tujuh kali. Selengkapnya dapat
dibaca dalam hadis berikut ini:
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طُوبَى لِمَنْ رَآنِي وَآمَنَ بِي
وَطُوبَى لِمَنْ آمَنَ بِي وَلَمْ يَرَنِي سَبْعَ مِرَارٍ
Dari Abu Umamah, Rasulullah saw.
bersabda: Beruntunglah/Berbahagialah
orang yang pernah melihatku kemudian
beriman kepadaku, dan beruntunglah orang yang beriman kepadaku, padahal ia tidak pernah melihatku,” hal
ini diucapkan hingga tujuh kali (HR. Ahmad dan disahihkan oleh
Al-Albani).
Memang
benar orang-orang Muslim dari kalanngan Jemaat Ahmadiyah tidak
pernah melihat dan tidak bertemu
dengan Nabi Besar Muhammad saw.,
tetapi mereka telah “bertemu” dengan pengutusan
keduakali secara ruhani beliau saw. di Akhir
Zaman ini dalam wujud Al-Masih
Mau’ud a.s., yang kedatangannya ditunggu-tunggu
oleh seluruh umat beragama dengan
nama yang berbeda-beda, firman-Nya:
ہُوَ
الَّذِیۡ بَعَثَ فِی الۡاُمِّیّٖنَ
رَسُوۡلًا مِّنۡہُمۡ یَتۡلُوۡا
عَلَیۡہِمۡ اٰیٰتِہٖ وَ
یُزَکِّیۡہِمۡ وَ
یُعَلِّمُہُمُ الۡکِتٰبَ وَ الۡحِکۡمَۃَ ٭ وَ اِنۡ کَانُوۡا مِنۡ قَبۡلُ
لَفِیۡ ضَلٰلٍ مُّبِیۡنٍ ۙ﴿﴾ وَّ اٰخَرِیۡنَ مِنۡہُمۡ لَمَّا یَلۡحَقُوۡا بِہِمۡ ؕ وَ ہُوَ الۡعَزِیۡزُ
الۡحَکِیۡمُ ﴿﴾ ذٰلِکَ فَضۡلُ
اللّٰہِ یُؤۡتِیۡہِ مَنۡ یَّشَآءُ ؕ وَ اللّٰہُ
ذُو الۡفَضۡلِ الۡعَظِیۡمِ ﴿﴾
Dia-lah Yang telah membangkitkan di kalangan bangsa
yang buta huruf seorang rasul dari antara mereka, yang membacakan kepada mereka Tanda-tanda-Nya, dan mensucikan
mereka, dan mengajarkan kepada mereka
Kitab dan Hikmah walaupun
sebelumnya mereka berada dalam kesesatan
yang nyata, وَّ اٰخَرِیۡنَ مِنۡہُمۡ لَمَّا
یَلۡحَقُوۡا بِہِمۡ ؕ وَ ہُوَ
الۡعَزِیۡزُ الۡحَکِیۡمُ -- dan juga akan membangkitkannya pada kaum lain dari antara mereka, yang belum bertemu dengan mereka. Dan Dia-lah
Yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana. ذٰلِکَ فَضۡلُ اللّٰہِ یُؤۡتِیۡہِ مَنۡ
یَّشَآءُ ؕ -- Itulah karunia
Allah, Dia menganugerahkannya kepada
siapa yang Dia kehendaki. وَ اللّٰہُ
ذُو الۡفَضۡلِ الۡعَظِیۡمِ -- dan Allah mempunyai karunia yang besar. (Al-Jumu’ah
[62]:3-5). Lihat pula QS,11:18;
QS,7:35-37; QS.61:10; QS.77:12.
Ada pun hubungan dengan
kegembiraan syuhada mengenai وَّ اٰخَرِیۡنَ مِنۡہُمۡ لَمَّا یَلۡحَقُوۡا بِہِمۡ ؕ وَ ہُوَ الۡعَزِیۡزُ
الۡحَکِیۡمُ -- dan juga akan
membangkitkannya pada kaum lain dari
antara mereka, yang belum bertemu
dengan mereka. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana,” yang
dikemukakan Allah Swt. dalam firman-Nya:
وَ لَا
تَحۡسَبَنَّ الَّذِیۡنَ قُتِلُوۡا فِیۡ سَبِیۡلِ اللّٰہِ اَمۡوَاتًا ؕ بَلۡ
اَحۡیَآءٌ عِنۡدَ رَبِّہِمۡ یُرۡزَقُوۡنَ ﴿﴾ۙ فَرِحِیۡنَ بِمَاۤ
اٰتٰہُمُ اللّٰہُ مِنۡ فَضۡلِہٖ ۙ وَ یَسۡتَبۡشِرُوۡنَ بِالَّذِیۡنَ لَمۡ
یَلۡحَقُوۡا بِہِمۡ مِّنۡ خَلۡفِہِمۡ ۙ اَلَّا خَوۡفٌ عَلَیۡہِمۡ وَ لَا ہُمۡ
یَحۡزَنُوۡنَ ﴿﴾ۘ
Dan janganlah kamu menyangka mengenai orang-orang yang terbunuh di jalan Allah bahwa mereka itu mati, بَلۡ
اَحۡیَآءٌ عِنۡدَ رَبِّہِمۡ یُرۡزَقُوۡنَ -- tidak,
bahkan mereka itu hidup di sisi Rabb (Tuhan) mereka, mereka diberi
rezeki. فَرِحِیۡنَ بِمَاۤ اٰتٰہُمُ اللّٰہُ
مِنۡ فَضۡلِہٖ -- mereka bergirang
hati dengan apa yang diberikan Allah kepada mereka dari
karunia-Nya, وَ یَسۡتَبۡشِرُوۡنَ بِالَّذِیۡنَ
لَمۡ یَلۡحَقُوۡا بِہِمۡ مِّنۡ خَلۡفِہِمۡ -- dan mereka
bergembira terhadap orang-orang di belakangnya yang belum pernah bergabung dengan mereka, اَلَّا خَوۡفٌ عَلَیۡہِمۡ وَ لَا ہُمۡ یَحۡزَنُوۡنَ -- bahwa tidak
ada ketakutan atas
mereka, dan tidak pula mereka bersedih. (Ali ‘Imran [3]:170-171).
Untuk Menjadi Syuhada Tidak Harus Mati
Terbunuh di “Jalan Allah”
Sehubungan dengan hal itu, dalam firman Allah Swt. berikut ini dikemukakan,
bahwa untuk menjadi syuhada atau
untuk meraih martabat syahid (saksi)
tidaklah mutlak bahwa orang-orang
beriman harus terbunuh secara fisik di dalam peperangan, sebagaimana telah
keliru difahami.
Salah satu contohnya adalah Khalid bin Walid r.a. yang mendapat
gelar kehormatan Syaifullah (pedang Allah), kewafatan
beliau terjadi di tempat tidur karena
sakit. Dengan
demikian “kasus” wafatnya Khalid bin
Walid r.a. di tempat tidur -- dan beliau “meratapi” kewafatannya seperti itu --
sebenarnya merupakan kehendak Allah
Swt. juga, yaitu untuk meredam pendapat keliru bahwa untuk meraih
derajat sebagai syahid atau untuk tergolongan sebagai syuhada tidak harus selalu terbunuh secara fisik di dalam perang agama atau harus mati tenggelam pada saat dalam
perjalanan menuju perang, atau mati akibat wabah pes demi menjaga agar
wabah pes tidak menyebar dan akibat peristiwa-peristiwa lainnya, sebagaimana sabda Nabi Besar
Muhammad saw..
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan sebuah hadits dari
Abu Hurairah r.a., bahwasanya Rasulullah saw. bersabda:
“Syuhadaa’
(orang-orang yang mati syahid) itu ada lima,:
Orang mati karena terkena penyakit tha’un (lepra), orang yang meninggal
karena sakit perut, orang yang mati tenggelam, orang yang tertimpa bangunan
rumah atau tembok; dan orang yang gugur di jalan Allah.”
[HR. Bukhari dan Muslim].
Di dalam Shahih Muslim juga diriwayatkan
sebuah hadits, bahwa Rasulullah saw. bertanya:
“Siapakah diantara kalian yang
terhitung mati syahid?” Para
shahabat menjawab, “Ya Rasulullah! Siapa saja yang terbunuh di jalan Allah, ia adalah syahid.” Nabi saw berkata, ”Kalau begitu, orang yang mati syahid dari kalangan umatku
tentunya sangat sedikit.” Para shahabat pun bertanya, “Lantas, siapakah mereka
yang Rasulullah? Nabi menjawab, “Siapa saja yang terbunuh di jalan Allah, ia
adalah syahid. Siapa saja yang mati
di jalan Allah, ia adalah syahid,
dan siapa saja yang mati karena terserang penyakit lepra ia adalah syahid. Siapa saja yang mati karena sakit perut maka ia adalah syahid.”
[HR. Imam Muslim].
Dalam riwayat lain, Imam Muslim juga
menuturkan sebuah hadits dari Anas bin Malik ra, bahwasanya Rasulullah saw.
bersabda:
“Siapa
saja yang bersungguh-sungguh ingin mendapatkan syahid, maka ia akan diberikan pahala (syahid) meskipun ia tidak
mendapatkannya.” [HR. Imam Muslim].
Imam Thabaraniy mengetengahkan sebuah
riwayat dari Jabir bin ‘Utaik, bahwa Rasulullah saw .bersabda:
“Syahid ada tujuh macam selain gugur (terbunuh) di jalan Allah;
orang yang mati karena penyakit lepra adalah syahid. Orang yang mati tenggelam adalah syahid, orang yang mati karena penyakit bisul perut adalah syahid; orang yang mati terbakar adalah
syahid; orang yang mati karena
tertimpa bangunan atau tembok adalah syahid;
dan wanita yang gugur disaat melahirkan (nifas).”
[HR. Imam
Thabaraniy].
Di dalam hadits yang diriwayatkan Imam
Thabaraniy juga dituturkan, bahwasanya Rasulullah saw. bersabda:
“Siapa
saja yang mati karena terlempar dari kendaraannya, ia adalah syahid.” [HR. Imam Thabaraniy].
Imam Thabaraniy juga meriwayatkan
sebuah hadits, dengan sanad shahih, dari Ibnu Mas’ud, bahwasanya Nabi saw
bersabda:
“Siapa saja yang mati karena
jatuh dari puncak gunung, atau dimangsa bintang buas, atau tenggelam di
laut maka ia syahid di sisi Allah Swt.” [HR. Imam Thabaraniy].
Dalam sebuah riwayat yang dikisahkan
oleh Imam Abu Dawud dituturkan bahwasanya Nabi saw bersabda:
“Siapa saja yang terbunuh karena
mempertahankan hartanya, maka ia mati syahid.
Siapa saja yang terbunuh karena membela keluarganya, nyawanya, atau agamanya,
maka ia mati syahid.” [HR.
Imam
Abu Dawud].
Imam Nasaiy juga mengetengahkan sebuah
hadits shahih dari Suwaid bin Muqarrin, bahwasanya Nabi saw. bersabda:
“Siapa yang terbunuh karena tidak ingin dizalimi maka ia adalah syahid.”[HR. al-Nasaiy,
hadits ini shahih]
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata, “Imam
Daruquthniy telah menshahihkan sebuah hadits yang diriwayatkan Ibnu ‘Umar:
“Kematian
gharib (orang yang terasingkan) termasuk syahid.”[1]
Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits dari
Abu Musa al-Asy’ariy, bahwasanya ada seorang laki-laki mendatangi Rasulullah
saw dan berkata:
“Ada seorang laki-laki berperang karena ingin
mendapatkan ghanimah, ada pula yang berperang untuk diingat (kemasyhuran), dan
ada pula yang berperang supaya kedudukannya tinggi; lantas siapa orang yang
benar-benar berjihad di jalan Allah? Rasulullah saw menjawab, “Siapa saja yang
berperang untuk meninggikan kalimat Allah, maka ia benar-benar berjihad di
jalan Allah.”[HR. Muslim].
Di dalam riwayat Muslim juga dituturkan, bahwa syarat agar memperoleh pahala syahid
di akherat adalah tidak melakukan kemaksiyatan. Imam Muslim menuturkan sebuah riwayat dari ‘Abdullah bin Abi
Qatadah, dari Qatadah, bahwasanya Rasulullah saw. berdiri di antara para
shahabat, dan menyampaikan kepada mereka bahwa jihad di jalan Allah, dan iman
kepada Allah merupakan seutama-utama amal. Seorang laki-laki berdiri dan
bertanya kepada Nabi saw:
“Apakah jika aku gugur di jalan
Allah, semua dosa-dosaku akan terampuni? Nabi saw menjawab, “Ya. Jika engkau terbunuh
di jalan Allah, dan engkau bersabar atas
apa yang menimpa engkau, dan kamu tidak berbuat maksiyat.” Lalu, Rasulullah saw
bertanya lagi, “Apa kata engkau? Laki-laki itu menjawab, “Jika aku terbunuh di
jalan Allah, apakah dosa-dosaku akan terhapus? Nabi saw menjawab, “Benar. Dan engkau
bersabar atas apa yang menimpa engkau dan tidak melakukan maksiyat, kecuali
hutang. Sebab, Jibril a.s. telah mengabarkan hal itu kepadaku.”
[HR. Imam Muslim].
Di dalam hadits lain juga dituturkan
mengenai siksaan Allah Swt. bagi orang yang berperang
supaya dianggap pemberani.
Diriwayatkan oleh Imam Muslim, bahwasanya Rasulullah saw. bersabda:
“Sesungguhnya, orang yang pertama
kali dihisab kelak di hari kiamat adalah seorang laki-laki yang mati syahid.
Kemudian ia membawa amalnya itu di hadapan Allah swt. Allah swt bertanya
kepadanya, “Amal apa yang telah kamu perbuat di dunia? Laki-laki itu menjawab,
“Saya berperang untuk-Mu hingga aku mati syahid.” Allah Swt. berfirman, “Engkau
bohong. Sesungguhnya kamu berperang
agar dikatakan pemberani.” Kemudian
Allah menghisabnya, dan menyeret wajahnya, hingga ia dilemparkan ke dalam
neraka.”[HR. Imam Muslim].
Hadits ini menunjukkan, bahwa orang
yang berperang dengan motif sam’ah (supaya disebut pemberani) tidak
akan mendapatkan pahala syahid di akherat; meskipun di dunia
ia diperlakukan sebagai orang yang mati syahid (tidak dimandikan dan
disholatkan).
Empat Martabat
Ruhani yang Terbuka & “Sirrul-Asrār”
Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani
Sesuai dengan peristiwa “kesyahidan” Khalid bin Walid r.a. di tempat tidur karena sakit
tersebut Allah Swt. berfirman mengenai
martabat syuhada yang
disediakan-Nya bagi para pecinta
hakiki Nabi Besar Muhammad saw. (QS.3:32):
وَ مَنۡ
یُّطِعِ اللّٰہَ وَ الرَّسُوۡلَ فَاُولٰٓئِکَ مَعَ الَّذِیۡنَ اَنۡعَمَ اللّٰہُ
عَلَیۡہِمۡ مِّنَ النَّبِیّٖنَ وَ الصِّدِّیۡقِیۡنَ وَ الشُّہَدَآءِ وَ
الصّٰلِحِیۡنَ ۚ وَ حَسُنَ اُولٰٓئِکَ رَفِیۡقًا ﴿ؕ﴾ ذٰلِکَ الۡفَضۡلُ
مِنَ اللّٰہِ ؕ وَ کَفٰی بِاللّٰہِ عَلِیۡمًا ﴿٪﴾
Dan barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul ini maka mereka akan
termasuk di antara orang-orang
yang Allah memberi
nikmat kepada mereka yakni: nabi-nabi,
shiddiq-shiddiq, syahid-syahid, dan orang-orang shalih, dan mereka itulah sahabat yang sejati. Itulah
karunia dari Allah, dan cukuplah
Allāh Yang Maha Mengetahui. (An-Nisā [4]:70-71).
Mengenai
firman Allah Swt. tentang keempat macam
nikmat ruhani -- nabi-nabi, shiddiq-shiddiq, syahid-syahid,
dan orang-orang shalih -- yang
ditetapkan Allah Swt. bagi orang-orang taat
kepada-Nya dan taat kepada Nabi Besar
Muhammad saw., Syeikh Abdul Qadir
al-Jailani memberikan penjelasan dalam buku Sirrul-Asrār:
“Manusia tidak dapat mencapai hakikat
kecuali dia suci murni, karena sifat-sifat
keduniaannya tidak akan meninggalkannya sehingga hakikat menyata dalam dirinya. Ini
adalah keikhlasan sejati. Kejahilannya hanya akan meninggalkannya bila dia
menerima pengetahuan tentang Zat Allah. Ini tidak dapat dicapai dengan
pelajaran; hanya Allah tanpa pengantaraan bisa mengajarnya.
Bila Allah Yang Maha Tinggi
sendiri yang menjadi Guru, Dia karuniakan ilmu yang dari-Nya sebagaimana
Dia lakukan kepada Khaidhir. Kemudian manusia dengan kesadaran yang
diperolehnya sampai kepada peringkat makrifat di mana dia
mengenali Tuhan-nya dan menyembah-Nya yang dia kenal.
Orang yang sampai kepada suasana ini memiliki
penyaksian ruh suci dan dapat melihat kekasih Allah, Nabi Muhammad
saw.. Ia bisa berbicara dengan baginda saw. mengenai segala
perkara dari awal hingga ke akhirnya, dan semua nabi-nabi yang lain
memberikannya kabar gembira tentang janji penyatuan dengan Yang
dikasihi. Allah menggambarkan
suasana ini:
"Karena Barangsiapa taat kepada Allah dan rasul-Nya,
maka mereka beserta orang-orang yang diberi nikmat yaitu nabi-nabi, shiddiqin, syuhada
dan shalihin dan alangkah baiknya mereka ini sebagai sahabat karib".
(Surah Nisā' ayat 70).
Orang yang tidak bisa menemui pengetahuan
ini di dalam dirinya tidak akan menjadi arif walaupun dia membaca
seribu buah buku. Nikmat yang bisa diharapkan oleh orang yang
mempelajari ilmu dhohir ialah surga; di sana semua yang dapat dilihat
adalah kenyataan Sifat-sifat Ilahi dalam bentuk cahaya.
Tidak terkira bagaimana sempurna pengetahuannya
tentang perkara nyata yang bisa dilihat dan dipercaya,
tetapi ia tidak dapat membantu
seseorang untuk masuk kepada suasana kesucian dan mulia,
yaitu kehampiran (kedekatan) dengan Allah, karena seseorang itu perlu
terbang ke tempat (maqam) tersebut, dan untuk terbang perlu dua
sayap.
Hamba Allah yang sejati adalah
yang terbang ke sana dengan menggunakan dua sayap, yaitu pengetahuan
dhohir dan pengetahuan batin, tidak pernah berhenti di tengah jalan,
tidak tertarik dengan apa sahaja yang ditemui dalam perjalanannya. Allah
berfirman melalui rasul-Nya:
"Hai Hamba-Ku, jika engkau ingin masuk kepada kesucian berhampiran
dengan-Ku jangan pedulikan dunia ini atau pun alam tinggi para
malaikat, tidak juga yang lebih tinggi di mana kamu bisa menerima Sifat-sifat-Ku
yang suci".
Makna Kata Ma’a
Berkenaan
dengan firman Allah Swt. tentang empat
golongan orang-orang yang mendapat nikmat Allah Swt. dalam QS.4:70-71
-- nabi-nabi, shiddiq-shiddiq, syahid-syahid, dan orang-orang
shalih – sebelumnya, di kalangan umat Islam terdapat perbedaan
pendapat mengenai makna kata ma’a, yakni
ada yang mengartikannya:
(1)
“Bersama-sama” walau pun berbeda
dalam derajat ruhani, contohnya semua pejabat
pemerintah mulai dari Lurah
(Kepala Desa) sampai dengan Kepala Negara
(Presiden) bersama-sama dalam satu ruangan dan mendapat perlakuan (fasilitas)
yang sama; atau semua orang mulai dari yang berderajat shalihīn sampai dengan nabiyyīn (nabi-nabi) secara bersama-sama
berada pada satu hadirah Allah Swt. serta perlakuan
yang sama dari Allah Swt..
(2) “Menjadi” atau “termasuk” dalam golongan nabi-nabi, shiddiq-shiddiq,
syahid-syahid, dan orang-orang shalih, dan Allah Swt. akan memperlakukan mereka sesuai
dengan derajat keruhaniannya
masing-masing.
Pendapat yang pertama membuahkan kesimpulan yang menyedihkan yaitu bahwa bagaimana pun patuh-taatnya seorang Muslim kepada Allah Swt. dan Nabi Besar
Muhammad saw. (QS.3:32), tetapi mereka tetap tidak akan pernah dapat meraih martabat shālihīn, syuhada
(saksi-saksi), shiddiqīn apalagi
meraih martabat nabiyyīn (nabi-nabi)
serta mereka tidak berhak disebut sebagai shalih,
syahid, shiddiq mau pun nabi.
Pendapat yang kedua membuahkan kesimpulan yang menggembirakan
yaitu bahwa apabila seorang Muslim benar-benar patuh-taat kepada Allah Swt. dan Nabi Besar Muhammad saw. (QS.3:32),
maka mereka dapat meraih
martabat shālihīn, syuhada (saksi-saksi), shiddiqīn termasuk meraih martabat nabiyyīn (nabi-nabi) serta
mereka sesuai maqam
(martabat) ruhaninya masing-masing berhak disebut sebagai shalih, syahid, shiddiq mau pun nabi.
Kata depan ma’a dalam ayat فَاُولٰٓئِکَ مَعَ
الَّذِیۡنَ اَنۡعَمَ اللّٰہُ عَلَیۡہِمۡ -- menunjukkan adanya dua orang atau lebih, bersama
pada suatu tempat atau pada satu saat, kedudukan, pangkat atau keadaan. Kata itu mengandung arti bantuan, seperti tercantum dalam QS.9:40
(Al-Mufradat), yakni Nabi Besar Muhammad saw. bersabda kepada Abu
Bakar Shiddiq r.a. ketika keduanya bersembunyi di gua Tsaur dari kejaran para
pemuka kaum kafir Mekkah yang sudah berada di depan gua: لَا تَحۡزَنۡ اِنَّ اللّٰہَ مَعَنَا
-- “jangan bersedih sesungguhnya
Allah bersama kita” Kata itu
dipergunakan pada beberapa tempat dalam Al-Quran dengan artian fi
artinya “di antara” (QS.3:194; QS.4:
147).
Ayat ini sangat penting sebab ia
menerangkan semua jalur kemajuan ruhani
yang terbuka bagi kaum Muslimin.
Keempat martabat keruhanian — nabi-nabi,
shiddiq-shiddiq, syuhada
(saksi-saksi) dan orang-orang saleh — kini
semuanya dapat dicapai hanya dengan jalan mengikuti
Nabi Besar Muhammad saw. (QS.3: 32
& 86; QS.33:22) Hal
ini merupakan kehormatan khusus bagi Nabi Besar Muhammad saw. semata.
Tidak ada nabi lain menyamai Nabi Besar Muhammad saw. dalam perolehan nikmat ini. Kesimpulan itu lebih lanjut ditunjang oleh ayat yang
membicarakan nabi-nabi secara umum
dan mengatakan: “Dan orang-orang yang
beriman kepada Allah dan para rasul-Nya, mereka adalah orang-orang shiddiq dan saksi-saksi (syuhada) di sisi Rabb
(Tuhan) mereka” (QS.57: 20).
Apabila kedua ayat ini dibaca
bersama-sama maka kedua ayat itu berarti bahwa, kalau para pengikut nabi-nabi
lainnya dapat mencapai martabat shiddiq,
syahid, dan shalih dan tidak lebih tinggi dari itu, maka pengikut hakiki Nabi
Besar Muhammad saw. dapat
naik ke martabat nabi juga, yakni nabi yang tidak membawa syariat sebab agama Islam (Al-Quran)
merupakan agama terakhir dan tersempurna (QS.5:4).
Kenabian yang Khusus dan Kenabian
yang Umum
Kitab “Bahr-ul-Muhit” (jilid III, hlm. 287) menukil Al-Raghib yang
mengatakan: “Tuhan telah membagi
orang-orang beriman dalam empat golongan
dalam ayat ini, dan telah menetapkan bagi mereka empat tingkatan, sebagian di
antaranya lebih rendah dari yang lain, dan Dia telah mendorong orang-orang
beriman sejati agar jangan tertinggal dari keempat tingkatan ini.” Dan
membubuhkan bahwa: “Kenabian itu ada dua
macam: umum dan khusus. Kenabian
khusus, yakni kenabian yang membawa syariat, sekarang tidak dapat dicapai
lagi; tetapi kenabian yang umum masih tetap dapat dicapai.”
Dengan demikian jelaslah
bahwa pengutipan firman Allah Swt. tersebut (QS.4:70) oleh Syeikh Abdul Qadir Jailani dalam buku Sirrul Asrār mengandung makna
yang sangat dalam:
“….Bila Allah Yang Maha
Tinggi sendiri yang menjadi Guru, Dia karuniakan ilmu yang
dari-Nya sebagaimana Dia lakukan kepada Khaidhir. Kemudian manusia
dengan kesadaran yang diperolehnya sampai kepada peringkat makrifat
di mana dia mengenali Tuhan-nya dan menyembah-Nya yang dia kenal.
Orang yang sampai kepada suasana ini memiliki
penyaksian ruh suci dan dapat melihat kekasih Allah, Nabi Muhammad
saw.. Ia bisa berbicara dengan baginda saw. mengenai segala
perkara dari awal hingga ke akhirnya, dan semua nabi-nabi yang lain
memberikannya kabar gembira tentang janji penyatuan dengan Yang
dikasihi. Allah menggambarkan
suasana ini:
"Karena Barangsiapa taat kepada Allah dan rasul-Nya,
maka mereka beserta orang-orang yang diberi nikmat yaitu nabi-nabi, shiddiqin, syuhada
dan shalihin dan alangkah baiknya mereka ini sebagai sahabat karib".
(Surah Nisā' ayat 70).
Orang yang tidak bisa menemui pengetahuan
ini di dalam dirinya tidak akan menjadi arif walaupun dia membaca
seribu buah buku. Nikmat yang bisa diharapkan oleh orang yang
mempelajari ilmu dhohir ialah surga; di sana semua yang dapat dilihat
adalah kenyataan Sifat-sifat Ilahi dalam bentuk cahaya.
Tidak terkira bagaimana sempurna pengetahuannya
tentang perkara nyata yang bisa dilihat dan dipercaya,
tetapi ia tidak dapat membantu
seseorang untuk masuk kepada suasana kesucian dan mulia,
yaitu kehampiran (kedekatan) dengan Allah, karena seseorang itu perlu
terbang ke tempat (maqam) tersebut, dan untuk terbang perlu dua
sayap.
Hamba Allah yang sejati adalah
yang terbang ke sana dengan menggunakan dua sayap, yaitu pengetahuan
dhohir dan pengetahuan batin, tidak pernah berhenti di tengah jalan,
tidak tertarik dengan apa sahaja yang ditemui dalam perjalanannya. Allah
berfirman melalui rasul-Nya:
"Hai Hamba-Ku, jika engkau ingin masuk kepada kesucian berhampiran
dengan-Ku jangan pedulikan dunia ini atau pun alam tinggi para
malaikat, tidak juga yang lebih tinggi di mana kamu bisa menerima Sifat-sifat-Ku
yang suci".
Jadi,
menurut Allah Swt. dalam Al-Quran bahwa
bagi para pencinta hakiki
Nabi Besar Muhammad saw. di atas martabat syuhada (saksi-saksi) ada dua
martabat ruhani yang lebih tinggi yakni nabiyyīn
(nabi-nabi) dan shiddiqīn, yang untuk
memperolehnya tidak harus “membunuh” atau “terbunuh” di jalan Allah,
sebagaimana yang secara
keliru difahami oleh para
penganut faham “garis keras”, firman-Nya:
ہُوَ
الَّذِیۡ بَعَثَ فِی الۡاُمِّیّٖنَ
رَسُوۡلًا مِّنۡہُمۡ یَتۡلُوۡا
عَلَیۡہِمۡ اٰیٰتِہٖ وَ یُزَکِّیۡہِمۡ
وَ یُعَلِّمُہُمُ الۡکِتٰبَ وَ
الۡحِکۡمَۃَ ٭ وَ اِنۡ کَانُوۡا
مِنۡ قَبۡلُ لَفِیۡ ضَلٰلٍ
مُّبِیۡنٍ ۙ﴿﴾ وَّ اٰخَرِیۡنَ مِنۡہُمۡ لَمَّا یَلۡحَقُوۡا بِہِمۡ ؕ وَ ہُوَ الۡعَزِیۡزُ
الۡحَکِیۡمُ ﴿﴾ ذٰلِکَ فَضۡلُ
اللّٰہِ یُؤۡتِیۡہِ مَنۡ یَّشَآءُ ؕ وَ اللّٰہُ
ذُو الۡفَضۡلِ الۡعَظِیۡمِ ﴿﴾
Dia-lah Yang telah membangkitkan di kalangan bangsa
yang buta huruf seorang rasul dari antara mereka, yang membacakan kepada mereka Tanda-tanda-Nya, dan mensucikan
mereka, dan mengajarkan kepada mereka
Kitab dan Hikmah walaupun
sebelumnya mereka berada dalam kesesatan
yang nyata, وَّ اٰخَرِیۡنَ مِنۡہُمۡ لَمَّا
یَلۡحَقُوۡا بِہِمۡ ؕ وَ ہُوَ
الۡعَزِیۡزُ الۡحَکِیۡمُ -- dan juga akan membangkitkannya pada kaum lain dari antara mereka, yang belum bertemu dengan mereka. Dan Dia-lah
Yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana. ذٰلِکَ فَضۡلُ اللّٰہِ یُؤۡتِیۡہِ مَنۡ
یَّشَآءُ ؕ -- Itulah karunia
Allah, Dia menganugerahkannya kepada
siapa yang Dia kehendaki. وَ اللّٰہُ
ذُو الۡفَضۡلِ الۡعَظِیۡمِ -- dan Allah mempunyai karunia yang besar. (Al-Jumu’ah
[62]:3-5). Lihat pula QS,11:18;
QS,7:35-37; QS.61:10; QS.77:12.
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik
Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 4 Agustus
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar