بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم
Khazanah
Ruhani Surah Shād
Bab 293
Larangan Melampaui Batas “Adab Berperang” Dalam Melakukan Perang
& “Perjanjian Tidak tertulis”
Antara Nabi Besar Muhammad Saw. dengan Orang-orang
Musyrik Mengenai Kemenangan Akhir Umat Islam
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan mengenai keteguhan
yang diperagakan para sahabah Nabi
Besar Muhammad saw. tersebut tidak bisa disamakan dengan mereka yang bersemangat melakukan “jihad” dengan cara melakukan “bom bunuh diri” untuk menjadi
para “pengantin di surga”,
sebab peperangan atau jihad di jalan Allah yang dilakukan oleh para sahabah Nabi Besar Muhammad saw., mereka itu bukan saja tetap menjunjung tinggi nilai-nilai ketakwaan kepada Allah Swt., dan ketaatan kepada Nabi Besar Muhammad saw., tetapi juga mereka
melaksanaan kaidah-kaidah
(aturan-aturan) perang yang telah
ditetapkan Allah Swt. melalui Nabi Besar Muhammad saw..
Contohnya,
dalam perang tidak boleh membunuh kaum perempuan, anak-anak, mau
pun orang-orang yang sudah tua renta, tidak
boleh merusak mayat pihak lawan, tidak boleh menghancurkan fasilitas-fasilitas
umum, seperti rumah-sakit, sekolah, rumah ibadah, kantor-kantor
pemerintah serta perumahan penduduk
atau tempat-tempat yang dianggap suci,
kecuali jika dijadikan pihak musuh
sebagai persembunyian dan guna
melakukan penyerangan.
Aturan Perang Menurut Ajaran Islam (Al-Quran)
Tetapi jika yang
terjadi adalah sebaliknya -- yakni
pihak musuh menjadi tempat-tempat
tersebut sebagai basis pertahanan dan
penyerangan mereka -- bahkan ajaran
Islam (Al-Quran) memberikan izin kepada umat
Islam untuk berperang di wilayah-wilayah
yang dianggap suci sekali pun, jika terbukti pihak lawan melakukan penyerangan dari tempat-tempat yang dilarang
dijadikan medan pertempuran tersebut, firman-Nya:
وَ قَاتِلُوۡا فِیۡ سَبِیۡلِ
اللّٰہِ الَّذِیۡنَ یُقَاتِلُوۡنَکُمۡ وَ لَا تَعۡتَدُوۡا ؕ اِنَّ
اللّٰہَ لَا یُحِبُّ الۡمُعۡتَدِیۡنَ ﴿﴾ وَ
اقۡتُلُوۡہُمۡ حَیۡثُ ثَقِفۡتُمُوۡہُمۡ وَ اَخۡرِجُوۡہُمۡ مِّنۡ حَیۡثُ اَخۡرَجُوۡکُمۡ وَ الۡفِتۡنَۃُ اَشَدُّ مِنَ الۡقَتۡلِ ۚ وَ لَا تُقٰتِلُوۡہُمۡ عِنۡدَ الۡمَسۡجِدِ الۡحَرَامِ حَتّٰی یُقٰتِلُوۡکُمۡ فِیۡہِ ۚ فَاِنۡ قٰتَلُوۡکُمۡ
فَاقۡتُلُوۡہُمۡ ؕ کَذٰلِکَ جَزَآءُ الۡکٰفِرِیۡنَ ﴿﴾
Dan perangilah orang-orang yang memerangi kamu di jalan Allah,
وَ لَا تَعۡتَدُوۡا -- tetapi janganlah kamu melampaui batas, اِنَّ اللّٰہَ لَا یُحِبُّ الۡمُعۡتَدِیۡنَ -- sesungguhnya Allah tidak mencintai orang-orang yang melampaui
batas. وَ اقۡتُلُوۡہُمۡ حَیۡثُ ثَقِفۡتُمُوۡہُمۡ وَ اَخۡرِجُوۡہُمۡ مِّنۡ حَیۡثُ اَخۡرَجُوۡکُمۡ -- Dan bunuhlah mereka di mana pun kamu dapati mereka, usirlah
mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu, وَ الۡفِتۡنَۃُ اَشَدُّ مِنَ الۡقَتۡلِ -- dan fitnah
itu lebih buruk daripada pembunuhan.
وَ لَا تُقٰتِلُوۡہُمۡ عِنۡدَ الۡمَسۡجِدِ الۡحَرَامِ
-- Tetapi janganlah kamu
memerangi mereka di dekat Masjidilharam, حَتّٰی یُقٰتِلُوۡکُمۡ فِیۡہِ ۚ فَاِنۡ قٰتَلُوۡکُمۡ فَاقۡتُلُوۡہُمۡ -- hingga mereka
terlebih dulu memerangi kamu di
sana, فَاِنۡ قٰتَلُوۡکُمۡ فَاقۡتُلُوۡہُمۡ -- tetapi jika
mereka memerangi kamu maka bunuhlah
mereka, ؕ کَذٰلِکَ جَزَآءُ الۡکٰفِرِیۡنَ -- demikianlah balasan bagi orang-orang kafir. (Al-Baqarah
[2]:191-192).
Ayat ini salah satu dari ayat-ayat
paling awal yang di dalamnya izin
untuk berperang diberikan kepada kaum
Muslimin. Sedangkan ayat yang
pertama-tama diwahyukan dalam hubungan ini ialah QS.22:40. Ayat yang dibahas
ini mengandung intisari syarat-syarat
yang mengatur perang agamawi:
(a)
Perang demikian harus diadakan dengan tujuan melenyapkan rintangan-rintangan yang terletak di jalan Allah, yaitu untuk menjamin kebebasan menganut kepercayaan dan melaksanakan ibadah.
(b)
Perang hanya ditujukan terhadap mereka yang terlebih
dahulu mengangkat senjata melawan kaum Muslimin.
(c)
Kaum Muslimin harus meletakkan senjata
segera sesudah musuh menghentikan peperangan.
Ayat
ini bertalian dengan keadaan bila peperangan
telah sungguh-sungguh pecah. Dengan tegas ayat ini memerintahkan kaum Muslimin memerangi hanya orang-orang kafir yang terlebih dahulu mengangkat senjata terhadap mereka.
Ayat وَ اَخۡرِجُوۡہُمۡ مِّنۡ حَیۡثُ اَخۡرَجُوۡکُمۡ -- “dan usirlah mereka dari tempat mereka telah
mengusir kamu,” perintah ini ini
berarti bahwa Mekkah sebagai pusat dan tempat yang paling suci bagi Islam, tiada orang bukan-Muslim boleh diizinkan tinggal di situ.
Selanjutnya
Allah Swt. berfirman mengenai pentingnya
umat Islam segera merespon perdamaian atau “gencatan
senjata” yang diajukan phak musuh:
فَاِنِ انۡتَہَوۡا فَاِنَّ اللّٰہَ غَفُوۡرٌ رَّحِیۡمٌ ﴿﴾ وَ قٰتِلُوۡہُمۡ حَتّٰی لَا
تَکُوۡنَ
فِتۡنَۃٌ وَّ یَکُوۡنَ الدِّیۡنُ لِلّٰہِ ؕ فَاِنِ انۡتَہَوۡا فَلَا عُدۡوَانَ اِلَّا عَلَی الظّٰلِمِیۡنَ﴿﴾
Tetapi jika mereka berhenti maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun, Maha
Penyayang. وَ قٰتِلُوۡہُمۡ حَتّٰی لَا تَکُوۡنَ فِتۡنَۃٌ وَّ یَکُوۡنَ الدِّیۡنُ لِلّٰہِ -- dan perangilah
mereka sehingga tidak ada lagi
fitnah dan agama itu semata-mata
hanya untuk Allah. Tetapi jika mereka berhenti maka tidak ada lagi permusuhan
kecuali terhadap orang-orang yang zalim. (Al-Baqarah
[2]:193-194).
Ayat وَ قٰتِلُوۡہُمۡ حَتّٰی لَا تَکُوۡنَ فِتۡنَۃٌ وَّ یَکُوۡنَ الدِّیۡنُ لِلّٰہِ -- dan perangilah
mereka sehingga tidak ada lagi
fitnah dan agama itu semata-mata
hanya untuk Allah”, ayat ini pun menunjukkan bahwa orang-orang Islam diizinkan berperang membela diri hanya
bila perang dipaksakan kepada mereka
oleh golongan lain, dan meneruskan perang
itu hingga kebebasan agama telah terjamin
sepenuhnya.
Izin Berperang Tidak Ada Hubungannya dengan Upaya Menyebarkan Agama Islam
Nabi Besar Muhammad saw. tidak mungkin
mengadakan sejumlah perjanjian perdamaian
dengan orang-orang kafir, bila perintah Ilahi menghendaki terus berperang sampai saat semua orang kafir – terpaksa -- memeluk
Islam. Kata ‘udwan
dalam ayat فَاِنِ انۡتَہَوۡا فَلَا عُدۡوَانَ اِلَّا عَلَی الظّٰلِمِیۡنَ -- tetapi jika mereka berhenti maka tidak ada lagi permusuhan
kecuali terhadap orang-orang yang zalim”, berarti: (1) permusuhan; (2)
perilaku salah; (3) hukuman atas perilaku salah; dan (4) pendekatan kepada
seseorang dengan jalan mengemukakan kebenaran atau dalih yang berlawanan dengan
dia (Al-Mufradat dan Lexicon Lane).
Jadi,
keempat ayat ayat (191 - 194) Surah Al-Baqarah
mengandung peraturan
peperangan sebagai berikut:
(a)
perang diadakan hanya demi kepentingan
Allah Swt. dan bukan untuk kepentingan apa pun, tidak pula untuk
suatu motif mementingkan diri sendiri
atau untuk kebesaran atau kemajuan nasional atau kepentingan-kepentingan lain;
(b)
orang-orang Islam hanya boleh berperang
dengan mereka yang menyerang kaum Muslim lebih dahulu;
(c)
malahan sekalipun musuh sendiri yang mula-mula menyerang, orang-orang Islam diperintahkan menjaga supaya peperangan ada dalam batas-batas dan tidak boleh
memperluasnya setelah tujuan — yang
langsung — tercapai;
(d)
mereka harus berperang hanya terhadap
pasukan resmi dan tidak menyerang
atau menzalimi yang bukan prajurit;
(e)
selama pertempuran berlangsung jaminan perlindungan harus diberikan
kepada mereka yang mengamalkan ibadah
dan upacara-upacara keagamaan;
(f)
menyerang tempat-tempat keagamaan
atau mendatangkan kerugian apa pun
kepada mereka sama sekali dilarang,
sehingga bukan saja di tempat-tempat
keagamaan sendiri, bahkan di daerah
sekitarnya pun tidak diperkenankan terjadi pertempuran apa pun;
(g)
bila musuh mempergunakan tempat beribadah
sebagai pangkalan untuk menyerang, barulah orang-orang Islam dapat membalas serangan di tempat itu
atau di dekatnya;
(h)
peperangan hanya boleh diteruskan selama gangguan
terhadap kebebasan beragama masih
terus berlangsung. Lihat juga QS.8:40;
QS.9:4-6; QS.22:40, 41 dan sebagainya.
Penjelasan
Allah Swt. dalam beberapa firman-Nya
berikut ini membuktikan, bahwa izin
melakukan peperangan bagi umat Islam sama sekali tidak dengan tujuan untuk memaksa orang-orang lain untuk memeluk
agama Islam, sebagaimana yang dituduhkan
oleh pihak-pihak lain, melainkan hanya merespons atau menanggapi
sikap agresif dan pengkhianatan pihak lawan, firman-Nya:
بَرَآءَۃٌ
مِّنَ اللّٰہِ وَ رَسُوۡلِہٖۤ
اِلَی الَّذِیۡنَ عٰہَدۡتُّمۡ
مِّنَ الۡمُشۡرِکِیۡنَ ؕ﴿﴾ فَسِیۡحُوۡا فِی الۡاَرۡضِ
اَرۡبَعَۃَ اَشۡہُرٍ وَّ اعۡلَمُوۡۤا اَنَّکُمۡ غَیۡرُ مُعۡجِزِی اللّٰہِ ۙ وَ
اَنَّ اللّٰہَ مُخۡزِی
الۡکٰفِرِیۡنَ ﴿﴾
Inilah suatu pernyataan bebas dari
Allah dan Rasul-Nya kepada orang-orang musyrik yang dengan mereka
itu kamu telah membuat perjanjian bahwa kamu pasti akan mendapat kemenangan. Maka jelajahilah bumi ini selama empat bulan dan ketahuilah sesungguhnya kamu
tidak dapat menggagalkan
rencana Allah, dan sesungguhnya
Allah akan menghinakan
orang-orang kafir. (At-Taubah [9]:1-1).
“Perjanjian Tidak tertulis” Umat Islam
dengan Orang-orang Kafir
Barā’ah berarti: suatu pernyataan
guna membuktikan kebenaran janji;
bebas atau cuci-tangan dari suatu kesalahan atau pertanggungjawaban; pembebasan
atau hal berlepas diri dari suatu tuntutan, dan sebagainya. (Taj-ul- ’Arus).
Kata ‘āhada
dalam ayat tersebut tidak dipakai dalam artian mengadakan suatu perjanjian atau persetujuan, melainkan membuat suatu komitmen atau janji
sungguh-sungguh yang menjadikan seseorang
terikat olehnya (Lisan-al-‘Arab).
Ayat ini membuat suatu pernyataan serius bahwa janji Islam dan Nabi Besar
Muhammad saw. telah
terbukti kebenarannya secara sempurna
dengan jatuhnya Mekkah.
Ketika Nabi
Besar Muhammad saw. terusir
dari Mekkah sebagai buronan, dengan tawaran
hadiah bagi siapa yang menangkap
beliau saw. hidup atau mati (QS.8:31; QS.9:40), saat itulah janji tersebut dikumandangkan dengan perkataan yang penuh keyakinan bahwa beliau saw. akan kembali ke Mekkah dengan kejayaan dan kemegahan, firman-Nya:
اِنَّ الَّذِیۡ فَرَضَ عَلَیۡکَ
الۡقُرۡاٰنَ لَرَآدُّکَ اِلٰی مَعَادٍ ؕ قُلۡ رَّبِّیۡۤ اَعۡلَمُ مَنۡ جَآءَ بِالۡہُدٰی وَ مَنۡ ہُوَ
فِیۡ ضَلٰلٍ مُّبِیۡنٍ ﴿﴾
Sesungguhnya Dia
yang telah mewajibkan Al-Quran atas engkau, pasti Dia akan mengembalikan engkau ke tempat kembali yang
telah ditetapkan. Katakanlah: “Rabb-ku (Tuhan-ku) lebih
mengetahui siapa yang membawa petunjuk, dan siapa yang ada dalam kesesatan yang nyata.” (Al-Qashshas [28]:86).
Ayat
ini dianggap oleh beberapa ulama diturunkan tatkala Nabi Besar Muhammad saw. sedang dalam
perjalanan hijrah dari Mekkah ke
Medinah. Ayat ini mengandung nubuatan
besar, yaitu, bahwa pada suatu hari beliau saw. akan terpaksa meninggalkan Mekkah dan kemudian pada
akhirnya akan kembali lagi ke Mekkah sebagai seorang pemenang dan penakluk.
Ayat ini merupakan kelanjutan yang cocok
sekali bagi Surah yang dengan agak rinci membeberkan kisah kehidupan Nabi Musa a.s., yang mempunyai kesamaan dengan kisah Nabi
Besar Muhammad saw., Nabi Musa a.s. melarikan diri (hijrah) dari Mesir dan
tinggal di Midian selama 10 tahun, yang menjadi masa persiapan bagi tugas besar
yang menantikan beliau di kemudian hari. Kemudian beliau kembali lagi ke Mesir
dengan amanat Ilahi dan berhasil
melepaskan orang-orang Bani Israil
dari belenggu perbudakan Fir’aun.
Seperti
itu pula Nabi Besar Muhammad saw. melarikan
diri (hijrah) dari Mekkah dan melewatkan 10 tahun dari kehidupan beliau saw.
yang sangat berharga dan penuh berkat itu di Medinah, yang menjadi masa persiapan untuk tujuan besar, yaitu menaklukkan Mekkah, pusat dan kubu agama beliau saw.. Nabi Besar Muhammad saw. kembali ke Mekkah sebagai seorang penakluk dan seorang pemenang, dan sepenuhnya berhasil dalam
tugas hidup beliau saw..
Jadi, nubuatan
itu telah menjadi sempurna dengan jatuhnya
Mekkah dan dengan tegaknya syariat
Islam di negeri Arab. Dengan demikian
kebenaran Nabi Besar Muhammad saw. telah terbukti dengan sempurna dan
beliau saw. bebas dari tuntutan orang-orang Mekkah bahwa,
sesuai dengan pernyataan beliau saw.
yang berulang-ulang, bahwa kota Mekkah harus jatuh ke tangan beliau
saw.. Itulah makna kata barā-a dalam firman-Nya:
بَرَآءَۃٌ
مِّنَ اللّٰہِ وَ رَسُوۡلِہٖۤ
اِلَی الَّذِیۡنَ عٰہَدۡتُّمۡ
مِّنَ الۡمُشۡرِکِیۡنَ ؕ﴿﴾ فَسِیۡحُوۡا فِی الۡاَرۡضِ
اَرۡبَعَۃَ اَشۡہُرٍ وَّ اعۡلَمُوۡۤا اَنَّکُمۡ غَیۡرُ مُعۡجِزِی اللّٰہِ ۙ وَ
اَنَّ اللّٰہَ مُخۡزِی
الۡکٰفِرِیۡنَ ﴿﴾
Inilah suatu pernyataan bebas dari
Allah dan Rasul-Nya kepada orang-orang musyrik yang dengan mereka
itu kamu telah membuat perjanjian bahwa kamu pasti akan mendapat kemenangan. Maka jelajahilah bumi ini selama empat bulan dan ketahuilah sesungguhnya kamu
tidak dapat menggagalkan
rencana Allah, dan sesungguhnya
Allah akan menghinakan
orang-orang kafir. (At-Taubah [9]:1-1).
Surah
Al-Bara’ah (At-Taubah) Merupakan Kelajutan
Surah Al-Anfāl
Dalam Surah
sebelumnya -- yakni Surah Anfāl -- dinubuatkan
bahwa Allah Swt. akan memberi kemenangan besar kepada orang-orang Islam dan bahwa harta kekayaan dan milik musuh
mereka akan jatuh ke tangan mereka. Nubuatan ini terus-menerus menjadi sumber tertawaan orang-orang kafir
mengenai orang Islam, sebab Allah Swt. —
selaras dengan hikmah kebijaksanaan-Nya
yang tidak pernah salah dan sesuai dengan undang-undang-Nya
yang abadi — telah menunda
penggenapan apa-apa yang dinubuatkan
itu, seiring dengan turunnya wahyu
pada bagian Surah Anfāl, yang
menyebutkan nubuatan itu.
Ketika
kota Mekkah jatuh dan nubuatan
tersebut di atas menjadi sempurna
maka bagian Surah Al-Anfāl yang tadinya tertunda barulah Surah At- Taubah diturunkan.
Bagian itu mulai dengan:
بَرَآءَۃٌ
مِّنَ اللّٰہِ وَ رَسُوۡلِہٖۤ
اِلَی الَّذِیۡنَ عٰہَدۡتُّمۡ
مِّنَ الۡمُشۡرِکِیۡنَ ؕ﴿﴾ فَسِیۡحُوۡا فِی الۡاَرۡضِ
اَرۡبَعَۃَ اَشۡہُرٍ وَّ اعۡلَمُوۡۤا اَنَّکُمۡ غَیۡرُ مُعۡجِزِی اللّٰہِ ۙ وَ
اَنَّ اللّٰہَ مُخۡزِی
الۡکٰفِرِیۡنَ ﴿﴾
Inilah suatu pernyataan bebas dari
Allah dan Rasul-Nya kepada orang-orang musyrik yang dengan mereka
itu kamu telah membuat perjanjian bahwa kamu pasti akan mendapat kemenangan. Maka jelajahilah bumi ini selama empat bulan dan ketahuilah sesungguhnya kamu
tidak dapat menggagalkan
rencana Allah, dan sesungguhnya
Allah akan menghinakan
orang-orang kafir. (At-Taubah [9]:1-1).
Sambil
lalu dapat dicatat di sini, bahwa beberapa ahli tafsir telah mengartikan kata Pernyataan
di atas bahwa jangka waktu empat bulan telah diberikan kepada
orang-orang musyrik yang dengan mereka orang-orang Islam telah mengadakan
perjanjian, dan bahwa jangka waktu tersebut dimaksudkan sebagai satu peringatan
bahwa sesudah itu semua perjanjian dan persetujuan dengan mereka akan dianggap
berakhir.
Penafsiran
terhadap kata بَرَآءَۃٌ -- pernyataaan bebas tersebut nyata sekali tidak benar, sebab jika
dimaksudkan sebagai peringatan untuk
mencabut segala perjanjian dengan mereka, maka tidak ada artinya
merangkaikan pernyataan itu dengan perintah supaya mereka menjelajahi seluruh negeri selama 4 bulan dan melihat dengan mata sendiri,
bahwa maksud dan kehendak membuat persiapan-persiapan secepatnya itu adalah
untuk bertolak ke suatu tempat yang aman serta tidak akan berjalan keliling negeri seperti orang berwisata.
Lagi
pula, jika ayat ini diartikan sebagai peringatan
untuk mengakhiri perjanjian yang telah ada dan untuk memberi batas waktu pada kabilah-kabilah musyrik yang telah bersekutu dengan orang Islam, bagaimanakah dapat dijelaskan ayat
berikutnya yang mengatakan bahwa mereka yang telah mengadakan perjanjian
dengan orang-orang Islam tak boleh diusir
sebelum berakhir masa perjanjian mereka.
Dengan
demikian jelaslah bahwa kata-kata
Al-Quran: alladzīna ‘ahadtum yang dipergunakan dalam ayat pertama Surah Al-Taubah tidak ditujukan kepada suatu perjanjian
atau persetujuan politik, melainkan
hanya kepada pernyataan-pernyataan yang telah dibuat oleh orang-orang Islam dan orang-orang kafir terhadap satu sama
lain mengenai kemenangan terakhir
cita-cita mereka masing-masing.
Berkenaan
dengan pihak Islam, dinyatakan dalam Surah
Al-Anfāl bahwa harta ke-kayaan dan milik orang-orang kafir
akan jatuh ke tangan orang-orang Islam, sedangkan berkenaan dengan pihak orang-orang kafir telah dinyatakan bahwa agama Islam akan dimusnahkan dan mereka akan merampas milik orang-orang Islam.
Pernyataan-pernyataan
yang berlawanan inilah yang secara kiasan telah disebut ‘ahd
yaitu perjanjian dalam ayat tersebut. Orang-orang musyrik
disuruh agar menjelajahi seluruh
bagian negeri dan boleh melihat sendiri, apakah pernyataan dalam Surah Al-Anfāl mengenai kehancuran mereka pada akhirnya telah terbukti benar atau tidak?
Jadi,
pada hakikatnya, Surah Al-Bara’ah atau
At-Taubah hanya merupakan satu pernyataan
mengenai sempurnanya nubuatan agung
dalam Surah Al-Anfāl dan dengan demikian At-Taubah tidak merupakan
satu Surah yang terpisah dari Surah Al-Anfāl.
Singkatnya,
di antara kedua Surah ini terdapat suatu hubungan
yang amat nyata sehingga kedua-duanya
sebenarnya merupakan satu Surah belaka, sebab seperti disebutkan di
atas, Surah Al-Anfāl diturunkan di
masa Perang Badar dan di dalamnya
tercantum nubuatan yang jelas
mengenai kesudahan orang-orang kafir.
Kemudian sesudah pertempuran terakhir
dengan orang-orang musyrik Mekkah usai, diwahyukan Surah Al-Bara’ah (At-Taubah) untuk mengumumkan
sempurnanya nubuatan itu dan
terbitnya suatu masa baru.
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik
Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 24 Juli
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar