Jumat, 15 Agustus 2014

Larangan Melampaui Batas "Adab Berperang" Dalam Melakukan Perang & "Perjanjian Tidak Tertulis" Antara Nabi Besar Muhammad Saw. dengan Orang-orang Musyrik Mengenai Kemenangan Islam




بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم

  
Khazanah Ruhani Surah  Shād


Bab   293

     Larangan Melampaui Batas “Adab Berperang” Dalam Melakukan Perang & “Perjanjian Tidak tertulis” Antara   Nabi Besar Muhammad Saw.  dengan Orang-orang Musyrik  Mengenai Kemenangan Akhir Umat Islam


 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

D
alam akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan mengenai keteguhan yang diperagakan para sahabah Nabi Besar Muhammad saw.  tersebut tidak bisa disamakan dengan mereka yang bersemangat melakukan “jihad” dengan cara melakukan “bom bunuh diri” untuk   menjadi  para “pengantin di surga”, sebab peperangan atau jihad di jalan Allah yang dilakukan oleh para sahabah Nabi Besar Muhammad saw., mereka  itu bukan saja tetap  menjunjung tinggi nilai-nilai ketakwaan kepada Allah Swt., dan ketaatan kepada Nabi Besar Muhammad saw., tetapi juga mereka melaksanaan kaidah-kaidah (aturan-aturan) perang yang telah ditetapkan Allah Swt. melalui Nabi Besar Muhammad saw..
   Contohnya, dalam perang tidak boleh membunuh kaum perempuan, anak-anak, mau pun orang-orang yang sudah tua renta,    tidak  boleh  merusak mayat pihak lawan, tidak boleh menghancurkan  fasilitas-fasilitas umum, seperti rumah-sakit, sekolah, rumah ibadah,  kantor-kantor pemerintah serta perumahan penduduk atau tempat-tempat yang dianggap suci, kecuali jika   dijadikan pihak musuh sebagai  persembunyian dan guna  melakukan  penyerangan.

Aturan  Perang Menurut Ajaran Islam (Al-Quran)

   Tetapi jika yang terjadi adalah sebaliknya   -- yakni pihak musuh  menjadi tempat-tempat tersebut sebagai basis pertahanan dan penyerangan mereka --  bahkan ajaran Islam (Al-Quran) memberikan izin  kepada umat Islam untuk berperang di wilayah-wilayah yang dianggap suci sekali pun,  jika terbukti pihak lawan melakukan penyerangan dari tempat-tempat yang  dilarang dijadikan medan pertempuran tersebut, firman-Nya:
وَ قَاتِلُوۡا فِیۡ سَبِیۡلِ اللّٰہِ الَّذِیۡنَ یُقَاتِلُوۡنَکُمۡ وَ لَا تَعۡتَدُوۡا ؕ اِنَّ اللّٰہَ  لَا یُحِبُّ الۡمُعۡتَدِیۡنَ ﴿﴾ وَ اقۡتُلُوۡہُمۡ حَیۡثُ ثَقِفۡتُمُوۡہُمۡ وَ اَخۡرِجُوۡہُمۡ مِّنۡ حَیۡثُ اَخۡرَجُوۡکُمۡ وَ الۡفِتۡنَۃُ اَشَدُّ مِنَ الۡقَتۡلِ ۚ وَ لَا تُقٰتِلُوۡہُمۡ عِنۡدَ الۡمَسۡجِدِ الۡحَرَامِ حَتّٰی یُقٰتِلُوۡکُمۡ فِیۡہِ ۚ فَاِنۡ قٰتَلُوۡکُمۡ فَاقۡتُلُوۡہُمۡ ؕ  کَذٰلِکَ جَزَآءُ الۡکٰفِرِیۡنَ ﴿﴾
Dan  perangilah  orang-orang yang memerangi kamu di jalan Allah, وَ لَا تَعۡتَدُوۡا  -- tetapi janganlah kamu melampaui batas, اِنَّ اللّٰہَ  لَا یُحِبُّ الۡمُعۡتَدِیۡنَ  -- sesungguhnya Allah tidak mencintai orang-orang yang melampaui batas. وَ اقۡتُلُوۡہُمۡ حَیۡثُ ثَقِفۡتُمُوۡہُمۡ وَ اَخۡرِجُوۡہُمۡ مِّنۡ حَیۡثُ اَخۡرَجُوۡکُمۡ  --   Dan bunuhlah mereka  di mana pun kamu dapati mereka,  usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu, وَ الۡفِتۡنَۃُ اَشَدُّ مِنَ الۡقَتۡلِ --  dan fitnah itu lebih buruk daripada pembunuhan. وَ لَا تُقٰتِلُوۡہُمۡ عِنۡدَ الۡمَسۡجِدِ الۡحَرَامِ  -- Tetapi janganlah kamu memerangi mereka di dekat Masjidilharam, حَتّٰی یُقٰتِلُوۡکُمۡ فِیۡہِ ۚ فَاِنۡ قٰتَلُوۡکُمۡ فَاقۡتُلُوۡہُمۡ  --  hingga mereka terlebih dulu memerangi kamu di sana, فَاِنۡ قٰتَلُوۡکُمۡ فَاقۡتُلُوۡہُمۡ   --  tetapi jika mereka memerangi kamu maka bunuhlah mereka, ؕ  کَذٰلِکَ جَزَآءُ الۡکٰفِرِیۡنَ  -- demikianlah balasan bagi orang-orang kafir. (Al-Baqarah [2]:191-192).
        Ayat ini salah satu dari ayat-ayat paling awal yang di dalamnya izin untuk berperang diberikan kepada kaum Muslimin. Sedangkan ayat yang pertama-tama diwahyukan dalam hubungan ini ialah QS.22:40. Ayat yang dibahas ini mengandung intisari syarat-syarat yang mengatur perang agamawi:
     (a) Perang demikian harus diadakan dengan tujuan melenyapkan rintangan-rintangan yang terletak di jalan Allah, yaitu untuk menjamin kebebasan menganut kepercayaan dan melaksanakan ibadah.
       (b) Perang hanya ditujukan terhadap mereka yang terlebih dahulu mengangkat senjata melawan kaum Muslimin.
    (c) Kaum Muslimin harus meletakkan senjata segera sesudah musuh menghentikan peperangan.
        Ayat ini bertalian dengan keadaan bila peperangan telah sungguh-sungguh pecah. Dengan tegas ayat ini memerintahkan kaum Muslimin memerangi hanya orang-orang kafir yang terlebih dahulu mengangkat senjata terhadap mereka.
        Ayat  وَ اَخۡرِجُوۡہُمۡ مِّنۡ حَیۡثُ اَخۡرَجُوۡکُمۡ   -- “dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu,” perintah ini  ini berarti bahwa Mekkah sebagai pusat dan tempat yang paling suci bagi Islam, tiada orang bukan-Muslim boleh diizinkan tinggal di situ.
      Selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai pentingnya  umat Islam segera merespon perdamaian  atau “gencatan senjata” yang diajukan phak musuh:
فَاِنِ انۡتَہَوۡا فَاِنَّ اللّٰہَ غَفُوۡرٌ رَّحِیۡمٌ ﴿﴾ وَ قٰتِلُوۡہُمۡ حَتّٰی لَا تَکُوۡنَ فِتۡنَۃٌ وَّ یَکُوۡنَ الدِّیۡنُ  لِلّٰہِ ؕ فَاِنِ انۡتَہَوۡا فَلَا عُدۡوَانَ  اِلَّا عَلَی الظّٰلِمِیۡنَ﴿﴾
Tetapi  jika mereka berhenti  maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.  وَ قٰتِلُوۡہُمۡ حَتّٰی لَا تَکُوۡنَ فِتۡنَۃٌ وَّ یَکُوۡنَ الدِّیۡنُ  لِلّٰہِ   --  dan  perangilah mereka sehingga tidak ada lagi fitnah dan   agama itu  semata-mata hanya untuk   Allah. Tetapi jika mereka berhenti  maka tidak ada lagi  permusuhan kecuali terhadap orang-orang  yang zalim.   (Al-Baqarah [2]:193-194). 
         Ayat    وَ قٰتِلُوۡہُمۡ حَتّٰی لَا تَکُوۡنَ فِتۡنَۃٌ وَّ یَکُوۡنَ الدِّیۡنُ  لِلّٰہِ   --  dan  perangilah mereka sehingga tidak ada lagi fitnah dan   agama itu  semata-mata hanya untuk  Allah”,   ayat ini pun menunjukkan bahwa orang-orang Islam diizinkan berperang membela diri hanya bila perang dipaksakan kepada mereka oleh golongan lain,  dan meneruskan  perang itu  hingga kebebasan agama telah terjamin sepenuhnya.

Izin Berperang Tidak Ada Hubungannya dengan Upaya Menyebarkan Agama Islam

      Nabi Besar Muhammad saw. tidak mungkin mengadakan sejumlah perjanjian perdamaian dengan orang-orang kafir, bila perintah Ilahi menghendaki terus berperang sampai saat semua orang kafir – terpaksa   -- memeluk IslamKata  ‘udwan dalam   ayat فَاِنِ انۡتَہَوۡا فَلَا عُدۡوَانَ  اِلَّا عَلَی الظّٰلِمِیۡنَ   --  tetapi jika mereka berhenti  maka tidak ada lagi  permusuhan kecuali terhadap orang-orang  yang zalim”, berarti: (1) permusuhan; (2) perilaku salah; (3) hukuman atas perilaku salah; dan (4) pendekatan kepada seseorang dengan jalan mengemukakan kebenaran atau dalih yang berlawanan dengan dia (Al-Mufradat dan Lexicon Lane).
        Jadi, keempat ayat ayat (191 - 194) Surah Al-Baqarah     mengandung peraturan peperangan sebagai berikut:
     (a) perang diadakan hanya demi kepentingan Allah Swt.  dan bukan untuk kepentingan apa pun, tidak pula untuk suatu motif mementingkan diri sendiri atau untuk kebesaran atau kemajuan nasional atau kepentingan-kepentingan lain;
        (b) orang-orang Islam hanya boleh berperang dengan mereka yang menyerang kaum Muslim lebih dahulu;
       (c) malahan sekalipun musuh sendiri yang mula-mula menyerang, orang-orang Islam diperintahkan menjaga supaya peperangan ada dalam batas-batas dan tidak boleh memperluasnya setelah tujuan — yang langsung — tercapai;
       (d) mereka harus berperang hanya terhadap pasukan resmi dan tidak menyerang atau menzalimi yang bukan prajurit;
     (e) selama pertempuran berlangsung jaminan perlindungan harus diberikan kepada mereka yang mengamalkan ibadah dan upacara-upacara keagamaan;
        (f) menyerang tempat-tempat keagamaan atau mendatangkan kerugian apa pun kepada mereka sama sekali dilarang, sehingga bukan saja di tempat-tempat keagamaan sendiri, bahkan di daerah sekitarnya pun tidak diperkenankan terjadi pertempuran apa pun;
      (g) bila musuh mempergunakan tempat beribadah sebagai pangkalan untuk menyerang, barulah orang-orang Islam dapat membalas serangan di tempat itu atau di dekatnya;
        (h) peperangan hanya boleh diteruskan selama gangguan terhadap kebebasan beragama masih terus berlangsung.  Lihat juga QS.8:40; QS.9:4-6; QS.22:40, 41 dan sebagainya.
       Penjelasan Allah Swt. dalam beberapa firman-Nya  berikut ini membuktikan, bahwa izin melakukan peperangan bagi umat Islam sama sekali tidak dengan tujuan untuk memaksa orang-orang lain untuk memeluk agama Islam, sebagaimana yang dituduhkan oleh pihak-pihak lain, melainkan hanya merespons  atau menanggapi sikap agresif  dan pengkhianatan   pihak lawan, firman-Nya:
بَرَآءَۃٌ  مِّنَ اللّٰہِ وَ رَسُوۡلِہٖۤ  اِلَی الَّذِیۡنَ عٰہَدۡتُّمۡ  مِّنَ  الۡمُشۡرِکِیۡنَ ؕ﴿﴾ فَسِیۡحُوۡا فِی الۡاَرۡضِ اَرۡبَعَۃَ  اَشۡہُرٍ وَّ اعۡلَمُوۡۤا  اَنَّکُمۡ غَیۡرُ مُعۡجِزِی اللّٰہِ ۙ وَ اَنَّ  اللّٰہَ  مُخۡزِی  الۡکٰفِرِیۡنَ ﴿﴾
Inilah suatu pernyataan bebas  dari Allah dan Rasul-Nya kepada orang-orang musyrik yang dengan mereka itu kamu telah membuat perjanjian    bahwa kamu pasti akan mendapat kemenangan.   Maka jelajahilah bumi ini selama empat bulan dan ketahuilah  sesungguhnya kamu tidak dapat  menggagalkan rencana Allah, dan   sesungguhnya  Allah akan menghinakan orang-orang kafir. (At-Taubah [9]:1-1). 

Perjanjian Tidak tertulis” Umat Islam dengan Orang-orang Kafir

         Barā’ah berarti: suatu pernyataan guna membuktikan kebenaran janji; bebas atau cuci-tangan dari suatu kesalahan atau pertanggungjawaban; pembebasan atau hal berlepas diri dari suatu tuntutan, dan sebagainya. (Taj-ul- ’Arus).
         Kata ‘āhada dalam ayat tersebut   tidak dipakai dalam artian mengadakan suatu perjanjian atau persetujuan, melainkan membuat suatu komitmen atau janji sungguh-sungguh yang menjadikan seseorang terikat olehnya (Lisan-al-‘Arab). Ayat ini membuat suatu pernyataan serius bahwa janji Islam dan Nabi Besar Muhammad saw.     telah terbukti kebenarannya secara sempurna dengan jatuhnya Mekkah.
       Ketika  Nabi Besar Muhammad saw.    terusir dari Mekkah sebagai buronan, dengan tawaran hadiah bagi siapa yang menangkap beliau saw. hidup atau mati (QS.8:31; QS.9:40),  saat itulah janji tersebut dikumandangkan dengan perkataan yang penuh keyakinan bahwa beliau saw. akan kembali ke Mekkah dengan kejayaan dan kemegahan, firman-Nya:
اِنَّ الَّذِیۡ فَرَضَ عَلَیۡکَ الۡقُرۡاٰنَ لَرَآدُّکَ اِلٰی مَعَادٍ ؕ قُلۡ رَّبِّیۡۤ  اَعۡلَمُ مَنۡ جَآءَ بِالۡہُدٰی وَ مَنۡ ہُوَ فِیۡ ضَلٰلٍ مُّبِیۡنٍ ﴿﴾
Sesungguhnya Dia yang telah mewajibkan Al-Quran atas engkau, pasti Dia akan mengembalikan engkau ke tempat kembali yang telah ditetapkan. Katakanlah: Rabb-ku (Tuhan-ku) lebih mengetahui siapa yang membawa petunjuk, dan siapa yang ada dalam kesesatan yang nyata.” (Al-Qashshas [28]:86).
       Ayat ini dianggap oleh beberapa ulama diturunkan tatkala  Nabi Besar Muhammad saw. sedang dalam perjalanan hijrah dari Mekkah ke Medinah. Ayat ini mengandung nubuatan besar, yaitu, bahwa pada suatu hari beliau saw. akan terpaksa meninggalkan Mekkah dan kemudian pada akhirnya akan kembali lagi ke Mekkah sebagai seorang pemenang dan penakluk.
           Ayat ini merupakan kelanjutan yang cocok sekali bagi Surah yang dengan agak rinci membeberkan kisah kehidupan Nabi Musa a.s., yang mempunyai kesamaan dengan kisah  Nabi Besar Muhammad saw.,  Nabi Musa a.s. melarikan diri (hijrah) dari Mesir dan tinggal di Midian selama 10 tahun, yang menjadi masa persiapan bagi tugas besar yang menantikan beliau di kemudian hari. Kemudian beliau kembali lagi ke Mesir dengan amanat Ilahi dan berhasil melepaskan orang-orang Bani Israil dari belenggu perbudakan Fir’aun.
        Seperti itu pula Nabi Besar Muhammad saw. melarikan diri (hijrah) dari Mekkah dan melewatkan 10 tahun dari kehidupan beliau saw. yang sangat berharga dan penuh berkat itu di Medinah, yang menjadi masa persiapan untuk tujuan besar, yaitu menaklukkan Mekkah, pusat dan kubu agama beliau saw..  Nabi Besar Muhammad saw.  kembali ke Mekkah sebagai seorang penakluk dan seorang pemenang, dan sepenuhnya berhasil dalam tugas hidup beliau saw..
       Jadi, nubuatan itu telah menjadi sempurna dengan jatuhnya Mekkah dan dengan tegaknya syariat Islam di negeri Arab. Dengan demikian  kebenaran  Nabi Besar Muhammad saw.  telah terbukti dengan sempurna dan beliau saw. bebas dari tuntutan orang-orang Mekkah bahwa, sesuai dengan pernyataan beliau saw.  yang berulang-ulang, bahwa kota Mekkah harus jatuh ke tangan beliau saw.. Itulah makna kata barā-a  dalam firman-Nya:
بَرَآءَۃٌ  مِّنَ اللّٰہِ وَ رَسُوۡلِہٖۤ  اِلَی الَّذِیۡنَ عٰہَدۡتُّمۡ  مِّنَ  الۡمُشۡرِکِیۡنَ ؕ﴿﴾ فَسِیۡحُوۡا فِی الۡاَرۡضِ اَرۡبَعَۃَ  اَشۡہُرٍ وَّ اعۡلَمُوۡۤا  اَنَّکُمۡ غَیۡرُ مُعۡجِزِی اللّٰہِ ۙ وَ اَنَّ  اللّٰہَ  مُخۡزِی  الۡکٰفِرِیۡنَ ﴿﴾
Inilah suatu pernyataan bebas  dari Allah dan Rasul-Nya kepada orang-orang musyrik yang dengan mereka itu kamu telah membuat perjanjian    bahwa kamu pasti akan mendapat kemenangan.   Maka jelajahilah bumi ini selama empat bulan dan ketahuilah  sesungguhnya kamu tidak dapat  menggagalkan rencana Allah, dan   sesungguhnya  Allah akan menghinakan orang-orang kafir. (At-Taubah [9]:1-1). 

Surah Al-Bara’ah (At-Taubah) Merupakan Kelajutan Surah Al-Anfāl

       Dalam Surah  sebelumnya  -- yakni Surah Anfāl  -- dinubuatkan bahwa  Allah Swt. akan memberi kemenangan besar kepada orang-orang Islam dan bahwa harta kekayaan dan milik musuh mereka  akan jatuh ke tangan mereka. Nubuatan ini terus-menerus menjadi sumber tertawaan orang-orang kafir mengenai orang Islam, sebab  Allah Swt.    — selaras dengan hikmah kebijaksanaan-Nya yang tidak pernah salah dan sesuai dengan undang-undang-Nya yang abadi — telah menunda penggenapan apa-apa yang dinubuatkan itu, seiring dengan turunnya wahyu pada bagian Surah Anfāl,  yang menyebutkan nubuatan itu.
        Ketika kota Mekkah jatuh dan nubuatan tersebut di  atas menjadi sempurna maka bagian Surah Al-Anfāl   yang tadinya tertunda  barulah Surah At- Taubah diturunkan. Bagian itu mulai dengan:
بَرَآءَۃٌ  مِّنَ اللّٰہِ وَ رَسُوۡلِہٖۤ  اِلَی الَّذِیۡنَ عٰہَدۡتُّمۡ  مِّنَ  الۡمُشۡرِکِیۡنَ ؕ﴿﴾ فَسِیۡحُوۡا فِی الۡاَرۡضِ اَرۡبَعَۃَ  اَشۡہُرٍ وَّ اعۡلَمُوۡۤا  اَنَّکُمۡ غَیۡرُ مُعۡجِزِی اللّٰہِ ۙ وَ اَنَّ  اللّٰہَ  مُخۡزِی  الۡکٰفِرِیۡنَ ﴿﴾
Inilah suatu pernyataan bebas  dari Allah dan Rasul-Nya kepada orang-orang musyrik yang dengan mereka itu kamu telah membuat perjanjian    bahwa kamu pasti akan mendapat kemenangan.   Maka jelajahilah bumi ini selama empat bulan dan ketahuilah  sesungguhnya kamu tidak dapat  menggagalkan rencana Allah, dan   sesungguhnya  Allah akan menghinakan orang-orang kafir. (At-Taubah [9]:1-1). 
        Sambil lalu dapat dicatat di sini, bahwa beberapa ahli tafsir telah mengartikan kata Pernyataan di atas bahwa jangka waktu empat bulan telah diberikan kepada orang-orang musyrik yang dengan mereka orang-orang Islam telah mengadakan perjanjian, dan bahwa jangka waktu tersebut dimaksudkan sebagai satu peringatan bahwa sesudah itu semua perjanjian dan persetujuan dengan mereka akan dianggap berakhir.
        Penafsiran terhadap kata  بَرَآءَۃٌ    --  pernyataaan bebas tersebut  nyata sekali tidak benar, sebab jika dimaksudkan sebagai peringatan untuk mencabut segala perjanjian dengan mereka, maka tidak ada artinya merangkaikan pernyataan itu dengan perintah supaya mereka menjelajahi seluruh negeri selama 4 bulan dan melihat dengan mata sendiri, bahwa maksud dan kehendak membuat persiapan-persiapan secepatnya itu adalah untuk bertolak ke suatu tempat yang aman serta tidak akan berjalan keliling negeri seperti orang berwisata.
          Lagi pula, jika ayat ini diartikan sebagai peringatan untuk mengakhiri perjanjian yang telah ada dan untuk memberi batas waktu pada kabilah-kabilah musyrik yang telah bersekutu dengan orang Islam, bagaimanakah dapat dijelaskan ayat berikutnya yang mengatakan bahwa mereka yang telah mengadakan perjanjian dengan orang-orang Islam  tak boleh diusir sebelum berakhir masa perjanjian mereka.
          Dengan demikian   jelaslah bahwa kata-kata Al-Quran: alladzīna ‘ahadtum yang dipergunakan dalam ayat pertama Surah Al-Taubah tidak ditujukan kepada suatu perjanjian atau persetujuan politik, melainkan hanya kepada pernyataan-pernyataan yang telah dibuat oleh orang-orang Islam dan orang-orang kafir terhadap satu sama lain  mengenai kemenangan terakhir cita-cita mereka masing-masing.
         Berkenaan dengan pihak Islam, dinyatakan dalam Surah  Al-Anfāl bahwa harta ke-kayaan dan milik orang-orang kafir akan jatuh ke tangan orang-orang Islam, sedangkan berkenaan dengan pihak orang-orang kafir  telah dinyatakan bahwa agama Islam akan dimusnahkan dan mereka akan merampas milik orang-orang Islam.
        Pernyataan-pernyataan yang berlawanan inilah yang secara kiasan telah disebut ‘ahd yaitu  perjanjian  dalam ayat tersebut. Orang-orang musyrik disuruh agar menjelajahi seluruh bagian negeri dan boleh melihat sendiri, apakah pernyataan dalam Surah  Al-Anfāl mengenai kehancuran mereka pada akhirnya telah terbukti benar atau tidak?
        Jadi, pada hakikatnya, Surah Al-Bara’ah atau At-Taubah  hanya merupakan satu pernyataan mengenai sempurnanya nubuatan agung dalam Surah Al-Anfāl  dan dengan demikian At-Taubah  tidak merupakan satu Surah yang terpisah dari Surah Al-Anfāl.  
        Singkatnya, di antara kedua Surah ini terdapat suatu hubungan yang amat nyata sehingga kedua-duanya  sebenarnya merupakan satu Surah belaka, sebab seperti disebutkan di atas, Surah Al-Anfāl diturunkan di masa Perang Badar dan di dalamnya tercantum nubuatan yang jelas mengenai kesudahan orang-orang kafir. Kemudian sesudah pertempuran terakhir dengan orang-orang musyrik Mekkah usai, diwahyukan Surah Al-Bara’ah (At-Taubah) untuk mengumumkan sempurnanya nubuatan itu dan terbitnya suatu masa baru.

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
                                                                              ***
Pajajaran Anyar,  24 Juli     2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar