بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم
Khazanah Ruhani Surah Shād
Bab 304
Penderitaan di Jalan
Allah yang Hakiki adalah Penderitaan Akibat Beriman kepada Rasul Allah
yang Kedatangannya Dijanjikan
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam bagian akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan mengenai pentingnya “mempergunakan akal” secara benar itu
pulalah yang disesali para ahli neraka mengenai ketololan diri mereka sendiri ketika
mereka menjadi penghuni neraka jahannam, padahal
rasul Allah telah memperingatkan mereka sebelumnya,
firman-Nya:
تَکَادُ تَمَیَّزُ مِنَ الۡغَیۡظِ ؕ کُلَّمَاۤ اُلۡقِیَ فِیۡہَا فَوۡجٌ سَاَلَہُمۡ خَزَنَتُہَاۤ اَلَمۡ یَاۡتِکُمۡ نَذِیۡرٌ ﴿﴾ قَالُوۡا بَلٰی قَدۡ جَآءَنَا نَذِیۡرٌ ۬ۙ
فَکَذَّبۡنَا وَ قُلۡنَا مَا نَزَّلَ اللّٰہُ مِنۡ شَیۡءٍ ۚۖ اِنۡ اَنۡتُمۡ اِلَّا فِیۡ ضَلٰلٍ کَبِیۡرٍ﴿﴾
Hampir-hampir neraka itu pecah karena marah.
Setiap kali dilemparkan ke dalamnya sekelompok orang
kafir akan bertanya kepada mereka
penjaga-penjaganya: اَلَمۡ یَاۡتِکُمۡ نَذِیۡرٌ -- “apakah
tidak pernah datang kepada kamu seorang Pemberi peringatan?” قَالُوۡا بَلٰی قَدۡ جَآءَنَا نَذِیۡرٌ -- Mereka berkata: “Benar, sungguh
telah datang kepada kami seorang
Pemberi peringatan فَکَذَّبۡنَا وَ
قُلۡنَا مَا نَزَّلَ اللّٰہُ مِنۡ شَیۡءٍ -- tetapi
kami mendustakannya dan kami berkata: “Allah sekali-kali tidak menurunkan sesuatu pun, اِنۡ اَنۡتُمۡ اِلَّا فِیۡ ضَلٰلٍ کَبِیۡرٍ -- kamu tidak lain melainkan di
dalam kesesatan yang besar.” (Al-Mulk
[67]:9-10).
Itikad Sesat “Tidak Ada Lagi Nabi Sesudahnya”
Perkataan mereka فَکَذَّبۡنَا وَ قُلۡنَا مَا نَزَّلَ
اللّٰہُ مِنۡ شَیۡءٍ -- tetapi kami
mendustakannya dan kami berkata: “Allah
sekali-kali tidak menurunkan sesuatu pun” pada hakikatnya bentuk lain dari itikad
sesat “lā nabiyya ba’dahu -- tidak akan pernah ada lagi nabi sesudahnya” (QS.41:35; QS.72:8;
QS.10:75). Selanjutnya “orang-orang yang bernasib malang” tersebut menyesali ketololan diri mereka sendiri,
firman-Nya:
وَ
قَالُوۡا لَوۡ کُنَّا نَسۡمَعُ اَوۡ نَعۡقِلُ مَا کُنَّا فِیۡۤ اَصۡحٰبِ السَّعِیۡرِ ﴿﴾ فَاعۡتَرَفُوۡا بِذَنۡۢبِہِمۡ ۚ فَسُحۡقًا
لِّاَصۡحٰبِ السَّعِیۡرِ ﴿﴾ اِنَّ
الَّذِیۡنَ یَخۡشَوۡنَ رَبَّہُمۡ بِالۡغَیۡبِ لَہُمۡ مَّغۡفِرَۃٌ وَّ
اَجۡرٌ کَبِیۡرٌ ﴿﴾
Dan mereka berkata: “Seandainya kami mendengarkan atau mempergunakan akal, tentu kami tidak akan termasuk penghuni Api yang
menyala-nyala.” Maka mereka mengakui
dosa-dosa mereka, maka kebinasaanlah
bagi para penghuni Api yang menyala-nyala. اِنَّ
الَّذِیۡنَ یَخۡشَوۡنَ رَبَّہُمۡ بِالۡغَیۡبِ لَہُمۡ مَّغۡفِرَۃٌ وَّ
اَجۡرٌ کَبِیۡرٌ -- sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Rabb (Tuhan) mereka dalam keadaan tidak nampak, bagi mereka
ada ampunan dan ganjaran besar. (Al-Mulk [67]:11-13).
Makna lain dari ayat
لَوۡ کُنَّا نَسۡمَعُ اَوۡ نَعۡقِلُ مَا کُنَّا فِیۡۤ اَصۡحٰبِ السَّعِیۡرِ -- Seandainya
kami mengikuti peraturan-peraturan
syariat atau mengikuti kata-hati dan
pertimbangan akal, tentu kami tidak akan termasuk penghuni Api yang
menyala-nyala.”
Jadi, betapa beruntungnya “orang-orang berakal” yang “mempergunakan akalnya” dengan benar, sebab mereka bukan saja dapat
membaca Tanda-tanda Ilahi yang
terdapat dalam Al-Quran, tetapi juga
mampu membaca dan Tanda-tanda Zaman dan Tanda-tanda alam yang terus menerus menampakkan kemurkaaannya, firman-Nya:
رَبَّنَاۤ
اِنَّکَ مَنۡ تُدۡخِلِ النَّارَ فَقَدۡ اَخۡزَیۡتَہٗ ؕ وَ مَا لِلظّٰلِمِیۡنَ مِنۡ
اَنۡصَارٍ ﴿﴾ رَبَّنَاۤ اِنَّنَا سَمِعۡنَا مُنَادِیًا یُّنَادِیۡ لِلۡاِیۡمَانِ
اَنۡ اٰمِنُوۡا بِرَبِّکُمۡ فَاٰمَنَّا ٭ۖ
رَبَّنَا فَاغۡفِرۡ لَنَا ذُنُوۡبَنَا وَ کَفِّرۡ عَنَّا سَیِّاٰتِنَا وَ
تَوَفَّنَا مَعَ الۡاَبۡرَارِ ﴿﴾ۚ
“Wahai Rabb (Tuhan) kami, sesungguhnya barangsiapa yang Engkau masukkan ke dalam
Api maka sungguh Engkau telah
menghinakannya, dan sekali-kali
tidak ada bagi orang-orang zalim seorang penolong pun. “Wahai
Rabb (Tuhan) kami, sesungguhnya kami telah mendengar seorang Penyeru menyeru kami
kepada keimanan seraya berkata: اَنۡ
اٰمِنُوۡا بِرَبِّکُمۡ -- "Berimanlah
kamu kepada Rabb (Tuhan) kamu,"
فَاٰمَنَّا -- maka kami telah beriman. رَبَّنَا
فَاغۡفِرۡ لَنَا ذُنُوۡبَنَا وَ کَفِّرۡ عَنَّا سَیِّاٰتِنَا وَ تَوَفَّنَا
مَعَ الۡاَبۡرَارِ -- Wahai
Rabb (Tuhan) kami, ampunilah
bagi kami dosa-dosa kami, hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan
kami, dan wafatkanlah kami
bersama orang-orang yang berbuat
kebajikan.” (Ali
‘Imran [3]:193-194).
Perbedaan “Dzunub”
dengan “Sayyiāt”
(Keburukan-keburukan)
Kembali kepada doa “orang-orang yang mempergunakan akal”
yang mampu membaca Tanda-tanda Ilahi
yang terdapat dalam Al-Quran, juga mampu membaca dan Tanda-tanda Zaman
dan Tanda-tanda alam yang terus menerus menampakkan kemurkaaannya, firman-Nya:
رَبَّنَاۤ
اِنَّکَ مَنۡ تُدۡخِلِ النَّارَ فَقَدۡ اَخۡزَیۡتَہٗ ؕ وَ مَا لِلظّٰلِمِیۡنَ مِنۡ
اَنۡصَارٍ ﴿﴾ رَبَّنَاۤ اِنَّنَا سَمِعۡنَا مُنَادِیًا یُّنَادِیۡ لِلۡاِیۡمَانِ
اَنۡ اٰمِنُوۡا بِرَبِّکُمۡ فَاٰمَنَّا ٭ۖ
رَبَّنَا فَاغۡفِرۡ لَنَا ذُنُوۡبَنَا وَ کَفِّرۡ عَنَّا سَیِّاٰتِنَا وَ
تَوَفَّنَا مَعَ الۡاَبۡرَارِ ﴿﴾ۚ
“Wahai Rabb (Tuhan) kami, sesungguhnya barangsiapa yang Engkau masukkan ke dalam
Api maka sungguh Engkau telah
menghinakannya, dan sekali-kali
tidak ada bagi orang-orang zalim seorang penolong pun. “Wahai Rabb (Tuhan) kami, sesungguhnya kami telah mendengar seorang Penyeru menyeru kami
kepada keimanan seraya berkata: اَنۡ
اٰمِنُوۡا بِرَبِّکُمۡ -- "Berimanlah kamu kepada Rabb (Tuhan) kamu," فَاٰمَنَّا -- maka kami telah beriman. رَبَّنَا
فَاغۡفِرۡ لَنَا ذُنُوۡبَنَا وَ کَفِّرۡ عَنَّا سَیِّاٰتِنَا وَ تَوَفَّنَا
مَعَ الۡاَبۡرَارِ -- Wahai
Rabb (Tuhan) kami, ampunilah
bagi kami dosa-dosa kami, hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan
kami, dan wafatkanlah kami
bersama orang-orang yang berbuat
kebajikan.” ” (Ali ‘Imran [3]:193-194).
Makna dzunub dalam ayat رَبَّنَا فَاغۡفِرۡ
لَنَا ذُنُوۡبَنَا – “Wahai Rabb (Tuhan)
kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami,” yang umumnya
menunjuk kepada kelemahan-kelemahan
serta kesalahan-kesalahan dan kealpaan-kealpaan yang biasa melekat pada diri manusia, dapat
melukiskan relung-relung gelap dalam hati, yang ke tempat itu Nur Ilahi tidak dapat sampai dengan
sebaik-baiknya, sedangkan sayyi’at dalam ayat وَ کَفِّرۡ عَنَّا سَیِّاٰتِنَا -- “hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami” yang secara relatif merupakan kata yang bobotnya lebih keras, dapat berarti gumpalan-gumpalan awan debu yang menyembunyikan cahaya matahari ruhani dari pemandangan
kita. Lihat pula ayat-ayat QS.2:82 dan QS.3:17.
Bahwa pengutusan Rasul Allah
yang kedatangannya dijanjikan, bukan
saja erat kaitannya dengan terjadinya berbagai bentuk azab Ilahi -- jika manusia melakukan pendustaan dan penentangan
secara zalim terhadapnya -- tetapi juga beliau datang membawa kabar gembira bagi orang-orang yang beriman kepadanya. Itulah sebabnya Allah Swt.
menyebut para rasul Allah – terutama Nabi Besar Muhammad saw. -- sebagai basyīran (pembawa kabar gembira) mengenai ampunan
serta rahmat Ilahi dan sebagai nadzīran (pemberi peringatan) tentang azab Ilahi (QS.2:120; QS.33:46; QS.34:29;
QS.35:25; QS.41:5).
Buah Manis “Penderitaan”
di Jalan Allah Swt.
Sehubungan dengan hal tersebut
selanjutnya “orang-orang yang berakal” tersebut berdoa:
رَبَّنَا وَ
اٰتِنَا مَا وَعَدۡتَّنَا عَلٰی رُسُلِکَ وَ لَا تُخۡزِنَا یَوۡمَ الۡقِیٰمَۃِ ؕ اِنَّکَ
لَا تُخۡلِفُ الۡمِیۡعَادَ ﴿﴾ فَاسۡتَجَابَ لَہُمۡ رَبُّہُمۡ اَنِّیۡ لَاۤ اُضِیۡعُ
عَمَلَ عَامِلٍ مِّنۡکُمۡ مِّنۡ ذَکَرٍ اَوۡ اُنۡثٰی ۚ بَعۡضُکُمۡ مِّنۡۢ بَعۡضٍ ۚ فَالَّذِیۡنَ ہَاجَرُوۡا وَ
اُخۡرِجُوۡا مِنۡ دِیَارِہِمۡ وَ اُوۡذُوۡا فِیۡ سَبِیۡلِیۡ وَ قٰتَلُوۡا وَ
قُتِلُوۡا لَاُکَفِّرَنَّ عَنۡہُمۡ سَیِّاٰتِہِمۡ وَ لَاُدۡخِلَنَّہُمۡ جَنّٰتٍ
تَجۡرِیۡ مِنۡ تَحۡتِہَا الۡاَنۡہٰرُ ۚ ثَوَابًا مِّنۡ عِنۡدِ اللّٰہِ ؕ وَ
اللّٰہُ عِنۡدَہٗ حُسۡنُ الثَّوَابِ ﴿﴾
Wahai Rabb
(Tuhan) kami, karena itu berikanlah
kepada kami apa yang telah Engkau
janjikan kepada kami dengan perantaraan rasul-rasul Engkau, dan janganlah Engkau menghinakan kami pada Hari
Kiamat, sesungguhnya Engkau tidak pernah
me-nyalahi janji.” فَاسۡتَجَابَ لَہُمۡ رَبُّہُمۡ -- Maka Rabb (Tuhan) mereka telah mengabulkan doa
mereka seraya berfirman: اَنِّیۡ لَاۤ اُضِیۡعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِّنۡکُمۡ مِّنۡ ذَکَرٍ اَوۡ اُنۡثٰی
ۚ بَعۡضُکُمۡ مِّنۡۢ بَعۡضٍ -- “Sesungguhnya Aku pasti tidak akan menyia-nyiakan amal
orang-orang yang beramal dari antara kamu, baik laki-laki maupun perempuan.
بَعۡضُکُمۡ مِّنۡۢ
بَعۡضٍ -- sebagian kamu adalah
dari sebagian lain, فَالَّذِیۡنَ
ہَاجَرُوۡا وَ اُخۡرِجُوۡا مِنۡ دِیَارِہِمۡ وَ اُوۡذُوۡا فِیۡ سَبِیۡلِیۡ وَ
قٰتَلُوۡا وَ قُتِلُوۡا -- maka orang-orang yang hijrah,
yang diusir dari rumah-rumahnya,
yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan
yang terbunuh, وَ لَاُدۡخِلَنَّہُمۡ جَنّٰتٍ تَجۡرِیۡ مِنۡ تَحۡتِہَا الۡاَنۡہٰرُ ۚ
ثَوَابًا مِّنۡ عِنۡدِ اللّٰہِ ؕ وَ اللّٰہُ عِنۡدَہٗ حُسۡنُ الثَّوَابِ -- niscaya Aku akan menghapuskan dari mereka keburukan-keburukannya, dan
niscaya Aku akan memasukkan mereka ke dalam
kebun-kebun yang di bawahnya mengalir sungai-sungai sebagai ganjaran dari sisi Allah, dan Allah
di sisi-Nya sebaik-baik ganjaran. (Ali ‘Imran [3]:195-196).
Dengan demikian jelaslah bahwa yang
dimaksud dengan ayat فَالَّذِیۡنَ ہَاجَرُوۡا وَ اُخۡرِجُوۡا مِنۡ دِیَارِہِمۡ وَ اُوۡذُوۡا فِیۡ
سَبِیۡلِیۡ وَ قٰتَلُوۡا وَ قُتِلُوۡا -- maka orang-orang yang hijrah,
yang diusir dari rumah-rumahnya,
yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan
yang terbunuh,” hubungannya adalah sebagai akibat mereka telah beriman kepada Rasul Allah yang kedatangannya dijanjikan. Inilah makna “jihad di jalan Allah” yang hakiki yang membuat Allah Swt. memenuhi
“janji-janji-Nya” kepada mereka
dengan perantaraan Rasul-Nya yang
mereka imani, yakni وَ لَاُدۡخِلَنَّہُمۡ جَنّٰتٍ تَجۡرِیۡ مِنۡ تَحۡتِہَا الۡاَنۡہٰرُ ۚ
ثَوَابًا مِّنۡ عِنۡدِ اللّٰہِ ؕ وَ اللّٰہُ عِنۡدَہٗ حُسۡنُ الثَّوَابِ -- niscaya Aku akan menghapuskan dari mereka keburukan-keburukannya, dan
niscaya Aku akan memasukkan mereka ke dalam
kebun-kebun yang di bawahnya mengalir sungai-sungai sebagai ganjaran dari sisi Allah, dan Allah
di sisi-Nya sebaik-baik ganjaran. (Ali ‘Imran [3]:195-196).
Jadi, sungguh tidak benar pendapat bahwa untuk meraih derajat
sebagai syuhada (saksi-saksi) di jalan Allah adalah sekedar
“membunuh” atau “terbunuh” dengan mengatas-namakan
agama, sebagaimana yang marak terjadi di Akhir Zaman ini, yang semakin merusak
kesucian agama Islam dan Nabi Besar
Muhammad saw. sebagai “rahmat bagi
seluruh alam” (QS.21:108).
Makna Mendahulukan “Sabar” daripada “Shalat”
(Doa)
Sebagaimana telah dikemukakan dalam salah satu
Bab sebelumnya mengenai Sunnatullah dalam
firman Allah Swt. tersebut, ayat 154
-- tentang mendahulukan kata sabar daripada kata shalat (doa) – firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا
الَّذِیۡنَ اٰمَنُوا اسۡتَعِیۡنُوۡا بِالصَّبۡرِ وَ الصَّلٰوۃِ ؕ اِنَّ اللّٰہَ
مَعَ الصّٰبِرِیۡنَ ﴿﴾ وَ لَا تَقُوۡلُوۡا لِمَنۡ یُّقۡتَلُ فِیۡ سَبِیۡلِ اللّٰہِ
اَمۡوَاتٌ ؕ بَلۡ اَحۡیَآءٌ وَّ
لٰکِنۡ لَّا تَشۡعُرُوۡنَ ﴿﴾ ؕ وَ بَشِّرِ الصّٰبِرِیۡنَ ﴿﴾ۙ الَّذِیۡنَ اِذَاۤ
اَصَابَتۡہُمۡ مُّصِیۡبَۃٌ ۙ
قَالُوۡۤا اِنَّا لِلّٰہِ وَ اِنَّاۤ اِلَیۡہِ رٰجِعُوۡنَ ﴿﴾ؕ اُولٰٓئِکَ عَلَیۡہِمۡ صَلَوٰتٌ مِّنۡ رَّبِّہِمۡ وَ رَحۡمَۃٌ ۟ وَ اُولٰٓئِکَ ہُمُ
الۡمُہۡتَدُوۡنَ ﴿﴾
Hai orang-orang yang beriman, mohonlah
pertolongan dengan sabar dan shalat,
sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. وَ لَا
تَقُوۡلُوۡا لِمَنۡ یُّقۡتَلُ فِیۡ سَبِیۡلِ اللّٰہِ اَمۡوَاتٌ ؕ بَلۡ اَحۡیَآءٌ
وَّ لٰکِنۡ لَّا تَشۡعُرُوۡنَ -- dan janganlah kamu mengatakan mengenai
orang-orang yang terbunuh di jalan Allah bahwa mereka
itu mati, بَلۡ
اَحۡیَآءٌ وَّ لٰکِنۡ لَّا تَشۡعُرُوۡنَ -- tidak bahkan
mereka hidup, tetapi
kamu tidak menyadari. وَ لَنَبۡلُوَنَّکُمۡ بِشَیۡءٍ مِّنَ الۡخَوۡفِ وَ الۡجُوۡعِ وَ نَقۡصٍ
مِّنَ الۡاَمۡوَالِ وَ الۡاَنۡفُسِ وَ الثَّمَرٰتِ --
dan Kami niscaya akan
menguji kamu dengan sesuatu berupa ketakutan, kelaparan, kekurangan
dalam harta, jiwa dan buah-buahan,
وَ بَشِّرِ الصّٰبِرِیۡنَ -- dan berilah kabar
gembira kepada orang-orang yang sabar. الَّذِیۡنَ
اِذَاۤ اَصَابَتۡہُمۡ مُّصِیۡبَۃٌ -- yaitu
orang-orang yang apabila
suatu musibah menimpa mereka, ۙ
قَالُوۡۤا اِنَّا لِلّٰہِ وَ اِنَّاۤ
اِلَیۡہِ رٰجِعُوۡنَ -- mereka berkata: ”Sesungguhnya kami milik Allah
dan sesungguhnya kepada-Nya-lah
kami kembali.” اُولٰٓئِکَ عَلَیۡہِمۡ صَلَوٰتٌ مِّنۡ رَّبِّہِمۡ وَ رَحۡمَۃٌ ۟ وَ اُولٰٓئِکَ
ہُمُ الۡمُہۡتَدُوۡنَ -- mereka itulah orang-orang
yang dilimpahi berkat-berkat dan rahmat
dari Rabb (Tuhan) mereka dan mereka inilah yang mendapat petunjuk. (Al-Baqarah
[2]:154-158).
Perintah Allah Swt. dalam ayat یٰۤاَیُّہَا
الَّذِیۡنَ اٰمَنُوا اسۡتَعِیۡنُوۡا بِالصَّبۡرِ وَ الصَّلٰوۃِ ؕ اِنَّ اللّٰہَ
مَعَ الصّٰبِرِیۡنَ -- “Hai orang-orang yang beriman, mohonlah
pertolongan dengan sabar dan shalat,
sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar” mengandung satu asas yang hebat sekali untuk mencapai keberhasilan.
Pertama, seorang Muslim harus sabar yakni tekun dalam usahanya dan sedikit pun tidak boleh berputus asa. Di samping itu ia harus menjauhi apa-apa yang berbahaya
dan berpegang teguh kepada segala hal yang baik. Itulah makna “sabar”.
Kedua, ia hendaknya mendoa kepada Allah Swt.
untuk keberhasilan, sebab hanya Allah Swt. sajalah Sumber segala kebaikan.
Kata shabr (sabar) mendahului kata shalat
dalam ayat ini dengan maksud untuk menekankan pentingnya melaksanakan hukum Ilahi yang terkadang diremehkan karena tidak mengetahui. Lazimnya doa akan terkabul hanya
bila didampingi oleh penggunaan segala
sarana yang dijadikan Allah Swt. untuk mencapai sesuatu tujuan.
Kata ahya
dalam ayat وَ لَا
تَقُوۡلُوۡا لِمَنۡ یُّقۡتَلُ فِیۡ سَبِیۡلِ اللّٰہِ اَمۡوَاتٌ ؕ بَلۡ اَحۡیَآءٌ
وَّ لٰکِنۡ لَّا تَشۡعُرُوۡنَ -- dan janganlah kamu mengatakan mengenai
orang-orang yang terbunuh di jalan Allah bahwa mereka
itu mati, بَلۡ
اَحۡیَآءٌ وَّ لٰکِنۡ لَّا تَشۡعُرُوۡنَ -- tidak bahkan
mereka hidup, tetapi
kamu tidak menyadari,” kata ahya itu jamak dari hayy yang antara lain
berarti: (1) seseorang dengan amal
yang diperbuat selama hidupnya tidak menjadi sia-sia; (2) orang yang kematiannya dituntut balas.
Amwat itu jamak dari mayyit,
yang selain berarti orang mati,
mengandung makna: (1) orang yang darahnya belum terbalas; (2) orang yang tidak
meninggalkan penerus-penerus; (3) orang yang menderita sedih dan duka nestapa.
Ayat ini mengandung suatu kebenaran agung dari segi ilmu jiwa, yang diperkirakan memberikan pengaruh hebat kepada kehidupan dan kemajuan suatu kaum. Suatu kaum yang tidak menghargai pahlawan-pahlawan yang telah syahid secara sepatutnya dan tidak
mengambil langkah-langkah untuk melenyapkan rasa takut mati dari hati mereka, sebenarnya telah menutup masa depan mereka sendiri.
Makna “Muslim” (Berserah Diri) yang Sebenarnya
Ayat وَ
لَنَبۡلُوَنَّکُمۡ بِشَیۡءٍ مِّنَ الۡخَوۡفِ وَ الۡجُوۡعِ وَ نَقۡصٍ مِّنَ
الۡاَمۡوَالِ وَ الۡاَنۡفُسِ وَ الثَّمَرٰتِ --
dan Kami niscaya akan
menguji kamu dengan sesuatu berupa ketakutan, kelaparan, kekurangan
dalam harta, jiwa dan buah-buahan,”
merupakan kelanjutan yang tepat dari ayat
yang mendahuluinya. Kaum Muslimin
harus siap-sedia bukan saja mengorbankan jiwa mereka untuk kepentingan Islam tetapi mereka harus
juga bersedia menderita segala macam
kesedihan yang akan menimpa mereka sebagai cobaan atau ujian di
jalan Allah Swt..
Hikmah dari
ayat الَّذِیۡنَ
اِذَاۤ اَصَابَتۡہُمۡ مُّصِیۡبَۃٌ -- yaitu
orang-orang yang apabila
suatu musibah menimpa mereka, ۙ
قَالُوۡۤا اِنَّا لِلّٰہِ وَ اِنَّاۤ اِلَیۡہِ
رٰجِعُوۡنَ -- mereka berkata: ”Sesungguhnya kami milik Allah
dan sesungguhnya kepada-Nya-lah
kami kembali.” Allah Swt. adalah Pemilik segala yang kita miliki, termasuk diri kita sendiri. Bila Sang Pemilik itu, sesuai dengan kebijaksanaan-Nya yang tidak ada
batasnya, menganggap tepat untuk
mengambil sesuatu dari kita, kita tidak punya alasan untuk berkeluh-kesah
atau menggerutu.
Oleh karena itu keliru beranggapan bahwa ucapan
اِنَّا لِلّٰہِ وَ اِنَّاۤ اِلَیۡہِ رٰجِعُوۡنَ
-- ”Sesungguhnya kami milik Allah
dan sesungguhnya kepada-Nya-lah kami kembali” hanya
berhubungan dengan kematian saja, tetapi harus
diucapkan juga ketika orang-orang beriman mengalami
berbagai ujian-ujian keimanan lainnya
sebagai
bukti keridhaan mereka terhadap
kehendak Allah Swt., sebagai bukti ke-Muslim-an
(penyerahan diri) yang sempurna kepada Allah Swt., mengenai hal itu berikut firman-Nya kepada
Nabi Besar Muhammad saw.:
قُلۡ اِنَّنِیۡ ہَدٰىنِیۡ رَبِّیۡۤ اِلٰی صِرَاطٍ مُّسۡتَقِیۡمٍ ۬ۚ دِیۡنًا
قِیَمًا مِّلَّۃَ اِبۡرٰہِیۡمَ حَنِیۡفًا
ۚ وَ مَا کَانَ مِنَ الۡمُشۡرِکِیۡنَ ﴿﴾ قُلۡ اِنَّ صَلَاتِیۡ وَ نُسُکِیۡ وَ مَحۡیَایَ وَ مَمَاتِیۡ لِلّٰہِ
رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ ﴿﴾ۙ لَا شَرِیۡکَ لَہٗ ۚ
وَ بِذٰلِکَ اُمِرۡتُ وَ اَنَا اَوَّلُ
الۡمُسۡلِمِیۡنَ ﴿﴾
Katakanlah:
“Sesungguhnya aku telah diberi petunjuk
oleh Rabb-ku (Tuhan-ku) kepada jalan
lurus, agama yang teguh, مِّلَّۃَ اِبۡرٰہِیۡمَ حَنِیۡفًا -- agama Ibrahim yang lurus, وَ مَا کَانَ مِنَ الۡمُشۡرِکِیۡنَ -- dan dia bukanlah dari orang-orang
musyrik.” قُلۡ اِنَّ صَلَاتِیۡ وَ نُسُکِیۡ وَ مَحۡیَایَ وَ مَمَاتِیۡ لِلّٰہِ
رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ -- Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, pengorbananku, kehidupanku,
dan kematianku
hanyalah untuk Allah, Rabb (Tuhan) seluruh alam;
لَا شَرِیۡکَ
لَہٗ ۚ وَ بِذٰلِکَ اُمِرۡتُ وَ اَنَا
اَوَّلُ الۡمُسۡلِمِیۡنَ -- tidak ada sekutu bagi-Nya, untuk itulah aku
diperintahkan, dan akulah orang pertama yang
berserah diri. (Al-An’ām [6]:162-164).
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik
Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 8 Agustus
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar