Sabtu, 09 Agustus 2014

Perempuan-perempuan Beriman yang Hijrah & Kesakralan Pernikahan Dalam Islam




بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم


 Khazanah Ruhani Surah  Shād


Bab   288

 Perempuan-perempuan Beriman yang Hijrah & Kesakralan Pernikahan Dalam Islam


 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

D
alam akhir Bab sebelumnya    telah dikemukakan mengenai  berbagai maqam (keadaan ruhani) orang-orang beriman, yakni dimulai dengan iman – yakni sikap hati  yang benar terhadap hal-hal yang gaib, terutama Allah Swt., lalu menghindarkan diri  dari bagai hal yang laghaw (sia-sia), selanjutnya mendirikan shalat dengan khusyuk, kemudian menunaikan pembayaran  zakat, selanjutnya menjaga kesucian farjinya (kemaluannya) kecuali terhadap istri-istri mereka (QS23:1-5)  -- yang  sebelum dinikahi berasal dari dua macam status sosial   yakni  perempuan  merdeka  dan “perempuan yang dimiliki tangan  kanan” (hamba sahaya perempuan)  --  firman-Nya:
وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ  لِفُرُوۡجِہِمۡ حٰفِظُوۡنَ ۙ﴿﴾  اِلَّا عَلٰۤی اَزۡوَاجِہِمۡ اَوۡ مَا مَلَکَتۡ اَیۡمَانُہُمۡ فَاِنَّہُمۡ غَیۡرُ   مَلُوۡمِیۡنَ ۚ﴿﴾  فَمَنِ ابۡتَغٰی وَرَآءَ ذٰلِکَ فَاُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡعٰدُوۡنَ ۚ﴿﴾
Dan  orang-orang yang menjaga kemaluannya,  kecuali terhadap istri-istri mereka atau apa yang dimiliki tangan kanan mereka maka sesungguhnya mereka tidak tercela.   Tetapi barangsiapa mencari selain dari itu  maka mereka itu  orang-orang yang melampaui batas. (Al-Mu’minūn [23]:6-8).
        Menurut riwayat  Nabi Besar Muhammad saw.   pernah bersabda: “Orang yang mempunyai budak perempuan dan memberi didikan yang baik kepadanya, serta memeliharanya dengan cara yang patut dan selanjutnya memerdekakan serta menikahinya, bagi dia ada ganjaran dua kali lipat” (Bukhari, Kitab al-Ilm).  
      Hadits ini berarti bahwa manakala seorang orang Islam ingin memperistri seorang budak perempuan, ia hendaknya pertama-tama memerdekakan budak perempuan itu lebih dahulu sebelum menikahinya.
       Amal  Nabi Besar Muhammad saw.    amat sejalan dengan perintah beliau saw. itu. Dua dari antara istri-istri beliau saw., Juwairiah dan Shafiyyah  -- yang berkebangsaan Bani Israil --  jatuh ke tangan beliau saw. sebagai tawanan perang. Mereka itu milk yamin beliau saw.. Tetapi  beliau saw. menikahi  keduanya menurut syariat Islam
        Beliau saw. menikahi  juga Mariyah yang dikirim Raja Muda Mesir, untuk beliau saw. dan istri beliau yang ini pun menikmati kedudukan sebagai perempuan merdeka, seperti istri-istri  Nabi Besar Muhammad saw.  yang lainnya. Beliau pun mengenakan burkah (kudungan) dan termasuk salah satu di antara Ummul Mukminin (Ibu orang-orang yang beriman – QS.33:7). 
     Al-Quran menjelaskan,  bahwa perintah berkenaan dengan pernikahan  yang berlaku untuk “yang dimiliki tangan kanan engkau” adalah sama dengan perintah yang berlaku untuk  putri-putri para paman dan bibi Nabi Besar Muhammad saw. dari pihak ayah dan ibu.  Kedua kelas perempuan  itu harus dinikahi oleh  Nabi Besar Muhammad saw.  sebelum mereka diperlakukan sebagai istri-istri, adalah sebagai contoh yang juga harus dilaksanakan oleh  orang-orang beriman lainnya jika mereka akan melakukan hal yang sama (QS.33:22).

Perempuan-perempuan Beriman “Muhajir

      Ketiga kategori yang disebut di atas  semuanya dihalalkan bagi  Nabi Besar Muhammad saw.  melalui pernikahan (QS.33:51). Selanjutnya, ayat yang berbunyi:  Dan diharamkan juga bagi kamu perempuan-perempuan yang bersuami, kecuali yang dimiliki tangan kanan kamu” (QS.4:25) bersama-sama dengan ayat sebelumnya, membahas perempuan-perempuan  muhrim (yang  haram dinikahi) dan di antara mereka ini termasuk perempuan-perempuan  yang bersuami.
     Tetapi  ayat itu membuat suatu pengecualian, yaitu  perempuan-perempuan bersuami yang ditawan dalam peperangan agama dan kemudian mereka memilih tetap bersama orang-orang Islam dapat dinikahi  oleh majikan-majikan mereka. Kenyataan bahwa mereka memilih tidak kembali kepada suami-lama mereka, dianggap sama dengan pembatalan pernikahan mereka yang sebelumnya, firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا  الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡۤا  اِذَا جَآءَکُمُ الۡمُؤۡمِنٰتُ مُہٰجِرٰتٍ فَامۡتَحِنُوۡہُنَّ ؕ اَللّٰہُ  اَعۡلَمُ  بِاِیۡمَانِہِنَّ ۚ فَاِنۡ عَلِمۡتُمُوۡہُنَّ  مُؤۡمِنٰتٍ فَلَا تَرۡجِعُوۡہُنَّ  اِلَی  الۡکُفَّارِ ؕ لَا ہُنَّ حِلٌّ  لَّہُمۡ  وَ لَا ہُمۡ  یَحِلُّوۡنَ  لَہُنَّ ؕ وَ  اٰتُوۡہُمۡ مَّاۤ  اَنۡفَقُوۡا ؕ وَ لَا جُنَاحَ عَلَیۡکُمۡ  اَنۡ تَنۡکِحُوۡہُنَّ  اِذَاۤ  اٰتَیۡتُمُوۡہُنَّ  اُجُوۡرَہُنَّ ؕ وَ لَا تُمۡسِکُوۡا بِعِصَمِ الۡکَوَافِرِ وَ سۡـَٔلُوۡا مَاۤ  اَنۡفَقۡتُمۡ وَ لۡیَسۡـَٔلُوۡا مَاۤ  اَنۡفَقُوۡا ؕ ذٰلِکُمۡ  حُکۡمُ اللّٰہِ ؕ یَحۡکُمُ بَیۡنَکُمۡ ؕ وَ اللّٰہُ عَلِیۡمٌ حَکِیۡمٌ ﴿﴾      
Hai orang-orang yang beriman, apabila datang kepada kamu perempuan-perempuan beriman sebagai muhajir maka ujilah  mereka. Allah Maha Mengetahui keimanan mereka, lalu jika kamu mengetahui mereka benar-benar beriman maka  kamu jangan mengembalikan mereka kepada orang-orang kafir.  Perempuan-perempuan itu tidaklah halal bagi mereka dan mereka tidak halal bagi perempuan-perempuan itu. Dan berikanlah kepada suami mereka apa yang telah mereka belanjakan. Dan tidak ada dosa bagi kamu menikahi mereka apabila kamu memberikan kepada mereka  maskawin mereka.  وَ لَا تُمۡسِکُوۡا بِعِصَمِ الۡکَوَافِرِ  --  dan janganlah kamu menahan tali pernikahan dengan  perempuan-perempuan kafir, dan mintalah apa yang telah kamu nafkahkan, dan hendaklah mereka pun meminta apa yang telah mereka belanjakan. Demikianlah keputusan   Allah. Dia-lah Yang menghakimi di antara kamu, dan Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana. (Al-Mumtahanah  [60]:11).
     Meskipun ketika orang-orang Islam dizalimi dengan hebat dan mereka tidak aman meninggalkan Mekkah untuk bergabung dengan masyarakat Muslim di Medinah, tetapi  gelombang demi gelombang orang yang beriman mengalir hijrah  ke Medinah meninggalkan orang-orang yang mereka cintai dan sayangi di Mekkah. Para muhajirin itu meliputi pula sejumlah cukup besar kaum perempuan. Ayat ini mengisyaratkan para muhajirin demikian.
     Ayat ini merupakan tafsiran yang gamblang mengenai kekhawatiran  Nabi Besar Muhammad saw.   untuk tidak menerima perempuan-perempuan Muslim yang telah melarikan diri dari Mekkah itu, seandainya tidak diperoleh bukti   -- sesudah diadakan pemeriksaan yang teliti -- bahwa mereka sungguh-sungguh dan jujur di dalam keimanan mereka, dan mereka menerima Islam bebas dari maksud-maksud lain yang tercela.

Kesakralan Pernikahan dalam Islam

   Ayat ini selanjutnya menerangkan bahwa ikatan pernikahan antara seorang perempuan beriman  yang  hijrah dan suaminya yang tidak beriman dengan sendirinya putus bila ia masuk ke dalam jemaat orang-orang Islam, dan seorang pria mukmin diizinkan menikahinya jika ia dapat memenuhi dua syarat: (a) Ia harus membayar kembali kepada bekas suaminya yang kafir, apa yang telah dibelanjakan oleh bekas suaminya itu, dan (b) Ia harus menetapkan dan membayar maskawin kepada perempuan  itu.
   Demikian juga ikatan pernikahan antara seorang pria Muslim dengan istrinya yang murtad tidak dapat diteruskan  --     وَ لَا تُمۡسِکُوۡا بِعِصَمِ الۡکَوَافِرِ    (dan janganlah kamu menahan tali pernikahan dengan  perempuan-perempuan kafir) --  dan cara yang sama hendaknya berlaku, bila seorang perempuan yang murtad menikah dengan seorang-orang kafir,  seperti halnya pernikahan antara seorang Muslim dengan seorang perempuan mukmin yang hijrah.   
    Peraturan timbal balik yang ditetapkan dalam ayat ini bukanlah urusan pribadi perseorangan, melainkan harus dilaksanakan oleh negara, sebagaimana diamalkan di waktu peperangan yang justru teristimewa untuk itu peraturan tersebut di tetapkan oleh ayat-ayat ini. Setelah itu tidak dapat dan tidak boleh ada lagi hubungan sosial secara pribadi antara orang-orang beriman dengan orang-orang kafir.
   Pendek kata, demikian sakral kedudukan pernikahan itu menurut ajaran Islam, sehingga  sama sekali tidak ada celah untuk melakukan bid’ah dalam masalah pernikahan  berupa   nikah sirri”, dan kalau pun hal yang sangat tercela tersebut terjadi juga, hal itu dikarenakan   mereka yang terlibat di dalamnya  tidak memahami kesempurnaan ajaran Islam (Al-Quran) yang sebenarnya berkenaan dengan masalah pernikahan. Selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai kesakralan pernikahan dalam Islam:
وَ  اِنۡ  فَاتَکُمۡ شَیۡءٌ  مِّنۡ  اَزۡوَاجِکُمۡ   اِلَی الۡکُفَّارِ فَعَاقَبۡتُمۡ  فَاٰتُوا الَّذِیۡنَ ذَہَبَتۡ اَزۡوَاجُہُمۡ مِّثۡلَ مَاۤ  اَنۡفَقُوۡا ؕ وَ اتَّقُوا اللّٰہَ  الَّذِیۡۤ  اَنۡتُمۡ بِہٖ مُؤۡمِنُوۡنَ ﴿﴾  یٰۤاَیُّہَا  النَّبِیُّ  اِذَا جَآءَکَ  الۡمُؤۡمِنٰتُ یُبَایِعۡنَکَ عَلٰۤی  اَنۡ  لَّا یُشۡرِکۡنَ بِاللّٰہِ شَیۡئًا وَّ لَا یَسۡرِقۡنَ وَ لَا یَزۡنِیۡنَ وَ لَا یَقۡتُلۡنَ اَوۡلَادَہُنَّ وَ  لَا یَاۡتِیۡنَ  بِبُہۡتَانٍ یَّفۡتَرِیۡنَہٗ بَیۡنَ  اَیۡدِیۡہِنَّ وَ اَرۡجُلِہِنَّ وَ لَا یَعۡصِیۡنَکَ فِیۡ  مَعۡرُوۡفٍ فَبَایِعۡہُنَّ وَ اسۡتَغۡفِرۡ لَہُنَّ اللّٰہَ ؕ اِنَّ اللّٰہَ  غَفُوۡرٌ  رَّحِیۡمٌ ﴿﴾
Dan jika seorang dari istri-istri kamu lari dari kamu kepada orang-orang kafir lalu kamu mengalahkan mereka maka berikanlah kepada orang-orang beriman yang istri-istrinya melarikan diri sebanyak yang telah dibelanjakan oleh mereka.  Dan bertakwalah kepada Allah Yang kepada-Nya kamu beriman.   Hai Nabi, jika datang kepada  engkau perempuan-perempuan beriman  hendak bai’at kepada engkau bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu pun dengan Allah, mereka tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anak mereka, tidak akan melemparkan suatu tuduhan yang sengaja dibuat-buat antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakai engkau dalam hal-hal kebaikan, maka terimalah bai’at mereka dan mintalah ampunan Allah bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (Al-Mumtahanah  [60]:12-13).
    Bila istri seorang Muslim melarikan diri kepada orang-orang kafir, dan kemudian seorang  perempuan dari antara orang-orang kafir tertawan oleh orang-orang Muslim, atau perempuan itu melarikan diri dari orang-orang kafir dan menggabungkan diri kepada orang-orang Islam, maka si suami yang beriman   yang istrinya lari itu hendaknya diberi pengganti kerugian maskawin yang telah dibayarkan olehnya kepada si istri yang melarikan diri, dari jumlah ganti rugi yang harus dibayarkan kepada si suami kafir yang istrinya menggabungkan diri kepada orang-orang Muslim bila maskawin itu sama, tetapi selisihnya, jika ada,  hendaknya dipenuhi secara kolektif (patungan) oleh orang-orang Muslim, atau – seperti diterangkan oleh beberapa sumber – diganti dari harta rampasan perang yang diperoleh negara, karena kata ‘āqabtum pun berarti pula ghanimtum, artinya  “kamu telah mendapat harta rampasan perang”. Peraturan ini waktu itu perlu, karena orang-orang kafir suka menolak mengembalikan maskawin yang telah dibayarkan oleh para suami mukmin kepada istri-istri mereka yang kemudian melarikan diri kepada orang-orang kafir.

Dilarang  Melakukan Perbudakan Karena Tidak Ada Lagi Peperangan Agama

      Jadi, kembali kepada masalah “hamba-sahaya perempuan” yang dinikahi,   dapat juga dicatat secara sepintas lalu, bahwa adalah tidak diperkenankan (dilarang) menikahi  perempuan-perempuan kerabat budak-perempuan dalam batas yang tidak diizinkan, mengenai kerabat perempuan-merdeka. Misalnya: ibu, saudara-perempuan, anak-perempuan, dan sebagainya dari budak-perempuan yang diperistri, tidak boleh dinikahi.
       Selanjutnya dapat dikatakan, bahwa mengingat keadaan pada saat turun Al-Quran, maka terpaksa harus mengadakan perbedaan kedudukan sosial di antara kedua golongan perempuan itu. Pembedaan itu dinyatakan dengan sebutan zauj (perempuan-merdeka yang dinikahi) dan milk yamin (budak-perempuan yang dinikahi).
     Sebutan pertama menyandang arti persamaan derajat antara suami dan istri, sedangkan yang kedua mengisyaratkan kepada kedudukannya yang agak rendah sebagai istri. Tetapi hal itu berlaku sementara. Al-Quran dan Nabi Besar Muhammad saw. memerintahkan dengan keras sekali, bahwa budak-budak perempuan pertama-tama harus diberi kemerdekaan dan kedudukan penuh dan kemudian dinikahi, sebagaimana  Nabi Besar Muhammad saw.   telah melakukannya.
     Kecuali itu, Islam tidak memperkenankan perempuan yang ditawan dalam peperangan-kecil untuk diperlakukan sebagai budak-budak perempuan. Izin menikahi  budak perempuan tanpa persetujuannya lebih dahulu, berlaku hanya apabila satu bangsa yang bersikap tidak-bersahabat berinisiatip melancarkan perang agama terhadap Islam untuk menghapuskan dan memaksa orang-orang Islam meninggalkan agama mereka di bawah ancaman pedang (senjata), dan kemudian memperlakukan tawanan-tawanan mereka — laki-laki maupun perempuan — sebagai budak-budak seperti dilakukan di masa  Nabi Besar Muhammad saw..  
      Pada masa itu  musuh-musuh Islam membawa perempuan-perempuan Muslim sebagai tawanan dan memperlakukan mereka sebagai budak-budak. Perintah Islam hanya merupakan tindak balasan dan bersifat sementara. Perintah itu mempunyai tujuan sampingan pula, yakni untuk melindungi akhlak tawanan-tawanan perempuan. Keadaan yang demikian itu sudah tidak berlaku lagi.
      Sekarang tidak ada lagi peperangan agama dan karenanya tawanan-tawanan perang  tidak boleh diperlakukan sebagai budak-budak, apa lagi mereka itu dibunuh secara zalim dengan mengatasnamakan "jihad di jalan  Allah" yang keliru difahami.  
      Demikianlah penjelasan mengenai kedua macam istri yang sah yang pada awalnya  memiliki perbedaan status sosial yang bersifat sementara waktu, firman-Nya:
وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ  لِفُرُوۡجِہِمۡ حٰفِظُوۡنَ ۙ﴿﴾  اِلَّا عَلٰۤی اَزۡوَاجِہِمۡ اَوۡ مَا مَلَکَتۡ اَیۡمَانُہُمۡ فَاِنَّہُمۡ غَیۡرُ   مَلُوۡمِیۡنَ ۚ﴿﴾  فَمَنِ ابۡتَغٰی وَرَآءَ ذٰلِکَ فَاُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡعٰدُوۡنَ ۚ﴿﴾
Dan  orang-orang yang menjaga kemaluannya,  kecuali terhadap istri-istri mereka atau apa yang dimiliki tangan kanan mereka maka sesungguhnya mereka tidak tercela.   Tetapi barangsiapa mencari selain dari itu  maka mereka itu  orang-orang yang melampaui batas. (Al-Mu’minūn [23]:6-8).

(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
                                                                              ***
Pajajaran Anyar,  18 Juli     2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar