بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم
Khazanah
Ruhani Surah Shād
Bab 288
Perempuan-perempuan
Beriman yang Hijrah & Kesakralan Pernikahan
Dalam Islam
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam akhir Bab sebelumnya
telah
dikemukakan mengenai berbagai
maqam (keadaan ruhani) orang-orang beriman, yakni dimulai dengan iman – yakni sikap hati – yang benar
terhadap hal-hal yang gaib, terutama Allah Swt., lalu menghindarkan diri
dari bagai hal yang laghaw (sia-sia),
selanjutnya mendirikan shalat dengan khusyuk, kemudian menunaikan
pembayaran zakat, selanjutnya menjaga kesucian farjinya (kemaluannya) kecuali terhadap istri-istri mereka (QS23:1-5)
-- yang sebelum dinikahi berasal dari dua macam status sosial yakni “perempuan merdeka”
dan “perempuan yang dimiliki
tangan kanan” (hamba sahaya
perempuan) -- firman-Nya:
وَ الَّذِیۡنَ
ہُمۡ
لِفُرُوۡجِہِمۡ حٰفِظُوۡنَ ۙ﴿﴾ اِلَّا عَلٰۤی
اَزۡوَاجِہِمۡ اَوۡ مَا مَلَکَتۡ اَیۡمَانُہُمۡ فَاِنَّہُمۡ غَیۡرُ مَلُوۡمِیۡنَ ۚ﴿﴾ فَمَنِ ابۡتَغٰی
وَرَآءَ ذٰلِکَ فَاُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡعٰدُوۡنَ ۚ﴿﴾
Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya,
kecuali terhadap istri-istri
mereka atau apa yang dimiliki tangan
kanan mereka maka sesungguhnya mereka
tidak tercela. Tetapi barangsiapa mencari selain dari itu
maka mereka itu orang-orang yang melampaui batas. (Al-Mu’minūn
[23]:6-8).
Menurut
riwayat Nabi Besar Muhammad saw. pernah
bersabda: “Orang yang mempunyai budak
perempuan dan memberi didikan yang baik kepadanya, serta memeliharanya dengan
cara yang patut dan selanjutnya memerdekakan serta menikahinya, bagi dia ada
ganjaran dua kali lipat” (Bukhari,
Kitab al-Ilm).
Hadits ini berarti bahwa manakala seorang orang Islam ingin memperistri seorang budak perempuan, ia hendaknya pertama-tama memerdekakan budak perempuan itu lebih dahulu sebelum menikahinya.
Amal Nabi Besar Muhammad saw. amat sejalan dengan perintah beliau saw.
itu. Dua dari antara istri-istri beliau saw., Juwairiah dan Shafiyyah -- yang berkebangsaan Bani Israil -- jatuh ke
tangan beliau saw. sebagai tawanan perang.
Mereka itu milk yamin beliau saw.. Tetapi beliau saw. menikahi keduanya menurut syariat Islam.
Beliau saw. menikahi juga Mariyah
yang dikirim Raja Muda Mesir, untuk beliau saw. dan istri beliau yang ini
pun menikmati kedudukan sebagai perempuan merdeka, seperti istri-istri Nabi Besar Muhammad saw. yang lainnya. Beliau pun mengenakan burkah
(kudungan) dan termasuk salah satu di antara Ummul Mukminin (Ibu
orang-orang yang beriman – QS.33:7).
Al-Quran menjelaskan, bahwa perintah
berkenaan dengan pernikahan yang berlaku untuk “yang dimiliki tangan kanan engkau” adalah sama dengan perintah yang berlaku untuk putri-putri
para paman dan bibi Nabi Besar Muhammad saw. dari pihak ayah dan ibu. Kedua kelas perempuan itu harus dinikahi oleh Nabi Besar Muhammad saw. sebelum mereka diperlakukan sebagai istri-istri, adalah sebagai contoh yang juga harus dilaksanakan
oleh orang-orang
beriman lainnya jika mereka akan melakukan hal yang sama (QS.33:22).
Perempuan-perempuan Beriman “Muhajir”
Ketiga
kategori yang disebut di atas semuanya dihalalkan bagi Nabi Besar Muhammad saw. melalui pernikahan (QS.33:51). Selanjutnya, ayat yang berbunyi: “Dan
diharamkan juga bagi kamu perempuan-perempuan yang bersuami, kecuali yang dimiliki tangan kanan kamu”
(QS.4:25) bersama-sama dengan ayat sebelumnya, membahas perempuan-perempuan muhrim (yang haram dinikahi) dan di antara mereka ini
termasuk perempuan-perempuan yang bersuami.
Tetapi ayat itu membuat suatu pengecualian, yaitu perempuan-perempuan bersuami yang ditawan dalam peperangan agama dan kemudian mereka memilih tetap bersama orang-orang Islam dapat dinikahi oleh majikan-majikan mereka. Kenyataan bahwa
mereka memilih tidak kembali kepada suami-lama
mereka, dianggap sama dengan pembatalan pernikahan mereka yang
sebelumnya, firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا
الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡۤا اِذَا
جَآءَکُمُ الۡمُؤۡمِنٰتُ مُہٰجِرٰتٍ فَامۡتَحِنُوۡہُنَّ ؕ اَللّٰہُ اَعۡلَمُ
بِاِیۡمَانِہِنَّ ۚ فَاِنۡ عَلِمۡتُمُوۡہُنَّ مُؤۡمِنٰتٍ فَلَا تَرۡجِعُوۡہُنَّ اِلَی
الۡکُفَّارِ ؕ لَا ہُنَّ حِلٌّ
لَّہُمۡ وَ لَا ہُمۡ یَحِلُّوۡنَ
لَہُنَّ ؕ وَ اٰتُوۡہُمۡ
مَّاۤ اَنۡفَقُوۡا ؕ وَ لَا جُنَاحَ عَلَیۡکُمۡ اَنۡ تَنۡکِحُوۡہُنَّ اِذَاۤ
اٰتَیۡتُمُوۡہُنَّ اُجُوۡرَہُنَّ ؕ
وَ لَا تُمۡسِکُوۡا بِعِصَمِ الۡکَوَافِرِ وَ سۡـَٔلُوۡا مَاۤ اَنۡفَقۡتُمۡ وَ لۡیَسۡـَٔلُوۡا مَاۤ اَنۡفَقُوۡا ؕ ذٰلِکُمۡ حُکۡمُ اللّٰہِ ؕ یَحۡکُمُ بَیۡنَکُمۡ ؕ وَ
اللّٰہُ عَلِیۡمٌ حَکِیۡمٌ ﴿﴾
Hai orang-orang yang beriman,
apabila datang kepada kamu perempuan-perempuan
beriman sebagai muhajir maka ujilah mereka. Allah Maha Mengetahui keimanan mereka, lalu jika kamu mengetahui mereka benar-benar beriman maka kamu
jangan mengembalikan mereka kepada orang-orang kafir. Perempuan-perempuan itu tidaklah halal bagi mereka dan mereka tidak halal bagi perempuan-perempuan
itu. Dan berikanlah kepada suami mereka
apa yang telah mereka belanjakan. Dan tidak
ada dosa bagi kamu menikahi mereka apabila kamu memberikan kepada mereka maskawin mereka. وَ لَا
تُمۡسِکُوۡا بِعِصَمِ الۡکَوَافِرِ -- dan janganlah
kamu menahan tali pernikahan dengan perempuan-perempuan kafir, dan mintalah apa yang telah kamu nafkahkan,
dan hendaklah mereka pun meminta
apa yang telah mereka belanjakan. Demikianlah keputusan Allah. Dia-lah Yang menghakimi di antara kamu, dan Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana. (Al-Mumtahanah [60]:11).
Meskipun ketika orang-orang Islam dizalimi dengan hebat dan mereka tidak aman
meninggalkan Mekkah untuk bergabung dengan masyarakat
Muslim di Medinah, tetapi gelombang
demi gelombang orang yang beriman mengalir hijrah
ke Medinah meninggalkan orang-orang yang
mereka cintai dan sayangi di Mekkah. Para muhajirin
itu meliputi pula sejumlah cukup besar kaum perempuan.
Ayat ini mengisyaratkan para muhajirin
demikian.
Ayat ini merupakan tafsiran yang gamblang mengenai kekhawatiran Nabi Besar Muhammad saw. untuk
tidak menerima perempuan-perempuan Muslim
yang telah melarikan diri dari Mekkah itu, seandainya tidak diperoleh bukti -- sesudah diadakan pemeriksaan yang teliti
-- bahwa mereka sungguh-sungguh dan jujur di dalam keimanan mereka, dan mereka menerima
Islam bebas dari maksud-maksud lain yang tercela.
Kesakralan
Pernikahan dalam Islam
Ayat ini selanjutnya menerangkan bahwa ikatan pernikahan antara seorang perempuan beriman yang hijrah
dan suaminya yang tidak beriman dengan sendirinya putus bila ia masuk ke dalam jemaat orang-orang Islam, dan seorang pria mukmin
diizinkan menikahinya jika ia dapat memenuhi
dua syarat: (a) Ia harus membayar kembali kepada bekas suaminya yang kafir, apa
yang telah dibelanjakan oleh bekas suaminya itu, dan (b) Ia harus menetapkan
dan membayar maskawin kepada perempuan
itu.
Demikian juga ikatan pernikahan antara seorang pria Muslim dengan istrinya yang murtad tidak dapat diteruskan -- وَ لَا تُمۡسِکُوۡا بِعِصَمِ الۡکَوَافِرِ (dan janganlah
kamu menahan tali pernikahan dengan perempuan-perempuan kafir) -- dan cara yang sama hendaknya berlaku, bila
seorang perempuan yang murtad menikah dengan seorang-orang kafir, seperti halnya pernikahan antara seorang Muslim
dengan seorang perempuan mukmin yang hijrah.
Peraturan timbal balik yang ditetapkan dalam ayat ini bukanlah urusan pribadi perseorangan, melainkan
harus dilaksanakan oleh negara,
sebagaimana diamalkan di waktu peperangan
yang justru teristimewa untuk itu peraturan tersebut di tetapkan oleh ayat-ayat
ini. Setelah itu tidak dapat dan tidak boleh ada lagi hubungan sosial secara pribadi antara orang-orang beriman dengan orang-orang
kafir.
Pendek kata, demikian sakral
kedudukan pernikahan itu menurut ajaran Islam, sehingga sama sekali tidak ada celah untuk melakukan bid’ah dalam masalah pernikahan berupa
“nikah sirri”, dan kalau pun
hal yang sangat tercela tersebut
terjadi juga, hal itu dikarenakan
mereka yang terlibat di dalamnya tidak memahami kesempurnaan ajaran Islam (Al-Quran) yang sebenarnya
berkenaan dengan masalah pernikahan.
Selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai kesakralan
pernikahan dalam Islam:
وَ اِنۡ فَاتَکُمۡ شَیۡءٌ مِّنۡ
اَزۡوَاجِکُمۡ اِلَی الۡکُفَّارِ
فَعَاقَبۡتُمۡ فَاٰتُوا الَّذِیۡنَ
ذَہَبَتۡ اَزۡوَاجُہُمۡ مِّثۡلَ مَاۤ
اَنۡفَقُوۡا ؕ وَ اتَّقُوا اللّٰہَ
الَّذِیۡۤ اَنۡتُمۡ بِہٖ
مُؤۡمِنُوۡنَ ﴿﴾ یٰۤاَیُّہَا النَّبِیُّ اِذَا جَآءَکَ الۡمُؤۡمِنٰتُ یُبَایِعۡنَکَ عَلٰۤی اَنۡ
لَّا یُشۡرِکۡنَ بِاللّٰہِ شَیۡئًا وَّ لَا یَسۡرِقۡنَ وَ لَا یَزۡنِیۡنَ
وَ لَا یَقۡتُلۡنَ اَوۡلَادَہُنَّ وَ لَا
یَاۡتِیۡنَ بِبُہۡتَانٍ یَّفۡتَرِیۡنَہٗ
بَیۡنَ اَیۡدِیۡہِنَّ وَ اَرۡجُلِہِنَّ وَ
لَا یَعۡصِیۡنَکَ فِیۡ مَعۡرُوۡفٍ
فَبَایِعۡہُنَّ وَ اسۡتَغۡفِرۡ لَہُنَّ اللّٰہَ ؕ اِنَّ اللّٰہَ غَفُوۡرٌ
رَّحِیۡمٌ ﴿﴾
Dan jika seorang dari istri-istri kamu lari dari kamu kepada orang-orang
kafir lalu kamu mengalahkan mereka maka berikanlah kepada orang-orang beriman yang istri-istrinya melarikan
diri sebanyak yang telah dibelanjakan
oleh mereka. Dan bertakwalah kepada Allah Yang kepada-Nya kamu beriman. Hai Nabi,
jika datang kepada engkau perempuan-perempuan beriman hendak bai’at
kepada engkau bahwa mereka tidak
akan mempersekutukan sesuatu pun dengan Allah, mereka tidak akan mencuri, tidak
akan berzina, tidak akan membunuh
anak-anak mereka, tidak akan
melemparkan suatu tuduhan yang sengaja dibuat-buat antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan
mendurhakai engkau dalam hal-hal kebaikan,
maka terimalah bai’at mereka dan mintalah ampunan Allah bagi mereka,
sesungguhnya Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (Al-Mumtahanah [60]:12-13).
Bila istri seorang Muslim melarikan diri kepada orang-orang kafir, dan kemudian
seorang perempuan dari antara orang-orang kafir tertawan oleh orang-orang Muslim,
atau perempuan itu melarikan diri
dari orang-orang kafir dan
menggabungkan diri kepada orang-orang Islam,
maka si suami yang beriman yang istrinya lari itu hendaknya diberi pengganti kerugian maskawin yang telah
dibayarkan olehnya kepada si istri
yang melarikan diri, dari jumlah ganti rugi yang harus dibayarkan kepada si suami kafir yang istrinya menggabungkan diri kepada orang-orang Muslim bila maskawin itu sama, tetapi selisihnya,
jika ada, hendaknya dipenuhi secara kolektif
(patungan) oleh orang-orang Muslim, atau – seperti diterangkan oleh beberapa
sumber – diganti dari harta rampasan
perang yang diperoleh negara, karena kata ‘āqabtum pun berarti pula ghanimtum,
artinya “kamu telah mendapat harta
rampasan perang”. Peraturan ini waktu itu perlu, karena orang-orang kafir suka menolak mengembalikan maskawin yang telah dibayarkan oleh para suami mukmin kepada istri-istri
mereka yang kemudian melarikan diri
kepada orang-orang kafir.
Dilarang Melakukan Perbudakan
Karena Tidak Ada Lagi Peperangan Agama
Jadi, kembali kepada masalah “hamba-sahaya
perempuan” yang dinikahi, dapat
juga dicatat secara sepintas lalu, bahwa adalah tidak diperkenankan (dilarang) menikahi perempuan-perempuan kerabat budak-perempuan dalam batas yang tidak diizinkan, mengenai kerabat perempuan-merdeka. Misalnya: ibu, saudara-perempuan, anak-perempuan,
dan sebagainya dari budak-perempuan
yang diperistri, tidak boleh
dinikahi.
Selanjutnya
dapat dikatakan, bahwa mengingat keadaan
pada saat turun Al-Quran, maka terpaksa
harus mengadakan perbedaan kedudukan
sosial di antara kedua golongan
perempuan itu. Pembedaan itu
dinyatakan dengan sebutan zauj (perempuan-merdeka yang dinikahi) dan milk
yamin (budak-perempuan yang dinikahi).
Sebutan pertama menyandang arti persamaan derajat antara suami dan istri, sedangkan yang kedua
mengisyaratkan kepada kedudukannya
yang agak rendah sebagai istri. Tetapi hal itu berlaku sementara. Al-Quran dan Nabi
Besar Muhammad saw. memerintahkan
dengan keras sekali, bahwa budak-budak
perempuan pertama-tama harus diberi kemerdekaan
dan kedudukan penuh dan kemudian dinikahi, sebagaimana Nabi Besar Muhammad saw. telah melakukannya.
Kecuali
itu, Islam tidak memperkenankan perempuan yang ditawan dalam peperangan-kecil untuk diperlakukan
sebagai budak-budak perempuan. Izin
menikahi budak perempuan tanpa persetujuannya
lebih dahulu, berlaku hanya apabila satu bangsa
yang bersikap tidak-bersahabat
berinisiatip melancarkan perang agama
terhadap Islam untuk menghapuskan
dan memaksa orang-orang Islam
meninggalkan agama mereka di bawah ancaman pedang (senjata), dan kemudian
memperlakukan tawanan-tawanan mereka
— laki-laki maupun perempuan — sebagai budak-budak
seperti dilakukan di masa Nabi Besar
Muhammad saw..
Pada masa itu
musuh-musuh Islam membawa perempuan-perempuan
Muslim sebagai tawanan dan
memperlakukan mereka sebagai budak-budak.
Perintah Islam hanya merupakan tindak
balasan dan bersifat sementara.
Perintah itu mempunyai tujuan sampingan
pula, yakni untuk melindungi akhlak
tawanan-tawanan perempuan. Keadaan yang demikian itu sudah tidak berlaku lagi.
Sekarang
tidak ada lagi peperangan agama dan
karenanya tawanan-tawanan perang tidak boleh diperlakukan sebagai budak-budak, apa lagi mereka itu dibunuh secara zalim dengan mengatasnamakan "jihad di jalan Allah" yang keliru difahami.
Demikianlah penjelasan mengenai kedua macam istri yang sah yang pada awalnya
memiliki perbedaan status sosial
yang bersifat sementara waktu, firman-Nya:
وَ الَّذِیۡنَ
ہُمۡ
لِفُرُوۡجِہِمۡ حٰفِظُوۡنَ ۙ﴿﴾ اِلَّا عَلٰۤی
اَزۡوَاجِہِمۡ اَوۡ مَا مَلَکَتۡ اَیۡمَانُہُمۡ فَاِنَّہُمۡ غَیۡرُ مَلُوۡمِیۡنَ ۚ﴿﴾ فَمَنِ ابۡتَغٰی
وَرَآءَ ذٰلِکَ فَاُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡعٰدُوۡنَ ۚ﴿﴾
Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya,
kecuali terhadap istri-istri
mereka atau apa yang dimiliki tangan
kanan mereka maka sesungguhnya mereka
tidak tercela. Tetapi barangsiapa mencari selain dari itu
maka mereka itu orang-orang yang melampaui batas. (Al-Mu’minūn
[23]:6-8).
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam
Farid
***
Pajajaran Anyar, 18 Juli
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar