Rabu, 20 Agustus 2014

Hubungan "Kesuksesan" Umat Islam di Masa Awal dengan "Sabar" dan "Shalat" (Doa) Dalam Melakukan "Jihad di Jalan Allah" yang Hakiki



بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم
 
 
 Khazanah Ruhani Surah  Shād
 
Bab   298
 
Hubungan Kesuksesan Umat Islam  di Masa Awal dengan   Sabar dan Shalat (Doa)  dalam Melakukan  Jihad di Jalan Allah” yang Hakiki
    
 Oleh
 
Ki Langlang Buana Kusuma

D
alam Bab sebelumnya telah dikemukakan mengenai makna ayat  وَ لَوۡ  یَشَآءُ  اللّٰہُ  لَانۡتَصَرَ  مِنۡہُمۡ وَ لٰکِنۡ  لِّیَبۡلُوَا۠ بَعۡضَکُمۡ  بِبَعۡضٍ --  “Demikianlah,  dan seandainya  Allah menghendaki niscaya Dia menuntut  balasan dari mereka, tetapi hal demikian itu supaya Dia menguji  sebagian dari kamu dengan sebagian yang lain” (Muhammad [47]:5). Allah Swt.  menghendaki agar orang-orang beriman melibatkan diri dalam peperangan melawan orang-orang kafir, agar di satu pihak sifat dan watak baik mereka akan mendapat peluang memainkan peranan, dan di pihak lain agar sifat-sifat buruk orang-orang kafir akan terbuka kedoknya.
     Barangkali tidak ada di dalam segi kehidupan lain, yang di dalamnya keunggulan akhlak para sahabat Nabi Besar Muhammad saw.  begitu jelas nampak, seperti di dalam perlakuan mereka terhadap musuh-musuh mereka yang telah dikalahkan. Dengan demikian jelaslah bahwa menurut Allah Swt. dalam Al-Quran, bahwa  dalam  perang pun – jika terpaksa harus dilakukan  --  pada hakikatnya merupakan salah satu medan dan sekian banyak medan kehidupan  untuk memperagakan ketakwaan kepada Allah Swt. dan ketaatan kepada Rasul-Nya, bukan  sarana untuk melampiaskan kemarahan dan rasa benci terhadap pihak lawan.

Pentingnya Memperagakan Ketakwaan Dalam Perang

   Itulah sebabnya   dalam ajaran Islam telah ditetapkan berbagai macam adab perang, yang bahkan jika pelanggaran terhadap adab perang tersebut dilanggar oleh umat Islam maka  si pelaku  akan dikenai hukuman  yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi Besar Muhammad saw., salah satu contohnya adalah mengenai hukum qishash, firman-Nya:
وَ مَا کَانَ لِمُؤۡمِنٍ اَنۡ یَّقۡتُلَ مُؤۡمِنًا اِلَّا خَطَـًٔا ۚ وَ مَنۡ قَتَلَ مُؤۡمِنًا خَطَـًٔا فَتَحۡرِیۡرُ رَقَبَۃٍ مُّؤۡمِنَۃٍ وَّ دِیَۃٌ مُّسَلَّمَۃٌ اِلٰۤی اَہۡلِہٖۤ  اِلَّاۤ اَنۡ یَّصَّدَّقُوۡا ؕ فَاِنۡ کَانَ مِنۡ قَوۡمٍ عَدُوٍّ لَّکُمۡ وَ ہُوَ مُؤۡمِنٌ فَتَحۡرِیۡرُ رَقَبَۃٍ مُّؤۡمِنَۃٍ ؕ وَ اِنۡ کَانَ مِنۡ قَوۡمٍۭ بَیۡنَکُمۡ وَ بَیۡنَہُمۡ مِّیۡثَاقٌ فَدِیَۃٌ مُّسَلَّمَۃٌ اِلٰۤی اَہۡلِہٖ وَ تَحۡرِیۡرُ رَقَبَۃٍ مُّؤۡمِنَۃٍ ۚ فَمَنۡ لَّمۡ  یَجِدۡ فَصِیَامُ شَہۡرَیۡنِ مُتَتَابِعَیۡنِ ۫ تَوۡبَۃً مِّنَ  اللّٰہِ ؕ وَ کَانَ اللّٰہُ  عَلِیۡمًا حَکِیۡمًا ﴿﴾  وَ مَنۡ یَّقۡتُلۡ مُؤۡمِنًا مُّتَعَمِّدًا فَجَزَآؤُہٗ جَہَنَّمُ خٰلِدًا فِیۡہَا وَ غَضِبَ اللّٰہُ عَلَیۡہِ وَ لَعَنَہٗ وَ اَعَدَّ  لَہٗ عَذَابًا عَظِیۡمًا ﴿﴾
Dan sekali-kali tidak patut bagi seorang yang beriman  membunuh seorang yang beriman lainnya kecuali tidak sengaja.  Dan barangsiapa membunuh seorang beriman    dengan tidak sengaja maka hendaklah ia  memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman dan membayar tebusan untuk diserahkan kepada ahli waris di terbunuh, kecuali jika  mereka merelakan sebagai sedekah. Tetapi jika ia yang terbunuh itu dari kaum yang bermusuhan dengan kamu dan ia seorang yang beriman maka cukuplah memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman. Dan jika ia dari kaum yang antara kamu dan mereka ada suatu perjanjian persekutuan, maka bayarlah tebusan untuk diserahkan kepada ahli warisnya dan memerdekakan pula seorang budak yang beriman.  Tetapi barangsiapa tidak memperoleh budak yang beriman maka  ia wajib berpuasa dua bulan berturut-turut, keringanan ini suatu kasih-sayang dari Allah, dan Allah benar-benar Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.  وَ مَنۡ یَّقۡتُلۡ مُؤۡمِنًا مُّتَعَمِّدًا فَجَزَآؤُہٗ جَہَنَّمُ خٰلِدًا فِیۡہَا وَ غَضِبَ اللّٰہُ عَلَیۡہِ وَ لَعَنَہٗ وَ اَعَدَّ  لَہٗ عَذَابًا عَظِیۡمًا  -- Dan  barangsiapa membunuh seorang yang beriman  dengan sengaja maka balasannya adalah Jahannam, ia kekal di dalamnya, Allah murka kepadanya,   melaknatnya, dan  menyediakan baginya azab yang besar.  (An-Nisā[4]:94-95).
        Pernyataan keras Allah Swt. dalam akhir ayat tersebut sangat tepat, sebab mereka yang melakukan perbuatan yang sangat dimurkai Allah Swt. benar-benar telah menghancurkan  tujuan utama Allah Swt. mengutus Nabi Besar Muhammad saw. sebagai “rahmat bagi seluruh Allah” (QS.21:108) dan  sebagai  suri teladan terbaik  (QS.33:22) dalam rangka terciptanya “umat terbaik” yang dibangkitkan untuk kepentingan seluruh manusia (QS.2:144; QS.3:111).
   Makna ayat وَ الَّذِیۡنَ قُتِلُوۡا فِیۡ  سَبِیۡلِ اللّٰہِ  فَلَنۡ یُّضِلَّ  اَعۡمَالَہُمۡ   -- “Dan orang-orang yang terbunuh di jalan Allah Dia  tidak akan pernah menyia-nyiakan amal-amal mereka” (QS.2:155), bahwa pengorbanan kaum Muslimin yang mati syahid di medan bakti tidak akan sia-sia. Pada hakikatnya, pengorbanan mereka itulah yang justru telah meletakkan dasar Islam yang kokoh di tanah Arab, firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوا اسۡتَعِیۡنُوۡا بِالصَّبۡرِ وَ الصَّلٰوۃِ ؕ اِنَّ اللّٰہَ مَعَ الصّٰبِرِیۡنَ ﴿﴾ وَ لَا تَقُوۡلُوۡا لِمَنۡ یُّقۡتَلُ فِیۡ سَبِیۡلِ اللّٰہِ اَمۡوَاتٌ ؕ بَلۡ اَحۡیَآءٌ وَّ لٰکِنۡ لَّا تَشۡعُرُوۡنَ ﴿﴾ ؕ وَ بَشِّرِ الصّٰبِرِیۡنَ ﴿﴾ۙ   الَّذِیۡنَ اِذَاۤ  اَصَابَتۡہُمۡ مُّصِیۡبَۃٌ  ۙ قَالُوۡۤا اِنَّا لِلّٰہِ وَ  اِنَّاۤ اِلَیۡہِ رٰجِعُوۡنَ ﴿﴾ؕ   اُولٰٓئِکَ عَلَیۡہِمۡ صَلَوٰتٌ مِّنۡ رَّبِّہِمۡ وَ رَحۡمَۃٌ ۟ وَ اُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡمُہۡتَدُوۡنَ ﴿﴾
Hai orang-orang yang beriman,  mohonlah pertolongan dengan sabar  dan shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. وَ لَا تَقُوۡلُوۡا لِمَنۡ یُّقۡتَلُ فِیۡ سَبِیۡلِ اللّٰہِ اَمۡوَاتٌ ؕ بَلۡ اَحۡیَآءٌ وَّ لٰکِنۡ لَّا تَشۡعُرُوۡنَ  -- dan   janganlah kamu mengatakan mengenai orang-orang yang terbunuh di jalan Allah bahwa  mereka itu mati, بَلۡ اَحۡیَآءٌ وَّ لٰکِنۡ لَّا تَشۡعُرُوۡنَ -- tidak bahkan mereka hidup, tetapi kamu tidak menyadari. وَ لَنَبۡلُوَنَّکُمۡ بِشَیۡءٍ مِّنَ الۡخَوۡفِ وَ الۡجُوۡعِ وَ نَقۡصٍ مِّنَ الۡاَمۡوَالِ وَ الۡاَنۡفُسِ وَ الثَّمَرٰتِ  --  dan  Kami niscaya  akan  menguji kamu dengan sesuatu berupa ketakutan, kelaparan,  kekurangan dalam harta,  jiwa dan buah-buahan, وَ بَشِّرِ الصّٰبِرِیۡنَ -- dan berilah kabar gembira kepada  orang-orang yang sabar. الَّذِیۡنَ اِذَاۤ  اَصَابَتۡہُمۡ مُّصِیۡبَۃٌ  --  yaitu orang-orang yang  apabila  suatu musibah menimpa mereka, ۙ قَالُوۡۤا اِنَّا لِلّٰہِ وَ  اِنَّاۤ اِلَیۡہِ رٰجِعُوۡنَ  -- mereka berkata:  Sesungguhnya kami  milik Allah dan sesungguhnya kepada-Nya-lah kami  kembali.  اُولٰٓئِکَ عَلَیۡہِمۡ صَلَوٰتٌ مِّنۡ رَّبِّہِمۡ وَ رَحۡمَۃٌ ۟ وَ اُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡمُہۡتَدُوۡنَ  -- mereka itulah  orang-orang yang dilimpahi berkat-berkat dan rahmat dari Rabb (Tuhan) mereka dan mereka inilah  yang mendapat petunjuk. (Al-Baqarah [2]:154-158).

Makna Mendahulukan “Sabar” daripada  Shalat” (Doa)

        Ayat 154 mengandung satu asas yang hebat sekali untuk mencapai keberhasilan. Pertama, seorang Muslim harus sabar yakni tekun dalam usahanya dan sedikit pun tidak boleh berputus asa. Di samping itu ia harus menjauhi apa-apa yang berbahaya dan berpegang teguh kepada segala hal yang baik.  Itulah makna “sabar”. Kedua, ia hendaknya mendoa kepada  Allah Swt.  untuk keberhasilan, sebab hanya Allah Swt. sajalah Sumber segala kebaikan.
        Kata shabr (sabar) mendahului kata shalat dalam ayat ini dengan maksud untuk menekankan pentingnya melaksanakan hukum Ilahi yang terkadang diremehkan karena tidak mengetahui. Lazimnya doa akan terkabul hanya bila didampingi oleh penggunaan segala sarana yang dijadikan  Allah  Swt.   untuk mencapai sesuatu tujuan.
        Kata  ahya  dalam ayat  وَ لَا تَقُوۡلُوۡا لِمَنۡ یُّقۡتَلُ فِیۡ سَبِیۡلِ اللّٰہِ اَمۡوَاتٌ ؕ بَلۡ اَحۡیَآءٌ وَّ لٰکِنۡ لَّا تَشۡعُرُوۡنَ  -- dan  janganlah kamu mengatakan mengenai orang-orang yang terbunuh di jalan Allah bahwa  mereka itu mati, بَلۡ اَحۡیَآءٌ وَّ لٰکِنۡ لَّا تَشۡعُرُوۡنَ -- tidak bahkan mereka hidup, tetapi kamu tidak menyadari,” kata  ahya    itu jamak dari hayy yang antara lain berarti: (1) seseorang dengan amal yang diperbuat selama hidupnya tidak menjadi sia-sia; (2) orang yang kematiannya dituntut balas.
        Amwat itu jamak dari mayyit, yang selain  berarti orang mati, mengandung makna: (1) orang yang darahnya belum terbalas; (2) orang yang tidak meninggalkan penerus-penerus; (3) orang yang menderita sedih dan duka nestapa.
   Ayat  ini mengandung suatu kebenaran agung dari segi ilmu jiwa,  yang diperkirakan memberikan pengaruh hebat kepada kehidupan dan kemajuan suatu kaum. Suatu kaum yang tidak menghargai pahlawan-pahlawan yang telah syahid secara sepatutnya dan tidak mengambil langkah-langkah untuk melenyapkan rasa takut mati dari hati mereka, sebenarnya telah menutup masa depan mereka sendiri.
         Ayat     وَ لَنَبۡلُوَنَّکُمۡ بِشَیۡءٍ مِّنَ الۡخَوۡفِ وَ الۡجُوۡعِ وَ نَقۡصٍ مِّنَ الۡاَمۡوَالِ وَ الۡاَنۡفُسِ وَ الثَّمَرٰتِ  --  dan  Kami niscaya  akan  menguji kamu dengan sesuatu berupa ketakutan, kelaparan,  kekurangan dalam harta,  jiwa dan buah-buahan,”    merupakan kelanjutan yang tepat dari ayat yang mendahuluinya. Kaum Muslimin harus siap-sedia bukan saja mengorbankan jiwa mereka untuk kepentingan Islam tetapi mereka harus juga bersedia menderita segala macam kesedihan yang akan menimpa mereka sebagai cobaan atau ujian.
Hikmah dari ayat  الَّذِیۡنَ اِذَاۤ  اَصَابَتۡہُمۡ مُّصِیۡبَۃٌ  --  yaitu orang-orang yang  apabila  suatu musibah menimpa mereka, ۙ قَالُوۡۤا اِنَّا لِلّٰہِ وَ  اِنَّاۤ اِلَیۡہِ رٰجِعُوۡنَ  -- mereka berkata: Sesungguhnya kami  milik Allah dan sesungguhnya kepada-Nya-lah kami  kembali.       Allah Swt.  adalah Pemilik segala yang kita miliki, termasuk diri kita sendiri. Bila Sang Pemilik itu, sesuai dengan kebijaksanaan-Nya yang tidak ada batasnya, menganggap tepat untuk mengambil sesuatu dari kita, kita tidak punya alasan untuk berkeluh-kesah atau menggerutu.

Bersama “Kesukaran” ada “Kemudahan” dan “Kesuksesan

   Oleh karena itu tiap-tiap kemalangan yang menimpa kita, daripada membuat kita putus asa, sebaliknya hendaknya menjadi dorongan untuk mengadakan usaha yang lebih hebat lagi untuk mencapai hasil yang lebih baik dalam hidup kita. Jadi  rumusan yang ada dalam ayat ini bukan semata-mata suatu ucapan bertuah belaka, melainkan suatu nasihat yang bijak dan peringatan yang tepat pada waktunya. 
   Sehubungan dengan hal  tersebut, Allah Swt. berfirman kepada Nabi Besar Muhammad saw., yang harus “memikul amanat syariat” yang sangat berat (QS.33:73-74) guna menjadi  suri teladan terbaik bagi umat manusia (QS.33:22):
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾ اَلَمۡ نَشۡرَحۡ  لَکَ صَدۡرَکَ ۙ﴿﴾  وَ وَضَعۡنَا عَنۡکَ وِزۡرَکَ ۙ﴿﴾   الَّذِیۡۤ  اَنۡقَضَ ظَہۡرَکَ ۙ﴿﴾   وَ رَفَعۡنَا لَکَ ذِکۡرَکَ ؕ﴿﴾  فَاِنَّ مَعَ الۡعُسۡرِ  یُسۡرًا ۙ﴿﴾  اِنَّ مَعَ الۡعُسۡرِ  یُسۡرًا ؕ﴿﴾ فَاِذَا  فَرَغۡتَ فَانۡصَبۡ ۙ﴿﴾  وَ اِلٰی  رَبِّکَ فَارۡغَبۡ ٪﴿﴾
Aku baca dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang.  Tidaklah Kami telah melapangkan bagi engkau dada engkau,   dan Kami menghilangkan dari engkau beban engkau,   yang nyaris mematahkan punggung engkau? Dan Kami meninggikan untuk engkau sebutan engkau.  فَاِنَّ مَعَ الۡعُسۡرِ  یُسۡرًا – maka sesungguhnya bersama kesukaran ada kemudahan, اِنَّ مَعَ الۡعُسۡرِ  یُسۡرًا --   sesungguhnya bersama kesukaran ada kemudahan. فَاِذَا  فَرَغۡتَ فَانۡصَبۡ   -- maka apabila engkau telah selesai tugas  lalu kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain, ۙ  وَ اِلٰی  رَبِّکَ فَارۡغَبۡ  -- dan kepada Rabb (Tuhan) engkaulah hendaknya engkau memohon dengan sungguh-sungguh.  (Al-Insyirah [94]:1-8).
     Jadi, betapa benarnya resep keberhasilan yang dikemukakan Allah Swt. sebelumnya, yakni mengepa kata sabar  mendahului kata shalat, firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوا اسۡتَعِیۡنُوۡا بِالصَّبۡرِ وَ الصَّلٰوۃِ ؕ اِنَّ اللّٰہَ مَعَ الصّٰبِرِیۡنَ ﴿﴾
Hai orang-orang yang beriman,  mohonlah pertolongan dengan sabar  dan shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.   [2]:154).
    Kemudian mengenai  pengaruh besar dari para syuhada (yang mati syahid) di jalan Allah Swt., dalam Surah lain Allah Swt. berfirman:
وَ لَا تَحۡسَبَنَّ الَّذِیۡنَ قُتِلُوۡا فِیۡ سَبِیۡلِ اللّٰہِ اَمۡوَاتًا ؕ بَلۡ اَحۡیَآءٌ عِنۡدَ رَبِّہِمۡ یُرۡزَقُوۡنَ ﴿﴾ۙ  فَرِحِیۡنَ بِمَاۤ  اٰتٰہُمُ اللّٰہُ مِنۡ فَضۡلِہٖ ۙ وَ یَسۡتَبۡشِرُوۡنَ بِالَّذِیۡنَ لَمۡ یَلۡحَقُوۡا بِہِمۡ مِّنۡ خَلۡفِہِمۡ ۙ اَلَّا خَوۡفٌ عَلَیۡہِمۡ وَ لَا ہُمۡ یَحۡزَنُوۡنَ ﴿﴾ۘ
Dan janganlah kamu menyangka mengenai orang-orang yang terbunuh  di jalan Allah bahwa mereka itu mati, بَلۡ اَحۡیَآءٌ عِنۡدَ رَبِّہِمۡ یُرۡزَقُوۡنَ -- tidak, bahkan mereka itu hidup di sisi Rabb (Tuhan) mereka,  mereka diberi rezeki.   فَرِحِیۡنَ بِمَاۤ  اٰتٰہُمُ اللّٰہُ مِنۡ فَضۡلِہٖ    -- mereka bergirang hati  dengan apa yang diberikan Allah kepada mereka dari karunia-Nya, وَ یَسۡتَبۡشِرُوۡنَ بِالَّذِیۡنَ لَمۡ یَلۡحَقُوۡا بِہِمۡ مِّنۡ خَلۡفِہِمۡ  -- dan mereka bergembira terhadap orang-orang  di belakangnya yang  belum pernah bergabung dengan mereka, اَلَّا خَوۡفٌ عَلَیۡہِمۡ وَ لَا ہُمۡ یَحۡزَنُوۡنَ  --  bahwa tidak ada ketakutan  atas mereka, dan tidak pula mereka  bersedih. (Ali ‘Imran [3]:170-171).

Kehormatan Para Syuhada Dalam Surga

     Sehubungan dengan ayat بَلۡ اَحۡیَآءٌ عِنۡدَ رَبِّہِمۡ یُرۡزَقُوۡنَ -- tidak, bahkan mereka itu hidup di sisi Rabb (Tuhan) mereka,  mereka diberi rezeki”, berikut beberapa sabda Nabi Besar Muhammad saw. sehubungan dengan para syuhada tersebut:    
        1. Para syuhada di lembah (tepi) sungai dekat pintu surga dalam bangunan berkubah berwarna hijau. Rezeki mereka datang dari surga setiap pagi dan petang. (HR. Al Hakim dan Ahmad).
       2. Seorang yang mati syahid diberi enam perkara pada saat tetesan darah pertama mengalir dari tubuhnya: semua dosanya diampuni (tertebus), diperlihatkan tempatnya di surga, dinikahkan dengan bidadari, diamankan dari kesusahan kedahsyatan yang besar (pada hari kiamat), diselamatkan dari siksa kubur dan dihiasi dengan pakaian keimanan. (HR. Bukhari).
       3. Barangsiapa tewas membela Ad- Dīn-Nya (agama-Nya) maka  matinya syahid. (HR. Asy-Syihāb)
        4. Orang yang tewas melindungi keselamatan hartanya mati syahid dan yang membela (kehormatan) keluarganya mati syahid dan membela dirinya (kehormatan dan jiwanya) juga mati syahid. (HR. Ahmad).
     5. Bagi Allah ada hamba-hamba yang dipelihara dari pembunuhan. Umur mereka diperpanjang dengan amalan kebaikan-kebaikari. Rezeki mereka ditingkatkan dan hidup mereka serba selamat. Nyawa mereka direnggut dengan selamat di atas tempat tidurnya dan mereka diberi kedudukan sebagai syuhada. (HR. Ath-Thabrani).
        6. Barangsiapa mencari mati syahid dengan sungguh-sungguh maka akan Aku berikan kepadanya meskipun dia mati di atas tempat tidurnya. (HR. Muslim).
    7. Seorang yang mati syahid dapat memberi syafaat bagi tujuh puluh anggota keluarganya. (HR. Ahmad dan Abu Dawud).
       8. Apa yang dirasakan seorang syahid yang terbunuh adalah seperti yang dirasakan seorang dari cubitan (gigitan serangga). (Tirmidzi dan Ibnu Majah).
        9. Pahlawan syuhada adalah Hamzah bin Abdul Mutthalib dan orang yang menghadap penguasa yang zalim dan kejam untuk menyuruhnya berlaku baik dan mencegahnya berbuat kejahatan lalu dia dibunuh oleh penguasa. (HR. Al Hakim).
       Kemudian mengenai keadaan arwah (ruh-ruh) para syuhada  di alam akhirat Nabi Besar Muhammad saw. menjelaskan:
        "Sesungguhnya ruh-ruh para syuhada’ itu ada di dalam tembolok burung hijau. Baginya ada lentera-lentera yang tergantung di 'Arsy. Mereka bebas menikmati surga sekehendak mereka, kemudian singgah pada lentera-lentera itu. Kemudian Rabb mereka memperlihatkan Diri-Nya kepada mereka dengan jelas, lalu bertanya: “Apakah kalian menginginkan sesuatu?” Mereka menjawab: “Apalagi yang kami inginkan sedangkan kami bisa menikmati surga dengan sekehendak kami?” Rabb mereka bertanya seperti itu sebanyak tiga kali. Maka tatkala mereka merasa bahwasanya mereka harus minta sesuatu, mereka berkata, “Wahai Rabb kami! kami ingin ruh kami dikembalikan ke jasad-jasad kami sehingga kami dapat berperang di jalan  Engkau sekali lagi.“ Maka tatkala Dia melihat bahwasanya mereka tidak mempunyai keinginan lagi, mereka ditinggalkan.” (HR. Muslim).
         Imam al Darimi dalam sunannya meriwayatkan dari Masyruq, dia berkata: "Kami telah bertanya kepada Abdullah tentang arwah para syuhada'. Kalau bukan Abdullah, maka tak seorangpun yang menyampaikannya kepada kami. Dia (Abdullah) berkata, "Arwah para syuhada' di sisi Allah pada hari kiamat berada di perut burung hijau. Dia memiliki lentera-lentera yang tergantung di 'Arsy. Dia terbang di dalam surga ke mana saja yang dikehendakinya. Kemudian dia kembali ke lentera-lentera tadi, lalu Rabb mereka memuliakan mereka dengan berkata: "Apakah kalian menginginkan sesuatu? Mereka menjawab: "Tidak, kecuali kami dikembalikan lagi ke dunia sehingga kami terbunuh (mati syahid di jalan Allah ) untuk kesekian kali."
        Imam an Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menyebutkan, ". . . ketika mereka tahu harus meminta, mereka meminta agar ruh mereka dikembalikan ke jasad-jasad mereka untuk berjihad lagi atau untuk mencurahkan jiwanya di jalan Allah Ta'ala dan merasakan nikmatnya (gugur) di jalan Allah."

Tidak Ada yang Mengetahui Kenyataan Sebenarnya Mengenai “Nikmat-nikmat Surgawi” di Akhirat

      Tidak ada seorang pun yang mengetahui hakikat sebenarnya mengenai apa yang digambarkan  mengenai keadaan syuhada tersebut di alam akhirat, sebab Allah Swt. telah berfirman:
فَلَا تَعۡلَمُ نَفۡسٌ مَّاۤ  اُخۡفِیَ لَہُمۡ مِّنۡ قُرَّۃِ اَعۡیُنٍ ۚ جَزَآءًۢ  بِمَا  کَانُوۡا  یَعۡمَلُوۡنَ ﴿﴾
Maka tidak ada sesuatu jiwa mengetahui apa yang tersembunyi bagi mereka dari penyejuk mata sebagai  balasan terhadap apa yang telah mere-ka kerjakan.  (As-Sajdah [32]:18).
  Waktu Nabi Besar Muhammad saw.  menggambarkan bentuk dan sifat nikmat dan kesenangan surga, beliau saw. diriwayatkan pernah bersabda: “Tiada mata pernah melihatnya (nikmat surga itu) dan tiada pula telinga pernah mendengarnya, tidak pula pikiran manusia dapat membayangkannya” (Bukhari, Kitab Bad’al-Khalaq).    
      Hadits itu menunjukkan bahwa nikmat kehidupan ukhrawi tidak akan bersifat kebendaan. Nikmat-nikmat itu akan merupakan penjelmaan-keruhanian perbuatan dan tingkah-laku baik yang telah dikerjakan orang-orang bertakwa di alam dunia ini.
Kata-kata yang dipergunakan untuk menggambarkan nikmat-nikmat itu dalam Al-Quran telah dipakai hanya dalam arti kiasan. Ayat yang sekarang pun dapat berarti bahwa karunia dan nikmat Ilahi yang akan dilimpahkan kepada orang-orang beriman  yang bertakwa di alam akhirat bahkan jauh lebih baik dan jauh lebih berlimpah-limpah dari yang dikhayalkan atau dibayangkan (QS.87:15-20; QS.93:5).
         Nikmat-nikmat surgawi itu akan berada jauh di luar batas jangkauan daya cipta manusia, dan gambaran yang dikemukakan Allah Swt. dalam Al-Quran mengenai nikmat-nikmat surgawi tersebut  hanyalah sebagai perumpamaan  (QS.2:26-27) yang mengandung khazanah hikmah yang sangat dalam, karena merupakan bagian dari "petunjuk" Al-Quran,  terutama yang berhubungan dengan masalah keruhanian.

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
                                                                              ***
Pajajaran Anyar,  30 Juli     2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar