Minggu, 03 Agustus 2014

Kejahiliyah Bangsa Arab & Pengutusan Nabi Besar Muhammad Saw. Merupakan "Lailatul-Qadr" (Malam Takdir) Terbesar




بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم


Khazanah Ruhani Surah  Shād


Bab   281

  Kejahiliyah Bangsa Arab & Pengutusan Nabi Besar Muhammad Saw. Merupakan   Lailatul- Qadr (Malam Takdir)   Terbesar  

 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

D
alam akhir Bab sebelumnya   telah dikemukakan mengenai  ayat  رَبَّنَاۤ  اِنِّیۡۤ  اَسۡکَنۡتُ مِنۡ ذُرِّیَّتِیۡ بِوَادٍ غَیۡرِ  ذِیۡ  زَرۡعٍ عِنۡدَ  بَیۡتِکَ  الۡمُحَرَّمِ  -- “”Ya Rabb (Tuhan) kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian  keturunanku di lembah yang tandus dekat rumah Engkau yang suci,  yaitu  penempatan putra  Nabi  Ibrahim  a.s.  yakni Isma’il a.s. dan istri Nabi Ibrahim a.s., yaitu Siti Hajar, di belantara Arabia. Nabi Ismail a.s. masih kecil pada waktu Nabi Ibrahim a.s.  — yang oleh karena patuhnya kepada perintah Ilahi dan untuk memenuhi rencana Ilahi (QS.2:128-30) — membawa beliau dan ibunda beliau, Siti Hajar, ke daerah yang kering dan gersang, tempat sekarang terletak kota Mekkah, firman-Nya:
رَبَّنَاۤ  اِنِّیۡۤ  اَسۡکَنۡتُ مِنۡ ذُرِّیَّتِیۡ بِوَادٍ غَیۡرِ  ذِیۡ  زَرۡعٍ عِنۡدَ  بَیۡتِکَ  الۡمُحَرَّمِ ۙ رَبَّنَا لِیُـقِیۡمُوا الصَّلٰوۃَ فَاجۡعَلۡ اَفۡئِدَۃً مِّنَ النَّاسِ تَہۡوِیۡۤ اِلَیۡہِمۡ وَارۡ زُقۡہُمۡ مِّنَ الثَّمَرٰتِ لَعَلَّہُمۡ یَشۡکُرُوۡنَ ﴿﴾  رَبَّنَاۤ  اِنَّکَ تَعۡلَمُ مَا نُخۡفِیۡ وَ مَا نُعۡلِنُ ؕ وَ مَا یَخۡفٰی عَلَی اللّٰہِ مِنۡ شَیۡءٍ  فِی الۡاَرۡضِ وَ لَا  فِی  السَّمَآءِ﴿﴾
”Ya Rabb (Tuhan) kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tandus dekat rumah Engkau yang suci.  Ya  Rabb (Tuhan) kami, supaya mereka  mendirikan shalat,   maka jadikanlah hati manusia cenderung  kepada mereka dan berilah  mereka  rezeki berupa buah-buahan, supaya mereka bersyukur. Ya Rabb (Tuhan) kami, sesungguhnya Engkau mengetahui apa yang kami sembunyikan dan apa yang kami nyatakan, dan tidak ada  sesuatu pun yang tersembunyi bagi Allah sesuatu pun di bumi dan tidak pula di langit, (Ibrahim [14]:38-39).
 Pada masa itu tiada satu pun tanda adanya kehidupan dan tidak ada syarat untuk dapat hidup di tempat itu (Bukhari). Tetapi Allah Swt.  telah merencanakan sedemikian rupa sehingga tempat itu menjadi medan kegiatan bagi amanat terakhir dari Allah  Swt.  untuk seluruh umat manusia.
      Nabi Isma’il  a.s.  telah terpilih sebagai alat untuk melaksanakan rencana Ilahi itu.  Doa Nabi Ibrahim a.s.  tersebut  telah memperoleh perwujudan yang sempurna dalam diri Nabi Besar Muhammad saw.   (QS.2:128-130), sebab sebelum beliau saw hanya orang-orang Arab sajalah yang berkunjung ke Mekkah untuk mempersembahkan kurban-kurban mereka, tetapi sesudah kedatangan beliau saw., bangsa-bangsa dari seluruh dunia mulai berkunjung ke kota itu.

Makna Istighfar Para Nabi Allah & Silsilah Bani Isma’il a.s.

       Doa Nabi Ibrahim a.s. tersebut diucapkan pada saat, ketika tidak ada sehelai pun rumput nampak tumbuh dalam jarak bermil-mil di sekitar Mekkah. Namun nubuatan itu telah menjadi sempurna dengan cara yang menakjubkan, sebab buah-buahan yang paling terpilih didatangkan orang berlimpah-limpah ke Mekkah pada setiap musim (QS.2:126-127). Lebih lanjut Nabi Ibrahim a.s. berdoa:
اَلۡحَمۡدُ لِلّٰہِ الَّذِیۡ وَہَبَ لِیۡ عَلَی الۡکِبَرِ  اِسۡمٰعِیۡلَ وَ اِسۡحٰقَ ؕ اِنَّ  رَبِّیۡ لَسَمِیۡعُ  الدُّعَآءِ ﴿﴾ رَبِّ اجۡعَلۡنِیۡ مُقِیۡمَ الصَّلٰوۃِ  وَ مِنۡ ذُرِّیَّتِیۡ ٭ۖ رَبَّنَا وَ تَقَبَّلۡ دُعَآءِ ﴿﴾ رَبَّنَا اغۡفِرۡ لِیۡ  وَ لِوَالِدَیَّ وَ لِلۡمُؤۡمِنِیۡنَ  یَوۡمَ  یَقُوۡمُ الۡحِسَابُ ﴿٪﴾
Segala puji bagi Allah Yang telah menganugerahkan kepadaku Isma’il dan Ishaq walaupun usiaku telah lanjut, sesungguhnya  Rabb-ku (Tuhan-ku) Maha Mendengar doa. Ya Rabb-ku (Tuhan-ku), jadikanlah aku orang yang senantiasa mendirikan shalat, dan juga keturunanku. Ya Rabb kami (Tuhan kami),  dan kabulkanlah doaku. Ya Rabb kami (Tuhan kami), ampunilah  aku dan kedua orangtuaku dan orang-orang yang beriman pada Hari  penghisaban.” (Ibrahim [14]:40-42). 
        Yang menjadi sebab mengapa para nabi Allah biasa membaca istighfar, padahal beliau-beliau pada hakikatnya dijamin untuk mendapat perlindungan terhadap syaitan, ialah kesadaran mereka tentang kesucian dan keagungan Allah Swt. satu pihak, dan mengenai kelemahan diri mereka sendiri di pihak lain.
        Kesadaran akan kelemahan insani itulah yang mendorong mereka untuk mendoa dengan merendahkan diri kepada Allah Swt.,  supaya Dia “menutupi” mereka dengan sifat Rahmān dan Rahīm-Nya, supaya wujud mereka sendiri hilang dan tenggelam sepenuhnya dalam Wujud-Nya. Itulah makna ayat رَبَّنَا اغۡفِرۡ لِیۡ  وَ لِوَالِدَیَّ وَ لِلۡمُؤۡمِنِیۡنَ  یَوۡمَ  یَقُوۡمُ الۡحِسَابُ -- “Ya Rabb kami (Tuhan kami), ampunilah  aku dan kedua orangtuaku dan orang-orang yang beriman pada Hari  penghisaban.”
       Karena doa yang dipanjatkan Nabi Ibrahim as. tersebut di lembah Bakkah (Mekkah) karena itu doa tersebut erat  kaitannya dengan Nabi Isma’il a.s. dan keturunannya, firman-Nya:
وَ اِذۡ یَرۡفَعُ  اِبۡرٰہٖمُ  الۡقَوَاعِدَ مِنَ الۡبَیۡتِ وَ اِسۡمٰعِیۡلُ ؕ رَبَّنَا تَقَبَّلۡ مِنَّا ؕ اِنَّکَ اَنۡتَ السَّمِیۡعُ الۡعَلِیۡمُ ﴿﴾ رَبَّنَا وَ اجۡعَلۡنَا مُسۡلِمَیۡنِ لَکَ وَ مِنۡ ذُرِّیَّتِنَاۤ اُمَّۃً مُّسۡلِمَۃً  لَّکَ ۪ وَ اَرِنَا مَنَاسِکَنَا وَ تُبۡ عَلَیۡنَا ۚ اِنَّکَ اَنۡتَ التَّوَّابُ الرَّحِیۡمُ ﴿﴾ رَبَّنَا وَ ابۡعَثۡ فِیۡہِمۡ رَسُوۡلًا مِّنۡہُمۡ یَتۡلُوۡا عَلَیۡہِمۡ اٰیٰتِکَ وَ یُعَلِّمُہُمُ الۡکِتٰبَ وَ الۡحِکۡمَۃَ وَ یُزَکِّیۡہِمۡ ؕ اِنَّکَ اَنۡتَ الۡعَزِیۡزُ الۡحَکِیۡمُ ﴿﴾٪
Dan ingatlah ketika Ibrahim dan Isma’il meninggikan   dasar-dasar yakni pondasi Rumah itu sambil mendoa: “Ya Rabb (Tuhan) kami,  terimalah   amal ini dari kami, sesungguhnya Engkau benar-benar Maha Mendengar, Maha Mengetahui.    Ya Rabb (Tuhan) kami, jadikanlah kami berdua orang yang berserah  diri kepada Engkau, dan juga  dari antara keturunan kami jadikanlah satu umat yang berserah diri kepada Engkau, perlihatkanlah kepada kami cara-cara ibadah kami dan terimalah taubat ka-mi, sesungguhnya Engkau benar-benar Maha Penerima Taubat, Maha Penyayang.” رَبَّنَا وَ ابۡعَثۡ فِیۡہِمۡ رَسُوۡلًا مِّنۡہُمۡ   -- Ya Rabb (Tuhan) kami, bangkit-kanlah aseorang rasul di tengah-tengah mereka dari kalangan mereka sendiri,  یَتۡلُوۡا عَلَیۡہِمۡ اٰیٰتِکَ وَ یُعَلِّمُہُمُ الۡکِتٰبَ وَ الۡحِکۡمَۃَ وَ یُزَکِّیۡہِمۡ   -- yang akan membacakan Ayat-ayat Engkau kepada mereka, yang mengajarkan Kitab  dan hikmah kepada mereka serta akan mensucikan mereka, اِنَّکَ اَنۡتَ الۡعَزِیۡزُ الۡحَکِیۡمُ -- sesungguhnya Engkau benar-benar Maha Perkasa, Maha Bijaksana.” (Al-Baqarah [2]:128-130).
Firman-Nya lagi:
وَ اذۡکُرۡ فِی الۡکِتٰبِ اِسۡمٰعِیۡلَ ۫ اِنَّہٗ کَانَ صَادِقَ الۡوَعۡدِ وَ کَانَ رَسُوۡلًا نَّبِیًّا  ﴿ۚ﴾ وَ کَانَ یَاۡمُرُ اَہۡلَہٗ  بِالصَّلٰوۃِ  وَ الزَّکٰوۃِ ۪ وَ کَانَ عِنۡدَ رَبِّہٖ  مَرۡضِیًّا ﴿﴾
Dan ceriterakan kisah Isma’il  di dalam Kitab Al-Quran, sesungguhnya ia adalah seorang  yang   janji­-janjinya senantiasa benar, dan ia adalah seorang rasul, seorang nabi. Dan ia senantiasa me­nyuruh keluarganya mendirikan shalat dan membayar zakat, dan ia diridhai oleh Tuhan-nya. (Maryam [19]:55-56).
  Sesudah uraian tentang Nabi Musa a.s. dalam ayat-ayat sebelumnya (52-54), lalu diterangkan  keterangan mengenai Nabi Isma’il a.s.. Dan uraian mengenai Nabi Isma’il a.s. dalam ayat tersebut  dimulai dengan kata-kata  وَ اذۡکُرۡ فِی الۡکِتٰبِ اِسۡمٰعِیۡلَ  -- "dan ceriterakan di dalam Kitab Al-Quran,"   menunjukkan bahwa satu babak sejarah agama — yaitu sejarah keturunan Israil  (Bani Israil) — telah ditutup dan kini babak baru, yaitu sejarah keturunan Isma’il (Bani Isma’il) dimulai.
  Kalimat  وَ کَانَ رَسُوۡلًا نَّبِیًّا     -- “dan ia adalah seorang rasul, seorang nabi berkenaan Nabi Musa as. dalam ayat 52 dan Nabi Isma’il a.s. dalam ayat 55 tersebut membantah faham keliru,  yang membedakan posisi  rasul dengan nabi, bahwa rasul adalah nabi yang membawa syariat, sedangkan nabi  tidak membawa syariat, karena Nabi Isma’il a.s. bukanlah nabi atau rasul Allah yang membawa syariat seperti halnya Nabi Musa a.s. dan Nabi Besar Muhammad saw.

Tidak Ada Nabi (Rasul) Allah yang Diutus antara Nabi Isma’il a.s. dan Nabi Besar Muhammad Saw..

       Dalam Bible mau pun dalam Al-Quran tidak ada dikemukakan kisah mengenai adanya   nabi Allah yang dibangkitkan di kalangan Bani Isma’il setelah Nabi Isma’il a.s. wafat sampai dengan masa diutus-Nya Nabi Besar Muhammad saw. (QS.2:130; QS.62:3-4),  -- sebagaimana yang terjadi di kalangan Bani Ishaq a.s.  dimana Allah Swt. secara berkesinambungan mengutus para nabi Allah sampai dengan masa Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.  (QS.2:89).
      Jarak yang memisahkan antara Nabi Isma’il a.s. dengan Nabi Besar Muhammad saw. lamanya sekitar 3000 tahun, karena itu sangat wajar apabila pada masa menjelang  pengutusan Nabi Besar Muhammad saw. bangsa Arab   berada pada puncak kejahiliyah atau  berada dalam “kesesatan yang nyata” (QS.62:3),  yang merupakan malam kegelapan yang paling pekat dalam kehidupan umat manusia di muka bumi.
      Oleh karena itu sangat wajar apabila Allah Swt. menurunkan agama dan kitab suci yang terakhir dan tersempurna yakni agama Islam (Al-Quran - QS.5:4)  kepada rasul Allah yang dibangkitkan di kalangan bangsa Arab jahilyah, yakni Nabi Besar Muhammad saw., firman-Nya:
ہُوَ الَّذِیۡ  بَعَثَ فِی  الۡاُمِّیّٖنَ  رَسُوۡلًا مِّنۡہُمۡ  یَتۡلُوۡا عَلَیۡہِمۡ  اٰیٰتِہٖ  وَ  یُزَکِّیۡہِمۡ وَ  یُعَلِّمُہُمُ  الۡکِتٰبَ وَ  الۡحِکۡمَۃَ ٭ وَ  اِنۡ کَانُوۡا مِنۡ  قَبۡلُ  لَفِیۡ ضَلٰلٍ  مُّبِیۡنٍ ۙ﴿﴾    
Dia-lah Allah Yang telah membangkitkan di kalangan bangsa yang buta huruf seorang  rasul dari antara mereka, yang membacakan kepada mereka Tanda-tanda-Nya,  mensucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah, وَ  اِنۡ کَانُوۡا مِنۡ  قَبۡلُ  لَفِیۡ ضَلٰلٍ  مُّبِیۡنٍ ۙ --  walaupun sebelumnya mereka berada dalam ke-sesatan yang nyata. (Al-Jumu’ah [62]:3).
       leh karena karena itu tidak berlebihan jika   kering-gersang serta  kerasnya gunung-gunung batu di  jazirah Arabia merupakan gambaran keadaan akhlak  dan ruhani bangsa Arab jahiliyah,  yang  di kalangan bangsa itulah Allah Swt. telah mengutus  Nabi Besar Muhammad saw. sebagai pengemban amanat syariat terakhir dan tersempurna, yang  -- kecuali beliau saw. – tidak ada yang sanggup untuk “memikulnya” (QS.33:73), termasuk Nabi Musa a.s. (QS.7:144-145).
      Sejarah kenabian menjadi saksi, bahwa hanya dalam waktu 23 tahun saja Nabi Besar Muhammad saw.  dengan karunia Allah Swt. telah mengubah bangsa Arab jahiliyah yang ada dalam “kesesatan yang nyata” selama ribuan tahun tersebut  telah menjadi “manusia-manusia malaikat” yang sepenuhnya “sujud” kepada Adam hakiki atau  Khalifah Allah hakiki, yakni Nabi Besar Muhammad saw..

Hakikat Lailatul- Qadr (Malam Takdir)

    Mengisyaratkan kepada kenyataan  itulah Allah Swt. telah menyebut masa pengutusan Nabi Besar Muhammad saw. di  kalangan bangsa Arab jahiliyah  yang membawa agama Islam (Al-Quran) sebagai syariat  dan Kitab suci yang terakhir dan tersempurna (QS.5:4) sebagai Lailatul-Qadr (Malam Takdir), firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿ۖ﴾  اِنَّاۤ  اَنۡزَلۡنٰہُ  فِیۡ  لَیۡلَۃِ  الۡقَدۡرِ ۚ﴿ۖ﴾  وَ مَاۤ  اَدۡرٰىکَ مَا لَیۡلَۃُ  الۡقَدۡرِ ؕ﴿﴾   لَیۡلَۃُ  الۡقَدۡرِ ۬ۙ خَیۡرٌ  مِّنۡ  اَلۡفِ شَہۡرٍ ؕ﴿ؔ﴾  تَنَزَّلُ الۡمَلٰٓئِکَۃُ وَ الرُّوۡحُ  فِیۡہَا بِاِذۡنِ رَبِّہِمۡ ۚ مِنۡ  کُلِّ  اَمۡرٍ ۙ﴿ۛ﴾  سَلٰمٌ ۟ۛ ہِیَ حَتّٰی مَطۡلَعِ  الۡفَجۡرِ ٪﴿﴾
Aku baca dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang.   Sesungguhnya Kami telah menurunkannya pada Malam Takdir,       dan apakah engkau mengetahui apa Malam Takdir itu?  Malam Takdir  itu lebih baik daripada seribu bulan.  Di dalamnya turun  malaikat-malaikat dan ruh  dengan izin Rabb (Tuhan) mereka  mengenai segala perintah.   Malam itu penuh kesejahtaraan  hingga fajar terbit.  (Al-Qadr [97]:1-6).
   Pada umumnya lail dan lailah kedua-duanya berarti malam, tetapi menurut Marzuqi, penyusun kamus terkenal, kata lail dipakai sebagai lawan kata nahar dan lailah sebagai lawan kata yaum. Lailah mengandung arti lebih luas dan berjangkauan lebih jauh daripada kata lail, seperti kata yaum yang adalah lawan kata lailah, mengandung arti lebih luas daripada nahar yang adalah lawan kata lail.
  Kata lailah telah dipergunakan sebanyak delapan kali dalam Al-Quran (sekali dalam QS.2:52; QS.2:188; QS.44:4; dua kali dalam QS.7:143 dan tiga kali dalam ayat-ayat yang sedang dibahas), dan di setiap tempat kata itu dipergunakan sehubungan dengan turun Al-Quran dan masalah-masalah yang bertalian dengan itu. Dengan demikian kata lailah mengisyaratkan kepada kemuliaan, keagungan, dan kebesaran malam-malam yang di dalamnya Al-Quran diturunkan (diwahyukan).
   Qadr berarti: nilai, kecukupan, kebesaran, takdir, nasib, kekuasaan (Lexicon Lane). Menimbang berbagai arti qadr dan lailah itu, maka ayat اِنَّاۤ  اَنۡزَلۡنٰہُ  فِیۡ  لَیۡلَۃِ  الۡقَدۡرِ   --  “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya pada Malam Takdir” ini dapat diberi tafsiran sebagai berikut:  Al-Quran telah diturunkan di dalam suatu malam  -- yakni malam kegelapan akhlak dan ruhani yang paling pekat -- yang secara khusus telah diperuntukkan bagi penampakan kekuasaan Ilahi yang istimewa, atau di dalam suatu malam yang mempunyai nilai sama dengan seluruh jumlah malam-malam kegelapan akhlak dan ruhani lainnya, atau di dalam suatu malam yang mempunyai kebesaran, keagungan, dan kehormatan; atau, di dalam suatu malam yang mempunyai kecukupan, yaitu Al-Quran memenuhi selengkapnya semua kebutuhan dan keperluan manusia, baik mengenai akhlak maupun ruhaninya. Atau, artinya ialah Allah Swt.  telah menurunkannya dalam Malam Takdir atau Malam Nasib, yakni Al-Quran diturunkan pada saat ketika nasib manusia ditakdirkan, pola alam semesta masa mendatang telah ditetapkan, dan asas-asas petunjuk yang tepat bagi umat manusia telah diletakkan untuk sepanjang masa mendatang.
 Dalam berbagai  makna Lailatul Qadr (Malam Takdir) itulah Allah Swt. telah menetapkan Nabi Besar Muhammad saw. dan  agama Islam (Al-Quran)  sebagai Rasul Allah pembawa amanat syariat terakhir dan tersempurna (QS.5:5:4) merupakan Lailatul- Qadr (Malam Takdir)  terbesar,  sehingga siapa pun yang mencari agama selain Islam (Al-Quran) maka agama tersebut tidak akan diterima di  hadhirat Allah Swt. dan para pemeluknya di akhirat akan menjadi orang-orang yang merugi (QS.3:20 & 86).

Rasul Akhir Zaman & Kejahiliyah di Akhir Zaman

     Masa kemunculan seorang mushlih rabbani besar – yakni para rasul Allah -- disebut Lailatul Qadr, karena pada masa itu dosa dan kejahatan merajalela serta kekuatan kegelapan menguasai segala yang lain, termasuk di Akhir Zaman ini. Inilah sebabnya Allah Swt. telah menjanjikan kepada semua umat beragama mengenai kedatangan Rasul Akhir Zaman  untuk mengajak mereka   yang telah tenggelam  dalam berbagai bentuk  kemusyrikan  atau kejahiliyahan yang muncul kembali di Akhir Zaman kembali kepada agama atau Tauhid Ilahi yang hakiki  (QS.61:10; QS.62:3-4).
   Lailatul Qadr telah diartikan pula sebagai suatu malam tertentu di antara malam-malam tanggal ganjil pada sepuluh hari terakhir di dalam bulan Ramadhan, tatkala Al-Quran pertama kali mulai diturunkan. Atau, ayat itu dapat berarti, seluruh jangka waktu 23 tahun yang meliputi risalat Nabi Besar Muhammad saw., ketika selama jangka waktu itu Al-Quran diturunkan (diwahyukan) secara berangsur-angsur kepada Nabi Besar Muhammad saw.
   Makna ayat  وَ مَاۤ  اَدۡرٰىکَ مَا لَیۡلَۃُ  الۡقَدۡرِ  -- “dan apakah engkau mengetahui apa Malam Takdir itu?” bahwa berkat-berkat Lailatul Qadr melampaui perhitungan dan perkiraan manusia.  Sedangkan makna  ayat  ؕ    لَیۡلَۃُ  الۡقَدۡرِ ۬ۙ خَیۡرٌ  مِّنۡ  اَلۡفِ شَہۡرٍ  -- “Malam Takdir  itu lebih baik daripada seribu bulan.    Alf (seribu), yang merupakan bilangan paling tinggi dalam bahasa Arab dan berarti bilangan yang tidak terhitung banyaknya.
     Ayat itu berarti bahwa Malam Takdir atau Malam Nasib itu nilainya lebih baik daripada semua bulan yang tidak terhitung bilangannya, yaitu zaman Nabi Besar Muhammad saw.  itu lebih baik dan lebih unggul daripada semua zaman  para Rasul Allah dijumlahkan.



 (Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar,  9 Juli     2014


 
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar