بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم
Khazanah Ruhani Surah Shād
Bab 281
Kejahiliyah Bangsa Arab & Pengutusan Nabi Besar
Muhammad Saw. Merupakan Lailatul- Qadr (Malam Takdir) Terbesar
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan mengenai ayat رَبَّنَاۤ اِنِّیۡۤ
اَسۡکَنۡتُ مِنۡ ذُرِّیَّتِیۡ بِوَادٍ غَیۡرِ ذِیۡ
زَرۡعٍ عِنۡدَ بَیۡتِکَ الۡمُحَرَّمِ --
“”Ya Rabb (Tuhan) kami, sesungguhnya
aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tandus dekat rumah
Engkau yang suci,” yaitu penempatan putra Nabi Ibrahim a.s. yakni Isma’il
a.s. dan istri Nabi Ibrahim a.s.,
yaitu Siti Hajar, di belantara
Arabia. Nabi Ismail a.s. masih
kecil pada waktu Nabi Ibrahim a.s. —
yang oleh karena patuhnya kepada perintah
Ilahi dan untuk memenuhi rencana
Ilahi (QS.2:128-30) — membawa beliau dan ibunda beliau, Siti Hajar, ke
daerah yang kering dan gersang, tempat sekarang terletak kota Mekkah, firman-Nya:
رَبَّنَاۤ اِنِّیۡۤ
اَسۡکَنۡتُ مِنۡ ذُرِّیَّتِیۡ بِوَادٍ غَیۡرِ ذِیۡ
زَرۡعٍ عِنۡدَ بَیۡتِکَ الۡمُحَرَّمِ ۙ رَبَّنَا لِیُـقِیۡمُوا
الصَّلٰوۃَ فَاجۡعَلۡ اَفۡئِدَۃً مِّنَ النَّاسِ تَہۡوِیۡۤ اِلَیۡہِمۡ وَارۡ
زُقۡہُمۡ مِّنَ الثَّمَرٰتِ لَعَلَّہُمۡ یَشۡکُرُوۡنَ ﴿﴾ رَبَّنَاۤ اِنَّکَ تَعۡلَمُ مَا نُخۡفِیۡ وَ مَا نُعۡلِنُ
ؕ وَ مَا یَخۡفٰی عَلَی اللّٰہِ مِنۡ شَیۡءٍ
فِی الۡاَرۡضِ وَ لَا فِی السَّمَآءِ﴿﴾
”Ya Rabb (Tuhan) kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tandus dekat rumah
Engkau yang suci. Ya Rabb
(Tuhan) kami, supaya mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah
hati manusia cenderung kepada
mereka dan berilah mereka rezeki berupa buah-buahan, supaya mereka bersyukur. Ya Rabb
(Tuhan) kami, sesungguhnya Engkau
mengetahui apa yang kami sembunyikan dan apa yang kami nyatakan, dan tidak
ada sesuatu pun yang tersembunyi bagi
Allah sesuatu pun di bumi dan tidak pula di langit, (Ibrahim
[14]:38-39).
Pada masa itu tiada satu pun tanda adanya kehidupan dan tidak ada syarat untuk dapat hidup di tempat itu (Bukhari).
Tetapi Allah Swt. telah merencanakan sedemikian rupa sehingga tempat itu menjadi medan kegiatan bagi amanat
terakhir dari Allah Swt. untuk seluruh umat manusia.
Nabi Isma’il a.s. telah terpilih sebagai alat untuk melaksanakan rencana Ilahi itu. Doa Nabi Ibrahim a.s. tersebut telah memperoleh perwujudan yang sempurna dalam diri Nabi Besar Muhammad saw. (QS.2:128-130), sebab sebelum beliau saw hanya
orang-orang Arab sajalah yang
berkunjung ke Mekkah untuk
mempersembahkan kurban-kurban mereka,
tetapi sesudah kedatangan beliau saw., bangsa-bangsa
dari seluruh dunia mulai berkunjung
ke kota itu.
Makna Istighfar Para
Nabi Allah & Silsilah Bani Isma’il a.s.
Doa Nabi
Ibrahim a.s. tersebut diucapkan pada saat, ketika tidak ada sehelai pun rumput
nampak tumbuh dalam jarak bermil-mil di sekitar Mekkah. Namun nubuatan itu telah menjadi sempurna
dengan cara yang menakjubkan, sebab buah-buahan
yang paling terpilih didatangkan
orang berlimpah-limpah ke Mekkah pada setiap musim (QS.2:126-127). Lebih lanjut
Nabi Ibrahim a.s. berdoa:
اَلۡحَمۡدُ
لِلّٰہِ الَّذِیۡ وَہَبَ لِیۡ عَلَی الۡکِبَرِ
اِسۡمٰعِیۡلَ وَ اِسۡحٰقَ ؕ اِنَّ
رَبِّیۡ لَسَمِیۡعُ الدُّعَآءِ ﴿﴾ رَبِّ اجۡعَلۡنِیۡ مُقِیۡمَ
الصَّلٰوۃِ وَ مِنۡ ذُرِّیَّتِیۡ ٭ۖ
رَبَّنَا وَ تَقَبَّلۡ دُعَآءِ ﴿﴾
رَبَّنَا
اغۡفِرۡ لِیۡ وَ لِوَالِدَیَّ وَ
لِلۡمُؤۡمِنِیۡنَ یَوۡمَ یَقُوۡمُ الۡحِسَابُ ﴿٪﴾
“Segala puji bagi Allah Yang telah
menganugerahkan kepadaku Isma’il dan
Ishaq walaupun usiaku telah lanjut, sesungguhnya Rabb-ku
(Tuhan-ku) Maha Mendengar doa. Ya Rabb-ku (Tuhan-ku), jadikanlah aku
orang yang senantiasa mendirikan
shalat, dan juga keturunanku. Ya Rabb kami (Tuhan kami), dan kabulkanlah doaku. Ya
Rabb kami (Tuhan kami), ampunilah aku dan kedua orangtuaku dan orang-orang
yang beriman pada Hari penghisaban.” (Ibrahim
[14]:40-42).
Yang menjadi sebab mengapa para nabi Allah biasa membaca istighfar,
padahal beliau-beliau pada hakikatnya dijamin
untuk mendapat perlindungan terhadap syaitan, ialah kesadaran mereka tentang kesucian
dan keagungan Allah Swt. satu pihak,
dan mengenai kelemahan diri mereka
sendiri di pihak lain.
Kesadaran
akan kelemahan insani itulah yang
mendorong mereka untuk mendoa dengan merendahkan diri kepada Allah Swt., supaya Dia “menutupi” mereka dengan
sifat Rahmān dan Rahīm-Nya, supaya wujud mereka sendiri hilang dan tenggelam sepenuhnya dalam Wujud-Nya. Itulah makna ayat رَبَّنَا اغۡفِرۡ لِیۡ وَ
لِوَالِدَیَّ وَ لِلۡمُؤۡمِنِیۡنَ
یَوۡمَ یَقُوۡمُ الۡحِسَابُ -- “Ya Rabb kami (Tuhan kami), ampunilah aku dan kedua orangtuaku dan orang-orang
yang beriman pada Hari penghisaban.”
Karena doa
yang dipanjatkan Nabi Ibrahim as. tersebut di lembah Bakkah (Mekkah) karena itu doa tersebut erat kaitannya dengan Nabi Isma’il a.s. dan keturunannya,
firman-Nya:
وَ اِذۡ یَرۡفَعُ اِبۡرٰہٖمُ الۡقَوَاعِدَ مِنَ الۡبَیۡتِ وَ اِسۡمٰعِیۡلُ ؕ رَبَّنَا
تَقَبَّلۡ مِنَّا ؕ اِنَّکَ
اَنۡتَ السَّمِیۡعُ الۡعَلِیۡمُ ﴿﴾ رَبَّنَا وَ
اجۡعَلۡنَا مُسۡلِمَیۡنِ لَکَ وَ مِنۡ ذُرِّیَّتِنَاۤ اُمَّۃً مُّسۡلِمَۃً لَّکَ ۪ وَ اَرِنَا مَنَاسِکَنَا وَ تُبۡ عَلَیۡنَا ۚ اِنَّکَ
اَنۡتَ
التَّوَّابُ الرَّحِیۡمُ ﴿﴾ رَبَّنَا وَ
ابۡعَثۡ فِیۡہِمۡ رَسُوۡلًا مِّنۡہُمۡ یَتۡلُوۡا عَلَیۡہِمۡ اٰیٰتِکَ وَ یُعَلِّمُہُمُ الۡکِتٰبَ وَ
الۡحِکۡمَۃَ وَ یُزَکِّیۡہِمۡ ؕ اِنَّکَ
اَنۡتَ الۡعَزِیۡزُ الۡحَکِیۡمُ ﴿﴾٪
Dan ingatlah
ketika Ibrahim dan Isma’il meninggikan dasar-dasar
yakni pondasi Rumah itu
sambil mendoa: “Ya Rabb (Tuhan)
kami, terimalah amal ini dari kami, sesungguhnya Engkau benar-benar Maha Mendengar, Maha Mengetahui. Ya Rabb (Tuhan) kami, jadikanlah kami berdua orang yang berserah diri kepada Engkau, dan juga dari
antara keturunan kami jadikanlah satu umat yang berserah diri kepada Engkau, perlihatkanlah kepada kami cara-cara ibadah kami dan terimalah taubat ka-mi, sesungguhnya Engkau benar-benar Maha Penerima Taubat,
Maha Penyayang.” رَبَّنَا وَ ابۡعَثۡ فِیۡہِمۡ رَسُوۡلًا مِّنۡہُمۡ -- Ya Rabb (Tuhan) kami, bangkit-kanlah aseorang
rasul di tengah-tengah mereka dari kalangan mereka sendiri, یَتۡلُوۡا عَلَیۡہِمۡ اٰیٰتِکَ وَ یُعَلِّمُہُمُ الۡکِتٰبَ وَ الۡحِکۡمَۃَ وَ یُزَکِّیۡہِمۡ -- yang akan membacakan Ayat-ayat Engkau kepada
mereka, yang mengajarkan Kitab dan hikmah
kepada mereka serta akan mensucikan
mereka, اِنَّکَ اَنۡتَ الۡعَزِیۡزُ الۡحَکِیۡمُ -- sesungguhnya Engkau benar-benar Maha Perkasa, Maha Bijaksana.” (Al-Baqarah [2]:128-130).
Firman-Nya
lagi:
وَ اذۡکُرۡ
فِی الۡکِتٰبِ اِسۡمٰعِیۡلَ ۫ اِنَّہٗ کَانَ صَادِقَ الۡوَعۡدِ وَ کَانَ رَسُوۡلًا
نَّبِیًّا ﴿ۚ﴾
وَ کَانَ یَاۡمُرُ اَہۡلَہٗ
بِالصَّلٰوۃِ وَ الزَّکٰوۃِ ۪ وَ
کَانَ عِنۡدَ رَبِّہٖ مَرۡضِیًّا ﴿﴾
Dan
ceriterakan kisah Isma’il di dalam Kitab
Al-Quran, sesungguhnya ia adalah
seorang yang janji-janjinya senantiasa benar, dan ia
adalah seorang rasul, seorang nabi. Dan ia senantiasa menyuruh keluarganya mendirikan shalat dan membayar zakat, dan ia diridhai oleh Tuhan-nya. (Maryam
[19]:55-56).
Sesudah uraian tentang Nabi Musa a.s. dalam
ayat-ayat sebelumnya (52-54), lalu diterangkan
keterangan mengenai Nabi Isma’il
a.s.. Dan uraian mengenai Nabi Isma’il
a.s. dalam ayat tersebut dimulai
dengan kata-kata وَ اذۡکُرۡ فِی
الۡکِتٰبِ اِسۡمٰعِیۡلَ -- "dan ceriterakan di dalam Kitab Al-Quran," menunjukkan bahwa satu babak sejarah agama — yaitu sejarah keturunan Israil (Bani Israil) — telah ditutup dan kini babak baru,
yaitu sejarah keturunan Isma’il (Bani
Isma’il) dimulai.
Kalimat وَ کَانَ رَسُوۡلًا نَّبِیًّا -- “dan ia adalah seorang rasul, seorang nabi”
berkenaan Nabi Musa as. dalam ayat 52
dan Nabi Isma’il a.s. dalam ayat 55 tersebut membantah faham keliru, yang
membedakan posisi rasul dengan nabi, bahwa rasul adalah nabi yang membawa syariat,
sedangkan nabi tidak membawa syariat, karena Nabi Isma’il a.s. bukanlah nabi atau rasul Allah
yang membawa syariat seperti halnya
Nabi Musa a.s. dan Nabi Besar Muhammad saw.
Tidak Ada Nabi (Rasul) Allah yang Diutus antara Nabi Isma’il a.s. dan Nabi Besar Muhammad Saw..
Dalam Bible mau pun dalam Al-Quran
tidak ada dikemukakan kisah mengenai adanya
nabi Allah yang dibangkitkan di kalangan Bani Isma’il setelah Nabi Isma’il a.s. wafat sampai dengan
masa diutus-Nya Nabi Besar Muhammad saw. (QS.2:130; QS.62:3-4), -- sebagaimana yang terjadi di kalangan Bani Ishaq a.s. dimana Allah Swt. secara berkesinambungan
mengutus para nabi Allah sampai
dengan masa Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. (QS.2:89).
Jarak yang memisahkan antara Nabi Isma’il a.s. dengan Nabi Besar Muhammad saw. lamanya sekitar
3000 tahun, karena itu sangat wajar apabila pada masa menjelang pengutusan Nabi Besar Muhammad saw. bangsa Arab berada pada puncak kejahiliyah atau berada dalam
“kesesatan yang nyata”
(QS.62:3), yang merupakan malam kegelapan yang paling pekat dalam kehidupan umat manusia di muka bumi.
Oleh karena itu sangat wajar apabila
Allah Swt. menurunkan agama dan kitab suci yang terakhir dan tersempurna yakni agama Islam (Al-Quran - QS.5:4) kepada rasul
Allah yang dibangkitkan di kalangan bangsa
Arab jahilyah, yakni Nabi Besar
Muhammad saw., firman-Nya:
ہُوَ
الَّذِیۡ بَعَثَ فِی الۡاُمِّیّٖنَ
رَسُوۡلًا مِّنۡہُمۡ یَتۡلُوۡا
عَلَیۡہِمۡ اٰیٰتِہٖ وَ
یُزَکِّیۡہِمۡ وَ
یُعَلِّمُہُمُ الۡکِتٰبَ وَ الۡحِکۡمَۃَ ٭ وَ اِنۡ کَانُوۡا مِنۡ قَبۡلُ
لَفِیۡ ضَلٰلٍ مُّبِیۡنٍ ۙ﴿﴾
Dia-lah Allah Yang telah membangkitkan di kalangan bangsa yang buta huruf
seorang rasul
dari antara mereka, yang membacakan
kepada mereka Tanda-tanda-Nya, mensucikan
mereka, dan mengajarkan kepada mereka
Kitab dan Hikmah, وَ اِنۡ کَانُوۡا مِنۡ قَبۡلُ
لَفِیۡ ضَلٰلٍ مُّبِیۡنٍ ۙ -- walaupun sebelumnya mereka berada dalam ke-sesatan yang nyata. (Al-Jumu’ah [62]:3).
leh karena karena itu tidak
berlebihan jika kering-gersang serta kerasnya
gunung-gunung batu di jazirah Arabia merupakan gambaran keadaan akhlak dan ruhani
bangsa Arab jahiliyah, yang
di kalangan bangsa itulah
Allah Swt. telah mengutus Nabi Besar Muhammad saw. sebagai pengemban amanat syariat terakhir dan tersempurna, yang -- kecuali beliau saw. – tidak ada yang
sanggup untuk “memikulnya”
(QS.33:73), termasuk Nabi Musa a.s. (QS.7:144-145).
Sejarah kenabian menjadi saksi,
bahwa hanya dalam waktu 23 tahun saja
Nabi Besar Muhammad saw. dengan karunia
Allah Swt. telah mengubah bangsa Arab
jahiliyah yang ada dalam “kesesatan
yang nyata” selama ribuan tahun
tersebut telah menjadi “manusia-manusia malaikat” yang
sepenuhnya “sujud” kepada Adam hakiki
atau Khalifah
Allah hakiki, yakni Nabi Besar
Muhammad saw..
Hakikat Lailatul- Qadr (Malam Takdir)
Mengisyaratkan
kepada kenyataan itulah Allah Swt. telah
menyebut masa pengutusan Nabi Besar Muhammad saw. di kalangan bangsa
Arab jahiliyah yang membawa agama Islam (Al-Quran) sebagai syariat
dan Kitab suci yang terakhir
dan tersempurna (QS.5:4) sebagai Lailatul-Qadr
(Malam Takdir), firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ
الرَّحِیۡمِ﴿ۖ﴾ اِنَّاۤ اَنۡزَلۡنٰہُ
فِیۡ لَیۡلَۃِ الۡقَدۡرِ ۚ﴿ۖ﴾ وَ مَاۤ اَدۡرٰىکَ مَا لَیۡلَۃُ الۡقَدۡرِ ؕ﴿﴾ لَیۡلَۃُ الۡقَدۡرِ ۬ۙ خَیۡرٌ مِّنۡ
اَلۡفِ شَہۡرٍ ؕ﴿ؔ﴾ تَنَزَّلُ
الۡمَلٰٓئِکَۃُ وَ الرُّوۡحُ فِیۡہَا
بِاِذۡنِ رَبِّہِمۡ ۚ مِنۡ کُلِّ اَمۡرٍ ۙ﴿ۛ﴾ سَلٰمٌ ۟ۛ ہِیَ
حَتّٰی مَطۡلَعِ الۡفَجۡرِ ٪﴿﴾
Aku baca
dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha
Penyayang. Sesungguhnya Kami telah menurunkannya pada Malam Takdir, dan apakah engkau mengetahui apa Malam Takdir itu? Malam
Takdir itu lebih baik daripada seribu
bulan. Di dalamnya turun malaikat-malaikat dan ruh dengan izin
Rabb (Tuhan) mereka mengenai
segala perintah. Malam
itu penuh kesejahtaraan hingga fajar
terbit. (Al-Qadr [97]:1-6).
Pada umumnya lail dan lailah kedua-duanya
berarti malam, tetapi menurut
Marzuqi, penyusun kamus terkenal, kata lail dipakai sebagai lawan kata
nahar dan lailah sebagai lawan kata yaum. Lailah mengandung
arti lebih luas dan berjangkauan lebih jauh daripada kata lail, seperti
kata yaum yang adalah lawan kata lailah, mengandung arti lebih
luas daripada nahar yang adalah lawan kata lail.
Kata lailah telah dipergunakan
sebanyak delapan kali dalam Al-Quran (sekali dalam QS.2:52; QS.2:188; QS.44:4;
dua kali dalam QS.7:143 dan tiga kali dalam ayat-ayat yang sedang dibahas), dan
di setiap tempat kata itu dipergunakan sehubungan dengan turun Al-Quran dan
masalah-masalah yang bertalian dengan itu. Dengan demikian kata lailah mengisyaratkan
kepada kemuliaan, keagungan, dan kebesaran malam-malam
yang di dalamnya Al-Quran diturunkan
(diwahyukan).
Qadr
berarti: nilai, kecukupan, kebesaran, takdir, nasib, kekuasaan (Lexicon Lane). Menimbang
berbagai arti qadr dan lailah itu, maka ayat اِنَّاۤ اَنۡزَلۡنٰہُ
فِیۡ لَیۡلَۃِ الۡقَدۡرِ -- “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya pada Malam Takdir” ini dapat diberi
tafsiran sebagai berikut: Al-Quran telah diturunkan di dalam suatu malam -- yakni malam
kegelapan akhlak dan ruhani yang
paling pekat -- yang secara khusus
telah diperuntukkan bagi penampakan kekuasaan
Ilahi yang istimewa, atau di dalam suatu malam yang mempunyai nilai
sama dengan seluruh jumlah malam-malam
kegelapan akhlak dan ruhani lainnya, atau di dalam suatu malam yang mempunyai kebesaran, keagungan, dan kehormatan;
atau, di dalam suatu malam yang
mempunyai kecukupan, yaitu Al-Quran memenuhi selengkapnya semua kebutuhan dan keperluan manusia, baik mengenai akhlak maupun ruhaninya. Atau, artinya ialah Allah Swt. telah menurunkannya dalam Malam Takdir atau Malam
Nasib, yakni Al-Quran diturunkan pada saat ketika nasib manusia ditakdirkan, pola
alam semesta masa mendatang telah ditetapkan,
dan asas-asas petunjuk yang tepat
bagi umat manusia telah diletakkan untuk sepanjang masa mendatang.
Dalam berbagai makna Lailatul
Qadr (Malam Takdir) itulah Allah Swt. telah menetapkan Nabi Besar Muhammad
saw. dan agama Islam (Al-Quran) sebagai Rasul
Allah pembawa amanat syariat terakhir
dan tersempurna (QS.5:5:4) merupakan Lailatul- Qadr (Malam Takdir) terbesar, sehingga siapa pun yang mencari agama selain Islam (Al-Quran) maka agama
tersebut tidak akan diterima di hadhirat Allah Swt. dan para pemeluknya di akhirat akan menjadi orang-orang yang merugi (QS.3:20 & 86).
Rasul Akhir Zaman & Kejahiliyah di Akhir Zaman
Masa kemunculan seorang mushlih rabbani besar – yakni para rasul Allah -- disebut Lailatul Qadr,
karena pada masa itu dosa dan kejahatan merajalela serta kekuatan kegelapan menguasai segala yang lain, termasuk di Akhir Zaman ini. Inilah sebabnya Allah
Swt. telah menjanjikan kepada semua umat beragama mengenai kedatangan Rasul Akhir Zaman untuk mengajak
mereka yang telah tenggelam dalam berbagai
bentuk kemusyrikan atau kejahiliyahan yang muncul kembali di Akhir Zaman kembali kepada agama atau Tauhid Ilahi yang hakiki (QS.61:10; QS.62:3-4).
Lailatul Qadr telah diartikan pula sebagai
suatu malam tertentu di antara malam-malam tanggal ganjil pada sepuluh
hari terakhir di dalam bulan Ramadhan,
tatkala Al-Quran pertama kali mulai diturunkan. Atau, ayat itu dapat berarti,
seluruh jangka waktu 23 tahun yang
meliputi risalat Nabi Besar Muhammad saw., ketika selama jangka waktu itu Al-Quran diturunkan (diwahyukan) secara berangsur-angsur kepada Nabi Besar
Muhammad saw.
Makna ayat
وَ مَاۤ
اَدۡرٰىکَ مَا لَیۡلَۃُ الۡقَدۡرِ -- “dan apakah engkau mengetahui apa Malam Takdir itu?” bahwa berkat-berkat Lailatul
Qadr melampaui perhitungan dan perkiraan manusia. Sedangkan makna ayat ؕ لَیۡلَۃُ الۡقَدۡرِ ۬ۙ خَیۡرٌ مِّنۡ
اَلۡفِ شَہۡرٍ -- “Malam Takdir itu lebih baik daripada seribu bulan. ” Alf
(seribu), yang merupakan bilangan paling tinggi dalam bahasa Arab dan
berarti bilangan yang tidak terhitung banyaknya.
Ayat itu berarti bahwa Malam Takdir atau Malam Nasib itu nilainya
lebih baik daripada semua bulan yang
tidak terhitung bilangannya, yaitu zaman
Nabi Besar Muhammad saw. itu lebih baik dan lebih unggul daripada semua zaman para Rasul Allah dijumlahkan.
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik
Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 9 Juli 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar