بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم
Khazanah
Ruhani Surah Shād
Bab 302
Dua “Martabat Ruhani” yang
Lebih Tinggi Daripada “Syuhada”
(Saksi-saksi) di “Jalan Allah” &
Tanda-tanda “Orang-orang yang Berakal”
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam Bab sebelumnya, sehubungan dengan firman Allah Swt.
mengenai terbukanya 4 macam martabat
ruhani bagi orang-orang mentaati Allah
Sswt. Dan Nabi Besar Muhammad saw. yaitu: nabi,
shiddiq, syahid, dan shalih,
firman-Nya:
وَ مَنۡ
یُّطِعِ اللّٰہَ وَ الرَّسُوۡلَ فَاُولٰٓئِکَ مَعَ الَّذِیۡنَ اَنۡعَمَ اللّٰہُ
عَلَیۡہِمۡ مِّنَ النَّبِیّٖنَ وَ الصِّدِّیۡقِیۡنَ وَ الشُّہَدَآءِ وَ
الصّٰلِحِیۡنَ ۚ وَ حَسُنَ اُولٰٓئِکَ رَفِیۡقًا ﴿ؕ﴾ ذٰلِکَ الۡفَضۡلُ مِنَ اللّٰہِ ؕ وَ کَفٰی بِاللّٰہِ عَلِیۡمًا ﴿٪﴾
Dan barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul ini maka mereka akan
termasuk di antara orang-orang
yang Allah memberi
nikmat kepada mereka yakni: nabi-nabi,
shiddiq-shiddiq, syahid-syahid, dan orang-orang shalih, dan mereka itulah sahabat yang sejati. Itulah
karunia dari Allah, dan cukuplah
Allāh Yang Maha Mengetahui. (An-Nisā [4]:70-71).
Dalam
Kitab “Bahr-ul-Muhit”
(jilid III, hlm. 287) menukil Al-Raghib yang mengatakan: “Tuhan telah membagi orang-orang
beriman dalam empat golongan dalam ayat ini, dan telah menetapkan bagi mereka empat tingkatan, sebagian di antaranya
lebih rendah dari yang lain, dan Dia telah mendorong orang-orang beriman sejati agar jangan tertinggal dari keempat
tingkatan ini.” Dan membubuhkan bahwa: “Kenabian itu ada dua macam: umum dan khusus. Kenabian khusus, yakni kenabian yang membawa syariat, sekarang tidak dapat dicapai
lagi; tetapi kenabian yang umum masih tetap dapat dicapai.”
Dengan demikian jelaslah
bahwa pengutipan firman Allah Swt. tersebut (QS.4:70) oleh Syeikh Abdul Qadir Jailani dalam buku Sirrul Asrār mengandung makna
yang sangat dalam:
“….Bila Allah Yang Maha
Tinggi sendiri yang menjadi Guru, Dia karuniakan ilmu yang
dari-Nya sebagaimana Dia lakukan kepada Khaidhir. Kemudian manusia
dengan kesadaran yang diperolehnya sampai kepada peringkat makrifat
di mana dia mengenali Tuhan-nya dan menyembah-Nya yang dia kenal.
Orang yang sampai kepada suasana ini memiliki
penyaksian ruh suci dan dapat melihat kekasih Allah, Nabi Muhammad
saw.. Ia bisa berbicara dengan baginda saw. mengenai segala
perkara dari awal hingga ke akhirnya, dan semua nabi-nabi yang lain
memberikannya kabar gembira tentang janji penyatuan dengan Yang
dikasihi. Allah menggambarkan
suasana ini:
"Karena Barangsiapa taat kepada Allah dan rasul-Nya,
maka mereka beserta orang-orang yang diberi nikmat yaitu nabi-nabi, shiddiqin, syuhada
dan shalihin dan alangkah baiknya mereka ini sebagai sahabat karib".
(Surah Nisā' ayat 70).
Orang yang tidak bisa menemui pengetahuan
ini di dalam dirinya tidak akan menjadi arif walaupun dia membaca
seribu buah buku. Nikmat yang bisa diharapkan oleh orang yang
mempelajari ilmu dhohir ialah surga; di sana semua yang dapat dilihat
adalah kenyataan Sifat-sifat Ilahi dalam bentuk cahaya.
Tidak terkira bagaimana sempurna pengetahuannya
tentang perkara nyata yang bisa dilihat dan dipercaya,
tetapi ia tidak dapat membantu
seseorang untuk masuk kepada suasana kesucian dan mulia,
yaitu kehampiran (kedekatan) dengan Allah, karena seseorang itu perlu
terbang ke tempat (maqam) tersebut, dan untuk terbang perlu dua
sayap.
Hamba Allah yang sejati adalah
yang terbang ke sana dengan menggunakan dua sayap, yaitu pengetahuan
dhohir dan pengetahuan batin, tidak pernah berhenti di tengah jalan,
tidak tertarik dengan apa sahaja yang ditemui dalam perjalanannya. Allah
berfirman melalui rasul-Nya:
"Hai Hamba-Ku, jika engkau ingin masuk kepada kesucian berhampiran
dengan-Ku jangan pedulikan dunia ini atau pun alam tinggi para
malaikat, tidak juga yang lebih tinggi di mana kamu bisa menerima Sifat-sifat-Ku
yang suci".
Dua Martabat Ruhani yang Lebih Tinggi
Daripada Syuhada
Jadi, menurut Allah Swt. dalam
Al-Quran bahwa bagi para pencinta hakiki Nabi Besar Muhammad saw. di atas martabat syuhada (saksi-saksi) ada dua
martabat ruhani yang lebih tinggi yakni nabiyyīn
(nabi-nabi) dan shiddiqīn, yang untuk
memperolehnya tidak harus “membunuh” atau “terbunuh” di jalan Allah,
sebagaimana yang secara
keliru difahami oleh para
penganut faham “garis keras”, firman-Nya:
ہُوَ
الَّذِیۡ بَعَثَ فِی الۡاُمِّیّٖنَ
رَسُوۡلًا مِّنۡہُمۡ یَتۡلُوۡا
عَلَیۡہِمۡ اٰیٰتِہٖ وَ
یُزَکِّیۡہِمۡ وَ
یُعَلِّمُہُمُ الۡکِتٰبَ وَ الۡحِکۡمَۃَ ٭ وَ اِنۡ کَانُوۡا مِنۡ قَبۡلُ
لَفِیۡ ضَلٰلٍ مُّبِیۡنٍ ۙ﴿﴾ وَّ اٰخَرِیۡنَ مِنۡہُمۡ لَمَّا یَلۡحَقُوۡا بِہِمۡ ؕ وَ ہُوَ الۡعَزِیۡزُ
الۡحَکِیۡمُ ﴿﴾ ذٰلِکَ فَضۡلُ
اللّٰہِ یُؤۡتِیۡہِ مَنۡ یَّشَآءُ ؕ وَ اللّٰہُ
ذُو الۡفَضۡلِ الۡعَظِیۡمِ ﴿﴾
Dia-lah Yang telah membangkitkan di kalangan bangsa
yang buta huruf seorang rasul dari antara mereka, yang membacakan kepada mereka Tanda-tanda-Nya, dan mensucikan
mereka, dan mengajarkan kepada mereka
Kitab dan Hikmah walaupun
sebelumnya mereka berada dalam kesesatan
yang nyata, وَّ اٰخَرِیۡنَ مِنۡہُمۡ لَمَّا
یَلۡحَقُوۡا بِہِمۡ ؕ وَ ہُوَ
الۡعَزِیۡزُ الۡحَکِیۡمُ -- dan
juga akan membangkitkannya pada kaum
lain dari antara mereka, yang belum
bertemu dengan mereka. Dan Dia-lah
Yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana. ذٰلِکَ فَضۡلُ اللّٰہِ یُؤۡتِیۡہِ مَنۡ
یَّشَآءُ ؕ -- Itulah
karunia Allah, Dia menganugerahkannya kepada siapa yang Dia kehendaki. وَ اللّٰہُ ذُو الۡفَضۡلِ الۡعَظِیۡمِ -- dan Allah mempunyai karunia yang besar. (Al-Jumu’ah
[62]:3-5). Lihat pula QS,11:18;
QS,7:35-37; QS.61:10; QS.77:12.
Berbagai Macam Ujian Keimanan di Jalan Allah
Ada pun hubungan dengan
kegembiraan syuhada mengenai وَّ اٰخَرِیۡنَ مِنۡہُمۡ لَمَّا یَلۡحَقُوۡا بِہِمۡ ؕ وَ ہُوَ الۡعَزِیۡزُ
الۡحَکِیۡمُ -- dan juga akan membangkitkannya pada kaum lain dari antara mereka, yang belum bertemu dengan mereka. Dan Dia-lah
Yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana,”
yang dikemukakan Allah Swt. dalam firman-Nya:
وَ لَا
تَحۡسَبَنَّ الَّذِیۡنَ قُتِلُوۡا فِیۡ سَبِیۡلِ اللّٰہِ اَمۡوَاتًا ؕ بَلۡ
اَحۡیَآءٌ عِنۡدَ رَبِّہِمۡ یُرۡزَقُوۡنَ ﴿﴾ۙ فَرِحِیۡنَ
بِمَاۤ اٰتٰہُمُ اللّٰہُ مِنۡ فَضۡلِہٖ ۙ
وَ یَسۡتَبۡشِرُوۡنَ بِالَّذِیۡنَ لَمۡ یَلۡحَقُوۡا بِہِمۡ مِّنۡ خَلۡفِہِمۡ ۙ
اَلَّا خَوۡفٌ عَلَیۡہِمۡ وَ لَا ہُمۡ یَحۡزَنُوۡنَ ﴿﴾ۘ
Dan janganlah kamu menyangka mengenai orang-orang yang terbunuh di jalan Allah bahwa mereka itu mati, بَلۡ
اَحۡیَآءٌ عِنۡدَ رَبِّہِمۡ یُرۡزَقُوۡنَ -- tidak, bahkan mereka
itu hidup di sisi Rabb (Tuhan)
mereka, mereka diberi rezeki. فَرِحِیۡنَ
بِمَاۤ اٰتٰہُمُ اللّٰہُ مِنۡ فَضۡلِہٖ -- mereka
bergirang hati dengan apa
yang diberikan Allah kepada mereka dari karunia-Nya, وَ یَسۡتَبۡشِرُوۡنَ بِالَّذِیۡنَ لَمۡ یَلۡحَقُوۡا بِہِمۡ مِّنۡ خَلۡفِہِمۡ -- dan mereka
bergembira terhadap orang-orang di belakangnya yang belum pernah bergabung dengan mereka, اَلَّا خَوۡفٌ عَلَیۡہِمۡ وَ لَا ہُمۡ یَحۡزَنُوۡنَ -- bahwa tidak ada ketakutan atas
mereka, dan tidak pula mereka bersedih. (Ali ‘Imran [3]:170-171).
Makna ayat وَ
الَّذِیۡنَ قُتِلُوۡا فِیۡ سَبِیۡلِ
اللّٰہِ فَلَنۡ یُّضِلَّ اَعۡمَالَہُمۡ --
“Dan orang-orang yang terbunuh di jalan
Allah Dia tidak akan pernah menyia-nyiakan amal-amal mereka” (QS.2:155),
bahwa pengorbanan kaum Muslimin yang mati syahid di medan bakti tidak akan sia-sia.
Pada hakikatnya, pengorbanan mereka
itulah yang justru telah meletakkan dasar Islam yang kokoh di tanah Arab,
firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا
الَّذِیۡنَ اٰمَنُوا اسۡتَعِیۡنُوۡا بِالصَّبۡرِ وَ الصَّلٰوۃِ ؕ اِنَّ اللّٰہَ
مَعَ الصّٰبِرِیۡنَ ﴿﴾ وَ لَا تَقُوۡلُوۡا لِمَنۡ یُّقۡتَلُ فِیۡ سَبِیۡلِ اللّٰہِ
اَمۡوَاتٌ ؕ بَلۡ اَحۡیَآءٌ وَّ
لٰکِنۡ لَّا تَشۡعُرُوۡنَ ﴿﴾ ؕ وَ بَشِّرِ الصّٰبِرِیۡنَ ﴿﴾ۙ الَّذِیۡنَ اِذَاۤ
اَصَابَتۡہُمۡ مُّصِیۡبَۃٌ ۙ
قَالُوۡۤا اِنَّا لِلّٰہِ وَ اِنَّاۤ اِلَیۡہِ رٰجِعُوۡنَ ﴿﴾ؕ اُولٰٓئِکَ عَلَیۡہِمۡ صَلَوٰتٌ مِّنۡ رَّبِّہِمۡ وَ رَحۡمَۃٌ ۟ وَ اُولٰٓئِکَ ہُمُ
الۡمُہۡتَدُوۡنَ ﴿﴾
Hai orang-orang yang beriman, mohonlah
pertolongan dengan sabar dan shalat,
sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. وَ لَا
تَقُوۡلُوۡا لِمَنۡ یُّقۡتَلُ فِیۡ سَبِیۡلِ اللّٰہِ اَمۡوَاتٌ ؕ بَلۡ اَحۡیَآءٌ
وَّ لٰکِنۡ لَّا تَشۡعُرُوۡنَ -- dan janganlah kamu mengatakan mengenai
orang-orang yang terbunuh di jalan Allah bahwa mereka
itu mati, بَلۡ
اَحۡیَآءٌ وَّ لٰکِنۡ لَّا تَشۡعُرُوۡنَ -- tidak bahkan
mereka hidup, tetapi
kamu tidak menyadari. وَ لَنَبۡلُوَنَّکُمۡ بِشَیۡءٍ مِّنَ الۡخَوۡفِ وَ الۡجُوۡعِ وَ نَقۡصٍ
مِّنَ الۡاَمۡوَالِ وَ الۡاَنۡفُسِ وَ الثَّمَرٰتِ --
dan Kami niscaya akan
menguji kamu dengan sesuatu berupa ketakutan, kelaparan, kekurangan
dalam harta, jiwa dan buah-buahan,
وَ بَشِّرِ الصّٰبِرِیۡنَ -- dan berilah kabar
gembira kepada orang-orang yang sabar. الَّذِیۡنَ
اِذَاۤ اَصَابَتۡہُمۡ مُّصِیۡبَۃٌ -- yaitu
orang-orang yang apabila
suatu musibah menimpa mereka, ۙ
قَالُوۡۤا اِنَّا لِلّٰہِ وَ اِنَّاۤ
اِلَیۡہِ رٰجِعُوۡنَ -- mereka berkata: ”Sesungguhnya kami milik Allah
dan sesungguhnya kepada-Nya-lah
kami kembali.” اُولٰٓئِکَ عَلَیۡہِمۡ صَلَوٰتٌ مِّنۡ رَّبِّہِمۡ وَ رَحۡمَۃٌ ۟ وَ اُولٰٓئِکَ
ہُمُ الۡمُہۡتَدُوۡنَ -- mereka itulah orang-orang
yang dilimpahi berkat-berkat dan rahmat
dari Rabb (Tuhan) mereka dan mereka inilah yang mendapat petunjuk. (Al-Baqarah
[2]:154-158).
Akibat Kedurhakaan kepada Allah Swt.
dan Rasul Allah
Kesengasaraan
yang menimpa umat Islam di
negara-negara Muslim yang terlibat
dalam “pertikaian politik”
-- baik antara sesama Muslim maupun dengan pihak Non-Muslim, seperti yang terjadi di Akhir Zaman ini – tidak
termasuk dalam ayat وَ لَنَبۡلُوَنَّکُمۡ بِشَیۡءٍ مِّنَ الۡخَوۡفِ وَ الۡجُوۡعِ وَ نَقۡصٍ
مِّنَ الۡاَمۡوَالِ وَ الۡاَنۡفُسِ وَ الثَّمَرٰتِ --
dan Kami niscaya akan
menguji kamu dengan sesuatu berupa ketakutan, kelaparan, kekurangan
dalam harta, jiwa dan buah-buahan”,
melainkan termasuk bagian dari azab Ilahi
akibat kedurhakaan kepada Allah Swt.
dan Rasul Allah, firman-Nya:
قُلۡ ہُوَ
الۡقَادِرُ عَلٰۤی اَنۡ یَّبۡعَثَ
عَلَیۡکُمۡ عَذَابًا مِّنۡ فَوۡقِکُمۡ اَوۡ مِنۡ تَحۡتِ اَرۡجُلِکُمۡ اَوۡ
یَلۡبِسَکُمۡ شِیَعًا وَّ یُذِیۡقَ بَعۡضَکُمۡ بَاۡسَ بَعۡضٍ ؕ اُنۡظُرۡ کَیۡفَ
نُصَرِّفُ الۡاٰیٰتِ لَعَلَّہُمۡ یَفۡقَہُوۡنَ ﴿﴾ وَ کَذَّبَ بِہٖ
قَوۡمُکَ وَ ہُوَ الۡحَقُّ ؕ قُلۡ لَّسۡتُ عَلَیۡکُمۡ بِوَکِیۡلٍ ﴿ؕ﴾ لِکُلِّ نَبَاٍ مُّسۡتَقَرٌّ ۫ وَّ سَوۡفَ تَعۡلَمُوۡنَ ﴿﴾
Katakanlah: “Dia-lah Yang berkuasa mengirimkan azab kepada kamu dari atasmu atau
dari bawah kakimu اَوۡ
یَلۡبِسَکُمۡ شِیَعًا وَّ یُذِیۡقَ بَعۡضَکُمۡ بَاۡسَ بَعۡضٍ --
atau mencampur-baurkan kamu menjadi
golongan-golongan yang saling berselisih dan membuat seba-gian kamu merasakan keganasan sebagian yang lain.”
Lihatlah bagaimana Kami
membentangkan Tanda-tanda supaya mereka
mengerti. Dan kaum
engkau telah mendustakannya, padahal
itu adalah kebenaran. Katakanlah: ”Aku sekali-kali bukan
penanggungjawab atas kamu.” لِکُلِّ نَبَاٍ مُّسۡتَقَرٌّ ۫ وَّ
سَوۡفَ تَعۡلَمُوۡنَ -- bagi
tiap kabar gaib ada masa yang tertentu,
dan kamu segera akan mengetahui
(Al-An’ām
[6]:66-68)..
“Azab dari atas” maknanya:
kelaparan, gempa bumi, air bah, taufan, penindasan terhadap golongan yang lemah
oleh yang kuat, penderitaan mental, dan sebagainya, dan “siksaan dari bawah” berarti: penyakit-penyakit, wabah,
pemberontakan orang-orang bawahan, dan sebagainya. Kemudian ada hukuman Ilahi berupa kekacauan, perpecahan-perpecahan dan perselisihan
yang kadang-kadang berakhir dalam perang
saudara. Hal demikian ini diisyaratkan dalam kata-kata اَوۡ
یَلۡبِسَکُمۡ شِیَعًا وَّ یُذِیۡقَ بَعۡضَکُمۡ بَاۡسَ بَعۡضٍ --
atau mencampur-baurkan kamu menjadi
golongan-golongan yang saling berselisih dan membuat sebagian kamu merasakan keganasan sebagian yang lain.”
Di sini
kata ganti “nya” dalam kalimat “mendustakannya” menunjuk kepada (1) perkara
yang sedang dibahas; (2) Al-Quran; (3) azab
Ilahi. Jika kita ambil arti yang terakhir, maka kata-kata “padahal itu
adalah kebenaran” akan berarti bahwa azab
Ilahi yang dijanjikan pasti akan tiba, dan bahkan sedang
terjadi di mana-mana.
Rasul Allah Sebagai Basyīran (Pembawa Kabar Gembira) dan Nadzīran (Pemberi Peringatan)
Jadi, Sunnatullah
وَ
لَنَبۡلُوَنَّکُمۡ بِشَیۡءٍ مِّنَ الۡخَوۡفِ وَ الۡجُوۡعِ وَ نَقۡصٍ مِّنَ
الۡاَمۡوَالِ وَ الۡاَنۡفُسِ وَ الثَّمَرٰتِ -- dan Kami
niscaya akan menguji kamu dengan sesuatu berupa
ketakutan, kelaparan, kekurangan dalam harta, jiwa
dan buah-buahan, وَ بَشِّرِ
الصّٰبِرِیۡنَ -- dan berilah
kabar gembira kepada orang-orang yang sabar,” adalah “ujian keimanan” terhadap orang-orang yang beriman kepada Rasul Allah yang kedatangannya dijanjikan Allah Swt. kepada mereka
(QS.7:35-37; QS.62:3-4) , termasuk di Akhir
Zaman ini (QS. 61:10).
Menurut Allah Swt., hanya “orang-orang
berakal” sajalah yang mampu membaca
Ayat-ayat (Tanda-tanda) Allah Swt.
membaca Tanda-tanda alam dan Tanda-tanda zaman -- sebagaimana yang diisyaratkan Allah Swt. dalam Al-Quran, firman-Nya:
اِنَّ فِیۡ
خَلۡقِ السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ وَ اخۡتِلَافِ الَّیۡلِ وَ النَّہَارِ
لَاٰیٰتٍ لِّاُولِی الۡاَلۡبَابِ ﴿﴾ۚۙ الَّذِیۡنَ
یَذۡکُرُوۡنَ اللّٰہَ قِیٰمًا وَّ
قُعُوۡدًا وَّ عَلٰی جُنُوۡبِہِمۡ وَ یَتَفَکَّرُوۡنَ فِیۡ خَلۡقِ السَّمٰوٰتِ وَ
الۡاَرۡضِ ۚ رَبَّنَا مَا خَلَقۡتَ ہٰذَا بَاطِلًا ۚ سُبۡحٰنَکَ فَقِنَا عَذَابَ
النَّارِ ﴿﴾
Sesungguhnya
dalam penciptaan seluruh langit dan bumi
serta pertukaran malam dan siang لِّاُولِی الۡاَلۡبَابِ -- benar-benar terdapat Tanda-tanda bagi orang-orang
yang berakal, yaitu
الَّذِیۡنَ
یَذۡکُرُوۡنَ اللّٰہَ قِیٰمًا وَّ
قُعُوۡدًا وَّ عَلٰی جُنُوۡبِہِمۡ وَ یَتَفَکَّرُوۡنَ فِیۡ خَلۡقِ السَّمٰوٰتِ وَ
الۡاَرۡضِ ۚ -- orang-orang yang mengingat
Allah sambil berdiri, duduk, dan sambil berbaring atas rusuk mereka, dan mereka
memikirkan mengenai penciptaan
seluruh langit dan bumi seraya berkata: رَبَّنَا مَا خَلَقۡتَ ہٰذَا بَاطِلًا ۚ -- “Ya Rabb (Tuhan) kami, sekali-kali tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia, سُبۡحٰنَکَ فَقِنَا
عَذَابَ النَّارِ -- Maha
Suci Engkau dari perbuatan sia-sia maka peliharalah
kami dari azab Api.” (Ali ‘Imran [3]:191-192).
Pelajaran yang terkandung dalam penciptaan seluruh langit dan bumi dan dalam pergantian malam
dan siang ialah: manusia diciptakan untuk mencapai kemajuan ruhani dan jasmani.
Bila ia berbuat amal saleh maka masa kegelapannya dan masa kesedihannya pasti akan diikuti oleh masa terang benderang dan kebahagiaan.
Tatanan agung yang dibayangkan
pada ayat-ayat sebelumnya tidak mungkin terwujud tanpa suatu tujuan tertentu, dan karena seluruh alam
ini telah dijadikan untuk menghidmati
manusia, tentu saja kejadian manusia
sendiri mempunyai tujuan yang agung dan mulia pula, yakni untuk beribadah kepada Allah Swt. (QS.51:57)
Bila orang merenungkan tentang
kandungan arti keruhanian yang
diserap dari gejala-gejala fisik di
dalam penciptaan seluruh alam dengan tatanan
sempurna yang melingkupinya itu, ia akan begitu terkesan dengan mendalam oleh kebijakan
luhur Sang Al-Khāliq-nya (Maha Pencipta-nya) lalu dengan serta-merta
terlontar dari dasar lubuk hatinya seruan: رَبَّنَا مَا خَلَقۡتَ ہٰذَا بَاطِلًا ۚ
سُبۡحٰنَکَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ -- “Ya Rabb
(Tuhan) kami, sekali-kali tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia. Maha Suci Engkau dari perbuatan
sia-sia maka peliharalah kami dari azab Api.”
Jadi, jika pelanggaran terhadap hukum alam pasti
pelakunya akan menanggung akibat buruk perbuatan yang
dilakukannya, demikian juga halnya pelanggaran terhadap hukum-hukum syariat
pun para pelanggarnya tidak akan
dibiarkan Allah Swt. tanpa hukuman
dari-Nya. Kesadaran ruhani tersebut digambarkan dalam firman
selanjutnya:
رَبَّنَاۤ اِنَّکَ مَنۡ تُدۡخِلِ النَّارَ فَقَدۡ اَخۡزَیۡتَہٗ ؕ وَ مَا
لِلظّٰلِمِیۡنَ مِنۡ اَنۡصَارٍ ﴿﴾
“Wahai Rabb (Tuhan) kami, sesungguhnya barangsiapa yang Engkau masukkan ke dalam
Api maka sungguh Engkau telah
menghinakannya, dan sekali-kali
tidak ada bagi orang-orang zalim seorang penolong pun.”
Beriman Kepada Rasul Allah yang Dijanjikan
Kesadaran
ruhani atau bashirah (penglihatan
ruhani) mereka sampai kesapada suatu kesimpulan yang benar sesuai dengan Sunnatullah mengenai eratnya hubungan
terjadinya azab Ilahi dengan pendustaan
dan penentangan terhadap Rasul Allah yang kedatangannya dijanjikan (QS.6:132-133; QS.11:117-118;
QS.17:16-19; QS.20:134-136; QS.26:209-210;
QS.28:60), firman-Nya:
رَبَّنَاۤ
اِنَّنَا سَمِعۡنَا مُنَادِیًا یُّنَادِیۡ لِلۡاِیۡمَانِ اَنۡ اٰمِنُوۡا
بِرَبِّکُمۡ فَاٰمَنَّا ٭ۖ رَبَّنَا
فَاغۡفِرۡ لَنَا ذُنُوۡبَنَا وَ کَفِّرۡ عَنَّا سَیِّاٰتِنَا وَ تَوَفَّنَا
مَعَ الۡاَبۡرَارِ ﴿﴾ۚ
“Wahai Rabb
(Tuhan) kami, اِنَّنَا سَمِعۡنَا مُنَادِیًا یُّنَادِیۡ لِلۡاِیۡمَانِ -- sesungguhnya kami telah mendengar seorang Penyeru menyeru kami
kepada keimanan seraya berkata: اَنۡ
اٰمِنُوۡا بِرَبِّکُمۡ -- "Berimanlah kamu kepada Rabb (Tuhan) kamu," فَاٰمَنَّا -- maka kami telah beriman. رَبَّنَا
فَاغۡفِرۡ لَنَا ذُنُوۡبَنَا وَ کَفِّرۡ عَنَّا سَیِّاٰتِنَا وَ تَوَفَّنَا
مَعَ الۡاَبۡرَارِ -- Wahai
Rabb (Tuhan) kami, ampunilah
bagi kami dosa-dosa kami, hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan
kami, dan wafatkanlah kami
bersama orang-orang yang ber-buat
kebajikan.” (Ali ‘Imran [3]:193-194).
Makna dzunub dalam ayat
رَبَّنَا فَاغۡفِرۡ لَنَا
ذُنُوۡبَنَا – “Wahai Rabb (Tuhan)
kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami, ” yang umumnya
menunjuk kepada kelemahan-kelemahan
serta kesalahan-kesalahan dan kealpaan-kealpaan yang biasa melekat pada diri manusia, dapat
melukiskan relung-relung gelap dalam hati, yang ke tempat itu Nur Ilahi tidak dapat sampai dengan
sebaik-baiknya, sedangkan sayyi’at dalam ayat وَ کَفِّرۡ
عَنَّا سَیِّاٰتِنَا -- “hapuskanlah dari kami
kesalahan-kesalahan kami” yang secara relatif
merupakan kata yang bobotnya
lebih keras, dapat berarti gumpalan-gumpalan
awan debu yang menyembunyikan cahaya
matahari ruhani dari pemandangan kita. Lihat pula ayat-ayat QS.2:82 dan
QS.3:17.
Bahwa pengutusan Rasul Allah
yang kedatangannya dijanjikan, bukan
saja erat kaitannya dengan terjadinya berbagai bentuk azab Ilahi jika manusia
melakukan pendustaan dan penentangan secara zalim terhadapnya, tetapi juga beliau datang membawa kabar gembira bagi orang-orang yang beriman kepadanya. Itulah sebabnya Allah Swt.
menyebut para rasul Allah – terutama Nabi Besar Muhammad saw. -- sebagai basyīran (pembawa kabar gembira) mengenai ampunan
serta rahmat Ilahi dan sebagai nadzīran (pemberi peringatan) tentang azab Ilahi (QS.2:120; QS.33:46;
QS.34:29; QS.35:25; QS.41:5).
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik
Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 6 Agustus
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar