بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم
Khazanah
Ruhani Surah Shād
Bab 303
“Mi’raj
Akal” Orang-orang “Berakal” yang Mempergunakan
“Akalnya” (Indera-indera Ruhaninya) dengan Baik & Penyesalan Besar Penghuni Neraka
Jahannam
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam bagian akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan mengenai kandungan arti keruhanian
yang diserap dari gejala-gejala fisik
di dalam penciptaan seluruh alam dengan tatanan
sempurna yang melingkupinya itu (QS.3:191), ia akan begitu terkesan dengan mendalam oleh kebijakan luhur Sang Al-Khāliq-nya
(Maha Pencipta-nya) lalu dengan serta-merta terlontar dari dasar lubuk hatinya
seruan: رَبَّنَا مَا خَلَقۡتَ ہٰذَا بَاطِلًا ۚ
سُبۡحٰنَکَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ -- “Ya Rabb
(Tuhan) kami, sekali-kali tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia. Maha Suci Engkau dari perbuatan
sia-sia maka peliharalah kami dari azab Api.”
(Ali
‘Imran [3]:192).
Jadi, jika pelanggaran terhadap hukum alam pasti
pelakunya akan menanggung akibat buruk perbuatan yang
dilakukannya, demikian juga halnya pelanggaran terhadap hukum-hukum syariat
pun para pelanggarnya tidak akan
dibiarkan Allah Swt. tanpa hukuman
dari-Nya. Kesadaran ruhani tersebut digambarkan dalam firman
selanjutnya:
رَبَّنَاۤ اِنَّکَ مَنۡ تُدۡخِلِ النَّارَ فَقَدۡ اَخۡزَیۡتَہٗ ؕ وَ مَا
لِلظّٰلِمِیۡنَ مِنۡ اَنۡصَارٍ ﴿﴾
“Wahai Rabb (Tuhan) kami, sesungguhnya barangsiapa yang Engkau masukkan ke dalam
Api maka sungguh Engkau telah
menghinakannya, dan sekali-kali
tidak ada bagi orang-orang zalim seorang penolong pun.” (Ali
‘Imran [3]:193).
Beriman Kepada Rasul Allah yang Dijanjikan
Kesadaran
ruhani atau bashirah (penglihatan
ruhani) mereka sampai kepada suatu kesimpulan yang benar sesuai dengan Sunnatullah mengenai eratnya hubungan
terjadinya azab Ilahi dengan pendustaan
dan penentangan terhadap Rasul Allah yang kedatangannya dijanjikan (QS.6:132-133; QS.11:117-118;
QS.17:16-19; QS.26:209-210; QS.28:60),
sebab jika azab Ilahi ditimpakan
kepada manusia sebelum kepada mereka diutus seorang Rasul Allah sebagai basyīran (pemberi kabar gembira) dan nazhīran (pemberi peringatan) maka
manusia akan punya dalih (alasan)
untuk menyalahkan Allah Swt. bahwa mengapa Allah Swt. tidak memberitahukan
kepada mereka mengenai kesesatan apa
saja yang mereka lakukan, firman-Nya:
وَ قَالُوۡا
لَوۡ لَا یَاۡتِیۡنَا بِاٰیَۃٍ مِّنۡ رَّبِّہٖ ؕ اَوَ لَمۡ تَاۡتِہِمۡ بَیِّنَۃُ مَا فِی الصُّحُفِ الۡاُوۡلٰی ﴿﴾ وَ لَوۡ
اَنَّـاۤ اَہۡلَکۡنٰہُمۡ بِعَذَابٍ مِّنۡ
قَبۡلِہٖ لَقَالُوۡا رَبَّنَا لَوۡ لَاۤ
اَرۡسَلۡتَ اِلَیۡنَا رَسُوۡلًا
فَنَتَّبِعَ اٰیٰتِکَ مِنۡ قَبۡلِ اَنۡ
نَّذِلَّ وَ نَخۡزٰی ﴿﴾ قُلۡ کُلٌّ
مُّتَرَبِّصٌ فَتَرَبَّصُوۡا ۚ فَسَتَعۡلَمُوۡنَ مَنۡ اَصۡحٰبُ الصِّرَاطِ السَّوِیِّ وَ مَنِ
اہۡتَدٰی ﴿﴾٪
Dan
mereka berkata: "Mengapakah ia
(rasul) tidak mendatangkan kepada kami suatu Tanda dari Rabb-nya (Tuhannya)?"
اَوَ
لَمۡ تَاۡتِہِمۡ بَیِّنَۃُ مَا فِی الصُّحُفِ الۡاُوۡلٰی -- bukankah telah datang kepada mereka bukti yang jelas
apa yang ada dalam lembaran-lembaran terdahulu? Dan seandainya
Kami membinasakan mereka dengan azab sebe-lum ini niscaya mereka akan berkata: رَبَّنَا لَوۡ
لَاۤ اَرۡسَلۡتَ اِلَیۡنَا رَسُوۡلًا فَنَتَّبِعَ اٰیٰتِکَ مِنۡ
قَبۡلِ اَنۡ نَّذِلَّ وَ
نَخۡزٰی -- "Ya Rabb
(Tuhan) kami, mengapakah Engkau tidak mengirimkan kepada kami seorang
rasul supaya kami mengikuti
Ayat-ayat Engkau sebelum kami direndahkan
dan dihinakan?" Katakanlah: "Setiap orang sedang menunggu maka kamu pun tunggulah, lalu segera kamu akan me-ngetahui siapakah yang
ada pada jalan yang lurus dan siapa
yang mengikuti petunjuk dan siapa yang tidak.. (Thā Hā [20]:134-136).
Itulah sebabnya dengan melihat berkobarnya berbagai macam “api” azab Ilahi yang terjadi di kalangan umat
manusia maka “orang-orang yang berakal” tersebut sampai kepada kesimpulan yang benar mengenai
kepastian telah datangnya Rasul Allah yang kedatangannya dijanjikan Allah Swt. kepada mereka, firman-Nya:
رَبَّنَاۤ
اِنَّنَا سَمِعۡنَا مُنَادِیًا یُّنَادِیۡ لِلۡاِیۡمَانِ اَنۡ اٰمِنُوۡا
بِرَبِّکُمۡ فَاٰمَنَّا ٭ۖ رَبَّنَا
فَاغۡفِرۡ لَنَا ذُنُوۡبَنَا وَ کَفِّرۡ عَنَّا سَیِّاٰتِنَا وَ تَوَفَّنَا
مَعَ الۡاَبۡرَارِ ﴿﴾ۚ
“Wahai Rabb
(Tuhan) kami, اِنَّنَا سَمِعۡنَا مُنَادِیًا یُّنَادِیۡ لِلۡاِیۡمَانِ -- sesungguhnya kami telah mendengar seorang Penyeru menyeru kami
kepada keimanan seraya berkata: اَنۡ
اٰمِنُوۡا بِرَبِّکُمۡ -- "Berimanlah kamu kepada Rabb (Tuhan) kamu," فَاٰمَنَّا -- maka kami telah beriman. رَبَّنَا
فَاغۡفِرۡ لَنَا ذُنُوۡبَنَا وَ کَفِّرۡ عَنَّا سَیِّاٰتِنَا وَ تَوَفَّنَا
مَعَ الۡاَبۡرَارِ -- Wahai
Rabb (Tuhan) kami, ampunilah
bagi kami dosa-dosa kami, hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan
kami, dan wafatkanlah kami
bersama orang-orang yang ber-buat
kebajikan.” (Ali ‘Imran [3]:194).
Keburukan “Mata Ruhani yang Buta”
Jadi, penyebab utama penolakan
dan penentangan terhadap rasul
Allah yang kedatangannya dijanjikan Allah Swt. di setiap zaman (QS.7:35-37) -- termasuk di Akhir Zaman ini --
sebenarnya bukan pada masalah telah atau belum
datangnya rasul Allah yang
kedatangannya dijanjikan Allah
tersebut melainkan kepada “ketidakberakalan”
mereka itu, yang dalam Surah Al-Hajj
disebut sebagai “kebutaan hati” atau
“kebutaan mata ruhani”.
Mengapa demikian? Sebab bagi orang-orang
yang indera-indera ruhaninya tidak
berfungsi, sekali pun rasul Allah
yang dijanjikan tersebut benar-benar telah datang disertai
berbagai macam dalil dan Tanda-tanda
yang jelas dari Allah Swt. (QS.6:112-114), tetapi mereka
tetap saja akan mendustakan dan akan menentangnya dengan penuh kedegilan, firman-Nya:
فَکَاَیِّنۡ مِّنۡ قَرۡیَۃٍ اَہۡلَکۡنٰہَا وَ ہِیَ ظَالِمَۃٌ فَہِیَ خَاوِیَۃٌ عَلٰی عُرُوۡشِہَا وَ
بِئۡرٍ مُّعَطَّلَۃٍ وَّ
قَصۡرٍ مَّشِیۡدٍ ﴿﴾ اَفَلَمۡ یَسِیۡرُوۡا فِی الۡاَرۡضِ فَتَکُوۡنَ لَہُمۡ قُلُوۡبٌ
یَّعۡقِلُوۡنَ بِہَاۤ اَوۡ اٰذَانٌ
یَّسۡمَعُوۡنَ بِہَا ۚ فَاِنَّہَا لَا تَعۡمَی الۡاَبۡصَارُ وَ لٰکِنۡ
تَعۡمَی الۡقُلُوۡبُ الَّتِیۡ فِی الصُّدُوۡرِ ﴿﴾
Dan berapa banyak
kota yang Kami telah membinasakannya,
yang penduduknya sedang berbuat
zalim lalu dinding-dindingnya jatuh atas atapnya, dan sumur yang telah ditinggalkan dan istana yang menjulang tinggi. Maka apakah mereka tidak berpesiar di bumi, lalu menjadikan
hati mereka memahami dengannya atau
menjadikan telinga mereka mendengar dengannya? فَاِنَّہَا
لَا تَعۡمَی الۡاَبۡصَارُ وَ لٰکِنۡ تَعۡمَی الۡقُلُوۡبُ الَّتِیۡ فِی الصُّدُوۡرِ -- maka sesungguhnya bukan mata yang buta tetapi yang
buta adalah hati yang ada dalam dada. (Al-Hājj [22]:46-47).
Dari
ayat 47
jelas bahwa orang-orang mati,
orang-orang buta, dan orang-orang tuli, yang dibicarakan di sini atau di
tempat lain dalam Al-Quran ialah, orang-orang yang ditilik dari segi ruhani telah mati, buta, dan tuli.
Menurut Allah Swt. orang-orang
seperti itu itu bahkan lebih buruk daripada
“binatang ternak,” firman-Nya:
وَ لَقَدۡ
ذَرَاۡنَا لِجَہَنَّمَ کَثِیۡرًا مِّنَ الۡجِنِّ وَ الۡاِنۡسِ ۫ۖ لَہُمۡ قُلُوۡبٌ لَّا یَفۡقَہُوۡنَ بِہَا ۫ وَ
لَہُمۡ اَعۡیُنٌ لَّا یُبۡصِرُوۡنَ بِہَا ۫ وَ لَہُمۡ اٰذَانٌ لَّا یَسۡمَعُوۡنَ
بِہَا ؕ اُولٰٓئِکَ کَالۡاَنۡعَامِ بَلۡ ہُمۡ اَضَلُّ ؕ اُولٰٓئِکَ ہُمُ
الۡغٰفِلُوۡنَ ﴿﴾
Dan sungguh Kami benar-benar telah menjadikan
untuk penghuni Jahannam1075 banyak di antara jin dan ins (manusia), لَہُمۡ قُلُوۡبٌ لَّا یَفۡقَہُوۡنَ بِہَا
۫ وَ لَہُمۡ اَعۡیُنٌ لَّا یُبۡصِرُوۡنَ بِہَا ۫ وَ لَہُمۡ اٰذَانٌ لَّا
یَسۡمَعُوۡنَ بِہَا -- mereka memiliki hati tetapi mereka tidak
mengerti dengannya, mereka
memiliki mata te-tapi mereka tidak melihat dengannya, mereka
memiliki telinga tetapi mereka tidak mendengar dengannya,
اُولٰٓئِکَ کَالۡاَنۡعَامِ -- mereka itu seperti
binatang ternak, بَلۡ ہُمۡ اَضَلُّ -- bahkan mereka lebih sesat. اُولٰٓئِکَ ہُمُ
الۡغٰفِلُوۡنَ -- Mereka itulah orang-orang yang lalai. (Al-A’rāf
[7]:180).
Lebih Buruk Daripada “Binatang Ternak” & Para "Pemuja Hawa Nafsu"
Sehubungan dengan “binatang ternak”,
mengenai orang-orang yang “tidak
mempergunakan akal” atau orang-orang
yang “indra-indra ruhaninya lumpuh” tersebut Allah Swt. berfirman:
وَ اِذَا قِیۡلَ لَہُمُ اتَّبِعُوۡا مَاۤ اَنۡزَلَ
اللّٰہُ قَالُوۡا بَلۡ
نَتَّبِعُ مَاۤ اَلۡفَیۡنَا عَلَیۡہِ اٰبَآءَنَا ؕ اَوَ لَوۡ کَانَ اٰبَآؤُہُمۡ لَا یَعۡقِلُوۡنَ شَیۡئًا وَّ لَا یَہۡتَدُوۡنَ ﴿﴾ وَ مَثَلُ الَّذِیۡنَ کَفَرُوۡا کَمَثَلِ
الَّذِیۡ یَنۡعِقُ
بِمَا لَا یَسۡمَعُ اِلَّا دُعَآءً وَّ نِدَآءً ؕ صُمٌّۢ بُکۡمٌ عُمۡیٌ فَہُمۡ لَا یَعۡقِلُوۡنَ ﴿﴾
Dan apabila dikatakan ke-ada mereka: “Ikutilah apa yang diturunkan Allah”,
mereka berkata: “Tidak, bahkan kami hanya mengikuti apa yang telah kami
dapati bapak-ba-pak kami biasa melakukannya” Apakah sekali pun bapak-bapak mereka itu tidak
mengerti suatu apa pun, dan tidak pula
mereka mendapat petunjuk? Dan perumpamaan keadaan orang-orang
kafir itu نِدَآءً وَّ کَمَثَلِ الَّذِیۡ یَنۡعِقُ بِمَا لَا یَسۡمَعُ اِلَّا دُعَآءً -- seperti seseorang
yang berteriak kepada sesuatu yang
tidak dapat mendengar kecuali hanya panggilan dan seruan belaka.
یَعۡقِلُوۡنَ لَا فَہُمۡ صُمٌّۢ بُکۡمٌ عُمۡیٌ -- Mereka tuli, bisu, dan buta,
karena itu mereka tidak mengerti. (Al-Baqarah [2]:171-172).
Dalam ayat 171 dijelaskan bahwa sungguh
ganjil benar, namun demikian amat
disayangkan, bahwa dalam urusan
agama yang begitu erat hubungannya dengan kehidupannya yang kekal, manusia seringkali puas dengan mengikuti
secara membabi-buta jejak orang-orang
tuanya (leluhur mereka )atau para pemuka
agama mereka. Tetapi dalam urusan
duniawi -- yang hanya bertalian
dengan kepentingan hidup di dunia ini saja dan itu pun hanya sebagian -- ia berhati-hati
sekali agar ia menempuh jalan yang tepat
dan tidak mengikuti orang-orang lain
dengan membabi buta.
Makna perumpamaan
dalam ayat selanjutnya, Nabi Besar Muhammad saw. menyampaikan Amanat Allah Swt. kepada orang-orang
kafir. Beliau saw. itu penyeru dan mereka mendengar suara beliau saw., tetapi tidak berusaha menangkap maknanya. Kata-kata (seruan) beliau saw. seolah-olah
sampai kepada telinga orang tuli
dengan akibat bahwa kemampuan ruhani mereka menjadi sama sekali rusak dan martabat mereka
jatuh sampai ke taraf keadaan binatang ternak dan binatang
buas (QS.7:180) yang hanya mendengar
teriakan si pengembala, tetapi tak
mengerti apa yang dikatakannya,
sebagaimana firman-Nya berikut ini
kepada Nabi Besar Muhammad saw.:
اَرَءَیۡتَ
مَنِ اتَّخَذَ اِلٰـہَہٗ ہَوٰىہُ ؕ اَفَاَنۡتَ تَکُوۡنُ عَلَیۡہِ
وَکِیۡلًا ﴿ۙ﴾ اَمۡ تَحۡسَبُ
اَنَّ اَکۡثَرَہُمۡ یَسۡمَعُوۡنَ
اَوۡ یَعۡقِلُوۡنَ ؕ اِنۡ
ہُمۡ اِلَّا کَالۡاَنۡعَامِ بَلۡ ہُمۡ اَضَلُّ سَبِیۡلًا ﴿٪﴾
Apakah
engkau melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya? Maka apakah engkau
menjadi pengawas atasnya? Ataukah engkau menyangka bahwa sesungguhnya kebanyakan dari mereka mendengar atau mengerti? Mereka
tidak lain melainkan seperti hewan ternak bahkan mereka
lebih sesat dari jalannya. (Al-Furqān
[25]:44-45)
Keinginan-keinginan, lamunan-lamunan, dan
khayalan-khayalannya sendiri itulah yang pada umumnya orang puja lebih dari apa pun, dan inilah yang
menjadi batu penghalang baginya untuk
menerima kebenaran. Dalam intelek atau akal, manusia boleh jadi telah jauh maju, sehingga ia tidak lagi membungkukkan
diri di hadapan batu-batu dan bintang-bintang, akan tetapi ia belum
mengatasi pemujaannya terhadap cita-cita, prasangka-prasangka, dan khayalan-khayalannya
yang palsu.
Pemujaan berhala-berhala yang
bersemayam dalam hatinya itulah yang dicela di sini. Daripada ia memanfaatkan
kemampuan-kemampuannya yang
dianugerahkan Allah Swt. untuk berpikir
dan mendengar, dan yang seharusnya membantu manusia mengenal dan menyadari
kebenaran, malah ia meraba-raba dalam kegelapan. Pada saat itu jatuhlah ia ke taraf hidup bagaikan hewan ternak, bahkan lebih rendah daripada itu, sebab hewan ternak tidak diberi kemampuan memilih dan membedakan, sedang manusia diberi daya (kemampuan) itu (QS.76:1-5).
Penyesalan
Besar Penghuni Neraka Jahannam
Mengisyaratkan kepada pentingnya “mempergunakan
akal” secara benar itu pulalah yang disesali
para ahli neraka mengenai ketololan diri mereka sendiri ketika
mereka menjadi penghuni neraka jahannam,
padahal
rasul Allah telah memperingatkan mereka sebelumnya, firman-Nya:
تَکَادُ تَمَیَّزُ مِنَ الۡغَیۡظِ ؕ کُلَّمَاۤ اُلۡقِیَ فِیۡہَا فَوۡجٌ سَاَلَہُمۡ خَزَنَتُہَاۤ اَلَمۡ یَاۡتِکُمۡ نَذِیۡرٌ ﴿﴾ قَالُوۡا بَلٰی قَدۡ جَآءَنَا نَذِیۡرٌ ۬ۙ
فَکَذَّبۡنَا وَ قُلۡنَا مَا نَزَّلَ اللّٰہُ مِنۡ شَیۡءٍ ۚۖ اِنۡ اَنۡتُمۡ اِلَّا فِیۡ ضَلٰلٍ کَبِیۡرٍ﴿﴾
Hampir-hampir neraka itu pecah karena marah.
Setiap kali dilempar-kan ke dalamnya sekelompok orang
kafir akan bertanya kepada mereka
penjaga-penjaganya: اَلَمۡ یَاۡتِکُمۡ نَذِیۡرٌ -- “apakah
tidak pernah datang kepada kamu seorang Pemberi peringatan?” قَالُوۡا بَلٰی قَدۡ جَآءَنَا نَذِیۡرٌ -- Mereka berkata: “Benar, sungguh
telah datang kepada kami seorang
Pemberi peringatan فَکَذَّبۡنَا وَ
قُلۡنَا مَا نَزَّلَ اللّٰہُ مِنۡ شَیۡءٍ -- tetapi
kami mendustakannya dan kami berkata: “Allah sekali-kali tidak menurunkan sesuatu pun, اِنۡ اَنۡتُمۡ اِلَّا فِیۡ ضَلٰلٍ کَبِیۡرٍ -- kamu tidak lain melainkan di
dalam kesesatan yang besar.” (Al-Mulk
[67]:9-10).
Perkataan mereka فَکَذَّبۡنَا وَ قُلۡنَا مَا نَزَّلَ
اللّٰہُ مِنۡ شَیۡءٍ -- tetapi kami mendustakannya
dan kami berkata: “Allah sekali-kali
tidak menurunkan sesuatu pun” pada hakikatnya bentuk lain dari itikad
sesat “lā nabiyya ba’dahu -- tidak akan pernah ada lagi nabi sesudahnya” (QS.41:35; QS.72:8;
QS.10:75). Selanjutnya “orang-orang yang bernasib malang” tersebut menyesali ketololan diri mereka sendiri,
firman-Nya:
وَ
قَالُوۡا لَوۡ کُنَّا نَسۡمَعُ اَوۡ نَعۡقِلُ مَا کُنَّا فِیۡۤ اَصۡحٰبِ السَّعِیۡرِ ﴿﴾ فَاعۡتَرَفُوۡا بِذَنۡۢبِہِمۡ ۚ فَسُحۡقًا
لِّاَصۡحٰبِ السَّعِیۡرِ ﴿﴾ اِنَّ الَّذِیۡنَ یَخۡشَوۡنَ رَبَّہُمۡ بِالۡغَیۡبِ
لَہُمۡ مَّغۡفِرَۃٌ وَّ اَجۡرٌ
کَبِیۡرٌ ﴿﴾
Dan mereka berkata: “Seandainya kami mendengarkan atau mempergunakan akal, tentu kami tidak akan termasuk penghuni Api yang
menyala-nyala.” Maka mereka mengakui
dosa-dosa mereka, maka kebinasaanlah
bagi para penghuni Api yang menyala-nyala. اِنَّ
الَّذِیۡنَ یَخۡشَوۡنَ رَبَّہُمۡ بِالۡغَیۡبِ لَہُمۡ مَّغۡفِرَۃٌ وَّ
اَجۡرٌ کَبِیۡرٌ -- sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Rabb (Tuhan) mereka dalam keadaan tidak nampak, bagi mereka
ada ampunan dan ganjaran besar. (Al-Mulk [67]:11-13).
Makna lain dari ayat
لَوۡ کُنَّا نَسۡمَعُ اَوۡ نَعۡقِلُ مَا کُنَّا فِیۡۤ اَصۡحٰبِ السَّعِیۡرِ -- Seandainya
kami mengikuti peraturan-peraturan
syariat atau mengikuti kata-hati dan
pertimbangan akal, tentu kami tidak akan termasuk penghuni Api yang
menyala-nyala.”
Jadi, betapa beruntungnya “orang-orang berakal” yang “mempergunakan akalnya” dengan benar, sebab mereka bukan saja dapat
membaca Tanda-tanda Ilahi yang terdapat
dalam Al-Quran, tetapi juga mampu membaca dan Tanda-tanda Zaman dan Tanda-tanda
alam yang terus menerus menampakkan kemurkaaannya, firman-Nya:
رَبَّنَاۤ
اِنَّکَ مَنۡ تُدۡخِلِ النَّارَ فَقَدۡ اَخۡزَیۡتَہٗ ؕ وَ مَا لِلظّٰلِمِیۡنَ مِنۡ
اَنۡصَارٍ ﴿﴾ رَبَّنَاۤ اِنَّنَا سَمِعۡنَا مُنَادِیًا یُّنَادِیۡ لِلۡاِیۡمَانِ
اَنۡ اٰمِنُوۡا بِرَبِّکُمۡ فَاٰمَنَّا ٭ۖ
رَبَّنَا فَاغۡفِرۡ لَنَا ذُنُوۡبَنَا وَ کَفِّرۡ عَنَّا سَیِّاٰتِنَا وَ
تَوَفَّنَا مَعَ الۡاَبۡرَارِ ﴿﴾ۚ
“Wahai Rabb (Tuhan) kami, sesungguhnya barangsiapa yang Engkau masukkan ke dalam
Api maka sungguh Engkau telah
menghinakannya, dan sekali-kali
tidak ada bagi orang-orang zalim seorang penolong pun. “Wahai
Rabb (Tuhan) kami, sesungguhnya kami telah mendengar seorang Penyeru menyeru kami
kepada keimanan seraya berkata: اَنۡ
اٰمِنُوۡا بِرَبِّکُمۡ -- "Berimanlah kamu kepada Rabb (Tuhan) kamu," فَاٰمَنَّا -- maka kami telah beriman. رَبَّنَا
فَاغۡفِرۡ لَنَا ذُنُوۡبَنَا وَ کَفِّرۡ عَنَّا سَیِّاٰتِنَا وَ تَوَفَّنَا
مَعَ الۡاَبۡرَارِ -- Wahai
Rabb (Tuhan) kami, ampunilah
bagi kami dosa-dosa kami, hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan
kami, dan wafatkanlah kami
bersama orang-orang yang berbuat
kebajikan.” ” (Ali ‘Imran [3]:193-194).
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam
Farid
***
Pajajaran Anyar, 8 Agustus
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar