Jumat, 08 Agustus 2014

Berbagai Tingkatan "Maqam" Orang-orang Beriman Hakiki & "Suri TeladanTerbaik" Nabi Besar Muhammad Saw. Dalam Hal Pernikahan




بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم


 Khazanah Ruhani Surah  Shād


Bab   287

Berbagai Tingkatan Maqam Orang-orang Beriman Hakiki & Suri Teladan Terbaik Nabi Besar Muhammad Saw. Dalam Hal Penikahan


 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

D
alam akhir Bab sebelumnya  -- sehubungan  dengan  Al-Baqarah [2]:73-75   -- telah dikemukakan mengenai  tiga dosa besar yang utama  dan tanda taubat yang benar, yaitu    kemusyrikan, pembunuhan, dan perzinaan adalah tiga macam dosa yang pokok, dan merupakan sumber utama keburukan akhlak perorangan serta kejahatan sosial dan susila. Al-Quran telah berulang kali membahas ketiga dosa ini, firman-Nya:
وَ الَّذِیۡنَ  اِذَاۤ  اَنۡفَقُوۡا لَمۡ  یُسۡرِفُوۡا وَ لَمۡ یَقۡتُرُوۡا وَ کَانَ  بَیۡنَ  ذٰلِکَ  قَوَامًا ﴿﴾ وَ الَّذِیۡنَ لَا یَدۡعُوۡنَ مَعَ اللّٰہِ  اِلٰـہًا اٰخَرَ  وَ لَا یَقۡتُلُوۡنَ النَّفۡسَ الَّتِیۡ حَرَّمَ اللّٰہُ  اِلَّا بِالۡحَقِّ وَ لَا یَزۡنُوۡنَ ۚ وَ مَنۡ یَّفۡعَلۡ  ذٰلِکَ  یَلۡقَ  اَثَامًا ﴿ۙ﴾  یُّضٰعَفۡ لَہُ  الۡعَذَابُ یَوۡمَ  الۡقِیٰمَۃِ وَ یَخۡلُدۡ   فِیۡہٖ   مُہَانًا ﴿٭ۖ﴾
Dan mereka  yang apabila menginfakkan harta  tidak  boros dan tidak pula kikir, melainkan mengambil jalan-tengah di antara kedua keadaan itu.   Dan orang-orang yang tidak menyeru  tuhan lain beserta  Allah,  وَ لَا یَقۡتُلُوۡنَ النَّفۡسَ الَّتِیۡ حَرَّمَ اللّٰہُ  اِلَّا بِالۡحَقِّ  -- dan tidak membunuh jiwa yang telah dilarang oleh Allah, kecuali dengan alasan yang benar, dan tidak pula berzina,  dan barangsiapa berbuat demikian ia akan menemui hukuman dosa.    Akan dilipatgandakan baginya azab pada Hari Kiamat, dan ia akan tinggal kekal di dalamnya terhina, (Al-Furqān [25]:68-70).
      Selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai tanda-tanda hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pemurah:
اِلَّا مَنۡ تَابَ وَ اٰمَنَ وَ عَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَاُولٰٓئِکَ یُبَدِّلُ اللّٰہُ سَیِّاٰتِہِمۡ  حَسَنٰتٍ ؕ وَ کَانَ  اللّٰہُ  غَفُوۡرًا  رَّحِیۡمًا ﴿﴾  وَ مَنۡ تَابَ وَ عَمِلَ صَالِحًا فَاِنَّہٗ یَتُوۡبُ اِلَی  اللّٰہِ  مَتَابًا ﴿﴾
Kecuali mereka yang bertaubat,     beriman, dan berbuat amal shalih  maka mereka itulah yang Allah akan mengubah keburukan-keburukannya menjadi kebaikan-kebaikan, dan adalah  Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.    Dan barangsiapa yang bertaubat dan beramal shalih maka sesungguhnya ia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang benar. (Al-Furqān [25]:71-72).

Taubat yang  Hakiki  &  Doa Hamba-hamba Tuhan  Yang Maha Pemurah

       Taubah (tobat) berarti penyesalan dengan tulus-ikhlas, benar-benar, dan sejujur-jujurnya atas segala kealpaan dalam akhlak di waktu yang sudah-sudah dengan satu tekad kuat untuk sepenuhnya menjauhi segala keburukan dan untuk melakukan amal-amal baik, dan membalas  dengan kebaikan segala kesalahan-kesalahan yang diperbuatnya terhadap orang-orang lain.
   Taubah adalah perbuatan mengadakan perubahan yang sempurna dalam kehidupan seseorang, berpaling sepenuhnya dan seluruhnya dari kehidupannya pada masa yang lampau. Nama lain dari taubat seperti itu adalah hijrah  dari keburukan kepada kebaikan, sebagaimana yang dilakukan oleh hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pemurah.  Mengenai tanda-tanda hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pemurah tersebut lebih lanjut diterangkan, firman-Nya:
وَ الَّذِیۡنَ لَا یَشۡہَدُوۡنَ الزُّوۡرَ ۙ وَ اِذَا مَرُّوۡا بِاللَّغۡوِ  مَرُّوۡا کِرَامًا ﴿﴾  وَ الَّذِیۡنَ  اِذَا ذُکِّرُوۡا بِاٰیٰتِ رَبِّہِمۡ لَمۡ یَخِرُّوۡا عَلَیۡہَا صُمًّا وَّ عُمۡیَانًا ﴿﴾ وَ الَّذِیۡنَ یَقُوۡلُوۡنَ رَ  بَّنَا ہَبۡ لَنَا مِنۡ اَزۡوَاجِنَا وَ ذُرِّیّٰتِنَا قُرَّۃَ اَعۡیُنٍ وَّ اجۡعَلۡنَا لِلۡمُتَّقِیۡنَ اِمَامًا ﴿﴾
Dan orang-orang yang tidak memberikan kesaksian palsu,  dan  apabila mereka melalui sesuatu hal yang sia-sia, mereka berlalu dengan sikap yang mulia.   Dan orang-orang yang apabila diperingatkan mengenai  Tanda-tanda Rabb-nya (Tuhannya) mereka tidak  jatuh sebagai orang-orang tuli dan buta.  Dan orang-orang yang mengatakan: اَعۡیُنٍ رَ بَّنَا ہَبۡ لَنَا مِنۡ اَزۡوَاجِنَا وَ ذُرِّیّٰتِنَا قُرَّۃَ -- “Ya Rabb (Tuhan) kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami menjadi penyejuk mata kami,  وَّ اجۡعَلۡنَا لِلۡمُتَّقِیۡنَ اِمَامًا  -- dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (Al-Furqān [25]:73-75).
     Zūr berarti dusta; saksi palsu; penyekutuan tuhan-tuhan palsu dengan Allah; tempat kebohongan-kebohongan dibicarakan orang-orang, dan orang-orang menghibur diri dengan hiburan yang hampa atau murah; majelis-majelis orang musyrik, dan lain-lain (Lexicon Lane).
     Mereka mendengarkan kepada Tanda-tanda Allah dengan saksama dan dengan mata terbuka. Iman mereka berdasarkan keyakinan dan kepastian, dan bukan hanya sekedar menuruti omongan-omongan orang. Dan doa yang mereka panjatkan adalah: اَعۡیُنٍ رَ بَّنَا ہَبۡ لَنَا مِنۡ اَزۡوَاجِنَا وَ ذُرِّیّٰتِنَا قُرَّۃَ -- “Ya Rabb (Tuhan) kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami menjadi penyejuk mata kami,  وَّ اجۡعَلۡنَا لِلۡمُتَّقِیۡنَ اِمَامًا  -- dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” Mengenai  hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pemurah itu selanjutnya Allah Swt. berfirman:
اُولٰٓئِکَ یُجۡزَوۡنَ الۡغُرۡفَۃَ  بِمَا صَبَرُوۡا وَ یُلَقَّوۡنَ فِیۡہَا تَحِیَّۃً  وَّ  سَلٰمًا ﴿ۙ﴾ خٰلِدِیۡنَ فِیۡہَا ؕ حَسُنَتۡ مُسۡتَقَرًّا وَّ مُقَامًا ﴿﴾  قُلۡ  مَا یَعۡبَؤُا بِکُمۡ  رَبِّیۡ  لَوۡ لَا دُعَآؤُکُمۡ ۚ فَقَدۡ کَذَّبۡتُمۡ  فَسَوۡفَ  یَکُوۡنُ  لِزَامًا﴿٪﴾
Mereka itulah yang akan dianugerahi  kamar-kamar tinggi di surga karena mereka bersabar, dan mereka akan disambut di dalamnya dengan penghormatan dan doa selamat.   Mereka akan  kekal di da-amnya, itulah sebaik-baik tempat menetap dan tempat kediaman.   قُلۡ  مَا یَعۡبَؤُا بِکُمۡ  رَبِّیۡ  لَوۡ لَا دُعَآؤُکُمۡ ۚ فَقَدۡ کَذَّبۡتُمۡ  فَسَوۡفَ  یَکُوۡنُ  لِزَامًا  --  Katakanlah: Rabb-ku (Tuhan-ku) tidak akan mempedulikan kamu jika tidak karena doa kamu,  maka sungguh kamu telah mendustakan maka segera   azab  menimpa  kamu.” (Al-Furqān [25]:76-78).
          ‘aba ‘ubihi berarti, “aku tidak peduli, pikirkan, hiraukan atau pandangan baik akan dia”, atau “aku tidak menganggap dia berarti atau berharga apa pun”; atau “aku tidak menghargainya” (Lexicon Lane & Al-Mufradat). Jadi, kalau bukan karena doa atau ibadah yang dilakukan sebagaimana yang disunnahkan  Nabi Besar Muhammad saw. melakukan “cara-cara lain” yang dipaksakan untuk meraih “surgatidak akan diterima oleh Allah Swt., itulah makna firman-Nya:   قُلۡ  مَا یَعۡبَؤُا بِکُمۡ  رَبِّیۡ  لَوۡ لَا دُعَآؤُکُمۡ ۚ فَقَدۡ کَذَّبۡتُمۡ  فَسَوۡفَ  یَکُوۡنُ  لِزَامًا  --  Katakanlah: Rabb-ku (Tuhan-ku) tidak akan mempedulikan kamu jika tidak karena doa kamu,  maka sungguh kamu telah mendustakan maka segera   azab  menimpa  kamu.” (Al-Furqān [25]:76-78).

Berbagai  Tingkatan Maqam (Martabat) Orang-orang Beriman

        Berikut adalah firman Allah Swt. lainnya yang membuktikan, bahwa untuk menjadi “penghuni surga” itu tidak cukup hanya sekedar  membunuh atau terbunuh di jalan Allah,  sebagaimana  bid’ah  mengenai hal tersebut yang dewasa ini merebak di berbagai wilayah konflik kepentingan  dengan   mengatasnamakan “jihad di jalan Allah,” firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ ﴿﴾ قَدۡ  اَفۡلَحَ  الۡمُؤۡمِنُوۡنَ ۙ﴿﴾
Aku baca dengan nama  Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang.   Sungguh  telah berhasil   orang-orang yang beriman,  (Al-Mu’minūn [23]:1-2).
   Ayat ini menunjuk kepada orang-orang beriman yang mempunyai tingkat keruhanian yang amat tinggi. Sifat-sifat istimewa dan ciri-ciri khususnya disebutkan dalam ayat-ayat berikutnya. Orang-orang beriman semacam itu akan memperoleh falah (sukses) dan bukan hanya najat (keselamatan), sebab mencapai falah menandakan tingkat ruhani yang jauh lebih tinggi dari hanya mencapai najat (keselamatan),  firman-Nya:
الَّذِیۡنَ ہُمۡ  فِیۡ صَلَاتِہِمۡ خٰشِعُوۡنَ ۙ﴿﴾  وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ عَنِ اللَّغۡوِ  مُعۡرِضُوۡنَ ﴿ۙ﴾  وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ  لِلزَّکٰوۃِ  فٰعِلُوۡنَ ۙ﴿﴾
Yaitu orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya,   dan  orang-orang yang berpaling dari hal yang sia-sia,    dan  orang-orang yang membayar zakat,  (Al-Mu’minūn [23]:3-4).
      Dengan ayat ini, mulai pelukisan mengenai kondisi-kondisi atau prasyarat-prasyarat yang seorang beriman harus penuhi sebelum dapat menaruh harapan untuk memperoleh falah (sukses)  dalam kehidupan dan mencapai tujuan utama yang untuk itu Allah Swt.  telah menciptakan dia, yaitu untuk beribadah kepada-Nya (QS.51:57).
      Syarat-syarat tersebut dapat dianggap sekian banyak tingkat perkembangan ruhani manusia. Tingkat atau pal pertama dalam perjalanan ruh manusia ialah الَّذِیۡنَ ہُمۡ  فِیۡ صَلَاتِہِمۡ خٰشِعُوۡنَ     yaitu  bahwa seorang  beriman harus  menghadap kepada Tuhan (Allah Swt.) dengan penuh  khusyu’  yakni kerendahan diri, merasa gentar oleh keagungan Ilahi, dan dengan hati yang menyesal serta  merendahkan diri.
        Tingkat kedua terletak  dalam sikap   berpaling dari segala macam percakapan dan khayalan tidak berguna, dan dari amal perbuatan sia-sia, percuma serta tidak membawa manfaat. Kehidupan merupakan suatu kenyataan yang suram dan serius,  dan seorang beriman harus menanggapinya demikian. Ia harus mempergunakan setiap saat dalam kehidupannya dengan cara yang bermanfaat dan menjauhi semua kesibukan sia-sia yang tidak berguna:   مُعۡرِضُوۡنَ  اللَّغۡوِ  الَّذِیۡنَ ہُمۡ عَنِ وَ --   dan  orang-orang yang berpaling dari hal yang sia-sia.
        Tujuan zakat  dalam ayat selanjutnya فٰعِلُوۡنَ لِلزَّکٰوۃِ  الَّذِیۡنَ ہُمۡ  وَ  -- “dan  orang-orang yang membayar zakat,” bukan hanya menyediakan sarana-sarana untuk meringankan beban orang-orang yang keadaannya menyedihkan, atau untuk memajukan kesejahteraan golongan masyarakat yang secara ekonomis kurang beruntung, melainkan mencegah juga penimbunan uang dan bahan-bahan keperluan dan dengan demikian menjamin kelancaran perputaran kedua-duanya, agar mengakibatkan terciptanya keseimbangan ekonomi yang sehat.

Makna  Perempuan “Yang Dimiliki Tangan Kanan

    Lebih lanjut Allah Swt. berfirman mengenai pentingnya  orang-orang beriman menjaga kesucian aurat mereka:
وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ  لِفُرُوۡجِہِمۡ حٰفِظُوۡنَ ۙ﴿﴾  اِلَّا عَلٰۤی اَزۡوَاجِہِمۡ اَوۡ مَا مَلَکَتۡ اَیۡمَانُہُمۡ فَاِنَّہُمۡ غَیۡرُ   مَلُوۡمِیۡنَ ۚ﴿﴾  فَمَنِ ابۡتَغٰی وَرَآءَ ذٰلِکَ فَاُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡعٰدُوۡنَ ۚ﴿﴾
Dan  orang-orang yang menjaga kemaluannya,  kecuali terhadap istri-istri mereka atau apa yang dimiliki tangan kanan mereka maka sesungguhnya mereka tidak tercela.   Tetapi barangsiapa mencari selain dari itu  maka mereka itu  orang-orang yang melampaui batas. (Al-Mu’minūn [23]:6-8).
         Ayat ini perlu dijelaskan secara terinci mengenai dua macam istri orang-orang beriman berdasarkan  latar belakang status sosialnya yakni (1) perempuan-perempuan beriman yang merdeka,  dalam ayat  itu disebut  اَزۡوَاجِہِمۡ   (istri-istri mereka), dan (2) adalah istri-istri yang berasal dari  hamba-sahaya beriman yang kemudian dimerdekakan sebelum dinikahi  yang disebut  مَا مَلَکَتۡ اَیۡمَانُہُم  -- “apa yang dimiliki tangan kanan mereka”, yang secara sengaja telah  disalah-tafsirkan sebagai “gundik-gundik” yang kapan pun “suaminya”  mau mereka  dapat diceraikan lalu diberi “hadiah” yang disebut mut’ah, yang dijadikan landasan sebagai “nikah sirri.”
      Ungkapan, mā malakat aimanukum  secara umum berarti perempuan-perempuan berstatus tawanan perang yang tidak ditebus dan berada dalam tahanan serta jatuh ke dalam kuasa orang-orang Islam, karena mereka telah ikut secara aktif dalam peperangan yang dilancarkan dengan maksud menghancurkan Islam, maka dengan demikian  secara hukum  mencabut hak diri mereka sendiri untuk memperoleh kemerdekaan. Istilah itu digunakan dalam Al-Quran sebagai pengganti sebutan ‘ibad dan ima (budak laki-laki dan budak perempuan) untuk mengisyaratkan kepada pemilikan yang sah dan benar menurut hukum.
     Ungkapan, milk yamin berarti milik penuh dan sah menurut hukum (Lisan-al-‘Arab). Istilah itu mencakup budak-budak laki-laki dan perempuan, dan hanya letaknya dalam kalimat saja yang menetapkan apa yang dimaksud oleh ungkapan itu pada satu tempat tertentu. Banyak sekali terjadi kesalahpahaman, mengenai ungkapan “yang dimiliki tangan kanan kamu” dan apa hak dan kedudukan orang-orang yang menjadi tujuan pernyataan itu. Islam telah mengutuk perbudakan dengan kata-kata yang tidak samar-samar.

Tidak Boleh Ada “Perbudakan” Dalam Islam

      Menurut Islam (Al-Quran)  memahrumkan (meluputkan)  seseorang dari kemerdekaannya  merupakan dosa yang amat besar kecuali, tentu saja ia — baik laki-laki maupun perem-puan — membuat dirinya layak dirampas kemerdekaannya, karena keikutsertaannya dalam peperangan yang dilancarkan dengan maksud menghancurkan agama Islam atau negara Islam.
      Memperjualbelikan budak-budak itu merupakan dosa besar pula. Ajaran Islam dalam hal ini lugas, tegas, dan tidak samar-samar. Menurut Islam, seseorang yang membuat orang lain menjadi budaknya, berbuat dosa besar terhadap Tuhan dan terhadap manusia (Bukhari, Kitab-ul-Bai’, dan Dawud, seperti ditukil oleh Fath al-Bari).
      Ada baiknya dicatat bahwa, ketika Islam lahir ke dunia perbudakan merupakan bagian tak terpisahkan dari tatanan kemasyarakatan umat manusia dan terdapat banyak sekali budak di tiap-tiap negeri. Oleh karena itu tidak mungkin, bahkan tidak pula bijaksana menghapuskan sekaligus suatu tatanan yang telah menjadi demikian eratnya terjalin dalam seluruh tatanan masyarakat, tanpa mendatangkan kerugian besar kepada keadaan akhlaknya. Oleh karena itu Islam berusaha menghapuskannya secara bertahap tetapi jitu lagi mantap.
        Al-Quran telah meletakkan peraturan yang sangat sehat  untuk menghapuskan perbudakan dengan cepat lagi sempurna sebagai berikut:
(1)  Tawanan-tawanan hanya dapat diambil dalam peperangan regular (tetap);
(2)  mereka tidak boleh ditahan sesudah peperangan berakhir, tetapi
(3)  harus dibebaskan sebagai isyarat belas-kasih atau tukar-menukar tawanan (QS.47:5).
   Tetapi orang-orang yang bernasib malang yang tidak memperoleh kemerdekaannya, lewat salah satu dari cara-cara itu, atau  terpaksa memilih tinggal bersama majikan-majikan mereka yang Muslim, dapat menebus kebebasan mereka dengan membuat perjanjian dengan mereka yang disebut mukatabah  (QS.24: 34).
      Jika seorang perempuan tertawan dalam peperangan yang sifatnya seperti tersebut di atas dan dengan demikian ia kehilangan kemerdekaannya serta menjadi milk yamin, lagi pula ia tidak berhasil memperoleh kemerdekaannya dengan jalan pertukaran tawanan perang, dan kepentingan pemerintah juga tidak membenarkan pembebasannya yang segera sebagai tanda belas-kasih, atau kaumnya ataupun pemerintahnya sendiri tidak menebusnya, lagi pula ia tidak berupaya membeli (menebus) kemerdekaannya dengan mengadakan mukatabah, dan majikannya — demi keselamatan akhlaknyamenikahinya  tanpa meminta persetujuannya lebih dahulu, maka bagaimanakah peraturan ini dapat dianggap tercela?

Nikah Sirri  Adalah  Perbuatan Haram

       Ada pun mengenai mengadakan hubungan intim dengan seorang tawanan perang perempuan  atau seorang budak perempuan  tanpa menikahinya secara resmi, sekali-kali tidak didukung oleh ayat ini atau ayat-ayat Al-Quran lain manapun. Al-Quran bukan saja tidak membenarkan memperlakukan tawanan-tawanan perang  perempuan  sebagai istri tanpa menikahinya secara sah, bahkan  ada perintah-perintah yang jelas dan tegas bahwa tawanan-tawanan perang ini --  seperti halnya pula perempuan-perempuan merdeka -- harus dinikahi  jika mereka akan diperlakukan sebagai istri.
       Antara kedua macam perempuan itu hanya ada perbedaan sementara dalam kedudukan sosial, yaitu  minta persetujuan sebelumnya tidak dianggap perlu dari diri tawanan perempuan  untuk menikahi  mereka, sebagaimana sudah seyogianya diminta dari perempuan-perempuan merdeka. Sebenarnya mereka itu kehilangan hak, karena keikutsertaan dalam perang terhadap Islam.
       Oleh karena itu ungkapan, mā malakat aimanukum, yang berarti  tawanan-tawanan perempuan, menurut Al-Quran  sedikit pun tidak memberi dukungan kepada anggapan bahwa Islam melestarikan pergundikan. Selain ayat ini, sekurang-kurangnya dalam empat ayat lain  perintah itu telah diletakkan dengan kata-kata yang jelas dan tidak samar-samar, bahwa tawanan-tawanan perang perempuan  hendaknya jangan dibiarkan terus hidup tanpa bersuami (QS.2:222; QS.4:4; QS.4:26; QS.24: 33).
        Nabi Besar Muhammad saw.  pun sangat tegas dalam hal ini. Menurut riwayat  beliau pernah bersabda: “Orang yang mempunyai budak perempuan dan memberi didikan yang baik kepadanya, serta memeliharanya dengan cara yang patut dan selanjutnya memerdekakan serta menikahinya, bagi dia ada ganjaran dua kali lipat” (Bukhari, Kitab al-Ilm).
       Hadits ini berarti bahwa manakala seorang orang Islam ingin memperistri seorang budak perempuan, ia hendaknya pertama-tama memerdekakan budak perempuan itu lebih dahulu sebelum menikahinya.  Amal  Nabi Besar Muhammad saw.    amat sejalan dengan perintah beliau saw. itu. Dua dari antara istri-istri beliau saw., Juwairiah dan Shafiyyah  -- yang berkebangsaan Bani Israil --  jatuh ke tangan beliau saw. sebagai tawanan perang.
        Mereka itu milk yamin Nabi Besar Muhammad saw., tetapi  beliau saw. menikahi  keduanya menurut syariat Islam. Beliau saw. menikahi  juga Mariyah yang dikirim Raja Muda Mesir untuk beliau saw. dan istri beliau yang ini pun menikmati kedudukan sebagai perempuan merdeka, seperti istri-istri  Nabi Besar Muhammad saw.  yang lainnya. Beliau pun mengenakan burkah (kudungan) dan termasuk salah satu di antara Ummul Mukminin (Ibu orang-orang yang beriman – QS.33:7). 
        Al-Quran menjelaskan bahwa perintah berkenaan dengan pernikahan  yang berlaku untuk “yang dimiliki tangan kanan engkau” adalah sama dengan perintah yang berlaku untuk “putri-putri para paman dan bibi Nabi Besar Muhammad saw.  dari pihak ayah dan ibu.” Kedua kelas perempuan  itu harus dinikahi oleh  Nabi Besar Muhjammad saw.  sebelum mereka diperlakukan sebagai istri-istri., sebagai contoh yang harus dilaksanakan oleh  orang-orang beriman lainnya jika mereka akan melakukan hal yang sama (QS.33:22).

Tidak Ada Lagi Peperangan Agama

      Ketiga kategori yang disebut di atas  semuanya dihalalkan bagi  Nabi Besar Muhammad saw.  melalui pernikahan (QS.33:51). Selanjutnya, ayat yang berbunyi:  Dan diharamkan juga bagi kamu perempuan-perempuan yang bersuami, kecuali yang dimiliki tangan kanan kamu” (QS.4:25) bersama-sama dengan ayat sebelumnya, membahas perempuan-perempuan  muhrim dan di antara mereka ini termasuk perempuan-perempuan  yang bersuami.
      Tetapi  ayat itu membuat suatu pengecualian, yaitu  perempuan-perempuan bersuami yang ditawan dalam peperangan agama dan kemudian mereka memilih tetap bersama orang-orang Islam dapat dinikahi  oleh majikan-majikan mereka. Kenyataan bahwa mereka memilih tidak kembali kepada suami-lama mereka, dianggap sama dengan pembatalan pernikahan mereka yang sebelumnya (QS.60:11)
      Dapat juga dicatat secara sepintas lalu, bahwa adalah tidak diperkenankan (dilarang) menikahi  perempuan-perempuan kerabat budak-perempuan dalam batas yang tidak diizinkan, mengenai kerabat perempuan-merdeka. Misalnya: ibu, saudara-perempuan, anak-perempuan, dan sebagainya dari budak-perempuan yang diperistri, tidak boleh dinikahi.
      Selanjutnya dapat dikatakan, bahwa mengingat keadaan pada saat turun Al-Quran, maka terpaksa harus mengadakan perbedaan kedudukan sosial di antara kedua golongan perempuan itu. Pembedaan itu dinyatakan dengan sebutan zauj (perempuan-merdeka yang dimikahi) dan milk yamin (budak-perempuan yang dinikahi).
    Sebutan pertama menyandang arti persamaan derajat antara suami dan istri, sedangkan yang kedua mengisyaratkan kepada kedudukannya yang agak rendah sebagai istri. Tetapi hal itu berlaku sementara. Al-Quran dan Nabi Besar Muhammad saw. memerintahkan dengan keras sekali, bahwa budak-budak perempuan pertama-tama harus diberi kemerdekaan dan kedudukan penuh dan kemudian dinikahi, sebagaimana  Nabi Besar Muhammad saw.   telah melakukannya.
      Kecuali itu, Islam tidak memperkenankan perempuan yang ditawan dalam pepe-rangan-kecil untuk diperlakukan sebagai budak-budak perempuan. Izin menikahi  budak perempuan tanpa persetujuannya lebih dahulu, berlaku hanya apabila satu bangsa yang bersikap tidak-bersahabat berinisiatip melancarkan perang agama terhadap Islam untuk menghapuskan dan memaksa orang-orang Islam meninggalkan agama mereka di bawah ancaman pedang (senjata), dan kemudian memperlakukan tawanan-tawanan mereka — laki-laki maupun perempuan — sebagai budak-budak seperti dilakukan di masa  Nabi Besar Muhammad saw..  
       Pada masa itu  musuh-musuh Islam membawa perempuan-perempuan Muslim sebagai tawanan dan memperlakukan mereka sebagai budak-budak. Perintah Islam hanya merupakan tindak balasan dan bersifat sementara. Perintah itu mempunyai tujuan sampingan pula, yakni untuk melindungi akhlak tawanan-tawanan perempuan. Keadaan yang demikian itu sudah tidak berlaku lagi.
       Sekarang tidak ada lagi peperangan agama dan karenanya tawanan-tawanan perang  tidak boleh diperlakukan sebagai budak-budak, apa lagi mereka itu dibunuh secara zalim. Demikianlah penjelasan mengenai kedua macam istri yang sah yang pada awalnya  memiliki perbedaan status sosial yang bersifat sementara waktu, firman-Nya:
وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ  لِفُرُوۡجِہِمۡ حٰفِظُوۡنَ ۙ﴿﴾  اِلَّا عَلٰۤی اَزۡوَاجِہِمۡ اَوۡ مَا مَلَکَتۡ اَیۡمَانُہُمۡ فَاِنَّہُمۡ غَیۡرُ   مَلُوۡمِیۡنَ ۚ﴿﴾  فَمَنِ ابۡتَغٰی وَرَآءَ ذٰلِکَ فَاُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡعٰدُوۡنَ ۚ﴿﴾
Dan  orang-orang yang menjaga kemaluannya,  kecuali terhadap istri-istri mereka atau apa yang dimiliki tangan kanan mereka maka sesungguhnya mereka tidak tercela.   Tetapi barangsiapa mencari selain dari itu  maka mereka itu  orang-orang yang melampaui batas. (Al-Mu’minūn [23]:6-8).

(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
                                                                              ***
Pajajaran Anyar,  17 Juli     2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar