بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم
Khazanah
Ruhani Surah Shād
Bab 287
Berbagai Tingkatan Maqam Orang-orang Beriman Hakiki & Suri Teladan Terbaik Nabi Besar Muhammad Saw. Dalam Hal Penikahan
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam akhir Bab sebelumnya
-- sehubungan dengan Al-Baqarah
[2]:73-75 -- telah
dikemukakan mengenai tiga dosa besar yang utama dan tanda taubat
yang benar, yaitu kemusyrikan,
pembunuhan, dan perzinaan adalah tiga macam dosa
yang pokok, dan merupakan sumber utama
keburukan akhlak perorangan serta kejahatan
sosial dan susila. Al-Quran telah
berulang kali membahas ketiga dosa
ini, firman-Nya:
وَ
الَّذِیۡنَ اِذَاۤ اَنۡفَقُوۡا لَمۡ یُسۡرِفُوۡا وَ لَمۡ یَقۡتُرُوۡا وَ کَانَ بَیۡنَ
ذٰلِکَ قَوَامًا ﴿﴾ وَ الَّذِیۡنَ لَا
یَدۡعُوۡنَ مَعَ اللّٰہِ اِلٰـہًا
اٰخَرَ وَ لَا یَقۡتُلُوۡنَ النَّفۡسَ
الَّتِیۡ حَرَّمَ اللّٰہُ اِلَّا
بِالۡحَقِّ وَ لَا یَزۡنُوۡنَ ۚ وَ مَنۡ یَّفۡعَلۡ ذٰلِکَ
یَلۡقَ اَثَامًا ﴿ۙ﴾ یُّضٰعَفۡ لَہُ
الۡعَذَابُ یَوۡمَ الۡقِیٰمَۃِ وَ
یَخۡلُدۡ فِیۡہٖ مُہَانًا ﴿٭ۖ﴾
Dan
mereka yang apabila menginfakkan harta tidak boros
dan tidak pula kikir, melainkan mengambil
jalan-tengah di antara kedua
keadaan itu. Dan
orang-orang yang tidak menyeru tuhan lain beserta Allah,
وَ لَا
یَقۡتُلُوۡنَ النَّفۡسَ الَّتِیۡ حَرَّمَ اللّٰہُ
اِلَّا بِالۡحَقِّ -- dan tidak
membunuh jiwa yang telah dilarang oleh Allah, kecuali dengan alasan yang benar, dan tidak pula berzina, dan barangsiapa berbuat demikian ia akan
menemui hukuman dosa. Akan dilipatgandakan baginya azab pada Hari Kiamat, dan ia akan tinggal kekal di dalamnya terhina,
(Al-Furqān
[25]:68-70).
Selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai
tanda-tanda hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pemurah:
اِلَّا مَنۡ
تَابَ وَ اٰمَنَ وَ عَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَاُولٰٓئِکَ یُبَدِّلُ اللّٰہُ
سَیِّاٰتِہِمۡ حَسَنٰتٍ ؕ وَ کَانَ اللّٰہُ
غَفُوۡرًا رَّحِیۡمًا ﴿﴾ وَ مَنۡ تَابَ وَ عَمِلَ صَالِحًا فَاِنَّہٗ یَتُوۡبُ
اِلَی اللّٰہِ مَتَابًا ﴿﴾
Kecuali
mereka yang bertaubat, beriman,
dan berbuat amal shalih maka mereka itulah yang Allah akan mengubah keburukan-keburukannya
menjadi kebaikan-kebaikan, dan
adalah Allah Maha Pengampun, Maha
Penyayang. Dan barangsiapa yang bertaubat dan beramal shalih maka sesungguhnya ia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang benar. (Al-Furqān
[25]:71-72).
Taubat yang Hakiki & Doa Hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pemurah
Taubah
(tobat) berarti penyesalan dengan
tulus-ikhlas, benar-benar, dan sejujur-jujurnya atas segala kealpaan dalam akhlak di waktu yang sudah-sudah dengan satu tekad kuat untuk sepenuhnya menjauhi
segala keburukan dan untuk melakukan amal-amal baik, dan membalas dengan kebaikan
segala kesalahan-kesalahan yang
diperbuatnya terhadap orang-orang lain.
Taubah adalah perbuatan mengadakan perubahan yang sempurna dalam kehidupan seseorang, berpaling sepenuhnya dan seluruhnya dari
kehidupannya pada masa yang lampau.
Nama lain dari taubat seperti itu
adalah hijrah dari keburukan
kepada kebaikan, sebagaimana yang
dilakukan oleh hamba-hamba Tuhan Yang
Maha Pemurah. Mengenai tanda-tanda hamba-hamba Tuhan Yang Maha
Pemurah tersebut lebih lanjut diterangkan, firman-Nya:
وَ
الَّذِیۡنَ لَا یَشۡہَدُوۡنَ الزُّوۡرَ ۙ وَ اِذَا مَرُّوۡا بِاللَّغۡوِ مَرُّوۡا کِرَامًا ﴿﴾ وَ الَّذِیۡنَ
اِذَا ذُکِّرُوۡا بِاٰیٰتِ رَبِّہِمۡ لَمۡ یَخِرُّوۡا عَلَیۡہَا صُمًّا وَّ
عُمۡیَانًا ﴿﴾ وَ الَّذِیۡنَ یَقُوۡلُوۡنَ رَ بَّنَا
ہَبۡ لَنَا مِنۡ اَزۡوَاجِنَا وَ ذُرِّیّٰتِنَا قُرَّۃَ اَعۡیُنٍ وَّ
اجۡعَلۡنَا لِلۡمُتَّقِیۡنَ اِمَامًا ﴿﴾
Dan
orang-orang yang tidak memberikan
kesaksian palsu, dan apabila mereka melalui sesuatu hal yang sia-sia, mereka berlalu dengan sikap yang mulia. Dan
orang-orang yang apabila diperingatkan
mengenai Tanda-tanda Rabb-nya (Tuhannya) mereka tidak jatuh sebagai orang-orang tuli dan buta. Dan orang-orang yang mengatakan: اَعۡیُنٍ رَ بَّنَا ہَبۡ لَنَا مِنۡ اَزۡوَاجِنَا وَ ذُرِّیّٰتِنَا قُرَّۃَ -- “Ya Rabb (Tuhan)
kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri
kami dan keturunan kami menjadi
penyejuk mata kami, وَّ اجۡعَلۡنَا لِلۡمُتَّقِیۡنَ اِمَامًا -- dan jadikanlah
kami imam bagi orang-orang yang
bertakwa.” (Al-Furqān [25]:73-75).
Zūr
berarti dusta; saksi palsu; penyekutuan tuhan-tuhan palsu dengan Allah; tempat
kebohongan-kebohongan dibicarakan orang-orang, dan orang-orang menghibur diri
dengan hiburan yang hampa atau murah; majelis-majelis orang musyrik, dan
lain-lain (Lexicon Lane).
Mereka
mendengarkan kepada Tanda-tanda Allah
dengan saksama dan dengan mata terbuka.
Iman mereka berdasarkan keyakinan dan
kepastian, dan bukan hanya sekedar
menuruti omongan-omongan orang. Dan doa
yang mereka panjatkan adalah: اَعۡیُنٍ رَ بَّنَا ہَبۡ لَنَا مِنۡ
اَزۡوَاجِنَا وَ ذُرِّیّٰتِنَا قُرَّۃَ -- “Ya Rabb (Tuhan) kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami menjadi penyejuk mata kami,
وَّ
اجۡعَلۡنَا لِلۡمُتَّقِیۡنَ اِمَامًا -- dan jadikanlah
kami imam bagi orang-orang yang
bertakwa.” Mengenai hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pemurah itu selanjutnya Allah Swt. berfirman:
اُولٰٓئِکَ
یُجۡزَوۡنَ الۡغُرۡفَۃَ بِمَا صَبَرُوۡا
وَ یُلَقَّوۡنَ فِیۡہَا تَحِیَّۃً
وَّ سَلٰمًا ﴿ۙ﴾ خٰلِدِیۡنَ فِیۡہَا
ؕ حَسُنَتۡ مُسۡتَقَرًّا وَّ مُقَامًا ﴿﴾ قُلۡ مَا
یَعۡبَؤُا بِکُمۡ رَبِّیۡ لَوۡ لَا دُعَآؤُکُمۡ ۚ فَقَدۡ
کَذَّبۡتُمۡ فَسَوۡفَ یَکُوۡنُ
لِزَامًا﴿٪﴾
Mereka
itulah yang akan dianugerahi kamar-kamar tinggi di surga karena
mereka bersabar, dan mereka akan disambut di dalamnya dengan
penghormatan dan doa selamat. Mereka
akan kekal di da-amnya, itulah sebaik-baik tempat menetap dan tempat
kediaman. قُلۡ مَا یَعۡبَؤُا بِکُمۡ رَبِّیۡ
لَوۡ لَا دُعَآؤُکُمۡ ۚ فَقَدۡ کَذَّبۡتُمۡ فَسَوۡفَ
یَکُوۡنُ لِزَامًا -- Katakanlah: “Rabb-ku (Tuhan-ku) tidak
akan mempedulikan kamu jika tidak karena doa kamu, maka
sungguh kamu telah mendustakan maka segera
azab menimpa kamu.” (Al-Furqān
[25]:76-78).
Mā
‘aba ‘ubihi berarti, “aku tidak peduli, pikirkan, hiraukan atau pandangan
baik akan dia”, atau “aku tidak menganggap dia berarti atau berharga apa pun”;
atau “aku tidak menghargainya” (Lexicon
Lane & Al-Mufradat).
Jadi, kalau bukan karena doa atau ibadah yang dilakukan sebagaimana yang disunnahkan
Nabi Besar Muhammad saw. melakukan “cara-cara lain” yang dipaksakan
untuk meraih “surga” tidak akan diterima oleh Allah Swt.,
itulah makna firman-Nya: قُلۡ مَا یَعۡبَؤُا بِکُمۡ رَبِّیۡ
لَوۡ لَا دُعَآؤُکُمۡ ۚ فَقَدۡ کَذَّبۡتُمۡ فَسَوۡفَ
یَکُوۡنُ لِزَامًا -- Katakanlah: “Rabb-ku (Tuhan-ku) tidak
akan mempedulikan kamu jika tidak karena doa kamu, maka
sungguh kamu telah mendustakan maka segera
azab menimpa kamu.” (Al-Furqān
[25]:76-78).
Berbagai Tingkatan Maqam
(Martabat) Orang-orang Beriman
Berikut adalah firman Allah Swt. lainnya
yang membuktikan, bahwa untuk menjadi “penghuni
surga” itu tidak cukup hanya
sekedar membunuh atau terbunuh di
jalan Allah, sebagaimana
bid’ah mengenai hal tersebut yang dewasa ini
merebak di berbagai wilayah konflik
kepentingan dengan mengatasnamakan “jihad di jalan Allah,” firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ ﴿﴾ قَدۡ اَفۡلَحَ الۡمُؤۡمِنُوۡنَ ۙ﴿﴾
Aku baca dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang. Sungguh
telah berhasil orang-orang yang beriman, (Al-Mu’minūn
[23]:1-2).
Ayat
ini menunjuk kepada orang-orang beriman
yang mempunyai tingkat keruhanian
yang amat tinggi. Sifat-sifat istimewa
dan ciri-ciri khususnya disebutkan
dalam ayat-ayat berikutnya. Orang-orang
beriman semacam itu akan memperoleh falah (sukses) dan bukan hanya najat
(keselamatan), sebab mencapai falah menandakan tingkat ruhani yang jauh lebih tinggi dari hanya mencapai najat (keselamatan), firman-Nya:
الَّذِیۡنَ ہُمۡ فِیۡ صَلَاتِہِمۡ خٰشِعُوۡنَ ۙ﴿﴾ وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ عَنِ اللَّغۡوِ مُعۡرِضُوۡنَ ﴿ۙ﴾ وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ لِلزَّکٰوۃِ فٰعِلُوۡنَ ۙ﴿﴾
Yaitu orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya, dan orang-orang
yang berpaling dari hal yang sia-sia,
dan orang-orang
yang membayar zakat, (Al-Mu’minūn [23]:3-4).
Dengan
ayat ini, mulai pelukisan mengenai kondisi-kondisi atau prasyarat-prasyarat yang seorang beriman harus penuhi sebelum dapat
menaruh harapan untuk memperoleh falah (sukses) dalam kehidupan dan mencapai tujuan utama yang untuk itu Allah Swt.
telah menciptakan dia, yaitu untuk beribadah
kepada-Nya (QS.51:57).
Syarat-syarat
tersebut dapat dianggap sekian banyak tingkat perkembangan ruhani manusia. Tingkat atau pal pertama dalam perjalanan ruh manusia ialah الَّذِیۡنَ ہُمۡ فِیۡ صَلَاتِہِمۡ خٰشِعُوۡنَ
yaitu bahwa seorang beriman
harus menghadap kepada Tuhan (Allah Swt.) dengan penuh khusyu’ yakni kerendahan
diri, merasa gentar oleh keagungan Ilahi, dan dengan hati yang menyesal serta merendahkan
diri.
Tingkat kedua terletak dalam sikap berpaling dari segala macam percakapan dan khayalan tidak berguna, dan dari amal perbuatan sia-sia, percuma serta tidak membawa manfaat. Kehidupan merupakan suatu
kenyataan yang suram dan serius, dan seorang beriman harus menanggapinya
demikian. Ia harus mempergunakan setiap
saat dalam kehidupannya dengan cara
yang bermanfaat dan menjauhi semua kesibukan
sia-sia yang tidak berguna: مُعۡرِضُوۡنَ
اللَّغۡوِ الَّذِیۡنَ ہُمۡ عَنِ وَ --
“dan orang-orang
yang berpaling dari hal yang sia-sia.”
Tujuan zakat dalam ayat selanjutnya فٰعِلُوۡنَ لِلزَّکٰوۃِ الَّذِیۡنَ ہُمۡ وَ -- “dan orang-orang
yang membayar zakat,” bukan hanya
menyediakan sarana-sarana untuk meringankan beban orang-orang yang
keadaannya menyedihkan, atau untuk memajukan kesejahteraan golongan
masyarakat yang secara ekonomis kurang
beruntung, melainkan mencegah juga penimbunan
uang dan bahan-bahan keperluan
dan dengan demikian menjamin kelancaran
perputaran kedua-duanya, agar
mengakibatkan terciptanya keseimbangan
ekonomi yang sehat.
Makna Perempuan “Yang Dimiliki Tangan Kanan”
Lebih lanjut Allah Swt. berfirman mengenai
pentingnya orang-orang beriman menjaga kesucian
aurat mereka:
وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ لِفُرُوۡجِہِمۡ حٰفِظُوۡنَ ۙ﴿﴾ اِلَّا عَلٰۤی اَزۡوَاجِہِمۡ اَوۡ مَا مَلَکَتۡ اَیۡمَانُہُمۡ فَاِنَّہُمۡ
غَیۡرُ مَلُوۡمِیۡنَ ۚ﴿﴾ فَمَنِ ابۡتَغٰی وَرَآءَ ذٰلِکَ فَاُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡعٰدُوۡنَ ۚ﴿﴾
Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali
terhadap istri-istri mereka atau apa yang dimiliki tangan kanan mereka
maka sesungguhnya mereka tidak tercela.
Tetapi barangsiapa mencari selain dari itu
maka mereka itu orang-orang yang melampaui batas. (Al-Mu’minūn
[23]:6-8).
Ayat ini
perlu dijelaskan secara terinci mengenai dua
macam istri orang-orang beriman berdasarkan
latar belakang status sosialnya
yakni (1) perempuan-perempuan beriman yang merdeka, dalam ayat
itu disebut اَزۡوَاجِہِمۡ (istri-istri mereka), dan (2) adalah istri-istri yang berasal dari hamba-sahaya
beriman yang kemudian dimerdekakan
sebelum dinikahi yang disebut
مَا مَلَکَتۡ
اَیۡمَانُہُم -- “apa yang dimiliki tangan kanan mereka”,
yang secara sengaja telah disalah-tafsirkan sebagai
“gundik-gundik” yang kapan pun “suaminya”
mau mereka dapat diceraikan lalu diberi “hadiah” yang disebut mut’ah, yang dijadikan landasan sebagai
“nikah sirri.”
Ungkapan, mā malakat aimanukum secara umum berarti perempuan-perempuan berstatus tawanan perang yang tidak
ditebus dan berada dalam tahanan serta jatuh ke dalam kuasa orang-orang Islam, karena mereka telah ikut secara aktif dalam peperangan yang dilancarkan dengan
maksud menghancurkan Islam, maka
dengan demikian secara hukum
mencabut hak diri mereka
sendiri untuk memperoleh kemerdekaan.
Istilah itu digunakan dalam Al-Quran sebagai pengganti sebutan ‘ibad dan
ima (budak laki-laki dan budak perempuan) untuk mengisyaratkan kepada pemilikan yang sah dan benar menurut hukum.
Ungkapan, milk yamin berarti milik penuh dan sah menurut hukum (Lisan-al-‘Arab).
Istilah itu mencakup budak-budak laki-laki dan perempuan, dan hanya letaknya
dalam kalimat saja yang menetapkan apa yang dimaksud oleh ungkapan itu pada
satu tempat tertentu. Banyak sekali terjadi kesalahpahaman,
mengenai ungkapan “yang dimiliki tangan kanan kamu” dan apa hak dan kedudukan orang-orang yang menjadi tujuan pernyataan itu. Islam
telah mengutuk perbudakan dengan
kata-kata yang tidak samar-samar.
Tidak Boleh Ada “Perbudakan” Dalam Islam
Menurut
Islam (Al-Quran) memahrumkan (meluputkan) seseorang dari kemerdekaannya merupakan dosa yang amat besar kecuali, tentu saja ia — baik laki-laki maupun
perem-puan — membuat dirinya layak
dirampas kemerdekaannya, karena keikutsertaannya
dalam peperangan yang dilancarkan
dengan maksud menghancurkan agama Islam
atau negara Islam.
Memperjualbelikan
budak-budak itu merupakan dosa besar pula. Ajaran Islam dalam hal ini lugas, tegas, dan tidak
samar-samar. Menurut Islam, seseorang yang membuat orang lain menjadi budaknya, berbuat dosa besar terhadap Tuhan
dan terhadap manusia (Bukhari, Kitab-ul-Bai’,
dan Dawud, seperti ditukil
oleh Fath al-Bari).
Ada
baiknya dicatat bahwa, ketika Islam
lahir ke dunia perbudakan merupakan
bagian tak terpisahkan dari tatanan
kemasyarakatan umat manusia dan terdapat banyak sekali budak di tiap-tiap negeri. Oleh karena itu tidak mungkin, bahkan
tidak pula bijaksana menghapuskan
sekaligus suatu tatanan yang
telah menjadi demikian eratnya terjalin dalam seluruh tatanan masyarakat, tanpa mendatangkan kerugian besar kepada keadaan akhlaknya.
Oleh karena itu Islam berusaha menghapuskannya
secara bertahap tetapi jitu lagi
mantap.
Al-Quran telah meletakkan peraturan yang sangat sehat untuk menghapuskan perbudakan dengan cepat lagi sempurna sebagai berikut:
(1) Tawanan-tawanan
hanya dapat diambil dalam peperangan regular (tetap);
(2) mereka
tidak boleh ditahan sesudah peperangan berakhir, tetapi
(3) harus
dibebaskan sebagai isyarat belas-kasih atau tukar-menukar tawanan (QS.47:5).
Tetapi
orang-orang yang bernasib malang yang
tidak memperoleh kemerdekaannya,
lewat salah satu dari cara-cara itu, atau
terpaksa memilih tinggal bersama majikan-majikan
mereka yang Muslim, dapat menebus kebebasan mereka dengan membuat perjanjian dengan mereka yang disebut mukatabah
(QS.24: 34).
Jika
seorang perempuan tertawan dalam peperangan yang sifatnya seperti
tersebut di atas dan dengan demikian ia kehilangan
kemerdekaannya serta menjadi milk yamin, lagi pula ia tidak berhasil
memperoleh kemerdekaannya dengan
jalan pertukaran tawanan perang, dan kepentingan pemerintah juga tidak
membenarkan pembebasannya yang segera
sebagai tanda belas-kasih, atau
kaumnya ataupun pemerintahnya sendiri tidak
menebusnya, lagi pula ia tidak berupaya membeli (menebus) kemerdekaannya dengan mengadakan
mukatabah, dan majikannya — demi keselamatan
akhlaknya — menikahinya tanpa meminta persetujuannya lebih dahulu, maka bagaimanakah peraturan ini dapat
dianggap tercela?
Nikah Sirri Adalah Perbuatan
Haram
Ada pun mengenai mengadakan hubungan intim dengan seorang tawanan perang perempuan atau seorang
budak perempuan tanpa menikahinya secara resmi, sekali-kali tidak didukung oleh ayat ini atau ayat-ayat
Al-Quran lain manapun. Al-Quran bukan saja tidak
membenarkan memperlakukan tawanan-tawanan
perang perempuan sebagai istri
tanpa menikahinya secara sah,
bahkan ada perintah-perintah yang jelas dan tegas bahwa tawanan-tawanan
perang ini -- seperti halnya pula perempuan-perempuan merdeka -- harus dinikahi
jika mereka akan diperlakukan sebagai istri.
Antara
kedua macam perempuan itu hanya ada perbedaan sementara dalam kedudukan sosial, yaitu minta
persetujuan sebelumnya tidak dianggap perlu dari diri tawanan perempuan untuk menikahi
mereka, sebagaimana sudah seyogianya diminta dari perempuan-perempuan merdeka. Sebenarnya mereka itu kehilangan hak, karena keikutsertaan dalam perang terhadap Islam.
Oleh
karena itu ungkapan, mā malakat aimanukum, yang berarti tawanan-tawanan
perempuan, menurut Al-Quran sedikit
pun tidak memberi dukungan kepada anggapan bahwa Islam melestarikan pergundikan.
Selain ayat ini, sekurang-kurangnya dalam empat ayat lain perintah
itu telah diletakkan dengan kata-kata yang jelas dan tidak samar-samar, bahwa tawanan-tawanan perang perempuan hendaknya jangan dibiarkan terus hidup tanpa bersuami (QS.2:222; QS.4:4;
QS.4:26; QS.24: 33).
Nabi Besar Muhammad saw. pun sangat tegas dalam hal ini. Menurut riwayat beliau pernah bersabda: “Orang yang mempunyai budak perempuan dan memberi didikan yang baik
kepadanya, serta memeliharanya dengan cara yang patut dan selanjutnya
memerdekakan serta menikahinya, bagi dia ada ganjaran dua kali lipat” (Bukhari, Kitab al-Ilm).
Hadits ini berarti bahwa manakala seorang orang Islam ingin memperistri seorang budak perempuan, ia hendaknya pertama-tama memerdekakan budak perempuan itu lebih dahulu sebelum menikahinya. Amal Nabi Besar Muhammad saw. amat
sejalan dengan perintah beliau saw. itu. Dua dari antara istri-istri beliau
saw., Juwairiah dan Shafiyyah -- yang berkebangsaan Bani Israil -- jatuh ke
tangan beliau saw. sebagai tawanan perang.
Mereka
itu milk yamin Nabi Besar Muhammad saw., tetapi beliau saw. menikahi keduanya menurut syariat Islam. Beliau saw. menikahi juga Mariyah
yang dikirim Raja Muda Mesir untuk beliau saw. dan istri beliau yang ini pun
menikmati kedudukan sebagai perempuan merdeka, seperti istri-istri Nabi Besar Muhammad saw. yang lainnya. Beliau pun mengenakan burkah
(kudungan) dan termasuk salah satu di antara Ummul Mukminin (Ibu
orang-orang yang beriman – QS.33:7).
Al-Quran
menjelaskan bahwa perintah berkenaan
dengan pernikahan yang berlaku untuk “yang dimiliki tangan kanan engkau” adalah sama dengan perintah yang berlaku untuk “putri-putri para paman dan bibi Nabi Besar
Muhammad saw. dari pihak
ayah dan ibu.” Kedua kelas perempuan itu harus dinikahi
oleh Nabi Besar Muhjammad saw. sebelum mereka diperlakukan sebagai istri-istri., sebagai contoh yang harus dilaksanakan oleh orang-orang
beriman lainnya jika mereka akan melakukan hal yang sama (QS.33:22).
Tidak Ada Lagi Peperangan Agama
Ketiga
kategori yang disebut di atas semuanya dihalalkan bagi Nabi Besar Muhammad saw. melalui pernikahan (QS.33:51). Selanjutnya, ayat yang berbunyi: “Dan
diharamkan juga bagi kamu perempuan-perempuan yang bersuami, kecuali yang dimiliki tangan kanan kamu”
(QS.4:25) bersama-sama dengan ayat sebelumnya, membahas perempuan-perempuan muhrim dan di antara mereka ini termasuk
perempuan-perempuan yang bersuami.
Tetapi ayat itu membuat suatu pengecualian,
yaitu perempuan-perempuan bersuami yang ditawan dalam peperangan
agama dan kemudian mereka memilih
tetap bersama orang-orang Islam dapat dinikahi oleh majikan-majikan
mereka. Kenyataan bahwa mereka memilih tidak kembali kepada suami-lama mereka, dianggap sama dengan pembatalan pernikahan mereka yang sebelumnya (QS.60:11)
Dapat
juga dicatat secara sepintas lalu, bahwa adalah tidak diperkenankan (dilarang) menikahi perempuan-perempuan kerabat budak-perempuan dalam batas yang tidak diizinkan, mengenai
kerabat perempuan-merdeka. Misalnya:
ibu, saudara-perempuan, anak-perempuan, dan sebagainya dari budak-perempuan yang diperistri, tidak boleh dinikahi.
Selanjutnya
dapat dikatakan, bahwa mengingat keadaan pada saat turun Al-Quran, maka
terpaksa harus mengadakan perbedaan
kedudukan sosial di antara kedua
golongan perempuan itu. Pembedaan itu dinyatakan dengan sebutan zauj
(perempuan-merdeka yang dimikahi) dan milk yamin (budak-perempuan yang
dinikahi).
Sebutan pertama menyandang arti persamaan derajat antara suami dan istri, sedangkan yang kedua
mengisyaratkan kepada kedudukannya
yang agak rendah sebagai istri. Tetapi hal itu berlaku sementara. Al-Quran dan Nabi Besar
Muhammad saw. memerintahkan dengan
keras sekali, bahwa budak-budak perempuan
pertama-tama harus diberi kemerdekaan
dan kedudukan penuh dan kemudian dinikahi, sebagaimana Nabi Besar Muhammad saw. telah melakukannya.
Kecuali
itu, Islam tidak memperkenankan perempuan yang ditawan dalam pepe-rangan-kecil untuk diperlakukan
sebagai budak-budak perempuan. Izin
menikahi budak perempuan tanpa persetujuannya
lebih dahulu, berlaku hanya apabila satu bangsa
yang bersikap tidak-bersahabat
berinisiatip melancarkan perang agama
terhadap Islam untuk menghapuskan
dan memaksa orang-orang Islam
meninggalkan agama mereka di bawah ancaman pedang (senjata), dan kemudian
memperlakukan tawanan-tawanan mereka
— laki-laki maupun perempuan — sebagai budak-budak
seperti dilakukan di masa Nabi Besar
Muhammad saw..
Pada
masa itu musuh-musuh Islam membawa perempuan-perempuan Muslim sebagai tawanan dan memperlakukan mereka sebagai
budak-budak. Perintah Islam hanya
merupakan tindak balasan dan bersifat
sementara. Perintah itu mempunyai tujuan sampingan pula, yakni untuk melindungi akhlak tawanan-tawanan perempuan.
Keadaan yang demikian itu sudah tidak
berlaku lagi.
Sekarang
tidak ada lagi peperangan agama dan
karenanya tawanan-tawanan perang tidak boleh diperlakukan sebagai budak-budak, apa lagi mereka itu dibunuh secara zalim. Demikianlah penjelasan mengenai kedua macam istri yang sah yang pada awalnya
memiliki perbedaan status sosial
yang bersifat sementara waktu, firman-Nya:
وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ لِفُرُوۡجِہِمۡ حٰفِظُوۡنَ ۙ﴿﴾ اِلَّا عَلٰۤی اَزۡوَاجِہِمۡ اَوۡ مَا مَلَکَتۡ اَیۡمَانُہُمۡ فَاِنَّہُمۡ
غَیۡرُ مَلُوۡمِیۡنَ ۚ﴿﴾ فَمَنِ ابۡتَغٰی وَرَآءَ ذٰلِکَ فَاُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡعٰدُوۡنَ ۚ﴿﴾
Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya,
kecuali terhadap istri-istri
mereka atau apa yang dimiliki tangan
kanan mereka maka sesungguhnya mereka
tidak tercela. Tetapi barangsiapa mencari selain dari itu
maka mereka itu orang-orang yang melampaui batas. (Al-Mu’minūn
[23]:6-8).
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik
Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 17 Juli
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar