Selasa, 14 Januari 2014

Pernikahan Nabi Besar Muhammad Saw. dengan Sitti Zainab r.a.-- Janda Zaid bin Haritsah r.a. -- yang Rawan Fitnah --

 بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ

Khazanah Ruhani Surah  Shād

Bab  118

Penikahan Nabi Besar Muhammad Saw. dengan Sitti Zainab r.a. -- Janda  Zaid bin Haritsah r.a. -- yang Rawan Fitnah.  

Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

D
alam Akhir Bab sebelumnya  telah dikemukakan mengenai kepada kepedulian dan keprihatinan luar biasa Nabi Besar Muhammad saw.   yang dimaksud dengan kata zalim (aniaya) dan jahul  (abai) mengenai insan --  yaitu insan  kamil (manusia sempurna),  yang  demi keselamatan dan kesuksesan seluruh umat manusia  dalam melaksanakan peribadahan kepada Allah Swt. (QS.51:57), beliau saw. bersedia memikul amanat syariat yang terakhir dan tersempurna (agama Islam), firman-Nya:
اِنَّا عَرَضۡنَا الۡاَمَانَۃَ عَلَی السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ وَ الۡجِبَالِ فَاَبَیۡنَ اَنۡ یَّحۡمِلۡنَہَا وَ اَشۡفَقۡنَ مِنۡہَا وَ حَمَلَہَا الۡاِنۡسَانُ ؕ اِنَّہٗ کَانَ ظَلُوۡمًا جَہُوۡلًا ﴿ۙ﴾ 
Sesungguhnya Kami telah  menawarkan amanat syariat kepada seluruh langit, bumi dan gunung-gunung, tetapi semuanya enggan memikulnya dan mereka takut terhadapnya, akan sedangkan manusia memikulnya, sesungguhnya ia sanggup berbuat zalim dan  abai  terhadap dirinya. (Al-Ahzāb [33]:73-74).
       Selanjutnya Allah Swt. berfirman  lagi mengenai kepedulian serta rasa kasih-sayang luarbiasa Nabi Besar Muhammad saw.:
لَقَدۡ جَآءَکُمۡ رَسُوۡلٌ مِّنۡ اَنۡفُسِکُمۡ عَزِیۡزٌ عَلَیۡہِ مَا عَنِتُّمۡ حَرِیۡصٌ عَلَیۡکُمۡ بِالۡمُؤۡمِنِیۡنَ رَءُوۡفٌ رَّحِیۡمٌ ﴿﴾  فَاِنۡ تَوَلَّوۡا فَقُلۡ حَسۡبِیَ اللّٰہُ ۫٭ۖ لَاۤ  اِلٰہَ  اِلَّا ہُوَ ؕ عَلَیۡہِ  تَوَکَّلۡتُ وَ ہُوَ رَبُّ الۡعَرۡشِ  الۡعَظِیۡمِ ﴿﴾٪
Sungguh benar-benar  telah datang kepada kamu seorang Rasul dari antara kamu sendiri, berat terasa olehnya apa yang menyusahkan kamu, ia sangat mendambakan kesejahteraan bagi kamu dan  terhadap orang-orang beriman  ia sangat berbelas kasih lagi penyayang.  Tetapi jika  mereka berpaling  maka katakanlah: “Cukuplah   Allah bagiku, tidak ada Tuhan kecuali Dia, kepada-Nya-lah aku bertawakkal, dan Dia-lah Pemilik 'Arasy yang agung. (At-Taubah [9]:128-129).
  Ayat 128  boleh dikenakan kepada orang-orang beriman  maupun kepada orang-orang kafir, tetapi terutama kepada orang-orang beriman, bagian permulaannya mengenai orang-orang kafir dan bagian terakhir mengenai orang-orang beriman. 

Peringatan Bagi Mereka yang Mengatakan “Tuhan Memiliki Anak Laki-laki

     Kepada orang-orang kafir nampaknya ayat ini mengatakan: “Rasulullah saw. merasa sedih melihat kamu mendapat kesusahan, yaitu sekalipun kamu mendatangkan kepadanya segala macam keaniayaan dan kesusahan, namun hatinya begitu sarat dengan rasa kasih-sayang kepada umat manusia, sehingga tidak ada tindakan zalim yang datang dari pihak kamu dapat membuatnya menjadi keras hati terhadap kamu dan membuat ia menginginkan keburukan bagi kamu. Ia begitu penuh kasih-sayang dan belas kasihan terhadap kamu, sehingga ia tidak tega hati melihat kamu menyimpang dari jalan kebenaran hingga mendatangkan kesusahan kepada kamu.”
      Kepada orang-orang beriman  ayat ini berkata: “Rasulullah saw.  penuh dengan kecintaan, kasih-sayang, dan rahmat bagi kamu, yaitu ia dengan riang dan gembira ikut dengan kamu dalam menanggung kesedihan dan kesengsaraan kamu. Lagi pula, seperti seorang ayah yang penuh dengan kecintaan ia memperlakukan kamu, dengan sangat murah hati dan kasih-sayang.”
      Sehubungan dengan kedua makna  -- baik terhadap orang-orang kafir mau pun kepada orang-orang beriman – tersebut, berikut adalah  keprihatinan   Nabi Besar Muhammad saw. berkenaan  orang-orang kafir -- khususnya mereka yang mengatakan bahwa “Tuhan memilik seorang anak laki-laki”,  firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ ﴿﴾  اَلۡحَمۡدُ لِلّٰہِ الَّذِیۡۤ  اَنۡزَلَ عَلٰی عَبۡدِہِ الۡکِتٰبَ  وَ لَمۡ  یَجۡعَلۡ  لَّہٗ عِوَجًا ؕ﴿ٜ﴾ قَیِّمًا  لِّیُنۡذِرَ بَاۡسًا شَدِیۡدًا مِّنۡ لَّدُنۡہُ وَ یُبَشِّرَ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ الَّذِیۡنَ یَعۡمَلُوۡنَ الصّٰلِحٰتِ اَنَّ  لَہُمۡ  اَجۡرًا حَسَنًا ۙ﴿﴾  مَّاکِثِیۡنَ فِیۡہِ اَبَدًا ۙ﴿﴾  وَّ یُنۡذِرَ الَّذِیۡنَ قَالُوا اتَّخَذَ اللّٰہُ وَلَدًا ٭﴿﴾  مَا لَہُمۡ بِہٖ مِنۡ عِلۡمٍ وَّ لَا لِاٰبَآئِہِمۡ ؕ کَبُرَتۡ کَلِمَۃً  تَخۡرُجُ مِنۡ اَفۡوَاہِہِمۡ ؕ اِنۡ یَّقُوۡلُوۡنَ  اِلَّا کَذِبًا ﴿﴾  فَلَعَلَّکَ بَاخِعٌ نَّفۡسَکَ عَلٰۤی اٰثَارِہِمۡ  اِنۡ لَّمۡ  یُؤۡمِنُوۡا بِہٰذَا  الۡحَدِیۡثِ  اَسَفًا ﴿﴾
Aku baca dengan nama Allah Maha Pemurah, Maha Penyayang.   Segala puji bagi Allah  Yang  telah menurunkan kepada hamba-Nya Kitab Al-Quran ini dan   Dia tidak menjadikan padanya ke­bengkokan. Sebagai penjaga untuk memberi peringatan mengenai  siksaan yang dahsyat dari hadirat-Nya, dan memberikan kabar gembira kepada orang-orang  beriman  yang beramal saleh bahwa sesungguhnya bagi mereka ada ganjaran yang baik,   mereka  kekal di dalamnya selama-lamanya. Dan supaya memperingat­kan orang-orang  yang berkata: "Allah mengambil seorang anak laki-laki.” Mereka   sekali-kali tidak memiliki pengetahuan mengenainya, dan tidak pula bapak-bapak mereka memilikinya.  Sangat besar keburukan perkataan yang keluar dari mulut mereka,   mereka tidak mengucapkan kecuali kedustaan. Maka sangat mungkin engkau akan  membinasakan diri engkau   karena sangat sedih  sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini. (Al-Kahf [18]:1-7). 

Ketidak-bersyukuran Para Penentang Rasul Allah

  Makna ayat  فَلَعَلَّکَ بَاخِعٌ نَّفۡسَکَ عَلٰۤی اٰثَارِہِمۡ  اِنۡ لَّمۡ  یُؤۡمِنُوۡا بِہٰذَا  الۡحَدِیۡثِ  اَسَفًا  -- “Maka sangat mungkin engkau akan  membinasakan diri engkau  karena sangat sedih  sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini,” karena bakhi' itu ism fail dari bakha'a yang berarti: ia berbuat sesuatu dengan cara setepat-tepatnya, ayat ini dengan padat dan lugas melukiskan betapa besarnya perhatian dan kekhawatiran serta kecemasan Nabi Besar Muhammad saw.  mengenai kesejahteraan ruhani kaum beliau  saw. dan umat manusia.
  Kesedihan  Nabi Besar Muhammad saw.   atas penolakan dan perlawanan mereka terhadap amanat Ilahi hampir membuat beliau saw. wafat. Memang begitulah keadaan para utusan (rasul) dan nabi Allah   -- terutama sekali Nabi Besar Muhammad saw. --   hati mereka  senantiasa penuh dengan kasih-sayang terhadap sesama manusia.
  Mereka berseru (kepada Allah), menangis  dan berdukacita demi kepentingan umat manusia, tetapi manusia tidak tahu  berterimakasih, sehingga orang-orang itu sendiri yang bagi mereka para nabi (rasul) Allah mempunyai perasaan yang begitu mendalam, justru merekalah yang menindas para nabi Allah  dan berusaha untuk membunuh mereka (QS.2:88-92; QS.51:53-54).
  Mengenai kepedulian dan keprihatinan  Nabi Besar Muhammad saw. yang luarbiasa tersebut dalam Surah lainnya  Allah Swt. berfirman:
لَعَلَّکَ بَاخِعٌ نَّفۡسَکَ اَلَّا یَکُوۡنُوۡا مُؤۡمِنِیۡنَ ﴿﴾  اِنۡ نَّشَاۡ نُنَزِّلۡ عَلَیۡہِمۡ مِّنَ السَّمَآءِ  اٰیَۃً فَظَلَّتۡ اَعۡنَاقُہُمۡ  لَہَا خٰضِعِیۡنَ ﴿﴾  
Boleh jadi engkau akan membinasakan diri sendiri  karena mereka tidak mau beriman.  Jika Kami menghendaki, Kami dapat menurunkan kepada mereka suatu Tanda dari langit  sehingga leher-leher mereka akan tertunduk kepadanya. (Asy-Syu’arā [26]:4-5). 
       Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa  kesedihan  dan kepihatinan Nabi Besar Muhammad saw.  tidak akan sia-sia. Jika kaumnya tidak berhenti menentang beliau saw., mereka akan didatangi oleh Tanda hukuman, yang akan merendahkan dan menghinakan para  pemimpin mereka. Sebagaimana telah dijelaskan dalam Bab-bab sebelumnya bahwa makna lain   anaq (leher) sama dengan wujh (wajah)  yang berarti pemimpin-pemimpin (Lexicon Lane).
      Itulah beberapa contoh “pujian khusus” Allah Swt. kepada Nabi Besar Muhammad saw.,  yang oleh orang-orang jahil  dianggap sebagai teguran atau celaan atau peringatan Allah Swt. kepada beliau saw.  padahal bukan.

Allah Swt. Akan Meminta Pertanggungjawaban
kepada Rasul Allah Mau pun kepada Kaumnya

      Ada pun salah satu alasan kenapa Nabi Besar Muhammad saw. melakukan hal-hal yang   membuat Allah Swt. Sendiri merasa “prihatin” terhadap  kepedulian luar biasa beliau saw. tersebut,  karena beliau saw. ingin melaksanakan seluruh amanat  atau  syariat Islam yang telah Allah Swt. “pikulkan” (amanatkan) kepada beliau saw. secara sempurna dalam segala seginya, sehingga   siapa pun tidak akan memiliki alasan  atau dalih  untuk mengajukan protes terhadap misi kerasulan beliau saw., firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا الرَّسُوۡلُ بَلِّغۡ  مَاۤ اُنۡزِلَ اِلَیۡکَ  مِنۡ رَّبِّکَ ؕ وَ  اِنۡ لَّمۡ تَفۡعَلۡ فَمَا بَلَّغۡتَ رِسَالَتَہٗ ؕ وَ اللّٰہُ یَعۡصِمُکَ مِنَ النَّاسِ ؕ اِنَّ اللّٰہَ  لَا یَہۡدِی الۡقَوۡمَ الۡکٰفِرِیۡنَ ﴿﴾
Hai Rasul,  sampaikanlah apa yang diturunkan kepada engkau dari Tuhan engkau, dan jika engkau tidak melakukan hal itu maka engkau sekali-kali tidak menyampaikan amanat-Nya.  Dan Allah akan melindungi  engkau dari  manusia, sesungguhnya Allah tidak akan memberi petunjuk kepada kaum kafir. (Al-Māidah [5]:68).
     Kata-kata  وَ  اِنۡ لَّمۡ تَفۡعَلۡ فَمَا بَلَّغۡتَ رِسَالَتَہٗ    -- “dan jika engkau tidak melakukan hal itu maka engkau sekali-kali tidak menyampaikan amanat-Nya tidak menunjukkan suatu kelalaian dari pihak  Nabi Besar Muhammad saw.  dalam menyampaikan amanat Ilahi. Kata-kata itu hanya menyatakan satu kaidah umum bahwa seseorang yang tidak menyampaikan sebagian amanat yang dipercayakan kepadanya sebenarnya ia tidak menyampaikannya sama sekali.
       Ungkapan   وَ اللّٰہُ یَعۡصِمُکَ مِنَ النَّاسِ  -- “Dan Allah akan melindungi  engkau dari manusia berarti bahwa Allah Swt.   tidak akan membiarkan orang-orang kafir mengambil nyawa atau membunuh Nabi Besar Muhammad saw.  atau melumpuhkan beliau saw. untuk selama-lamanya, sehingga beliau  saw. tidak mampu lagi melakukan tugas beliau saw..
      Bahkan, dalam rangka menghapuskan kekeliruan adat-istiadat jahiliyah bangsa Arab mengenai larangan menikahi janda (bekas istri) anak angkat (QS.33:5-6), Nabi Besar Muhammad saw. dengan patuh melaksanakan perintah Allah Swt.  mengenai peraturan  pernikahan dalam Islam (Al-Quran),   yang sangat rawan menimbulkan fitnah tersebut (QS. 33:38), firman-Nya:
مَا کَانَ عَلَی النَّبِیِّ مِنۡ حَرَجٍ فِیۡمَا فَرَضَ اللّٰہُ  لَہٗ ؕ سُنَّۃَ اللّٰہِ  فِی الَّذِیۡنَ خَلَوۡا مِنۡ قَبۡلُ ؕ وَ کَانَ  اَمۡرُ  اللّٰہِ   قَدَرًا مَّقۡدُوۡرَۨا ﴿۫ۙ﴾  الَّذِیۡنَ یُبَلِّغُوۡنَ  رِسٰلٰتِ اللّٰہِ وَ یَخۡشَوۡنَہٗ  وَ لَا یَخۡشَوۡنَ  اَحَدًا  اِلَّا اللّٰہَ ؕ وَ کَفٰی  بِاللّٰہِ  حَسِیۡبًا ﴿﴾
Sekali-kali tidak ada keberatan atas Nabi mengenai  apa yang telah diwajibkan Allah kepadanya. Inilah sunnah Allah yang Dia tetapkan terhadap orang-orang yang telah berlalu sebelumnya, dan perintah Allah ada-lah suatu keputusan yang telah ditetapkan. Orang-orang yang menyampaikan amanat Allah dan  takut kepada-Nya, dan tidak ada mereka takuti siapa pun selain Allah, dan cukuplah Allah sebagai Penghisab. (Al-Ahzāb [33]:39-40).
      Yang diisyaratkan dalam kata-kata  مَا کَانَ عَلَی النَّبِیِّ مِنۡ حَرَجٍ فِیۡمَا فَرَضَ اللّٰہُ  لَہ  --  Sekali-kali tidak ada keberatan atas Nabi mengenai  apa yang telah diwajibkan Allāh kepadanya” tu ialah pernikahan  Nabi Besar Muhammad saw.  dengan Sitti Zainab r.a., janda (bakas istri) Zaid bin Haritsah r.a., anak-angkat beliau saw., yang atas  keinginan beliau saw. agar menikah dengan Sitti Zainab r.a., saudara misan beliau saw. sendiri.
       Jadi. kata-kata  مَا کَانَ عَلَی النَّبِیِّ مِنۡ حَرَجٍ فِیۡمَا فَرَضَ اللّٰہُ  لَہ  --  Sekali-kali tidak ada keberatan atas Nabi mengenai  apa yang telah diwajibkan Allāh kepadanya” menunjukkan bahwa pernikahan  Nabi Besar Muhammad saw. dengan janda (bakas istri) “anak angkat” beliau saw. tersebut  terjadi dalam menaati suatu peraturan Ilahi yang khusus sifatnya.

Makna Hakiki Gelar Khātaman Nabiyyīn Nabi Besar Muhammad Saw.

      Ketika muncul berbagai fitnah  dari kalangan  penentang   terhadap “pernikahan khusus” tersebut,  Allah Swt. memberikan jawabannya yang sangat telak, firman-Nya:
مَا کَانَ مُحَمَّدٌ اَبَاۤ  اَحَدٍ مِّنۡ رِّجَالِکُمۡ وَ لٰکِنۡ رَّسُوۡلَ اللّٰہِ وَ خَاتَمَ  النَّبِیّٖنَ ؕ وَ  کَانَ اللّٰہُ  بِکُلِّ شَیۡءٍ عَلِیۡمًا ﴿٪﴾
Muhammad bukanlah bapak salah seorang laki-laki di antara laki  kamu, akan tetapi ia adalah Rasul Allah dan Khātaman Nabiyyīn (meterai sekalian nabi), dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Al-Ahzāb [33]:39-40).
      Dalam ayat tersebut Allah Swt. melakukan tiga tingkatan pembelaan  terhadap fitnah yang dilontarkan para penentang di kalangan bangsa Arab, yaitu:
     (1) Bahwa Zaid bin Haritsah r.a. bukanlah anak kandung  Nabi Besar Muhammad saw. melainkan sebagai bakas “anak angkat”, oleh karena itu antara keduanya tidak ada hubungan darah,  sehingga pernikahan Nabi Besar Muhammad saw.  dengan Sitti Zainab r.a.  janda Zaid bin Haritsah r.a. --   tidak akan mengacaukan silsilah keluarga.
      (2) Nabi Besar Muhammad saw. adalah seorang Rasul Allah, yang mendapat tugas dari Allah Swt, untuk mengajarkan  kebenaran (haq) dan menghapuskan kebatilan -- termasuk adat istiadat bangsa Arab jahiliyah yang melarang ayah angkat menikahi janda anak-angkatnya --  sebab  menurut mereka kedudukan anak angkat sama dengan anak kandung, padahal tidak demikian (QS.33:5-6).
     (3)  Nabi Besar Muhammad saw. bukan sekedar Rasul Allah  pembawa syariat, tetapi juga Rasul Allah yang bergelar Khātaman Nabiyyīn, yang salah satu maknanya adalah “mahkota para rasul”  atau “rasul yang paling mulia”. Oleh karena itu mustahil beliau saw. melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allah Swt..
    Khātam berasal dari kata khatama yang berarti: ia memeterai, mencap, mensahkan atau mencetakkan pada barang itu. Inilah arti-pokok kata itu. Adapun arti kedua ialah: ia mencapai ujung benda itu; atau menutupi benda itu, atau melindungi apa yang tertera dalam tulisan dengan memberi tanda atau mencapkan secercah tanah liat di atasnya, atau dengan sebuah meterai jenis apa pun.
      Khātam berarti juga sebentuk cincin stempel; sebuah segel, atau meterai dan sebuah tanda; ujung atau bagian terakhir dan hasil atau anak (cabang) suatu benda. Kata itu pun berarti hiasan atau perhiasan; terbaik atau paling sempurna. Kata-kata khatim, khatm dan khatam hampir sama artinya (Lexicon Lane, Al-Mufradat, Al-Fath-ul-Bari, dan Zurqani). Jadi,  kata khātaman nabiyyin akan berarti: meterai para nabi; yang terbaik dan paling sempurna dari antara nabi-nabi; hiasan dan perhiasan nabi-nabi. Arti kedua ialah nabi terakhir.

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar,   15 Desember    2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar