Selasa, 14 Januari 2014

Pembelaan Berjenjang Allah Swt. Mengenai Keabsahan Pernikahan Nabi Besar Muhammad Saw. dengan Sitti Zainab r.a.




بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ

Khazanah Ruhani Surah  Shād

Bab  119

Pembelaan Berjenjang Allah Swt.    Mengenai Keabsahan  Penikahan Nabi Besar Muhammad Saw. dengan Sitti Zainab r.a.

Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

D
alam Akhir Bab sebelumnya  telah dikemukakan mengenai munculnya berbagai fitnah  dari kalangan  penentang   terhadap “pernikahan khusus Nabi Besar Muhammad saw. dengan Sitti Zainab r.a., janda (bekas istri) Zaid bin Haritsah r.a., “anak angkat” Nabi Besar Muhammad saw., firman-Nya:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا﴿﴾
Dan sekali-kali tidak layak bagi laki-laki  yang beriman  dan tidak pula perempuan yang beriman,  apabila Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan sesuatu urusan lalu mereka menjadikan pilihan sendiri dalam urusan dirinya. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguh  ia telah sesat  suatu kesesatan yang nyata. (Al-Ahzāb [33]:37). 
      Kejadian yang langsung berkaitan dengan turunnya ayat ini mungkin terjadi karena keraguan Sitti Zainab r.a.  menuruti keinginan yang sangat diidam-idamkan oleh  Nabi Besar Muhammad saw.  agar Sitti Zainab r.a. menikah dengan Zaid bin Haritsah r.a., budak beliau  saw. yang telah dimerdekakan, dan kemudian dijadikan “anak angkat” oleh beliau saw., yang menurut adat-istiadat Arab jahiliyah kedudukannya sama dengan  anak  kandung.

Membatalkan Aturan Adat Istiadat  Jahiliyah  di Arabia

      Allah Swt. berkehendak untuk membatalkan adat istiadat jahiliyah  mengenai persamaan kedudukan anak angkat dengan anak kandung tersebut (QS.33:5-6). Dalam rangka terwujudnya kehendak Allah Swt. tersebut,  kepatuh-taatan Sitti Zainab r.a. terhadap keinginan Nabi Besar Muhammad saw.  untuk menghilangkan “kasta”   di lingkungan umat Islam, yakni  karena menghormati  kehendak  Nabi Besar Muhammad saw.   beliau setuju menikah dengan Zaid bin Haritsah r.a., walau bertentangan dengan kecenderungan hati beliau pribadi, yang sebenarnya berharap dapat diperistri oleh Nabi Besar Muhammad saw.
     Jadi,  Nabi Besar Muhammad saw.  tidak memaksa Sitti Zainab r.a.  menerima Zaid  bin Haritsah r.a. sebagai suami. Sitti Zainab r.a. hanyalah menghormati keinginan  beliau saw.. Inilah makna dari firman-Nya sebelum ini:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا﴿﴾
Dan sekali-kali tidak layak bagi laki-laki  yang beriman  dan tidak pula perempuan yang beriman,  apabila Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan sesuatu urusan lalu mereka menjadikan pilihan sendiri dalam urusan dirinya. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguh  ia telah sesat  suatu kesesatan yang nyata. (Al-Ahzāb [33]:37). 
        Walau pun   tujuan   Nabi Besar Muhammad saw. dengan terjadinya pernikahan antara Sitti Zainab r.a. dengan Zaid bin Haritsah r.a. merupakan  hal sangat baik, akan tetapi Allah Swt. memiliki tujuan lainnya yang  lebih penting daripada keinginan  dan tujuan Nabi Besar Muhammad saw., yakni untuk menghapuskan (membatalkan) adat istiadat bangsa Arab jahiliyah mengenai kedudukan anak angkat  sama dengan anak  kandung serta larangan ayah angkat menikahi janda (bekas istri) anak angkatnya, berikut firman-Nya kepada Nabi Besar Muhammad saw.:
وَ اِذۡ تَقُوۡلُ لِلَّذِیۡۤ  اَنۡعَمَ اللّٰہُ  عَلَیۡہِ وَ اَنۡعَمۡتَ عَلَیۡہِ  اَمۡسِکۡ عَلَیۡکَ زَوۡجَکَ وَ اتَّقِ اللّٰہَ  وَ تُخۡفِیۡ فِیۡ نَفۡسِکَ مَا اللّٰہُ مُبۡدِیۡہِ  وَ تَخۡشَی النَّاسَ ۚ وَ اللّٰہُ   اَحَقُّ اَنۡ  تَخۡشٰہُ ؕ فَلَمَّا قَضٰی زَیۡدٌ مِّنۡہَا وَطَرًا زَوَّجۡنٰکَہَا  لِکَیۡ لَا یَکُوۡنَ عَلَی  الۡمُؤۡمِنِیۡنَ حَرَجٌ  فِیۡۤ  اَزۡوَاجِ اَدۡعِیَآئِہِمۡ  اِذَا  قَضَوۡا  مِنۡہُنَّ  وَطَرًا ؕ وَ کَانَ   اَمۡرُ  اللّٰہِ  مَفۡعُوۡلًا ﴿﴾
Dan ingatlah ketika engkau berkata kepada orang yang Allah telah memberi nikmat kepadanya dan engkau pun telah memberi nikmat kepadanya:  Pertahankanlah terus istri engkau pada diri engkau  dan bertakwalah kepada Allah”, sedangkan engkau menyembunyikan dalam hati engkau apa yang Allah hendak menam-pakkannya, dan engkau takut kepada manusia padahal Allah lebih berhak agar engkau takut kepada-Nya. Maka tatkala Zaid menetapkan keinginannya terhadap dia, Kami menikahkan engkau dengan dia  supaya tidak akan ada keberatan bagi orang-orang beriman menikahi bekas istri anak-anak angkatnya  apabila mereka telah menetapkan keinginannya mengenai mereka, dan keputusan Allāh pasti akan terlaksana. (Al-Ahzāb [33]:38). 

Untuk Kepentingan Umum

      Sebagaimana telah diterangkan bahwa  Zaid  bin Haritsah r.a. adalah . seorang pemuda yang dimerdekakan oleh  Nabi Besar Muhammad saw. , yang diambil beliau saw. sebagai anak angkat beliau saw., sebelum pengangkatan itu dinyatakan tidak sah dalam Islam (QS.33:5-6).
     Makna ayat   فَلَمَّا قَضٰی زَیۡدٌ مِّنۡہَا وَطَرًا   --  Maka tatkala Zaid menetapkan keinginannya terhadap dia” adalah menceraikan istrinya; wathar berarti: kepentingan; keperluan, hal yang diperlukan (Lexocon Lane). Kalimat selanjutnya  زَوَّجۡنٰکَہَا -- “Kami menikahkan engkau dengan dia” merupakan bantahan Allah Swt. bahwa pernikahan Nabi Besar Muhammad saw. dengan Sitti Zainab r.a. setelah diceraikan oleh Zaid bin Haritsah r.a. bukankah keinginan beliau  saw. –  sebagaimana  berbagai fitnah yang kemudian dihembuskan  dengan menyalah-artikan kalimat sebelumnya:
وَ تُخۡفِیۡ فِیۡ نَفۡسِکَ مَا اللّٰہُ مُبۡدِیۡہِ  وَ تَخۡشَی النَّاسَ ۚ وَ اللّٰہُ   اَحَقُّ اَنۡ  تَخۡشٰہُ ؕ
“…Sedangkan engkau menyembunyikan dalam hati engkau apa yang Allah hendak menampakkannya, dan engkau takut kepada manusia padahal Allah lebih berhak agar engkau takut kepada-Nya.”
      Sebenarnya yang Nabi Besar Muhammad saw. “sembunyikan dan takutkan” akibat perceraian tersebut adalah akan timbul keretakan dalam “persaudaraan Muslim” yang beliau saw. perkokoh melalui  penikahan antara Sitti Zainab r.a. dengan Zaid bin Haritsah r.a.  (QS.33:7; QS.49:11).
      Ada pun tujuan Allah Swt. menikahkan Nabi Besar Muhammad saw.  dengan Sitti Zainab r.a. tersebut  bukanlah untuk kepentingan Nabi Besar Muhammad saw. melainkan  untuk kepentingan umum   dalam hal  aturan (hukum) pernikahan,bahwa menurut ajaran Islam (Al-Quran)   ayah angkat   dibolehkan (tidak dilarang) untuk menikahi janda (bekas istri) anak-angkatnya:  لِکَیۡ لَا یَکُوۡنَ عَلَی  الۡمُؤۡمِنِیۡنَ حَرَجٌ  فِیۡۤ  اَزۡوَاجِ اَدۡعِیَآئِہِمۡ  اِذَا  قَضَوۡا  مِنۡہُنَّ  وَطَرًا -- “supaya tidak akan ada keberatan bagi orang-orang beriman menikahi bekas istri anak-anak angkatnya  apabila mereka telah menetapkan keinginannya mengenai mereka.”

 Menjadi Salah Seorang Ummul Mukminin

      Tujuan sampingan lainnya dinikahkan-Nya Nabi Besar Muhammad  saw. dengan Sitti Zainab r.a. adalah sebagai penghormatan Allah Swt. kepada Sitti Zainab r.a. atas ketaatannya  kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya sebagaimana dikemukakan firman Allah Swt. sebelumnya,  firman-Nya:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا﴿﴾
Dan sekali-kali tidak layak bagi laki-laki  yang beriman  dan tidak pula perempuan yang beriman,  apabila Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan sesuatu urusan lalu mereka menjadikan pilihan sendiri dalam urusan dirinya. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguh  ia telah sesat  suatu kesesatan yang nyata. (Al-Ahzāb [33]:37). 
     Yakni Sitti Zainab r.a. yang adalah seorang  bangsawati Arabia  yang --  karena kepatuh-taatannya kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya  --  menjadi seorang  janda bekas budak, tetapi  kemudian beliau oleh Allah  Swt. telah dijadikan  salah seorang Ummul mukminin  yang kedudukannya sangat terhormat, firman-Nya:
اَلنَّبِیُّ  اَوۡلٰی بِالۡمُؤۡمِنِیۡنَ مِنۡ اَنۡفُسِہِمۡ وَ اَزۡوَاجُہٗۤ  اُمَّہٰتُہُمۡ ؕ وَ اُولُوا الۡاَرۡحَامِ بَعۡضُہُمۡ اَوۡلٰی بِبَعۡضٍ فِیۡ کِتٰبِ اللّٰہِ مِنَ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ وَ الۡمُہٰجِرِیۡنَ  اِلَّاۤ  اَنۡ تَفۡعَلُوۡۤا  اِلٰۤی  اَوۡلِیٰٓئِکُمۡ مَّعۡرُوۡفًا ؕ کَانَ ذٰلِکَ فِی الۡکِتٰبِ مَسۡطُوۡرًا ﴿﴾
Nabi itu lebih dekat kepada orang-orang beriman daripada kepada diri mereka sendiri, dan istri-istrinya adalah ibu-ibu  mereka.  Tetapi menurut Kitab Allah keluarga yang sedarah lebih dekat satu sama  daripada orang-orang beriman  dan orang-orang yang berhijrah,  kecuali jika kamu berbuat kebaikan terhadap sahabat kamu,  yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab Al-Quran.  (Al-Ahzāb [33]:7)’ LIhat pula QS.33:29-35.
     Sitti Zainab r.a. adalah anak bibi  Nabi Besar Muhammad saw.   karena itu beliau seorang bangsawati Arab tulen, sangat bangga akan leluhur beliau dan akan kedudukan mulia dalam masyarakat. Islam menganggap dan telah memberi kepada dunia — peradaban dan kebudayaan yang di dalamnya tidak ada pembagian kelas (kasta), tidak ada kebangsawanan warisan, tidak ada hak-hak istimewa. Semua manusia bebas dan setara dalam pandangan Ilahi.
      Nabi Besar Muhammad saw.   menghendaki agar pelaksanaan cita-cita luhur agama Islam ini dimulai oleh keluarga beliau saw. sendiri. Beliau saw. ingin agar Sitti Zainab menikah dengan Zaid bin Haritsah r.a., yang kendatipun telah dimerdekakan oleh  beliau saw.  tetapi  sayang sekali ia masih tetap dianggap budak oleh sebagian orang. Justru cap perbudakan itulah, pemisah antara “orang merdeka” dan “orang belian” yang diikhtiarkan oleh  Nabi Besar Muhammad saw.      menghilangkannya melalui pernikahan Sitti Zainab dengan Zaid bin Haritsah r.a..
      Karena menjunjung tinggi keinginan  Nabi Besar Muhammad saw.       maka Sitti Zainab menyetujui usul itu. Maksud  Nabi Besar Muhammad saw.       telah tercapai. Pernikahan itu menghilangkan perbedaan dan pembagian kelas. Hal itu merupakan peragaan amaliah akan cita-cita luhur agama Islam.
      Akan tetapi sangat disayangkan sekali pernikahan itu berakhir dengan kegagalan, bukan disebabkan oleh perbedaan kedudukan sosial antara Sitti Zainab r.a. dan Zaid bin Haritsah r.a., melainkan karena tidak ada persesuaian dalam pembawaan dan perangai mereka, dan juga oleh sebab perasaan rendah diri yang diderita Zaid bin Haritsah r.a. sendiri.

Makna “Rasa Takut” Nabi Besar Muhammad Saw.

      Tentu saja kegagalan pernikahan itu membuat hati  Nabi Besar Muhammad saw.  sedih. Tetapi kejadian itu pun memenuhi suatu maksud  Allah Swt. yang sangat berguna. Sesuai dengan perintah Ilahi, sebagaimana disebutkan pada bagian akhir ayat QS.33:38   Nabi Besar Muhammad saw.     sendiri menikahi Sitti Zainab r.a., yang dengan demikian membongkar sampai ke akar-akarnya kebiasaan (adat-istiadat) yang telah mendarah-daging pada orang-orang Arab zaman jahiliyah, bahwa merupakan pantangan bagi seseorang menikahi bekas istri (janda) anak angkatnya. Kebiasaan mengangkat anak  dihapuskan (QS.33:5-6) dan dengan itu anggapan keliru itu dihilangkan. Oleh karena itu pernikahan Sitti Zainab r.a. dengan Zaid  bin Haritsah r.a. memenuhi suatu tujuan luhur lainnya.
     Kata-kata  “bertakwalah kepada Allah,” mengandung arti bahwa Zaid ingin menceraikan Sitti Zainab dan karena perceraian itu, menurut Islam, sangat tidak diridhai dalam pandangan Tuhan, maka  Nabi Besar Muhammad saw.  menganjurkan kepadanya agar tidak berbuat demikian. Anak kalimat “...tahanlah isteri engkau pada diri engkau sendiri,” dapat dikenakan baik kepada Zaid bin Haritsah r.a. maupun kepada  Nabi Besar Muhammad saw..
      Kalau dikenakan kepada Zaid bin Haritsah r.a.,  maka kalimat itu akan berarti, bahwa Zaid bin Haritsah r.a.  tidak suka kalau akibat perceraian dengan Sitti Zainab r.a. akan nampak, barangkali karena sebagaimana ternyata dari kata-kata, “bertakwalah kepada Allah,”  titik berat  kesalahan terletak lebih banyak pada diri beliau yang ingin menceraikan istrinya,  daripada pada diri Sitti Zainab r.a..
       Tetapi kalau dikenakan kepada  Nabi Besar Muhammad saw.       maka kata-kata itu akan berarti bahwa sebab pernikahan antara Zaid bin Haritsah r.a. dan Sitti Zainab r.a. itu telah diatur atas permintaan dan kehendak beliau saw., maka dengan sendirinya beliau saw. tidak suka kalau pernikahan itu pecah.
      Anak kalimat itu pun menunjukkan  bahwa  Nabi Besar Muhammad saw.  khawatir kalau-kalau putusnya pernikahan yang telah mengakibatkan suatu hal yang nampaknya merupakan kegagalan dalam rangka percobaan Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan menurut Islam) akan menyebabkan tumbuhnya beberapa kecaman dan kegelisahan dalam pikiran orang-orang yang lemah iman
      Itulah kekhawatiran atau rasa takut yang menekan sekali perasaan  Nabi Besar Muhammad saw.. Kata-kata, “engkau takut kepada manusia” agaknya menunjuk kepada kekhawatiran beliau saw. ini.

Fitnah yang Timbul dari Kebengkokan Hati

      Tetapi beberapa kiritikus lawan Islam dari kalangan Kristen berlagak telah menemukan suatu dasar dalam pernikahan  Nabi Besar Muhammad saw.       dengan Sitti Zainab r.a. untuk melakukan serangan keji terhadap beliau saw.. Telah dinyatakan oleh mereka bahwa karena secara kebetulan  Nabi Besar Muhammad saw.  melihat Sitti Zainab r.a., beliau  saw. jatuh cinta karena terpesona oleh kecantikannya, dan karena Zaid bin Haritsah r.a.  telah mengetahui hasrat  Nabi Besar Muhammad saw. untuk memperistrikan  Sitti Zainab r.a., lalu berusaha menceraikan istrinya.
       Kenyataan bahwa musuh-musuh pun yang menyaksikan seluruh kejadian itu dengan mata mereka sendiri, tidak berani mengaitkan dasar pikiran (motif) rendah seperti kini dikaitkan kepada  Nabi Besar Muhammad saw.  oleh kritikus-kritikus yang hidup sesudah lewat beberapa abad itu, sama sekali melenyapkan tuduhan keji dan sungguh tak berdasar itu, sampai ke akar-akarnya.
       Sitti Zainab r.a. adalah saudara sepupu  Nabi Besar Muhammad saw.   dan karena demikian dekatnya hubungan kekeluargaan beliau maka  Nabi Besar Muhammad saw.   pasti telah melihat beliau acapkali sebelum “pardah” diperintahkan. Kecuali itu,  tetapi karena menghormati keinginan  Nabi Besar Muhammad saw. yang terus menerus dikemukakan itulah, maka Sitti Zainab r.a. telah menyetujui dengan rasa enggan untuk menikah dengan Zaid bin Haritsah r.a..
      Tersurat di dalam riwayat,  bahwa Sitti Zainab r.a. dan kakaknya telah berhasrat sebelum beliau menikah dengan Zaid bin Haritsah r.a., agar beliau diperistri Nabi Besar Muhammad saw.        sendiri.  Apakah kiranya yang menghambat  Nabi Besar Muhammad saw.       memperistri beliau ketika beliau masih gadis dan beliau sendiri mengharapkan diperistri oleh  Nabi Besar Muhammad saw. ?

Cerita Dusta Rekayasa “Pikiran-pikiran Kotor

       Seluruh peristiwa itu nampaknya  jelas merupakan rekaan “yang kaya” dayacipta para kritikus yang tidak bersahabat terhadap  Nabi Besar Muhammad saw. , dan mempercayai hal itu merupakan suatu penghinaan terhadap akal sehat manusia. Namun demikian timbulnya fitnah-fitnah itu pun sebagai bukti  benarnya firman Allah Swt. bahwa betapa beratnya  mengamalkan amanat syariat Islam (Al-Quran)  yang diemban oleh Nabi Besar Muhammad saw., firman-Nya:
اِنَّا عَرَضۡنَا الۡاَمَانَۃَ عَلَی السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ وَ الۡجِبَالِ فَاَبَیۡنَ اَنۡ یَّحۡمِلۡنَہَا وَ اَشۡفَقۡنَ مِنۡہَا وَ حَمَلَہَا الۡاِنۡسَانُ ؕ اِنَّہٗ کَانَ ظَلُوۡمًا جَہُوۡلًا ﴿ۙ﴾ 
Sesungguhnya Kami telah  menawarkan amanat syariat kepada seluruh langit, bumi dan gunung-gunung, tetapi semuanya enggan memikulnya dan mereka takut terhadapnya, akan sedangkan manusia memikulnya, sesungguhnya ia sanggup berbuat zalim dan  abai  terhadap dirinya. (Al-Ahzāb [33]:73).
       Namun Nabi Besar Muhammad saw. dengan sempurna telah mengamalkan semua perintah Allah Swt. dalam Al-Quran, bagaimana pun beratnya resiko atau akibat yang harus beliau saw. hadapi, termasuk timbulnya  fitnah-fitnah yang dituduhkan kepada  diri beliau saw., firman-Nya:
مَا کَانَ عَلَی النَّبِیِّ مِنۡ حَرَجٍ فِیۡمَا فَرَضَ اللّٰہُ  لَہٗ ؕ سُنَّۃَ اللّٰہِ  فِی الَّذِیۡنَ خَلَوۡا مِنۡ قَبۡلُ ؕ وَ کَانَ  اَمۡرُ  اللّٰہِ   قَدَرًا مَّقۡدُوۡرَۨا ﴿۫ۙ﴾
Sekali-kali tidak ada keberatan atas Nabi mengenai  apa yang telah diwajibkan Allah kepadanya. Inilah sunnah Allah yang Dia tetapkan terhadap orang-orang yang telah berlalu sebelumnya, dan perintah Allāh ada-lah suatu keputusan yang telah ditetapkan (Al-Ahzāb [33]:39).
    Selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai keteguhan hati Nabi Besar Muhammad saw. tersebut:
الَّذِیۡنَ یُبَلِّغُوۡنَ  رِسٰلٰتِ اللّٰہِ وَ یَخۡشَوۡنَہٗ  وَ لَا یَخۡشَوۡنَ  اَحَدًا  اِلَّا اللّٰہَ ؕ وَ کَفٰی  بِاللّٰہِ  حَسِیۡبًا﴿﴾ 
Orang-orang yang menyampaikan amanat Allah dan  takut kepada-Nya, dan tidak ada mereka takut siapa pun selain Allah, dan cukuplah Allāh sebagai Penghisab. (Al-Ahzāb [33]:40).
         Sebagaimana telah dikemukakan dalam bagian akhir Bab sebelumnya, bahwa terhadap berbagai fitnah  yang muncul  -- di masa itu   dan juga di masa kemudian -- tersebut  Allah Swt. memberikan jawabannya yang sangat telak, firman-Nya:
مَا کَانَ مُحَمَّدٌ اَبَاۤ  اَحَدٍ مِّنۡ رِّجَالِکُمۡ وَ لٰکِنۡ رَّسُوۡلَ اللّٰہِ وَ خَاتَمَ  النَّبِیّٖنَ ؕ وَ  کَانَ اللّٰہُ  بِکُلِّ شَیۡءٍ عَلِیۡمًا ﴿٪﴾
Muhammad bukanlah bapak salah seorang laki-laki di antara laki  kamu, akan tetapi ia adalah Rasul Allah dan Khātaman Nabiyyīn (meterai sekalian nabi), dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Al-Ahzāb [33]:39-40).
      Dalam ayat tersebut Allah Swt. melakukan tiga tingkatan pembelaan  terhadap fitnah yang dilontarkan para penentang di kalangan bangsa Arab, yaitu:
     (1) Bahwa Zaid bin Haritsah r.a. bukanlah anak kandung  Nabi Besar Muhammad saw. melainkan sebagai bakas “anak angkat”, oleh karena itu antara keduanya tidak ada hubungan darah,  sehingga pernikahan Nabi Besar Muhammad saw.  dengan Sitti Zainab r.a.  janda Zaid bin Haritsah r.a. --   tidak akan mengacaukan silsilah keluarga.
      (2) Nabi Besar Muhammad saw. adalah seorang Rasul Allah, yang mendapat tugas dari Allah Swt, untuk mengajarkan  kebenaran (haq) dan menghapuskan kebatilan -- termasuk adat istiadat bangsa Arab jahiliyah yang melarang ayah angkat menikahi janda anak-angkatnya --  sebab  menurut mereka kedudukan anak angkat sama dengan anak kandung, padahal tidak demikian (QS.33:5-6).
      (3)  Nabi Besar Muhammad saw. bukan sekedar Rasul Allah  pembawa syariat, tetapi juga Rasul Allah yang bergelar Khātaman Nabiyyīn, yang salah satu maknanya adalah “mahkota para rasul”  atau “rasul yang paling mulia”. Oleh karena itu mustahil beliau saw. melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allah Swt..

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor:  Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar,   16 Desember    2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar