بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah Ruhani Surah
Shād
Bab
119
Pembelaan
Berjenjang Allah Swt. Mengenai Keabsahan Penikahan
Nabi Besar Muhammad Saw. dengan Sitti Zainab r.a.
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam Akhir Bab sebelumnya telah
dikemukakan mengenai munculnya berbagai fitnah
dari kalangan penentang terhadap “pernikahan khusus” Nabi Besar
Muhammad saw. dengan Sitti Zainab r.a., janda
(bekas istri) Zaid bin Haritsah r.a., “anak
angkat” Nabi Besar Muhammad saw., firman-Nya:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ
وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَنْ
يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا﴿﴾
Dan
sekali-kali tidak layak bagi
laki-laki yang beriman dan tidak
pula perempuan yang beriman, apabila Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan sesuatu urusan lalu mereka menjadikan pilihan sendiri
dalam urusan dirinya. Dan barangsiapa
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguh ia
telah sesat suatu kesesatan yang nyata. (Al-Ahzāb
[33]:37).
Kejadian yang langsung
berkaitan dengan turunnya ayat ini mungkin terjadi karena keraguan Sitti Zainab r.a. menuruti keinginan yang sangat diidam-idamkan oleh Nabi Besar Muhammad saw. agar Sitti Zainab r.a. menikah dengan Zaid bin Haritsah r.a., budak beliau saw. yang telah dimerdekakan, dan kemudian dijadikan “anak angkat” oleh beliau saw., yang menurut adat-istiadat Arab jahiliyah
kedudukannya sama dengan anak
kandung.
Membatalkan Aturan Adat
Istiadat Jahiliyah di Arabia
Allah Swt. berkehendak
untuk membatalkan adat istiadat jahiliyah mengenai persamaan
kedudukan anak angkat dengan anak kandung tersebut (QS.33:5-6). Dalam
rangka terwujudnya kehendak Allah
Swt. tersebut, kepatuh-taatan Sitti Zainab r.a. terhadap keinginan Nabi Besar Muhammad saw.
untuk menghilangkan “kasta” di
lingkungan umat Islam, yakni karena menghormati kehendak Nabi Besar Muhammad saw. beliau
setuju menikah dengan Zaid bin
Haritsah r.a., walau bertentangan
dengan kecenderungan hati beliau
pribadi, yang sebenarnya berharap dapat diperistri oleh Nabi Besar Muhammad
saw.
Jadi, Nabi Besar Muhammad saw. tidak
memaksa Sitti Zainab r.a. menerima Zaid bin Haritsah r.a. sebagai suami. Sitti Zainab r.a. hanyalah menghormati keinginan beliau saw..
Inilah makna dari firman-Nya sebelum ini:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ
وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَنْ
يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا﴿﴾
Dan
sekali-kali tidak layak bagi
laki-laki yang beriman dan tidak
pula perempuan yang beriman, apabila Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan sesuatu urusan lalu mereka menjadikan pilihan sendiri
dalam urusan dirinya. Dan barangsiapa
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguh ia
telah sesat suatu kesesatan yang nyata. (Al-Ahzāb
[33]:37).
Walau pun tujuan Nabi Besar Muhammad saw. dengan terjadinya pernikahan antara Sitti Zainab r.a.
dengan Zaid bin Haritsah r.a. merupakan
hal sangat baik, akan tetapi Allah Swt. memiliki tujuan lainnya yang lebih penting daripada keinginan dan tujuan Nabi
Besar Muhammad saw., yakni untuk menghapuskan
(membatalkan) adat istiadat bangsa
Arab jahiliyah mengenai kedudukan anak
angkat sama dengan anak kandung
serta larangan ayah angkat menikahi janda (bekas istri) anak angkatnya, berikut firman-Nya
kepada Nabi Besar Muhammad saw.:
وَ اِذۡ تَقُوۡلُ لِلَّذِیۡۤ
اَنۡعَمَ اللّٰہُ عَلَیۡہِ وَ
اَنۡعَمۡتَ عَلَیۡہِ اَمۡسِکۡ عَلَیۡکَ
زَوۡجَکَ وَ اتَّقِ اللّٰہَ وَ تُخۡفِیۡ
فِیۡ نَفۡسِکَ مَا اللّٰہُ مُبۡدِیۡہِ وَ
تَخۡشَی النَّاسَ ۚ وَ اللّٰہُ اَحَقُّ
اَنۡ تَخۡشٰہُ ؕ فَلَمَّا قَضٰی زَیۡدٌ
مِّنۡہَا وَطَرًا زَوَّجۡنٰکَہَا لِکَیۡ
لَا یَکُوۡنَ عَلَی الۡمُؤۡمِنِیۡنَ
حَرَجٌ فِیۡۤ اَزۡوَاجِ اَدۡعِیَآئِہِمۡ اِذَا
قَضَوۡا مِنۡہُنَّ وَطَرًا ؕ وَ کَانَ اَمۡرُ
اللّٰہِ مَفۡعُوۡلًا ﴿﴾
Dan ingatlah
ketika engkau berkata kepada orang yang Allah telah memberi nikmat
kepadanya dan engkau pun telah
memberi nikmat kepadanya: “Pertahankanlah
terus istri engkau pada diri engkau
dan bertakwalah kepada Allah”,
sedangkan engkau menyembunyikan dalam
hati engkau apa yang Allah hendak menam-pakkannya, dan engkau takut kepada manusia padahal Allah lebih berhak agar engkau takut kepada-Nya. Maka tatkala Zaid menetapkan keinginannya terhadap dia,
Kami menikahkan engkau dengan dia supaya tidak
akan ada keberatan bagi orang-orang beriman menikahi bekas istri anak-anak angkatnya apabila mereka
telah menetapkan keinginannya mengenai mereka, dan keputusan Allāh pasti akan terlaksana. (Al-Ahzāb
[33]:38).
Untuk Kepentingan Umum
Sebagaimana telah diterangkan bahwa Zaid
bin Haritsah r.a. adalah . seorang pemuda yang dimerdekakan oleh Nabi Besar Muhammad saw. , yang
diambil beliau saw. sebagai anak angkat
beliau saw., sebelum pengangkatan itu
dinyatakan tidak sah dalam Islam
(QS.33:5-6).
Makna ayat
فَلَمَّا قَضٰی زَیۡدٌ مِّنۡہَا وَطَرًا -- “Maka tatkala Zaid menetapkan keinginannya terhadap dia” adalah menceraikan istrinya; wathar
berarti: kepentingan; keperluan, hal yang diperlukan (Lexocon Lane). Kalimat selanjutnya زَوَّجۡنٰکَہَا -- “Kami menikahkan
engkau dengan dia” merupakan bantahan
Allah Swt. bahwa pernikahan Nabi
Besar Muhammad saw. dengan Sitti Zainab r.a. setelah diceraikan oleh Zaid bin Haritsah r.a. bukankah keinginan beliau saw. –
sebagaimana berbagai fitnah yang kemudian dihembuskan dengan menyalah-artikan
kalimat sebelumnya:
وَ تُخۡفِیۡ فِیۡ نَفۡسِکَ مَا اللّٰہُ مُبۡدِیۡہِ وَ تَخۡشَی النَّاسَ ۚ وَ اللّٰہُ اَحَقُّ اَنۡ
تَخۡشٰہُ ؕ
“…Sedangkan engkau menyembunyikan dalam hati engkau apa
yang Allah hendak menampakkannya, dan engkau
takut kepada manusia padahal Allah
lebih berhak agar engkau takut kepada-Nya.”
Sebenarnya yang Nabi Besar Muhammad saw. “sembunyikan dan takutkan” akibat perceraian
tersebut adalah akan timbul keretakan
dalam “persaudaraan Muslim” yang
beliau saw. perkokoh melalui penikahan antara Sitti Zainab r.a.
dengan Zaid bin Haritsah r.a. (QS.33:7;
QS.49:11).
Ada pun tujuan Allah Swt. menikahkan
Nabi Besar Muhammad saw. dengan Sitti
Zainab r.a. tersebut bukanlah untuk kepentingan Nabi Besar Muhammad saw.
melainkan untuk kepentingan umum dalam
hal aturan
(hukum) pernikahan,bahwa menurut ajaran Islam (Al-Quran) ayah
angkat dibolehkan (tidak dilarang)
untuk menikahi janda (bekas istri) anak-angkatnya: لِکَیۡ لَا یَکُوۡنَ عَلَی الۡمُؤۡمِنِیۡنَ حَرَجٌ فِیۡۤ
اَزۡوَاجِ اَدۡعِیَآئِہِمۡ
اِذَا قَضَوۡا مِنۡہُنَّ
وَطَرًا -- “supaya
tidak akan ada keberatan bagi
orang-orang beriman menikahi
bekas istri anak-anak angkatnya apabila mereka
telah menetapkan keinginannya mengenai mereka.”
Menjadi Salah Seorang Ummul Mukminin
Tujuan sampingan lainnya dinikahkan-Nya Nabi Besar Muhammad saw. dengan Sitti Zainab r.a. adalah sebagai penghormatan Allah Swt. kepada Sitti
Zainab r.a. atas ketaatannya kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya sebagaimana
dikemukakan firman Allah Swt. sebelumnya, firman-Nya:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ
وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَنْ
يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا﴿﴾
Dan sekali-kali
tidak layak bagi laki-laki yang beriman dan tidak
pula perempuan yang beriman, apabila Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan sesuatu urusan lalu mereka menjadikan pilihan sendiri
dalam urusan dirinya. Dan barangsiapa
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguh ia
telah sesat suatu kesesatan yang nyata. (Al-Ahzāb
[33]:37).
Yakni Sitti Zainab r.a. yang
adalah seorang bangsawati Arabia yang --
karena kepatuh-taatannya
kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya -- menjadi seorang janda
bekas budak, tetapi kemudian beliau oleh Allah Swt. telah dijadikan salah seorang Ummul mukminin yang
kedudukannya sangat terhormat,
firman-Nya:
اَلنَّبِیُّ اَوۡلٰی
بِالۡمُؤۡمِنِیۡنَ مِنۡ اَنۡفُسِہِمۡ وَ اَزۡوَاجُہٗۤ اُمَّہٰتُہُمۡ ؕ وَ اُولُوا الۡاَرۡحَامِ
بَعۡضُہُمۡ اَوۡلٰی بِبَعۡضٍ فِیۡ کِتٰبِ اللّٰہِ مِنَ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ وَ
الۡمُہٰجِرِیۡنَ اِلَّاۤ اَنۡ تَفۡعَلُوۡۤا اِلٰۤی
اَوۡلِیٰٓئِکُمۡ مَّعۡرُوۡفًا ؕ کَانَ ذٰلِکَ فِی الۡکِتٰبِ مَسۡطُوۡرًا ﴿﴾
Nabi itu
lebih dekat kepada orang-orang beriman daripada kepada diri mereka sendiri, dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka. Tetapi menurut Kitab Allah keluarga yang sedarah lebih dekat satu sama daripada orang-orang
beriman dan orang-orang yang berhijrah, kecuali jika kamu berbuat kebaikan terhadap sahabat kamu, yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab Al-Quran. (Al-Ahzāb [33]:7)’ LIhat pula
QS.33:29-35.
Sitti
Zainab r.a. adalah anak bibi Nabi Besar
Muhammad saw. karena itu
beliau seorang bangsawati Arab tulen, sangat bangga akan leluhur beliau dan
akan kedudukan mulia dalam masyarakat. Islam menganggap dan telah memberi
kepada dunia — peradaban dan kebudayaan yang di dalamnya tidak ada
pembagian kelas (kasta), tidak ada kebangsawanan warisan, tidak ada hak-hak istimewa. Semua manusia bebas
dan setara dalam pandangan Ilahi.
Nabi Besar Muhammad saw. menghendaki
agar pelaksanaan cita-cita luhur agama
Islam ini dimulai oleh keluarga beliau saw. sendiri. Beliau saw. ingin agar
Sitti Zainab menikah dengan Zaid bin Haritsah r.a., yang kendatipun telah dimerdekakan
oleh beliau saw. tetapi sayang sekali ia masih tetap dianggap budak oleh sebagian orang. Justru cap perbudakan itulah, pemisah antara “orang merdeka” dan “orang belian” yang diikhtiarkan oleh Nabi Besar Muhammad saw. menghilangkannya
melalui pernikahan Sitti Zainab
dengan Zaid bin Haritsah r.a..
Karena menjunjung tinggi
keinginan Nabi Besar Muhammad saw. maka
Sitti Zainab menyetujui usul itu. Maksud Nabi Besar Muhammad saw. telah
tercapai. Pernikahan itu menghilangkan perbedaan
dan pembagian kelas. Hal itu
merupakan peragaan amaliah akan
cita-cita luhur agama Islam.
Akan tetapi sangat disayangkan sekali pernikahan itu berakhir dengan kegagalan,
bukan disebabkan oleh perbedaan kedudukan
sosial antara Sitti Zainab r.a. dan Zaid bin Haritsah r.a., melainkan
karena tidak ada persesuaian dalam pembawaan dan perangai mereka, dan juga
oleh sebab perasaan rendah diri yang
diderita Zaid bin Haritsah r.a. sendiri.
Makna “Rasa Takut” Nabi Besar Muhammad Saw.
Tentu saja kegagalan pernikahan itu membuat hati Nabi Besar Muhammad
saw. sedih.
Tetapi kejadian itu pun memenuhi suatu maksud
Allah Swt. yang sangat berguna. Sesuai
dengan perintah Ilahi, sebagaimana
disebutkan pada bagian akhir ayat QS.33:38
Nabi Besar Muhammad saw. sendiri menikahi Sitti Zainab r.a., yang dengan demikian membongkar sampai ke akar-akarnya kebiasaan (adat-istiadat) yang telah
mendarah-daging pada orang-orang Arab zaman jahiliyah, bahwa merupakan pantangan bagi seseorang menikahi bekas
istri (janda) anak angkatnya.
Kebiasaan mengangkat anak dihapuskan (QS.33:5-6) dan dengan itu anggapan
keliru itu dihilangkan. Oleh karena itu pernikahan Sitti Zainab r.a. dengan
Zaid bin Haritsah r.a. memenuhi suatu tujuan luhur lainnya.
Kata-kata “bertakwalah kepada Allah,” mengandung
arti bahwa Zaid ingin menceraikan Sitti Zainab dan karena perceraian itu, menurut Islam, sangat tidak diridhai dalam pandangan Tuhan, maka Nabi Besar Muhammad saw. menganjurkan kepadanya agar tidak
berbuat demikian. Anak kalimat “...tahanlah isteri engkau pada diri engkau
sendiri,” dapat dikenakan baik kepada Zaid bin Haritsah r.a. maupun kepada Nabi Besar Muhammad saw..
Kalau dikenakan kepada Zaid
bin Haritsah r.a., maka
kalimat itu akan berarti, bahwa Zaid bin Haritsah r.a. tidak
suka kalau akibat perceraian
dengan Sitti Zainab r.a. akan nampak, barangkali karena sebagaimana
ternyata dari kata-kata, “bertakwalah
kepada Allah,” titik berat kesalahan
terletak lebih banyak pada diri beliau yang ingin menceraikan istrinya, daripada pada diri Sitti Zainab r.a..
Tetapi kalau dikenakan kepada Nabi Besar Muhammad saw. maka
kata-kata itu akan berarti bahwa sebab pernikahan
antara Zaid bin Haritsah r.a. dan Sitti Zainab r.a. itu telah diatur atas permintaan dan kehendak beliau saw., maka dengan sendirinya beliau saw. tidak suka
kalau pernikahan itu pecah.
Anak kalimat itu pun menunjukkan bahwa Nabi Besar Muhammad saw. khawatir
kalau-kalau putusnya pernikahan yang
telah mengakibatkan suatu hal yang nampaknya merupakan kegagalan dalam rangka
percobaan Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan menurut Islam) akan
menyebabkan tumbuhnya beberapa kecaman
dan kegelisahan dalam pikiran orang-orang yang lemah iman.
Itulah kekhawatiran atau rasa takut
yang menekan sekali perasaan Nabi Besar
Muhammad saw.. Kata-kata, “engkau takut kepada manusia”
agaknya menunjuk kepada kekhawatiran
beliau saw. ini.
Fitnah yang Timbul dari Kebengkokan
Hati
Tetapi beberapa kiritikus lawan Islam
dari kalangan Kristen berlagak telah menemukan suatu dasar dalam pernikahan Nabi Besar Muhammad saw. dengan Sitti Zainab r.a. untuk
melakukan serangan keji terhadap
beliau saw.. Telah dinyatakan oleh mereka bahwa karena secara kebetulan Nabi Besar Muhammad saw. melihat
Sitti Zainab r.a., beliau saw. jatuh cinta karena terpesona oleh kecantikannya, dan karena Zaid bin
Haritsah r.a. telah
mengetahui hasrat Nabi Besar Muhammad saw. untuk
memperistrikan Sitti Zainab r.a., lalu berusaha menceraikan istrinya.
Kenyataan bahwa musuh-musuh pun
yang menyaksikan seluruh kejadian itu dengan mata mereka sendiri, tidak berani
mengaitkan dasar pikiran (motif) rendah
seperti kini dikaitkan kepada Nabi Besar
Muhammad saw. oleh kritikus-kritikus
yang hidup sesudah lewat beberapa abad itu, sama sekali melenyapkan tuduhan keji dan sungguh tak berdasar
itu, sampai ke akar-akarnya.
Sitti Zainab r.a. adalah saudara sepupu Nabi Besar Muhammad saw. dan karena demikian dekatnya hubungan kekeluargaan beliau maka Nabi Besar Muhammad saw. pasti
telah melihat beliau acapkali sebelum “pardah” diperintahkan. Kecuali itu, tetapi karena menghormati keinginan Nabi
Besar Muhammad saw. yang terus menerus dikemukakan itulah,
maka Sitti Zainab r.a. telah menyetujui dengan rasa enggan untuk menikah
dengan Zaid bin Haritsah r.a..
Tersurat di dalam riwayat, bahwa
Sitti Zainab r.a. dan kakaknya telah berhasrat sebelum beliau menikah dengan
Zaid bin Haritsah r.a., agar beliau diperistri
Nabi Besar Muhammad saw. sendiri.
Apakah kiranya yang menghambat Nabi Besar Muhammad saw. memperistri beliau ketika beliau masih gadis dan beliau sendiri mengharapkan
diperistri oleh Nabi Besar Muhammad saw.
?
Cerita Dusta Rekayasa “Pikiran-pikiran
Kotor”
Seluruh peristiwa itu
nampaknya jelas merupakan rekaan “yang kaya” dayacipta para kritikus yang tidak bersahabat terhadap Nabi Besar Muhammad saw. , dan
mempercayai hal itu merupakan suatu penghinaan
terhadap akal sehat manusia. Namun
demikian timbulnya fitnah-fitnah itu
pun sebagai bukti benarnya firman Allah
Swt. bahwa betapa beratnya mengamalkan amanat syariat Islam (Al-Quran)
yang diemban oleh Nabi Besar Muhammad saw., firman-Nya:
اِنَّا عَرَضۡنَا الۡاَمَانَۃَ عَلَی السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ وَ
الۡجِبَالِ فَاَبَیۡنَ اَنۡ یَّحۡمِلۡنَہَا وَ اَشۡفَقۡنَ مِنۡہَا وَ حَمَلَہَا
الۡاِنۡسَانُ ؕ اِنَّہٗ کَانَ ظَلُوۡمًا جَہُوۡلًا ﴿ۙ﴾
Sesungguhnya
Kami telah menawarkan amanat syariat kepada seluruh langit, bumi dan gunung-gunung,
tetapi semuanya enggan memikulnya
dan mereka takut terhadapnya, akan
sedangkan manusia memikulnya,
sesungguhnya ia sanggup berbuat zalim dan abai terhadap dirinya. (Al-Ahzāb
[33]:73).
Namun Nabi Besar Muhammad saw. dengan
sempurna telah mengamalkan semua perintah
Allah Swt. dalam Al-Quran, bagaimana pun beratnya resiko atau akibat yang
harus beliau saw. hadapi, termasuk timbulnya
fitnah-fitnah yang dituduhkan kepada diri beliau saw., firman-Nya:
مَا کَانَ عَلَی النَّبِیِّ مِنۡ حَرَجٍ فِیۡمَا فَرَضَ اللّٰہُ لَہٗ ؕ سُنَّۃَ اللّٰہِ فِی الَّذِیۡنَ خَلَوۡا مِنۡ قَبۡلُ ؕ وَ
کَانَ اَمۡرُ اللّٰہِ
قَدَرًا مَّقۡدُوۡرَۨا ﴿۫ۙ﴾
Sekali-kali tidak ada keberatan atas Nabi
mengenai apa yang telah diwajibkan Allah kepadanya. Inilah sunnah Allah yang Dia tetapkan terhadap orang-orang yang telah berlalu
sebelumnya, dan perintah Allāh
ada-lah suatu keputusan yang telah ditetapkan (Al-Ahzāb [33]:39).
Selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai
keteguhan hati Nabi Besar Muhammad
saw. tersebut:
الَّذِیۡنَ یُبَلِّغُوۡنَ رِسٰلٰتِ
اللّٰہِ وَ یَخۡشَوۡنَہٗ وَ لَا
یَخۡشَوۡنَ اَحَدًا اِلَّا اللّٰہَ ؕ وَ کَفٰی بِاللّٰہِ
حَسِیۡبًا﴿﴾
Orang-orang
yang menyampaikan amanat Allah dan takut
kepada-Nya, dan tidak ada mereka
takut siapa pun selain Allah,
dan cukuplah Allāh sebagai Penghisab.
(Al-Ahzāb
[33]:40).
Sebagaimana telah dikemukakan dalam bagian
akhir Bab sebelumnya, bahwa terhadap berbagai fitnah yang muncul -- di masa itu dan juga di masa kemudian -- tersebut Allah Swt. memberikan jawabannya yang sangat telak,
firman-Nya:
مَا کَانَ مُحَمَّدٌ اَبَاۤ اَحَدٍ
مِّنۡ رِّجَالِکُمۡ وَ لٰکِنۡ رَّسُوۡلَ اللّٰہِ وَ خَاتَمَ النَّبِیّٖنَ ؕ وَ کَانَ اللّٰہُ
بِکُلِّ شَیۡءٍ عَلِیۡمًا ﴿٪﴾
Muhammad bukanlah bapak salah seorang laki-laki di antara laki kamu, akan tetapi ia adalah Rasul Allah dan Khātaman Nabiyyīn (meterai sekalian nabi), dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Al-Ahzāb
[33]:39-40).
Dalam ayat tersebut Allah Swt. melakukan
tiga tingkatan pembelaan terhadap fitnah
yang dilontarkan para penentang di
kalangan bangsa Arab, yaitu:
(1) Bahwa Zaid bin Haritsah r.a. bukanlah anak kandung Nabi Besar Muhammad saw. melainkan sebagai
bakas “anak angkat”, oleh karena itu antara keduanya tidak ada hubungan darah, sehingga pernikahan
Nabi Besar Muhammad saw. dengan Sitti
Zainab r.a. – janda Zaid bin Haritsah r.a. --
tidak akan mengacaukan silsilah
keluarga.
(2) Nabi Besar Muhammad saw. adalah
seorang Rasul Allah, yang mendapat
tugas dari Allah Swt, untuk mengajarkan kebenaran (haq) dan menghapuskan kebatilan -- termasuk adat istiadat bangsa Arab jahiliyah
yang melarang ayah angkat menikahi janda anak-angkatnya -- sebab
menurut mereka kedudukan anak
angkat sama dengan anak kandung,
padahal tidak demikian (QS.33:5-6).
(3) Nabi Besar Muhammad saw. bukan sekedar Rasul Allah pembawa syariat, tetapi juga Rasul Allah yang
bergelar Khātaman Nabiyyīn, yang salah satu maknanya adalah “mahkota
para rasul” atau “rasul yang paling
mulia”. Oleh karena itu mustahil
beliau saw. melakukan hal-hal yang dilarang
oleh Allah Swt..
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 16 Desember
2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar