بِسۡمِ
اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah Ruhani Surah
Shād
Bab 115
Keadaan Orang-orang yang “Menjual Ayat-ayat Tuhan” & Berbagai
Keadaan Hamba-hamba Allah
Para Pewaris Al-Quran
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam Akhir Bab sebelumnya telah
dikemukakan mengenai seorang yang
bernama Bal’am bin Ba’ura, yang
menurut kisah pernah hidup di zaman Nabi Musa a.s. dan konon dahulunya ia seorang wali Allah, tetapi kesombongan merusak pikirannya dan ia mengakhiri hidupnya dalam
kenistaan, firman-Nya:
وَ
اتۡلُ عَلَیۡہِمۡ نَبَاَ الَّذِیۡۤ اٰتَیۡنٰہُ
اٰیٰتِنَا فَانۡسَلَخَ مِنۡہَا فَاَتۡبَعَہُ الشَّیۡطٰنُ فَکَانَ مِنَ الۡغٰوِیۡنَ﴿﴾ وَ لَوۡ شِئۡنَا لَرَفَعۡنٰہُ بِہَا وَ لٰکِنَّہٗۤ اَخۡلَدَ اِلَی الۡاَرۡضِ
وَ اتَّبَعَ ہَوٰىہُ ۚ فَمَثَلُہٗ
کَمَثَلِ الۡکَلۡبِ ۚ اِنۡ
تَحۡمِلۡ عَلَیۡہِ یَلۡہَثۡ اَوۡ تَتۡرُکۡہُ یَلۡہَثۡ ؕ ذٰلِکَ مَثَلُ
الۡقَوۡمِ الَّذِیۡنَ کَذَّبُوۡا بِاٰیٰتِنَا ۚ فَاقۡصُصِ الۡقَصَصَ لَعَلَّہُمۡ
یَتَفَکَّرُوۡنَ ﴿﴾
سَآءَ مَثَلَاۨ
الۡقَوۡمُ الَّذِیۡنَ کَذَّبُوۡا بِاٰیٰتِنَا وَ اَنۡفُسَہُمۡ کَانُوۡا
یَظۡلِمُوۡنَ ﴿﴾
Dan ceritakanlah kepada mereka berita orang-orang yang telah Kami berikan Tanda-tanda
Kami kepadanya, lalu ia melepaskan
diri darinya maka syaitan
mengikutinya dan jadilah ia termasuk
orang-orang yang sesat. Dan seandainya
Kami menghendaki niscaya Kami meninggikan derajatnya dengan itu, akan tetapi ia cenderung ke bumi dan mengikuti hawa nafsunya, maka
keadaannya seperti seekor anjing yang
kehausan, jika engkau menghalaunya
ia menjulurkan lidahnya dan jika
engkau membiarkannya ia tetap menjulurkan lidahnya. Demikianlah misal orang-orang yang
mendustakan Tanda-tanda Kami, maka kisahkanlah
kisah ini supaya mereka
merenungkannya. Sangat buruk misal
orang-orang yang
mendustakan Tanda-tanda Kami, dan kepada
diri mereka sendirilah mereka berbuat zalim. (Al-A’rāf [7]:176-178).
Sunnatullah
“Keterusiran” Para Penentang Rasul Allah &
Makna Lain “Syaitan”
Ayat-ayat itu dapat juga dikenakan kepada Abu Jahal – pemimpin kaum kafir Mekkah, atau kepada Abdullah bin Ubbay bin Salul ---
pemimpin kaum munafik Madinah; atau
dapat pula kepada tiap-tiap pemimpin
kekafiran di setiap zaman pengutusan Rasul Allah (QS.7:35-37), termasuk di Akhir Zaman ini.
Jadi, makna ayat الَّذِیۡۤ
اٰتَیۡنٰہُ اٰیٰتِنَا فَانۡسَلَخَ
مِنۡہَا -- “orang-orang
yang telah Kami berikan Tanda-tanda Kami kepadanya lalu ia melepaskan diri darinya”
adalah orang-orang yang mendustakan
berbagai macam Tanda Ilahi yang diperlihatkan Rasul Allah kepada mereka, namun mereka tetap tidak
mempercayai pendakwaan Rasul Allah
tersebut.
Selanjutnya Allah Swt. berfirman: فَاَتۡبَعَہُ الشَّیۡطٰنُ فَکَانَ مِنَ الۡغٰوِیۡنَ -- “maka syaitan mengikutinya
dan jadilah ia termasuk orang-orang yang
sesat.” Sebagaimana telah
dijelaskan dalam Bab-bab sebelumnya bahwa pada hakikatnya makna lain dari “syaitan” yang dikemukakan dalam Al-Quran
berkenaan dengan kisah para Rasul Allah, sama sekali tidak
mengisyaratkan kepada makhluk gaib
atau makhluk halus yang juga disebut syaitan (QS.7:28), melainkan kepada orang-orang yang mendustakan
dan menentang para Rasul Allah (QS.2:15; QS.6:44 &
112-114; QS.8:49; QS.16:64; QS.22:53-54; QS.27:25; QS.29:39).
Dalam dua firman-Nya berikut ini nampak jelas
bahwa yang dimaksud dengan “syaithan” (setan) berkenaan dengan para Rasul Allah adalah manusia, bukan makhluk gaib (makhluk halus) melainkan manusia, firman-Nya:
وَ اِذَا لَقُوا الَّذِیۡنَ
اٰمَنُوۡا قَالُوۡۤا اٰمَنَّا ۚۖ وَ اِذَا خَلَوۡا اِلٰی
شَیٰطِیۡنِہِمۡ ۙ قَالُوۡۤا
اِنَّا مَعَکُمۡ ۙ اِنَّمَا نَحۡنُ مُسۡتَہۡزِءُوۡنَ ﴿﴾
اَللّٰہُ یَسۡتَہۡزِئُ بِہِمۡ وَ یَمُدُّہُمۡ فِیۡ طُغۡیَانِہِمۡ یَعۡمَہُوۡنَ ﴿ ﴾
Dan apabila mereka bertemu dengan orang-orang
beriman, mereka berkata: “Kami
pun telah beriman”. Tetapi
apabila mereka pergi kepada pemimpin-pemimpinnya, mereka berkata:
“Sesungguhnya kami beserta kamu, sesungguhnya kami hanyalah berolok-olok.” Allah
akan menghukum perolokan
mereka dan membiarkan
mereka berkelana bingung
dalam kedurhakaan mereka (Al-Baqarah
[15-16).
Menurut Ibn Abbas r.a., Ibn
Mas’ud r.a., Qatadah r.a. dan Mujahid r.a., makna kata syayāthin
(setan-setan) dalam ayat tersebut adalah
para pemimpin pendurhaka. Sehubungan
makna lain dari syayāthin
(setan-setan) tersebut Nabi Besar Muhammad saw. diriwayatkan telah bersabda: “Seorang
pengendara sendirian adalah syaithan, dua pengendara pun sepasang syaithan,
tetapi tiga orang pengendara, adalah satu pasukan pengendara” (Abu Dawud). Hadits ini mendukung
pandangan bahwa kata syaithan
tidak selamanya berarti setan.
Kalimat اَللّٰہُ
یَسۡتَہۡزِئُ بِہِمۡ -- “Allah
akan menghukum perolokan mereka”. Dalam bahasa Arab hukuman untuk perbuatan jahat,
kadang-kadang dinyatakan dengan kata yang dipakai untuk kejahatan itu sendiri, firman-Nya:
وَ جَزٰٓؤُا
سَیِّئَۃٍ سَیِّئَۃٌ مِّثۡلُہَا -- “Hukuman
untuk perbuatan jahat adalah kejahatan yang setimpal dengan itu”
(QS.42:41).
Ahli syair Arab yang termasyhur ‘Amr bin
Kultsum berkata: Ala lā yajhalan ahadun ‘alainā, fanajhal fauqa jahl
al-jahilinā, artinya: “Awas! Jangan
ada yang berani berbuat kejahilan terhadap kami, karena kami akan memperlihatkan kejahilan yang lebih
besar", yakni "kami akan
membalas kejahilannya” (Mu’allaqat).
Disesali Para
Pemimpin Kekafiran Mereka
Masih dalam Surah
Al-Baqarah, senada dengan ayat-ayat
tersebut Allah Swt. berrfirman:
وَ اِذَا لَقُوا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا قَالُوۡۤا اٰمَنَّا ۚۖ وَ اِذَا خَلَا بَعۡضُہُمۡ اِلٰی
بَعۡضٍ قَالُوۡۤا اَتُحَدِّثُوۡنَہُمۡ بِمَا فَتَحَ اللّٰہُ عَلَیۡکُمۡ لِیُحَآجُّوۡکُمۡ
بِہٖ عِنۡدَ رَبِّکُمۡ ؕ
اَفَلَا تَعۡقِلُوۡنَ ﴿﴾ اَ وَ لَا یَعۡلَمُوۡنَ اَنَّ اللّٰہَ یَعۡلَمُ
مَا یُسِرُّوۡنَ وَ مَا یُعۡلِنُوۡنَ ﴿﴾
Dan apabila mereka bertemu
dengan orang-orang beriman mereka
berkata: “Kami pun telah beriman",
tetapi apabila mereka bertemu satu sama
lain mereka berkata: “Apakah kamu menceritakan
kepada mereka tentang apa yang telah
dibukakan Allah kepadamu, sehingga dengan itu nanti mereka dapat membantah
kamu di hadapan Rabb (Tuhan) kamu, tidakkah kamu mengerti?” (Al-Baqarah [2]:77).
Ayat ini menyebut satu golongan Yahudi lain yang senantiasa
berbuat munafik. Bila mereka berbaur
dengan orang-orang Islam mereka mengiya-iyakan
saja karena tujuan-tujuan duniawi
dengan membenarkan nubuatan-nubuatan
dalam Kitab-kitab mereka
mengenai Nabi Besar Muhammad saw.
sebagai Nabi yang seperti Musa (Ulangan 18:15-19; QS.2:147; QS.26:
193-198; QS.46:11).
Tetapi bila mereka itu berbaur
dengan kaumnya sendiri, anggauta-anggauta masyarakat lainnya biasanya menyesali mereka, karena mereka memberi
penerangan kepada kaum Muslim mengenai apa-apa yang telah diwahyukan Allah
Swt. kepada mereka, yaitu yang membuat kaum Muslimin mengetahui nubuatan-nubuatan mengenai Rasulullah
saw. yang terdapat dalam Kitab-kitab suci mereka sendiri.
Dengan demikian jelaslah bahwa yang
dimaksud dengan syayāthitihim
(setan-setan) dalam ayat tersebut bukan
merujuk kepada makhluk halus yang disebut setan
melainkan manusia -- tepatnya para pemimpin kekafiran. Sebab tidak pernah diketahui ada makhuk
gaib (makhluk halus) yang disebut syaitan
(setan) yang pernah menegur atau menyesali
perbuatan orang-orang munafik ketika bertemu mereka.
Mengubah-ubah Makna
Kandungan Kitab Suci
Selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai kebiasaan buruk di kalangan para pemuka kaum Ahli
Kitab mengubah-ubah Kitab atau mengubah-ubah makna Kitab atau
menyembunyikan kebenaran dalam Kitab-kitab
mereka, firman-Nya:
اَ وَ لَا یَعۡلَمُوۡنَ اَنَّ اللّٰہَ یَعۡلَمُ
مَا یُسِرُّوۡنَ وَ مَا یُعۡلِنُوۡنَ ﴿﴾وَ
مِنۡہُمۡ اُمِّیُّوۡنَ لَا
یَعۡلَمُوۡنَ الۡکِتٰبَ
اِلَّاۤ اَمَانِیَّ
وَ اِنۡ ہُمۡ
اِلَّا یَظُنُّوۡنَ ﴿﴾ فَوَیۡلٌ
لِّلَّذِیۡنَ یَکۡتُبُوۡنَ
الۡکِتٰبَ بِاَیۡدِیۡہِمۡ ٭
ثُمَّ یَقُوۡلُوۡنَ
ہٰذَا مِنۡ عِنۡدِ اللّٰہِ لِیَشۡتَرُوۡا
بِہٖ ثَمَنًا قَلِیۡلًا ؕ فَوَیۡلٌ لَّہُمۡ مِّمَّا کَتَبَتۡ اَیۡدِیۡہِمۡ وَ وَیۡلٌ لَّہُمۡ
مِّمَّا یَکۡسِبُوۡنَ ﴿﴾
Apakah mereka tidak mengetahui
bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa pun yang mereka
sembunyikan dan apa pun yang mereka nyatakan? Dan di antara mereka ada yang buta huruf, mereka tidak
menge-tahui Alkitab kecuali beberapa
khayal-an palsu belaka, bahkan mereka tidak lain kecuali hanya menduga-duga. Maka celakalah
orang-orang yang menulis Alkitab dengan tangan mereka sendiri kemudian
berkata: “Ini dari sisi Allah”,
supaya dengan itu mereka memperoleh sedikit keuntungan. Maka celakalah mereka dise-babkan apa yang
ditulis oleh tangan mereka dan celakalah mereka karena apa yang mereka kerjakan. (Al-Baqarah
[78-80).
Ummiyyun dalam
ayat وَ مِنۡہُمۡ اُمِّیُّوۡنَ -- “Dan di antara mereka ada yang buta huruf” berarti mereka yang tidak mengetahui suatu
Kitab wahyu. Kata itu jamak dari ummiy yang berarti orang yang tidak
dapat membaca atau menulis. SElanjutnya dijelaskan bahwa ada orang-orang Yahudi yang menulis kitab-kitab atau bagian-bagiannya dan kemudian mengemukakannya sebagai Kalamullāh.
Perbuatan buruk itu telah biasa pada
orang-orang Yahudi, karena itu di
samping Kitab-kitab Bible ada
sejumlah kitab yang dianggap oleh
orang-orang Yahudi sebagai diwahyukan,
sehingga sekarang menjadi tidak mungkin membedakan Kitab-kitab Wahyu dari kitab
yang bukan-wahyu.
Semua
keburukan tersebut mereka
lakukan semata-mata demi kepentingan
dan keuntungan duniawi, dan mereka
pun termasuk dalam golongan orang-orang
yang “hatinya cenderung ke bumi”
sebagaimana firman-Nya di awal Bab ini sehubungan dengan Bal’am bin Baura (Bileam bin Beor): وَ لٰکِنَّہٗۤ اَخۡلَدَ اِلَی الۡاَرۡضِ وَ اتَّبَعَ
ہَوٰىہُ -- “akan
tetapi ia cenderung ke bumi dan
mengikuti hawa nafsunya”, yakni
mereka lebih menyukai hal-hal yang bersifat kebendaan -- pada khususnya kecintaan akan uang -- sebab pada hakikatnya
hanya semata-mata karena alasan kecintaan kepada “dunia”
itulah
para pemuka kaum di setiap zaman
melakukan pendustaan dan penentangan
terhadap para Rasul Allah dengan mengikuti keinginan hawa-nafsu
mereka, firman-Nya:
وَ اتۡلُ عَلَیۡہِمۡ نَبَاَ الَّذِیۡۤ اٰتَیۡنٰہُ
اٰیٰتِنَا فَانۡسَلَخَ مِنۡہَا فَاَتۡبَعَہُ الشَّیۡطٰنُ فَکَانَ مِنَ الۡغٰوِیۡنَ﴿﴾ وَ لَوۡ شِئۡنَا لَرَفَعۡنٰہُ بِہَا وَ لٰکِنَّہٗۤ اَخۡلَدَ اِلَی الۡاَرۡضِ وَ
اتَّبَعَ ہَوٰىہُ ۚ فَمَثَلُہٗ کَمَثَلِ
الۡکَلۡبِ ۚ اِنۡ تَحۡمِلۡ عَلَیۡہِ
یَلۡہَثۡ اَوۡ تَتۡرُکۡہُ یَلۡہَثۡ ؕ ذٰلِکَ مَثَلُ الۡقَوۡمِ الَّذِیۡنَ
کَذَّبُوۡا بِاٰیٰتِنَا ۚ فَاقۡصُصِ الۡقَصَصَ لَعَلَّہُمۡ یَتَفَکَّرُوۡنَ ﴿﴾ سَآءَ مَثَلَاۨ الۡقَوۡمُ الَّذِیۡنَ کَذَّبُوۡا بِاٰیٰتِنَا وَ
اَنۡفُسَہُمۡ کَانُوۡا یَظۡلِمُوۡنَ ﴿﴾
Dan ceritakanlah kepada mereka berita orang-orang yang telah Kami berikan
Tanda-tanda Kami kepadanya, lalu ia
melepaskan diri darinya maka syaitan
mengikutinya dan jadilah ia termasuk
orang-orang yang sesat. Dan seandainya
Kami menghendaki niscaya Kami meninggikan derajatnya dengan itu, akan tetapi ia cenderung ke bumi dan mengikuti hawa nafsunya, maka
keadaannya seperti seekor anjing yang
kehausan, jika engkau menghalaunya ia
menjulurkan lidahnya dan jika engkau
membiarkannya ia tetap menjulurkan lidahnya. Demikianlah misal orang-orang yang
mendustakan Tanda-tanda Kami, maka kisahkanlah
kisah ini supaya mereka
merenungkannya. Sangat buruk misal
orang-orang yang
mendustakan Tanda-tanda Kami, dan kepada
diri mereka sendirilah mereka berbuat zalim. (Al-A’rāf [7]:176-178).
Menjulurkan Seperti
Anjing
Makna yalhats dalam ayat selanjutnya فَمَثَلُہٗ
کَمَثَلِ الۡکَلۡبِ ۚ اِنۡ تَحۡمِلۡ
عَلَیۡہِ یَلۡہَثۡ اَوۡ تَتۡرُکۡہُ یَلۡہَثۡ -- “maka keadaannya seperti seekor anjing yang kehausan, jika engkau menghalaunya ia menjulurkan lidahnya dan jika engkau membiarkannya ia tetap menjulurkan lidahnya”, berasal dari kata lahatsa. yang berarti “nafasnya tersengal-sengal karena kelelahan
atau kepenatan.”
Yakni baik diminta ataupun tidak
untuk berkorban pada jalan agama, orang semacam itu nampaknya
terengah-engah seperti seekor anjing kehausan, seakan-akan beban pemberian pengorbanan yang terus menerus bertambah
membuatnya amat penat sekali. Benarlah firman-Nya:
فَمَنۡ یُّرِدِ
اللّٰہُ اَنۡ یَّہۡدِیَہٗ یَشۡرَحۡ
صَدۡرَہٗ لِلۡاِسۡلَامِ ۚ
وَ مَنۡ یُّرِدۡ اَنۡ یُّضِلَّہٗ یَجۡعَلۡ صَدۡرَہٗ
ضَیِّقًا حَرَجًا کَاَنَّمَا یَصَّعَّدُ
فِی السَّمَآءِ ؕ کَذٰلِکَ
یَجۡعَلُ اللّٰہُ الرِّجۡسَ عَلَی
الَّذِیۡنَ لَا یُؤۡمِنُوۡنَ ﴿﴾ وَ ہٰذَا صِرَاطُ رَبِّکَ مُسۡتَقِیۡمًا ؕ
قَدۡ فَصَّلۡنَا الۡاٰیٰتِ لِقَوۡمٍ
یَّذَّکَّرُوۡنَ ﴿﴾ لَہُمۡ دَارُ السَّلٰمِ عِنۡدَ
رَبِّہِمۡ وَ ہُوَ وَلِیُّہُمۡ بِمَا کَانُوۡا یَعۡمَلُوۡنَ ﴿﴾
Maka barangsiapa yang Allah
menghendaki akan memberi petunjuk kepadanya, Dia akan melapangkan dadanya untuk
Islam, sedangkan barangsiapa yang
Dia hendak menyesatkannya, Dia menjadikan dadanya sesak lagi sempit seakan-akan ia sedang naik ke langit. Seperti
itulah Allah menimpakan siksaan kepada
orang-orang yang tidak beriman. Dan inilah jalan Rabb (Tuhan) engkau yang
lurus, sesungguhnya Kami telah
menjelaskan Ayat-ayat bagi kaum yang suka mengambil pelajaran. Bagi mereka rumah
keselamatan di sisi Rabb (Tuhan) mereka dan Dia Pelindung mereka disebabkan apa yang senantiasa mereka kerjakan. (Al-An’ām [6]:126-128).
Makna ayat
وَ مَنۡ یُّرِدۡ اَنۡ یُّضِلَّہٗ یَجۡعَلۡ صَدۡرَہٗ ضَیِّقًا
حَرَجًا کَاَنَّمَا یَصَّعَّدُ فِی السَّمَآءِ -- “sedangkan barangsiapa yang Dia
hendak menyesatkannya, Dia menjadikan dadanya
sesak lagi sempit seakan-akan ia sedang naik ke langit”, yakni dia menganggap perintah-perintah Ilahi sebagai beban
dan dihadapkan kepada kesukaran jasmani
dan kesulitan mental dalam
melaksanakannya, seolah-olah dadanya
menyempit seperti orang sedang menaiki pendakian
terjal.
Berbagai Keadaan Para Pewaris Kitab Al-Quran
Memang benar, bahwa perjalanan
ruhani berupa pengamalan hukum-hukum
syariat -- terutama syariat Islam (Al-Quran) sebagaimana yang disunnahkan oleh Nabi Besar Muhammad saw. -- atau
pelaksanaan iman dan amal shaleh, merupakan suatu “perjalanan yang mendaki lagi sukar” menuju puncak kesempurnaan akhlak
dan ruhani, firman-Nya:
وَ الَّذِیۡۤ اَوۡحَیۡنَاۤ
اِلَیۡکَ مِنَ الۡکِتٰبِ ہُوَ
الۡحَقُّ مُصَدِّقًا لِّمَا بَیۡنَ یَدَیۡہِ ؕ اِنَّ اللّٰہَ بِعِبَادِہٖ لَخَبِیۡرٌۢ
بَصِیۡرٌ ﴿﴾ ثُمَّ اَوۡرَثۡنَا الۡکِتٰبَ
الَّذِیۡنَ اصۡطَفَیۡنَا مِنۡ عِبَادِنَا ۚ فَمِنۡہُمۡ ظَالِمٌ لِّنَفۡسِہٖ ۚ وَ
مِنۡہُمۡ مُّقۡتَصِدٌ ۚ وَ مِنۡہُمۡ سَابِقٌۢ بِالۡخَیۡرٰتِ بِاِذۡنِ اللّٰہِ ؕ
ذٰلِکَ ہُوَ الۡفَضۡلُ الۡکَبِیۡرُ ﴿ؕ﴾ جَنّٰتُ عَدۡنٍ
یَّدۡخُلُوۡنَہَا یُحَلَّوۡنَ فِیۡہَا مِنۡ اَسَاوِرَ مِنۡ ذَہَبٍ وَّ لُؤۡلُؤًا ۚ وَ
لِبَاسُہُمۡ فِیۡہَا حَرِیۡرٌ ﴿﴾
وَ قَالُوا الۡحَمۡدُ
لِلّٰہِ الَّذِیۡۤ اَذۡہَبَ عَنَّا
الۡحَزَنَ ؕ اِنَّ رَبَّنَا
لَغَفُوۡرٌ شَکُوۡرُۨ ﴿ۙ﴾ الَّذِیۡۤ اَحَلَّنَا
دَارَ الۡمُقَامَۃِ مِنۡ فَضۡلِہٖ
ۚ لَا یَمَسُّنَا فِیۡہَا نَصَبٌ وَّ لَا یَمَسُّنَا فِیۡہَا لُغُوۡبٌ ﴿﴾
Dan Kitab yang Kami wahyukan kepada engkau adalah kebenaran
yang menggenapi apa yang sebelumnya.
Sesungguhnya Allah terhadap hamba-hambanya
benar-benar Maha Mengetahui, Maha Melihat Kemudian Kitab
itu Kami wariskan kepada orang-orang
yang telah Kami pilih dari antara hamba-hamba
Kami, maka dari antara mereka sangat
zalim terhadap dirinya, dari antara mereka ada yang mengambil jalan tengah, dan dari antara mereka ada yang
unggul dalam kebaikan dengan izin Allah, itu adalah karunia
yang sangat besar. Ganjaran
mereka Kebun-kebun
abadi, mereka akan
memasuki-nya, di dalamnya mereka dihiasi
dengan gelang-gelang emas dan mutiara,
dan pakaian mereka di dalamnya adalah
sutera. Dan mereka berkata: “Segala puji bagi Allah, Yang telah
menjauhkan kesedihan dari kami. Sesungguhnya Rabb (Tuhan) kami benar-benar Maha Pengampun, Maha Menghargai, Yang
menempatkan kami di rumah abadi dari
karunia-Nya, kesulitan tidak menyentuh kami di dalamnya dan tidak
pula kelelahan menyentuh kami di dalamnya.” (Al-Fāthir [35]:32-36).
Seorang beriman melampaui
berbagai tingkat disiplin keruhanian
yang ketat. Pada tingkat pertama ia melancarkan peperangan yang sungguh-sungguh
terhadap keinginan dan nafsu rendahnya (nafs-Ammarah) serta
mengamalkan peniadaan diri secara
mutlak. Pada tingkat selanjutnya, kemajuan ke arah tujuannya hanya sebagian saja (nafs Lawwamah), dan pada tingkat terakhir ia mencapai taraf
akhlak sempurna, dan kemajuan ke arah tujuannya yang agung itu berlangsung
cepat sekali dan merata (nafs-al-Muthmainnah).
Kebebasan sepenuhnya dari setiap
corak perasaan takut dan cemas serta perasaan damai yang sempurna dalam alam pikiran dan kepuasan
hati berpadu dengan keridhaan
Allah Swt. merupakan tingkat tertinggi surga, yang telah dijanjikan
Al-Quran kepada orang-orang beriman di dunia ini dan di akhirat, sebagaimana
diperlihatkan oleh ayat ini dan ayat sebelumnya. Itulah makna ayat لَا یَمَسُّنَا فِیۡہَا نَصَبٌ وَّ لَا یَمَسُّنَا
فِیۡہَا لُغُوۡبٌ -- “kesulitan tidak menyentuh kami di dalamnya dan tidak
pula kelelahan menyentuh kami di dalamnya.”
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 13 Desember
2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar