Selasa, 14 Januari 2014

Allah Swt. Akan Menanyai Para Rasul Allah dan Kaum-kaum Para Rasul Allah



 بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ

Khazanah Ruhani Surah  Shād

Bab  120

  Allah Swt.   Akan  Menanyai Para Rasul Allah dan Kaum-kaum  Para Rasul Allah

Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

D
alam Akhir Bab sebelumnya  telah dikemukakan mengenai berbagai fitnah  yang muncul  -- di masa itu   dan juga di masa kemudian --  berkenaan pernikahan Nabi Besar Muhammad saw. dengan Sitti Zainab r.a., janda Zaid bin Haritsah  r.a. (QS.33:38-39),   Allah Swt. memberikan jawaban  berjenjang yang sangat telak, firman-Nya:
مَا کَانَ مُحَمَّدٌ اَبَاۤ  اَحَدٍ مِّنۡ رِّجَالِکُمۡ وَ لٰکِنۡ رَّسُوۡلَ اللّٰہِ وَ خَاتَمَ  النَّبِیّٖنَ ؕ وَ  کَانَ اللّٰہُ  بِکُلِّ شَیۡءٍ عَلِیۡمًا ﴿٪﴾
Muhammad bukanlah bapak salah seorang laki-laki di antara laki  kamu, akan tetapi ia adalah Rasul Allah dan Khātaman Nabiyyīn (meterai sekalian nabi), dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Al-Ahzāb [33]:39-40).
      Dalam ayat tersebut Allah Swt. melakukan tiga tingkatan pembelaan  terhadap fitnah yang dilontarkan para penentang di kalangan bangsa Arab, yaitu:
     (1) Bahwa Zaid bin Haritsah r.a. bukanlah anak kandung  Nabi Besar Muhammad saw. melainkan sebagai bakas “anak angkat”, oleh karena itu antara keduanya tidak ada hubungan darah,  sehingga pernikahan Nabi Besar Muhammad saw.  dengan Sitti Zainab r.a.  janda Zaid bin Haritsah r.a. --   tidak akan mengacaukan silsilah keluarga.
      (2) Nabi Besar Muhammad saw. adalah seorang Rasul Allah, yang mendapat tugas dari Allah Swt, untuk mengajarkan  kebenaran (haq) dan menghapuskan kebatilan -- termasuk adat istiadat bangsa Arab jahiliyah yang melarang ayah angkat menikahi janda anak-angkatnya --  sebab  menurut mereka kedudukan anak angkat sama dengan anak kandung, padahal tidak demikian (QS.33:5-6).
      (3)  Nabi Besar Muhammad saw. bukan sekedar Rasul Allah  pembawa syariat, tetapi juga Rasul Allah yang bergelar Khātaman Nabiyyīn, yang salah satu maknanya adalah “mahkota para rasul  atau “rasul yang paling mulia”. Oleh karena itu mustahil beliau saw. melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allah Swt..

Berbagai Makna  Kata “Khātam” &
 Orang yang Abtar (Terputus Keturunannya)

    Khātam berasal dari kata khatama yang berarti: ia memeterai, mencap, mensahkan atau mencetakkan pada barang itu. Inilah arti-pokok kata itu. Adapun arti kedua ialah: ia mencapai ujung benda itu; atau menutupi benda itu, atau melindungi apa yang tertera dalam tulisan dengan memberi tanda atau mencapkan secercah tanah liat di atasnya, atau dengan sebuah meterai jenis apa pun.
     Khātam berarti juga sebentuk cincin stempel; sebuah segel, atau meterai dan sebuah tanda; ujung atau bagian terakhir dan hasil atau anak (cabang) suatu benda. Kata itu pun berarti hiasan atau perhiasan; terbaik atau paling sempurna. Kata-kata khatim, khatm dan khatam hampir sama artinya (Lexicon Lane, Al-Mufradat, Al-Fath-ul-Bari, dan Zurqani). Jadi,  kata khātaman nabiyyin akan berarti: meterai para nabi; yang terbaik dan paling sempurna dari antara nabi-nabi; hiasan dan perhiasan nabi-nabi. Arti kedua ialah nabi terakhir.
     Di Mekkah pada waktu semua putra  Nabi Besar Muhammad saw.   telah meninggal dunia semasa masih kanak-kanak, musuh-musuh beliau saw. mengejek beliau seorang abtar (yang tidak mempunyai anak laki-laki), yang berarti karena ketiadaan ahliwaris lelaki itu untuk menggantikan beliau, jemaat beliau saw.  cepat atau lambat akan menemui kesudahan (Muhith).
      Sebagai jawaban terhadap ejekan orang-orang kafir, secara tegas Allah Swt. menyatakan dalam Surah Al-Kautsar bahwa bukan Nabi Besar Muhammad saw.melainkan musuh-musuh beliaulah yang abtar (tidak akan berketurunan). Sesudah Surah Al-Kautsar diturunkan, tentu saja terdapat anggapan di kalangan kaum Muslimin di zaman permulaan bahwa Nabi Besar Muhammad saw.  akan dianugerahi anak-anak lelaki yang akan hidup sampai dewasa. 
       Ayat yang sedang dibahas ini (QS.33:41) menghilangkan salah paham itu, sebab ayat ini menyatakan bahwa Nabi Besar Muhammad saw. --  baik sekarang maupun dahulu ataupun di masa yang akan datang -- bukan atau tidak pernah akan menjadi bapak seorang orang lelaki dewasa (rijal berarti pemuda).
     Dalam pada itu ayat QS.33:41 ini nampaknya bertentangan dengan Surah Al-Kautsar, yang di dalamnya bukan Nabi Besar Muhammad saw., melainkan musuh-musuh beliau yang diancam dengan tidak akan berketurunan (abtar), tetapi sebenarnya berusaha menghilangkan keragu-raguan dan prasangka-prasangka terhadap timbulnya arti yang kelihatannya bertentangan itu.
      Ayat QS.33:41  mengatakan bahwa   Nabi Besar Muhammad saw. adalah rasul Allah, yang mengandung arti bahwa beliau adalah bapak ruhani seluruh umat manusia (QS.33:7) dan beliau saw. juga Khātaman Nabiyyīn, yang maksudnya bahwa beliau saw. adalah bapak ruhani seluruh nabi juga. Maka bila  Nabi Besar Muhammad saw. merupakan  bapak ruhani semua orang beriman dan semua nabi Allah, betapa beliau  saw. dapat disebut abtar atau tak berketurunan.

Berbagai Makna Gelar “Khātaman Nabiyyīn

     Apabila ungkapan ini diambil dalam arti bahwa Nabi Besar Muhammad saw. itu nabi yang terakhir, dan bahwa tidak ada nabi akan datang sesudah beliau saw., maka ayat ini akan nampak sumbang bunyinya dan tidak mempunyai pertautan dengan konteks ayat, dan daripada menyanggah ejekan orang-orang kafir bahwa Nabi Besar Muhammad saw.   tidak berketurunan )abtar),  malahan mendukung dan menguatkannya.
        Pendek kata, menurut arti yang tersimpul dalam kata khātam seperti dikatakan di atas, maka ungkapan Khātaman Nabiyyīn dapat mempunyai kemungkinan empat macam arti:
     (1)  Nabi Besar Muhammad saw.    adalah meterai para nabi, yakni, tidak ada nabi dapat dianggap benar kalau kenabiannya tidak bermeteraikan  (distempel) Nabi Besar Muhammad saw..    Kenabian semua nabi yang sudah lampau harus dikuatkan dan disahkan oleh  Nabi Besar Muhammad saw.    dan juga tidak ada seorang pun yang dapat mencapai tingkat kenabian sesudah beliau saw., kecuali dengan menjadi pengikut beliau (QS.3:32; QS.4:70-71; QS.33:22.
     (2)  Nabi Besar Muhammad saw.    adalah Rasul Allah  yang terbaik, termulia, dan paling sempurna dari antara semua nabi dan juga beliau saw. adalah sumber hiasan bagi mereka (Zurqani, Syarah Muwahib al-Laduniyyah).
    (3)  Nabi Besar Muhammad saw. adalah yang terakhir di antara para nabi pembawa syari'at. Penafsiran ini telah diterima oleh para ulama terkemuka, orang-orang suci dan waliullah seperti Ibn ‘Arabi, Syah Waliullah, Imam ‘Ali Qari, Mujaddid Alf Tsani, dan lain-lain.
      Menurut ulama-ulama besar dan para waliullah itu, tidak ada nabi dapat datang sesudah  Nabi Besar Muhammad saw.    yang dapat memansukhkan (membatalkan) millah beliau atau yang akan datang dari luar umat beliau (Futuhat-al-Makiyyah, Tafhimat, Maktubat, dan Yawaqit wa’l Jawahir).
     Sitti Aisyah r.a.   istri  Nabi Besar Muhammad saw., yang amat berbakat menurut riwayat pernah mengatakan: “Katakanlah bahwa beliau (Rasulullah saw.)  adalah Khātaman Nabiyyīn, tetapi janganlah mengatakan tidak akan ada nabi lagi sesudah beliau” (Mantsur).
      (4)  Nabi Besar Muhammad saw.   . adalah nabi yang terakhir (Akhirul Anbiya) hanya dalam arti kata bahwa semua nilai dan sifat kenabian terjelma dengan sesempurna-sempurnanya dan selengkap-lengkapnya dalam diri beliau saw.: khatam dalam arti sebutan terakhir untuk menggambarkan kebagusan dan kesempurnaan, adalah sudah lazim dipakai.
      Lebih-lebih Al-Quran dengan jelas mengatakan tentang bakal diutusnya nabi-nabi sesudah  Nabi Besar Muhammad saw.    wafat (QS.7:35-36; QS.62:3-4; QQ.61:10). Nabi Besar Muhammad saw.  sendiri jelas mempunyai tanggapan mengenai berlanjutnya kenabian sesudah beliau saw.. Menurut riwayat, beliau saw.pernah bersabda: “Seandainya Ibrahim (putra beliau) masih hidup, niscaya ia akan menjadi nabi” (Majah, Kitab al-Jana’iz) dan: “Abu Bakar adalah sebaik-baik orang sesudahku, kecuali bila ada seorang nabi muncul” (Kanz-ul-Umal).
    Jadi, kembali kepada   kepedulian dan keprihatinan  Nabi Besar Muhammad saw. yang luarbiasa   dalam  firman-Nya:
لَعَلَّکَ بَاخِعٌ نَّفۡسَکَ اَلَّا یَکُوۡنُوۡا مُؤۡمِنِیۡنَ ﴿﴾  اِنۡ نَّشَاۡ نُنَزِّلۡ عَلَیۡہِمۡ مِّنَ السَّمَآءِ  اٰیَۃً فَظَلَّتۡ اَعۡنَاقُہُمۡ  لَہَا خٰضِعِیۡنَ ﴿﴾  
Boleh jadi engkau akan membinasakan diri sendiri  karena mereka tidak mau beriman.  Jika Kami menghendaki, Kami dapat menurunkan kepada mereka suatu Tanda dari langit  sehingga leher-leher mereka akan tertunduk kepadanya. (Asy-Syu’arā [26]:4-5). 
       Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa  kesedihan  dan kepihatinan Nabi Besar Muhammad saw.  tidak akan sia-sia. Jika kaumnya tidak berhenti menentang beliau saw., mereka akan didatangi oleh Tanda hukuman, yang akan merendahkan dan menghinakan para  pemimpin mereka. Sebagaimana telah dijelaskan dalam Bab-bab sebelumnya bahwa makna lain   anaq (leher) sama dengan wujh (wajah)  yang berarti pemimpin-pemimpin (Lexicon Lane).
      Itulah beberapa contoh “pujian khusus” Allah Swt. kepada Nabi Besar Muhammad saw.,  yang oleh orang-orang jahil  dianggap sebagai teguran atau celaan atau peringatan Allah Swt. kepada beliau saw.  padahal bukan.
      Kenapa  Nabi Besar Muhammad saw. melakukan semua hal itu? Sebab beliau saw. mengetahui bahwa Allah Swt. akan menanyakan --- yakni meminta pertanggungjawaban --  baik kepada para Rasul Allah mau pun kepada kaum-kaum yang kepada mereka para Rasul Allah telah  diutus  (QS.7:35-37), firman-Nya:
یَوۡمَ یَجۡمَعُ اللّٰہُ الرُّسُلَ فَیَقُوۡلُ مَا ذَاۤ اُجِبۡتُمۡ ؕ قَالُوۡا لَا عِلۡمَ  لَنَا ؕ اِنَّکَ اَنۡتَ عَلَّامُ  الۡغُیُوۡبِ﴿﴾
Ingatlah hari ketika Allah  mengumpulkan para rasul lalu Dia berfirman: ”Apakah jawaban    yang  diberikan kaum kamu kepada kamu?” Mereka akan berkata: “Tidak ada pengetahuan pada kami, sesungguhnya Engkau-lah Yang Maha Mengetahui yang gaib.”  (Al-Māidah [5]:110). Lihat QS.7:7; QS.28:66.
       Jawaban dari rasul-rasul mengandung arti bahwa maksud pertanyaan Allah Swt. tersebut bukan untuk memperoleh keterangan dari mereka atau menambah pengetahuan-Nya, akan tetapi maksudnya ialah mereka harus memberikan kesaksian terhadap orang-orang kafir, seperti juga jelas dari  firman-Nya berikut ini:  
فَکَیۡفَ اِذَا جِئۡنَا مِنۡ کُلِّ اُمَّۃٍۭ بِشَہِیۡدٍ وَّ جِئۡنَا بِکَ عَلٰی ہٰۤؤُلَآءِ شَہِیۡدًا ﴿ؕ﴾ یَوۡمَئِذٍ یَّوَدُّ الَّذِیۡنَ کَفَرُوۡا وَ عَصَوُا الرَّسُوۡلَ لَوۡ تُسَوّٰی بِہِمُ الۡاَرۡضُ ؕ وَ لَا یَکۡتُمُوۡنَ اللّٰہَ  حَدِیۡثًا﴿٪﴾
Maka bagaimana keadaan mereka  apabila Kami mendatangkan seorang saksi dari setiap umat, dan Kami  mendatangkan engkau sebagai saksi terhadap mereka ini semuanya?   Pada hari itu  orang-orang  kafir dan yang mendurhakai Rasul,  mereka menginginkan seandainya bumi disamaratakan  dengan mereka, dan mereka tidak akan dapat menyembunyikan sesuatu apa pun  dari Allah. (An-Nisa [4]:42-43). 
       Tiap-tiap nabi (rasul) Allah akan menjadi saksi pada Hari Pembalasan mengenai tanggapan kaum yang terhadap mereka beliau diutus sebagai rasul. Kata  mereka ini mencakup orang-orang beriman  dan orang-orang kafir hanya saja sifat kesaksian itu akan berbeda dalam perkara-perkara yang berlainan.

Reaksi  Nabi Besar Muhammad Saw. Ketika Mendengar
Surah An-Nisa ayat 42 yang Ditilawatkan Seorang Sahabah

       Berkenaan dengan firman Allah Swt. tersebut,  dalam  hadits Bukhari  diterangkan bagaimana  reaksi  Nabi Besar Muhammad saw. ketika beliau saw. mendengar ayat  An-Nisa ayat 42  ditilawatkan oleh salah seorang sahabat beliau saw.. Ada pun terjemahan hadits tersebut adalah:
Telah menceritakan kepada kami Shadaqah, telah mengabarkan kepada kami Yahya dari Sufyan dari Sulaiman dari Ibrahim dari 'Abidah dari 'Abdullah berkata; Yahya -- sebagian Hadits -- dari 'Amru bin Murrah dia berkata: Nabi shallallāhu 'alaihi wasallam bersabda kepadaku: "Bacakanlah Al-Quran kepadaku.” Aku berkata: Bagaimana aku membacakan kepada engkau, padahal Al-Quran diturunkan kepada engkau? Beliau menjawab: "Sesungguhnya aku suka mendengarkannya dari orang lain." Lalu aku membacakan kepada beliau surat An Nisa hingga tatkala sampai ayat:
فَکَیۡفَ اِذَا جِئۡنَا مِنۡ کُلِّ اُمَّۃٍۭ بِشَہِیۡدٍ وَّ جِئۡنَا بِکَ عَلٰی ہٰۤؤُلَآءِ شَہِیۡدًا
 Maka bagaimanakah apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan engkau (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu”   (An Nisa; 42),   Beliau berkata: 'Cukup.' Dan ternyata beliau mencucurkan air mata (menangis)” (Hadits Bhukhari No.4216).
     Jadi, betapa besarnya tanggungjawab para Rasul Allah – terutama Nabi Besar Muhammad saw.,  itulah sebabnya dalam  mengemban (memikul) “amanat” (syariat Islam)  tersebut beliau saw. dalam melaksanakannya benar-benar telah berlaku zalum (sangat aniaya)  dan jahil (sangat abai) terhadap diri beliau saw. sendiri (QS.33:73),  firman-Nya:
لَعَلَّکَ بَاخِعٌ نَّفۡسَکَ اَلَّا یَکُوۡنُوۡا مُؤۡمِنِیۡنَ ﴿﴾  اِنۡ نَّشَاۡ نُنَزِّلۡ عَلَیۡہِمۡ مِّنَ السَّمَآءِ  اٰیَۃً فَظَلَّتۡ اَعۡنَاقُہُمۡ  لَہَا خٰضِعِیۡنَ ﴿﴾  
Boleh jadi engkau akan membinasakan diri sendiri  karena mereka tidak mau beriman.  Jika Kami menghendaki, Kami dapat menurunkan kepada mereka suatu Tanda dari langit  sehingga leher-leher mereka akan tertunduk kepadanya. (Asy-Syu’arā [26]:4-5). 
    Hasil dari perjuangan suci yang Nabi Besar Muhammad saw. yang sangat luar-biasa tersebut  adalah Allah Swt. menyatakan  Nabi Besar Muhammad saw. sebagai “suri teladan terbaik” (QS.33:22), firman-Nya:
لَقَدۡ کَانَ لَکُمۡ  فِیۡ رَسُوۡلِ اللّٰہِ  اُسۡوَۃٌ حَسَنَۃٌ  لِّمَنۡ کَانَ یَرۡجُوا اللّٰہَ وَ الۡیَوۡمَ  الۡاٰخِرَ  وَ ذَکَرَ  اللّٰہَ  کَثِیۡرًا ﴿ؕ﴾
Sungguh dalam  diri Rasulullah benar-benar terdapat  suri teladan yang sebaik-baiknya bagi kamu, yaitu bagi  orang yang mengharapkan Allah dan Hari Akhir,  dan bagi yang banyak mengingat Allah. (Al-Ahzāb [33]:22).

Peringatan Keras Allah Swt. Terhadap Ajaran Paulus

     Demikian juga Allah Swt. pun akan bertanya -- yakni meminta pertanggungjawaban  -- kepada  para rasul Allah lainnya, termasuk Nabi Isa Ibnu Maryam a.s., sehubungan dengan  munculnya  ajaran Paulus mengenai Trinitas dan Penebusan Dosa, firman-Nya:
وَ قَالُوا  اتَّخَذَ  الرَّحۡمٰنُ  وَلَدًا ﴿ؕ﴾   لَقَدۡ  جِئۡتُمۡ  شَیۡئًا  اِدًّا ﴿ۙ﴾  تَکَادُ السَّمٰوٰتُ یَتَفَطَّرۡنَ مِنۡہُ وَ تَنۡشَقُّ الۡاَرۡضُ وَ تَخِرُّ الۡجِبَالُ ہَدًّا ﴿ۙ﴾ اَنۡ  دَعَوۡا  لِلرَّحۡمٰنِ  وَلَدًا ﴿ۚ﴾  وَ مَا یَنۡۢبَغِیۡ لِلرَّحۡمٰنِ اَنۡ  یَّتَّخِذَ  وَلَدًا ﴿ؕ﴾  اِنۡ کُلُّ مَنۡ فِی السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ  اِلَّاۤ اٰتِی  الرَّحۡمٰنِ  عَبۡدًا ﴿ؕ﴾  لَقَدۡ  اَحۡصٰہُمۡ  وَ عَدَّہُمۡ  عَدًّا ﴿ؕ﴾  وَ  کُلُّہُمۡ  اٰتِیۡہِ  یَوۡمَ الۡقِیٰمَۃِ   فَرۡدًا ﴿﴾
Dan mereka  berkata: "Tuhan Yang Maha Pemurah telah meng­ambil seorang anak laki-laki."   Sungguh  kamu benar-benar telah mengucapkan sesuatu  yang  sa-ngat mengerikan.   Hampir-hampir seluruh langit pecah   karenanya, bumi terbelah, dan gunung­-gunung runtuh berkeping-keping,  karena mereka menyatakan   Tuhan Yang Maha Pemurah punya  anak laki-laki.   Padahal sekali-kali tidak layak bagi Tuhan Yang  Maha Pemurah, mengambil seorang anak laki-laki.   Tidak  ada seorang pun di se­luruh  langit dan bumi melainkan ia akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah sebagai hamba.  Sungguh Dia benar-benar  mengetahui jumlah  mereka dan menghitung mereka dengan   menyeluruh.   Dan setiap mereka akan datang kepada-Nya pada Hari Kiamat sendiri-sendiri. (Maryam [18]:89-96).

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar,   17 Desember    2013




Tidak ada komentar:

Posting Komentar