Rabu, 22 Januari 2014

Makna "Diinul-Qayyimah" (Agama yang Lurus) & Peringatan Allah Swt. kepada Umat Islam di Akhir Zaman



 بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ

Khazanah Ruhani Surah  Shād

Bab  130

Makna Dīnul-Qayyimah  (Agama yang Lurus) & Peringatan Allah Swt. Kepada Umat Islam di Akhir Zaman

Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

D
alam Akhir Bab sebelumnya  telah dikemukakan mengenai  makna ayat  Surah Al-Bayyinah   فِیۡہَا کُتُبٌ قَیِّمَۃٌ   -- “yang di dalamnya ada perintah-perintah abadi” (QS.98:4), bahwa semua cita-cita, asas-asas luhur, peraturan-peraturan, dan perintah-perintah yang mengandung kemanfaatan abadi bagi manusia telah dimasukkan ke dalam Al-Quran, seolah-olah Al-Quran berperan sebagai penjaga atas kitab-kitab lama dan bebas dari semua cacat dan noda yang terdapat pada kitab-kitab itu. Itulah sebabnya Allah Swt. telah memberikan jaminan pemeliharaan-Nya terhadap Al-Quran, firman-Nya:
اِنَّا نَحۡنُ نَزَّلۡنَا الذِّکۡرَ  وَ  اِنَّا  لَہٗ  لَحٰفِظُوۡنَ ﴿﴾
Sesungguhnya  Kami-lah Yang  menurunkan peringatan ini, dan sesungguhnya Kami-lah pemeliharanya.  (Al-Hijr [15]:10).
    Janji mengenai perlindungan dan penjagaan Al-Quran yang diberikan Allah Swt. dalam ayat ini telah genap dengan cara yang sangat menakjubkan, sehingga sekalipun andaikata tidak ada bukti-bukti lainnya, kenyataan ini saja niscaya sudah cukup membuktikan  bahwa Al-Quran itu berasal dari Allah Swt..
    Surah Al-Hijr  diturunkan di Mekkah (Noldeke pun mengakuinya), ketika kehidupan Nabi Besar Muhammad saw.   beserta para pengikut beliau saw. sangat morat-marit keadaannya, dan musuh-musuh dengan mudah dapat menghancurkan agama yang baru itu.

Kegagalan Upaya Para Penentang Al-Quran
dari Kalangan Ahli Kitab

     Ketika itulah orang-orang kafir ditantang untuk mengerahkan segenap tenaga mereka guna menghancurkan Islam, dan mereka diperingatkan bahwa Allah Swt.  akan menggagalkan segala tipu-daya mereka sebab Dia sendirilah Penjaganya. Tantangan itu terbuka dan tidak samar-samar, sedangkan keadaan musuh kuat lagi kejam, kendatipun demikian Al-Quran tetap selamat dari perubahan, penyisipan, dan pengurangan   -- seperti yang terjadi dalam Kitab-kitab suci sebelumnya --  serta senantiasa terus-menerus menikmati penjagaan Allah Swt. yang sempurna.
Keistimewaan Al-Quran yang demikian itu tidak dimiliki oleh Kitab-kitab lainnya yang diwahyukan sebelumnya, karena memang missi  KItab-kitab suci yang diwahyukan sebelum Al-Quran  bukan saja bersikap kaumi (hanya untuk kaum tertentu) tetapi juga waktu  berlakunya  terbatas
     Sir William Muir, sarjana ahli kritik yang tersohor, karena sikapnya memusuhi Islam, berkata: “Kita dapat menetapkan berdasarkan dugaan yang paling keras, bahwa tiap-tiap ayat dalam Al-Quran itu asli dan merupakan gubahan Muhammad sendiri yang tidak mengalami perubahan ...................... Ada jaminan yang kuat, baik dari dalam Alquran maupun dari luar, bahwa kita memiliki teks yang Muhammad sendiri siarkan dan pergunakan ...................... Membandingkan teks asli mereka yang tidak mengalami perubahan itu dengan berbagai naskah kitab-kitab suci kita, adalah membandingkan hal-hal yang antaranya tidak ada persamaan (Introduction to “The Life of Mohammad”).
      Prof. Noldeke, ahli ketimuran besar yang berkebangsaan Jerman menulis sebagai berikut, “Usaha-usaha dari para sarjana Eropa untuk membuktikan adanya sisipan-sisipan dalam Al-Quran di masa kemudian, telah gagal” (Encyclopaedia Britannica). Kebalikannya, kegagalan mutlak dari Dr. Mingana, beberapa tahun berselang, untuk mencari-cari kelemahan dalam kemurnian teks Al-Quran, membuktikan dengan pasti kebenaran da'wa kitab itu, bahwa di antara semua kitab suci yang diwahyukan, hanya Al-Quranlah yang seluruhnya tetap kebal dari penyisipan atau campur-tangan manusia.  

Sanggahan Terhadap Misi Rasul Allah sebagai “Bukti yang Nyata”

     Selanjutnya Allah Swt. berfirman dalam Surah Al-Bayyinah ayat 5 mengenai  tanggapan kalangan Ahlikitab   terhadap kedatangan “Bayyinah” (Rasul Allah)   -- dalam hal ini Nabi  Besar Muhammad saw. --  firman-Nya:
وَ مَا تَفَرَّقَ الَّذِیۡنَ اُوۡتُوا الۡکِتٰبَ  اِلَّا مِنۡۢ  بَعۡدِ مَا جَآءَتۡہُمُ  الۡبَیِّنَۃُ ؕ﴿﴾وَ مَاۤ  اُمِرُوۡۤا  اِلَّا لِیَعۡبُدُوا اللّٰہَ مُخۡلِصِیۡنَ لَہُ  الدِّیۡنَ ۬ۙ حُنَفَآءَ وَ یُقِیۡمُوا الصَّلٰوۃَ  وَ یُؤۡتُوا الزَّکٰوۃَ وَ ذٰلِکَ دِیۡنُ الۡقَیِّمَۃِ ؕ﴿﴾
Dan  orang-orang yang diberi Kitab  tidak berpecah-belah kecuali setelah datang kepada mereka bukti yang nyata.  Padahal mereka tidak diperintahkan melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan tulus ikhlas dalam ketaatan  kepada-Nya dan dengan lurus, serta mendirikan shalat dan membayar zakat, dan itulah agama yang lurus. (Al-Bayyinah [98]:5-6).
Ketika Nabi Besar Muhammad saw. diutus sebagai misal Nabi Musa a.s. (Ulangan 18-15-19; QS.46:11)  pada umumnya  golongan Ahlikitab masih mempercayai Allah Swt. sebagai Tuhan sembahan mereka dan  tetap melaksanakan sembahyang (shalat) dan ritual-ritual keagamaan sebagaimana yang diperintahkan Taurat, sehingga mereka   -- dan orang-orang yang seperti mereka – dapat mengajukan sanggahan bahwa buat apa datang lagi Rasul Allah kepada mereka?
Firman Allah Swt. dalam Surah Al-Bayyinah ayat 5-6 menjawab sanggahan mereka, yaitu:
(1) Walau pun  merekz adalah   orang-orang yang mempercayai Nabi Musa a.s. dan Taurat yang diwahyukan kepada beliau a.s. yang mengajarkan Tauhid Ilahi, tetapi dalam kenyataannya mereka pun telah pula “mempertuhankan” wajud-wujud selain Allah Swt., sehingga mereka itu telah terjerumus ke dalam kemusyrikan (QS.9:30-31).
(2) Bukti kemusyrikan mereka itu diperkuat dengan terpecah-belahnya mereka menjadi   berbagai firqah (sekte) yang saling bertentangan, sebab sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa kemusyrikan identik dengan keterpecah-belahan umat beragama.
(3) Untuk tujuan membawa mereka kembali kepada Tauhid Ilahi yang murni    -- yang dibuktikan  dengan kembalinya mereka  menjadi “satu umat yang hanya menyembah “Tuhan Yang Maha Esa  secara  tulus-ikhlas dan lurus  serta mendirikan shalat dan membayar zakat itulah -- maka Allah Swt. telah mengutus “Bayyinnah” (Bukti yang nyata), yaitu Nabi Besar Muhammad saw.,  sebab   وَ ذٰلِکَ دِیۡنُ الۡقَیِّمَۃِ  -- “dan itulah agama yang lurus”, firman-Nya:
وَ مَا تَفَرَّقَ الَّذِیۡنَ اُوۡتُوا الۡکِتٰبَ  اِلَّا مِنۡۢ  بَعۡدِ مَا جَآءَتۡہُمُ  الۡبَیِّنَۃُ ؕ﴿﴾وَ مَاۤ  اُمِرُوۡۤا  اِلَّا لِیَعۡبُدُوا اللّٰہَ مُخۡلِصِیۡنَ لَہُ  الدِّیۡنَ ۬ۙ حُنَفَآءَ وَ یُقِیۡمُوا الصَّلٰوۃَ  وَ یُؤۡتُوا الزَّکٰوۃَ وَ ذٰلِکَ دِیۡنُ الۡقَیِّمَۃِ ؕ﴿﴾
Dan  orang-orang yang diberi Kitab  tidak berpecah-belah kecuali setelah datang kepada mereka bukti yang nyata.  Padahal mereka tidak diperintahkan melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan tulus ikhlas dalam ketaatan  kepada-Nya dan dengan lurus, serta mendirikan shalat dan membayar zakat, dan itulah agama yang lurus. (Al-Bayyinah [98]:5-6).

Makna “Agama yang Lurus” &
Peringatan kepada Umat Islam

Makna Dīn dalam ayat    وَ ذٰلِکَ دِیۡنُ الۡقَیِّمَۃِ  -- “dan itulah agama yang lurus”,    berarti: ketaatan; penguasaan; perintah; rencana; ketakwaan; kebiasaan atau adat; perilaku atau tindak-tanduk (Lexicon Lane).
Mengisyaratkan kepada missi kedatangan “Bayyinah” (bukti yang nyata)   yakni Rasul Allah     itu pulalah peringatan Allah Swt. kepada umat Islam  -- terutama di Akhir Zaman ini -- dalam firman-Nya berikut ini:
یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰہَ حَقَّ تُقٰتِہٖ وَ لَا تَمُوۡتُنَّ  اِلَّا وَ اَنۡتُمۡ  مُّسۡلِمُوۡنَ ﴿﴾  وَ اعۡتَصِمُوۡا بِحَبۡلِ اللّٰہِ جَمِیۡعًا وَّ لَا تَفَرَّقُوۡا ۪ وَ اذۡکُرُوۡا نِعۡمَتَ اللّٰہِ عَلَیۡکُمۡ  اِذۡ  کُنۡتُمۡ اَعۡدَآءً فَاَلَّفَ بَیۡنَ قُلُوۡبِکُمۡ فَاَصۡبَحۡتُمۡ بِنِعۡمَتِہٖۤ اِخۡوَانًا ۚ وَ کُنۡتُمۡ عَلٰی شَفَا حُفۡرَۃٍ مِّنَ النَّارِ فَاَنۡقَذَکُمۡ مِّنۡہَا ؕ کَذٰلِکَ یُبَیِّنُ اللّٰہُ لَکُمۡ اٰیٰتِہٖ  لَعَلَّکُمۡ  تَہۡتَدُوۡنَ ﴿﴾  
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan takwa yang sebenar-benarnya, dan  janganlah sekali-kali kamu mati kecuali kamu dalam keadaan berserah  diri.  Dan  berpegangteguhlah kamu sekalian pada tali  Allah, janganlah kamu berpecah-belah,  dan ingatlah akan nikmat Allah atas kamu ketika kamu dahulu bermusuh-musuhan, lalu   Dia menyatukan hatimu dengan kecintaan  antara satu sama lain maka  dengan nikmat-Nya itu kamu menjadi bersaudara, dan (padahal)  kamu dahulu berada di tepi jurang Api  lalu Dia menyelamatkan kamu darinya. Demikianlah Allah menjelaskan Ayat-ayat-Nya kepada  kamu supaya kamu mendapat petunjuk. (Ali ‘Imran [3]:103-104).
 Ayat   یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰہَ حَقَّ تُقٰتِہٖ وَ لَا تَمُوۡتُنَّ  اِلَّا وَ اَنۡتُمۡ  مُّسۡلِمُوۡنَ      --  “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan takwa yang sebenar-benarnya, dan  janganlah sekali-kali kamu mati kecuali kamu dalam keadaan berserah  diri” (Ali ‘Imran [3]:103-104), saling menjelaskan dengan firman-Nya dalam Surah Al-Bayyinah ayat 6  وَ مَاۤ  اُمِرُوۡۤا  اِلَّا لِیَعۡبُدُوا اللّٰہَ مُخۡلِصِیۡنَ لَہُ  الدِّیۡنَ ۬ۙ حُنَفَآءَ وَ یُقِیۡمُوا الصَّلٰوۃَ  وَ یُؤۡتُوا الزَّکٰوۃَ وَ ذٰلِکَ دِیۡنُ الۡقَیِّمَۃِ  --  “Padahal mereka tidak diperintahkan melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan tulus ikhlas dalam ketaatan  kepada-Nya dan dengan lurus, serta mendirikan shalat dan membayar zakat, dan itulah agama yang lurus.”
      Karena kedatangan saat kematian tidak diketahui,  orang-orang beriman dapat berkeyakinan akan mati dalam keadaan berserah  diri kepada Allah (muslimūn) hanya bila diri mereka senantiasa tetap dalam keadaan menyerahkan diri kepada-Nya, yakni اتَّقُوا اللّٰہَ حَقَّ تُقٰتِہٖ    -- “bertakwalah kepada Allah dengan takwa yang sebenar-benarnya.
     Jadi  firman Allah Swt. dalam QS.3:103   itu mengandung arti bahwa orang-orang beriman  -- terutama sekali umat Islam sebagai “umat yang  terbaik yang dijadikan untuk kepentingan seluruh umat manusia” (QS.2:144; QS.3:111) – mereka harus senantiasa tetap patuh kepada Allah Swt..
     Sikap sebagai Muslim hakiki seperti itu  (muslimūn)  hanya mungkin mereka laksanakan  jika mereka menerima “bayyinah” (bukti yang nyata) yakni  beriman kepada Rasul Allah  yang diutus di Akhir Zaman ini yang dibangkitkan Allah Swt. di kalangan umat Islam untuk mewujudkan kembali kejayaan Islam yang kedua kali (QS.6:10; QS.62:3-4), firman-Nya: 
وَ مَا تَفَرَّقَ الَّذِیۡنَ اُوۡتُوا الۡکِتٰبَ  اِلَّا مِنۡۢ  بَعۡدِ مَا جَآءَتۡہُمُ  الۡبَیِّنَۃُ ؕ﴿﴾وَ مَاۤ  اُمِرُوۡۤا  اِلَّا لِیَعۡبُدُوا اللّٰہَ مُخۡلِصِیۡنَ لَہُ  الدِّیۡنَ ۬ۙ حُنَفَآءَ وَ یُقِیۡمُوا الصَّلٰوۃَ  وَ یُؤۡتُوا الزَّکٰوۃَ وَ ذٰلِکَ دِیۡنُ الۡقَیِّمَۃِ ؕ﴿﴾
Dan  orang-orang yang diberi Kitab  tidak berpecah-belah kecuali setelah datang kepada mereka bukti yang nyata.  Padahal mereka tidak diperintahkan melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan tulus ikhlas dalam ketaatan  kepada-Nya dan dengan lurus, serta mendirikan shalat dan membayar zakat, dan itulah agama yang lurus. (Al-Bayyinah [98]:5-6).

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar,   28  Desember    2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar