ۡ بِسۡمِ
اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah
Ruhani Surah Shād
Bab 22
Sabda Nabi Besar Muhammad saw. tentang
Para Pemuka Agama Islam
di Akhir Zaman dan Politik “Devide
et Impera” yang Dilakukan Fir’aun
Oleh
Ki Langlang Buana
Kusuma
D
|
alam akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan mengenai kesedihan Rasul
Akhir Zaman yang dibangkitkan di kalangan umat Islam, ketika melihat
keadaan kaumnya, firman-Nya:
وَ قَالَ الرَّسُوۡلُ یٰرَبِّ اِنَّ قَوۡمِی
اتَّخَذُوۡا ہٰذَا الۡقُرۡاٰنَ مَہۡجُوۡرًا ﴿﴾ وَ کَذٰلِکَ جَعَلۡنَا لِکُلِّ
نَبِیٍّ عَدُوًّا مِّنَ الۡمُجۡرِمِیۡنَ ؕ وَ کَفٰی بِرَبِّکَ ہَادِیًا وَّ
نَصِیۡرًا ﴿﴾
Dan Rasul
itu berkata: “Ya Tuhan-ku, sesungguhnya
kaumku telah menjadikan Al-Quran ini sesuatu yang telah ditinggalkan.”
Dan demikianlah Kami telah menjadikan musuh bagi
tiap-tiap nabi dari antara orang-orang
yang berdosa, dan cukuplah Tuhan
engkau sebagai pemberi petunjuk
dan penolong. (Al-Furqān [25]:31-32).
Sabda Nabi Besar Muhammad Saw. tentang
Keadaan Umumnya Umat Islam di Akhir Zaman
Ayat
ini dengan sangat tepat sekali dapat dikenakan kepada mereka yang menamakan
diri orang-orang Muslim tetapi telah
menyampingkan Al-Quran dan telah
melemparkannya ke belakang. Barangkali belum pernah terjadi selama 14 abad ini
di mana Al-Quran demikian rupa diabaikan dan dilupakan oleh orang-orang Muslim
seperti dewasa ini.
Ada sebuah hadits Nabi Besar Muhammad saw. yang mengatakan: “Satu saat akan datang kepada kaumku, bila tidak ada yang tinggal dari Islam melainkan namanya dan dari Al-Quran
melainkan kata-katanya” (Baihaqi,
Syu’ab-ul-iman). Sungguh masa sekarang-sekarang
inilah saat yang dimaksudkan itu. Terjemahan Hadits tersebut selengkapnya
berbunyi:
Akan
datang pada manusia suatu zaman, ketika itu Islam tidak tinggal kecuali namanya,
Al-Qur’an tidak tinggal kecuali tulisannya, masjid-masjid megah namun kosong
dari petunjuk, ulama mereka (‘ulama-uhum) termasuk orang
paling jelek (syarrun) yang berada di bawah
langit , karena dari meraka timbul bebrapa fitnah
dan akan kembali pada dirinya“ (H.R.
Baihaqi dari Ali R.A).
Menurut Wali Allah besar, Muhyiddin Ibnu ‘Arabi bahwa ‘ulama-uhum (ulama mereka) itulah -- yakni para fuqaha (ahli fiqih) -- yang paling memusuhi Imam Mahdi a.s. atau Al-Masih Mau’ud a.s. ketika beliau muncul di Akhir Zaman ini untuk melakukan tugas sebagai “Hakim yang
adil” berdasarkan petunjuk Al-Quran dan Sunnah Nabi Besar Muhammad saw. yang sebenarnya.
Sebenarnya dari pernyataan Nabi Besar Muhammad saw. dalam hadits
tersebut mengenai mereka: ‘ulama-uhum syarrun merupakan
pernyataan yang jelas mengenai penolakan Nabi Besar Muhammad saw.. mengenai keilmuan mereka yang
dinisbahkan kepada beliau saw.
Kenapa
demikian? Sebab mengenai ulama Islam yang hakiki (QS.35:28-29), Nabi Besar Muhammad saw. menyebut mereka sebagai ‘ulama ummati (ulama
umatku) kal-anbiyaa-i
bani Israil (seperti nabi-nabi Bani Israil), yaitu para wali Allah besar dan para mujaddid Islam, yang pada zamannya orang-orang suci tersebut
telah dijatuhi fatwa kafir dan sesat
oleh ‘ulama-uhum (ulama mereka) di zamannya masing-masing,
contohnya Imam Syafi’i r.a., Imam
Ghazali r.a., Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jailani r.a., dan lain-lain, seperti halnya para nabi Allah di kalangan Bani Israil telah
diperlakukan sangat
buruk
oleh para pemuka agama Yahudi (Ahli Taurat dan orang-orang Farisi) bahkan di
antara mereka ada yang dibunuh, contohnya Nabi Zakaria a.s. dan Nabi Yahya a.s. (QS.2:88-89; Matius 23:29-39).
Demikian
pula halnya dengan penolakan keras Nabi Isa
Ibnu Maryam a.s. terhadap orang-orang
yang menganggap telah melakukan “jasa
besar” kepada beliau dengan melakukan berbagai hal atas nama beliau sebagai “tuhan”:
7:21 Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga,
melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga. 7:22 Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, bukankah kami
bernubuat demi nama-Mu, dan mengusir
setan demi nama-Mu, dan mengadakan
banyak mujizat demi nama-Mu juga? 7:23 Pada waktu itulah Aku akan
berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan! " (Matius 7:21-23).
Dalam makna yang sama, Nabi Besar Muhammad
saw. pun telah bersabda tentang
orang-orang yang mengaku sebagai “umat
beliau saw.”, tetapi beliau saw. dengan tegas menyatakan, “Aku bukan dari mereka, dan mereka
itu bukan dariku!”. Terjemahan hadits tersebut adalah:
Jabir Ibnu ‘Abdillah berkata bahwa Rasulullah saw
bersabda, kepada Ka’ab Ibnu Ujrah: “Wahai Ka’ab Ibnu Ujrah, aku mencari
lindungan Allah untuk engkau daripada kepimpinan
orang bodoh. Akan ada penguasa, siapa saja yang datang kepada mereka
kemudian membantu mereka dalam kezaliman
dan membenarkan pembohongan mereka,
maka dia bukan dari golonganku
dan aku bukan dari golongannya, dan
tidak membantu mereka dalam kezaliman mereka, tidak juga membenarkan kebohongan
mereka, maka dia dari golonganku dan
aku dari golongannya, dia akan
diizinkan menuju ke Haud (Telaga Rasulullah saw. di surga).” (Dikoleksi
oleh Ahmad, Al-Bazzar, Ibnu Hibban; Al-Bany dalam “Shahih At-Targhib wat Tarhib”,
Hadits No 2243)..
Penyesalan (Kesadaran Ruhani) yang
Senantiasa Terlambat Seperti Fir’aun
Berikut adalah gambaran – dan juga nubuatan (kabar gaib) – mengenai nasib buruk orang-orang yang mendustakan dan menentang Rasul
Akhir Zaman
pada saat missi suci Rasul Akhir Zaman --
mewujudkan kejayaan Islam yang kedua kali (QS.61:10) -- memperoleh kesuksesan, firman-Nya:
وَ یَوۡمَ تَشَقَّقُ السَّمَآءُ بِالۡغَمَامِ وَ
نُزِّلَ الۡمَلٰٓئِکَۃُ تَنۡزِیۡلًا ﴿﴾ اَلۡمُلۡکُ یَوۡمَئِذِۣ الۡحَقُّ
لِلرَّحۡمٰنِ ؕ وَ کَانَ یَوۡمًا عَلَی الۡکٰفِرِیۡنَ عَسِیۡرًا ﴿﴾ وَ
یَوۡمَ یَعَضُّ الظَّالِمُ عَلٰی
یَدَیۡہِ یَقُوۡلُ یٰلَیۡتَنِی اتَّخَذۡتُ مَعَ الرَّسُوۡلِ سَبِیۡلًا ﴿﴾ یٰوَیۡلَتٰی لَیۡتَنِیۡ لَمۡ
اَتَّخِذۡ فُلَانًا خَلِیۡلًا ﴿﴾ لَقَدۡ
اَضَلَّنِیۡ عَنِ الذِّکۡرِ بَعۡدَ اِذۡ جَآءَنِیۡ ؕ وَ کَانَ الشَّیۡطٰنُ
لِلۡاِنۡسَانِ خَذُوۡلًا ﴿﴾
Kerajaan
yang haq
pada hari itu milik Yang
Maha Pemurah, dan azab pada hari itu atas orang-orang kafir sangat keras. Dan pada
hari itu orang zalim akan menggigit-gigit kedua tangannya lalu berkata: ”Wahai alangkah baiknya jika aku mengambil jalan bersama dengan Rasul
itu. Wahai celakalah aku, alangkah
baiknya seandainya aku tidak menjadikan
si fulan itu sahabat. Sungguh ia benar-benar telah melalaikanku dari
mengingat kepada Allah sesudah
ia datang kepa-daku.” Dan syaitan selalu
menelantarkan manusia. (Al-Furqān
[25]:27-30).
Kemudian dalam ayat selanjutnya Allah
Swt. berfirman mengenai Rasul Akhir Zaman yang didustakan
tersebut:
وَ قَالَ الرَّسُوۡلُ یٰرَبِّ اِنَّ قَوۡمِی
اتَّخَذُوۡا ہٰذَا الۡقُرۡاٰنَ مَہۡجُوۡرًا ﴿﴾ وَ کَذٰلِکَ جَعَلۡنَا لِکُلِّ
نَبِیٍّ عَدُوًّا مِّنَ الۡمُجۡرِمِیۡنَ ؕ وَ کَفٰی بِرَبِّکَ ہَادِیًا وَّ
نَصِیۡرًا ﴿﴾
Dan Rasul
itu berkata: “Ya Tuhan-ku, sesungguhnya
kaumku telah menjadikan Al-Quran ini sesuatu yang telah ditinggalkan.”
Dan demikianlah Kami telah menjadikan musuh bagi
tiap-tiap nabi dari antara orang-orang
yang berdosa, dan cukuplah Tuhan
engkau sebagai pemberi petunjuk
dan penolong. (Al-Furqān [25]:31-32).
Menyesalnya orang-orang yang mendustakan
Rasul Akhir Zaman tersebut sebenarnya merupakan penyesalan yang terlambat karena kesadaran mereka dari kesalahannya
sama dengan kesadaran Fir’aun yang baru beriman kepada “Tuhannya Bani Israil” ketika
akan tenggelam di lautan, dalam rangka melakukan tindakan terakhir untuk menghabisi
Nabi Musa a.s. dan Bani Israil yang sedang menyebrang lautan menuju “Tanah yang dijanjikan”, firman-Nya:
وَ قَالَ مُوۡسٰی رَبَّنَاۤ اِنَّکَ اٰتَیۡتَ
فِرۡعَوۡنَ وَ مَلَاَہٗ زِیۡنَۃً وَّ اَمۡوَالًا فِی الۡحَیٰوۃِ الدُّنۡیَا ۙ
رَبَّنَا لِیُضِلُّوۡا عَنۡ سَبِیۡلِکَ ۚ رَبَّنَا اطۡمِسۡ عَلٰۤی اَمۡوَالِہِمۡ
وَ اشۡدُدۡ عَلٰی قُلُوۡبِہِمۡ فَلَا یُؤۡمِنُوۡا حَتّٰی یَرَوُا
الۡعَذَابَ الۡاَلِیۡمَ ﴿﴾ قَالَ قَدۡ اُجِیۡبَتۡ
دَّعۡوَتُکُمَا فَاسۡتَقِیۡمَا وَ لَا تَتَّبِعٰٓنِّ سَبِیۡلَ الَّذِیۡنَ لَا یَعۡلَمُوۡنَ ﴿﴾ وَ
جٰوَزۡنَا بِبَنِیۡۤ اِسۡرَآءِیۡلَ
الۡبَحۡرَ فَاَتۡبَعَہُمۡ فِرۡعَوۡنُ وَ جُنُوۡدُہٗ بَغۡیًا وَّ عَدۡوًا ؕ حَتّٰۤی اِذَاۤ اَدۡرَکَہُ الۡغَرَقُ ۙ قَالَ اٰمَنۡتُ
اَنَّہٗ لَاۤ اِلٰہَ اِلَّا الَّذِیۡۤ اٰمَنَتۡ بِہٖ بَنُوۡۤا
اِسۡرَآءِیۡلَ وَ اَنَا مِنَ الۡمُسۡلِمِیۡنَ ﴿۹۰﴾ آٰلۡـٰٔنَ
وَ قَدۡ عَصَیۡتَ قَبۡلُ وَ کُنۡتَ مِنَ الۡمُفۡسِدِیۡنَ﴿﴾ فَالۡیَوۡمَ نُنَجِّیۡکَ
بِبَدَنِکَ لِتَکُوۡنَ لِمَنۡ خَلۡفَکَ
اٰیَۃً ؕ وَ اِنَّ کَثِیۡرًا مِّنَ النَّاسِ عَنۡ
اٰیٰتِنَا لَغٰفِلُوۡنَ ﴿٪﴾
Dan
Musa berkata: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau
telah memberikan kepada Fir’aun dan para
pembesarnya perhiasan dan kekayaan dalam
kehidupan dunia, ya Tuhan kami, dengan
akibat bahwa mereka menyesatkan orang dari jalan Engkau. Ya Tuhan
kami, musnahkanlah kekayaan
mereka dan keraskanlah hati
mereka maka mereka tidak akan beriman hingga
mereka melihat azab yang pedih.” Dia berfirman: “Sungguh doa kamu berdua telah dikabulkan,
maka bersikap teguhlah kamu berdua
dan janganlah kamu mengikuti jalan
orang-orang yang tidak mengetahui.” Dan Kami
telah membuat Bani Israil menyeberangi laut, lalu Fir’aun
dan lasykar-lasykarnya me-ngejar mereka
secara durhaka dan aniaya, sehingga apabila
ia menjelang tenggelam ia berkata: “Aku
percaya, sesungguhnya Dia tidak ada Tuhan kecuali yang dipercayai oleh Bani
Israil, dan aku termasuk orang-orang yang berserah diri kepada-Nya.”
Apa, sekarang baru beriman?
Padahal engkau telah membangkang sebelum ini, dan engkau termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan. Maka pada hari ini Kami akan menyelamatkan
engkau hanya badan engkau, supaya engkau menjadi suatu Tanda bagi
orang-orang sesudah engkau, dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia benar-benar lengah
terhadap Tanda-tanda Kami.” (Yunus [10]:89-93).
Fir’aun Mencari
“Tuhan Musa di Langit” tetapi
Menemukan-Nya
di Lautan
Berbagai Tanda (mukjizat) telah diperlihatkan oleh Nabi Musa a.s. di hadapan Fair’aun dan para pembesarnya
(QS.17:102-105; QS.27:8-15), tetapi raja
yang takabur tersebut tetap tidak mempercayai
Nabi Musa a.s. dan Nabi Harun a.s.
sebagai Rasul Allah dan dan
menganggap keduanya sebagai sihir (QS.10:77; QS.20:64), dan menganggap
dirinya sebagai “tuhan yang tinggi”
bagi kaumnya, berikut firman Allah SWt. kepada Nabi Besar Muhammad saw.
mengenai hal terebut:
ہَلۡ اَتٰىکَ
حَدِیۡثُ مُوۡسٰی ﴿ۘ﴾ اِذۡ نَادٰىہُ
رَبُّہٗ بِالۡوَادِ الۡمُقَدَّسِ طُوًی ﴿ۚ﴾ اِذۡہَبۡ
اِلٰی فِرۡعَوۡنَ اِنَّہٗ طَغٰی ﴿۫ۖ﴾ فَقُلۡ ہَلۡ لَّکَ
اِلٰۤی اَنۡ تَزَکّٰی ﴿ۙ﴾ وَ
اَہۡدِیَکَ اِلٰی رَبِّکَ
فَتَخۡشٰی ﴿ۚ﴾ فَاَرٰىہُ
الۡاٰیَۃَ الۡکُبۡرٰی ﴿۫ۖ﴾ فَکَذَّبَ وَ عَصٰی ﴿۫ۖ﴾ ثُمَّ اَدۡبَرَ
یَسۡعٰی ﴿۫ۖ﴾ فَحَشَرَ
فَنَادٰی ﴿۫ۖ﴾ فَقَالَ اَنَا رَبُّکُمُ
الۡاَعۡلٰی ﴿۫ۖ﴾ فَاَخَذَہُ اللّٰہُ
نَکَالَ الۡاٰخِرَۃِ وَ الۡاُوۡلٰی
﴿ؕ﴾ اِنَّ فِیۡ ذٰلِکَ لَعِبۡرَۃً لِّمَنۡ
یَّخۡشٰی ﴿ؕ٪﴾
Apakah
sudah sampai kepada engkau kisah Musa?
Ketika Tuhan-nya memanggil dia di lembah
suci Thuwā, Allah berfirman: “Pergilah
engkau kepada Fir’aun sesungguhnya ia
telah melampaui batas, maka katakanlah: “Adakah pada diri engkau keinginan untuk mensucikan diri? Dan
aku akan menunjuki engkau kepada Tuhan
engkau supaya engkau takut.” Maka dia (Musa) memperlihatkan kepadanya Tanda yang besar, tetapi ia
mendustakan dan mendurhakai, kemudian ia
berpaling seraya berusaha menantang,
maka ia menghimpunkan kaumnya dan
berseru, lalu berkata: “Akulah tuhan kamu yang paling tinggi.” Maka Allah menyergapnya de-ngan siksaan di
akhirat dan di dunia. Sesungguhnya dalam hal itu benar-benar ada pelajaran bagi orang yang takut. (An-Nāzi’āt [79]:16-27).
Terhadap seruan Nabi Musa a.s. yang dikemukakan oleh salah seorang dari keluarga Fir’aun yang telah beriman kepada Nabi Musa a.s. tersebut
(QS.40:24-36), Fir’aun menanggapinya dengan sikap
takabbur, firman-Nya:
وَ قَالَ فِرۡعَوۡنُ یٰہَامٰنُ ابۡنِ لِیۡ صَرۡحًا لَّعَلِّیۡۤ اَبۡلُغُ
الۡاَسۡبَابَ ﴿ۙ﴾ اَسۡبَابَ السَّمٰوٰتِ
فَاَطَّلِعَ اِلٰۤی اِلٰہِ مُوۡسٰی وَ اِنِّیۡ لَاَظُنُّہٗ
کَاذِبًا ؕ وَ کَذٰلِکَ زُیِّنَ
لِفِرۡعَوۡنَ سُوۡٓءُ عَمَلِہٖ وَ صُدَّ عَنِ السَّبِیۡلِ ؕ وَ مَا کَیۡدُ
فِرۡعَوۡنَ اِلَّا فِیۡ تَبَابٍ ﴿٪﴾
Dan
Fir’aun berkata:”Hai Haman, dirikanlah
bagiku suatu bangun-an tinggi supaya aku
dapat mencapai sarana untuk naik, sarana
untuk mencapai langit, supaya aku dapat
memandang Tuhan Musa, dan sesungguhnya aku menganggap dia benar-benar
seorang pendusta!” Dan demikianlah ditampakkan
indah bagi Fir’aun kebu-rukan amalnya dan ia dihalangi dari jalan yang benar. Dan sekali-kali tidaklah tipu-daya Fir’aun melainkan mengakibatkan kerugian. (Al-Mu’mīn
[40]:37-38).
Fir’aun berkata dengan nada mencemooh bahwa ia ingin naik ke langit supaya dapat mengintip Tuhan Musa, namun Allah Swt. membuatnya melihat penampakan kekuasaan-Nya di dasar laut,
sebagaimana firman-Nya mengenai raja yang sangat takabbur tersebut:
حَتّٰۤی اِذَاۤ اَدۡرَکَہُ الۡغَرَقُ ۙ قَالَ اٰمَنۡتُ
اَنَّہٗ لَاۤ اِلٰہَ اِلَّا الَّذِیۡۤ اٰمَنَتۡ بِہٖ بَنُوۡۤا
اِسۡرَآءِیۡلَ وَ اَنَا مِنَ الۡمُسۡلِمِیۡنَ ﴿﴾ آٰلۡـٰٔنَ وَ قَدۡ عَصَیۡتَ قَبۡلُ
وَ کُنۡتَ مِنَ الۡمُفۡسِدِیۡنَ ﴿﴾
“…sehingga
apabila ia menjelang tenggelam ia
berkata: “Aku percaya, sesungguhnya Dia
tidak ada Tuhan kecuali yang dipercayai oleh Bani Israil, dan
aku termasuk orang-orang yang berserah
diri kepada-Nya.” Apa, sekarang baru beriman? Padahal engkau
telah membangkang sebelum ini, dan
engkau termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan. (Yunus [10]:91-92).
Fir’aun
dan Politik “Devide et Impera”
Salah satu resep kesuksesan dinasti Fir’aun menguasai wilayah
kerajaaan Mesir selama ratusan tahun -- sampai diutusnya Nabi Musa a.s. dan Nabi
Harun a.s. untuk membebaskan Bani Israil
yang berada di Mesir selama 400 tahun sejak zaman Nabi Yusuf a.s.
menjadi salah seorang penjabat tinggi di kerajaan Mesir (QS.12:55-102; Kejadian
15:12-16) dari cengkraman kezaliman
Fir’aun -- adalah karena mereka melakukan
politik “devide et impera” (memecah-belah
dan menjajah), sebagaimana yang dilakukan lagi sekitar 3500 tahun kemudian
oleh kerajaan-kerajaan
Kristen dari Barat di berbagai
wilayah jajahan mereka di berbagai benua,
termasuk di Nusantara oleh VOC
(Belanda), firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾ طٰسٓمّٓ ﴿﴾ تِلۡکَ اٰیٰتُ الۡکِتٰبِ
الۡمُبِیۡنِ ﴿﴾ نَتۡلُوۡا
عَلَیۡکَ مِنۡ نَّبَاِ مُوۡسٰی وَ فِرۡعَوۡنَ بِالۡحَقِّ لِقَوۡمٍ
یُّؤۡمِنُوۡنَ ﴿﴾ اِنَّ
فِرۡعَوۡنَ عَلَا فِی الۡاَرۡضِ وَ جَعَلَ اَہۡلَہَا شِیَعًا یَّسۡتَضۡعِفُ
طَآئِفَۃً مِّنۡہُمۡ یُذَبِّحُ
اَبۡنَآءَہُمۡ وَ یَسۡتَحۡیٖ نِسَآءَہُمۡ ؕ اِنَّہٗ کَانَ مِنَ الۡمُفۡسِدِیۡنَ ﴿﴾ وَ نُرِیۡدُ
اَنۡ نَّمُنَّ عَلَی الَّذِیۡنَ اسۡتُضۡعِفُوۡا فِی الۡاَرۡضِ وَ نَجۡعَلَہُمۡ
اَئِمَّۃً وَّ نَجۡعَلَہُمُ
الۡوٰرِثِیۡنَ ۙ﴿﴾ وَ
نُمَکِّنَ لَہُمۡ فِی الۡاَرۡضِ وَ نُرِیَ فِرۡعَوۡنَ وَ ہَامٰنَ وَ جُنُوۡدَہُمَا
مِنۡہُمۡ مَّا کَانُوۡا یَحۡذَرُوۡنَ ﴿﴾
Aku
baca dengan
nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang. طٰسٓمّٓ (Maha Suci, Maha Mendengar, Maha Mulia). Inilah
ayat-ayat Kitab yang jelas. Kami membacakan kepada engkau berita
mengenai Musa dan Fir’aun
dengan benar untuk kaum yang beriman. Sesungguhnya Fir’aun berlaku sombong di bumi
dan ia menjadikan penduduknya bergolongan-golongan, ia berusaha melemahkan segolongan dari mereka dengan menyembelih anak-anak laki-laki
mereka, dan membiarkan hidup
perempuan-perempuan mereka, sesungguhnya ia termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan. Dan Kami hendak memberikan karunia kepada orang-orang
yang dianggap lemah di bumi dan menjadikan mereka pemimpin-pemimpin dan
menjadikan mereka ahli waris karunia-karunia
Kami. Dan Kami mapankan mereka di bumi dan Kami
perlihatkan kepada Fir’aun serta Haman dan lasykar
keduanya apa yang mereka khawatirkan dari mereka itu. (Al-Qashash
[28]:1-7).
Politik divide et impera (memecah-belah
dan menjajah) dengan akibatnya yang sangat mematikan
-- seperti dijalankan kekuatan-kekuatan kaum kolonial barat di abad kedua puluh ini -- agaknya di zaman Fir’aun telah dijalankan juga
olehnya dengan sukses besar. Ia telah
memecah-belah rakyat Mesir ke dalam
beberapa partai dan golongan serta dengan busuk hati telah
membuat perbedaan kelas di antara
mereka. Beberapa di antara mereka dianak-emaskannya dan yang lain diperas dan ditindas.
Kaum Nabi Musa
a.s. yakni Bani Israil termasuk kelas (golongan) yang tidak beruntung. Kata-kata menyembelih anak-anak laki-laki mereka dan
membiarkan hidup perempuan-perempuan mereka, kecuali mengandung pengertian
yang jelas, bahwa agar supaya orang-orang Bani
Israil selamanya tunduk di bawah
kekuasaannya, Fir’aun membinasakan kaum
pria mereka dan membiarkan hidup
perempuan-perempuan mereka, dapat juga diartikan bahwa dengan politik menjajah dan menindas tanpa belas kasihan itu ia
berikhtiar membunuh sifat-sifat kejantanan mereka dan dengan demikian
membuat mereka jadi pengalah seperti perempuan.
Kezaliman Menghasilkan Nemesis-nya (Pembalasannya)
Makna
firman-Nya:
وَ نُرِیۡدُ اَنۡ نَّمُنَّ عَلَی الَّذِیۡنَ
اسۡتُضۡعِفُوۡا فِی الۡاَرۡضِ وَ نَجۡعَلَہُمۡ اَئِمَّۃً وَّ نَجۡعَلَہُمُ الۡوٰرِثِیۡنَ ۙ﴿﴾ وَ
نُمَکِّنَ لَہُمۡ فِی الۡاَرۡضِ
“Dan
Kami hendak memberikan karunia kepada orang-orang
yang dianggap lemah di bumi dan menjadikan mereka pemimpin-pemimpin dan
menjadikan mereka ahli waris karunia-karunia
Kami. Dan Kami mapankan mereka di bumi” (QS.28:6-7).
Ketika
upaya merendahkan derajat orang-orang
Bani Israil di Mesir itu mencapai titik
yang serendah-rendahnya, dan kezaliman
Fir’aun dan bangsanya kian meluap-luap, dan Allah Swt., sesuai dengan
hikmah-Nya yang tidak mungkin keliru memutuskan bahwa penindas-penindas
itu harus dihukum dan mereka yang diperbudak dibebaskan, maka Dia mengutus
Nabi Musa a.s. Gejala yang terjadi di masa tiap-tiap utusan Allah, menampakkan
perwujudan sepenuhnya dan seindah-indahnya di masa kenabian Rasulullah saw.. Selanjutnya berfirman:
وَ نُرِیَ فِرۡعَوۡنَ وَ ہَامٰنَ وَ جُنُوۡدَہُمَا
مِنۡہُمۡ مَّا کَانُوۡا یَحۡذَرُوۡنَ
“….
dan Kami
perlihatkan kepada Fir’aun serta Haman dan lasykar
keduanya apa yang mereka khawatirkan dari mereka itu.” (Al-Qashash
[28]:7).
Haman
adalah gelar pendeta agung dewa Amon; “ham” di dalam bahasa Mesir
berarti, pendeta agung. Dewa Amon menguasai semua dewa Mesir lainnya. Haman adalah kepala khazanah dan lumbung
negeri, dan juga yang mengepalai lasykar-lasykar
dan semua ahli pertukangan di
Thebes. Namanya adalah Nubunnef, dan
ia pendeta agung di bawah Rameses II dan putranya yang bernama Merenptah.
Karena menjadi
kepala organisasi kependetaan yang
sangat kaya, merangkum semua pendeta
di seluruh negeri, kekuasaannya dan wibawanya telah meningkat sedemikian rupa,
sehingga ia menguasai suatu partai
politik yang sangat berpengaruh, dan bahkan mempunyai suatu pasukan pribadi
(“A story of Egypt” oleh
James Henry Breasted, Ph.D).
Haman juga dikatakan sebagai nama seorang menteri dari
Ahasuerus, seorang raja Persia, yang hidup pada beberapa abad sesudah zaman
Nabi Musa a.s.. Tidak ada sesuatu yang patut diherankan atau menjadi keberatan
adanya dua orang yang masing-masing hidup di zaman yang berlainan memakai nama
yang sama.
Jadi makna ayat وَ
نُمَکِّنَ لَہُمۡ فِی الۡاَرۡضِ وَ نُرِیَ فِرۡعَوۡنَ وَ ہَامٰنَ وَ جُنُوۡدَہُمَا
مِنۡہُمۡ مَّا کَانُوۡا یَحۡذَرُوۡنَ -- “Dan Kami mapankan mereka di bumi dan Kami
perlihatkan kepada Fir’aun serta Haman dan lasykar
keduanya apa yang mereka khawatirkan dari mereka itu”,
yaitu bahwa perbudakan dan kezaliman
menghasilkan nemesis-nya (pembalasan
keadilannya) sendiri; dan kaum penjajah
dan penindas tak pernah merasa aman terhadap kemungkinan munculnya pemberontakan terhadap mereka oleh
orang-orang yang terjajah, tertindas atau tertekan. Lebih hebat penindasan dari seseorang yang zalim, lebih besar pula ketakutannya akan pemberontakan dari mereka yang dijajah. Fir’aun pun dicekam oleh rasa
takut semacam itu.
(Bersambung)
Rujukan: The
Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 15 September
2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar