ۡ بِسۡمِ
اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah
Ruhani Surah Shād
Bab 28
Makna
“Rayap Bumi” yang Memakan “Tongkat”
Nabi Sulaiman a.s. & Makna “Jin” dan
“Syaitan” yang Dipekerjakan Nabi Daud a.s. dan Nabi Sulaiman a.s.
Oleh
Ki Langlang Buana
Kusuma
D
|
alam akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan mengenai
dua macam “perkumpulan rahasia”
yang tujuannya berbeda dalam firman Allah Swt.:
وَ اتَّبَعُوۡا مَا تَتۡلُوا الشَّیٰطِیۡنُ عَلٰی مُلۡکِ سُلَیۡمٰنَ ۚ وَ مَا کَفَرَ
سُلَیۡمٰنُ وَ لٰکِنَّ الشَّیٰطِیۡنَ کَفَرُوۡا یُعَلِّمُوۡنَ النَّاسَ السِّحۡرَ
٭ وَ مَاۤ اُنۡزِلَ عَلَی الۡمَلَکَیۡنِ بِبَابِلَ ہَارُوۡتَ وَ مَارُوۡتَ ؕ وَ مَا یُعَلِّمٰنِ مِنۡ اَحَدٍ
حَتّٰی یَقُوۡلَاۤ اِنَّمَا نَحۡنُ فِتۡنَۃٌ فَلَا تَکۡفُرۡ ؕ فَیَتَعَلَّمُوۡنَ
مِنۡہُمَا مَا یُفَرِّقُوۡنَ بِہٖ بَیۡنَ الۡمَرۡءِ وَ زَوۡجِہٖ ؕ وَ مَا ہُمۡ بِضَآرِّیۡنَ بِہٖ مِنۡ اَحَدٍ اِلَّا بِاِذۡنِ اللّٰہِ ؕ وَ یَتَعَلَّمُوۡنَ
مَا یَضُرُّہُمۡ وَ لَا یَنۡفَعُہُمۡ ؕ وَ لَقَدۡ عَلِمُوۡا لَمَنِ اشۡتَرٰىہُ مَا
لَہٗ فِی الۡاٰخِرَۃِ مِنۡ خَلَاقٍ ۟ؕ وَ لَبِئۡسَ مَا شَرَوۡا بِہٖۤ اَنۡفُسَہُمۡ
ؕ لَوۡ کَانُوۡا یَعۡلَمُوۡنَ ﴿﴾
Dan mereka mengikuti apa yang diikuti oleh
syaitan-syaitan yakni para pemberontak di masa kerajaan
Sulaiman, dan bukan Sulaiman yang
kafir melainkan syaitan-syaitan itulah yang kafir, mereka mengajarkan sihir kepada manusia. Tetapi mereka itu
mengaku mengikuti apa yang telah diturunkan kepada dua malaikat, Harut dan Marut, di Babil.
Dan keduanya tidaklah mengajar seorang
pun hingga mereka mengatakan: “Sesungguhnya kami hanya cobaan dari
Tuhan, karena itu janganlah kamu kafir.” Lalu orang-orang belajar dari keduanya hal yang
dengan itu mereka membuat pemisahan di antara laki-laki dan istrinya, dan mereka sekali-kali tidak mendatangkan mudarat kepada seorang
pun dengan itu kecuali dengan seizin Allah,
sedangkan mereka ini belajar hal
yang mendatangkan mudarat kepada diri mereka dan tidak bermanfaat baginya.
Dan sungguh mereka benar-benar mengetahui bahwa barangsiapa berniaga dengan cara ini niscaya tidak ada baginya
suatu bagian keuntungan di akhirat, dan benar-benar sangat buruk hal yang untuk itu mereka
menjual dirinya, seandainya mereka mengetahui. (Al-Baqarah [2]:103).
“Jasad Tanpa Nyawa” Duduk di “Singgasana”
Nabi Sulaiman
Kenyataan
bahwa pertama, nenek-moyang mereka
pun telah melancarkan komplotan terhadap Nabi Sulaiman a.s., ketika beberapa anggota masyarakatnya
telah mendirikan perkumpulan-perkumpulan
rahasia melawan beliau. Di dalam perkumpulan-perkumpulan
rahasia itu diajarkan lambang-lambang
dan sandi-sandi (I Raja-raja
11:29-32; I Raja-raja 11:14, 23, 26; II Tawarikh 10:2-4). Mereka itulah yang disebut “syaitan-syaitan” yang mengajarkan “sihir” (QS.1:103).
Kejadian kedua ketika mereka menghidupkan kembali perkumpulan-perkumpulan rahasia ialah pada waktu mereka masih dalam
tawanan di Babil pada zaman Raja
Nebukadnezar. Di bawah pimpinan dua orang suci (dua malaikat) -- Harut dan Marut.
Orang-orang suci yang disinggung
dalam ayat ini ialah Nabi Hijai, dan Zakaria bin Ido (Ezra 5:1). Orang-orang suci itu membatasi keanggotaan perkumpulan rahasia tersebut
pada kaum pria, dan menerangkan
kepada para anggota baru pada waktu
upacara pelantikan bahwa mereka itu semacam cobaan
dari Tuhan, dan bahwa oleh karena itu kaum
Bani Israil di Babilonia hendaknya jangan
mengingkari apa-apa yang dikatakan mereka.
Ketika kekuasaan Cyrus — raja Media dan Persia — bangkit,
orang-orang Bani Israil mengadakan perjanjian
rahasia dengan beliau. Hal demikian sangat mempermudah untuk mengalahkan Babil. Sebagai imbalan atas jasa itu, Cyrus
bukan saja mengizinkan mereka kembali ke Yeruzalem,
tetapi membantu mereka pula dalam
pembangunan kembali Rumah Peribadatan
Nabi Sulaiman a.s. (Historians’
History of the World, ii 126).
Ayat 103 ini mengisyaratkan bahwa
upaya-upaya kaum Yahudi pada dua peristiwa yang telah lewat itu telah
membawa hasil-hasil berlainan. Pada
peristiwa pertama, komplotan mereka
bertujuan untuk melawan Nabi Sulaiman
a.s. dan disudahi dengan kehilangan
seluruh kewibawaan dan akhirnya
mereka dibuang ke Babil, sebagai akibat dari kutukan
Nabi Daud a.s. (QS.5:79-81).
Mengenai keruntuhan kerajaan Bani
Israil setelah Nabi Sulaiman a.s. wafat,
diisyaratkan dalam bentuk perumpamaan
(kiasan) dalam Al-Quran, pertama digambarkan para pewaris kerajaannya sebagai
“jasad tak bernyawa” yang “duduk
di atas singgasana”, yang
mengisyaratkan kelemahan akhlak dan ruhani para raja Bani Israil setelah Nabi Sulaiman
a.s. wafat, firman-Nya:
وَ لَقَدۡ فَتَنَّا سُلَیۡمٰنَ وَ اَلۡقَیۡنَا عَلٰی کُرۡسِیِّہٖ جَسَدًا ثُمَّ
اَنَابَ ﴿﴾ قَالَ رَبِّ اغۡفِرۡ
لِیۡ وَ ہَبۡ لِیۡ مُلۡکًا لَّا یَنۡۢبَغِیۡ لِاَحَدٍ مِّنۡۢ بَعۡدِیۡ ۚ اِنَّکَ
اَنۡتَ الۡوَہَّابُ ﴿﴾
Dan sungguh
Kami benar-benar telah menguji
Sulaiman serta Kami menempatkan di
atas singgasananya suatu tubuh belaka, kemudian ia
kembali kepada Tuhan-nya. Ia
berkata: “Wahai Tuhan-ku, ampunilah aku
dan anugerahkanlah kepadaku suatu
kerajaan yang tidak layak diwarisi oleh seseorang sesu-dahku. Sesungguhnya Engkau benar-benar Maha Pemberi anugerah.” (Shād
[38]:35-36).
Dalam QS.34:15 ungkapan yang dipakai ialah, “rayap
bumi,” yang dapat mengisyaratkan kepada putra
dan ahli waris Nabi Sulaiman a.s.
yaitu Rehoboam, seorang-orang yang tidak berharga, atau kepada Jeroboam, oknum yang mengibarkan panji pemberontakan terhadap wangsa (dinasti)
Nabi Daud a.s. (I Raja-raja 12:28).
“Rayap Bumi” Pemakan “Tongkat”
Nabi Sulaiman a.s.
Nabi Sulaiman a.s. telah menyadari bahwa sesudah beliau
wafat, kerajaan beliau tak akan dapat
mempertahankan keutuhannya di bawah
para penerus beliau yang tak cakap lagi tanpa berkemampuan itu. Oleh karena itu beliau
menghadap dan mendoa ke hadirat Allah Swt. . Doa itu dicantumkan
dalam ayat berikutnya وَ ہَبۡ لِیۡ
مُلۡکًا لَّا یَنۡۢبَغِیۡ لِاَحَدٍ مِّنۡۢ بَعۡدِیۡ – “Wahai Tuhan-ku, ampunilah aku dan anugerahkanlah
kepadaku suatu kerajaan yang tidak layak diwarisi oleh seseorang sesudahku.”
Seperti nampak dari ayat sebelum ini Nabi
Sulaiman a.s. telah
mempunyai firasat bahwa kerajaan
duniawi beliau akan menjadi terpecah-belah
sesudah beliau wafat, disebabkan oleh kelemahan mental putra beliau yang tolol
dan tidak berharga itu; maka beliau mendoa supaya kerajaan ruhani yang telah dianugerahkan Tuhan kepada keturunannya
dapat berjalan terus.
Bila kata-kata “suatu kerajaan yang tidak layak diwarisi
oleh seseorang sesudahku,” diartikan secara harfiah, maka doa Nabi Sulaiman
a.s. akan dipahami sudah terkabul dalam artian bahwa sesudah wafat
beliau tidak akan ada raja di antara kaum Bani
Israil yang memiliki kekuasaan
dan pamor seperti beliau sendiri,
karena itu keruntuhan kerajaan Bani
Israil setelah Nabi Sulaiman a.s. wafat diumpamakan seperti “tongkat
yang dimakan rayap”, firman-Nya:
فَلَمَّا قَضَیۡنَا عَلَیۡہِ
الۡمَوۡتَ مَا دَلَّہُمۡ عَلٰی مَوۡتِہٖۤ
اِلَّا دَآبَّۃُ الۡاَرۡضِ
تَاۡکُلُ مِنۡسَاَتَہٗ ۚ فَلَمَّا خَرَّ تَبَیَّنَتِ الۡجِنُّ اَنۡ لَّوۡ کَانُوۡا
یَعۡلَمُوۡنَ الۡغَیۡبَ مَا لَبِثُوۡا فِی الۡعَذَابِ الۡمُہِیۡنِ ﴿ؕ﴾
Maka tatkala
Kami menentukan kematiannya,
sekali-kali tidak ada yang menunjukkan kematiannya kepada mereka
selain rayap bumi yang
memakan tongkatnya. Lalu tatkala tongkat
itu jatuh, jin-jin mengetahui
dengan jelas bahwa seandainya mereka
mengetahui yang gaib, mereka sekali-kali tidak akan tetap dalam
azab yang menghinakan. (Saba [34]:15)
Putra
yang sia-sia sebagai penerus Nabi Sulaiman a.s., Rehoboam; di bawah pemerintahannya yang lemah itu kerajaan Nabi Sulaiman a.s. yang tadinya besar dan berkuasa telah
menjadi berantakan (I Raja-raja, fatsal 12, 13, 14
& Jewish Encyclopaedia di bawah “Rehoboam”).
Jadi, kehancuran dan keterpecahbelahan kerajaan Nabi Sulaiman a.s. . mulai
berlaku pada masa pemerintahan Rehoboam
dan di masa raja-raja selanjutnya,
dan mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Zedekia dengan terjadinya
dua kali serangan balatentara raja
Nebukarnezar dari kerajaan Babilonia sebagaimana yang telah dikemukakan
sebelum ini mengenai dihancurkannya kota
Yerusalem (QS.17:5-6; QS.2:103, 1 Raja-raja 25:1-21).
Ada yang menarik dari firman
Allah Swt. mengenai “jin-jin” yang
tidak mengetahui yang gaib mengenai keruntuhan kerajaan nabi Sulaiman a.s. فَلَمَّا خَرَّ
تَبَیَّنَتِ الۡجِنُّ اَنۡ لَّوۡ کَانُوۡا یَعۡلَمُوۡنَ الۡغَیۡبَ مَا لَبِثُوۡا
فِی الۡعَذَابِ الۡمُہِیۡنِ -- “Lalu tatkala tongkat itu jatuh, jin-jin mengetahui dengan jelas bahwa seandainya mereka mengetahui yang gaib, mereka
sekali-kali tidak akan tetap dalam azab yang menghinakan.“
Dengan demikian jelaslah bahwa
penggunaan kata “jin” dan “syaitan”
berkenaan dengan Nabi Sulaiman a.s. sama sekali tidak berhubungan dengan
golongan makhluk harus yang disebut jin
dan syaitan, melainkan mengisyaratkan kepada bangsa-bangsa asing para penyembah berhala yang yang
berhasil ditaklukkan oleh Nabi Daud a.s. dan Nabi Sulaiman a.s., yang kemudian atas izin Allah Swt. keahlian
dan tenaga mereka dimanfaatkan oleh
kedua raja besar Bani Israil – yang
juga sebagai rasul
Allah -- tersebut untuk
kepentingan kerajaan Bani Israil.
Jadi, penyebutan jin dan syaitan adalah
mengisyaratkan bangsa-bangsa asing yang senantiasa menyerang Bani Israil -- yang sebelumnya mereka itu mendiami kawasan Palestina (Kanaan - QS.5:21-27) -- yang kemudian mereka ditaklukan
opeh Nabi Daud a.s. dan Nabi Sulaiman a.s., dengan demikian
penggunaan kata-kata kiasan tersebut mengisyaatkan kepada 2
hal khusus, yakni:
(1) kepada statusnya sebagai “orang-orang kafir” atau “orang-orang
musyrik”, sebagaimana halnya dalam beberapa Surah Al-Quran Allah Swt. telah
menyebut “orang-orang kafir” yang mendustakan dan menentang
para Rasul Allah dengan sebutan
syayāthin (syaitan-syaitan -- QS.2:16; QS.6: 43-46 & 112-113; 8:49; QS.22:53).
(2) kepada keahlian
(kemahiran) khusus yang dimiliki
mereka, misalnya sebagai para penyelam untuk mengambil mutiara di lautan, atau
sebagai pekerja khusus untuk membuat
berbagai bangunan yang
memerlukan keahlian khusus, sebagaimana yang dilakukan di zaman pemerintahan
Nabi Sulaiman a.s. (QS.21:82-83; QS.34:11-14
& 50; QS.38:37-39).
Dalam Surah Al-Baqarah Allah Swt. menyebutkan
bahwa yang dimaksud dengan jin dan syaitan tersebut, adalah “Jalut”
(Goliat) yang identik dengan sebutan jin; dan “balatentaranya” (sekutu-sekutunya), yang identik dengan
sebutan syaitan-syaitan, firman-Nya:
فَلَمَّا فَصَلَ طَالُوۡتُ بِالۡجُنُوۡدِ
ۙ قَالَ اِنَّ اللّٰہَ
مُبۡتَلِیۡکُمۡ بِنَہَرٍ ۚ فَمَنۡ شَرِبَ مِنۡہُ فَلَیۡسَ مِنِّیۡ ۚ وَ مَنۡ لَّمۡ
یَطۡعَمۡہُ فَاِنَّہٗ مِنِّیۡۤ اِلَّا
مَنِ اغۡتَرَفَ غُرۡفَۃًۢ بِیَدِہٖ ۚ فَشَرِبُوۡا مِنۡہُ اِلَّا قَلِیۡلًا مِّنۡہُمۡ
ؕ فَلَمَّا جَاوَزَہٗ ہُوَ وَ الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا مَعَہٗ ۙ قَالُوۡا لَا طَاقَۃَ لَنَا الۡیَوۡمَ
بِجَالُوۡتَ وَ جُنُوۡدِہٖ ؕ قَالَ الَّذِیۡنَ یَظُنُّوۡنَ اَنَّہُمۡ مُّلٰقُوا
اللّٰہِ ۙ کَمۡ مِّنۡ فِئَۃٍ قَلِیۡلَۃٍ غَلَبَتۡ
فِئَۃً کَثِیۡرَۃًۢ بِاِذۡنِ اللّٰہِ ؕ وَ اللّٰہُ مَعَ الصّٰبِرِیۡنَ ﴿﴾ وَ لَمَّا بَرَزُوۡا لِجَالُوۡتَ وَ جُنُوۡدِہٖ قَالُوۡا
رَبَّنَاۤ اَفۡرِغۡ عَلَیۡنَا صَبۡرًا وَّ
ثَبِّتۡ اَقۡدَامَنَا وَ انۡصُرۡنَا عَلَی
الۡقَوۡمِ الۡکٰفِرِیۡنَ ﴿﴾ؕ
Maka tatkala
Thalut berangkat dengan balatentaranya ia berkata: “Sesungguhnya Allah akan mencobai kamu dengan sebuah sungai, lalu barangsiapa minum darinya
maka ia bukan dariku, dan barangsiapa tidak pernah mencicipinya
maka sesungguhnya ia dariku,
kecuali orang yang menciduk seciduk
dengan tangannya.” Tetapi mereka
minum darinya kecuali sedikit dari
mereka, lalu tatkala ia dan orang-orang yang beriman besertanya telah
menyeberanginya mereka berkata: “Tidak
ada kemampuan pada kami hari ini untuk menghadapi Jalut dan balatentaranya.” Tetapi orang-orang yang meyakini bahwa sesungguhnya mere-ka akan menemui Allah berkata: “Berapa banyak golongan yang sedikit
telah mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah, dan Allah
beserta orang-orang yang sabar.” Dan tatkala mereka maju untuk menghadapi
Jalut dan balatentaranya,
mereka berkata: “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah ketabahan atas kami, teguhkanlah langkah-lang-kah kami, dan tolonglah
kami terhadap kaum kafir.” (Al-Baqarah
[2]:250-251).
Thalut
adalah nama sifat seorang raja Bani Israil yang hidup kira-kira
200 tahun sebelum Nabi Dawud a.s. dan
kira-kira sejumlah tahun yang sama sesudah Nabi Musa a.s.. . Beberapa
ahli tafsir Al-Quran telah keliru mempersamakan Thalut dengan Saul. Penjelasan Al-Quran lebih cocok
dengan Gideon (Hakim-hakim fasal-fasal 6-8) daripada dengan Saul. Gideon hidup kira-kira 1250
sebelum Masehi dan Bible menyebutnya
“pahlawan yang perkasa” (Hakim-hakim
6:12) tiada lain melainkan Thalut.
Menurut
sementara penulis Kristen, peristiwa yang dituturkan dalam bagian ini menunjuk
kepada dua masa yang berlainan, terpisah satu sama lain oleh masa-antara yang
rentangannya 200 tahun, dan menunjuk kepada bagian ini sebagai contoh — menurut
mereka — anachronisme (pengacauan waktu) sejarah yang terdapat dalam Al-Quran.
Bagian ini
memang betul menunjuk kepada dua masa yang berlainan, tetapi tiada anachronisme
(pengacauan waktu) di dalamnya. Al-Quran menunjuk di sini kepada kedua masa
itu. Tujuan berbuat demikian ialah untuk melukiskan bagaimana mulainya proses mempersatukan berbagai suku Bani Israil di zaman Gideon (Thalut), 200 tahun sebelum Nabi Dawud a.s. dan yang akhirnya tercapai di zaman Nabi Dawud a.s. menjadi sebuah kerajaan Bani Israil yang sangat luas
dan kuat.
Perlu diketahui bahwa 200 tahun sesudah Nabi Musa a.s. Bani Israil pecah-belah
dalam berbagai suku, tidak mempunyai raja dan tidak pula angkatan perang (QS.2:247). Dalam tahun 1256 sebelum Masehi,
disebabkan oleh kedurhakaan mereka,
Allah Swt. membiarkan mereka jatuh ke tangan kaum Midian yang menjarah dan menindas mereka selama 7 tahun dan
mereka terpaksa mencari perlindungan di dalam gua-gua (Hakim-hakim 6:1-6). “Maka sesungguhnya tatkala Bani
Israil itu berseru kepada Tuhan dari sebab orang Midian itu, maka disuruhkan
Tuhan seorang yang nabi adanya kepada Bani Israil” (Hakim-hakim 6:7-8),” dan seorang malaikat Tuhan
datang kepada Gideon menunjuknya
menjadi raja dan menjadikannya
pertolongan Ilahi” .... “Maka sembahnya kepadanya: Ya Tuhan dengan apa gerangan
dapat hamba melepaskan orang Israil? Bahwasanya bangsa hamba terkecil dalam
suku Manasye, maka hamba ini anak bungsu di antara orang isi rumah bapak hamba”
(Hakim-hakim 6:15).
Cuplikan dari
Kitab Hakim-hakim tersebut cocok dengan keterangan yang diberikan dalam
ayat yang dibahas ini tentang Thalut.
Apa yang menjadikan persamaan Thalut
dengan Gideon lebih pasti lagi ialah,
memang di zaman Gideon -- dan bukan
di zaman Saul -- kaum Bani Israil mendapat cobaan dengan perantaraan air,
dan gambaran yang diberikan oleh Bible (Hakim-hakim
7:4-7) tentang cobaan itu memang
sama dengan gambaran Al-Quran.
Dari Hakim-hakim 7: 6-7 kita mengetahui
bahwa sesudah cobaan tersebut di
atas, orang-orang yang tinggal bersama-sama dengan Gideon hanya ada 300 orang.
Dan sangat menarik untuk diperhatikan, yaitu seorang Sahabah Nabi Besar Muhammad saw. diriwayatkan telah
bersabda:
“Kami
berjumlah 313 orang dalam perang Badar, dan jumlah itu sesuai dengan jumlah
orang yang mengikuti Thalut (Tirmidzi,
bab Siyar).
Hadits itu pun mendukung kesimpulan bahwa Thalut itu adalah Gideon.
Apa yang selanjutnya menguatkan persamaan antara Thalut dengan Gideon
ialah, kata itu berasal dari akar-kata yang dalam bahasa Ibrani berarti
“menumbangkan” (Encyclopaedia Biblica)
atau “menebang” (Jewish Encyclopaedia).
Jadi, Gideon berarti “orang yang menebas musuh hingga
merobohkannya ke tanah”, dan Bible
sendiri mengatakan mengenai Gideon
sebagai “pahlawan yang perkasa” (Hakim-hakim 6:12).
Kata
Jalut itu nama sifat yang artinya, seseorang atau satu kaum yang sukar
diperintah dan “berkeliar sambil
menjarah-rayah” dan mengganggu orang-orang lain. Dalam Bible nama yang
sejajar ialah Goliat (I Samuel
17:4) yang berarti “ruh-ruh yang suka
berlari-lari, menyamun dan membinasakan,” atau “pemimpin” atau “raksasa” (Encyclopaedia Biblica; Jewish
Encyclopaedia).
Bible memakai nama ini mengenai seseorang, tetapi sesungguhnya kata itu
menyandang arti segolongan perampok
yang kejam, sungguhpun dapat pula
dikenakan kepada perseorangan-perseorangan tertentu yang melambangkan ciri khas golongan itu. Al-Quran agaknya
telah mempergunakan kata itu dalam ayat yang sedang dibicarakan.
Dengan
demikian nama Jalut yang disebut
dalam ayat ini tidak bermakna seseorang
melainkan suatu kaum, sedang kata
“balatentara” menunjuk kepada para pembantu
dan sekutu kaum itu. Bible menunjuk
kepada Jalut dengan nama kaum Midian yang menjarah dan menyerang Bani Israil dan membinasakan tanah
mereka untuk beberapa tahun (Hakim-hakim
6:1-6).
Kaum Amalek dan semua suku bangsa di sebelah timur membantu kaum Midian dalam penyerangan mereka (Hakim-hakim 6:3) dan
merupakan “balatentara” yang disebut
dalam ayat ini. Selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai kemenangan yang diraih Thalut
(Gideon) dan balatentaranya:
فَہَزَمُوۡہُمۡ بِاِذۡنِ اللّٰہِ ۟ۙ
وَ قَتَلَ دَاوٗدُ جَالُوۡتَ وَ اٰتٰىہُ اللّٰہُ
الۡمُلۡکَ وَ الۡحِکۡمَۃَ وَ عَلَّمَہٗ مِمَّا یَشَآءُ ؕ وَ لَوۡ لَا
دَفۡعُ اللّٰہِ النَّاسَ بَعۡضَہُمۡ بِبَعۡضٍ ۙ لَّفَسَدَتِ الۡاَرۡضُ وَ لٰکِنَّ
اللّٰہَ ذُوۡ فَضۡلٍ عَلَی الۡعٰلَمِیۡنَ ﴿﴾
تِلۡکَ اٰیٰتُ اللّٰہِ نَتۡلُوۡہَا عَلَیۡکَ بِالۡحَقِّ ؕ وَ اِنَّکَ لَمِنَ الۡمُرۡسَلِیۡنَ ﴿﴾
Maka mereka mengalahkan mereka itu yakni Jalut dan bala tentaranya dengan
izin Allah, dan Dawud membunuh Jalut, Allah memberinya kerajaan dan kebijaksanaan dan
mengajarkan kepadanya apa yang Dia
kehendaki. Dan seandainya
Allah tidak menyingkirkan kejahatan
sebagian manusia oleh sebagian
lainnya, niscaya bumi akan penuh
dengan kerusakan, tetapi Allah
memiliki karunia atas seluruh alam. Itulah Ayat-ayat
Allah, Kami membacakannya kepada
engkau dengan haq, dan
sesungguhnya engkau benar-benar salah
seorang dari antara orang-orang yang diutus. (Al-Baqarah [2]:252-253).
Thalut atau Gideon
berhasil mengalahkan Jalut atau kaum Midian, tetapi kekalahan besar yang disebut dalam ayat ini dengan terbunuhnya Jalut terjadi di zaman Nabi
Dawud a.s., kira-kira 200 tahun kemudian. Menurut Bible orang yang
dikalahkan oleh Nabi Dawud a.s. adalah
Goliat (I Samuel 17:4), yang cocok dengan Jalut. Mungkin nama sifat
yang diberikan oleh Al-Quran kepada kaum
itu pun disandang oleh pemimpin
mereka di zaman Nabi Dawud a.s.
Kata-kata وَ لَوۡ لَا دَفۡعُ اللّٰہِ النَّاسَ
بَعۡضَہُمۡ بِبَعۡضٍ ۙ لَّفَسَدَتِ الۡاَرۡضُ -- “Dan seandainya Allah tidak menyingkirkan kejahatan sebagian manusia oleh sebagian lainnya, niscaya bumi akan penuh dengan kerusakan”, hal
itu melukiskan dengan ringkas seluruh falsafah ihwal segala bentuk perang yang dilancarkan demi kebenaran dan keadilan, bahwa perang hanya dipakai sebagai wahana
untuk mencegah kekacauan dan
menegakkan kembali keamanan, dan
bukan menimbulkan kekacauan,
mengganggu keamanan, dan merampas kemerdekaan bangsa-bangsa lemah.
Pendek kata, penggunaan kata jin dan syaitan
-- dan juga penggunaan kata gunung dan burung,
rayap, tongkat dan Hud-hud (QS.dan
lain-lain -- sehubungan dengan kisah Nabi
Daud a.s. dan Nabi Sulaiman a.s.
semuanya itu merupakan kata-kata kiasan,
yang sepenuhnya berhubungan dengan manusia, bukan merujuk kepada makhluk halus yang juga disebut jin dan syaitan, yang pada umumnya telah disalah-tafsirkan.
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 20 September
2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar