Minggu, 22 September 2013

Makna "Rayap Bumi" yang Memakan "Tongkat" Nabi Sulaiman a.s. & Makna "Jin" dan "Syaitan" yang Dipekerjakan Nabi Daud a.s. dan Nabi Sulaiman a.s.





ۡ بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ

Khazanah Ruhani Surah  Shād


Bab 28

  Makna “Rayap Bumi” yang Memakan  Tongkat” Nabi Sulaiman a.s. &  Makna “Jin” dan “Syaitan” yang Dipekerjakan Nabi Daud a.s. dan Nabi  Sulaiman a.s.

Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

D
alam akhir  Bab sebelumnya  telah dikemukakan   mengenai  dua macam “perkumpulan rahasia”  yang tujuannya berbeda dalam firman Allah Swt.:
وَ اتَّبَعُوۡا مَا تَتۡلُوا الشَّیٰطِیۡنُ عَلٰی مُلۡکِ سُلَیۡمٰنَ ۚ وَ مَا کَفَرَ سُلَیۡمٰنُ وَ لٰکِنَّ الشَّیٰطِیۡنَ کَفَرُوۡا یُعَلِّمُوۡنَ النَّاسَ السِّحۡرَ ٭ وَ مَاۤ اُنۡزِلَ عَلَی الۡمَلَکَیۡنِ بِبَابِلَ ہَارُوۡتَ  وَ مَارُوۡتَ ؕ وَ مَا یُعَلِّمٰنِ مِنۡ اَحَدٍ حَتّٰی یَقُوۡلَاۤ اِنَّمَا نَحۡنُ فِتۡنَۃٌ فَلَا تَکۡفُرۡ ؕ فَیَتَعَلَّمُوۡنَ مِنۡہُمَا مَا یُفَرِّقُوۡنَ بِہٖ بَیۡنَ الۡمَرۡءِ  وَ زَوۡجِہٖ ؕ وَ مَا ہُمۡ  بِضَآرِّیۡنَ بِہٖ مِنۡ اَحَدٍ  اِلَّا بِاِذۡنِ اللّٰہِ ؕ وَ یَتَعَلَّمُوۡنَ مَا یَضُرُّہُمۡ  وَ لَا یَنۡفَعُہُمۡ  ؕ وَ لَقَدۡ عَلِمُوۡا لَمَنِ اشۡتَرٰىہُ مَا لَہٗ فِی الۡاٰخِرَۃِ مِنۡ خَلَاقٍ ۟ؕ وَ لَبِئۡسَ مَا شَرَوۡا بِہٖۤ  اَنۡفُسَہُمۡ  ؕ لَوۡ کَانُوۡا یَعۡلَمُوۡنَ ﴿﴾
Dan mereka mengikuti apa yang diikuti oleh syaitan-syaitan yakni para pemberontak di masa  kerajaan Sulaiman, dan bukan Sulaiman yang kafir melainkan syaitan-syaitan  itulah yang kafir, mereka mengajarkan sihir  kepada manusia. Tetapi mereka itu mengaku  mengikuti apa yang telah diturunkan kepada dua malaikat, Harut dan Marut, di Babil. Dan keduanya tidaklah mengajar seorang pun hingga  mereka mengatakan: Sesungguhnya kami hanya cobaan dari Tuhan, karena itu janganlah kamu kafir.”  Lalu  orang-orang belajar dari keduanya hal yang dengan itu mereka membuat pemisahan di antara laki-laki dan istrinya, dan mereka sekali-kali tidak mendatangkan mudarat kepada seorang pun dengan itu kecuali dengan seizin Allah, sedangkan  mereka ini  belajar hal yang mendatangkan mudarat kepada diri mereka dan tidak bermanfaat   baginya. Dan sungguh mereka benar-benar mengetahui bahwa barangsiapa berniaga dengan cara ini niscaya tidak ada baginya suatu bagian keuntungan di akhirat, dan benar-benar sangat buruk hal yang untuk itu mereka menjual dirinya, seandainya mereka mengetahui. (Al-Baqarah [2]:103).

Jasad Tanpa Nyawa” Duduk di “Singgasana” Nabi Sulaiman   

   Kenyataan bahwa pertama, nenek-moyang mereka pun telah melancarkan komplotan  terhadap Nabi Sulaiman a.s.,  ketika beberapa anggota masyarakatnya telah mendirikan perkumpulan-perkumpulan rahasia melawan beliau. Di dalam perkumpulan-perkumpulan rahasia itu diajarkan lambang-lambang dan sandi-sandi  (I Raja-raja 11:29-32; I  Raja-raja 11:14, 23, 26; II Tawarikh 10:2-4).  Mereka itulah yang disebut “syaitan-syaitan” yang mengajarkan “sihir” (QS.1:103).
      Kejadian kedua ketika mereka menghidupkan kembali perkumpulan-perkumpulan rahasia ialah pada waktu mereka masih dalam tawanan di Babil pada zaman Raja Nebukadnezar. Di bawah pimpinan dua orang suci (dua malaikat) -- Harut dan Marut.   
      Orang-orang suci yang disinggung dalam ayat ini ialah Nabi Hijai, dan Zakaria bin Ido (Ezra 5:1). Orang-orang suci itu membatasi keanggotaan perkumpulan rahasia tersebut pada kaum pria, dan menerangkan kepada para anggota baru pada waktu upacara pelantikan bahwa mereka itu semacam cobaan dari Tuhan, dan bahwa oleh karena itu kaum Bani Israil  di Babilonia hendaknya jangan mengingkari apa-apa yang dikatakan mereka.
      Ketika kekuasaan Cyrus — raja Media dan Persia — bangkit, orang-orang Bani Israil mengadakan perjanjian rahasia dengan beliau. Hal demikian sangat mempermudah untuk mengalahkan Babil. Sebagai imbalan atas jasa itu, Cyrus bukan saja mengizinkan mereka kembali ke Yeruzalem, tetapi membantu mereka pula dalam pembangunan kembali Rumah Peribadatan Nabi Sulaiman a.s. (Historians’ History of the World, ii 126). 
     Ayat 103 ini mengisyaratkan bahwa upaya-upaya kaum Yahudi pada dua peristiwa yang telah lewat itu telah membawa hasil-hasil berlainan. Pada peristiwa pertama, komplotan mereka bertujuan untuk melawan Nabi Sulaiman a.s. dan disudahi dengan kehilangan seluruh kewibawaan dan akhirnya mereka dibuang ke Babil, sebagai akibat  dari kutukan Nabi Daud a.s. (QS.5:79-81).
      Mengenai keruntuhan kerajaan Bani Israil setelah Nabi Sulaiman a.s. wafat, diisyaratkan dalam bentuk perumpamaan (kiasan) dalam Al-Quran, pertama digambarkan para pewaris kerajaannya  sebagai “jasad tak bernyawa  yang “duduk di atas singgasana”,  yang mengisyaratkan kelemahan akhlak dan ruhani  para raja Bani Israil setelah Nabi Sulaiman a.s. wafat, firman-Nya:
وَ لَقَدۡ فَتَنَّا سُلَیۡمٰنَ وَ اَلۡقَیۡنَا عَلٰی کُرۡسِیِّہٖ  جَسَدًا ثُمَّ  اَنَابَ ﴿﴾  قَالَ رَبِّ اغۡفِرۡ لِیۡ وَ ہَبۡ لِیۡ مُلۡکًا لَّا یَنۡۢبَغِیۡ لِاَحَدٍ مِّنۡۢ بَعۡدِیۡ ۚ اِنَّکَ اَنۡتَ الۡوَہَّابُ  ﴿﴾
Dan  sungguh  Kami benar-benar telah menguji Sulaiman serta Kami menempatkan di atas singgasananya suatu tubuh belaka, kemudian ia kembali kepada Tuhan-nya. Ia berkata: “Wahai Tuhan-ku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku suatu kerajaan yang tidak layak diwarisi oleh seseorang sesu-dahku. Sesungguhnya Engkau benar-benar Maha Pemberi anugerah.” (Shād [38]:35-36).
   Dalam QS.34:15 ungkapan yang dipakai ialah, “rayap bumi,” yang dapat mengisyaratkan kepada putra dan ahli waris Nabi Sulaiman a.s.  yaitu Rehoboam, seorang-orang yang tidak berharga, atau kepada Jeroboam, oknum yang mengibarkan panji pemberontakan terhadap wangsa (dinasti) Nabi Daud a.s. (I Raja-raja 12:28).

Rayap Bumi” Pemakan “Tongkat” Nabi Sulaiman a.s.

      Nabi Sulaiman a.s.  telah menyadari bahwa sesudah beliau wafat, kerajaan beliau tak akan dapat mempertahankan keutuhannya di bawah para penerus beliau yang tak cakap lagi tanpa berkemampuan itu. Oleh karena itu beliau menghadap dan mendoa ke hadirat Allah Swt. . Doa itu dicantumkan dalam ayat berikutnya  وَ ہَبۡ لِیۡ مُلۡکًا لَّا یَنۡۢبَغِیۡ لِاَحَدٍ مِّنۡۢ بَعۡدِیۡ   – “Wahai Tuhan-ku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku suatu kerajaan yang tidak layak diwarisi oleh seseorang sesudahku.
       Seperti nampak dari ayat sebelum ini Nabi Sulaiman a.s.    telah mempunyai firasat bahwa kerajaan duniawi beliau akan menjadi terpecah-belah sesudah beliau wafat, disebabkan oleh kelemahan mental putra beliau yang tolol dan tidak berharga itu; maka beliau mendoa supaya kerajaan ruhani yang telah dianugerahkan Tuhan kepada keturunannya dapat berjalan terus.
     Bila kata-kata  “suatu kerajaan yang tidak layak diwarisi oleh seseorang sesudahku,” diartikan secara harfiah, maka doa Nabi Sulaiman a.s. akan dipahami sudah terkabul dalam artian bahwa sesudah wafat beliau tidak akan ada raja di antara kaum Bani Israil yang memiliki kekuasaan dan pamor seperti beliau sendiri, karena itu keruntuhan kerajaan Bani Israil setelah Nabi Sulaiman a.s. wafat  diumpamakan  seperti “tongkat yang dimakan rayap”, firman-Nya:
فَلَمَّا قَضَیۡنَا عَلَیۡہِ  الۡمَوۡتَ مَا دَلَّہُمۡ عَلٰی مَوۡتِہٖۤ  اِلَّا دَآبَّۃُ  الۡاَرۡضِ تَاۡکُلُ مِنۡسَاَتَہٗ ۚ فَلَمَّا خَرَّ تَبَیَّنَتِ الۡجِنُّ اَنۡ لَّوۡ کَانُوۡا یَعۡلَمُوۡنَ الۡغَیۡبَ مَا لَبِثُوۡا فِی الۡعَذَابِ الۡمُہِیۡنِ ﴿ؕ﴾
Maka tatkala Kami menentukan kematiannya, sekali-kali tidak ada  yang menunjukkan kematiannya kepada mereka selain rayap bumi yang memakan tongkatnya. Lalu tatkala tongkat itu jatuh, jin-jin  mengetahui dengan jelas bahwa seandainya mereka mengetahui yang gaib,  mereka sekali-kali tidak akan tetap dalam azab yang menghinakan.  (Saba [34]:15)
   Putra yang sia-sia sebagai penerus Nabi Sulaiman a.s., Rehoboam; di bawah pemerintahannya yang lemah itu kerajaan Nabi Sulaiman a.s.  yang tadinya besar dan berkuasa telah menjadi berantakan (I  Raja-raja, fatsal 12, 13, 14 & Jewish  Encyclopaedia di bawah “Rehoboam”).
     Jadi, kehancuran dan keterpecahbelahan kerajaan Nabi Sulaiman a.s. . mulai berlaku pada masa pemerintahan Rehoboam dan di masa raja-raja selanjutnya, dan mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Zedekia  dengan terjadinya dua kali serangan balatentara raja Nebukarnezar dari kerajaan Babilonia sebagaimana yang telah dikemukakan sebelum ini  mengenai dihancurkannya kota Yerusalem (QS.17:5-6; QS.2:103, 1 Raja-raja 25:1-21).
      Ada yang menarik dari firman Allah Swt. mengenai “jin-jin” yang tidak mengetahui yang gaib mengenai keruntuhan kerajaan nabi Sulaiman a.s. فَلَمَّا خَرَّ تَبَیَّنَتِ الۡجِنُّ اَنۡ لَّوۡ کَانُوۡا یَعۡلَمُوۡنَ الۡغَیۡبَ مَا لَبِثُوۡا فِی الۡعَذَابِ الۡمُہِیۡنِ  -- “Lalu tatkala tongkat itu jatuh, jin-jin  mengetahui dengan jelas bahwa seandainya mereka mengetahui yang gaib,  mereka sekali-kali tidak akan tetap dalam azab yang menghinakan.“
      Dengan demikian jelaslah bahwa penggunaan kata “jin” dan “syaitan” berkenaan dengan Nabi Sulaiman a.s. sama sekali tidak berhubungan dengan golongan makhluk harus yang disebut jin dan syaitan,   melainkan mengisyaratkan kepada bangsa-bangsa asing  para penyembah berhala yang    yang berhasil  ditaklukkan oleh Nabi Daud a.s. dan Nabi Sulaiman a.s.,  yang kemudian atas izin Allah Swt. keahlian dan tenaga mereka dimanfaatkan oleh kedua raja besar Bani Israil – yang juga  sebagai  rasul Allah --  tersebut untuk kepentingan  kerajaan Bani Israil.
      Jadi,  penyebutan jin dan syaitan  adalah mengisyaratkan bangsa-bangsa  asing yang senantiasa menyerang Bani Israil   -- yang sebelumnya  mereka itu mendiami kawasan Palestina (Kanaan - QS.5:21-27)  -- yang  kemudian mereka ditaklukan  opeh Nabi Daud a.s. dan Nabi Sulaiman a.s., dengan demikian  penggunaan kata-kata  kiasan tersebut mengisyaatkan kepada 2 hal khusus, yakni:
      (1) kepada statusnya sebagai “orang-orang kafir  atau “orang-orang musyrik”, sebagaimana halnya dalam beberapa Surah Al-Quran Allah Swt. telah menyebut “orang-orang kafir” yang mendustakan  dan menentang para Rasul Allah  dengan sebutan  syayāthin (syaitan-syaitan -- QS.2:16;  QS.6: 43-46 & 112-113; 8:49; QS.22:53).
       (2) kepada keahlian (kemahiran) khusus yang dimiliki mereka, misalnya sebagai para penyelam  untuk mengambil mutiara di lautan,  atau sebagai pekerja khusus untuk membuat  berbagai bangunan yang memerlukan keahlian khusus, sebagaimana yang dilakukan di zaman pemerintahan Nabi Sulaiman a.s.  (QS.21:82-83; QS.34:11-14 & 50; QS.38:37-39).
      Dalam Surah Al-Baqarah Allah Swt. menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan  jin  dan  syaitan  tersebut,  adalah “Jalut” (Goliat)    yang identik dengan sebutan jin; dan “balatentaranya” (sekutu-sekutunya), yang identik dengan sebutan  syaitan-syaitan,  firman-Nya:
فَلَمَّا فَصَلَ طَالُوۡتُ بِالۡجُنُوۡدِ  ۙ قَالَ  اِنَّ اللّٰہَ مُبۡتَلِیۡکُمۡ بِنَہَرٍ ۚ فَمَنۡ شَرِبَ مِنۡہُ فَلَیۡسَ مِنِّیۡ ۚ وَ مَنۡ لَّمۡ یَطۡعَمۡہُ فَاِنَّہٗ مِنِّیۡۤ  اِلَّا مَنِ اغۡتَرَفَ غُرۡفَۃًۢ بِیَدِہٖ ۚ فَشَرِبُوۡا مِنۡہُ اِلَّا قَلِیۡلًا مِّنۡہُمۡ ؕ فَلَمَّا جَاوَزَہٗ ہُوَ وَ الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا مَعَہٗ  ۙ قَالُوۡا لَا طَاقَۃَ لَنَا الۡیَوۡمَ بِجَالُوۡتَ وَ جُنُوۡدِہٖ ؕ قَالَ الَّذِیۡنَ یَظُنُّوۡنَ اَنَّہُمۡ مُّلٰقُوا اللّٰہِ  ۙ  کَمۡ مِّنۡ فِئَۃٍ قَلِیۡلَۃٍ غَلَبَتۡ فِئَۃً  کَثِیۡرَۃًۢ بِاِذۡنِ  اللّٰہِ ؕ وَ اللّٰہُ مَعَ  الصّٰبِرِیۡنَ ﴿﴾  وَ لَمَّا  بَرَزُوۡا لِجَالُوۡتَ وَ جُنُوۡدِہٖ قَالُوۡا رَبَّنَاۤ  اَفۡرِغۡ عَلَیۡنَا صَبۡرًا   وَّ ثَبِّتۡ  اَقۡدَامَنَا وَ انۡصُرۡنَا عَلَی الۡقَوۡمِ الۡکٰفِرِیۡنَ ﴿﴾ؕ
Maka tatkala Thalut berangkat dengan balatentaranya  ia berkata: “Sesungguhnya Allah akan mencobai kamu dengan sebuah sungai, lalu barangsiapa  minum darinya maka ia bukan dariku, dan  barangsiapa tidak pernah mencicipinya maka sesungguhnya ia dariku, kecuali orang yang menciduk seciduk  dengan tangannya.” Tetapi  mereka minum darinya kecuali sedikit dari mereka, lalu tatkala ia dan orang-orang yang beriman besertanya telah menyeberanginya mereka berkata: “Tidak ada kemampuan pada kami hari ini untuk menghadapi Jalut dan balatentaranya.” Tetapi  orang-orang yang meyakini bahwa sesungguhnya mere-ka akan menemui Allah  berkata: “Berapa banyak golongan yang sedikit  telah mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah, dan Allah beserta orang-orang yang sabar.”   Dan tatkala mereka maju untuk menghadapi Jalut  dan balatentaranya, mereka berkata: “Ya Tuhan kami,  anugerahkanlah  ketabahan atas kami,  teguhkanlah langkah-lang-kah kami, dan  tolonglah kami terhadap kaum kafir.”   (Al-Baqarah [2]:250-251).
     Thalut adalah nama sifat seorang raja Bani Israil yang hidup kira-kira 200 tahun sebelum Nabi Dawud a.s.  dan kira-kira sejumlah tahun yang sama sesudah Nabi Musa a.s.. . Beberapa ahli tafsir Al-Quran telah keliru mempersamakan Thalut dengan Saul.  Penjelasan Al-Quran lebih cocok dengan Gideon (Hakim-hakim fasal-fasal 6-8) daripada dengan Saul. Gideon hidup kira-kira 1250 sebelum Masehi dan Bible menyebutnya “pahlawan yang perkasa” (Hakim-hakim 6:12) tiada lain melainkan Thalut.
 Menurut sementara penulis Kristen, peristiwa yang dituturkan dalam bagian ini menunjuk kepada dua masa yang berlainan, terpisah satu sama lain oleh masa-antara yang rentangannya 200 tahun, dan menunjuk kepada bagian ini sebagai contoh — menurut mereka — anachronisme (pengacauan waktu) sejarah yang terdapat dalam Al-Quran.
Bagian ini memang betul menunjuk kepada dua masa yang berlainan, tetapi tiada anachronisme (pengacauan waktu) di dalamnya. Al-Quran menunjuk di sini kepada kedua masa itu. Tujuan berbuat demikian ialah untuk melukiskan bagaimana mulainya proses mempersatukan berbagai suku Bani Israil di zaman Gideon (Thalut), 200  tahun sebelum Nabi Dawud a.s.  dan yang akhirnya tercapai di zaman Nabi Dawud a.s. menjadi sebuah kerajaan Bani Israil yang sangat luas dan kuat.
        Perlu diketahui bahwa 200  tahun sesudah Nabi Musa a.s. Bani Israil pecah-belah dalam berbagai suku, tidak  mempunyai raja dan tidak pula angkatan perang (QS.2:247). Dalam tahun 1256 sebelum Masehi, disebabkan oleh kedurhakaan mereka, Allah Swt. membiarkan mereka jatuh ke tangan kaum Midian yang menjarah dan menindas mereka selama 7 tahun dan mereka terpaksa mencari perlindungan di dalam gua-gua (Hakim-hakim 6:1-6). “Maka sesungguhnya tatkala Bani Israil itu berseru kepada Tuhan dari sebab orang Midian itu, maka disuruhkan Tuhan seorang yang nabi adanya kepada Bani Israil” (Hakim-hakim 6:7-8),” dan seorang malaikat Tuhan datang kepada Gideon menunjuknya menjadi raja dan menjadikannya pertolongan Ilahi” .... “Maka sembahnya kepadanya: Ya Tuhan dengan apa gerangan dapat hamba melepaskan orang Israil? Bahwasanya bangsa hamba terkecil dalam suku Manasye, maka hamba ini anak bungsu di antara orang isi rumah bapak hamba” (Hakim-hakim 6:15).
 Cuplikan dari   Kitab Hakim-hakim tersebut  cocok dengan keterangan yang diberikan dalam ayat yang dibahas ini tentang Thalut. Apa yang menjadikan persamaan Thalut dengan Gideon lebih pasti lagi ialah, memang di zaman Gideon -- dan bukan di zaman Saul --  kaum Bani Israil mendapat cobaan dengan perantaraan air, dan gambaran yang diberikan oleh Bible (Hakim-hakim 7:4-7) tentang cobaan itu memang sama dengan gambaran Al-Quran.
 Dari Hakim-hakim 7: 6-7 kita mengetahui bahwa sesudah cobaan tersebut di atas, orang-orang yang tinggal bersama-sama dengan Gideon hanya ada 300 orang. Dan sangat menarik untuk diperhatikan, yaitu seorang Sahabah  Nabi Besar Muhammad saw. diriwayatkan telah bersabda:
“Kami berjumlah 313 orang dalam perang Badar, dan jumlah itu sesuai dengan jumlah orang yang mengikuti Thalut (Tirmidzi, bab Siyar).
  Hadits itu pun mendukung kesimpulan bahwa Thalut itu  adalah Gideon. Apa yang selanjutnya menguatkan persamaan antara Thalut dengan Gideon ialah, kata itu berasal dari akar-kata yang dalam bahasa Ibrani berarti “menumbangkan” (Encyclopaedia Biblica) atau “menebang” (Jewish Encyclopaedia). Jadi, Gideon berarti “orang yang menebas musuh hingga merobohkannya ke tanah”, dan Bible sendiri mengatakan mengenai Gideon sebagai “pahlawan yang perkasa” (Hakim-hakim 6:12).   
     Kata Jalut itu nama sifat yang artinya, seseorang atau satu kaum yang sukar diperintah dan “berkeliar sambil menjarah-rayah” dan mengganggu orang-orang lain. Dalam Bible nama yang sejajar ialah Goliat (I Samuel 17:4) yang berarti “ruh-ruh yang suka berlari-lari, menyamun dan membinasakan,” atau “pemimpin” atau “raksasa” (Encyclopaedia Biblica;  Jewish Encyclopaedia).
Bible memakai nama ini mengenai seseorang, tetapi sesungguhnya kata itu menyandang arti segolongan perampok yang kejam, sungguhpun dapat pula dikenakan kepada perseorangan-perseorangan tertentu yang melambangkan ciri khas golongan itu. Al-Quran agaknya telah mempergunakan kata itu dalam ayat yang sedang dibicarakan.
    Dengan demikian nama Jalut yang disebut dalam ayat ini tidak bermakna seseorang melainkan suatu kaum, sedang kata “balatentara” menunjuk kepada para pembantu dan sekutu kaum itu. Bible menunjuk kepada Jalut dengan nama kaum Midian yang menjarah dan menyerang Bani Israil dan membinasakan tanah mereka untuk beberapa tahun (Hakim-hakim 6:1-6).
      Kaum Amalek dan semua suku bangsa di sebelah timur membantu kaum Midian dalam penyerangan mereka (Hakim-hakim 6:3) dan merupakan “balatentara” yang disebut dalam ayat ini. Selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai kemenangan yang diraih Thalut (Gideon) dan balatentaranya:
فَہَزَمُوۡہُمۡ  بِاِذۡنِ اللّٰہِ ۟ۙ وَ قَتَلَ دَاوٗدُ جَالُوۡتَ وَ اٰتٰىہُ اللّٰہُ  الۡمُلۡکَ وَ الۡحِکۡمَۃَ وَ عَلَّمَہٗ مِمَّا یَشَآءُ ؕ وَ لَوۡ لَا دَفۡعُ اللّٰہِ النَّاسَ بَعۡضَہُمۡ بِبَعۡضٍ ۙ لَّفَسَدَتِ الۡاَرۡضُ وَ لٰکِنَّ اللّٰہَ ذُوۡ فَضۡلٍ عَلَی الۡعٰلَمِیۡنَ ﴿﴾  تِلۡکَ اٰیٰتُ اللّٰہِ نَتۡلُوۡہَا عَلَیۡکَ بِالۡحَقِّ ؕ وَ  اِنَّکَ لَمِنَ الۡمُرۡسَلِیۡنَ ﴿﴾
Maka mereka mengalahkan  mereka itu yakni Jalut dan bala tentaranya dengan izin Allah, dan Dawud membunuh Jalut, Allah memberinya kerajaan dan kebijaksanaan dan mengajarkan kepadanya apa yang Dia kehendaki. Dan  seandainya Allah tidak menyingkirkan kejahatan sebagian manusia oleh sebagian lainnya, niscaya bumi akan penuh dengan kerusakan, tetapi Allah memiliki karunia atas seluruh alam.  Itulah Ayat-ayat Allah, Kami membacakannya kepada engkau dengan haq, dan sesungguhnya engkau benar-benar salah seorang dari antara orang-orang yang diutus. (Al-Baqarah [2]:252-253).
     Thalut atau Gideon berhasil mengalahkan Jalut atau kaum Midian, tetapi kekalahan besar yang disebut dalam ayat ini dengan terbunuhnya Jalut terjadi di zaman Nabi Dawud a.s., kira-kira 200 tahun kemudian. Menurut Bible orang yang dikalahkan oleh Nabi Dawud a.s. adalah Goliat (I Samuel 17:4), yang cocok dengan Jalut. Mungkin nama sifat yang diberikan oleh Al-Quran kepada kaum itu pun disandang oleh pemimpin mereka di zaman Nabi Dawud a.s.
       Kata-kata وَ لَوۡ لَا دَفۡعُ اللّٰہِ النَّاسَ بَعۡضَہُمۡ بِبَعۡضٍ ۙ لَّفَسَدَتِ الۡاَرۡضُ  -- “Dan  seandainya Allah tidak menyingkirkan kejahatan sebagian manusia oleh sebagian lainnya, niscaya bumi akan penuh dengan kerusakan”, hal itu   melukiskan dengan ringkas seluruh falsafah ihwal segala bentuk perang yang dilancarkan demi kebenaran dan keadilan, bahwa perang hanya dipakai sebagai  wahana untuk mencegah kekacauan dan menegakkan kembali keamanan, dan bukan menimbulkan kekacauan, mengganggu keamanan, dan merampas kemerdekaan bangsa-bangsa lemah.
     Pendek kata, penggunaan kata jin  dan  syaitan --  dan juga penggunaan kata gunung dan  burung, rayap, tongkat dan Hud-hud (QS.dan lain-lain  --  sehubungan dengan kisah  Nabi Daud a.s. dan Nabi Sulaiman a.s. semuanya itu merupakan  kata-kata  kiasan, yang sepenuhnya berhubungan dengan   manusia, bukan merujuk kepada makhluk halus yang juga disebut jin dan syaitan, yang pada umumnya telah disalah-tafsirkan.
  
(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid

***

Pajajaran Anyar,  20 September   2013




Tidak ada komentar:

Posting Komentar