ۡ بِسۡمِ
اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah Ruhani Surah Shād
Bab 15
Nabi Besar Muhammad Saw. adalah “Bapak Ruhani” Umat Manusia yang Tidak Abtar (Terputus Keturunannya)
Oleh
Ki Langlang Buana
Kusuma
D
|
alam akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan mengenai
hubungan Nabi Besar Muhammad saw. dan wahyu
Al-Quran, sehingga beliau saw. menjadi
perwujudan “Nur (Cahaya) di atas
cahaya”, atau sebagai Rasul Allah
yang bergelar “Khātaman Nabiyyīn” (QS.33:41) yakni “Nabi Allah yang paling sempurna
dalam segala seginya” (QS.33:22;
QS.53:1-19; QS.68:5), firman-Nya:
اَللّٰہُ نُوۡرُ السَّمٰوٰتِ وَ
الۡاَرۡضِ ؕ مَثَلُ نُوۡرِہٖ کَمِشۡکٰوۃٍ
فِیۡہَا مِصۡبَاحٌ ؕ اَلۡمِصۡبَاحُ فِیۡ زُجَاجَۃٍ ؕ اَلزُّجَاجَۃُ
کَاَنَّہَا کَوۡکَبٌ دُرِّیٌّ یُّوۡقَدُ مِنۡ شَجَرَۃٍ مُّبٰرَکَۃٍ زَیۡتُوۡنَۃٍ
لَّا شَرۡقِیَّۃٍ وَّ لَا
غَرۡبِیَّۃٍ ۙ یَّکَادُ زَیۡتُہَا یُضِیۡٓءُ وَ لَوۡ لَمۡ تَمۡسَسۡہُ نَارٌ ؕ
نُوۡرٌ عَلٰی نُوۡرٍ ؕ یَہۡدِی اللّٰہُ
لِنُوۡرِہٖ مَنۡ یَّشَآءُ ؕ وَ یَضۡرِبُ اللّٰہُ الۡاَمۡثَالَ لِلنَّاسِ ؕ
وَ اللّٰہُ بِکُلِّ شَیۡءٍ عَلِیۡمٌ ﴿ۙ﴾
Allah adalah Nur (Cahaya) seluruh langit dan bumi. Perumpamaan nur-Nya seperti sebuah relung yang di dalamnya ada pelita. Pelita itu ada
dalam kaca. Kaca itu
seperti bintang yang gemerlapan. Pelita
itu dinyalakan dengan minyak dari sebatang pohon kayu yang diberkati, yaitu pohon
zaitun yang bukan di timur dan
bukan di barat, minyaknya hampir-hampir bercahaya walaupun api tidak menyentuhnya. Nur (Cahaya)
di atas nur (cahaya). Allah memberi
bimbingan menuju nur-Nya kepada siapa
yang Dia kehendaki, dan Allah mengemukakan tamsil-tamsil (perumpamaan-perumpamaan) untuk manusia, dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu. (An-Nūr [24]:35).
Hubungan Gelar ““Khātaman Nabiyyīn” dengan
Keberlangsungan “Wahyu Ilahi” bukan Syariat
Selanjutnya mengenai gelar “Khātaman Nabiyyīn” (QS.33:41) yakni “Nabi Allah yang paling sempurna
dalam segala seginya” Allah Swt. berrfirman:
مَا کَانَ مُحَمَّدٌ اَبَاۤ اَحَدٍ
مِّنۡ رِّجَالِکُمۡ وَ لٰکِنۡ رَّسُوۡلَ اللّٰہِ وَ خَاتَمَ النَّبِیّٖنَ ؕ وَ کَانَ اللّٰہُ
بِکُلِّ شَیۡءٍ عَلِیۡمًا ﴿٪﴾
Muhammad bukanlah bapak salah seorang laki-laki di antara laki-laki kamu, akan tetapi ia adalah Rasul Allah dan Meterai sekalian nabi, dan Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu. (Al-Ahzāb [33]:41).
Kemudian mengenai hubungan Nabi Besar Muhammad saw. dengan kesempurnaan Kitab suci
(wahyu) Al-Quran, Allah Swt. berfirman:
وَ مَا کَانَ لِبَشَرٍ اَنۡ
یُّکَلِّمَہُ اللّٰہُ اِلَّا وَحۡیًا اَوۡ
مِنۡ وَّرَآیِٔ حِجَابٍ اَوۡ یُرۡسِلَ رَسُوۡلًا فَیُوۡحِیَ بِاِذۡنِہٖ مَا
یَشَآءُ ؕ اِنَّہٗ عَلِیٌّ حَکِیۡمٌ ﴿﴾ وَ کَذٰلِکَ اَوۡحَیۡنَاۤ
اِلَیۡکَ رُوۡحًا مِّنۡ اَمۡرِنَا ؕ مَا کُنۡتَ تَدۡرِیۡ مَا الۡکِتٰبُ وَ لَا الۡاِیۡمَانُ وَ لٰکِنۡ جَعَلۡنٰہُ نُوۡرًا نَّہۡدِیۡ بِہٖ مَنۡ نَّشَآءُ مِنۡ عِبَادِنَا ؕ وَ اِنَّکَ لَتَہۡدِیۡۤ اِلٰی صِرَاطٍ مُّسۡتَقِیۡمٍ﴿ۙ﴾ صِرَاطِ
اللّٰہِ الَّذِیۡ لَہٗ مَا فِی السَّمٰوٰتِ وَ مَا فِی الۡاَرۡضِ
ؕ اَلَاۤ اِلَی اللّٰہِ تَصِیۡرُ الۡاُمُوۡرُ ﴿٪﴾
Dan
sekali-kali tidak mungkin bagi manusia
bahwa Allah berbicara kepadanya,
kecuali dengan wahyu atau dari belakang tabir atau dengan mengirimkan seorang utusan guna mewahyukan dengan seizin-Nya apa
yang Dia kehendaki, sesungguhnya Dia
Maha Tinggi, Maha Bijaksana. Dan
demikianlah Kami telah mewahyukan kepada
engkau ruh (firman) ini dengan
perintah Kami. Engkau sekali-kali tidak mengetahui apa Kitab itu, dan tidak pula apa iman itu, tetapi Kami
telah menjadikan wahyu itu nur (cahaya), yang dengan itu Kami memberi petunjuk kepada siapa yang Kami kehendaki dari
antara hamba-hamba Kami. Dan
sesungguhnya engkau benar-benar memberi
petunjuk ke jalan lurus, jalan
Allah Yang milik-Nya apa yang ada di seluruh langit dan apa yang ada di bumi. Ketahuilah, kepada Allah segala perkara kembali. (Asy-Syūrā
[42:52-54).
Ayat 52
menyebut tiga cara Allah Swt. berbicara
kepada hamba-Nya dan menampakkan Wujud-Nya kepada mereka: (a)
Dia berfirman secara langsung kepada mereka tanpa perantara. (b) Dia
membuat mereka menyaksikan kasyaf
(penglihatan gaib), yang dapat ditakwilkan atau tidak, atau kadang-kadang
membuat mereka mendengar kata-kata
dalam keadaan jaga dan sadar, di waktu itu mereka tidak melihat wujud orang
yang berbicara kepada mereka. Inilah arti kata-kata "dari belakang
tabir," (c) Allah Swt. menurunkan seorang utusan (rasul) atau seorang malaikat
yang menyampaikan Amanat Ilahi.
Dalam ayat 52 wahyu Al-Quran disebut ruh
(nafas hidup — Lexicon Lane),
dan juga nur (cahaya), sebab dengan
perantaraannya bangsa yang telah mati
keadaan akhlak dan keruhaniannya mendapat kehidupan baru. Selanjutnya dalam yat 54
Allah Swt. menyatakan bahwa
Islam adalah ruh (kehidupan), nur (cahaya) dan jalan
yang membawa (menyampaikan) manusia
kepada Allah Swt. dan menyadarkan manusia akan tujuan agung dan luhur kejadiannya, yakni untuk menyembah-Nya (QS.51:57) dan sebagai
Khalifah-Nya di muka bumi (QS.2:31).
Makna ayat
اَلَاۤ اِلَی اللّٰہِ تَصِیۡرُ الۡاُمُوۡرُ -- “Ketahuilah,
kepada Allah segala perkara kembali” adalah bahwa permulaan dan akhir
segala sesuatu terletak di tangan Allah Swt. dan sepenuhnya kembali kepada-Nya.
Yang Abtar (Terputus
Keturunannya) adalah
Para Penentang Nabi
Besar Muhammad Saw.
Jadi, demikianlah hubungan gelar “Khātaman Nabiyyīn” Nabi Besar Muhammad
saw. dalam QS.33:41 dengan kalimat “Nur di atas nur” (Cahaya di atas
cahaya – QS.24:35) dalam kaitannya
dengan kesempurnaan Al-Quran yang diwahyukan
Allah Swt. kepada beliau saw. (QS.5:4), sehingga mustahil Nabi Bear Muhammad
saw. adalah seorang yang abtar
(terputus keturunannya) sebagaimana tuduhan para penentang beliau saw.,
khususnya Abu Jahal dan
kawan-kawannya, firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾
اِنَّاۤ اَعۡطَیۡنٰکَ الۡکَوۡثَرَ ؕ﴿﴾ فَصَلِّ
لِرَبِّکَ وَ انۡحَرۡ ؕ﴿﴾ اِنَّ
شَانِئَکَ ہُوَ الۡاَبۡتَرُ ٪﴿﴾
Aku baca dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang. Sesungguhnya Kami telah menganugerahkan kepada engkau
berlimpah-limpah kebaikan. Maka shalatlah
bagi Tuhan engkau dan berkorbanlah.
Sesungguhnya musuh engkau, dialah yang tanpa keturunan. (Al-Kautsār [108]:1-4).
Karena
Nabi Besar Muhammad saw. adalah seorang Rasul Allah yang bukan hanya khusus untuk bangsa
Arab saja -- melainkan Rasul Allah
untuk seluruh umat manusia (QS.7:159; QS.21:108; QS.25:2; QS.34:29) – maka ketidakberadaan putra (anak-laki-laki)
beliau saw. yang berumur panjang bukan masalah, sebab kedudukan beliau saw. sebagai
“bapak jasmani” bukanlah hal yang utama, tetapi yang sangat
penting adalah kedudukan Nabi Besar
Muhammad saw. adalah sebagai “bapak ruhani” (rasul Allah) untuk seluruh umat manusia, terlebih lagi beliau saw. bukan hanya sebagai Rasul Allah belaka melainkan sebagai Rasul Allah yang bergelar “Khātaman
Nabiyyīn”, firman-Nya lagi:
مَا کَانَ مُحَمَّدٌ اَبَاۤ اَحَدٍ
مِّنۡ رِّجَالِکُمۡ وَ لٰکِنۡ رَّسُوۡلَ اللّٰہِ وَ خَاتَمَ النَّبِیّٖنَ ؕ وَ کَانَ اللّٰہُ
بِکُلِّ شَیۡءٍ عَلِیۡمًا ﴿٪﴾
Muhammad bukanlah bapak salah seorang laki-laki di antara laki-laki kamu, akan tetapi ia adalah Rasul Allah dan Meterai sekalian nabi, dan Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu. (Al-Ahzāb [33]:41).
Itulah jenjang-jenjang pembelaan Allah Swt. kepada kesucian Nabi Besar Muhammad saw. yang
oleh para pemuka bangsa Arab musyrik telah
dituduh menikahi janda Zaid bin
Haritsah - bekas anak angkatnya – yang
menurut adat istiadat jahiliyah bangsa Arab, seorang ayah
angkat tidak boleh menikahi janda (mantan istri) dari anak angkatnya , namun Allah Swt. berkehendak membatalkan adat-istiadat jahiliyah tersebut
melalui pernikahan Nabi Besar Muhammad saw. dengan Siti Zainab r.a. QS.33:5-7
& 37-41.
Oleh karena itu jika gelar “Khātaman Nabiyyīn” Nabi Besar Muhammad saw. hanya diartikan
sebagai “nabi penutup” atau “penutup nabi-nabi” secara total, maka
berarti tuduhan abtar (terputus
keturunannya) terhadap beliau saw. menjadi benar
adanya, sebab dalam kenyataannya bahwa semua putra laki-laki beliau saw. wafat
pada waktu kecil, kemudian lagi setelah beliau saw. semua bentuk kenabian dan wahyu Ilahi dpercayai tertutup
rapat, dan yang tetap berlangsung
hanyalah wahyu-wahyi syaitan.
Benarkah demikian?
Penghinaan Terhadap Kemuliaan Gelar
“Khātaman Nabiyyīn” Nabi Besar Muhammad Saw.
Kenapa demikian?
Sebab hal itu akan berarti bahwa bukan saja secara
jasmani saja Nabi Besar Muhammad
saw. benar-benar tidak memiliki anak-laki-laki
yang berumur panjang serta memiliki keturunan
jasmani yang banyak, tetapi sebagai rasul
Allah (bapak ruhani pun – QS.33:7)
pun beliau saw. tidak memiliki “anak-anak ruhani” sebagaimana halnya
para Rasul Allah sebelumnya, misalnya Nabi Ibrahim a.s. (QS.2:125-130), Nabi Ya’qub a.s. dan Nabi
Musa a.s., yang setelah para rasul
Allah tersebut di kalangan keturunannya mereka ada yang menjadi rasul
Allah (QS.2:131-134; QS.2:88).
Penghinaan
terhadap kemuliaan gelar “Khātaman Nabiyyīn” Nabi Besar Muhammad saw. tersebut tercermin dari kepercayaan umumnya umat
Islam di Akhir Zaman ini, bahwa yang
akan mewujudkan kejayaan Islam yang
kedua kali di Akhir Zaman ini
(QS.61:10) adalah Nabi Isa Ibnu Maryam
a.s. Israili, padahal dengan tegas
di dalam Kitab Suci Al-Quran Allah Swt.
maupun Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. menyatakan bahwa beliau adalah Rasul Allah hanya untuk kalangan Bani
Israil (QS.3:43-50; QS.61:7), dan yang dimaksud dengan kedatangannya kedua kali beliau adalah kedatangan misal (orang yang seperti) Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. (misal Isa
Ibnu Maryam a..s. – QS.43:58), sebagaimana halnya Nabi Besar Muhammad saw.
adalah sebagai misal (yang
seperti) Nabi Musa a.s. (QS.46:11).
Jika kepercayaan
keliru mengenai kedatangan kedua
kali Nabi
Isa Ibnu Maryam a.s. tersebut benar,
lalu apa gunanya Allah Swt. menurunkan agama
Islam (Al-Quran) dan Nabi Besar
Muhammad saw. sebagai agama dan Kitab suci serta Rasul Allah yang paling sempurna
dalam segala seginya, kalau hanya untuk
menjadi seorang yang abtar (terputus
keturunannya)?
Padahal dengan jelas Allah Swt. telah
berfirman mengenai keberkatan
mengikuti suri teladan terbaik Nabi Besar Muhammad saw. tersebut (QS.3:32;
QS.33:22), bahwa mereka akan termasuk ke dalam golongan orang-orang yang mendapat nikmat-nikmat ruhani dari Allah Swt., yakni “nabi-nabi, shiddiq-shiddiq, syuhada (syahid-syahid) dan orang-orang shalih”, firman-Nya:
وَ مَنۡ یُّطِعِ اللّٰہَ وَ الرَّسُوۡلَ فَاُولٰٓئِکَ مَعَ الَّذِیۡنَ
اَنۡعَمَ اللّٰہُ عَلَیۡہِمۡ مِّنَ النَّبِیّٖنَ وَ الصِّدِّیۡقِیۡنَ وَ
الشُّہَدَآءِ وَ الصّٰلِحِیۡنَ ۚ وَ حَسُنَ اُولٰٓئِکَ رَفِیۡقًا ﴿ؕ﴾ ذٰلِکَ الۡفَضۡلُ
مِنَ اللّٰہِ ؕ وَ کَفٰی بِاللّٰہِ عَلِیۡمًا ﴿٪﴾
Dan barangsiapa
taat kepada Allah dan Rasul ini
maka mereka akan termasuk di antara
orang-orang yang Allah memberi nikmat kepada mereka yakni: nabi-nabi, shiddiq-shiddiq, syahid-syahid,
dan orang-orang shalih, dan mereka itulah sahabat yang
sejati. Itulah karunia
dari Allah, dan cukuplah Allah Yang Maha Mengetahui. (An-Nisā [4]:70-71).
Kata
depan ma’a menunjukkan adanya dua orang atau lebih, bersama pada suatu tempat atau pada satu saat, kedudukan, pangkat atau keadaan. Kata itu mengandung arti bantuan, seperti tercantum dalam QS.9:40
(Al-Mufradat). Kata itu
dipergunakan pada beberapa tempat dalam Al-Quran dengan artian fi
artinya “di antara” (QS.3:194; QS.4:
147).
Ayat
ini sangat penting sebab ia menerangkan semua jalur kemajuan ruhani yang terbuka
bagi kaum Muslimin. Keempat martabat
keruhanian — para nabi, para shiddiq, para syahid (syuhada) dan para shalih
(orang-orang saleh) — kini semuanya dapat
dicapai hanya dengan jalan mengikuti Nabi Besar Muhammad saw..
Kehormatan Khusus Bagi Nabi Besar Muhammad Saw.
Hal ini merupakan kehormatan khusus bagi Nabi Besar Muhammad saw. semata. Tidak ada nabi lain menyamai
beliau saw. dalam perolehan nikmat
ini. Kesimpulan itu lebih lanjut ditunjang oleh ayat dalam Surah lain yang
membicarakan nabi-nabi secara umum
dan mengatakan: “Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan para rasul-Nya,
mereka adalah orang-orang shiddiq dan
saksi-saksi (syuhada) di sisi Tuhan
mereka” (QS.57: 20).
Apabila kedua ayat ini dibaca
bersama-sama maka kedua ayat itu berarti bahwa, kalau para pengikut nabi-nabi lainnya hanya dapat mencapai
martabat shiddiq, syahid, dan shalih dan tidak lebih tinggi dari itu, maka pengikut Nabi Besar Muhammad saw. dapat naik ke martabat nabi juga, yakni nabi ummati.
Kitab “Bahr-ul-Muhit”
(jilid III, hlm. 287) menukil Al-Raghib yang mengatakan: “Tuhan telah membagi
orang-orang beriman dalam empat golongan
dalam ayat ini, dan telah menetapkan bagi mereka empat tingkatan, sebagian di
antaranya lebih rendah dari yang lain, dan Dia telah mendorong orang-orang
beriman sejati agar jangan tertinggal dari keempat tingkatan ini.” Dan
membubuhkan bahwa: “Kenabian itu ada
dua macam: umum dan khusus. Kenabian khusus, yakni kenabian yang membawa syariat,
sekarang tidak dapat dicapai lagi; tetapi kenabian
yang umum masih tetap dapat dicapai.”
Pada hakikatnya merujuk kepada nikmat-nikmat keruhanian itulah kata nikmat yang tercantum di dalam Surah Al-Fatihah -- yang tanpa membaca Surah Al-Fatihah tersebut maka shalat
tidak sah -- firman-Nya:
اِیَّاکَ
نَعۡبُدُ وَ اِیَّاکَ
نَسۡتَعِیۡنُ ؕ﴿۴﴾ اِہۡدِ نَا الصِّرَاطَ
الۡمُسۡتَقِیۡمَ ۙ﴿۵﴾ صِرَاطَ الَّذِیۡنَ اَنۡعَمۡتَ عَلَیۡہِمۡ ۙ۬ غَیۡرِ الۡمَغۡضُوۡبِ عَلَیۡہِمۡ وَ لَا الضَّآلِّیۡنَ ٪﴿۷﴾
Hanya Engkau-lah Yang kami sembah dan hanya kepada Engkau-lah kami mohon pertolongan. Tunjukilah kami jalan yang lurus,
yaitu jalan orang-orang
yang telah Engkau beri nikmat atas mereka, bukan jalan mereka yang
dimurkai dan bukan pula jalan mereka yang sesat. (Al-Fatihah
[1]:5-7).
Doa
اِہۡدِ نَا الصِّرَاطَ الۡمُسۡتَقِیۡمَ -- “Tunjukilah
kami jalan yang lurus”
ini meliputi seluruh keperluan manusia — kebendaan dan ruhani, untuk masa ini
dan masa yang akan datang. Orang beriman
berdoa agar kepadanya ditunjukkan jalan
lurus — jalan terpendek. Kadang-kadang kepada manusia diperlihatkan jalan yang benar dan lurus itu
tetapi ia tidak dibimbing kepadanya,
atau jika pun dibimbing ke
sana ia tidak teguh pada jalan itu
dan tidak mengikutinya hingga akhir.
Makna “Orang yang Mendapat Nikmat
Ilahi”
Doa tersebut menghendaki agar
orang beriman tidak merasa puas dengan hanya diperlihatkan kepadanya suatu jalan,
atau juga dengan dibimbing pada jalan itu, tetapi ia harus senantiasa
terus menerus mengikutinya hingga
mencapai tujuannya, dan inilah makna hidayah,
yang berarti menunjukkan jalan yang lurus (QS.90:11), membimbing ke jalan yang lurus (QS.29:70), dan membuat orang mengikuti jalan yang lurus (QS.7:44) (Al-Mufradat
dan Baqa).
Pada hakikatnya, manusia
memerlukan pertolongan Allah Swt. pada tiap-tiap langkah dan pada setiap
saat, dan sangat perlu sekali baginya agar ia senantiasa mengajukan
kepada-Nya permohonan yang terkandung dalam ayat ini. Oleh karena itu doa terus-menerus itu memang sangat
perlu. Selama kita mempunyai keperluan-keperluan yang belum kesampaian dan keperluan-keperluan yang belum terpenuhi
dan tujuan-tujuan yang belum tercapai
maka kita selamanya memerlukan doa. Sedangkan makna doa dalam ayat:
صِرَاطَ الَّذِیۡنَ اَنۡعَمۡتَ عَلَیۡہِمۡ ۙ۬ غَیۡرِ الۡمَغۡضُوۡبِ عَلَیۡہِمۡ وَ لَا الضَّآلِّیۡنَ ٪﴿۷﴾
“jalan orang-orang yang telah Engkau beri
nikmat atas mereka, bukan
jalan mereka yang dimurkai dan bukan pula jalan
mereka yang sesat” (Al-Fatihah
[1]:7).
Orang beriman sejati tidak akan puas hanya dengan dibimbing ke jalan yang lurus atau dengan melakukan beberapa amal shalih tertentu saja. Ia
menempatkan tujuannya jauh lebih tinggi dan berusaha mencapai kedudukan saat Allah Swt. mulai menganugerahkan karunia-karunia istimewa kepada hamba-hamba-Nya.
Ia melihat kepada contoh-contoh karunia Ilahi yang dianugerahkan kepada
para hamba pilihan Ilahi (QS.4:70)
lalu memperoleh dorongan semangat dari mereka. Ia bahkan tidak berhenti sampai
di situ saja, tetapi ia berusaha keras dan mendoa supaya digolongkan di antara
“orang-orang yang telah mendapat nikmat” dan menjadi seorang dari antara
mereka. Orang-orang yang telah mendapat nikmat itu telah disebut dalam
QS.4:70 sebelum ini, firman-Nya:
وَ مَنۡ یُّطِعِ اللّٰہَ وَ الرَّسُوۡلَ فَاُولٰٓئِکَ مَعَ الَّذِیۡنَ
اَنۡعَمَ اللّٰہُ عَلَیۡہِمۡ مِّنَ النَّبِیّٖنَ وَ الصِّدِّیۡقِیۡنَ وَ
الشُّہَدَآءِ وَ الصّٰلِحِیۡنَ ۚ وَ حَسُنَ اُولٰٓئِکَ رَفِیۡقًا ﴿ؕ﴾ ذٰلِکَ الۡفَضۡلُ
مِنَ اللّٰہِ ؕ وَ کَفٰی بِاللّٰہِ عَلِیۡمًا ﴿٪﴾
Dan barangsiapa
taat kepada Allah dan Rasul ini
maka mereka akan termasuk di antara
orang-orang yang Allah memberi nikmat kepada mereka yakni: nabi-nabi, shiddiq-shiddiq, syahid-syahid,
dan orang-orang shalih, dan mereka itulah sahabat yang
sejati. Itulah karunia
dari Allah, dan cukuplah Allah Yang Maha Mengetahui. (An-Nisā [4]:70-71).
Mereka yang Menolak “Nikmat Ilahi”
Doa
tersebut umum dan tidak untuk sesuatu karunia tertentu. Orang beriman bermohon kepada Allah Swt. agar
menganugerahkan karunia ruhani yang tertinggi kepadanya, dan terserah kepada
Dia untuk menganugerahkan kepadanya karunia yang dianggap-Nya pantas dan layak bagi orang beriman itu menerimanya, dan mohon
agar tidak menjadi golongan الۡمَغۡضُوۡبِ عَلَیۡہِمۡ -- “mereka yang dimurkai” dan bukan لَا الضَّآلِّیۡنَ -- ”yang sesat.”
Orang-orang yang karena memahami dan mengamalkan petunjuk Al-Quran sesuai dengan
yang difahami dan disunnahkan oleh Nabi Besar Muhammad
saw. (QS.3:32) maka pasti mereka
akan mendapat “nikmat-nikmat Ilahi” – sehingga mereka termasuk ke dalam salah satu dari
empat macam golongan orang
yang memdapat nikmat Ilahi tersebut –
yakni “nabi-nabi, shiddiq-shiddiq, syahid-syahid (saksi-saksi), dan orang-orang shalih.”
Keberkatan melaksanakan ajaran Al-Quran
-- sesuai pemahaman dan Sunnah
Nabi Besar Muhammad saw. -- tersebut,
maka sebagai hasilnya adalah pasti mereka itu akan menjadi “rahmat
bagi seluruh alam” seperti halnya Nabi Besar Muhammad saw. (QS.21:108) dan
sebagai “umat terbaik” yang dijadikan
bagi kepentingan seluruh umat manusia sebagaimana para Sahabah beliau saw. di masa awal (QS.2:144; QS.3:111).
Sangat
mustahil (tidak mungkin) sebagai halnya bahwa bahwa mereka itu akan menjadi pelaku tindak kekerasan dan kerusakan
di muka bumi -- sehingga citra suci agama Islam (Al-Quran) dan Nabi Besar
Muhammad saw. menjadi ternoda berat
-- namun demikian dengan bangga
mereka itu menganggap bahwa tindakan-tindakan yang bertentangan dengan ajaran Islam (Al-Quran) dan Sunnah Nabi Besar Muhammad Saw. – yang merupakan
“rahmat bagi seluruh alam” (QS.21:108) -- tersebut sebagai tindakan membela kesucian Islam (Al-Quran) dan Nabi
Besar Muhammad saw.. Dengan demikian benarlah firman-Nya:
وَ اِذَا قِیۡلَ لَہُمۡ لَا تُفۡسِدُوۡا فِی الۡاَرۡضِ ۙ قَالُوۡۤا اِنَّمَا نَحۡنُ
مُصۡلِحُوۡنَ ﴿﴾ اَلَاۤ اِنَّہُمۡ ہُمُ
الۡمُفۡسِدُوۡنَ وَ لٰکِنۡ لَّا یَشۡعُرُوۡنَ ﴿﴾ وَ اِذَا قِیۡلَ لَہُمۡ اٰمِنُوۡا کَمَاۤ اٰمَنَ
النَّاسُ قَالُوۡۤا
اَنُؤۡمِنُ کَمَاۤ اٰمَنَ
السُّفَہَآءُ ؕ اَلَاۤ اِنَّہُمۡ ہُمُ السُّفَہَآءُ وَ لٰکِنۡ لَّا
یَعۡلَمُوۡنَ ﴿﴾
Dan apabila dikatakan kepada
mereka: ”Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi”,
mereka berkata: “Sesungguhnya kami
adalah orang-orang yang melakukan
perbaikan.” Ketahuilah, sesungguhnya
mereka itulah pembuat kerusakan tetapi mereka
tidak menyadarinya. Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain
telah beriman”, mereka berkata:
“Apakah kami harus beriman
sebagaimana orang-orang bodoh itu
telah beriman?” Ketahuilah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang
bodoh tetapi mereka tidak mengetahui. (Al-Baqarah
[2]:12-14).
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 7
September 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar