Senin, 09 September 2013

Nabi Besar Muhammad Saw. adalah "Bapak Ruhani" Umat Manusia yang Tidak "Abtar" (Terputus Keturunannya)



ۡ  بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ

Khazanah Ruhani Surah  Shād


Bab 15

  Nabi Besar Muhammad Saw.  adalah “Bapak Ruhani” Umat Manusia yang Tidak Abtar (Terputus Keturunannya)        

Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

D
alam akhir  Bab sebelumnya  telah dikemukakan  mengenai    hubungan Nabi Besar Muhammad saw. dan wahyu Al-Quran, sehingga beliau saw. menjadi  perwujudan “Nur (Cahaya) di atas cahaya”, atau sebagai Rasul Allah yang bergelar “Khātaman Nabiyyīn  (QS.33:41) yakni “Nabi Allah yang paling  sempurna dalam segala seginya”  (QS.33:22; QS.53:1-19; QS.68:5), firman-Nya:
اَللّٰہُ  نُوۡرُ السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ ؕ مَثَلُ نُوۡرِہٖ کَمِشۡکٰوۃٍ  فِیۡہَا مِصۡبَاحٌ ؕ اَلۡمِصۡبَاحُ فِیۡ زُجَاجَۃٍ ؕ اَلزُّجَاجَۃُ کَاَنَّہَا کَوۡکَبٌ دُرِّیٌّ یُّوۡقَدُ مِنۡ شَجَرَۃٍ مُّبٰرَکَۃٍ  زَیۡتُوۡنَۃٍ  لَّا شَرۡقِیَّۃٍ  وَّ لَا غَرۡبِیَّۃٍ ۙ یَّکَادُ زَیۡتُہَا یُضِیۡٓءُ وَ لَوۡ لَمۡ تَمۡسَسۡہُ نَارٌ ؕ نُوۡرٌ عَلٰی نُوۡرٍ ؕ یَہۡدِی اللّٰہُ  لِنُوۡرِہٖ مَنۡ یَّشَآءُ ؕ وَ یَضۡرِبُ اللّٰہُ الۡاَمۡثَالَ لِلنَّاسِ ؕ وَ اللّٰہُ  بِکُلِّ شَیۡءٍ عَلِیۡمٌ ﴿ۙ﴾
Allah adalah Nur (Cahaya) seluruh langit dan bumi. Perumpamaan nur-Nya   seperti sebuah relung yang di dalamnya ada pelita. Pelita itu ada dalam kaca. Kaca itu seperti bintang yang gemerlapan. Pelita itu dinyalakan dengan minyak dari sebatang pohon kayu yang diberkati, yaitu  pohon zaitun yang bukan di timur dan bukan di barat, minyaknya hampir-hampir bercahaya walaupun api tidak menyentuhnya. Nur (Cahaya) di atas nur (cahaya). Allah memberi bimbingan menuju nur-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki, dan Allah mengemukakan tamsil-tamsil (perumpamaan-perumpamaan) untuk manusia, dan Allah Maha  Mengetahui segala sesuatu. (An-Nūr [24]:35).

Hubungan Gelar ““Khātaman Nabiyyīn   dengan
Keberlangsungan “Wahyu Ilahi” bukan Syariat

        Selanjutnya mengenai gelar “Khātaman Nabiyyīn  (QS.33:41) yakni “Nabi Allah yang paling  sempurna dalam segala seginya” Allah Swt. berrfirman:
مَا کَانَ مُحَمَّدٌ اَبَاۤ  اَحَدٍ مِّنۡ رِّجَالِکُمۡ وَ لٰکِنۡ رَّسُوۡلَ اللّٰہِ وَ خَاتَمَ  النَّبِیّٖنَ ؕ وَ  کَانَ اللّٰہُ  بِکُلِّ شَیۡءٍ عَلِیۡمًا ﴿٪﴾
Muhammad bukanlah bapak salah seorang laki-laki di antara laki-laki  kamu, akan tetapi ia adalah Rasul Allah dan Meterai sekalian nabi, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Al-Ahzāb [33]:41).
   Kemudian mengenai hubungan Nabi Besar Muhammad saw. dengan kesempurnaan Kitab suci (wahyu) Al-Quran, Allah Swt. berfirman:
وَ مَا کَانَ  لِبَشَرٍ اَنۡ یُّکَلِّمَہُ اللّٰہُ  اِلَّا وَحۡیًا اَوۡ مِنۡ وَّرَآیِٔ حِجَابٍ اَوۡ یُرۡسِلَ رَسُوۡلًا فَیُوۡحِیَ بِاِذۡنِہٖ مَا یَشَآءُ ؕ اِنَّہٗ عَلِیٌّ  حَکِیۡمٌ ﴿﴾  وَ کَذٰلِکَ  اَوۡحَیۡنَاۤ  اِلَیۡکَ رُوۡحًا مِّنۡ اَمۡرِنَا ؕ مَا کُنۡتَ تَدۡرِیۡ مَا الۡکِتٰبُ وَ لَا  الۡاِیۡمَانُ وَ لٰکِنۡ جَعَلۡنٰہُ  نُوۡرًا نَّہۡدِیۡ  بِہٖ مَنۡ نَّشَآءُ  مِنۡ عِبَادِنَا ؕ وَ اِنَّکَ لَتَہۡدِیۡۤ  اِلٰی صِرَاطٍ مُّسۡتَقِیۡمٍ﴿ۙ﴾  صِرَاطِ اللّٰہِ  الَّذِیۡ  لَہٗ مَا فِی السَّمٰوٰتِ وَ مَا فِی الۡاَرۡضِ ؕ اَلَاۤ  اِلَی اللّٰہِ  تَصِیۡرُ الۡاُمُوۡرُ ﴿٪﴾
Dan sekali-kali tidak mungkin bagi manusia bahwa Allah berbicara kepadanya, kecuali dengan wahyu atau dari belakang tabir atau dengan mengirimkan seorang utusan guna mewahyukan dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki, sesungguhnya  Dia Maha Tinggi, Maha Bijaksana. Dan demikianlah Kami telah mewahyukan kepada engkau ruh (firman) ini dengan perintah Kami. Engkau sekali-kali tidak mengetahui apa Kitab itu, dan tidak pula apa iman itu,  tetapi Kami telah menjadikan wahyu itu nur (cahaya), yang dengan itu Kami memberi petunjuk kepada siapa yang Kami kehendaki dari antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya engkau benar-benar memberi petunjuk ke jalan lurus,   jalan  Allah Yang milik-Nya apa yang ada di seluruh langit dan apa yang ada di bumi. Ketahuilah, kepada Allah segala perkara kembali.  (Asy-Syūrā [42:52-54).
    Ayat 52   menyebut tiga cara Allah Swt.  berbicara kepada hamba-Nya dan menampakkan Wujud-Nya kepada mereka: (a) Dia berfirman secara langsung kepada mereka tanpa perantara. (b) Dia membuat mereka menyaksikan kasyaf (penglihatan gaib), yang dapat ditakwilkan atau tidak, atau kadang-kadang membuat mereka mendengar kata-kata dalam keadaan jaga dan sadar, di waktu itu mereka tidak melihat wujud orang yang berbicara kepada mereka. Inilah arti kata-kata "dari belakang tabir," (c) Allah Swt. menurunkan seorang utusan (rasul) atau seorang malaikat yang menyampaikan Amanat Ilahi.
  Dalam ayat 52 wahyu Al-Quran disebut   ruh (nafas hidup — Lexicon Lane), dan juga nur (cahaya), sebab dengan perantaraannya  bangsa yang telah mati keadaan akhlak dan keruhaniannya mendapat kehidupan baru. Selanjutnya dalam yat 54 Allah Swt.  menyatakan  bahwa   Islam adalah ruh (kehidupan), nur (cahaya) dan jalan yang membawa (menyampaikan) manusia kepada Allah Swt.  dan menyadarkan manusia akan tujuan agung dan luhur kejadiannya, yakni untuk menyembah-Nya (QS.51:57) dan sebagai Khalifah-Nya di muka bumi (QS.2:31).
 Makna ayat   اَلَاۤ  اِلَی اللّٰہِ  تَصِیۡرُ الۡاُمُوۡرُ    -- “Ketahuilah, kepada Allah segala perkara kembali  adalah bahwa permulaan dan akhir segala sesuatu terletak di tangan Allah Swt. dan sepenuhnya kembali kepada-Nya.

Yang Abtar (Terputus Keturunannya) adalah
Para Penentang Nabi Besar Muhammad Saw.

    Jadi, demikianlah hubungan gelar “Khātaman Nabiyyīn” Nabi Besar Muhammad saw. dalam QS.33:41 dengan  kalimat “Nur di atas nur” (Cahaya di atas cahaya – QS.24:35) dalam   kaitannya dengan kesempurnaan  Al-Quran yang diwahyukan Allah Swt. kepada beliau saw. (QS.5:4), sehingga mustahil Nabi Bear Muhammad saw. adalah seorang yang abtar (terputus keturunannya)  sebagaimana tuduhan para penentang beliau saw., khususnya Abu Jahal dan kawan-kawannya, firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾ اِنَّاۤ  اَعۡطَیۡنٰکَ  الۡکَوۡثَرَ ؕ﴿﴾  فَصَلِّ  لِرَبِّکَ وَ انۡحَرۡ ؕ﴿﴾  اِنَّ شَانِئَکَ ہُوَ الۡاَبۡتَرُ ٪﴿﴾
Aku baca  dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang.   Sesungguhnya Kami  telah  menganugerahkan kepada engkau berlimpah-limpah kebaikan.   Maka shalatlah  bagi Tuhan engkau dan berkorbanlah.   Sesungguhnya musuh engkau, dialah  yang  tanpa keturunan.  (Al-Kautsār   [108]:1-4). 
       Karena   Nabi Besar Muhammad saw. adalah seorang Rasul Allah yang bukan hanya khusus untuk  bangsa Arab saja -- melainkan Rasul Allah untuk seluruh umat manusia (QS.7:159; QS.21:108; QS.25:2; QS.34:29) – maka ketidakberadaan putra  (anak-laki-laki) beliau saw. yang berumur panjang  bukan masalah, sebab kedudukan beliau saw. sebagai “bapak jasmani  bukanlah hal yang utama, tetapi yang sangat penting adalah kedudukan Nabi Besar Muhammad saw. adalah sebagai  bapak ruhani (rasul Allah) untuk seluruh umat manusia, terlebih lagi beliau saw.  bukan hanya sebagai Rasul Allah belaka melainkan sebagai Rasul Allah yang bergelar “Khātaman Nabiyyīn”, firman-Nya lagi: 
مَا کَانَ مُحَمَّدٌ اَبَاۤ  اَحَدٍ مِّنۡ رِّجَالِکُمۡ وَ لٰکِنۡ رَّسُوۡلَ اللّٰہِ وَ خَاتَمَ  النَّبِیّٖنَ ؕ وَ  کَانَ اللّٰہُ  بِکُلِّ شَیۡءٍ عَلِیۡمًا ﴿٪﴾
Muhammad bukanlah bapak salah seorang laki-laki di antara laki-laki  kamu, akan tetapi ia adalah Rasul Allah dan Meterai sekalian nabi, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Al-Ahzāb [33]:41).
   Itulah jenjang-jenjang pembelaan Allah Swt. kepada kesucian Nabi Besar Muhammad saw. yang oleh para pemuka bangsa Arab musyrik telah dituduh menikahi janda Zaid bin Haritsah  - bekas anak angkatnya – yang menurut adat istiadat jahiliyah  bangsa Arab,  seorang ayah angkat tidak boleh menikahi janda  (mantan istri) dari anak angkatnya , namun Allah Swt. berkehendak membatalkan adat-istiadat jahiliyah tersebut melalui  pernikahan Nabi Besar Muhammad saw. dengan Siti Zainab r.a. QS.33:5-7 & 37-41.
       Oleh karena itu jika gelar “Khātaman Nabiyyīn  Nabi Besar Muhammad saw. hanya diartikan sebagai “nabi penutup” atau “penutup nabi-nabi” secara total, maka berarti tuduhan abtar (terputus keturunannya) terhadap beliau saw. menjadi benar adanya, sebab dalam kenyataannya bahwa semua putra laki-laki beliau saw. wafat pada waktu kecil, kemudian lagi setelah beliau saw. semua bentuk kenabian dan wahyu Ilahi dpercayai tertutup rapat,  dan yang tetap berlangsung hanyalah wahyu-wahyi syaitan. Benarkah demikian?

Penghinaan Terhadap Kemuliaan Gelar
Khātaman Nabiyyīn Nabi Besar Muhammad Saw.

       Kenapa demikian? Sebab hal itu akan berarti bahwa bukan saja secara jasmani saja  Nabi Besar Muhammad saw. benar-benar tidak memiliki anak-laki-laki yang berumur panjang serta memiliki keturunan jasmani yang banyak, tetapi sebagai rasul Allah (bapak ruhani pun – QS.33:7)  pun beliau saw.  tidak memiliki “anak-anak ruhani” sebagaimana halnya para Rasul Allah  sebelumnya, misalnya Nabi Ibrahim a.s. (QS.2:125-130), Nabi Ya’qub a.s. dan Nabi Musa a.s., yang setelah para rasul Allah tersebut di kalangan   keturunannya  mereka ada yang menjadi  rasul Allah (QS.2:131-134; QS.2:88).
    Penghinaan terhadap kemuliaan gelar “Khātaman Nabiyyīn  Nabi Besar Muhammad saw.  tersebut tercermin dari kepercayaan umumnya umat Islam di Akhir Zaman ini,  bahwa yang akan mewujudkan kejayaan Islam yang kedua kali di Akhir Zaman ini (QS.61:10) adalah Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. Israili, padahal dengan tegas di dalam Kitab Suci Al-Quran Allah Swt. maupun Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.  menyatakan bahwa beliau adalah Rasul Allah hanya untuk kalangan Bani Israil (QS.3:43-50; QS.61:7), dan yang dimaksud dengan kedatangannya kedua kali beliau adalah kedatangan misal (orang yang seperti) Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. (misal Isa Ibnu Maryam a..s. – QS.43:58), sebagaimana halnya Nabi Besar Muhammad saw.  adalah sebagai misal (yang seperti) Nabi Musa a.s. (QS.46:11).
        Jika kepercayaan keliru mengenai kedatangan  kedua kali  Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. tersebut benar, lalu apa gunanya Allah Swt. menurunkan agama Islam (Al-Quran) dan Nabi Besar Muhammad saw. sebagai agama dan Kitab suci serta Rasul Allah yang paling sempurna dalam segala seginya,  kalau hanya untuk menjadi seorang yang abtar (terputus keturunannya)? 
       Padahal dengan jelas Allah Swt. telah berfirman mengenai keberkatan mengikuti suri teladan terbaik  Nabi Besar Muhammad saw. tersebut (QS.3:32; QS.33:22), bahwa mereka akan termasuk ke dalam golongan orang-orang yang mendapat nikmat-nikmat ruhani dari Allah Swt., yakni “nabi-nabi, shiddiq-shiddiq, syuhada (syahid-syahid) dan orang-orang shalih”, firman-Nya:
وَ مَنۡ یُّطِعِ اللّٰہَ وَ الرَّسُوۡلَ فَاُولٰٓئِکَ مَعَ الَّذِیۡنَ اَنۡعَمَ اللّٰہُ عَلَیۡہِمۡ مِّنَ النَّبِیّٖنَ وَ الصِّدِّیۡقِیۡنَ وَ الشُّہَدَآءِ وَ الصّٰلِحِیۡنَ ۚ وَ حَسُنَ اُولٰٓئِکَ رَفِیۡقًا ﴿ؕ﴾  ذٰلِکَ الۡفَضۡلُ مِنَ اللّٰہِ ؕ وَ کَفٰی بِاللّٰہِ عَلِیۡمًا ﴿٪﴾
Dan  barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul ini maka mereka akan termasuk di antara  orang-orang  yang Allah memberi nikmat kepada mereka yakni: nabi-nabi, shiddiq-shiddiq, syahid-syahid, dan orang-orang shalih, dan mereka itulah sahabat yang sejati.   Itulah karunia dari Allah,  dan cukuplah Allah Yang Maha Mengetahui.  (An-Nisā [4]:70-71).
       Kata depan ma’a menunjukkan adanya dua orang atau lebih, bersama pada suatu tempat atau pada satu saat, kedudukan, pangkat atau keadaan. Kata itu mengandung arti bantuan, seperti tercantum dalam QS.9:40 (Al-Mufradat). Kata itu dipergunakan pada beberapa tempat dalam Al-Quran dengan artian fi artinya “di antara”  (QS.3:194; QS.4: 147).
      Ayat ini sangat penting sebab ia menerangkan semua jalur kemajuan ruhani yang terbuka bagi kaum Muslimin. Keempat martabat keruhanian — para nabi, para shiddiq, para syahid (syuhada) dan para shalih (orang-orang saleh) — kini semuanya dapat dicapai hanya dengan jalan mengikuti  Nabi Besar Muhammad saw..

Kehormatan Khusus Bagi Nabi Besar Muhammad Saw.

       Hal ini merupakan kehormatan khusus bagi  Nabi Besar Muhammad saw.  semata. Tidak ada nabi lain menyamai beliau saw. dalam perolehan nikmat ini. Kesimpulan itu lebih lanjut ditunjang oleh ayat dalam Surah lain yang membicarakan nabi-nabi secara umum dan mengatakan: “Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan para rasul-Nya, mereka adalah orang-orang shiddiq dan saksi-saksi (syuhada) di sisi Tuhan mereka” (QS.57: 20).
        Apabila kedua ayat ini dibaca bersama-sama maka kedua ayat itu berarti bahwa, kalau para pengikut nabi-nabi lainnya hanya dapat mencapai martabat shiddiq, syahid, dan shalih dan tidak lebih tinggi dari itu, maka pengikut  Nabi Besar Muhammad saw.  dapat naik ke martabat nabi juga, yakni nabi ummati.
      Kitab “Bahr-ul-Muhit” (jilid III, hlm. 287) menukil Al-Raghib yang mengatakan: “Tuhan telah membagi orang-orang beriman  dalam empat golongan dalam ayat ini, dan telah menetapkan bagi mereka empat tingkatan, sebagian di antaranya lebih rendah dari yang lain, dan Dia telah mendorong orang-orang beriman sejati agar jangan tertinggal dari keempat tingkatan ini.” Dan membubuhkan bahwa: “Kenabian itu ada dua macam: umum dan khusus. Kenabian khusus, yakni kenabian yang membawa syariat, sekarang tidak dapat dicapai lagi; tetapi kenabian yang umum masih tetap dapat dicapai.”
     Pada hakikatnya merujuk kepada nikmat-nikmat keruhanian itulah kata nikmat  yang tercantum di dalam Surah Al-Fatihah -- yang tanpa membaca Surah Al-Fatihah tersebut maka shalat   tidak sah --  firman-Nya: 
اِیَّاکَ نَعۡبُدُ وَ اِیَّاکَ نَسۡتَعِیۡنُ ؕ﴿۴﴾ اِہۡدِ نَا الصِّرَاطَ الۡمُسۡتَقِیۡمَ ۙ﴿۵﴾  صِرَاطَ الَّذِیۡنَ اَنۡعَمۡتَ عَلَیۡہِمۡ ۙ۬  غَیۡرِ الۡمَغۡضُوۡبِ عَلَیۡہِمۡ وَ لَا الضَّآلِّیۡنَ ٪﴿۷﴾                                     
Hanya Engkau-lah Yang kami sembah  dan  hanya kepada Engkau-lah kami mohon pertolongan. Tunjukilah kami  jalan yang lurus,  yaitu jalan  orang-orang yang telah Engkau beri nikmat atas mereka,  bukan jalan mereka  yang dimurkai dan bukan pula jalan mereka  yang sesat.   (Al-Fatihah [1]:5-7).
      Doa   اِہۡدِ نَا الصِّرَاطَ الۡمُسۡتَقِیۡمَ   -- “Tunjukilah kami   jalan yang lurus” ini meliputi seluruh keperluan manusia — kebendaan dan ruhani, untuk masa ini dan masa yang akan datang. Orang beriman  berdoa agar kepadanya ditunjukkan jalan lurus — jalan terpendek. Kadang-kadang kepada manusia diperlihatkan jalan yang benar dan lurus itu  tetapi ia tidak dibimbing  kepadanya,  atau jika pun dibimbing ke sana  ia tidak  teguh pada jalan itu dan tidak mengikutinya hingga akhir.

Makna “Orang yang Mendapat Nikmat Ilahi

       Doa tersebut menghendaki agar orang beriman tidak merasa puas dengan hanya diperlihatkan kepadanya suatu jalan, atau juga dengan dibimbing pada jalan itu, tetapi ia harus senantiasa terus menerus mengikutinya hingga mencapai tujuannya, dan inilah makna hidayah, yang berarti menunjukkan jalan yang lurus (QS.90:11), membimbing ke jalan yang lurus (QS.29:70), dan membuat orang mengikuti jalan yang lurus (QS.7:44)  (Al-Mufradat dan Baqa).
    Pada hakikatnya, manusia memerlukan pertolongan Allah Swt.  pada tiap-tiap langkah dan pada setiap saat, dan sangat perlu sekali baginya agar ia senantiasa mengajukan kepada-Nya  permohonan yang terkandung dalam ayat ini. Oleh karena itu doa terus-menerus itu memang sangat perlu. Selama kita mempunyai keperluan-keperluan yang belum kesampaian dan keperluan-keperluan yang belum terpenuhi dan tujuan-tujuan yang belum tercapai maka kita selamanya memerlukan doa.  Sedangkan makna doa dalam ayat: 
صِرَاطَ الَّذِیۡنَ اَنۡعَمۡتَ عَلَیۡہِمۡ ۙ۬  غَیۡرِ الۡمَغۡضُوۡبِ عَلَیۡہِمۡ وَ لَا الضَّآلِّیۡنَ ٪﴿۷﴾
jalan  orang-orang yang telah Engkau beri nikmat atas mereka,  bukan jalan mereka  yang dimurkai dan bukan pula jalan mereka  yang sesat (Al-Fatihah [1]:7).
       Orang beriman  sejati tidak akan puas hanya dengan dibimbing ke jalan yang lurus atau dengan melakukan beberapa amal shalih tertentu saja. Ia menempatkan tujuannya jauh lebih tinggi dan berusaha mencapai kedudukan saat Allah Swt.   mulai menganugerahkan karunia-karunia istimewa kepada hamba-hamba-Nya.
       Ia melihat kepada contoh-contoh karunia Ilahi yang dianugerahkan kepada para hamba pilihan Ilahi (QS.4:70) lalu memperoleh dorongan semangat dari mereka. Ia bahkan tidak berhenti sampai di situ saja, tetapi ia berusaha keras dan mendoa supaya digolongkan di antara “orang-orang yang telah mendapat nikmat” dan menjadi seorang dari antara mereka. Orang-orang yang telah mendapat nikmat itu telah disebut dalam QS.4:70 sebelum ini, firman-Nya:
وَ مَنۡ یُّطِعِ اللّٰہَ وَ الرَّسُوۡلَ فَاُولٰٓئِکَ مَعَ الَّذِیۡنَ اَنۡعَمَ اللّٰہُ عَلَیۡہِمۡ مِّنَ النَّبِیّٖنَ وَ الصِّدِّیۡقِیۡنَ وَ الشُّہَدَآءِ وَ الصّٰلِحِیۡنَ ۚ وَ حَسُنَ اُولٰٓئِکَ رَفِیۡقًا ﴿ؕ﴾  ذٰلِکَ الۡفَضۡلُ مِنَ اللّٰہِ ؕ وَ کَفٰی بِاللّٰہِ عَلِیۡمًا ﴿٪﴾
Dan  barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul ini maka mereka akan termasuk di antara  orang-orang  yang Allah memberi nikmat kepada mereka yakni: nabi-nabi, shiddiq-shiddiq, syahid-syahid, dan orang-orang shalih, dan mereka itulah sahabat yang sejati.   Itulah karunia dari Allah,  dan cukuplah Allah Yang Maha Mengetahui.  (An-Nisā [4]:70-71).

Mereka yang Menolak “Nikmat Ilahi

       Doa tersebut  umum dan tidak untuk sesuatu karunia tertentu. Orang beriman  bermohon kepada Allah Swt. agar menganugerahkan karunia ruhani yang tertinggi kepadanya, dan terserah kepada Dia  untuk menganugerahkan kepadanya karunia yang dianggap-Nya pantas dan layak bagi orang beriman itu menerimanya, dan mohon agar tidak menjadi golongan  الۡمَغۡضُوۡبِ عَلَیۡہِمۡ     --   mereka  yang dimurkai”  dan bukan لَا الضَّآلِّیۡنَ  --    ”yang sesat.
        Orang-orang yang karena memahami dan mengamalkan petunjuk Al-Quran  sesuai dengan  yang difahami dan disunnahkan oleh Nabi Besar Muhammad saw. (QS.3:32) maka pasti mereka akan  mendapat “nikmat-nikmat Ilahi” – sehingga mereka termasuk ke dalam salah satu dari  empat macam golongan orang yang memdapat nikmat Ilahi tersebut – yakni  nabi-nabi, shiddiq-shiddiq, syahid-syahid (saksi-saksi), dan orang-orang shalih.
       Keberkatan  melaksanakan ajaran Al-Quran -- sesuai pemahaman dan  Sunnah Nabi Besar Muhammad saw. -- tersebut,  maka sebagai  hasilnya adalah pasti mereka itu akan menjadi    rahmat bagi seluruh alam  seperti halnya Nabi Besar Muhammad saw. (QS.21:108) dan sebagai “umat terbaik” yang dijadikan bagi kepentingan seluruh umat manusia sebagaimana para Sahabah beliau saw. di masa awal (QS.2:144; QS.3:111).
     Sangat mustahil (tidak mungkin) sebagai halnya bahwa bahwa mereka itu  akan menjadi pelaku tindak kekerasan dan kerusakan di muka bumi  -- sehingga citra suci  agama Islam (Al-Quran) dan Nabi Besar Muhammad saw. menjadi ternoda berat -- namun  demikian  dengan bangga mereka itu menganggap bahwa  tindakan-tindakan yang bertentangan dengan ajaran Islam (Al-Quran) dan Sunnah Nabi Besar Muhammad Saw. – yang merupakan “rahmat bagi seluruh alam” (QS.21:108) -- tersebut sebagai  tindakan membela kesucian Islam (Al-Quran) dan Nabi Besar Muhammad saw.. Dengan demikian benarlah firman-Nya:
وَ اِذَا قِیۡلَ لَہُمۡ لَا تُفۡسِدُوۡا فِی الۡاَرۡضِ ۙ  قَالُوۡۤا اِنَّمَا نَحۡنُ مُصۡلِحُوۡنَ ﴿﴾ اَلَاۤ اِنَّہُمۡ ہُمُ الۡمُفۡسِدُوۡنَ وَ لٰکِنۡ لَّا یَشۡعُرُوۡنَ ﴿﴾ وَ  اِذَا قِیۡلَ لَہُمۡ اٰمِنُوۡا کَمَاۤ اٰمَنَ النَّاسُ قَالُوۡۤا اَنُؤۡمِنُ کَمَاۤ اٰمَنَ السُّفَہَآءُ ؕ اَلَاۤ اِنَّہُمۡ ہُمُ  السُّفَہَآءُ  وَ لٰکِنۡ لَّا  یَعۡلَمُوۡنَ ﴿﴾
Dan apabila dikatakan kepada mereka:  Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi”, mereka berkata: “Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang  melakukan perbaikan.” Ketahuilah, sesungguhnya mereka itulah  pembuat kerusakan  tetapi mereka tidak menyadarinya.   Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain telah beriman”, mereka  berkata: “Apakah kami harus beriman sebagaimana orang-orang bodoh itu telah beriman?” Ketahuilah, sesungguhnya mereka itulah  orang-orang yang bodoh  tetapi mereka tidak mengetahui. (Al-Baqarah [2]:12-14).

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid

***

Pajajaran Anyar,  7  September   2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar