ۡ بِسۡمِ
اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah Ruhani Surah Shād
Bab 17
Hanya Allah Swt. yang Berkuasa “Mempersatukan
Hati” Umat Manusia dengan Keimanan
yang Hakiki kepada-Nya dan Kepada
Rasul-Nya
Oleh
Ki Langlang Buana
Kusuma
D
|
alam akhir Bab sebelumnya
telah dikemukakan mengenai pertentangan dan pertumpahan darah yang terjadi di kalangan berbagai firqah dan
sekte di lingkungan umat Islam di Akhir Zaman
ini -- dalam Surah lain Allah Swt. berfirman:
وَ مَا کَانَ لِمُؤۡمِنٍ اَنۡ یَّقۡتُلَ مُؤۡمِنًا اِلَّا خَطَـًٔا ۚ وَ
مَنۡ قَتَلَ مُؤۡمِنًا خَطَـًٔا فَتَحۡرِیۡرُ رَقَبَۃٍ مُّؤۡمِنَۃٍ وَّ دِیَۃٌ
مُّسَلَّمَۃٌ اِلٰۤی اَہۡلِہٖۤ اِلَّاۤ اَنۡ
یَّصَّدَّقُوۡا ؕ فَاِنۡ کَانَ مِنۡ قَوۡمٍ عَدُوٍّ لَّکُمۡ وَ ہُوَ مُؤۡمِنٌ
فَتَحۡرِیۡرُ رَقَبَۃٍ مُّؤۡمِنَۃٍ ؕ وَ اِنۡ کَانَ مِنۡ قَوۡمٍۭ بَیۡنَکُمۡ وَ
بَیۡنَہُمۡ مِّیۡثَاقٌ فَدِیَۃٌ مُّسَلَّمَۃٌ اِلٰۤی اَہۡلِہٖ وَ تَحۡرِیۡرُ
رَقَبَۃٍ مُّؤۡمِنَۃٍ ۚ فَمَنۡ لَّمۡ
یَجِدۡ فَصِیَامُ شَہۡرَیۡنِ مُتَتَابِعَیۡنِ ۫ تَوۡبَۃً مِّنَ اللّٰہِ ؕ وَ کَانَ اللّٰہُ عَلِیۡمًا حَکِیۡمًا ﴿﴾
Dan sekali-kali tidak patut bagi seorang yang
beriman membunuh seorang yang beriman
lainnya kecuali tidak sengaja.
Dan barangsiapa membunuh seorang
beriman dengan tidak sengaja maka hendaklah ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang
beriman dan membayar tebusan untuk
diserahkan kepada ahli waris di terbunuh, kecuali jika mereka
merelakan sebagai sedekah. Tetapi jika ia
yang terbunuh itu dari kaum yang
bermusuhan dengan kamu dan ia
seorang yang beriman maka cukuplah memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman. Dan jika ia dari kaum yang antara kamu dan mereka ada
suatu perjanjian persekutuan, maka bayarlah tebusan untuk diserahkan kepada ahli warisnya dan memerdekakan pula seorang budak yang
beriman. Tetapi barangsiapa tidak
memperoleh budak yang beriman maka ia
wajib berpuasa dua bulan berturut-turut, keringanan ini suatu
kasih-sayang dari Allah, dan Allah benar-benar Maha Mengetahui, Maha
Bijaksana. (An-Nisā [4]:93).
Apabila terjadi perang maka ada kemungkinan
seorang Muslim yang berada dipihak lain terbunuh oleh orang Muslim
lainnya tanpa disengaja, maka ayat
ini pada waktunya memberi peringatan
kepada kaum Muslimin agar senantiasa berjaga-jaga (waspada) terhadap kemungkinan serupa itu.
Lebih lanjut Allah Swt. berfirman
kepada orang-orang yang melalaikan
petunjuk dan peringatan Allah
Swt. tersebut -- dan bahkan mereka melakukan
perbuatan zalim tersebut dengan
sengaja -- dengan mengatas-namakan jihad di jalan
Allah:
وَ مَنۡ یَّقۡتُلۡ مُؤۡمِنًا مُّتَعَمِّدًا فَجَزَآؤُہٗ جَہَنَّمُ خٰلِدًا
فِیۡہَا وَ غَضِبَ اللّٰہُ عَلَیۡہِ وَ لَعَنَہٗ وَ اَعَدَّ لَہٗ عَذَابًا عَظِیۡمًا ﴿﴾
Dan barangsiapa membunuh seorang yang beriman dengan sengaja
maka balasannya adalah Jahannam, ia kekal di dalamnya, Allah
murka kepadanya, melaknatnya, dan menyediakan
baginya azab yang besar. (An-Nisā, [4]:93).
Pernyataan keras Allah Swt. tersebut di Akhir zaman ini benar-benar terjadi dan
terbukti kebenarannya, karena hampir di seluruh kawasan umat Islam di dunia ini
— terutama di kawasan Afghanistan,
Pakistan dan di Timur Tengah -- yang
terlibat dalam perang adalah sesama
Muslim, yakni pihak yang membunuh
dan yang menjadi korban pembunuhan
sama-sama membaca 2 Kalimah Syahadat serta mempercayai Rukun
Iman dan Rukun Islam.
Benarlah sabda Nabi Besar Muhammad saw.
ketika menjawab pertanyaan seorang
Sahabah, mengenai dua orang Muslim
yang terlibat perkelahian sehingga
salah seorang dari keduanya terbunuh.
Beliau saw. menjawab: “Keduanya masuk
neraka!” Dengan rasa heran Sahabah tersebut bertanya lagi, “Kenapa yang
terbunuh pun masuk neraka juga?”
Beliau saw. menjelaskan, “Karena ia pun berniat
(bertekad) untuk membunuh saudaranya
pula pula, kebetulan saja ia yang terbunuh.”
Hadits tersebut
terdapat dalam Shahih Bukhari, terjemahan Hadits tersebut sebagai berikut:
Dari Al-Ahnaf bin Qais bahwa ia berkata, "Pada suatu
ketika saya hendak pergi menolong seseorang yang sedang berkelahi. Secara
kebetulan saya bertemu Abu Bakar, ia pun berkata, "Mau ke mana kau?"
Kujawab, "Aku akan menolong orang itu." Ia berkata lagi,
"Kembalilah! Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, "Apabila dua orang muslim berkelahi dan
masing-masing mempergunakan pedang maka si pembunuh dan yang terbunuh, keduanya
masuk neraka." Aku bertanya, "Hal itu bagi pembunuh, bagaimana dengan yang terbunuh?" Beliau menjawab, "Karena orang yang terbunuh itu juga berusaha untuk membunuh saudaranya."
Kezaliman Akibat Fitnah Tehadap Golongan Muslim
dari
Kalangan Jemaat Ahmadiyah
Agar peristiwa yang memalukan
tersebut tidak terjadi di kalangan umat
Islam, selanjutnya Allah
Swt. memberi petunjuk:
یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡۤا اِذَا ضَرَبۡتُمۡ فِیۡ سَبِیۡلِ اللّٰہِ
فَتَبَیَّنُوۡا وَ لَا تَقُوۡلُوۡا لِمَنۡ اَلۡقٰۤی اِلَیۡکُمُ السَّلٰمَ لَسۡتَ
مُؤۡمِنًا ۚ تَبۡتَغُوۡنَ عَرَضَ الۡحَیٰوۃِ الدُّنۡیَا ۫ فَعِنۡدَ اللّٰہِ
مَغَانِمُ کَثِیۡرَۃٌ ؕ کَذٰلِکَ کُنۡتُمۡ مِّنۡ قَبۡلُ فَمَنَّ اللّٰہُ
عَلَیۡکُمۡ فَتَبَیَّنُوۡا ؕ اِنَّ اللّٰہَ کَانَ بِمَا تَعۡمَلُوۡنَ خَبِیۡرًا﴿﴾
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi berjihad di jalan Allah maka selidikilah dengan jelas dan janganlah
kamu mengatakan kepada orang yang memberi salam kepada kamu: “Engkau bukan orang yang beriman!” Jika
berlaku demikian berarti kamu hendak
mencari harta kehidupan di dunia, padahal di sisi Allah banyak harta kekayaan. Seperti itulah keadaan kamu dahulu lalu Allah memberi karunia kepada kamu,
karena itu selidikilah dengan jelas,
sesungguhnya Allah benar-benar Maha
Mengetahui mengenai apa pun yang
kamu kerjakan. (An-Nisā, [4]:94).
Kata salām
selain mengisyaratkan kepada ucapan “Assalāmu
‘alaykum” yang biasa diucapkan
orang Muslim jika bertemu sesama saudaranya seiman, juga berarti adalah “tawaran perdamaian”. Jadi, menurut ayat
tersebut kalau satu kaum menawarkan
perdamaian atau memperlihatkan sikap
damai terhadap kaum Muslimin,
maka kaum Muslimin diperintahkan Allah Swt. supaya menghargai sikap itu dan menjaga diri dari permusuhan.
Lebih-lebih karena masyarakat Islam Medinah pada masa Nabi Besar Muhammad
saw. dilindungi oleh kabilah-kabilah
yang bermusuhan, mereka diperintahkan agar menganggap seseorang yang memberi salam
kepada mereka dengan cara Islam
sebagai seorang Islam (Muslim),
kecuali kalau penyelidikan
membuktikan sebaliknya.
Ada
pun maksud ayat تَبۡتَغُوۡنَ عَرَضَ الۡحَیٰوۃِ
الدُّنۡیَا -- “kamu
hendak mencari harta kehidupan di dunia,” ialah “jika tanpa penyelidikan yang saksama kamu menyangka orang yang mengucapkan “salam” sebagai orang
kafir -- maka hal ini akan berarti bahwa “kamu ingin membunuh dia dan memiliki kekayaannya.” Tingkah demikian
akan menunjukkan bahwa dalam melakukan “jihad
di jalan Allah” tersebut “kamu lebih
menyukai harta duniawi daripada keridhaan
Allah Swt. فَعِنۡدَ اللّٰہِ مَغَانِمُ کَثِیۡرَۃٌ – “padahal di sisi Allah banyak harta kekayaan”.
Sehubungan dengan perintah
Allah Swt. dalam ayat tersebut yang
dilanggar oleh orang-orang yang mengaku Muslim
– yakni وَ لَا تَقُوۡلُوۡا لِمَنۡ اَلۡقٰۤی اِلَیۡکُمُ السَّلٰمَ لَسۡتَ مُؤۡمِنًا -- “dan janganlah kamu
mengatakan kepada orang yang memberi salam kepada kamu: “Engkau bukan orang yang beriman!”, di Akhir Zaman ini, contoh yang paling
nyata mengenai “berita-berita angin”
serta yang disebar-luaskan oleh “orang-orang
fasiq” (QS.49:7) adalah berbagai fitnah
dan informasi dusta mengenai Pendiri Jemaat Ahmadiyah, Mirza
Ghulam Ahmad a.s., dan para pengikutnya
di kalangan Jemaat Ahmadiyah.
Akibat dari penyebar-luasan fitnah-fitnah
zalim tersebut pihak Jemaat Ahmadiyah
– sesuai dengan Sunnah Nabi Besar Muhammad
saw. dan para Sahabah r.a. di masa
awal (QS.62:3-4) -- mereka harus menanggung berbagai bentuk kezaliman dari berbagai pihak
mempercayai fitnah-fitnah
tersebut, dengan tanpa terlebih dulu melakukan penyelidikan secara
seksama, sehingga benarlah pernyataan
Allah Swt. selanjutnya dalam firman-Nya sebelum ini – untuk memperingatkan umat Islam ketika
mereka mengalami hal yang sama di zaman
Nabi Besar Muhammad saw., firman-Nya:
ؕ کَذٰلِکَ کُنۡتُمۡ
مِّنۡ قَبۡلُ فَمَنَّ اللّٰہُ عَلَیۡکُمۡ فَتَبَیَّنُوۡا ؕ اِنَّ اللّٰہَ کَانَ
بِمَا تَعۡمَلُوۡنَ خَبِیۡرًا﴿﴾
“Seperti itulah keadaan kamu dahulu, lalu Allah memberi karunia kepada kamu, karena itu selidikilah dengan jelas, sesungguhnya Allah benar-benar Maha Mengetahui
mengenai apa pun yang kamu kerjakan.
(An-Nisā,
[4]:94).
Dengan demikian benarlah perintah
Allah Swt. dalam Surah Al-Hujurat
sebelumnya, firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ
اٰمَنُوۡۤا اِنۡ جَآءَکُمۡ فَاسِقٌۢ بِنَبَاٍ
فَتَبَیَّنُوۡۤا اَنۡ تُصِیۡبُوۡا قَوۡمًۢا
بِجَہَالَۃٍ فَتُصۡبِحُوۡا عَلٰی مَا
فَعَلۡتُمۡ نٰدِمِیۡنَ ﴿﴾
Hai orang-orang yang beriman, jika datang
kepada kamu seorang fasik membawa suatu
kabar maka selidikilah dengan jelas, supaya
kamu tidak menimpakan musibah terhadap suatu kaum karena kejahilan lalu kamu menjadi menyesal atas apa yang telah kamu kerjakan. (Al-Hujurāt
[49]:7).
Cara Terbaik Untuk Menyelesaikan Kemelut Berkepanjangan
Di Wilayah Timur Tengah & Pentingnya Musyawarah
Mengenai cara terbaik untuk menyelesaikan
kemelut berkepanjangan yang
terjadi di kalangan umat Islam –
terutama di Timur Tengah – saat ini,
selanjutnya Allah Swt. berfirman:
وَ اعۡلَمُوۡۤا اَنَّ فِیۡکُمۡ رَسُوۡلَ اللّٰہِ ؕ لَوۡ یُطِیۡعُکُمۡ
فِیۡ کَثِیۡرٍ مِّنَ الۡاَمۡرِ لَعَنِتُّمۡ وَ لٰکِنَّ اللّٰہَ حَبَّبَ اِلَیۡکُمُ
الۡاِیۡمَانَ وَ زَیَّنَہٗ
فِیۡ قُلُوۡبِکُمۡ وَ کَرَّہَ اِلَیۡکُمُ الۡکُفۡرَ وَ الۡفُسُوۡقَ وَ
الۡعِصۡیَانَ ؕ اُولٰٓئِکَ ہُمُ
الرّٰشِدُوۡنَ ۙ﴿﴾
Dan
ketahuilah bahwa di kalangan kamu
ada Rasul Allah. Seandainya ia harus mengikuti kehendak kamu dalam
banyak urusan niscaya kamu akan
mendapat kesusahan, tetapi Allah
telah menjadikan kamu mencintai keimanan dan telah menampakkannya indah dalam hati kamu, dan Dia telah menjadikan kamu benci kepada
kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang benar, sebagai karunia
serta nikmat dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana. (Al-Hujurāt [49]:8-9).
Orang-orang Muslim diberitahu di
sini bahwa Nabi Besar Muhammad saw. dapat
meminta musyawarah dalam urusan yang berhubungan dengan mereka,
tetapi tidak boleh diharapkan bahwa beliau saw. selamanya akan mengikuti saran mereka, sebab beliau saw. menerima petunjuk langsung dari langit -- yakni petunjuk
Allah Swt. melalui wahyu Ilahi -- dan
karena beliau saw. juga mempunyai pertanggungjawaban
terakhir.
Sesuai dengan hal tersebut, berikut adalah
firman-Nya kepada Nabi Besar Muhammad saw. mengenai pentingnya meminta musyawarah
dalam berbagai urusan yang penting:
فَبِمَا رَحۡمَۃٍ مِّنَ اللّٰہِ لِنۡتَ لَہُمۡ ۚ وَ لَوۡ کُنۡتَ فَظًّا
غَلِیۡظَ الۡقَلۡبِ لَانۡفَضُّوۡا مِنۡ حَوۡلِکَ ۪ فَاعۡفُ عَنۡہُمۡ وَ
اسۡتَغۡفِرۡ لَہُمۡ وَ شَاوِرۡہُمۡ فِی الۡاَمۡرِ ۚ فَاِذَا عَزَمۡتَ فَتَوَکَّلۡ
عَلَی اللّٰہِ ؕ اِنَّ اللّٰہَ یُحِبُّ الۡمُتَوَکِّلِیۡنَ ﴿﴾
Maka karena rahmat dari Allah-lah engkau bersikap lemah-lembut terhadap mereka,
dan se-andainya engkau senantiasa berlaku
kasar dan keras hati,
niscaya mereka akan bercerai-berai dari
sekitar engkau, karena itu maafkanlah
mereka, mintalah ampunan dari
Allah untuk mereka, bermusyawarahlah
dengan mereka dalam urusan yang penting, dan apabila engkau telah menetapkan tekad yakni
keputusan maka berta-wakkallah
kepada Allah, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakal. (Āli ‘Imran
[3]:160).
Kata-kata فَبِمَا رَحۡمَۃٍ مِّنَ اللّٰہِ لِنۡتَ
لَہُمۡ -- “Maka
karena rahmat dari Allah-lah engkau bersikap lemah-lembut terhadap mereka”
itu melukiskan keindahan watak Nabi Besar Muhammad saw.. Di antara perangai yang paling baik lagi menonjol
adalah kasih-sayang beliau yang
meliputi segala sesuatu. Beliau saw. penuh dengan kemesraan cinta-kasih manusiawi, dan beliau saw. bukan
saja berlaku baik terhadap para sahabat dan para pengikut beliau saw., bahkan
penuh kasih-sayang dan belas-kasih terhadap musuh-musuh beliau saw. sekali pun, yang
senantiasa mencari-cari kesempatan untuk menikam
dari belakang.
Terukir di dalam sejarah bahwa Nabi Besar Muhammad saw. tidak mengambil
tindakan apa pun terhadap orang-orang
munafik yang khianat – pimpinan
Abdullah bin Ubay -- dan telah
meninggalkan beliau saw. pada waktu Perang Uhud, yang nyaris beliau saw.
terbunuh dalam perang tersebut. Bahkan
beliau saw. meminta musyawarah
(pendapat) mereka dalam urusan kenegaraan.
Pentingnya Mengedepankan Musyawarah
Di
samping hal-hal lain, Islam mempunyai keistimewaan dalam segi ini yaitu Islam
memasukkan unsur musyawarah ke dalam asas-asas pokoknya. Islam mewajibkan
kepada negara Islam mengadakan musyawarah dengan orang-orang Muslim dalam segala urusan kenegaraan yang penting-penting.
Nabi Besar Muhammad saw. biasa bermusyawarah dengan para pengikut
beliau saw. sebelum perang-perang Badar,
Uhud, dan Ahzab, dan pula ketika sebuah tuduhan
palsu dilancarkan terhadap istri mulia beliau, Siti ‘Aisyah r.a. (QS.24:22-27).
Abu Hurairah r.a. mengatakan: “Rasulullāh saw.
mempunyai hasrat amat besar sekali untuk meminta musyawarah mengenai segala urusan penting” (Mantsur, II,
90). ‘Umar r.a., Khalifah kedua Nabi Besar Muhammad saw. diriwayatkan pernah bersabda: “Tiada khilafat tanpa musyawarah” (Izalat
al-Khifa ‘an Khilafat al-Khulafa’).
Jadi, mengadakan musyawarah dalam urusan penting
merupakan perintah asasi Islam dan
menjadi suatu keharusan bagi pemimpin-pemimpin ruhani maupun pemimpin-pemimpin duniawi di kalangan
umat Islam. Khalifah atau kepala negara Islam harus meminta saran dari orang-orang Muslim terkemuka, meskipun putusan terakhir tetap berada di
tangannya.
Syura atau musyawarah, menurut Islam, bukan suatu
bentuk parlemen dalam artian yang
dipakai di Barat. Kepala negara Islam
mempunyai wewenang penuh untuk menolak saran yang diajukan kepadanya.
Tetapi ia tidak boleh memakai wewenang
itu seenaknya saja dan harus menghargai
saran dari golongan terbanyak -- sebagaimana orang-orang yang diajak musyawarah pun tidak boleh memaksakan kehendaknya, sebagaimana
firman-Nya:
وَ اعۡلَمُوۡۤا اَنَّ فِیۡکُمۡ رَسُوۡلَ اللّٰہِ ؕ لَوۡ یُطِیۡعُکُمۡ
فِیۡ کَثِیۡرٍ مِّنَ الۡاَمۡرِ لَعَنِتُّمۡ وَ لٰکِنَّ اللّٰہَ حَبَّبَ اِلَیۡکُمُ
الۡاِیۡمَانَ وَ زَیَّنَہٗ
فِیۡ قُلُوۡبِکُمۡ وَ کَرَّہَ اِلَیۡکُمُ الۡکُفۡرَ وَ الۡفُسُوۡقَ وَ
الۡعِصۡیَانَ ؕ اُولٰٓئِکَ ہُمُ
الرّٰشِدُوۡنَ ۙ﴿﴾
Dan
ketahuilah bahwa di kalangan kamu
ada Rasul Allah. Seandainya ia harus mengikuti kehendak kamu dalam
banyak urusan niscaya kamu akan
mendapat kesusahan, tetapi Allah
telah menjadikan kamu mencintai keimanan dan telah menampakkannya indah dalam hati kamu, dan Dia telah menjadikan kamu benci kepada
kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang benar, sebagai karunia
serta nikmat dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana. (Al-Hujurāt [49]:8-9).
Dari ayat ini diketahui pentingnya umat
Islam memiliki seorang Imam atau Khalifah Rasul setelah Nabi Besar Muhammad saw. yang padanya umat Islam telah diperintahkan
Allah Swt. untuk senantiasa berpegang
teguh agar mereka tidak terpecah-belah
sebagaimana yang terjadi di kalangan
golongan Ahli Kitab.
Rasul Allah adalah “Tali Allah” yang Terulur dari Langit
Mengisyaratkan kepada kenyataan itu
pulalah peringatan Allah Swt. kepada umat Islam dalam firman-Nya
berikut ini – termasuk umat Islam di Akhir Zaman saat inti yang keadaannya terpecah-belah dan saling bertentangan serta saling mengkafirkan satu sama lain:
یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوا
اتَّقُوا اللّٰہَ حَقَّ تُقٰتِہٖ وَ لَا تَمُوۡتُنَّ اِلَّا وَ اَنۡتُمۡ مُّسۡلِمُوۡنَ ﴿﴾ وَ اعۡتَصِمُوۡا بِحَبۡلِ
اللّٰہِ جَمِیۡعًا وَّ لَا
تَفَرَّقُوۡا ۪ وَ
اذۡکُرُوۡا نِعۡمَتَ اللّٰہِ
عَلَیۡکُمۡ اِذۡ
کُنۡتُمۡ
اَعۡدَآءً فَاَلَّفَ
بَیۡنَ قُلُوۡبِکُمۡ
فَاَصۡبَحۡتُمۡ
بِنِعۡمَتِہٖۤ اِخۡوَانًا ۚ وَ کُنۡتُمۡ عَلٰی شَفَا
حُفۡرَۃٍ مِّنَ
النَّارِ فَاَنۡقَذَکُمۡ مِّنۡہَا ؕ کَذٰلِکَ یُبَیِّنُ اللّٰہُ
لَکُمۡ اٰیٰتِہٖ لَعَلَّکُمۡ
تَہۡتَدُوۡنَ ﴿﴾ وَلۡتَکُنۡ مِّنۡکُمۡ اُمَّۃٌ یَّدۡعُوۡنَ اِلَی
الۡخَیۡرِ وَ یَاۡمُرُوۡنَ
بِالۡمَعۡرُوۡفِ وَ یَنۡہَوۡنَ عَنِ
الۡمُنۡکَرِ ؕ وَ اُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡمُفۡلِحُوۡنَ ﴿﴾ وَ لَا تَکُوۡنُوۡا کَالَّذِیۡنَ
تَفَرَّقُوۡا وَ
اخۡتَلَفُوۡا مِنۡۢ بَعۡدِ مَا
جَآءَہُمُ الۡبَیِّنٰتُ ؕ وَ اُولٰٓئِکَ لَہُمۡ عَذَابٌ
عَظِیۡمٌ ﴿﴾ۙ یَّوۡمَ تَبۡیَضُّ وُجُوۡہٌ وَّ تَسۡوَدُّ وُجُوۡہٌ ۚ فَاَمَّا
الَّذِیۡنَ
اسۡوَدَّتۡ وُجُوۡہُہُمۡ ۟ اَکَفَرۡتُمۡ
بَعۡدَ اِیۡمَانِکُمۡ
فَذُوۡقُوا
الۡعَذَابَ بِمَا کُنۡتُمۡ تَکۡفُرُوۡنَ ﴿﴾ وَ اَمَّا الَّذِیۡنَ ابۡیَضَّتۡ وُجُوۡہُہُمۡ فَفِیۡ رَحۡمَۃِ اللّٰہِ ؕ ہُمۡ فِیۡہَا خٰلِدُوۡنَ ﴿﴾ تِلۡکَ اٰیٰتُ اللّٰہِ نَتۡلُوۡہَا عَلَیۡکَ بِالۡحَقِّ ؕ وَ مَا اللّٰہُ یُرِیۡدُ
ظُلۡمًا لِّلۡعٰلَمِیۡنَ ﴿﴾ وَ لِلّٰہِ مَا فِی
السَّمٰوٰتِ وَ مَا
فِی الۡاَرۡضِ ؕ وَ اِلَی اللّٰہِ تُرۡجَعُ
الۡاُمُوۡرُ ﴿﴾٪
Hai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kepada Allah
dengan takwa yang sebenar-benarnya,
dan janganlah sekali-kali kamu mati kecuali
kamu dalam keadaan berserah diri.
Dan berpegangteguhlah
kamu sekalian pada tali Allah, janganlah
kamu berpecah-belah, dan ingatlah
akan nikmat Allah atasmu ketika kamu dahulu bermusuh-musuhan lalu Dia
menyatukan hati kamu dengan kecintaan
antara satu sama lain maka
dengan nikmat-Nya itu kamu
menjadi bersaudara, dan kamu dahulu
berada di tepi jurang Api lalu Dia
menyelamatkan kamu darinya. Demikianlah Allah menjelaskan Ayat-ayat-Nya kepada kamu supaya kamu mendapat petunjuk. Dan hendaklah
ada segolongan di antara kamu yang senantiasa menyeru manusia
kepada keba-ikan, menyuruh
kepada yang makruf, melarang dari berbuat
munkar, dan mereka itulah
orang-orang yang berhasil. Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang
yang berpecah belah
dan berselisih sesudah bukti-bukti
yang jelas datang kepada mereka, dan mereka
itulah orang-orang yang
baginya ada azab yang besar. Pada hari
ketika wajah-wajah menjadi putih, dan wajah-wajah lainnya menjadi
hitam. Ada pun orang-orang yang wajahnya menjadi hitam,
dikatakan kepada mereka: “Apakah kamu kafir sesudah beriman? Karena itu rasakanlah
azab ini disebabkan kekafiran kamu."
Dan ada pun orang-orang yang wajahnya putih, maka mereka akan berada di dalam rahmat Allah,
mereka kekal di dalamnya. Itulah Ayat-ayat
Allah, Kami membacakannya kepada
engkau dengan haq, dan Allah sekali-kali tidak menghendaki suatu
kezaliman atas seluruh alam. Dan milik
Allah-lah apa pun yang ada di seluruh
langit dan apa pun yang ada di bumi,
dan kepada Allāh-lah segala urusan
dikembalikan.(Ali ‘Imran [3]:103-109).
Menurut Allah Swt., wewenang untuk mempersatukan
hati manusia dengan kecintaan yang hakiki dan berdasarkan keimanan adalah sepenuhnya wewenang Allah Swt.,
firman-Nya:
وَ اَلَّفَ بَیۡنَ قُلُوۡبِہِمۡ ؕ لَوۡ اَنۡفَقۡتَ مَا
فِی الۡاَرۡضِ جَمِیۡعًا مَّاۤ اَلَّفۡتَ بَیۡنَ قُلُوۡبِہِمۡ وَ لٰکِنَّ
اللّٰہَ اَلَّفَ بَیۡنَہُمۡ ؕ اِنَّہٗ عَزِیۡزٌ
حَکِیۡمٌ ﴿﴾ یٰۤاَیُّہَا النَّبِیُّ حَسۡبُکَ
اللّٰہُ وَ مَنِ اتَّبَعَکَ مِنَ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ﴿٪﴾
Dan Dia
telah menanamkan kecintaan di antara hati mereka, seandainya engkau membelanjakan yang ada di bumi ini
seluruhnya, engkau sekali-kali tidak akan dapat menanamkan
kecintaan di antara hati mereka, tetapi Allah telah menanamkan kecintaan di antara mereka, sesungguhnya Dia Maha Perkasa, Maha Bijaksana. Hai Nabi,
Allah mencukupi bagi engkau dan bagi
orang-orang
yang mengikuti engkau di antara orang-orang
beriman. (Al-Anfāl [8]:64-65).
Pentingnya
Ketakwaan yang Sejati dan
Berpegang
Teguh pada “Tali Allah”
Makna
ayat یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا
اللّٰہَ حَقَّ تُقٰتِہٖ وَ لَا تَمُوۡتُنَّ اِلَّا وَ اَنۡتُمۡ مُّسۡلِمُوۡنَ
-- “Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dengan takwa yang sebenar-benarnya, dan janganlah
sekali-kali kamu mati kecuali kamu dalam keadaan berserah diri.” (Ali ‘Imran [3]:103-109),
mengisyaratkan kepada pentingnya orang-orang yang beriman memiliki ketakwaan
yang hakiki, salah satu tandanya adalah bahwa karena
kedatangan saat kematian tidak
diketahui, maka orang-orang beriman dapat berkeyakinan akan mati dalam keadaan berserah
diri kepada Allah Swt. hanya bila diri mereka senantiasa tetap dalam
keadaan menyerahkan diri kepada-Nya.
Jadi ungkapan itu mengandung arti bahwa orang-orang beriman harus senantiasa tetap patuh kepada Allah Swt..
Ayat
selanjutnya menjelaskan وَ اعۡتَصِمُوۡا بِحَبۡلِ اللّٰہِ جَمِیۡعًا وَّ لَا تَفَرَّقُوۡا -- “Dan berpegangteguhlah kamu sekalian pada
tali Allah, janganlah
kamu berpecah-belah.” Habl
berarti: seutas tali atau pengikat yang dengan itu sebuah benda diikat atau dikencangkan; suatu ikatan,
suatu perjanjian atau permufakatan; suatu kewajiban yang
karenanya kita menjadi bertanggung jawab untuk keselamatan seseorang atau suatu
barang; persekutuan dan perlindungan (Lexicon
Lane). Nabi Besar Muhammad saw. diriwayatkan telah bersabda: “Kitab Allah itu tali Allāh yang telah
diulurkan dari langit ke bumi” (Tafsir Ibnu Jarir,
IV, 30).
“Tali Allah” pun
dapat mengisyaratkan kepada wujud Rasul Allah, sebab melalui pengutusan Rasul
Allah itulah terbentuknya suatu Jama’ah (Jemaat)
orang-orang beriman, sebagaimana
yang terjadi di kalangan bangsa Arab
yang beriman kepada Nabi Besar Muhammad saw., firman-Nya:
وَ اَلَّفَ بَیۡنَ قُلُوۡبِہِمۡ ؕ لَوۡ اَنۡفَقۡتَ مَا
فِی الۡاَرۡضِ جَمِیۡعًا مَّاۤ اَلَّفۡتَ بَیۡنَ قُلُوۡبِہِمۡ وَ لٰکِنَّ
اللّٰہَ اَلَّفَ بَیۡنَہُمۡ ؕ اِنَّہٗ عَزِیۡزٌ
حَکِیۡمٌ ﴿﴾ یٰۤاَیُّہَا النَّبِیُّ حَسۡبُکَ
اللّٰہُ وَ مَنِ اتَّبَعَکَ مِنَ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ﴿﴾
Dan Dia telah menanamkan kecintaan di antara
hati mereka, seandainya engkau
membelanjakan yang ada di bumi ini seluruhnya, engkau sekali-kali
tidak akan dapat menanamkan kecintaan di antara hati mereka, tetapi Allah telah menanamkan kecintaan di antara
mereka, sesungguhnya Dia Maha
Perkasa, Maha Bijaksana. Hai Nabi, Allah
mencukupi bagi engkau dan bagi orang-orang
yang mengikuti engkau di antara orang-orang
beriman. (Al-Anfāl [8]:64-65).
“Tulang
Belulang Berserakan” Menjadi “Satu Tubuh yang Utuh”
Selanjutnya Allah Swt. berfirman وَ اذۡکُرُوۡا نِعۡمَتَ اللّٰہِ عَلَیۡکُمۡ اِذۡ
کُنۡتُمۡ اَعۡدَآءً فَاَلَّفَ بَیۡنَ قُلُوۡبِکُمۡ
فَاَصۡبَحۡتُمۡ بِنِعۡمَتِہٖۤ اِخۡوَانًا --
“dan ingatlah
akan nikmat Allah atas kamu ketika kamu dahulu bermusuh-musuhan lalu Dia
menyatukan hati kamu dengan kecintaan
antara satu sama lain maka
dengan nikmat-Nya itu kamu
menjadi bersaudara.”
Sangat sukar kita mendapatkan suatu kaum
yang terpecah-belah lebih daripada orang-orang Arab sebelum kedatangan Nabi Besar Muhammad saw. di tengah mereka, tetapi dalam pada itu
sejarah umat manusia tidak dapat mengemukakan satu contoh pun ikatan persaudaraan penuh cinta yang
menjadikan orang-orang Arab telah bersatu-padu, berkat ajaran dan teladan luhur lagi mulia Junjungan
Agung mereka, Nabi Besar Muhammad saw..
Selanjutnya Allah Swt. berfirman
mengenai keadaan sangat membahayakan yang dihadapi bangsa Arab sebelum kedatangan Nabi Besar Muhammad
saw. وَ کُنۡتُمۡ عَلٰی شَفَا حُفۡرَۃٍ مِّنَ النَّارِ فَاَنۡقَذَکُمۡ مِّنۡہَا -- “dan kamu
dahulu berada di tepi jurang Api lalu Dia
menyelamatkan kamu darinya.” Kata-kata
“di tepi jurang Api” berarti peperangan, saling membinasakan yang di
dalam peperangan itu orang-orang Arab senantiasa terlibat dan menghabiskan kaum
pria mereka.
Pendek kata, demikian luar biasa eratnya “persaudaraan ruhani” yang tercipta di kalangan bangsa Arab ketika
mereka beriman dan patuh-taat
sepenuhnya kepada Allah Swt. dan kepada Nabi Besar Muhammad saw., padahal keadaan mereka sebelumnya adalah bagaikan “tulang-belulang yang berserakan”
(QS.17:50-53), tiba-tiba saja mereka menjadi “satu tubuh yang hidup” dalam “persaudaraan
Muslim” yang hakiki, yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan masalah
berlimpah-ruahnya harta kekayaan duniawi,
sebagaimana firman-Nya:
وَ اَلَّفَ بَیۡنَ قُلُوۡبِہِمۡ ؕ لَوۡ اَنۡفَقۡتَ مَا
فِی الۡاَرۡضِ جَمِیۡعًا مَّاۤ اَلَّفۡتَ بَیۡنَ قُلُوۡبِہِمۡ وَ لٰکِنَّ
اللّٰہَ اَلَّفَ بَیۡنَہُمۡ ؕ اِنَّہٗ عَزِیۡزٌ
حَکِیۡمٌ ﴿﴾ یٰۤاَیُّہَا النَّبِیُّ حَسۡبُکَ
اللّٰہُ وَ مَنِ اتَّبَعَکَ مِنَ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ﴿﴾
Dan Dia telah menanamkan kecintaan di antara
hati mereka, seandainya engkau
membelanjakan yang ada di bumi ini seluruhnya, engkau sekali-kali
tidak akan dapat menanamkan kecintaan di antara hati mereka, tetapi Allah telah menanamkan kecintaan di antara
mereka, sesungguhnya Dia Maha
Perkasa, Maha Bijaksana. Hai Nabi, Allah
mencukupi bagi engkau dan bagi orang-orang
yang mengikuti engkau di antara orang-orang
beriman. (Al-Anfāl [8]:64-65).
Kekeliruan Dugaan Buruk ‘Abdullah bin Ubay bin
Salul
Oleh
karena itu sangat keliru dugaan
Abdullah bin Ubay bin Salul – pemimpin
orang-orang munafik Madinah – ketika
ia berkata kepada para pengikutnya:
ہُمُ الَّذِیۡنَ یَقُوۡلُوۡنَ لَا تُنۡفِقُوۡا عَلٰی مَنۡ عِنۡدَ رَسُوۡلِ اللّٰہِ حَتّٰی
یَنۡفَضُّوۡا ؕ وَ لِلّٰہِ خَزَآئِنُ
السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ وَ لٰکِنَّ
الۡمُنٰفِقِیۡنَ لَا یَفۡقَہُوۡنَ ﴿﴾ یَقُوۡلُوۡنَ
لَئِنۡ رَّجَعۡنَاۤ اِلَی
الۡمَدِیۡنَۃِ لَیُخۡرِجَنَّ الۡاَعَزُّ
مِنۡہَا الۡاَذَلَّ ؕ وَ لِلّٰہِ الۡعِزَّۃُ وَ لِرَسُوۡلِہٖ وَ لِلۡمُؤۡمِنِیۡنَ وَ
لٰکِنَّ الۡمُنٰفِقِیۡنَ لَا
یَعۡلَمُوۡنَ ﴿﴾
Merekalah orang-orang yang berkata: “Janganlah kamu membelanjakan harta bagi orang yang bersama Rasul
Allah, supaya mereka lari karena
kelaparan. Padahal kepunyaan
Allah khazanah-khazanah seluruh langit dan bumi, tetapi orang-orang
munafik itu tidak mengerti. Mereka
berkata: “Jika kita kembali ke Medinah, niscaya orang yang paling mulia akan
mengeluarkan orang yang paling hina darinya.” Padahal kemuliaan hakiki itu milik Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang
beriman, tetapi orang-orang munafik itu tidak mengetahui. (Al-Munafiqūn [63]:8-9).
Karena tidak ada ketulusan
dan kejujuran dalam dirinya, seorang
orang munafik memandang orang-orang
lain seperti dirinya sendiri. Kaum munafikin
Medinah membuat pikiran totol dan keliru sama sekali mengenai ketulusan tujuan para sahabah Nabi Besar Muhammad saw.. ,
sebab mereka menyangka para sahabah beliau saw. telah berkumpul
di sekitar beliau karena pertimbangan kepentingan
duniawi, dan mereka menyangka apabila mereka (para sahabat) itu menyadari
bahwa harapan mereka itu tidak terlaksana, mereka itu akan meninggalkan Nabi
Besar Muhammad saw. Perjalanan masa membatalkan sama sekali segala harapan mereka yang sia-sia itu.
Dalam suatu gerakan pasukan
(mungkin gerakan pasukan menggempur Banu Musthaliq), ‘Abdullah bin Ubayy –
pemimpin kaum munafik Medinah, yang harapan besarnya menjadi pemimpin kaum Medinah telah hancur
berantakan dengan kedatangan Nabi Besar Muhammad saw. pada peristiwa itu – diriwayatkan pernah
mengatakan bahwa sekembali ke Medinah ia “yang
paling mulia dari antara penduduknya” – maksudnya ia sendiri – “akan mengusir dia yang paling hina dari
antara mereka,” maksudnya, Nabi
Besar Muhammad saw..
‘Abdullah, anak laki-laki ‘Abdullah
bin Ubay bin Salul, mendengar kecongkakan kotor ayahnya; lalu ketika rombongan mereka sampai ke Medinah, ia
menghunus pedangnya dan menghalangi ayahnya masuk kota, sebelum ayahnya mau
mengakui dan menyatakan bahwa ayahnya
sendirilah yang paling hina di antara
penduduk kota Medinah, dan bahwa Nabi
Besar Muhammad saw. adalah yang paling mulia di antara mereka.
Dengan demikian keangkuhannya telah
berbalik menimpa kepalanya sendiri.
Bahkan ‘Abdullah sebelumnya
meminta izin kepada Nabi Besar
Muhammad saw. untuk membunuh ayahnya
yang takabur tersebut, tetapi beliau
saw. tidak mengizinkannya.
Diriwayatkan ketika pemimpin orang-orang
munafik Madinah tersebut mati,
beliau saw. berkenan memberikan jubah beliau saw. sebagai kain kafannya bahkan menyalatkan
jenazahnya yang seakan-akan
bertentangan dengan ayat QS.9:84
mengenai larangan melakukan shalat jenazah bagi mereka. Peristiwa
tersebut membuktikan bahwa Nabi
Besar Muhammad saw. benar-benar
merupakan “rahmat bagi seluruh alam”
(QS.21:108).
Dengan demikian benarlah firman Allah nSwt. Sebelum ini mengenai wewenang untuk mempersatukan hati manusia
berdasarkan keimanan yang hakiki kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya:
وَ اَلَّفَ بَیۡنَ قُلُوۡبِہِمۡ ؕ لَوۡ اَنۡفَقۡتَ مَا
فِی الۡاَرۡضِ جَمِیۡعًا مَّاۤ اَلَّفۡتَ بَیۡنَ قُلُوۡبِہِمۡ وَ لٰکِنَّ
اللّٰہَ اَلَّفَ بَیۡنَہُمۡ ؕ اِنَّہٗ عَزِیۡزٌ
حَکِیۡمٌ ﴿﴾ یٰۤاَیُّہَا النَّبِیُّ حَسۡبُکَ
اللّٰہُ وَ مَنِ اتَّبَعَکَ مِنَ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ﴿٪﴾
Dan Dia
telah menanamkan kecintaan di antara hati mereka, seandainya engkau membelanjakan yang ada di bumi ini
seluruhnya, engkau sekali-kali tidak akan dapat menanamkan
kecintaan di antara hati mereka, tetapi Allah telah menanamkan kecintaan di antara mereka, sesungguhnya Dia Maha Perkasa, Maha Bijaksana. Hai Nabi,
Allah mencukupi bagi engkau dan bagi
orang-orang
yang mengikuti engkau di antara orang-orang
beriman. (Al-Anfāl [8]:64-65).
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 9
September 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar