Rabu, 11 September 2013

Hanya Allah Swt. yang Berkuasa "Mempersatukan Hati" Umat Manusia dengan "Keimanan yang Hakiki" kepada-Nya dan Kepada Rasul-Nya




ۡ بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ

Khazanah Ruhani Surah  Shād


Bab 17



Hanya Allah Swt. yang Berkuasa “Mempersatukan Hati” Umat Manusia dengan Keimanan yang Hakiki  kepada-Nya dan Kepada Rasul-Nya   

Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

D
alam akhir  Bab sebelumnya  telah dikemukakan  mengenai    pertentangan dan pertumpahan darah  yang terjadi di kalangan berbagai firqah dan sekte di lingkungan  umat Islam di Akhir Zaman ini -- dalam Surah lain Allah Swt. berfirman:
وَ مَا کَانَ لِمُؤۡمِنٍ اَنۡ یَّقۡتُلَ مُؤۡمِنًا اِلَّا خَطَـًٔا ۚ وَ مَنۡ قَتَلَ مُؤۡمِنًا خَطَـًٔا فَتَحۡرِیۡرُ رَقَبَۃٍ مُّؤۡمِنَۃٍ وَّ دِیَۃٌ مُّسَلَّمَۃٌ اِلٰۤی اَہۡلِہٖۤ  اِلَّاۤ اَنۡ یَّصَّدَّقُوۡا ؕ فَاِنۡ کَانَ مِنۡ قَوۡمٍ عَدُوٍّ لَّکُمۡ وَ ہُوَ مُؤۡمِنٌ فَتَحۡرِیۡرُ رَقَبَۃٍ مُّؤۡمِنَۃٍ ؕ وَ اِنۡ کَانَ مِنۡ قَوۡمٍۭ بَیۡنَکُمۡ وَ بَیۡنَہُمۡ مِّیۡثَاقٌ فَدِیَۃٌ مُّسَلَّمَۃٌ اِلٰۤی اَہۡلِہٖ وَ تَحۡرِیۡرُ رَقَبَۃٍ مُّؤۡمِنَۃٍ ۚ فَمَنۡ لَّمۡ  یَجِدۡ فَصِیَامُ شَہۡرَیۡنِ مُتَتَابِعَیۡنِ ۫ تَوۡبَۃً مِّنَ  اللّٰہِ ؕ وَ کَانَ اللّٰہُ  عَلِیۡمًا حَکِیۡمًا ﴿﴾
Dan sekali-kali tidak patut bagi seorang yang beriman  membunuh seorang yang beriman lainnya kecuali tidak sengaja. Dan barangsiapa membunuh seorang beriman  dengan tidak sengaja maka hendaklah ia  memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman dan membayar tebusan untuk diserahkan kepada ahli waris di terbunuh, kecuali jika  mereka merelakan sebagai sedekah. Tetapi jika ia yang terbunuh itu dari kaum yang bermusuhan dengan kamu dan ia seorang yang beriman maka cukuplah memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman. Dan jika ia  dari kaum yang antara kamu dan mereka ada suatu perjanjian persekutuan, maka bayarlah tebusan untuk diserahkan kepada ahli warisnya dan memerdekakan pula seorang budak yang beriman. Tetapi barangsiapa tidak memperoleh budak yang beriman maka  ia wajib berpuasa dua bulan berturut-turut, keringanan ini suatu kasih-sayang dari Allah, dan Allah benar-benar Maha Mengetahui, Maha Bijaksana. (An-Nisā [4]:93).
  Apabila terjadi perang  maka ada kemungkinan seorang Muslim  yang berada dipihak lain terbunuh oleh orang Muslim lainnya tanpa disengaja, maka ayat ini pada waktunya memberi peringatan kepada kaum Muslimin agar senantiasa berjaga-jaga  (waspada) terhadap kemungkinan serupa itu.
Lebih lanjut Allah Swt. berfirman kepada orang-orang yang melalaikan petunjuk dan peringatan Allah Swt. tersebut -- dan bahkan  mereka melakukan perbuatan zalim tersebut dengan sengaja  -- dengan mengatas-namakan  jihad  di jalan Allah:
وَ مَنۡ یَّقۡتُلۡ مُؤۡمِنًا مُّتَعَمِّدًا فَجَزَآؤُہٗ جَہَنَّمُ خٰلِدًا فِیۡہَا وَ غَضِبَ اللّٰہُ عَلَیۡہِ وَ لَعَنَہٗ وَ اَعَدَّ  لَہٗ عَذَابًا عَظِیۡمًا ﴿﴾
Dan barangsiapa membunuh seorang yang beriman  dengan sengaja maka balasannya adalah Jahannam, ia kekal di dalamnya, Allah murka kepadanya,   melaknatnya, dan  menyediakan baginya azab yang besar. (An-Nisā, [4]:93).
       Pernyataan keras Allah Swt. tersebut di Akhir zaman ini benar-benar terjadi dan terbukti kebenarannya,  karena  hampir di seluruh kawasan umat Islam di dunia ini    — terutama  di kawasan   Afghanistan, Pakistan dan di Timur Tengah --  yang terlibat dalam perang adalah sesama Muslim, yakni  pihak  yang membunuh dan yang menjadi korban pembunuhan sama-sama membaca 2 Kalimah  Syahadat serta mempercayai Rukun Iman dan Rukun Islam.
        Benarlah sabda Nabi Besar Muhammad saw. ketika menjawab pertanyaan  seorang Sahabah, mengenai dua orang Muslim yang terlibat perkelahian sehingga salah seorang dari keduanya terbunuh. Beliau saw. menjawab: “Keduanya masuk neraka!” Dengan rasa heran Sahabah tersebut bertanya lagi, “Kenapa yang terbunuh pun masuk neraka juga?” Beliau saw. menjelaskan, “Karena ia pun berniat (bertekad) untuk membunuh saudaranya pula pula,  kebetulan saja ia yang terbunuh.”
       Hadits tersebut terdapat dalam Shahih Bukhari,   terjemahan  Hadits tersebut  sebagai berikut:
Dari Al-Ahnaf bin Qais bahwa ia berkata, "Pada suatu ketika saya hendak pergi menolong seseorang yang sedang berkelahi. Secara kebetulan saya bertemu Abu Bakar, ia pun berkata, "Mau ke mana kau?" Kujawab, "Aku akan menolong orang itu." Ia berkata lagi, "Kembalilah! Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, "Apabila dua orang muslim berkelahi dan masing-masing mempergunakan pedang maka si pembunuh dan yang terbunuh, keduanya masuk neraka." Aku bertanya, "Hal itu bagi pembunuh, bagaimana dengan yang terbunuh?" Beliau menjawab, "Karena orang yang terbunuh itu juga berusaha untuk membunuh saudaranya."

Kezaliman  Akibat Fitnah Tehadap Golongan Muslim
dari Kalangan Jemaat Ahmadiyah

  Agar peristiwa  yang memalukan tersebut tidak terjadi di kalangan umat Islam, selanjutnya Allah Swt.  memberi petunjuk:
یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡۤا اِذَا ضَرَبۡتُمۡ فِیۡ سَبِیۡلِ اللّٰہِ فَتَبَیَّنُوۡا وَ لَا تَقُوۡلُوۡا لِمَنۡ اَلۡقٰۤی اِلَیۡکُمُ السَّلٰمَ لَسۡتَ مُؤۡمِنًا ۚ تَبۡتَغُوۡنَ عَرَضَ الۡحَیٰوۃِ الدُّنۡیَا ۫ فَعِنۡدَ اللّٰہِ مَغَانِمُ کَثِیۡرَۃٌ ؕ کَذٰلِکَ کُنۡتُمۡ مِّنۡ قَبۡلُ فَمَنَّ اللّٰہُ عَلَیۡکُمۡ فَتَبَیَّنُوۡا ؕ اِنَّ اللّٰہَ کَانَ بِمَا تَعۡمَلُوۡنَ خَبِیۡرًا﴿﴾
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi berjihad di jalan Allah  maka selidikilah dengan jelas dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang memberi salam kepada kamu: “Engkau bukan orang yang beriman!” Jika berlaku demikian berarti kamu hendak mencari harta kehidupan di dunia, padahal di sisi Allah banyak harta kekayaan. Seperti itulah keadaan kamu dahulu lalu Allah memberi karunia kepada kamu, karena itu selidikilah dengan jelas, sesungguhnya Allah benar-benar Maha Mengetahui mengenai apa pun yang kamu kerjakan. (An-Nisā, [4]:94).
      Kata salām selain mengisyaratkan kepada ucapan “Assalāmu ‘alaykum” yang biasa diucapkan orang Muslim jika bertemu sesama saudaranya seiman, juga berarti adalah “tawaran perdamaian”. Jadi, menurut ayat tersebut kalau satu kaum menawarkan perdamaian atau memperlihatkan sikap damai terhadap kaum Muslimin, maka kaum Muslimin diperintahkan  Allah Swt. supaya menghargai sikap itu dan menjaga diri dari permusuhan.
      Lebih-lebih karena masyarakat Islam Medinah pada masa Nabi Besar Muhammad saw. dilindungi oleh kabilah-kabilah yang bermusuhan, mereka diperintahkan agar menganggap seseorang yang memberi salam kepada mereka dengan cara Islam sebagai seorang Islam (Muslim), kecuali kalau penyelidikan membuktikan sebaliknya.
       Ada pun maksud  ayat  تَبۡتَغُوۡنَ عَرَضَ الۡحَیٰوۃِ الدُّنۡیَا  -- “kamu hendak mencari harta kehidupan di dunia,” ialah  “jika tanpa penyelidikan yang saksama kamu menyangka orang yang mengucapkan “salam sebagai orang kafir   --  maka hal ini akan berarti bahwa “kamu ingin membunuh dia dan memiliki kekayaannya.” Tingkah demikian akan menunjukkan bahwa dalam melakukan “jihad di jalan Allah” tersebut  “kamu lebih menyukai harta duniawi daripada keridhaan Allah Swt. فَعِنۡدَ اللّٰہِ مَغَانِمُ کَثِیۡرَۃٌ – “padahal di sisi Allah banyak harta kekayaan”.
       Sehubungan dengan  perintah Allah Swt. dalam ayat  tersebut yang dilanggar oleh orang-orang yang mengaku Muslim – yakni وَ لَا تَقُوۡلُوۡا لِمَنۡ اَلۡقٰۤی اِلَیۡکُمُ السَّلٰمَ لَسۡتَ مُؤۡمِنًا -- “dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang memberi salam kepada kamu: “Engkau bukan orang yang beriman!”, di Akhir Zaman ini, contoh yang paling nyata mengenai “berita-berita angin” serta yang disebar-luaskan oleh “orang-orang fasiq” (QS.49:7) adalah berbagai fitnah dan informasi dusta mengenai Pendiri Jemaat Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad a.s., dan para pengikutnya di kalangan Jemaat Ahmadiyah.
     Akibat dari penyebar-luasan  fitnah-fitnah zalim tersebut pihak Jemaat Ahmadiyah – sesuai dengan Sunnah Nabi Besar Muhammad saw. dan para Sahabah r.a. di masa awal  (QS.62:3-4) --  mereka harus menanggung  berbagai bentuk kezaliman dari berbagai pihak  mempercayai fitnah-fitnah tersebut, dengan tanpa terlebih dulu melakukan penyelidikan secara seksama,  sehingga benarlah pernyataan Allah Swt. selanjutnya  dalam   firman-Nya sebelum ini – untuk memperingatkan umat Islam ketika mereka  mengalami hal yang sama di zaman Nabi Besar Muhammad saw., firman-Nya:
ؕ کَذٰلِکَ کُنۡتُمۡ مِّنۡ قَبۡلُ فَمَنَّ اللّٰہُ عَلَیۡکُمۡ فَتَبَیَّنُوۡا ؕ اِنَّ اللّٰہَ کَانَ بِمَا تَعۡمَلُوۡنَ خَبِیۡرًا﴿﴾
 “Seperti itulah keadaan kamu dahulu,  lalu Allah memberi karunia  kepada kamu, karena itu selidikilah dengan jelas, sesungguhnya Allah benar-benar Maha Mengetahui mengenai apa pun yang kamu kerjakan. (An-Nisā, [4]:94).
       Dengan demikian benarlah perintah  Allah Swt. dalam Surah Al-Hujurat sebelumnya, firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا  الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡۤا  اِنۡ جَآءَکُمۡ فَاسِقٌۢ بِنَبَاٍ فَتَبَیَّنُوۡۤا  اَنۡ  تُصِیۡبُوۡا قَوۡمًۢا بِجَہَالَۃٍ  فَتُصۡبِحُوۡا عَلٰی مَا فَعَلۡتُمۡ  نٰدِمِیۡنَ ﴿﴾
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kamu seorang fasik membawa suatu kabar maka selidikilah dengan jelas,  supaya   kamu tidak menimpakan  musibah terhadap suatu kaum karena kejahilan lalu kamu menjadi menyesal atas apa yang telah kamu kerjakan. (Al-Hujurāt [49]:7).

Cara Terbaik Untuk Menyelesaikan Kemelut Berkepanjangan
Di Wilayah Timur Tengah & Pentingnya Musyawarah

       Mengenai cara terbaik untuk menyelesaikan   kemelut berkepanjangan yang terjadi di kalangan umat Islam – terutama di Timur Tengah – saat ini,  selanjutnya Allah Swt. berfirman:
وَ اعۡلَمُوۡۤا  اَنَّ  فِیۡکُمۡ رَسُوۡلَ اللّٰہِ ؕ لَوۡ یُطِیۡعُکُمۡ فِیۡ کَثِیۡرٍ مِّنَ الۡاَمۡرِ لَعَنِتُّمۡ وَ لٰکِنَّ اللّٰہَ حَبَّبَ  اِلَیۡکُمُ  الۡاِیۡمَانَ وَ زَیَّنَہٗ  فِیۡ  قُلُوۡبِکُمۡ وَ کَرَّہَ  اِلَیۡکُمُ الۡکُفۡرَ وَ الۡفُسُوۡقَ وَ الۡعِصۡیَانَ ؕ اُولٰٓئِکَ ہُمُ  الرّٰشِدُوۡنَ ۙ﴿﴾
Dan ketahuilah bahwa di kalangan kamu ada Rasul Allah. Seandainya ia harus mengikuti kehendak kamu dalam banyak urusan niscaya kamu akan mendapat kesusahan,  tetapi Allah telah menjadikan kamu mencintai keimanan dan telah menampakkannya indah dalam hati kamu, dan Dia telah menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang benar,  sebagai karunia serta nikmat dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.  (Al-Hujurāt [49]:8-9).
   Orang-orang Muslim diberitahu di sini bahwa Nabi Besar Muhammad saw.  dapat  meminta musyawarah dalam urusan yang berhubungan dengan mereka, tetapi  tidak boleh diharapkan bahwa beliau saw. selamanya akan mengikuti saran mereka, sebab beliau saw. menerima petunjuk langsung dari langit  -- yakni petunjuk Allah Swt. melalui wahyu Ilahi -- dan karena beliau saw. juga mempunyai pertanggungjawaban terakhir.
 Sesuai dengan hal tersebut, berikut adalah firman-Nya kepada Nabi Besar Muhammad saw. mengenai pentingnya  meminta musyawarah dalam berbagai urusan yang penting:
فَبِمَا رَحۡمَۃٍ مِّنَ اللّٰہِ لِنۡتَ لَہُمۡ ۚ وَ لَوۡ کُنۡتَ فَظًّا غَلِیۡظَ الۡقَلۡبِ لَانۡفَضُّوۡا مِنۡ حَوۡلِکَ ۪ فَاعۡفُ عَنۡہُمۡ وَ اسۡتَغۡفِرۡ لَہُمۡ وَ شَاوِرۡہُمۡ فِی الۡاَمۡرِ ۚ فَاِذَا عَزَمۡتَ فَتَوَکَّلۡ عَلَی اللّٰہِ ؕ اِنَّ اللّٰہَ یُحِبُّ الۡمُتَوَکِّلِیۡنَ ﴿﴾
Maka karena rahmat dari Allah-lah  engkau bersikap lemah-lembut  terhadap mereka, dan se-andainya engkau senantiasa berlaku kasar dan keras hati, niscaya mereka akan bercerai-berai dari sekitar engkau, karena itu maafkanlah mereka, mintalah ampunan dari Allah untuk mereka,  bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan yang penting, dan apabila engkau telah menetapkan tekad yakni keputusan maka berta-wakkallah kepada Allah, sesungguhnya Allah  mencintai orang-orang yang bertawakal. (Āli ‘Imran [3]:160). 
     Kata-kata  فَبِمَا رَحۡمَۃٍ مِّنَ اللّٰہِ لِنۡتَ لَہُمۡ   --   “Maka karena rahmat dari Allah-lah  engkau bersikap lemah-lembut  terhadap mereka” itu melukiskan keindahan watak  Nabi Besar Muhammad saw.. Di antara perangai yang paling baik lagi menonjol adalah kasih-sayang beliau yang meliputi segala sesuatu. Beliau saw. penuh dengan kemesraan cinta-kasih manusiawi, dan beliau saw. bukan saja berlaku baik terhadap para sahabat dan para pengikut beliau saw., bahkan  penuh kasih-sayang dan belas-kasih terhadap musuh-musuh beliau saw. sekali pun, yang senantiasa mencari-cari kesempatan untuk menikam dari belakang.
      Terukir di dalam sejarah bahwa  Nabi Besar Muhammad saw. tidak mengambil tindakan apa pun terhadap orang-orang munafik yang khianat – pimpinan Abdullah bin Ubay  -- dan telah meninggalkan beliau saw.  pada waktu Perang Uhud, yang nyaris beliau saw. terbunuh dalam perang tersebut.  Bahkan beliau saw. meminta musyawarah (pendapat) mereka dalam urusan kenegaraan.

Pentingnya Mengedepankan Musyawarah

      Di samping hal-hal lain, Islam mempunyai keistimewaan dalam segi ini yaitu   Islam memasukkan unsur musyawarah ke dalam asas-asas pokoknya.  Islam mewajibkan kepada negara Islam mengadakan musyawarah dengan orang-orang Muslim dalam segala urusan kenegaraan yang penting-penting.
       Nabi Besar Muhammad saw.   biasa bermusyawarah dengan para pengikut beliau saw. sebelum perang-perang Badar, Uhud, dan Ahzab, dan pula ketika sebuah tuduhan palsu dilancarkan terhadap istri mulia beliau, Siti ‘Aisyah r.a. (QS.24:22-27).
    Abu Hurairah r.a. mengatakan: “Rasulullāh saw.  mempunyai hasrat amat besar sekali untuk meminta musyawarah mengenai segala urusan penting” (Mantsur, II, 90).  ‘Umar r.a., Khalifah kedua  Nabi Besar Muhammad saw.  diriwayatkan pernah bersabda: “Tiada khilafat tanpa musyawarah(Izalat al-Khifa ‘an Khilafat al-Khulafa’).
       Jadi, mengadakan musyawarah dalam urusan penting merupakan perintah asasi Islam dan menjadi suatu keharusan bagi pemimpin-pemimpin ruhani maupun pemimpin-pemimpin duniawi di kalangan umat Islam. Khalifah atau kepala negara Islam harus meminta saran dari orang-orang Muslim terkemuka, meskipun putusan terakhir tetap berada di tangannya.
     Syura atau musyawarah, menurut Islam, bukan suatu bentuk parlemen dalam artian yang dipakai di Barat. Kepala negara Islam mempunyai wewenang penuh untuk menolak saran yang diajukan kepadanya. Tetapi ia tidak boleh memakai wewenang itu seenaknya saja dan harus menghargai saran dari golongan terbanyak -- sebagaimana   orang-orang yang diajak musyawarah pun tidak boleh memaksakan kehendaknya, sebagaimana firman-Nya:  
وَ اعۡلَمُوۡۤا  اَنَّ  فِیۡکُمۡ رَسُوۡلَ اللّٰہِ ؕ لَوۡ یُطِیۡعُکُمۡ فِیۡ کَثِیۡرٍ مِّنَ الۡاَمۡرِ لَعَنِتُّمۡ وَ لٰکِنَّ اللّٰہَ حَبَّبَ  اِلَیۡکُمُ  الۡاِیۡمَانَ وَ زَیَّنَہٗ  فِیۡ  قُلُوۡبِکُمۡ وَ کَرَّہَ  اِلَیۡکُمُ الۡکُفۡرَ وَ الۡفُسُوۡقَ وَ الۡعِصۡیَانَ ؕ اُولٰٓئِکَ ہُمُ  الرّٰشِدُوۡنَ ۙ﴿﴾
Dan ketahuilah bahwa di kalangan kamu ada Rasul Allah. Seandainya ia harus mengikuti kehendak kamu dalam banyak urusan niscaya kamu akan mendapat kesusahan,  tetapi Allah telah menjadikan kamu mencintai keimanan dan telah menampakkannya indah dalam hati kamu, dan Dia telah menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang benar,  sebagai karunia serta nikmat dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.  (Al-Hujurāt [49]:8-9).
     Dari ayat ini diketahui pentingnya umat Islam memiliki seorang Imam atau Khalifah Rasul setelah Nabi Besar Muhammad saw.   yang padanya umat Islam telah diperintahkan Allah Swt. untuk senantiasa berpegang teguh agar mereka tidak terpecah-belah sebagaimana yang terjadi di  kalangan golongan Ahli Kitab.

Rasul Allah adalah “Tali Allah” yang Terulur dari Langit

      Mengisyaratkan kepada kenyataan itu pulalah peringatan Allah Swt. kepada umat Islam dalam firman-Nya berikut ini – termasuk umat Islam di Akhir Zaman saat inti yang keadaannya terpecah-belah dan saling bertentangan serta saling mengkafirkan satu sama lain:
یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰہَ حَقَّ تُقٰتِہٖ وَ لَا تَمُوۡتُنَّ  اِلَّا وَ اَنۡتُمۡ  مُّسۡلِمُوۡنَ ﴿﴾  وَ اعۡتَصِمُوۡا بِحَبۡلِ اللّٰہِ جَمِیۡعًا وَّ لَا تَفَرَّقُوۡا ۪ وَ اذۡکُرُوۡا نِعۡمَتَ اللّٰہِ عَلَیۡکُمۡ  اِذۡ  کُنۡتُمۡ اَعۡدَآءً فَاَلَّفَ بَیۡنَ قُلُوۡبِکُمۡ فَاَصۡبَحۡتُمۡ بِنِعۡمَتِہٖۤ اِخۡوَانًا ۚ وَ کُنۡتُمۡ عَلٰی شَفَا حُفۡرَۃٍ مِّنَ النَّارِ فَاَنۡقَذَکُمۡ مِّنۡہَا ؕ کَذٰلِکَ یُبَیِّنُ اللّٰہُ لَکُمۡ اٰیٰتِہٖ  لَعَلَّکُمۡ  تَہۡتَدُوۡنَ ﴿﴾  وَلۡتَکُنۡ مِّنۡکُمۡ اُمَّۃٌ یَّدۡعُوۡنَ اِلَی الۡخَیۡرِ وَ یَاۡمُرُوۡنَ بِالۡمَعۡرُوۡفِ وَ یَنۡہَوۡنَ عَنِ الۡمُنۡکَرِ ؕ وَ اُولٰٓئِکَ ہُمُ  الۡمُفۡلِحُوۡنَ ﴿﴾ وَ لَا تَکُوۡنُوۡا کَالَّذِیۡنَ تَفَرَّقُوۡا وَ اخۡتَلَفُوۡا مِنۡۢ بَعۡدِ مَا جَآءَہُمُ الۡبَیِّنٰتُ ؕ وَ اُولٰٓئِکَ لَہُمۡ عَذَابٌ عَظِیۡمٌ ﴿﴾ۙ یَّوۡمَ تَبۡیَضُّ وُجُوۡہٌ  وَّ تَسۡوَدُّ وُجُوۡہٌ ۚ فَاَمَّا الَّذِیۡنَ اسۡوَدَّتۡ وُجُوۡہُہُمۡ ۟ اَکَفَرۡتُمۡ بَعۡدَ اِیۡمَانِکُمۡ فَذُوۡقُوا الۡعَذَابَ بِمَا کُنۡتُمۡ تَکۡفُرُوۡنَ ﴿﴾  وَ اَمَّا الَّذِیۡنَ ابۡیَضَّتۡ وُجُوۡہُہُمۡ فَفِیۡ رَحۡمَۃِ اللّٰہِ ؕ ہُمۡ  فِیۡہَا خٰلِدُوۡنَ ﴿﴾ تِلۡکَ اٰیٰتُ اللّٰہِ نَتۡلُوۡہَا عَلَیۡکَ بِالۡحَقِّ ؕ وَ مَا اللّٰہُ یُرِیۡدُ  ظُلۡمًا لِّلۡعٰلَمِیۡنَ ﴿﴾ وَ لِلّٰہِ مَا فِی السَّمٰوٰتِ وَ مَا فِی الۡاَرۡضِ ؕ وَ  اِلَی اللّٰہِ  تُرۡجَعُ  الۡاُمُوۡرُ  ﴿﴾٪
 Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan takwa yang sebenar-benarnya, dan  janganlah sekali-kali kamu mati kecuali kamu dalam keadaan berserah  diri.  Dan  berpegangteguhlah kamu sekalian pada tali  Allah, janganlah kamu berpecah-belah,  dan   ingatlah akan nikmat Allah atasmu ketika kamu dahulu bermusuh-musuhan lalu  Dia menyatukan hati kamu dengan kecintaan  antara satu sama lain maka  dengan nikmat-Nya itu kamu menjadi bersaudara, dan kamu dahulu berada di tepi jurang Api  lalu Dia menyelamatkan kamu darinya. Demikianlah Allah menjelaskan Ayat-ayat-Nya kepada kamu supaya kamu mendapat petunjuk.   Dan hendaklah ada segolongan di antara kamu   yang senantiasa menyeru manusia kepada keba-ikan,   menyuruh kepada yang makruf, melarang dari berbuat munkar, dan mereka itulah orang-orang yang berhasil.   Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang  berpecah belah dan berselisih sesudah  bukti-bukti yang jelas datang kepada mereka, dan mereka itulah orang-orang  yang baginya  ada azab yang besar.   Pada hari  ketika  wajah-wajah menjadi putih, dan wajah-wajah lainnya   menjadi hitam.  Ada pun orang-orang yang wajahnya menjadi hitam, dikatakan kepada mereka: Apakah  kamu kafir sesudah beriman? Karena itu rasakanlah azab ini disebabkan kekafiran kamu."   Dan ada pun orang-orang yang wajahnya putih, maka mereka akan berada di dalam rahmat Allah, mereka kekal  di dalamnya.  Itulah Ayat-ayat Allah, Kami membacakannya kepada engkau dengan haq, dan Allah sekali-kali tidak menghendaki suatu kezaliman  atas seluruh alam.   Dan  milik Allah-lah apa pun  yang ada di seluruh langit dan apa pun yang ada di bumi, dan kepada Allāh-lah segala urusan dikembalikan.(Ali ‘Imran [3]:103-109).
      Menurut Allah Swt., wewenang untuk mempersatukan hati manusia dengan kecintaan yang hakiki dan berdasarkan keimanan  adalah sepenuhnya wewenang Allah Swt., firman-Nya:
وَ اَلَّفَ بَیۡنَ قُلُوۡبِہِمۡ ؕ لَوۡ اَنۡفَقۡتَ مَا فِی الۡاَرۡضِ جَمِیۡعًا مَّاۤ  اَلَّفۡتَ بَیۡنَ قُلُوۡبِہِمۡ وَ لٰکِنَّ اللّٰہَ  اَلَّفَ بَیۡنَہُمۡ ؕ اِنَّہٗ  عَزِیۡزٌ  حَکِیۡمٌ ﴿﴾ یٰۤاَیُّہَا النَّبِیُّ حَسۡبُکَ اللّٰہُ وَ مَنِ اتَّبَعَکَ  مِنَ  الۡمُؤۡمِنِیۡنَ﴿٪﴾
Dan  Dia telah menanamkan kecintaan di antara hati mereka, seandainya engkau membelanjakan yang ada di bumi ini seluruhnya, engkau  sekali-kali tidak akan dapat menanamkan kecintaan di antara hati mereka, tetapi Allah telah menanamkan kecintaan di antara mereka, sesungguhnya Dia Maha Perkasa, Maha Bijaksana.   Hai Nabi,   Allah mencukupi bagi engkau dan bagi  orang-orang yang mengikuti engkau di antara orang-orang beriman. (Al-Anfāl [8]:64-65).

Pentingnya Ketakwaan yang Sejati  dan
Berpegang Teguh pada “Tali Allah

       Makna ayat   یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰہَ حَقَّ تُقٰتِہٖ وَ لَا تَمُوۡتُنَّ  اِلَّا وَ اَنۡتُمۡ  مُّسۡلِمُوۡنَ   --  “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan takwa yang sebenar-benarnya, dan janganlah sekali-kali kamu mati kecuali kamu dalam keadaan berserah  diri.”  (Ali ‘Imran [3]:103-109), mengisyaratkan kepada pentingnya orang-orang yang beriman memiliki ketakwaan yang hakiki, salah satu tandanya adalah bahwa karena kedatangan saat kematian tidak diketahui,  maka orang-orang beriman dapat berkeyakinan akan mati dalam keadaan berserah  diri kepada Allah Swt. hanya bila diri mereka senantiasa tetap dalam keadaan menyerahkan diri kepada-Nya. Jadi ungkapan itu mengandung arti bahwa orang-orang beriman harus senantiasa tetap patuh kepada Allah Swt..
   Ayat selanjutnya  menjelaskan  وَ اعۡتَصِمُوۡا بِحَبۡلِ اللّٰہِ جَمِیۡعًا وَّ لَا تَفَرَّقُوۡا -- “Dan berpegangteguhlah kamu sekalian pada tali  Allah,   janganlah kamu berpecah-belah.”  Habl berarti: seutas tali atau pengikat yang dengan itu sebuah benda diikat atau dikencangkan; suatu ikatan, suatu perjanjian atau permufakatan; suatu kewajiban yang karenanya kita menjadi bertanggung jawab untuk keselamatan seseorang atau suatu barang; persekutuan dan perlindungan (Lexicon Lane). Nabi Besar Muhammad saw. diriwayatkan telah bersabda:  “Kitab Allah itu tali Allāh yang telah diulurkan dari langit ke bumi” (Tafsir Ibnu Jarir, IV, 30).
       “Tali Allah” pun dapat mengisyaratkan kepada wujud Rasul Allah, sebab melalui pengutusan Rasul Allah itulah terbentuknya suatu Jama’ah  (Jemaat)  orang-orang  beriman, sebagaimana yang terjadi di kalangan  bangsa Arab yang beriman kepada Nabi Besar Muhammad saw., firman-Nya:
وَ اَلَّفَ بَیۡنَ قُلُوۡبِہِمۡ ؕ لَوۡ اَنۡفَقۡتَ مَا فِی الۡاَرۡضِ جَمِیۡعًا مَّاۤ  اَلَّفۡتَ بَیۡنَ قُلُوۡبِہِمۡ وَ لٰکِنَّ اللّٰہَ  اَلَّفَ بَیۡنَہُمۡ ؕ اِنَّہٗ  عَزِیۡزٌ  حَکِیۡمٌ ﴿﴾ یٰۤاَیُّہَا النَّبِیُّ حَسۡبُکَ اللّٰہُ وَ مَنِ اتَّبَعَکَ  مِنَ  الۡمُؤۡمِنِیۡنَ﴿﴾
Dan  Dia telah menanamkan kecintaan di antara hati mereka, seandainya engkau membelanjakan yang ada di bumi ini seluruhnya, engkau  sekali-kali tidak akan dapat menanamkan kecintaan di antara hati mereka, tetapi Allah telah menanamkan kecintaan di antara mereka, sesungguhnya Dia Maha Perkasa, Maha Bijaksana.   Hai Nabi,   Allah mencukupi bagi engkau dan bagi  orang-orang yang mengikuti engkau di antara orang-orang beriman. (Al-Anfāl [8]:64-65).

“Tulang Belulang Berserakan” Menjadi “Satu Tubuh yang Utuh”

     Selanjutnya Allah Swt. berfirman  وَ اذۡکُرُوۡا نِعۡمَتَ اللّٰہِ عَلَیۡکُمۡ  اِذۡ  کُنۡتُمۡ اَعۡدَآءً فَاَلَّفَ بَیۡنَ قُلُوۡبِکُمۡ فَاَصۡبَحۡتُمۡ بِنِعۡمَتِہٖۤ اِخۡوَانًا   -- “dan   ingatlah akan nikmat Allah atas kamu ketika kamu dahulu bermusuh-musuhan lalu  Dia menyatukan hati kamu dengan kecintaan  antara satu sama lain maka  dengan nikmat-Nya itu kamu menjadi bersaudara.
  Sangat sukar kita mendapatkan suatu kaum yang terpecah-belah lebih daripada orang-orang Arab sebelum  kedatangan Nabi Besar Muhammad saw.   di tengah mereka, tetapi dalam pada itu sejarah umat manusia tidak dapat mengemukakan satu contoh pun ikatan persaudaraan penuh cinta yang menjadikan orang-orang Arab telah bersatu-padu, berkat ajaran dan teladan luhur lagi mulia Junjungan Agung mereka, Nabi Besar Muhammad saw..
Selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai keadaan sangat membahayakan yang dihadapi  bangsa Arab sebelum kedatangan Nabi Besar Muhammad saw.  وَ کُنۡتُمۡ عَلٰی شَفَا حُفۡرَۃٍ مِّنَ النَّارِ فَاَنۡقَذَکُمۡ مِّنۡہَا  --  “dan kamu dahulu berada di tepi jurang Api  lalu Dia menyelamatkan kamu darinya.   Kata-kata “di tepi jurang Api” berarti peperangan, saling membinasakan yang di dalam peperangan itu orang-orang Arab senantiasa terlibat dan menghabiskan kaum pria mereka.
  Pendek kata, demikian luar biasa eratnya “persaudaraan ruhani” yang tercipta di kalangan bangsa Arab ketika mereka beriman dan patuh-taat sepenuhnya kepada Allah Swt. dan kepada Nabi Besar Muhammad saw., padahal  keadaan mereka sebelumnya adalah bagaikan “tulang-belulang yang berserakan” (QS.17:50-53), tiba-tiba saja mereka menjadi “satu tubuh yang hidup” dalam “persaudaraan Muslim” yang hakiki, yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan masalah berlimpah-ruahnya harta kekayaan duniawi, sebagaimana firman-Nya:
وَ اَلَّفَ بَیۡنَ قُلُوۡبِہِمۡ ؕ لَوۡ اَنۡفَقۡتَ مَا فِی الۡاَرۡضِ جَمِیۡعًا مَّاۤ  اَلَّفۡتَ بَیۡنَ قُلُوۡبِہِمۡ وَ لٰکِنَّ اللّٰہَ  اَلَّفَ بَیۡنَہُمۡ ؕ اِنَّہٗ  عَزِیۡزٌ  حَکِیۡمٌ ﴿﴾ یٰۤاَیُّہَا النَّبِیُّ حَسۡبُکَ اللّٰہُ وَ مَنِ اتَّبَعَکَ  مِنَ  الۡمُؤۡمِنِیۡنَ﴿﴾
Dan  Dia telah menanamkan kecintaan di antara hati mereka, seandainya engkau membelanjakan yang ada di bumi ini seluruhnya, engkau  sekali-kali tidak akan dapat menanamkan kecintaan di antara hati mereka, tetapi Allah telah menanamkan kecintaan di antara mereka, sesungguhnya Dia Maha Perkasa, Maha Bijaksana.  Hai Nabi,   Allah mencukupi bagi engkau dan bagi  orang-orang yang mengikuti engkau di antara orang-orang beriman. (Al-Anfāl [8]:64-65).  

Kekeliruan Dugaan Buruk ‘Abdullah bin Ubay bin Salul

     Oleh karena itu sangat keliru dugaan Abdullah bin Ubay bin Salul – pemimpin orang-orang munafik Madinah – ketika ia berkata kepada para pengikutnya:
ہُمُ  الَّذِیۡنَ یَقُوۡلُوۡنَ  لَا تُنۡفِقُوۡا عَلٰی مَنۡ عِنۡدَ  رَسُوۡلِ اللّٰہِ  حَتّٰی  یَنۡفَضُّوۡا ؕ وَ لِلّٰہِ خَزَآئِنُ  السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ وَ لٰکِنَّ  الۡمُنٰفِقِیۡنَ  لَا  یَفۡقَہُوۡنَ ﴿﴾  یَقُوۡلُوۡنَ  لَئِنۡ  رَّجَعۡنَاۤ  اِلَی  الۡمَدِیۡنَۃِ لَیُخۡرِجَنَّ الۡاَعَزُّ  مِنۡہَا الۡاَذَلَّ ؕ وَ لِلّٰہِ الۡعِزَّۃُ  وَ لِرَسُوۡلِہٖ وَ لِلۡمُؤۡمِنِیۡنَ وَ لٰکِنَّ  الۡمُنٰفِقِیۡنَ  لَا  یَعۡلَمُوۡنَ ﴿﴾
Merekalah orang-orang yang berkata: “Janganlah kamu membelanjakan harta bagi orang yang bersama Rasul Allah, supaya mereka lari karena kelaparan. Padahal kepunyaan Allah khazanah-khazanah seluruh langit dan bumi,  tetapi orang-orang munafik itu tidak mengerti.   Mereka berkata: “Jika kita kembali ke Medinah, niscaya orang yang paling mulia akan mengeluarkan orang yang paling hina darinya.” Padahal kemuliaan hakiki itu milik Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman,  tetapi orang-orang munafik itu tidak mengetahui. (Al-Munafiqūn [63]:8-9).
  Karena tidak ada ketulusan dan kejujuran dalam dirinya, seorang orang munafik memandang orang-orang lain seperti dirinya sendiri. Kaum munafikin Medinah membuat pikiran totol dan keliru sama sekali mengenai ketulusan tujuan para sahabah Nabi Besar Muhammad saw.. , sebab mereka menyangka para sahabah beliau saw.  telah berkumpul di sekitar beliau karena pertimbangan kepentingan duniawi, dan mereka menyangka apabila mereka (para sahabat) itu menyadari bahwa harapan mereka itu tidak terlaksana, mereka itu akan meninggalkan Nabi Besar Muhammad saw. Perjalanan masa membatalkan sama sekali segala harapan mereka yang sia-sia itu.
   Dalam suatu gerakan pasukan (mungkin gerakan pasukan menggempur Banu Musthaliq), ‘Abdullah bin Ubayy – pemimpin kaum munafik Medinah, yang harapan besarnya menjadi pemimpin kaum Medinah telah hancur berantakan dengan kedatangan Nabi Besar Muhammad saw.  pada peristiwa itu – diriwayatkan pernah mengatakan bahwa sekembali ke Medinah ia “yang paling mulia dari antara penduduknya” – maksudnya ia sendiri – “akan mengusir dia yang paling hina dari antara mereka,” maksudnya,  Nabi Besar Muhammad saw..
 Abdullah, anak laki-laki ‘Abdullah bin Ubay bin Salul,  mendengar kecongkakan kotor ayahnya; lalu  ketika rombongan mereka sampai ke Medinah, ia menghunus pedangnya dan menghalangi ayahnya masuk kota, sebelum ayahnya mau mengakui dan menyatakan bahwa ayahnya sendirilah yang paling hina di antara penduduk kota Medinah, dan bahwa  Nabi Besar Muhammad saw.    adalah yang paling mulia di antara mereka. Dengan demikian keangkuhannya telah berbalik menimpa kepalanya sendiri.
Bahkan ‘Abdullah sebelumnya meminta izin kepada Nabi Besar Muhammad saw. untuk membunuh ayahnya yang takabur tersebut, tetapi beliau saw. tidak mengizinkannya. Diriwayatkan ketika pemimpin orang-orang munafik Madinah tersebut mati,  beliau saw. berkenan  memberikan jubah beliau saw. sebagai kain kafannya  bahkan menyalatkan jenazahnya yang seakan-akan  bertentangan dengan ayat  QS.9:84 mengenai larangan melakukan shalat jenazah bagi mereka.  Peristiwa  tersebut membuktikan bahwa  Nabi Besar Muhammad saw.  benar-benar merupakan “rahmat bagi seluruh alam” (QS.21:108).
   Dengan demikian benarlah firman Allah nSwt. Sebelum ini mengenai wewenang untuk mempersatukan hati manusia  berdasarkan   keimanan yang hakiki kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya:
وَ اَلَّفَ بَیۡنَ قُلُوۡبِہِمۡ ؕ لَوۡ اَنۡفَقۡتَ مَا فِی الۡاَرۡضِ جَمِیۡعًا مَّاۤ  اَلَّفۡتَ بَیۡنَ قُلُوۡبِہِمۡ وَ لٰکِنَّ اللّٰہَ  اَلَّفَ بَیۡنَہُمۡ ؕ اِنَّہٗ  عَزِیۡزٌ  حَکِیۡمٌ ﴿﴾ یٰۤاَیُّہَا النَّبِیُّ حَسۡبُکَ اللّٰہُ وَ مَنِ اتَّبَعَکَ  مِنَ  الۡمُؤۡمِنِیۡنَ﴿٪﴾
Dan  Dia telah menanamkan kecintaan di antara hati mereka, seandainya engkau membelanjakan yang ada di bumi ini seluruhnya, engkau  sekali-kali tidak akan dapat menanamkan kecintaan di antara hati mereka, tetapi Allah telah menanamkan kecintaan di antara mereka, sesungguhnya Dia Maha Perkasa, Maha Bijaksana.   Hai Nabi,   Allah mencukupi bagi engkau dan bagi  orang-orang yang mengikuti engkau di antara orang-orang beriman. (Al-Anfāl [8]:64-65).

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid

***

Pajajaran Anyar,  9  September   2013




Tidak ada komentar:

Posting Komentar