Selasa, 10 September 2013

Hanya Allah Swt. yang Mengetahui "Muslim" dan "Mukmin" yang Hakiki




ۡ بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ

Khazanah Ruhani Surah  Shād

Bab 16
  Hanya Allah Swt. yang Mengetahui Muslim dan Mukmin yang Hakiki      

   Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

D
alam akhir  Bab sebelumnya  telah dikemukakan  mengenai   doa dalam Surah Al-Fatihah ayat 5-7  dengan   nikmat-nikmat keruhanian yang terdapat dalam Surah An-Nisa ayat 70-71, -- yakni nabi-nabi, shiddiq-shiddiq, syahid-syahid, dan orang-orang shalih -- firman-Nya: 
اِیَّاکَ نَعۡبُدُ وَ اِیَّاکَ نَسۡتَعِیۡنُ ؕ﴿۴﴾ اِہۡدِ نَا الصِّرَاطَ الۡمُسۡتَقِیۡمَ ۙ﴿۵﴾  صِرَاطَ الَّذِیۡنَ اَنۡعَمۡتَ عَلَیۡہِمۡ ۙ۬  غَیۡرِ الۡمَغۡضُوۡبِ عَلَیۡہِمۡ وَ لَا الضَّآلِّیۡنَ ٪﴿۷﴾                                     
Hanya Engkau-lah Yang kami sembah  dan  hanya kepada Engkau-lah kami mohon pertolongan. Tunjukilah kami  jalan yang lurus,  yaitu jalan  orang-orang yang telah Engkau beri nikmat atas mereka,  bukan jalan mereka  yang dimurkai dan bukan pula jalan mereka  yang sesat.   (Al-Fatihah [1]:5-7).
      Doa   اِہۡدِ نَا الصِّرَاطَ الۡمُسۡتَقِیۡمَ   -- “Tunjukilah kami   jalan yang lurus” ini meliputi seluruh keperluan manusia — kebendaan dan ruhani, untuk masa ini dan masa yang akan datang. Orang beriman  berdoa agar kepadanya ditunjukkan jalan lurus — jalan terpendek. Kadang-kadang kepada manusia diperlihatkan jalan yang benar dan lurus itu  tetapi ia tidak dibimbing  kepadanya,  atau jika pun dibimbing ke sana  ia tidak  teguh pada jalan itu dan tidak mengikutinya hingga akhir.

Makna “Orang yang Mendapat Nikmat Ilahi

      Doa tersebut menghendaki agar orang beriman tidak merasa puas dengan hanya diperlihatkan kepadanya suatu jalan, atau juga dengan dibimbing pada jalan itu, tetapi ia harus senantiasa terus menerus mengikutinya hingga mencapai tujuannya, dan inilah makna hidayah, yang berarti menunjukkan jalan yang lurus (QS.90:11), membimbing ke jalan yang lurus (QS.29:70), dan membuat orang mengikuti jalan yang lurus (QS.7:44)  (Al-Mufradat dan Baqa).
     Pada hakikatnya, manusia memerlukan pertolongan Allah Swt.  pada tiap-tiap langkah dan pada setiap saat, dan sangat perlu sekali baginya agar ia senantiasa mengajukan kepada-Nya  permohonan yang terkandung dalam ayat ini. Oleh karena itu doa terus-menerus itu memang sangat perlu. Selama kita mempunyai keperluan-keperluan yang belum kesampaian dan keperluan-keperluan yang belum terpenuhi dan tujuan-tujuan yang belum tercapai maka kita selamanya memerlukan doa.     
      Sedangkan makna doa dalam ayat: 
صِرَاطَ الَّذِیۡنَ اَنۡعَمۡتَ عَلَیۡہِمۡ ۙ۬  غَیۡرِ الۡمَغۡضُوۡبِ عَلَیۡہِمۡ وَ لَا الضَّآلِّیۡنَ ٪﴿﴾
jalan  orang-orang yang telah Engkau beri nikmat atas mereka,  bukan jalan mereka  yang dimurkai dan bukan pula jalan mereka  yang sesat (Al-Fatihah [1]:7).
       Yaitu bahwa orang beriman  sejati tidak akan puas hanya dengan dibimbing ke jalan yang lurus atau dengan melakukan beberapa amal shalih tertentu saja. Ia menempatkan tujuannya jauh lebih tinggi dan berusaha mencapai kedudukan saat Allah Swt. mulai menganugerahkan karunia-karunia istimewa kepada hamba-hamba-Nya.
       Ia melihat kepada contoh-contoh karunia Ilahi yang dianugerahkan kepada para hamba pilihan Ilahi (QS.4:70) lalu memperoleh dorongan semangat dari mereka. Ia bahkan tidak berhenti sampai di situ saja, tetapi ia berusaha keras dan mendoa supaya digolongkan di antara “orang-orang yang telah mendapat nikmat” dan menjadi seorang dari antara mereka. Orang-orang yang telah mendapat nikmat itu telah disebut dalam QS.4:70 sebelum ini, firman-Nya:
وَ مَنۡ یُّطِعِ اللّٰہَ وَ الرَّسُوۡلَ فَاُولٰٓئِکَ مَعَ الَّذِیۡنَ اَنۡعَمَ اللّٰہُ عَلَیۡہِمۡ مِّنَ النَّبِیّٖنَ وَ الصِّدِّیۡقِیۡنَ وَ الشُّہَدَآءِ وَ الصّٰلِحِیۡنَ ۚ وَ حَسُنَ اُولٰٓئِکَ رَفِیۡقًا ﴿ؕ﴾  ذٰلِکَ الۡفَضۡلُ مِنَ اللّٰہِ ؕ وَ کَفٰی بِاللّٰہِ عَلِیۡمًا ﴿٪﴾
Dan  barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul ini maka mereka akan termasuk di antara  orang-orang  yang Allah memberi nikmat kepada mereka yakni: nabi-nabi, shiddiq-shiddiq, syahid-syahid, dan orang-orang shalih, dan mereka itulah sahabat yang sejati.   Itulah karunia dari Allah,  dan cukuplah Allah Yang Maha Mengetahui.(An-Nisā [4]:70-71).

Mereka yang Menolak “Nikmat Ilahi

       Hasil dari melaksanakan ajaran Al-Quran yang penuh berkat – sesuai pemahaman dan  Sunnah Nabi Besar Muhammad saw. --    maka  pasti mereka itu akan menjadi  rahmat bagi seluruh alam”,  seperti halnya Nabi Besar Muhammad saw. (QS.21:108) dan sebagai “umat terbaik” yang dijadikan bagi kepentingan seluruh umat manusia,  sebagaimana para Sahabah beliau saw. di masa awal (QS.2:144; QS.3:111).
     Sangat mustahil (tidak mungkin) sebagai halnya bahwa bahwa mereka itu  akan menjadi pelaku tindak kekerasan dan kerusakan di muka bumi  -- sehingga citra suci  agama Islam (Al-Quran) dan Nabi Besar Muhammad saw. menjadi ternoda berat -- namun  demikian  dengan bangga mereka itu menganggap bahwa  tindakan-tindakan yang bertentangan dengan ajaran Islam (Al-Quran) dan Sunnah Nabi Besar Muhammad Saw. – yang merupakan ““rahmat bagi seluruh alam” (QS.21:108) -- tersebut sebagai  tindakan membela kesucian Islam (Al-Quran) dan Nabi Besar Muhammad saw., namun akibatnya adalah citra kesucian Islam (Al-Quran) dan Nabi Besar Muhammad saw. malah semakin ternoda. Benarlah  firman-Nya:
وَ اِذَا قِیۡلَ لَہُمۡ لَا تُفۡسِدُوۡا فِی الۡاَرۡضِ ۙ  قَالُوۡۤا اِنَّمَا نَحۡنُ مُصۡلِحُوۡنَ ﴿﴾ اَلَاۤ اِنَّہُمۡ ہُمُ الۡمُفۡسِدُوۡنَ وَ لٰکِنۡ لَّا یَشۡعُرُوۡنَ ﴿﴾ وَ  اِذَا قِیۡلَ لَہُمۡ اٰمِنُوۡا کَمَاۤ اٰمَنَ النَّاسُ قَالُوۡۤا اَنُؤۡمِنُ کَمَاۤ اٰمَنَ السُّفَہَآءُ ؕ اَلَاۤ اِنَّہُمۡ ہُمُ  السُّفَہَآءُ  وَ لٰکِنۡ لَّا  یَعۡلَمُوۡنَ ﴿﴾
Dan apabila dikatakan kepada mereka:  Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi”, mereka berkata: “Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang  melakukan perbaikan.” Ketahuilah, sesungguhnya mereka itulah  pembuat kerusakan  tetapi mereka tidak menyadarinyaDan apabila dikatakan kepada mereka: “Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain telah beriman”, mereka  berkata: “Apakah kami harus beriman sebagaimana orang-orang bodoh itu telah beriman?” Ketahuilah, sesungguhnya mereka itulah  orang-orang yang bodoh  tetapi mereka tidak mengetahui. (Al-Baqarah [2]:12-14).

Dalam Pandatangan Allah Swt. yang Bodoh
bukan Adam (Khalifah Allah) Melainkan Iblis yang Takabbur

        Orang-orang yang memahami Kitab Suci Al-Quran secara benar  -- yakni para ‘ulama hakiki (QS.3:191-195; QS.35:28-29) -- mengetahui bahwa yang bodoh itu bukan “Adam” (Khalifah Allah/Rasul Allah) melainkan “Iblis” yang menolak perintah Allah  untuk “sujud  - yakni beriman dan patuh-taat kepadanya –  karena Iblis takabbur  dan merasa dirinya lebih mulia daripada “Adam” (Khalifah Allah/Rasul Allah), sehingga akibatnya ia dan para pengikutnya  diusir Allah Swt. secara hina dari “surga Keridhaan Ilahi” (QS.7:12-14).
    Namun  demikian,  Allah Swt. mengabulkan permintaan  iblis  dan para pengikutnya  agar diberi tangguh  oleh Allah untuk melakukan berbagai bentuk perintangan terhadap misi   Adam (Khalifah Allah/Rasul Allah) dan para pengikutnya yang sejati (QS.7:14-19; QS.17:62-66) hingga Hari Kiamat (Hari Kebangkitan), yaitu berupa keunggulan (kemenangan) total al-haqq (kebenaran/Tauhid) yang diperjuangankan Rasul Allah dan para pengikutnya  yang sejati  terhadap kebathilan  yang didukung iblis dan para pengikutnya, sebagaimana halnya di masa Nabi Besar Muhammad saw. dan para Sahabah r.a. yang penuh berkat, pada masa Fatah (Penaklukan) Makkah, firman-Nya:
وَ قُلۡ جَآءَ الۡحَقُّ وَ زَہَقَ الۡبَاطِلُ ؕ اِنَّ الۡبَاطِلَ  کَانَ  زَہُوۡقًا ﴿﴾  وَ نُنَزِّلُ مِنَ الۡقُرۡاٰنِ مَا ہُوَ شِفَآءٌ وَّ رَحۡمَۃٌ  لِّلۡمُؤۡمِنِیۡنَ ۙ وَ لَا یَزِیۡدُ الظّٰلِمِیۡنَ   اِلَّا  خَسَارًا ﴿﴾  وَ  اِذَاۤ   اَنۡعَمۡنَا عَلَی  الۡاِنۡسَانِ اَعۡرَضَ وَ نَاٰ بِجَانِبِہٖ ۚ وَ اِذَا مَسَّہُ  الشَّرُّ کَانَ یَــُٔوۡسًا ﴿﴾ قُلۡ کُلٌّ یَّعۡمَلُ عَلٰی شَاکِلَتِہٖ ؕ فَرَبُّکُمۡ اَعۡلَمُ  بِمَنۡ  ہُوَ  اَہۡدٰی  سَبِیۡلًا ﴿٪﴾
Dan katakanlah:  Haq yakni kebenaran telah datang dan kebatilan telah lenyap,sesungguhnya kebatilan itu pasti  lenyap.”  Dan  Kami  menurunkan dari Al-Quran suatu  penyembuh dan rahmat bagi orang-orang yang beriman, tetapi tidak menambah kepada orang-orang yang zalim melainkan kerugian. Dan apabila Kami memberikan nikmat kepada manusia ia berpaling dan menjauhkan dirinya, tetapi apabila keburukan menimpanya  ia berputus asa. Katakanlah: “Setiap orang beramal menurut caranya sendiri   dan Tuhan engkau lebih mengetahui siapa yang lebih terpimpin pada jalan-Nya.” (Bani Israil [17]:82-85)
  Inilah salah satu mukjizat gaya bahasa Al-Quran   جَآءَ الۡحَقُّ وَ زَہَقَ الۡبَاطِلُ ؕ اِنَّ الۡبَاطِلَ  کَانَ  زَہُوۡقًا  --  Haq yakni kebenaran telah datang dan kebatilan telah lenyap, sesungguhnya kebatilan itu pasti  lenyap,” bahwa untuk  ini mengemukakan salah satu contoh  semacam itu. Sesudah takluknya kota Mekkah, ketika  Nabi Besar Muhammad saw.  selagi membersihkan Ka’bah (Baitullah) dari berhala-berhala yang telah mengotorinya, beliau saw. berulang-ulang mengucapkan ayat tersebut sementara beliau memukuli berhala-berhala (Bukhari).

Jangan Merasa yang  Paling  Muslim” Sedangkan
“Saudara se-Agama” yang lain “Kafir

       Kata-kata ‘alā  syākilati-hi  dalam ayat ﴿﴾ قُلۡ کُلٌّ یَّعۡمَلُ عَلٰی شَاکِلَتِہٖ --  “Katakanlah: “Setiap orang beramal menurut caranya sendiri  yakni    sesuai dengan niat, cara berpikir, tujuan-tujuan, dan maksud-maksud sendiri,  ؕ فَرَبُّکُمۡ اَعۡلَمُ  بِمَنۡ  ہُوَ  اَہۡدٰی  سَبِیۡلًا   --    “dan Rabb (Tuhan) engkau lebih mengetahui siapa yang lebih terpimpin pada jalan-Nya.
     Oleh karena hendaknya  hendaklah berbagai firqah di kalangan orang-orang Islam, janganlah merasa diri yang “paling Muslim” sedangkan “saudara se-agama” yang lainnya “kafir”,  sebab hanya Allah Swt. sajalah yang Maha mengetahui  siapa yang syakilati­-nya – yakni niat, cara berpikir, tujuan-tujuan, dan maksud-maksud sendiri dari tujuan organisasi yang dibentuknya --  benar-benar berada di “jalan-Nya” yang hakiki, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Besar Muhammad saw.  dan para Sahabah r.a. di masa awal.
        Persengketaan yang terjadi di kalangan intern umat Islam di Akhir Zaman ini pada hakikatnya adalah akibat dari melakukn berbagai pelanggaran terhadap petunjuk-petunjuk Allah Swt. dalam Al-Quran sebagaimana yang telah dilaksanakan oleh Nabi Besar Muhammad saw., misallan petunjuk mengenai cara menyelesaikan persengketaan di kalangan  intern umat Islam, yang pada umumnya  terjadi karena   fihak-fihak  yang bersengketa  tidak melaksanakan petunjuk Allah Swt. berikut ini:  
یٰۤاَیُّہَا  الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡۤا  اِنۡ جَآءَکُمۡ فَاسِقٌۢ بِنَبَاٍ فَتَبَیَّنُوۡۤا  اَنۡ  تُصِیۡبُوۡا قَوۡمًۢا بِجَہَالَۃٍ  فَتُصۡبِحُوۡا عَلٰی مَا فَعَلۡتُمۡ  نٰدِمِیۡنَ ﴿﴾
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kamu seorang fasik membawa suatu kabar maka selidikilah dengan jelas,  supaya   kamu tidak menimpakan  musibah ter-hadap suatu kaum karena kejahilan lalu kamu menjadi menyesal atas apa yang telah kamu kerjakan. (Al-Hujurāt [49]:7).
  Walaupun kota Mekkah telah jatuh dan hampir seluruh tanah Arab telah masuk ke dalam pangkuan Islam, tetapi masih ada beberapa suku bangsa menolak menerima tertib baru  yang dibawa oleh Nabi Besar Muhammad saw. dan bertekad memerangi kaum Muslimin sampai titik darah penghabisan.
Tambahan pula negeri-negeri tetangga seperti kerajaan Bizantina dan Iran, mulai menyadari akan tantangan terhadap kekuasaan dan pamor mereka; tantangan itu mereka rasakan telah timbul di negeri Arab, dan peperangan dengan Islam, agaknya tidak dapat dihindarkan lagi.
 Oleh karena itu  perintah Allah Swt. tersebut  sangatlah penting. Orang-orang  Muslim diberitahu bahwa sekali pun benar bahwa keperluan perang menghendaki tindakan cepat  untuk mendahului suatu gerakan pasukan dari pihak musuh,  tetapi desas-desus -- yang sudah sewajarnya tersebar dimana-mana dalam masa peperangan --  hendanya tidak boleh diterima begitu saja. “Kabar-kabar angin” (desas-desus) seperti itu harus diperiksa dengan cermat serta diuji, dan kebenarannya harus diyakinkan  dahulu sebelum tindakan diambil.

Sabda Nabi Besar Muhammad Saw. tentang
Sesama Muslim yang Saling Bunuh

   Sehubungan dengan hal tersebut  -- termasuk  pertentangan dan pertumpahan darah  yang terjadi di kalangan berbagai firqah dan sekte di lingkungan  umat Islam di Akhir Zaman ini -- dalam Surah lain Allah Swt. berfirman:
وَ مَا کَانَ لِمُؤۡمِنٍ اَنۡ یَّقۡتُلَ مُؤۡمِنًا اِلَّا خَطَـًٔا ۚ وَ مَنۡ قَتَلَ مُؤۡمِنًا خَطَـًٔا فَتَحۡرِیۡرُ رَقَبَۃٍ مُّؤۡمِنَۃٍ وَّ دِیَۃٌ مُّسَلَّمَۃٌ اِلٰۤی اَہۡلِہٖۤ  اِلَّاۤ اَنۡ یَّصَّدَّقُوۡا ؕ فَاِنۡ کَانَ مِنۡ قَوۡمٍ عَدُوٍّ لَّکُمۡ وَ ہُوَ مُؤۡمِنٌ فَتَحۡرِیۡرُ رَقَبَۃٍ مُّؤۡمِنَۃٍ ؕ وَ اِنۡ کَانَ مِنۡ قَوۡمٍۭ بَیۡنَکُمۡ وَ بَیۡنَہُمۡ مِّیۡثَاقٌ فَدِیَۃٌ مُّسَلَّمَۃٌ اِلٰۤی اَہۡلِہٖ وَ تَحۡرِیۡرُ رَقَبَۃٍ مُّؤۡمِنَۃٍ ۚ فَمَنۡ لَّمۡ  یَجِدۡ فَصِیَامُ شَہۡرَیۡنِ مُتَتَابِعَیۡنِ ۫ تَوۡبَۃً مِّنَ  اللّٰہِ ؕ وَ کَانَ اللّٰہُ  عَلِیۡمًا حَکِیۡمًا ﴿﴾
Dan sekali-kali tidak patut bagi seorang yang beriman  membunuh seorang yang beriman lainnya kecuali tidak sengaja. Dan barangsiapa membunuh seorang beriman  dengan tidak sengaja maka hendaklah ia  memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman dan membayar tebusan untuk diserahkan kepada ahli waris di terbunuh, kecuali jika  mereka merelakan sebagai sedekah. Tetapi jika ia yang terbunuh itu dari kaum yang bermusuhan dengan kamu dan ia seorang yang beriman maka cukuplah memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman. Dan jika ia  dari kaum yang antara kamu dan mereka ada suatu perjanjian persekutuan, maka bayarlah tebusan untuk diserahkan kepada ahli warisnya dan memerdekakan pula seorang budak yang beriman. Tetapi barangsiapa tidak memperoleh budak yang beriman maka  ia wajib berpuasa dua bulan berturut-turut, keringanan ini suatu kasih-sayang dari Allah, dan Allah benar-benar Maha Mengetahui, Maha Bijaksana. (An-Nisā [4]:93).
     Apabila terjadi perang  maka ada kemungkinan seorang Muslim  yang berada dipihak lain terbunuh oleh orang Muslim lainnya tanpa disengaja, maka ayat ini pada waktunya memberi peringatan kepada kaum Muslimin agar senantiasa berjaga-jaga  (waspada) terhadap kemungkinan serupa itu.
     Lebih lanjut Allah Swt. berfirman kepada orang-orang yang melalaikan petunjuk dan peringatan Allah Swt. tersebut -- dan bahkan  mereka melakukan perbuatan zalim tersebut dengan sengaja  -- dengan mengatas-namakan  jihad  di jalan Allah:
وَ مَنۡ یَّقۡتُلۡ مُؤۡمِنًا مُّتَعَمِّدًا فَجَزَآؤُہٗ جَہَنَّمُ خٰلِدًا فِیۡہَا وَ غَضِبَ اللّٰہُ عَلَیۡہِ وَ لَعَنَہٗ وَ اَعَدَّ  لَہٗ عَذَابًا عَظِیۡمًا ﴿﴾
Dan barangsiapa membunuh seorang yang beriman  dengan sengaja maka balasannya adalah Jahannam, ia kekal di dalamnya, Allah murka kepadanya, melaknatnya, dan  menyediakan baginya azab yang besar. (An-Nisā, [4]:93).
       Pernyataan keras Allah Swt. tersebut di Akhir zaman ini benar-benar terjadi dan terbukti kebenarannya,  karena  hampir di seluruh kawasan umat Islam di dunia ini    — terutama  di kawasan   Afghanistan, Pakistan dan di Timur Tengah --  yang terlibat dalam perang pada hakikatnya adalah sesama Muslim --  yakni  pihak  yang membunuh dan yang menjadi korban pembunuhan sama-sama membaca 2 Kalimah  Syahadat serta mempercayai Rukun Iman dan Rukun Islam.
    Benarlah sabda Nabi Besar Muhammad saw. ketika menjawab pertanyaan seorang Sahabah, mengenai dua orang Muslim yang terlibat perkelahian sehingga salah seorang dari keduanya terbunuh. Beliau saw. menjawab: “Keduanya masuk neraka!” Dengan rasa heran Sahabah tersebut bertanya lagi, “Kenapa yang terbunuh pun masuk neraka juga?” Beliau saw. menjelaskan, “Karena ia pun berniat (bertekad) untuk membunuh saudaranya pula pula,  kebetulan saja ia yang terbunuh.”    Hadits tersebut terdapat dalam Shahih Bukhari:
Dari Al-Ahnaf bin Qais bahwa ia berkata, "Pada suatu ketika saya hendak pergi menolong seseorang yang sedang berkelahi. Secara kebetulan saya bertemu Abu Bakar, ia pun berkata, "Mau ke mana kau?" Kujawab, "Aku akan menolong orang itu." Ia berkata lagi, "Kembalilah! Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, "Apabila dua orang muslim berkelahi dan masing-masing mempergunakan pedang maka si pembunuh dan yang terbunuh, keduanya masuk neraka." Aku bertanya, "Hal itu bagi pembunuh, bagaimana dengan yang terbunuh?" Beliau menjawab, "Karena orang yang terbunuh itu juga berusaha untuk membunuh saudaranya."

Kezaliman  Akibat Fitnah Tehadap Golongan Muslim
dari Kalangan Jemaat Ahmadiyah

  Agar peristiwa  yang memalukan tersebut tidak terjadi di kalangan umat Islam, selanjutnya Allah Swt.  memberi petunjuk dan peringatan, firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡۤا اِذَا ضَرَبۡتُمۡ فِیۡ سَبِیۡلِ اللّٰہِ فَتَبَیَّنُوۡا وَ لَا تَقُوۡلُوۡا لِمَنۡ اَلۡقٰۤی اِلَیۡکُمُ السَّلٰمَ لَسۡتَ مُؤۡمِنًا ۚ تَبۡتَغُوۡنَ عَرَضَ الۡحَیٰوۃِ الدُّنۡیَا ۫ فَعِنۡدَ اللّٰہِ مَغَانِمُ کَثِیۡرَۃٌ ؕ کَذٰلِکَ کُنۡتُمۡ مِّنۡ قَبۡلُ فَمَنَّ اللّٰہُ عَلَیۡکُمۡ فَتَبَیَّنُوۡا ؕ اِنَّ اللّٰہَ کَانَ بِمَا تَعۡمَلُوۡنَ خَبِیۡرًا﴿﴾
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi berjihad di jalan Allah  maka selidikilah dengan jelas dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang memberi salam kepada kamu: “Engkau bukan orang yang beriman!” Jika berlaku demikian berarti kamu hendak mencari harta kehidupan di dunia, padahal di sisi Allah banyak harta kekayaan. Seperti itulah keadaan kamu dahulu lalu Allah memberi karunia kepada kamu, karena itu selidikilah dengan jelas, sesungguhnya Allah benar-benar Maha Mengetahui mengenai apa pun yang kamu kerjakan. (An-Nisā, [4]:94).
      Kata salām selain mengisyaratkan kepada ucapan “Assalāmu ‘alaykum” yang  biasa diucapkan orang Muslim jika bertemu sesama saudaranya seiman, juga berarti adalah “tawaran perdamaian”. Jadi, menurut ayat tersebut kalau satu kaum menawarkan perdamaian atau memperlihatkan sikap damai terhadap kaum Muslimin, maka kaum Muslimin diperintahkan  Allah Swt. supaya menghargai sikap itu dan menjaga diri dari permusuhan.
      Lebih-lebih karena masyarakat Islam Medinah pada masa Nabi Besar Muhammad saw. dilindungi oleh kabilah-kabilah yang bermusuhan, mereka diperintahkan agar menganggap seseorang yang memberi salam kepada mereka dengan cara Islam sebagai seorang Islam (Muslim), kecuali kalau penyelidikan membuktikan sebaliknya.
       Ada pun maksud  ayat  تَبۡتَغُوۡنَ عَرَضَ الۡحَیٰوۃِ الدُّنۡیَا  -- “kamu hendak mencari harta kehidupan di dunia,” ialah  “jika tanpa penyelidikan yang saksama kamu menyangka orang yang mengucapkan “salam sebagai orang kafir   --  maka hal ini akan berarti bahwa “kamu ingin membunuh dia dan memiliki kekayaannya.” Tingkah demikian akan menunjukkan bahwa dalam melakukan “jihad di jalan Allah” tersebut  “kamu lebih menyukai harta duniawi daripada keridhaan Allah Swt. فَعِنۡدَ اللّٰہِ مَغَانِمُ کَثِیۡرَۃٌ – “padahal di sisi Allah banyak harta kekayaan”.
       Sehubungan dengan  perintah Allah Swt. dalam ayat  tersebut yang dilanggar oleh orang-orang yang mengaku Muslim – yakni وَ لَا تَقُوۡلُوۡا لِمَنۡ اَلۡقٰۤی اِلَیۡکُمُ السَّلٰمَ لَسۡتَ مُؤۡمِنًا -- “dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang memberi salam kepada kamu: “Engkau bukan orang yang beriman!”, di Akhir Zaman ini, contoh yang paling nyata mengenai “berita-berita angin” serta yang disebar-luaskan oleh “orang-orang fasiq” (QS.49:7) adalah berbagai fitnah dan informasi dusta mengenai Pendiri Jemaat Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad a.s., dan para pengikutnya di kalangan Jemaat Ahmadiyah.
      Akibat dari penyebar-luasan  fitnah-fitnah zalim tersebut pihak Jemaat Ahmadiyah – sesuai dengan Sunnah Nabi Besar Muhammad saw. dan para Sahabah r.a. di masa awal  (QS.62:3-4) --  mereka harus menanggung  berbagai bentuk kezaliman dari berbagai pihak  mempercayai fitnah-fitnah tersebut, dengan tanpa terlebih dulu melakukan penyelidikan secara seksama,  sehingga benarlah pernyataan Allah Swt. selanjutnya  dalam   firman-Nya sebelum ini – untuk memperingatkan umat Islam ketika mereka  mengalami hal yang sama di zaman Nabi Besar Muhammad saw., firman-Nya:
ؕ کَذٰلِکَ کُنۡتُمۡ مِّنۡ قَبۡلُ فَمَنَّ اللّٰہُ عَلَیۡکُمۡ فَتَبَیَّنُوۡا ؕ اِنَّ اللّٰہَ کَانَ بِمَا تَعۡمَلُوۡنَ خَبِیۡرًا﴿﴾
“Seperti itulah keadaan kamu dahulu,  lalu Allah memberi karunia  kepada kamu, karena itu selidikilah dengan jelas, sesungguhnya Allah benar-benar Maha Mengetahui mengenai apa pun yang kamu kerjakan. (An-Nisā, [4]:94).
  Dengan demikian benarlah perintah  Allah Swt. dalam Surah Al-Hujurat sebelumnya, firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا  الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡۤا  اِنۡ جَآءَکُمۡ فَاسِقٌۢ بِنَبَاٍ فَتَبَیَّنُوۡۤا  اَنۡ  تُصِیۡبُوۡا قَوۡمًۢا بِجَہَالَۃٍ  فَتُصۡبِحُوۡا عَلٰی مَا فَعَلۡتُمۡ  نٰدِمِیۡنَ ﴿﴾
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kamu seorang fasik membawa suatu kabar maka selidikilah dengan jelas,  supaya   kamu tidak menimpakan musibah terhadap suatu kaum karena kejahilan lalu kamu menjadi menyesal atas apa yang telah kamu kerjakan. (Al-Hujurāt [49]:7).


(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid

***

Pajajaran Anyar,  8  September   2013



Tidak ada komentar:

Posting Komentar