ۡ بِسۡمِ
اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah Ruhani Surah Shād
Bab 16
Hanya
Allah Swt. yang Mengetahui Muslim dan
Mukmin yang Hakiki
Oleh
Ki Langlang Buana
Kusuma
D
|
alam akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan mengenai
doa dalam Surah Al-Fatihah ayat 5-7 dengan
nikmat-nikmat keruhanian yang
terdapat dalam Surah An-Nisa ayat 70-71, -- yakni nabi-nabi, shiddiq-shiddiq,
syahid-syahid,
dan orang-orang
shalih -- firman-Nya:
اِیَّاکَ
نَعۡبُدُ وَ اِیَّاکَ
نَسۡتَعِیۡنُ ؕ﴿۴﴾ اِہۡدِ نَا الصِّرَاطَ
الۡمُسۡتَقِیۡمَ ۙ﴿۵﴾ صِرَاطَ الَّذِیۡنَ اَنۡعَمۡتَ عَلَیۡہِمۡ ۙ۬ غَیۡرِ الۡمَغۡضُوۡبِ عَلَیۡہِمۡ وَ لَا الضَّآلِّیۡنَ ٪﴿۷﴾
Hanya Engkau-lah Yang kami sembah dan hanya kepada Engkau-lah kami mohon pertolongan. Tunjukilah kami jalan yang lurus,
yaitu jalan orang-orang
yang telah Engkau beri nikmat atas mereka, bukan jalan mereka yang
dimurkai dan bukan pula jalan mereka yang sesat. (Al-Fatihah
[1]:5-7).
Doa
اِہۡدِ نَا الصِّرَاطَ الۡمُسۡتَقِیۡمَ -- “Tunjukilah
kami jalan yang lurus”
ini meliputi seluruh keperluan manusia — kebendaan
dan ruhani, untuk masa ini dan masa
yang akan datang. Orang beriman berdoa
agar kepadanya ditunjukkan jalan lurus
— jalan terpendek. Kadang-kadang kepada manusia diperlihatkan jalan yang benar dan lurus itu
tetapi ia tidak dibimbing kepadanya,
atau jika pun dibimbing ke
sana ia tidak teguh pada jalan itu
dan tidak mengikutinya hingga akhir.
Makna “Orang yang Mendapat Nikmat
Ilahi”
Doa tersebut menghendaki agar
orang beriman tidak merasa puas dengan hanya diperlihatkan kepadanya suatu jalan,
atau juga dengan dibimbing pada jalan itu, tetapi ia harus senantiasa
terus menerus mengikutinya hingga
mencapai tujuannya, dan inilah makna hidayah,
yang berarti menunjukkan jalan yang lurus (QS.90:11), membimbing ke jalan yang lurus (QS.29:70), dan membuat orang mengikuti jalan yang lurus (QS.7:44) (Al-Mufradat
dan Baqa).
Pada hakikatnya, manusia
memerlukan pertolongan Allah Swt. pada tiap-tiap langkah dan pada setiap
saat, dan sangat perlu sekali baginya agar ia senantiasa mengajukan
kepada-Nya permohonan yang terkandung dalam ayat ini. Oleh karena itu doa terus-menerus itu memang sangat
perlu. Selama kita mempunyai keperluan-keperluan yang belum kesampaian dan keperluan-keperluan yang belum terpenuhi
dan tujuan-tujuan yang belum tercapai
maka kita selamanya memerlukan doa.
Sedangkan makna doa dalam ayat:
صِرَاطَ الَّذِیۡنَ اَنۡعَمۡتَ عَلَیۡہِمۡ ۙ۬ غَیۡرِ الۡمَغۡضُوۡبِ عَلَیۡہِمۡ وَ لَا الضَّآلِّیۡنَ ٪﴿﴾
“jalan orang-orang yang telah Engkau beri
nikmat atas mereka, bukan
jalan mereka yang dimurkai dan bukan pula jalan
mereka yang sesat” (Al-Fatihah
[1]:7).
Yaitu bahwa orang beriman sejati tidak akan puas hanya dengan dibimbing ke jalan yang lurus atau dengan melakukan beberapa amal shalih tertentu saja. Ia
menempatkan tujuannya jauh lebih tinggi dan berusaha mencapai kedudukan saat Allah Swt. mulai menganugerahkan karunia-karunia istimewa kepada hamba-hamba-Nya.
Ia melihat kepada contoh-contoh karunia Ilahi yang dianugerahkan kepada
para hamba pilihan Ilahi (QS.4:70)
lalu memperoleh dorongan semangat dari mereka. Ia bahkan tidak berhenti sampai
di situ saja, tetapi ia berusaha keras dan mendoa supaya digolongkan di antara
“orang-orang yang telah mendapat nikmat” dan menjadi seorang dari antara
mereka. Orang-orang yang telah mendapat nikmat itu telah disebut dalam
QS.4:70 sebelum ini, firman-Nya:
وَ مَنۡ یُّطِعِ اللّٰہَ وَ الرَّسُوۡلَ فَاُولٰٓئِکَ مَعَ الَّذِیۡنَ
اَنۡعَمَ اللّٰہُ عَلَیۡہِمۡ مِّنَ النَّبِیّٖنَ وَ الصِّدِّیۡقِیۡنَ وَ
الشُّہَدَآءِ وَ الصّٰلِحِیۡنَ ۚ وَ حَسُنَ اُولٰٓئِکَ رَفِیۡقًا ﴿ؕ﴾ ذٰلِکَ الۡفَضۡلُ
مِنَ اللّٰہِ ؕ وَ کَفٰی بِاللّٰہِ عَلِیۡمًا ﴿٪﴾
Dan barangsiapa
taat kepada Allah dan Rasul ini
maka mereka akan termasuk di antara
orang-orang yang Allah memberi nikmat kepada mereka yakni: nabi-nabi, shiddiq-shiddiq, syahid-syahid,
dan orang-orang shalih, dan mereka itulah sahabat yang
sejati. Itulah karunia
dari Allah, dan cukuplah Allah Yang Maha Mengetahui.(An-Nisā [4]:70-71).
Mereka yang Menolak “Nikmat Ilahi”
Hasil dari melaksanakan ajaran Al-Quran yang penuh berkat –
sesuai pemahaman dan Sunnah
Nabi Besar Muhammad saw. -- maka pasti mereka itu akan menjadi “rahmat
bagi seluruh alam”, seperti halnya Nabi Besar Muhammad saw. (QS.21:108) dan
sebagai “umat terbaik” yang dijadikan
bagi kepentingan seluruh umat manusia, sebagaimana para Sahabah beliau saw. di masa awal (QS.2:144; QS.3:111).
Sangat mustahil
(tidak mungkin) sebagai halnya bahwa bahwa mereka itu akan menjadi pelaku tindak kekerasan dan kerusakan
di muka bumi -- sehingga citra suci agama Islam (Al-Quran) dan Nabi Besar
Muhammad saw. menjadi ternoda berat
-- namun demikian dengan bangga
mereka itu menganggap bahwa tindakan-tindakan yang bertentangan dengan ajaran Islam (Al-Quran) dan Sunnah Nabi Besar Muhammad Saw. – yang
merupakan ““rahmat bagi seluruh alam”
(QS.21:108) -- tersebut sebagai tindakan
membela kesucian Islam (Al-Quran) dan
Nabi Besar Muhammad saw., namun
akibatnya adalah citra kesucian Islam
(Al-Quran) dan Nabi Besar Muhammad saw.
malah semakin ternoda. Benarlah firman-Nya:
وَ اِذَا قِیۡلَ لَہُمۡ لَا تُفۡسِدُوۡا فِی الۡاَرۡضِ ۙ قَالُوۡۤا اِنَّمَا نَحۡنُ
مُصۡلِحُوۡنَ ﴿﴾ اَلَاۤ اِنَّہُمۡ ہُمُ
الۡمُفۡسِدُوۡنَ وَ لٰکِنۡ لَّا یَشۡعُرُوۡنَ ﴿﴾ وَ اِذَا قِیۡلَ لَہُمۡ اٰمِنُوۡا کَمَاۤ اٰمَنَ
النَّاسُ قَالُوۡۤا
اَنُؤۡمِنُ کَمَاۤ اٰمَنَ
السُّفَہَآءُ ؕ اَلَاۤ اِنَّہُمۡ ہُمُ السُّفَہَآءُ وَ لٰکِنۡ لَّا
یَعۡلَمُوۡنَ ﴿﴾
Dan apabila dikatakan kepada
mereka: ”Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi”,
mereka berkata: “Sesungguhnya kami adalah
orang-orang yang melakukan perbaikan.”
Ketahuilah, sesungguhnya mereka
itulah pembuat kerusakan tetapi mereka
tidak menyadarinya. Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain
telah beriman”, mereka berkata:
“Apakah kami harus beriman
sebagaimana orang-orang bodoh itu
telah beriman?” Ketahuilah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang
bodoh tetapi mereka tidak mengetahui. (Al-Baqarah
[2]:12-14).
Dalam Pandatangan Allah Swt. yang Bodoh
bukan Adam (Khalifah
Allah) Melainkan Iblis yang Takabbur
Orang-orang yang memahami Kitab Suci Al-Quran
secara benar -- yakni para ‘ulama hakiki (QS.3:191-195;
QS.35:28-29) -- mengetahui bahwa yang bodoh
itu bukan “Adam” (Khalifah Allah/Rasul Allah) melainkan “Iblis” yang menolak perintah
Allah untuk “sujud” - yakni beriman dan patuh-taat kepadanya – karena
Iblis takabbur dan merasa dirinya lebih mulia daripada “Adam” (Khalifah Allah/Rasul Allah), sehingga
akibatnya ia dan para pengikutnya diusir Allah Swt. secara hina dari “surga Keridhaan Ilahi” (QS.7:12-14).
Namun demikian,
Allah Swt. mengabulkan
permintaan iblis dan para pengikutnya agar diberi tangguh oleh Allah untuk
melakukan berbagai bentuk perintangan
terhadap misi Adam (Khalifah Allah/Rasul Allah) dan para pengikutnya yang sejati (QS.7:14-19; QS.17:62-66) hingga Hari Kiamat (Hari Kebangkitan), yaitu
berupa keunggulan (kemenangan) total al-haqq (kebenaran/Tauhid) yang
diperjuangankan Rasul Allah dan para pengikutnya yang sejati terhadap kebathilan
yang didukung iblis dan para pengikutnya,
sebagaimana halnya di masa Nabi Besar
Muhammad saw. dan para Sahabah r.a.
yang penuh berkat, pada masa Fatah (Penaklukan) Makkah, firman-Nya:
وَ قُلۡ جَآءَ الۡحَقُّ وَ زَہَقَ الۡبَاطِلُ ؕ اِنَّ الۡبَاطِلَ کَانَ
زَہُوۡقًا ﴿﴾ وَ نُنَزِّلُ مِنَ
الۡقُرۡاٰنِ مَا ہُوَ شِفَآءٌ وَّ رَحۡمَۃٌ
لِّلۡمُؤۡمِنِیۡنَ ۙ وَ لَا یَزِیۡدُ الظّٰلِمِیۡنَ اِلَّا
خَسَارًا ﴿﴾ وَ اِذَاۤ
اَنۡعَمۡنَا عَلَی الۡاِنۡسَانِ
اَعۡرَضَ وَ نَاٰ بِجَانِبِہٖ ۚ وَ اِذَا مَسَّہُ
الشَّرُّ کَانَ یَــُٔوۡسًا ﴿﴾
قُلۡ کُلٌّ
یَّعۡمَلُ عَلٰی شَاکِلَتِہٖ ؕ فَرَبُّکُمۡ اَعۡلَمُ بِمَنۡ
ہُوَ اَہۡدٰی سَبِیۡلًا ﴿٪﴾
Dan
katakanlah: ”Haq yakni kebenaran telah datang dan kebatilan telah lenyap,sesungguhnya kebatilan itu pasti lenyap.” Dan Kami
menurunkan dari Al-Quran
suatu penyembuh dan rahmat
bagi orang-orang yang beriman,
tetapi tidak menambah kepada orang-orang yang zalim melainkan kerugian. Dan apabila Kami memberikan nikmat kepada
manusia ia berpaling dan menjauhkan dirinya, tetapi apabila keburukan menimpanya ia berputus
asa. Katakanlah: “Setiap orang
beramal menurut caranya sendiri dan Tuhan engkau lebih mengetahui siapa yang lebih terpimpin pada jalan-Nya.”
(Bani
Israil [17]:82-85)
Inilah
salah satu mukjizat gaya bahasa
Al-Quran جَآءَ الۡحَقُّ وَ
زَہَقَ الۡبَاطِلُ ؕ اِنَّ الۡبَاطِلَ
کَانَ زَہُوۡقًا -- “Haq
yakni kebenaran telah datang
dan kebatilan telah lenyap, sesungguhnya kebatilan itu pasti lenyap,” bahwa untuk ini mengemukakan salah satu contoh semacam itu. Sesudah takluknya kota Mekkah,
ketika Nabi Besar Muhammad saw. selagi membersihkan Ka’bah (Baitullah) dari berhala-berhala
yang telah mengotorinya, beliau saw. berulang-ulang
mengucapkan ayat tersebut sementara beliau memukuli berhala-berhala (Bukhari).
Jangan Merasa yang “Paling
Muslim” Sedangkan
“Saudara se-Agama” yang
lain “Kafir”
Kata-kata ‘alā syākilati-hi dalam ayat ﴿﴾ قُلۡ کُلٌّ یَّعۡمَلُ عَلٰی شَاکِلَتِہٖ -- “Katakanlah: “Setiap orang beramal menurut
caranya sendiri” yakni sesuai dengan niat, cara berpikir, tujuan-tujuan, dan maksud-maksud sendiri, ؕ فَرَبُّکُمۡ اَعۡلَمُ بِمَنۡ
ہُوَ اَہۡدٰی سَبِیۡلًا --
“dan Rabb (Tuhan) engkau lebih mengetahui siapa yang
lebih terpimpin pada jalan-Nya.”
Oleh karena hendaknya hendaklah berbagai firqah di kalangan orang-orang Islam,
janganlah merasa diri yang “paling Muslim”
sedangkan “saudara se-agama” yang
lainnya “kafir”, sebab hanya Allah Swt. sajalah yang Maha
mengetahui siapa yang syakilati-nya – yakni niat, cara berpikir, tujuan-tujuan,
dan maksud-maksud sendiri dari tujuan
organisasi yang dibentuknya -- benar-benar berada di “jalan-Nya” yang hakiki, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Besar Muhammad saw. dan para Sahabah
r.a. di masa awal.
Persengketaan yang terjadi di kalangan
intern umat Islam di Akhir Zaman ini pada hakikatnya adalah akibat dari
melakukn berbagai pelanggaran terhadap petunjuk-petunjuk Allah Swt. dalam
Al-Quran sebagaimana yang telah dilaksanakan oleh Nabi Besar Muhammad saw.,
misallan petunjuk mengenai cara menyelesaikan persengketaan di kalangan intern umat Islam, yang pada umumnya terjadi karena fihak-fihak
yang bersengketa tidak
melaksanakan petunjuk Allah Swt. berikut ini:
یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ
اٰمَنُوۡۤا اِنۡ جَآءَکُمۡ فَاسِقٌۢ
بِنَبَاٍ فَتَبَیَّنُوۡۤا اَنۡ تُصِیۡبُوۡا قَوۡمًۢا
بِجَہَالَۃٍ فَتُصۡبِحُوۡا عَلٰی مَا
فَعَلۡتُمۡ نٰدِمِیۡنَ ﴿﴾
Hai
orang-orang yang beriman, jika datang kepada kamu seorang fasik membawa suatu kabar maka selidikilah dengan jelas,
supaya kamu tidak menimpakan musibah
ter-hadap suatu kaum karena kejahilan
lalu kamu menjadi menyesal atas apa yang
telah kamu kerjakan. (Al-Hujurāt [49]:7).
Walaupun kota Mekkah telah
jatuh dan hampir seluruh tanah Arab telah masuk ke dalam pangkuan Islam, tetapi masih ada beberapa suku bangsa menolak menerima tertib baru yang dibawa oleh Nabi Besar Muhammad saw. dan
bertekad memerangi kaum Muslimin
sampai titik darah penghabisan.
Tambahan pula negeri-negeri
tetangga seperti kerajaan Bizantina
dan Iran, mulai menyadari akan tantangan terhadap kekuasaan dan pamor
mereka; tantangan itu mereka rasakan
telah timbul di negeri Arab, dan peperangan
dengan Islam, agaknya tidak dapat
dihindarkan lagi.
Oleh karena itu perintah
Allah Swt. tersebut sangatlah penting. Orang-orang Muslim
diberitahu bahwa sekali pun benar bahwa keperluan
perang menghendaki tindakan cepat untuk mendahului suatu gerakan pasukan dari pihak musuh, tetapi desas-desus
-- yang sudah sewajarnya tersebar dimana-mana dalam masa peperangan -- hendanya tidak
boleh diterima begitu saja. “Kabar-kabar angin” (desas-desus) seperti itu harus
diperiksa dengan cermat serta diuji, dan kebenarannya
harus diyakinkan dahulu sebelum tindakan diambil.
Sabda Nabi Besar Muhammad Saw. tentang
Sesama Muslim yang
Saling Bunuh
Sehubungan dengan hal tersebut --
termasuk pertentangan dan pertumpahan
darah
yang terjadi di kalangan berbagai firqah dan sekte di lingkungan umat
Islam di Akhir Zaman ini -- dalam
Surah lain Allah Swt. berfirman:
وَ مَا کَانَ لِمُؤۡمِنٍ اَنۡ یَّقۡتُلَ مُؤۡمِنًا اِلَّا خَطَـًٔا ۚ وَ
مَنۡ قَتَلَ مُؤۡمِنًا خَطَـًٔا فَتَحۡرِیۡرُ رَقَبَۃٍ مُّؤۡمِنَۃٍ وَّ دِیَۃٌ
مُّسَلَّمَۃٌ اِلٰۤی اَہۡلِہٖۤ اِلَّاۤ اَنۡ
یَّصَّدَّقُوۡا ؕ فَاِنۡ کَانَ مِنۡ قَوۡمٍ عَدُوٍّ لَّکُمۡ وَ ہُوَ مُؤۡمِنٌ
فَتَحۡرِیۡرُ رَقَبَۃٍ مُّؤۡمِنَۃٍ ؕ وَ اِنۡ کَانَ مِنۡ قَوۡمٍۭ بَیۡنَکُمۡ وَ
بَیۡنَہُمۡ مِّیۡثَاقٌ فَدِیَۃٌ مُّسَلَّمَۃٌ اِلٰۤی اَہۡلِہٖ وَ تَحۡرِیۡرُ
رَقَبَۃٍ مُّؤۡمِنَۃٍ ۚ فَمَنۡ لَّمۡ
یَجِدۡ فَصِیَامُ شَہۡرَیۡنِ مُتَتَابِعَیۡنِ ۫ تَوۡبَۃً مِّنَ اللّٰہِ ؕ وَ کَانَ اللّٰہُ عَلِیۡمًا حَکِیۡمًا ﴿﴾
Dan sekali-kali tidak patut bagi seorang yang
beriman membunuh seorang yang beriman
lainnya kecuali tidak sengaja.
Dan barangsiapa membunuh seorang
beriman dengan tidak sengaja maka hendaklah ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang
beriman dan membayar tebusan untuk
diserahkan kepada ahli waris di terbunuh, kecuali jika mereka
merelakan sebagai sedekah. Tetapi jika ia
yang terbunuh itu dari kaum yang
bermusuhan dengan kamu dan ia
seorang yang beriman maka cukuplah memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman. Dan jika ia dari kaum yang antara kamu dan mereka ada
suatu perjanjian persekutuan, maka bayarlah tebusan untuk diserahkan kepada ahli warisnya dan memerdekakan pula seorang budak yang
beriman. Tetapi barangsiapa tidak
memperoleh budak yang beriman maka ia
wajib berpuasa dua bulan berturut-turut, keringanan ini suatu
kasih-sayang dari Allah, dan Allah benar-benar Maha Mengetahui, Maha
Bijaksana. (An-Nisā [4]:93).
Apabila terjadi perang maka ada kemungkinan
seorang Muslim yang berada dipihak lain terbunuh oleh orang Muslim
lainnya tanpa disengaja, maka ayat
ini pada waktunya memberi peringatan
kepada kaum Muslimin agar senantiasa berjaga-jaga (waspada) terhadap kemungkinan serupa itu.
Lebih lanjut Allah Swt. berfirman
kepada orang-orang yang melalaikan
petunjuk dan peringatan Allah
Swt. tersebut -- dan bahkan mereka melakukan
perbuatan zalim tersebut dengan
sengaja -- dengan mengatas-namakan jihad di jalan
Allah:
وَ مَنۡ یَّقۡتُلۡ مُؤۡمِنًا مُّتَعَمِّدًا فَجَزَآؤُہٗ جَہَنَّمُ خٰلِدًا
فِیۡہَا وَ غَضِبَ اللّٰہُ عَلَیۡہِ وَ لَعَنَہٗ وَ اَعَدَّ لَہٗ عَذَابًا عَظِیۡمًا ﴿﴾
Dan barangsiapa membunuh seorang yang beriman dengan sengaja
maka balasannya adalah Jahannam, ia kekal di dalamnya, Allah
murka kepadanya, melaknatnya, dan menyediakan
baginya azab yang besar. (An-Nisā, [4]:93).
Pernyataan keras Allah Swt. tersebut di
Akhir zaman ini benar-benar terjadi dan terbukti kebenarannya, karena hampir di seluruh kawasan umat Islam di dunia ini
— terutama di kawasan Afghanistan, Pakistan dan di Timur Tengah
-- yang terlibat dalam perang pada hakikatnya adalah sesama Muslim -- yakni pihak yang membunuh
dan yang menjadi korban pembunuhan
sama-sama membaca 2 Kalimah Syahadat serta mempercayai Rukun
Iman dan Rukun Islam.
Benarlah sabda Nabi Besar Muhammad saw.
ketika menjawab pertanyaan seorang Sahabah,
mengenai dua orang Muslim yang
terlibat perkelahian sehingga salah
seorang dari keduanya terbunuh.
Beliau saw. menjawab: “Keduanya masuk
neraka!” Dengan rasa heran Sahabah tersebut bertanya lagi, “Kenapa yang
terbunuh pun masuk neraka juga?”
Beliau saw. menjelaskan, “Karena ia pun berniat
(bertekad) untuk membunuh saudaranya
pula pula, kebetulan saja ia yang terbunuh.” Hadits tersebut
terdapat dalam Shahih Bukhari:
Dari Al-Ahnaf bin Qais bahwa ia berkata, "Pada suatu
ketika saya hendak pergi menolong seseorang yang sedang berkelahi. Secara
kebetulan saya bertemu Abu Bakar, ia pun berkata, "Mau ke mana kau?"
Kujawab, "Aku akan menolong orang itu." Ia berkata lagi, "Kembalilah!
Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, "Apabila dua orang muslim berkelahi dan masing-masing mempergunakan
pedang maka si pembunuh dan yang terbunuh, keduanya masuk neraka." Aku
bertanya, "Hal itu bagi pembunuh,
bagaimana dengan yang terbunuh?"
Beliau menjawab, "Karena orang yang terbunuh
itu juga berusaha untuk membunuh
saudaranya."
Kezaliman Akibat Fitnah Tehadap Golongan Muslim
dari
Kalangan Jemaat Ahmadiyah
Agar
peristiwa yang memalukan tersebut tidak terjadi di kalangan umat Islam, selanjutnya Allah Swt. memberi petunjuk dan peringatan, firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡۤا اِذَا ضَرَبۡتُمۡ فِیۡ سَبِیۡلِ اللّٰہِ
فَتَبَیَّنُوۡا وَ لَا تَقُوۡلُوۡا لِمَنۡ اَلۡقٰۤی اِلَیۡکُمُ السَّلٰمَ لَسۡتَ
مُؤۡمِنًا ۚ تَبۡتَغُوۡنَ عَرَضَ الۡحَیٰوۃِ الدُّنۡیَا ۫ فَعِنۡدَ اللّٰہِ
مَغَانِمُ کَثِیۡرَۃٌ ؕ کَذٰلِکَ کُنۡتُمۡ مِّنۡ قَبۡلُ فَمَنَّ اللّٰہُ
عَلَیۡکُمۡ فَتَبَیَّنُوۡا ؕ اِنَّ اللّٰہَ کَانَ بِمَا تَعۡمَلُوۡنَ خَبِیۡرًا﴿﴾
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi berjihad di jalan Allah maka selidikilah dengan jelas dan janganlah
kamu mengatakan kepada orang yang memberi salam kepada kamu: “Engkau bukan orang yang beriman!” Jika
berlaku demikian berarti kamu hendak
mencari harta kehidupan di dunia, padahal di sisi Allah banyak harta kekayaan. Seperti itulah keadaan kamu dahulu lalu Allah memberi karunia kepada kamu,
karena itu selidikilah dengan jelas,
sesungguhnya Allah benar-benar Maha
Mengetahui mengenai apa pun yang
kamu kerjakan. (An-Nisā, [4]:94).
Kata salām
selain mengisyaratkan kepada ucapan “Assalāmu
‘alaykum” yang biasa diucapkan orang Muslim jika bertemu sesama saudaranya
seiman, juga berarti adalah “tawaran
perdamaian”. Jadi, menurut ayat tersebut kalau satu kaum menawarkan perdamaian atau
memperlihatkan sikap damai terhadap
kaum Muslimin, maka kaum Muslimin diperintahkan Allah Swt. supaya menghargai sikap itu dan menjaga diri dari permusuhan.
Lebih-lebih karena masyarakat Islam Medinah pada masa Nabi Besar
Muhammad saw. dilindungi oleh kabilah-kabilah
yang bermusuhan, mereka diperintahkan agar menganggap seseorang yang memberi salam
kepada mereka dengan cara Islam
sebagai seorang Islam (Muslim),
kecuali kalau penyelidikan
membuktikan sebaliknya.
Ada pun maksud
ayat تَبۡتَغُوۡنَ عَرَضَ
الۡحَیٰوۃِ الدُّنۡیَا -- “kamu
hendak mencari harta kehidupan di dunia,” ialah “jika tanpa penyelidikan yang saksama kamu menyangka orang yang mengucapkan “salam” sebagai orang
kafir -- maka hal ini akan berarti bahwa “kamu ingin membunuh dia dan memiliki kekayaannya.” Tingkah demikian
akan menunjukkan bahwa dalam melakukan “jihad
di jalan Allah” tersebut “kamu lebih
menyukai harta duniawi daripada keridhaan
Allah Swt. فَعِنۡدَ اللّٰہِ مَغَانِمُ کَثِیۡرَۃٌ – “padahal di sisi Allah banyak harta kekayaan”.
Sehubungan dengan perintah
Allah Swt. dalam ayat tersebut yang
dilanggar oleh orang-orang yang mengaku Muslim
– yakni وَ لَا تَقُوۡلُوۡا لِمَنۡ اَلۡقٰۤی اِلَیۡکُمُ السَّلٰمَ لَسۡتَ مُؤۡمِنًا -- “dan janganlah kamu
mengatakan kepada orang yang memberi salam kepada kamu: “Engkau bukan orang yang beriman!”, di Akhir Zaman ini, contoh yang paling
nyata mengenai “berita-berita angin”
serta yang disebar-luaskan oleh “orang-orang
fasiq” (QS.49:7) adalah berbagai fitnah
dan informasi dusta mengenai Pendiri Jemaat Ahmadiyah, Mirza
Ghulam Ahmad a.s., dan para pengikutnya
di kalangan Jemaat Ahmadiyah.
Akibat dari penyebar-luasan fitnah-fitnah
zalim tersebut pihak Jemaat Ahmadiyah
– sesuai dengan Sunnah Nabi Besar
Muhammad saw. dan para Sahabah r.a.
di masa awal (QS.62:3-4) -- mereka harus menanggung berbagai bentuk kezaliman dari berbagai pihak mempercayai fitnah-fitnah tersebut, dengan tanpa terlebih dulu melakukan
penyelidikan secara seksama, sehingga benarlah
pernyataan Allah Swt. selanjutnya dalam
firman-Nya sebelum ini – untuk memperingatkan
umat Islam ketika mereka mengalami hal
yang sama di zaman Nabi Besar Muhammad saw., firman-Nya:
ؕ کَذٰلِکَ کُنۡتُمۡ
مِّنۡ قَبۡلُ فَمَنَّ اللّٰہُ عَلَیۡکُمۡ فَتَبَیَّنُوۡا ؕ اِنَّ اللّٰہَ کَانَ
بِمَا تَعۡمَلُوۡنَ خَبِیۡرًا﴿﴾
“Seperti itulah keadaan kamu dahulu, lalu Allah memberi karunia kepada kamu, karena itu selidikilah dengan jelas, sesungguhnya Allah benar-benar Maha Mengetahui
mengenai apa pun yang kamu kerjakan.
(An-Nisā,
[4]:94).
Dengan demikian benarlah perintah
Allah Swt. dalam Surah Al-Hujurat
sebelumnya, firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ
اٰمَنُوۡۤا اِنۡ جَآءَکُمۡ فَاسِقٌۢ
بِنَبَاٍ فَتَبَیَّنُوۡۤا اَنۡ تُصِیۡبُوۡا قَوۡمًۢا
بِجَہَالَۃٍ فَتُصۡبِحُوۡا عَلٰی مَا
فَعَلۡتُمۡ نٰدِمِیۡنَ ﴿﴾
Hai orang-orang yang beriman, jika datang
kepada kamu seorang fasik membawa suatu
kabar maka selidikilah dengan jelas, supaya
kamu tidak menimpakan musibah terhadap suatu kaum karena kejahilan lalu kamu menjadi menyesal atas apa yang telah kamu kerjakan. (Al-Hujurāt
[49]:7).
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 8
September 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar