بِسۡمِ
اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah Ruhani Surah Shād
Bab 14
Hubungan
Gelar “Khaataman Nabiyyiin” dengan Ungkapan “Nur
(Cahaya) di atas Nur (Cahaya)” Berkenaan dengan Nabi Besar Muhammad Saw.
dan Wahyu Al-Quran
Oleh
Ki Langlang Buana
Kusuma
D
|
alam akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan mengenai pemeliharaan Allah Swt.
terhadap Kitab Suci Al-Quran sebagai Kitab suci terakhir dan tersempurna
(QS.5:4), yang diwahyukan kepada Nabi terakhir dan tersempurna yang membawa
syariat – yakni Nabi Besar Muhammad saw. – sehingga beliau saw. mendapat gelar Khātaman Nabiyyīn, yakni Nabi
yang paling mulia dari seluruh nabi-nabi,
firman-Nya:
مَا کَانَ مُحَمَّدٌ اَبَاۤ اَحَدٍ
مِّنۡ رِّجَالِکُمۡ وَ لٰکِنۡ رَّسُوۡلَ اللّٰہِ وَ خَاتَمَ النَّبِیّٖنَ ؕ وَ کَانَ اللّٰہُ
بِکُلِّ شَیۡءٍ عَلِیۡمًا ﴿﴾
Muhammad bukanlah bapak salah seorang laki-laki di antara laki-laki kamu, akan tetapi ia adalah Rasul Allah dan Meterai sekalian nabi, dan Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu. (Al-Ahzāb [33]:41).
Khātam berasal
dari kata khatama yang berarti: ia memeterai, mencap, mensahkan atau
mencetakkan pada barang itu. Inilah arti-pokok kata itu. Adapun arti kedua
ialah: ia mencapai ujung benda itu; atau menutupi benda itu, atau melindungi
apa yang tertera dalam tulisan dengan memberi tanda atau mencapkan secercah
tanah liat di atasnya, atau dengan sebuah meterai jenis apa pun.
Khātam berarti juga sebentuk cincin
stempel; sebuah segel, atau meterai dan sebuah tanda; ujung atau bagian
terakhir dan hasil atau anak (cabang) suatu benda. Kata itu pun berarti hiasan
atau perhiasan; terbaik atau paling sempurna. Kata-kata khatim, khatm dan
khatam hampir sama artinya (Lexicon
Lane; Al-Mufradat; Fath-ul-Bari; dan Zurqani). Maka kata khātaman
nabiyyin akan berarti: meterai
para nabi; yang terbaik dan paling sempurna dari antara nabi-nabi; hiasan dan perhiasan nabi-nabi. Arti kedua ialah nabi terakhir yang membawa syariat (QS.5:4).
Di Mekkah pada waktu semua putra Nabi Besar Muhammad saw. telah meninggal dunia semasa masih kanak-kanak, musuh-musuh beliau saw. mengejek
beliau seorang abtar (yang tidak mempunyai anak laki-laki), yang berarti
karena ketiadaan ahliwaris lelaki itu
untuk menggantikan beliau saw. maka jemaat beliau saw. (umat Islam) cepat
atau lambat akan menemui kesudahan (Al-Bahrul-Muhith).
Sebagai jawaban terhadap ejekan
orang-orang kafir tersebut, secara tegas
Allah Swt. menyatakan dalam Surah Al-Kautsar bahwa bukan Nabi Besar
Muhammad saw. melainkan musuh-musuh
beliau saw. itulah yang tidak akan berketurunan (abtar), firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾
اِنَّاۤ اَعۡطَیۡنٰکَ الۡکَوۡثَرَ ؕ﴿﴾ فَصَلِّ لِرَبِّکَ
وَ انۡحَرۡ ؕ﴿﴾ اِنَّ شَانِئَکَ ہُوَ
الۡاَبۡتَرُ ٪﴿﴾
Aku baca dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang. Sesungguhnya Kami telah menganugerahkan kepada engkau
berlimpah-limpah kebaikan. Maka shalatlah
bagi Tuhan eng-kau dan berkorbanlah.
Sesungguhnya musuh engkau, dialah yang tanpa keturunan. (Al-Kautsār [108]:1-4).
Sesudah Surah Al-Kautsar diturunkan, tentu saja
terdapat anggapan di kalangan kaum Muslimin di zaman permulaan bahwa Nabi Besar Muhammad saw. akan dianugerahi anak-anak lelaki yang akan hidup sampai dewasa. Ayat yang sedang
dibahas ini menghilangkan salah paham
itu, sebab ayat ini menyatakan bahwa Nabi Besar Muhammad saw., -- baik sekarang maupun dahulu ataupun di masa
yang akan datang -- bukan atau tidak
pernah akan menjadi bapak seorang orang lelaki dewasa bangsa Arab (rijal berarti
pemuda).
Dalam pada itu ayat Al-Ahzab 41 nampaknya seakan-akan bertentangan
dengan Surah Al-Kautsar, yang di
dalamnya bukan Nabi Besar Muhammad saw.,
melainkan musuh-musuh beliau saw. yang
diancam dengan tidak akan berketurunan (abtar), tetapi sebenarnya
berusaha menghilangkan keragu-raguan
dan prasangka-prasangka terhadap
timbulnya arti yang kelihatannya bertentangan itu.
Surah Al-Ahzab
ayat 41 mengatakan bahwa Baginda Nabi Besar Muhammad
saw. adalah rasul Allah, yang mengandung arti bahwa
beliau adalah bapak ruhani seluruh umat
manusia dan beliau saw. juga Khātaman Nabiyyīn, yang maksudnya bahwa
beliau saw. adalah bapak ruhani seluruh nabi. Dengan demikian jika Nabi
Besar Muhammad saw. bapak ruhani
semua orang beriman dan semua nabi, bagaimana mungkin beliau saw. dapat disebut (dituduh) abtar
atau tak berketurunan?
Apabila ungkapan ini diambil
dalam arti bahwa Nabi Besar Muhammad
saw. itu nabi yang terakhir, dan
bahwa tidak ada nabi akan datang
sesudah beliau saw., maka ayat ini akan nampak sumbang bunyinya dan tidak mempunyai pertautan dengan konteks pembelaan
ayat tersebut, dan dengan mengartikan
sepertim itu (nabi terakhir) maka daripada menyanggah
ejekan orang-orang kafir bahwa Nabi
Besar Muhammad saw. tidak berketurunan (abtar), malahan mendukung dan menguatkannya.
Pendek kata, menurut arti yang tersimpul dalam
kata khatam seperti dikatakan di atas, maka ungkapan Khātaman
Nabiyyīn dapat mempunyai kemungkinan empat macam arti:
(1) Nabi Besar Muhammad saw. adalah meterai para
nabi, yakni, tidak ada nabi dapat dianggap benar kalau kenabiannya tidak bermeteraikan
Nabi Besar Muhammad saw..
(2) Kenabian semua nabi yang sudah lampau harus
dikuatkan dan disahkan oleh Nabi Besar
Muhammad saw. dan juga tidak ada seorang pun yang dapat mencapai
tingkat kenabian sesudah beliau saw.,
kecuali dengan menjadi pengikut sejati
beliau saw..
(3) Nabi Besar Muhammad saw. adalah
yang terbaik, termulia, dan paling sempurna
dari antara semua nabi, dan juga beliau saw. adalah sumber hiasan bagi mereka (Zurqani, Syarah Muwahib
al-Laduniyyah).
(4) Nabi Besar Muhammad saw. adalah yang terakhir di antara para nabi
pembawa syari'at. Penafsiran ini telah diterima oleh para ulama terkemuka,
orang-orang suci dan waliullah seperti Ibn ‘Arabi, Syah Waliullah, Imam ‘Ali
Qari, Mujaddid Alf Tsani, dan lain-lain.
Menurut ulama-ulama besar dan
para waliullah itu, tidak ada nabi
dapat datang sesudah Nabi Besar Muhammad saw. yang dapat memansukhkan (membatalkan) millah beliau saw. atau yang akan
datang dari luar umat beliau saw. (Futuhat-al-Makkiyah; Tafhimat; Maktubat; dan Yawaqit
wa’l Jawahir).
Sitti Aisyah
r.a., istri Nabi Besar Muhammad saw., yang amat berbakat
menurut riwayat pernah mengatakan: “Katakanlah bahwa beliau (Rasulullah saw.)
adalah Khātaman Nabiyyin, tetapi janganlah mengatakan tidak akan ada nabi lagi sesudah beliau” (Mantsur).
(5) Nabi Besar Muhammad saw. adalah nabi yang terakhir (Akhirul Anbiya) hanya dalam arti kata bahwa
semua nilai dan sifat kenabian terjelma dengan sesempurna-sempurnanya dan
selengkap-lengkapnya dalam diri beliau: khatam dalam arti sebutan
terakhir untuk menggambarkan kebagusan
dan kesempurnaan, adalah sudah lazim
dipakai. Lebih-lebih Al-Quran dengan jelas mengatakan tentang bakal diutusnya
nabi-nabi sesudah Nabi Besar Muhammad
saw. wafat (QS.7:36).
Nabi Besar Muhammad saw. sendiri jelas mempunyai tanggapan
mengenai berlanjutnya kenabian
sesudah beliau. Menurut riwayat, beliau saw. pernah bersabda: “Seandainya
Ibrahim (putra beliau) masih hidup, niscaya ia akan menjadi nabi” (Ibnu Majah, Kitab al-Jana’iz) dan:
“Abu Bakar adalah sebaik-baik orang sesudahku, kecuali bila ada seorang nabi muncul” (Kanzul-Ummal).
Nabi Besar Muhammad Saw. adalah “Nūr (Cahaya) di atas Nūr
(Cahaya)”
Dengan kata lain makna Khātaman
Nabiyyīn sebagai gelar yang dianugerahkan Allah Swt.
kepada Nabi Besar Muhammad saw., merupakan perwujudan “Nur (Cahaya) di atas nur (cahaya)”. Sebutan Nur (cahaya) yang pertama mengisyaratkan kepada Allah Swt. -- yang dibuktikan dengan diturunkan-Nya wahyu Al-Quran kepada “nur” (cahaya) yang kedua, yakni Nabi
Besar Muhammad saw., yang dalam firman-Nya berikut ini fitrat beliau saw. sebelum dijadikan rasul Allah pun digambarkan bagaikan
“minyak pelita” yang nyaris bercahaya walaupun belum disulut api. Dan ketika “pelita” tersebut disulut “api” wahyu
Al-Quran maka jadilah beliau saw. Nūrun
‘alā nūrin (Cahaya di atas cahaya), firman-Nya:
اَللّٰہُ نُوۡرُ السَّمٰوٰتِ وَ
الۡاَرۡضِ ؕ مَثَلُ نُوۡرِہٖ کَمِشۡکٰوۃٍ
فِیۡہَا مِصۡبَاحٌ ؕ اَلۡمِصۡبَاحُ فِیۡ زُجَاجَۃٍ ؕ اَلزُّجَاجَۃُ
کَاَنَّہَا کَوۡکَبٌ دُرِّیٌّ یُّوۡقَدُ مِنۡ شَجَرَۃٍ مُّبٰرَکَۃٍ زَیۡتُوۡنَۃٍ
لَّا شَرۡقِیَّۃٍ وَّ لَا
غَرۡبِیَّۃٍ ۙ یَّکَادُ زَیۡتُہَا یُضِیۡٓءُ وَ لَوۡ لَمۡ تَمۡسَسۡہُ نَارٌ ؕ
نُوۡرٌ عَلٰی نُوۡرٍ ؕ یَہۡدِی اللّٰہُ
لِنُوۡرِہٖ مَنۡ یَّشَآءُ ؕ وَ یَضۡرِبُ اللّٰہُ الۡاَمۡثَالَ لِلنَّاسِ ؕ
وَ اللّٰہُ بِکُلِّ شَیۡءٍ عَلِیۡمٌ ﴿ۙ﴾
Allah adalah Nur (Cahaya) seluruh langit dan bumi. Perumpamaan nur-Nya seperti sebuah relung yang di dalamnya ada pelita. Pelita itu ada
dalam kaca. Kaca itu
seperti bintang yang gemerlapan. Pelita
itu dinyalakan dengan minyak dari sebatang pohon kayu yang diberkati, yaitu pohon
zaitun yang bukan di timur dan
bukan di barat, minyaknya hampir-hampir bercahaya walaupun api tidak menyentuhnya. Nur (Cahaya)
di atas nur (cahaya). Allah memberi
bimbingan menuju nur-Nya kepada siapa
yang Dia kehendaki, dan Allah mengemukakan tamsil-tamsil (perumpamaan-perumpamaan) untuk manusia, dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu. (An-Nūr [24]:35).
Nur
berarti cahaya sebagai lawan dari kegelapan. Kata nur mempunyai
pengertian lebih luas dan lebih menembus dan juga lebih bertahan (lama)
daripada dhiya (Lexicon Lane).
Misykat berarti: relung dalam sebuah tembok yakni lobang atau lekuk dalam tembok yang
tidak menembus dinding itu; lampu yang ditempatkan di sana memberi cahaya lebih
banyak daripada di tempat lain; tiang yang dipuncaknya diletakkan lampu (Lexicon Lane). . Zujajah
berarti: kaca; bola dari kaca (Lexicon
Lane).
Ayat
Surah An-Nur ini merupakan tamsil (perumpamaan) yang indah. Ayat ini membicarakan tiga buah
benda — pelita, kaca, dan relung. Nur Ilahi disebutkan terkurung di dalam
tiga benda tersebut yang bila digabung bersama membuat binar dan kilau cahayanya
menjadi lengkap dan sempurna. Memang “pelita” itulah yang menjadi sumber cahaya; dan “kaca” yang melindungi lampu itu menjaga supaya cahayanya jangan padam oleh tiupan angin
serta menambah terangnya; dan “relung” menjaga cahaya itu.
Tamsil ini dengan tepat dapat dikenakan
kepada lampu senter yang
bagian-bagiannya adalah kawat-kawat listrik yang memberikan cahaya, bola-lampu yang melindungi cahaya itu dan reflektor yang memancarkan dan menyebarkan cahaya serta memberi arah kepadanya.
Dalam istilah ruhani
tiga buah benda itu — “lampu”, “kaca” dan “relung” — masing-masing dapat
melukiskan cahaya Ilahi, para nabi Allah -- terutama Nabi Besar Muhammad saw. -- yang
melindungi cahaya itu dari menjadi padam serta menambah kilau dan terangnya, dan para khalifah Rasul Allah yang menyebarkan
dan memancarkan cahaya Ilahi dan memberikan arah dan tujuan untuk
menjadi petunjuk dan sinar penerang dunia.
Kesempurnaan Fitrat Nabi
Besar Muhammad saw. &
Kesempurnaan Tatanan Tubuh Manusia
Ayat ini selanjutnya menyatakan
bahwa minyak yang dipakai menyalakan lampu itu mempunyai kemurnian yang semurni-murninya dan
dapat menyala sampai batas hingga
membuat minyak itu berkobar menyala-nyala sekalipun tidak
dinyalakan api. Minyak itu
diambil dari pohon yang bukan dari timur dan bukan juga dari barat, yaitu yang tidak bersifat pilih kasih terhadap sesuatu kaum
tertentu atau memiliki keseimbangan
yang sempurna dalam segala seginya.
Ayat ini dapat pula mempunyai
tafsiran lain lagi. Nur (cahaya) yang tersebut dalam ayat ini dapat
dianggap menunjuk kepada Nabi Besar Muhammad saw., sebab beliau saw. dalam
Al-Quran disebut nur (QS.5:16), dalam keadaan demikian “relung” berarti
“hati” beliau saw. , dan “lampu” berarti fitrat
beliau yang amat murni, khalis dan
dikaruniai sifat-sifat serta mengandung arti bahwa nur Ilahi yang telah
ditanamkan dalam fitrat beliau adalah sebersih dan secemerlang hablur
(kristal). Bila nur wahyu Ilahi (Al-Quran)
turun kepada nur fitrat Nabi Besar Muhammad saw., maka nur
itu bersinar dengan kilauan berlipat
ganda, yang oleh Al-Quran dilukiskan dengan kata-kata “nur di atas nur” (cahaya di atas cahaya).
Nur Nabi Besar Muhammad saw. ini telah dibantu oleh minyak yang keluar dari pohon yang bukan hanya terang dan cemerlang tetapi juga
berlimpah-limpah, mantap, dan kekal -- seperti
arti dan maksud kata mubarakah itu -- dan dimaksudkan menyinari timur dan barat
kedua-duanya.
Lagi pula hati
Nabi Besar Muhammad saw. begitu suci bersih, dan fitrat beliau saw. dianugerahi kemampuan
yang begitu mulia, sehingga beliau saw. layak melaksanakan tugas-tugas misi agung beliau saw., bahkan sebelum wahyu Ilahi (Al-Quran) turun kepada
beliau saw.. Inilah maksud kata-kata “yang minyaknya hampir-hampir bercahaya
walaupun api tidak menyentuhnya.”
Tamsil (perumpamaan) ini dapat
pula diberi tafsiran lain lagi. Relung
dalam ayat ini berarti jasad manusia.
Jasad manusia berisi ruh serta
mengantarkan cahaya, yang berarti badan (tubuh) manusia itu berisikan misbah
atau pelita ruh yang menyinari
akal manusia dan menghubungkannya
dengan Tuhan Pencipta seluruh alam.
Pelita itu
terletak dalam zujajah (kaca) yang menjaganya terhadap kemudaratan dan
cacat serta menambah dan memantulkan cahaya-nya, zujājah yang
melambangkan otak manusia susunannya
begitu sempurna, sehingga telah menjuruskan beberapa ahli filsafat untuk mengira bahwa akal manusia adalah sumber
asli cahaya Ilahi, padahal bukan.
Cahaya itu dibantu
oleh minyak yang berasal dari suatu pohon yang diberkati, yaitu dari kebenaran-kebenaran yang pokok lagi abadi, yang tidak merupakan milik khusus orang-orang timur ataupun barat.
Kebenaran-kebenaran kekal-abadi itu telah tertanam dalam fitrat manusia
dan hampir-hampir akan menampakkan
dirinya meskipun tanpa bantuan wahyu
Ilahi.
Tiga Cara Allah Swt. Berkomunikasi dengan Manusia
Mengisyaratkan kepada kenyataan
itu pulalah firman Allah Swt. berikut ini mengenai Nabi Besar Muhammad saw. dan wahyu
Al-Quran, sehingga beliau saw. menjadi
perwujudan “Nur (Cahaya) di atas
cahaya”, atau sebagai Rasul Allah
yang bergelar “Khaataman Nabiyyīn” (QS.33:41) yakni “Nabi Allah yang paling sempurna
dalam segala seginya” (QS.33:22;
QS.53:1-19; QS.68:5), firman-Nya:
وَ مَا کَانَ لِبَشَرٍ اَنۡ
یُّکَلِّمَہُ اللّٰہُ اِلَّا وَحۡیًا اَوۡ
مِنۡ وَّرَآیِٔ حِجَابٍ اَوۡ یُرۡسِلَ رَسُوۡلًا فَیُوۡحِیَ بِاِذۡنِہٖ مَا
یَشَآءُ ؕ اِنَّہٗ عَلِیٌّ حَکِیۡمٌ ﴿﴾ وَ کَذٰلِکَ اَوۡحَیۡنَاۤ
اِلَیۡکَ رُوۡحًا مِّنۡ اَمۡرِنَا ؕ مَا کُنۡتَ تَدۡرِیۡ مَا الۡکِتٰبُ وَ لَا الۡاِیۡمَانُ وَ لٰکِنۡ جَعَلۡنٰہُ نُوۡرًا نَّہۡدِیۡ بِہٖ مَنۡ نَّشَآءُ مِنۡ عِبَادِنَا ؕ وَ اِنَّکَ لَتَہۡدِیۡۤ اِلٰی صِرَاطٍ مُّسۡتَقِیۡمٍ﴿ۙ﴾ صِرَاطِ
اللّٰہِ الَّذِیۡ لَہٗ مَا فِی السَّمٰوٰتِ وَ مَا فِی الۡاَرۡضِ
ؕ اَلَاۤ اِلَی اللّٰہِ تَصِیۡرُ الۡاُمُوۡرُ ﴿﴾
Dan
sekali-kali tidak mungkin bagi manusia
bahwa Allah berbicara kepadanya,
kecuali dengan wahyu atau dari belakang tabir atau dengan mengirimkan seorang utusan guna mewahyukan dengan seizin-Nya apa
yang Dia kehendaki, sesungguhnya Dia
Maha Tinggi, Maha Bijaksana. Dan
demikianlah Kami telah mewahyukan kepada
engkau ruh (firman) ini dengan
perintah Kami. Engkau sekali-kali tidak mengetahui apa Kitab itu, dan tidak pula apa iman itu, tetapi Kami
telah menjadikan wahyu itu nur (cahaya), yang dengan itu Kami memberi petunjuk kepada siapa yang Kami kehendaki dari
antara hamba-hamba Kami. Dan
sesungguhnya engkau benar-benar memberi
petunjuk ke jalan lurus, jalan
Allah Yang milik-Nya apa yang ada di seluruh langit dan apa yang ada di bumi. Ketahuilah, kepada Allah segala perkara kembali. (Asy-Syūrā
[42:52-54).
Ayat 52 menyebut
tiga cara Allah Swt. berbicara kepada hamba-Nya dan menampakkan
Wujud-Nya kepada mereka: (a) Dia berfirman secara langsung kepada
mereka tanpa perantara. (b) Dia membuat mereka menyaksikan kasyaf (penglihatan gaib), yang dapat
ditakwilkan atau tidak, atau kadang-kadang membuat mereka mendengar kata-kata dalam keadaan jaga dan sadar, di waktu itu
mereka tidak melihat wujud orang yang berbicara kepada mereka. Inilah arti
kata-kata "dari belakang tabir," (c) Allah Swt. menurunkan seorang utusan (rasul) atau seorang malaikat yang menyampaikan Amanat Ilahi.
Dalam
ayat 52 wahyu Al-Quran disebut ruh
(nafas hidup — Lexicon Lane),
dan juga nur (cahaya), sebab dengan
perantaraannya bangsa yang telah mati
keadaan akhlak dan keruhaniannya mendapat kehidupan baru. Selanjutnya dalam yat 54
Allah Swt. menyatakan bahwa Islam
adalah ruh (kehidupan), nur (cahaya) dan jalan yang membawa (menyampaikan)
manusia kepada Allah Swt. dan menyadarkan
manusia akan tujuan agung dan luhur kejadiannya, yakni untuk
menyembah-Nya (QS.51:57) dan sebagai Khalifah-Nya
di muka bumi (QS.2:31).
Makna ayat
اَلَاۤ اِلَی اللّٰہِ تَصِیۡرُ الۡاُمُوۡرُ -- “Ketahuilah,
kepada Allah segala perkara kembali”
adalah bahwa permulaan dan akhir
segala sesuatu terletak di tangan Allah Swt. dan sepenuhnya kembali kepada-Nya.
Demikianlah hubungan gelar “Khātaman Nabiyyīn” Nabi Besar Muhammad
saw. dalam QS.33:41 dengan kalimat “Nur di atas nur” (Cahaya di atas
cahaya – QS.24:35) dalam kaitannya
dengan kesempurnaan Al-Quran yang diwahyukan
Allah Swt. kepada beliau saw. (QS.5:4), sehingga mustahil Nabi Bear Muhammad
saw. adalah seorang yang abtar
(terputus keturunannya) sebagaimana tuduhan para penentang beliau saw.,
khususnya Abu Jahal dan
kawan-kawannya, firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾
اِنَّاۤ اَعۡطَیۡنٰکَ الۡکَوۡثَرَ ؕ﴿﴾ فَصَلِّ لِرَبِّکَ
وَ انۡحَرۡ ؕ﴿﴾ اِنَّ شَانِئَکَ ہُوَ
الۡاَبۡتَرُ ﴿﴾
Aku baca dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang. Sesungguhnya Kami telah menganugerahkan kepada engkau
berlimpah-limpah kebaikan. Maka shalatlah
bagi Tuhan eng-kau dan berkorbanlah.
Sesungguhnya musuh engkau, dialah yang tanpa keturunan. (Al-Kautsār [108]:1-4).
Firman-Nya
lagi:
مَا کَانَ مُحَمَّدٌ اَبَاۤ اَحَدٍ
مِّنۡ رِّجَالِکُمۡ وَ لٰکِنۡ رَّسُوۡلَ اللّٰہِ وَ خَاتَمَ النَّبِیّٖنَ ؕ وَ کَانَ اللّٰہُ
بِکُلِّ شَیۡءٍ عَلِیۡمًا ﴿﴾
Muhammad bukanlah bapak salah seorang laki-laki di antara laki-laki kamu, akan tetapi ia adalah Rasul Allah dan Meterai sekalian nabi, dan Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu. (Al-Ahzāb [33]:41).
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 6
September 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar