Minggu, 08 September 2013

Hubungan Gelar "Khaataman Nabiyyiin" dengan Ungkapan "Nur (Cahaya) di atas Nur (Cahaya)" Berkenaan dengan Nabi Besar Muhammad saw. dan Wahyu Al-Quran




  بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ

Khazanah Ruhani Surah  Shād


Bab 14

Hubungan Gelar “Khaataman Nabiyyiin” dengan  Ungkapan “Nur (Cahaya) di atas Nur (Cahaya)” Berkenaan dengan Nabi Besar Muhammad Saw. dan Wahyu Al-Quran

Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

D
alam akhir  Bab sebelumnya  telah dikemukakan  mengenai  pemeliharaan Allah Swt. terhadap Kitab Suci Al-Quran sebagai Kitab suci terakhir dan tersempurna (QS.5:4), yang diwahyukan kepada Nabi terakhir dan tersempurna yang membawa syariat – yakni Nabi Besar Muhammad saw. – sehingga beliau saw. mendapat gelar Khātaman Nabiyyīn,   yakni Nabi yang paling mulia dari seluruh nabi-nabi, firman-Nya:
مَا کَانَ مُحَمَّدٌ اَبَاۤ  اَحَدٍ مِّنۡ رِّجَالِکُمۡ وَ لٰکِنۡ رَّسُوۡلَ اللّٰہِ وَ خَاتَمَ  النَّبِیّٖنَ ؕ وَ  کَانَ اللّٰہُ  بِکُلِّ شَیۡءٍ عَلِیۡمًا ﴿﴾
Muhammad bukanlah bapak salah seorang laki-laki di antara laki-laki  kamu, akan tetapi ia adalah Rasul Allah dan Meterai sekalian nabi, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Al-Ahzāb [33]:41).
      Khātam berasal dari kata khatama yang berarti: ia memeterai, mencap, mensahkan atau mencetakkan pada barang itu. Inilah arti-pokok kata itu. Adapun arti kedua ialah: ia mencapai ujung benda itu; atau menutupi benda itu, atau melindungi apa yang tertera dalam tulisan dengan memberi tanda atau mencapkan secercah tanah liat di atasnya, atau dengan sebuah meterai jenis apa pun.
     Khātam berarti juga sebentuk cincin stempel; sebuah segel, atau meterai dan sebuah tanda; ujung atau bagian terakhir dan hasil atau anak (cabang) suatu benda. Kata itu pun berarti hiasan atau perhiasan; terbaik atau paling sempurna. Kata-kata khatim, khatm dan khatam hampir sama artinya (Lexicon Lane; Al-Mufradat; Fath-ul-Bari; dan Zurqani). Maka kata khātaman nabiyyin akan berarti: meterai para nabi; yang terbaik dan paling sempurna dari antara nabi-nabi; hiasan dan perhiasan nabi-nabi. Arti kedua ialah nabi terakhir  yang membawa syariat (QS.5:4).
     Di Mekkah pada waktu semua putra Nabi Besar Muhammad saw.   telah meninggal dunia semasa masih kanak-kanak, musuh-musuh beliau saw. mengejek beliau seorang abtar (yang tidak mempunyai anak laki-laki), yang berarti karena ketiadaan ahliwaris lelaki itu untuk menggantikan beliau saw. maka  jemaat beliau saw. (umat Islam) cepat atau lambat akan menemui kesudahan (Al-Bahrul-Muhith).
      Sebagai jawaban terhadap ejekan orang-orang kafir tersebut,  secara tegas Allah Swt. menyatakan  dalam Surah Al-Kautsar bahwa bukan Nabi Besar Muhammad saw. melainkan musuh-musuh beliau saw. itulah yang tidak akan berketurunan (abtar), firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾ اِنَّاۤ  اَعۡطَیۡنٰکَ  الۡکَوۡثَرَ ؕ﴿﴾  فَصَلِّ  لِرَبِّکَ وَ انۡحَرۡ ؕ﴿﴾  اِنَّ شَانِئَکَ ہُوَ الۡاَبۡتَرُ ٪﴿﴾
Aku baca  dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang.   Sesungguhnya Kami  telah  menganugerahkan kepada engkau berlimpah-limpah kebaikan.   Maka shalatlah  bagi Tuhan eng-kau dan berkorbanlah.   Sesungguhnya musuh engkau, dialah  yang  tanpa keturunan.  (Al-Kautsār   [108]:1-4). 
      Sesudah Surah Al-Kautsar diturunkan, tentu saja terdapat anggapan di kalangan kaum Muslimin di zaman permulaan bahwa  Nabi Besar Muhammad saw.  akan dianugerahi anak-anak lelaki yang akan hidup sampai dewasa. Ayat yang sedang dibahas ini menghilangkan salah paham itu, sebab ayat ini menyatakan bahwa Nabi Besar Muhammad saw., --  baik sekarang maupun dahulu ataupun di masa yang akan datang --  bukan atau tidak pernah akan menjadi bapak seorang orang lelaki dewasa bangsa Arab (rijal berarti pemuda).
      Dalam pada itu ayat Al-Ahzab 41 nampaknya seakan-akan  bertentangan dengan Surah Al-Kautsar, yang di dalamnya bukan  Nabi Besar Muhammad saw., melainkan musuh-musuh beliau saw. yang diancam dengan tidak akan berketurunan (abtar), tetapi sebenarnya berusaha menghilangkan keragu-raguan dan prasangka-prasangka terhadap timbulnya arti yang kelihatannya bertentangan itu.
      Surah Al-Ahzab ayat 41   mengatakan bahwa Baginda Nabi Besar Muhammad saw. adalah rasul Allah, yang mengandung arti bahwa beliau adalah bapak ruhani seluruh umat manusia dan beliau saw. juga Khātaman Nabiyyīn, yang maksudnya bahwa beliau saw. adalah bapak ruhani seluruh nabi. Dengan demikian jika Nabi Besar Muhammad saw. bapak ruhani semua orang beriman dan semua nabi, bagaimana mungkin  beliau saw. dapat disebut (dituduh) abtar atau tak berketurunan?
     Apabila ungkapan ini diambil dalam arti bahwa  Nabi Besar Muhammad saw. itu nabi yang terakhir, dan bahwa tidak ada nabi akan datang sesudah beliau saw., maka ayat ini akan nampak sumbang bunyinya dan tidak mempunyai pertautan dengan konteks pembelaan ayat tersebut,  dan dengan mengartikan sepertim itu (nabi terakhir) maka daripada menyanggah ejekan orang-orang kafir bahwa  Nabi Besar Muhammad saw.  tidak berketurunan  (abtar), malahan mendukung dan menguatkannya.
      Pendek kata, menurut arti yang tersimpul dalam kata khatam seperti dikatakan di atas, maka ungkapan Khātaman Nabiyyīn dapat mempunyai kemungkinan empat macam arti:
    (1)  Nabi Besar Muhammad saw. adalah meterai para nabi, yakni, tidak ada nabi dapat dianggap benar kalau kenabiannya tidak bermeteraikan  Nabi Besar Muhammad saw..
    (2)  Kenabian semua nabi yang sudah lampau harus dikuatkan dan disahkan oleh  Nabi Besar Muhammad saw. dan juga tidak ada seorang pun yang dapat mencapai tingkat kenabian sesudah beliau saw., kecuali dengan menjadi pengikut sejati beliau saw..
   (3)  Nabi Besar Muhammad saw. adalah yang terbaik, termulia, dan paling sempurna dari antara semua nabi,  dan juga beliau saw. adalah sumber hiasan bagi mereka (Zurqani, Syarah Muwahib al-Laduniyyah).
   (4)  Nabi Besar Muhammad saw.  adalah yang terakhir di antara para nabi pembawa syari'at. Penafsiran ini telah diterima oleh para ulama terkemuka, orang-orang suci dan waliullah seperti Ibn ‘Arabi, Syah Waliullah, Imam ‘Ali Qari, Mujaddid Alf Tsani, dan lain-lain.
     Menurut ulama-ulama besar dan para waliullah itu, tidak ada nabi dapat datang sesudah Nabi Besar Muhammad saw.  yang dapat memansukhkan (membatalkan) millah beliau saw. atau yang akan datang dari luar umat beliau saw. (Futuhat-al-Makkiyah; Tafhimat; Maktubat; dan Yawaqit wa’l Jawahir).
     Sitti Aisyah  r.a.,  istri  Nabi Besar Muhammad saw., yang amat berbakat menurut riwayat pernah mengatakan: “Katakanlah bahwa beliau (Rasulullah saw.)  adalah Khātaman Nabiyyin, tetapi janganlah mengatakan tidak akan ada nabi lagi sesudah beliau” (Mantsur).
      (5) Nabi Besar Muhammad saw.  adalah nabi yang terakhir (Akhirul Anbiya) hanya dalam arti kata bahwa semua nilai dan sifat kenabian terjelma dengan sesempurna-sempurnanya dan selengkap-lengkapnya dalam diri beliau: khatam dalam arti sebutan terakhir untuk menggambarkan kebagusan dan kesempurnaan, adalah sudah lazim dipakai. Lebih-lebih Al-Quran dengan jelas mengatakan tentang bakal diutusnya nabi-nabi sesudah  Nabi Besar Muhammad saw. wafat (QS.7:36).
     Nabi Besar Muhammad saw.  sendiri jelas mempunyai tanggapan mengenai berlanjutnya kenabian sesudah beliau. Menurut riwayat, beliau saw. pernah bersabda: “Seandainya Ibrahim (putra beliau) masih hidup, niscaya ia akan menjadi nabi” (Ibnu Majah, Kitab al-Jana’iz) dan: “Abu Bakar adalah sebaik-baik orang sesudahku, kecuali bila ada seorang nabi muncul” (Kanzul-Ummal).

Nabi Besar Muhammad Saw. adalah “Nūr (Cahaya) di atas Nūr (Cahaya)”

       Dengan kata lain makna  Khātaman Nabiyyīn  sebagai gelar yang dianugerahkan Allah Swt. kepada Nabi Besar Muhammad saw., merupakan perwujudan “Nur (Cahaya) di atas nur (cahaya)”. Sebutan Nur (cahaya) yang pertama mengisyaratkan kepada Allah Swt.  -- yang dibuktikan dengan diturunkan-Nya wahyu Al-Quran kepada “nur” (cahaya) yang kedua,  yakni Nabi Besar Muhammad saw., yang dalam firman-Nya berikut ini fitrat beliau saw. sebelum dijadikan rasul Allah pun digambarkan bagaikan “minyak pelita” yang nyaris bercahaya walaupun belum disulut api.  Dan ketika “pelita” tersebut disulut “api” wahyu Al-Quran  maka jadilah beliau saw.   Nūrun ‘alā nūrin (Cahaya di atas cahaya), firman-Nya:
اَللّٰہُ  نُوۡرُ السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ ؕ مَثَلُ نُوۡرِہٖ کَمِشۡکٰوۃٍ  فِیۡہَا مِصۡبَاحٌ ؕ اَلۡمِصۡبَاحُ فِیۡ زُجَاجَۃٍ ؕ اَلزُّجَاجَۃُ کَاَنَّہَا کَوۡکَبٌ دُرِّیٌّ یُّوۡقَدُ مِنۡ شَجَرَۃٍ مُّبٰرَکَۃٍ  زَیۡتُوۡنَۃٍ  لَّا شَرۡقِیَّۃٍ  وَّ لَا غَرۡبِیَّۃٍ ۙ یَّکَادُ زَیۡتُہَا یُضِیۡٓءُ وَ لَوۡ لَمۡ تَمۡسَسۡہُ نَارٌ ؕ نُوۡرٌ عَلٰی نُوۡرٍ ؕ یَہۡدِی اللّٰہُ  لِنُوۡرِہٖ مَنۡ یَّشَآءُ ؕ وَ یَضۡرِبُ اللّٰہُ الۡاَمۡثَالَ لِلنَّاسِ ؕ وَ اللّٰہُ  بِکُلِّ شَیۡءٍ عَلِیۡمٌ ﴿ۙ﴾
Allah adalah Nur (Cahaya) seluruh langit dan bumi. Perumpamaan nur-Nya   seperti sebuah relung yang di dalamnya ada pelita. Pelita itu ada dalam kaca. Kaca itu seperti bintang yang gemerlapan. Pelita itu dinyalakan dengan minyak dari sebatang pohon kayu yang diberkati, yaitu  pohon zaitun yang bukan di timur dan bukan di barat, minyaknya hampir-hampir bercahaya walaupun api tidak menyentuhnya. Nur (Cahaya) di atas nur (cahaya). Allah memberi bimbingan menuju nur-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki, dan Allah mengemukakan tamsil-tamsil (perumpamaan-perumpamaan) untuk manusia, dan Allah Maha  Mengetahui segala sesuatu. (An-Nūr [24]:35).
     Nur berarti cahaya sebagai lawan dari kegelapan. Kata nur mempunyai pengertian lebih luas dan lebih menembus dan juga lebih bertahan (lama) daripada dhiya (Lexicon Lane).
       Misykat berarti:  relung dalam sebuah tembok  yakni lobang atau lekuk dalam tembok yang tidak menembus dinding itu; lampu yang ditempatkan di sana memberi cahaya lebih banyak daripada di tempat lain; tiang yang dipuncaknya diletakkan lampu (Lexicon Lane). . Zujajah berarti: kaca; bola dari kaca (Lexicon Lane).
       Ayat Surah An-Nur  ini merupakan tamsil (perumpamaan) yang indah. Ayat ini membicarakan tiga buah benda — pelita,  kaca, dan relung. Nur Ilahi disebutkan terkurung di dalam tiga benda tersebut yang bila digabung bersama membuat binar dan kilau cahayanya menjadi lengkap dan sempurna. Memang “pelita” itulah yang menjadi sumber cahaya; dan   “kaca” yang melindungi lampu itu menjaga supaya cahayanya jangan padam oleh tiupan angin serta menambah terangnya; dan “relung” menjaga cahaya itu.
     Tamsil ini dengan tepat dapat dikenakan kepada lampu senter yang bagian-bagiannya adalah kawat-kawat listrik yang memberikan cahaya, bola-lampu yang melindungi cahaya itu dan reflektor yang memancarkan dan menyebarkan cahaya serta memberi arah kepadanya.
      Dalam istilah ruhani  tiga buah benda itu — “lampu”, “kaca” dan “relung” — masing-masing dapat melukiskan cahaya Ilahi, para nabi Allah ­ -- terutama Nabi Besar Muhammad saw. -- yang melindungi cahaya itu dari menjadi padam serta menambah kilau dan terangnya, dan para khalifah Rasul Allah yang menyebarkan dan memancarkan cahaya Ilahi dan memberikan arah dan tujuan untuk menjadi petunjuk dan sinar penerang dunia.

Kesempurnaan Fitrat Nabi Besar Muhammad saw. &
Kesempurnaan Tatanan Tubuh Manusia

      Ayat ini selanjutnya menyatakan bahwa minyak yang dipakai menyalakan lampu itu mempunyai kemurnian yang semurni-murninya dan dapat menyala sampai batas hingga membuat minyak itu berkobar menyala-nyala  sekalipun tidak dinyalakan api. Minyak itu diambil dari pohon yang bukan dari timur dan bukan juga dari barat, yaitu yang tidak bersifat pilih kasih terhadap sesuatu kaum tertentu atau memiliki keseimbangan yang sempurna dalam segala seginya.
      Ayat ini dapat pula mempunyai tafsiran lain lagi. Nur (cahaya) yang tersebut dalam ayat ini dapat dianggap menunjuk kepada Nabi Besar Muhammad saw., sebab beliau saw. dalam Al-Quran disebut nur (QS.5:16), dalam keadaan demikian “relung” berarti “hati” beliau saw.  , dan “lampu” berarti fitrat beliau yang amat murni,  khalis dan dikaruniai sifat-sifat serta mengandung arti bahwa nur Ilahi yang telah ditanamkan dalam fitrat beliau adalah sebersih dan secemerlang hablur (kristal). Bila nur wahyu Ilahi (Al-Quran) turun kepada nur fitrat  Nabi Besar Muhammad saw., maka  nur itu bersinar dengan kilauan berlipat ganda, yang oleh Al-Quran dilukiskan dengan kata-kata “nur di atas nur” (cahaya di atas cahaya).
       Nur   Nabi Besar Muhammad saw.  ini telah dibantu oleh minyak yang keluar dari pohon yang bukan hanya terang dan cemerlang tetapi juga berlimpah-limpah, mantap, dan kekal  -- seperti arti dan maksud kata mubarakah itu --  dan dimaksudkan menyinari timur dan barat kedua-duanya.
       Lagi pula hati  Nabi Besar Muhammad saw. begitu suci bersih, dan fitrat beliau saw. dianugerahi kemampuan yang begitu mulia, sehingga beliau saw. layak melaksanakan tugas-tugas misi agung beliau saw., bahkan sebelum wahyu Ilahi (Al-Quran) turun kepada beliau saw.. Inilah maksud kata-kata “yang minyaknya hampir-hampir bercahaya walaupun api tidak menyentuhnya.”
        Tamsil (perumpamaan) ini dapat pula diberi tafsiran lain lagi. Relung dalam ayat ini berarti jasad manusia. Jasad manusia berisi ruh  serta mengantarkan cahaya, yang berarti badan (tubuh) manusia itu berisikan misbah atau pelita ruh yang menyinari akal manusia dan menghubungkannya dengan Tuhan Pencipta seluruh alam.
        Pelita itu terletak dalam zujajah (kaca) yang menjaganya terhadap kemudaratan dan cacat serta menambah dan memantulkan cahaya-nya, zujājah yang melambangkan otak manusia susunannya begitu sempurna, sehingga telah menjuruskan beberapa ahli filsafat untuk mengira bahwa akal manusia adalah sumber asli cahaya Ilahi, padahal bukan.
       Cahaya itu dibantu oleh minyak yang berasal dari suatu pohon yang diberkati, yaitu dari kebenaran-kebenaran yang pokok lagi abadi, yang tidak merupakan milik khusus orang-orang timur ataupun barat. Kebenaran-kebenaran kekal-abadi itu telah tertanam dalam fitrat manusia dan hampir-hampir akan menampakkan dirinya meskipun tanpa bantuan wahyu Ilahi.

Tiga Cara Allah Swt. Berkomunikasi dengan Manusia

      Mengisyaratkan kepada kenyataan itu pulalah firman Allah Swt. berikut ini mengenai Nabi Besar Muhammad saw. dan wahyu Al-Quran, sehingga beliau saw. menjadi  perwujudan “Nur (Cahaya) di atas cahaya”, atau sebagai Rasul Allah yang bergelar “Khaataman Nabiyyīn  (QS.33:41) yakni “Nabi Allah yang paling  sempurna dalam segala seginya”  (QS.33:22; QS.53:1-19; QS.68:5), firman-Nya:
وَ مَا کَانَ  لِبَشَرٍ اَنۡ یُّکَلِّمَہُ اللّٰہُ  اِلَّا وَحۡیًا اَوۡ مِنۡ وَّرَآیِٔ حِجَابٍ اَوۡ یُرۡسِلَ رَسُوۡلًا فَیُوۡحِیَ بِاِذۡنِہٖ مَا یَشَآءُ ؕ اِنَّہٗ عَلِیٌّ  حَکِیۡمٌ ﴿﴾  وَ کَذٰلِکَ  اَوۡحَیۡنَاۤ  اِلَیۡکَ رُوۡحًا مِّنۡ اَمۡرِنَا ؕ مَا کُنۡتَ تَدۡرِیۡ مَا الۡکِتٰبُ وَ لَا  الۡاِیۡمَانُ وَ لٰکِنۡ جَعَلۡنٰہُ  نُوۡرًا نَّہۡدِیۡ  بِہٖ مَنۡ نَّشَآءُ  مِنۡ عِبَادِنَا ؕ وَ اِنَّکَ لَتَہۡدِیۡۤ  اِلٰی صِرَاطٍ مُّسۡتَقِیۡمٍ﴿ۙ﴾  صِرَاطِ اللّٰہِ  الَّذِیۡ  لَہٗ مَا فِی السَّمٰوٰتِ وَ مَا فِی الۡاَرۡضِ ؕ اَلَاۤ  اِلَی اللّٰہِ  تَصِیۡرُ الۡاُمُوۡرُ ﴿﴾
Dan sekali-kali tidak mungkin bagi manusia bahwa Allah berbicara kepadanya, kecuali dengan wahyu atau dari belakang tabir atau dengan mengirimkan seorang utusan guna mewahyukan dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki, sesungguhnya  Dia Maha Tinggi, Maha Bijaksana. Dan demikianlah Kami telah mewahyukan kepada engkau ruh (firman) ini dengan perintah Kami. Engkau sekali-kali tidak mengetahui apa Kitab itu, dan tidak pula apa iman itu,  tetapi Kami telah menjadikan wahyu itu nur (cahaya), yang dengan itu Kami memberi petunjuk kepada siapa yang Kami kehendaki dari antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya engkau benar-benar memberi petunjuk ke jalan lurus,   jalan  Allah Yang milik-Nya apa yang ada di seluruh langit dan apa yang ada di bumi. Ketahuilah, kepada Allah segala perkara kembali.  (Asy-Syūrā [42:52-54).
    Ayat 52   menyebut tiga cara Allah Swt.    berbicara kepada hamba-Nya dan menampakkan Wujud-Nya kepada mereka: (a) Dia berfirman secara langsung kepada mereka tanpa perantara. (b) Dia membuat mereka menyaksikan kasyaf (penglihatan gaib), yang dapat ditakwilkan atau tidak, atau kadang-kadang membuat mereka mendengar kata-kata dalam keadaan jaga dan sadar, di waktu itu mereka tidak melihat wujud orang yang berbicara kepada mereka. Inilah arti kata-kata "dari belakang tabir," (c) Allah Swt. menurunkan seorang utusan (rasul) atau seorang malaikat yang menyampaikan Amanat Ilahi.
  Dalam ayat 52 wahyu Al-Quran disebut   ruh (nafas hidup — Lexicon Lane), dan juga nur (cahaya), sebab dengan perantaraannya  bangsa yang telah mati keadaan akhlak dan keruhaniannya mendapat kehidupan baru. Selanjutnya dalam yat 54 Allah Swt.  menyatakan  bahwa   Islam adalah ruh (kehidupan), nur (cahaya) dan jalan yang membawa (menyampaikan) manusia kepada Allah Swt.  dan menyadarkan manusia akan tujuan agung dan luhur kejadiannya, yakni untuk menyembah-Nya (QS.51:57) dan sebagai Khalifah-Nya di muka bumi (QS.2:31).
 Makna ayat   اَلَاۤ  اِلَی اللّٰہِ  تَصِیۡرُ الۡاُمُوۡرُ  -- “Ketahuilah, kepada Allah segala perkara kembali adalah bahwa permulaan dan akhir segala sesuatu terletak di tangan Allah Swt. dan sepenuhnya kembali kepada-Nya.
    Demikianlah hubungan gelar “Khātaman Nabiyyīn” Nabi Besar Muhammad saw. dalam QS.33:41 dengan  kalimat “Nur di atas nur” (Cahaya di atas cahaya – QS.24:35) dalam   kaitannya dengan kesempurnaan  Al-Quran yang diwahyukan Allah Swt. kepada beliau saw. (QS.5:4), sehingga mustahil Nabi Bear Muhammad saw. adalah seorang yang abtar (terputus keturunannya)  sebagaimana tuduhan para penentang beliau saw., khususnya Abu Jahal dan kawan-kawannya, firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾ اِنَّاۤ  اَعۡطَیۡنٰکَ  الۡکَوۡثَرَ ؕ﴿﴾  فَصَلِّ  لِرَبِّکَ وَ انۡحَرۡ ؕ﴿﴾  اِنَّ شَانِئَکَ ہُوَ الۡاَبۡتَرُ ﴿﴾
Aku baca  dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang.   Sesungguhnya Kami  telah  menganugerahkan kepada engkau berlimpah-limpah kebaikan.   Maka shalatlah  bagi Tuhan eng-kau dan berkorbanlah.   Sesungguhnya musuh engkau, dialah  yang  tanpa keturunan.  (Al-Kautsār   [108]:1-4). 
Firman-Nya lagi: 
مَا کَانَ مُحَمَّدٌ اَبَاۤ  اَحَدٍ مِّنۡ رِّجَالِکُمۡ وَ لٰکِنۡ رَّسُوۡلَ اللّٰہِ وَ خَاتَمَ  النَّبِیّٖنَ ؕ وَ  کَانَ اللّٰہُ  بِکُلِّ شَیۡءٍ عَلِیۡمًا ﴿﴾
Muhammad bukanlah bapak salah seorang laki-laki di antara laki-laki  kamu, akan tetapi ia adalah Rasul Allah dan Meterai sekalian nabi, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Al-Ahzāb [33]:41).

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid

***

Pajajaran Anyar,  6  September   2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar