Senin, 09 Desember 2013

"Perjanjian Hudaibiyah" Merupakan Bukti Kepiawaian Langkah Politik Nabi Besar Muhammad Saw. sebagai "Kemenangan yang Nyata"



بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ


Khazanah Ruhani Surah  Shād

Bab  95

Perjanjian Hudaibiyah” Merupakan Bukti Kepiawaian Langkah Politik Nabi Besar Muhammad Saw. sebagai     Kemenangan yang Nyata 

Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

Dalam Akhir Bab sebelumnya  telah dikemukakan mengenai terjadinya Fatah Makkah serta pemberian amnesti (pengampunan) secara umum  oleh Nabi Besar Muhammad saw. terhadap  penduduk Makkah, serta berbondong-bondongnya manusia  masuk Islam yang sebelumnya mereka dustakan dan tentang habis-habisan,  firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِۙ﴿﴾  اِذَا  جَآءَ  نَصۡرُ اللّٰہِ  وَ  الۡفَتۡحُ ۙ﴿﴾  وَ  رَاَیۡتَ النَّاسَ یَدۡخُلُوۡنَ فِیۡ  دِیۡنِ اللّٰہِ  اَفۡوَاجًا ۙ﴿﴾  فَسَبِّحۡ  بِحَمۡدِ رَبِّکَ وَ اسۡتَغۡفِرۡہُ  ؕؔ اِنَّہٗ کَانَ  تَوَّابًا ٪﴿﴾
Aku baca  dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang.    Apabila datang pertolongan Allah dan kemenangan,  dan engkau melihat manusia  masuk dalam agama Allah berbondong-bondong,  maka  bertasbihlah dengan memuji Rabb (Tuhan) engkau, dan mohonlah ampunan-Nya, sesungguhnya Dia Maha Penerima taubat. (An-Nashr [110]:1-4).
  Makna   اِذَا  جَآءَ  نَصۡرُ اللّٰہِ  وَ  الۡفَتۡحُ   --   “Apabila datang pertolongan Allah dan kemenangan” adalah kemenangan yang dijanjikan. Dan karena janji Allah Swt.    telah menjadi sempurna dimana  manusia mulai berduyun-duyun masuk Islam, maka Nabi Besar Muhammad saw.   dalam ayat selanjutnya  diperintahkan agar bersyukur kepada Rabb  beliau saw. karena Dia telah memenuhi janji-Nya, agar beliau menyanjungkan tasbih (kesucian Tuhan) mendendangkan puji-pujian bagi-Nya فَسَبِّحۡ  بِحَمۡدِ رَبِّکَ  --  “maka  bertasbihlah dengan memuji Rabb (Tuhan) engkau.

Makna Perintah Memohon Ampunan kepada Allah Swt.

  Selanjutnya dikatakan   وَ اسۡتَغۡفِرۡہُ  ؕؔ اِنَّہٗ کَانَ  تَوَّابًا ٪﴿﴾  -- “dan mohonlah ampunan-Nya, sesungguhnya Dia Maha Penerima taubat”, dalam ayat ini  dikatakan kepada Nabi Besar Muhammad saw.,  bahwa oleh karena kemenangan telah datang kepada beliau saw. dan Islam telah berkuasa di seluruh negeri dan musuh-musuh beliau saw. dahulu telah menjadi pengikut beliau saw. yang mukhlis, maka beliau saw. harus berdoa, supaya Allah Swt. memaafkan kesalahan-kesalahan besar yang pernah dilakukan mereka terhadap beliau saw. pada masa lampau.
   Rupa-rupanya inilah arti dan maksud perintah kepada  Nabi Besar Muhammad waw.  supaya memohon ampunan kepada Allah Swt.. Atau artinya ialah bahwa beliau saw.  diperintahkan supaya memohon perlindungan Ilahi terhadap kelemahan-kelemahan dan kekurangan-kekurangan yang dapat menyelinap ke dalam tubuh jemaat kaum Muslimin, disebabkan para muallaf kurang mendapat pengajaran atau pendidikan yang memadai.
Adalah sangat bermakna  bahwa manakala di dalam Al-Quran disebutkan perihal kemenangan atau perihal keberhasilan besar lainnya datang kepada Nabi Besar Muhammad saw.,   beliau saw. selalu diperintahkan agar memohon ampunan Tuhan dan perlindungan-Nya. Hal itu jelas menunjukkan, bahwa dalam ayat ini pun, beliau saw. diperintahkan agar  memohon ampunan Allah Swt. dan perlindungan-Nya, bukan bagi diri beliau saw. sendiri, melainkan bagi orang-orang lain, yaitu beliau saw. diperintahkan agar berdoa bilamana ada bahaya datang -- ketika para pengikut beliau saw. menyimpang dari asas-asas dan ajaran-ajaran Islam --  semoga kiranya Allah Swt. menyelamatkan mereka dari kemelut serupa itu.
Jadi, di sini sama sekali bukan berarti bahwa, Nabi Besar Muhammad saw.   beristighfar bagi salah satu perbuatan beliau saw. sendiri, sebab menurut Al-Quran, beliau saw. menikmati kekebalan mutlak terhadap segala macam kelemahan akhlak atau terhadap penyimpangan dari jalan lurus, melainkan perintah mohon ampunan Allah Swt. tersebut  adalah untuk para pengikut beliau saw.   (umat Islam.
 Mengapa demikian? Sebab Nabi Besar Muhammad saw.  mengetahui, bahwa yang mendapat jaminan pemeliharaan Allah Swt. selamanya adalah Al-Quran (QS.15:10),bukan umat Islam, karena mengenai umat Islam sendiri beliau saw.  i telah mendapat pemberitahuan dari Allah Swt. bahwa secara bertahap mereka akan mengikuti umat sebelumnya, yaitu kaum Yahudi dan Nashrani  sehingga seperti persamaan sepasang sepatu.

Perjanjian Hudaibiyah” Merupakan Keunggulan
Langkah  Politik   Nabi Besar Muhammad saw.

Dalam Surah lainnya Allah Swt. berfirman mengenai hal yang sama kepada Nabi Besar Muhammad saw.:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾  اِنَّا فَتَحۡنَا لَکَ فَتۡحًا مُّبِیۡنًا ۙ﴿﴾  لِّیَغۡفِرَ  لَکَ اللّٰہُ  مَا تَقَدَّمَ مِنۡ ذَنۡۢبِکَ وَ مَا تَاَخَّرَ وَ یُتِمَّ نِعۡمَتَہٗ  عَلَیۡکَ وَ یَہۡدِیَکَ صِرَاطًا مُّسۡتَقِیۡمًا ۙ﴿﴾  وَّ  یَنۡصُرَکَ اللّٰہُ  نَصۡرًا عَزِیۡزًا ﴿﴾
Aku baca  dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang.    Sesungguhnya Kami telah memberi engkau satu kemenangan nyata, supaya Allah melindungi engkau dari dosa-dosa yang dibuat terhadap engkau di masa lalu dan di masa yang akan datang,  dan Dia menyempurnakan nikmat-Nya atas engkau, dan memberi petunjuk kepada engkau pada jalan yang lurus,   dan Allah akan menolong eng-kau dengan pertolongan yang perkasa.   (Al-Fath [48]:1-4).
 Yang diisyaratkan oleh kata-kata "kemenangan nyata" nampaknya  "Perjanjian Hudaibiyah." Sungguh aneh,  bahwa walaupun selama masa singkat yaitu 6 tahun permulaan ketika Nabi Besar Muhammad saw.    tinggal di kota Medinah, beliau  saw. telah mendapat kemenangan-kemenangan besar atas musuh-musuh beliau saw. sehingga telah melumpuhkan dan mematahkan daya juang mereka, namun demikian tidak satu pun dari kemenangan-kemenangan itu disebut "kemenangan nyata" di dalam Al-Quran.
  Sebutan itu dicadangkan untuk “Perjanjian Hudaibiyah” guna menerima kehormatan luar biasa ini, kendatipun syarat-syarat (dalam perjanjian) pada lahirnya nampak sangat merendahkan derajat beliau saw., sehingga  orang-orang Muslim sangat bingung atas peristiwa yang nampaknya sebagai suatu penghinaan terhadap kehormatan Islam, demikian rupa hingga bahkan seorang yang gagah seperti   Umar bin Khaththab r.a. pun   berseru karena sedih dan jengkelnya bahwa andaikata syarat-syarat Perjanjian itu telah ditetapkan oleh orang lain -- selain  Nabi Besar Muhammad saw. --  niscaya beliau akan mencemoohkan syarat-syarat itu (Siratun Nabi oleh Syaikh Abu Muhammad ‘Abd al-Malik ibn Hisyam).
 Sungguh Perjanjian itu merupakan kemenangan besar, sebab telah membuka jalan bagi pengembangan dan penyebaran Islam dan menjurus kepada jatuhnya kota Makkah dan akhirnya kepada penundukkan seluruh wilayah tanah Arab. Peristiwa itu ternyata merupakan keunggulan siasat (langkah politik)  Nabi Besar Muhammad saw.,  karena dengan Perjanjian itu Islam mempunyai "kedudukan politik sebagai satu kekuatan yang semartabat dan merdeka serta berdaulat yang diakui oleh kaum Quraisy" ("Mohammad at Medinah" oleh Montgomery Watt).

Berangkat ke Makkah untuk Melaksanakan ‘Umrah untuk
Memenuhi Penglihatan Ruhani  dalam Kasyaf 

      Ada pun alasan keberangkatan Nabi Besar Muhammad saw. ke Makkah  adalah karena beliau saw.  telah melihat sebuah kasyaf (penglihatan ruhani) bahwa beliau saw. sedang bertawaf bersama serombongan sahabat beliau saw., dan  guna menggenapi kasyaf itu bertolaklah  Nabi Besar Muhammad saw.   ke Mekkah dengan sejumlah kira-kira 1500 orang Islam untuk mengerjakan umrah dalam bulan suci yang selama bulan itu — menurut adat kebiasaan orang-orang Arab — peperangan terlarang, dan hal itu malahan berlaku juga sebelum Islam.
      Tatkala  Nabi Besar Muhammad saw.     tiba di 'Usfan, suatu tempat yang terletak beberapa mil dari Makkah, beliau diberi kabar oleh regu perintis yang dikirim beliau saw. di bawah pimpinan 'Abbad bin Bisyr,  bahwa kaum Quraisy berniat menghalangi beliau saw. masuk ke kota Makkah.
  Untuk menghindari bentrokan senjata  lalu Nabi Besar Muhammad saw. mengubah haluan beliau saw.,  dan  sesudah menempuh perjalanan yang melelahkan melalui jalan berkelok-kelok lagi  sukar ditempuh,  sampailah beliau ke Hudaibiyah,  di sana beliau berkemah.
   Nabi Besar Muhammad saw. melalui utusan beliau saw. -- Utsman bin ‘Affan r.a. --    menyatakan bahwa beliau saw. akan menerima segala tuntutan orang-orang Quraisy demi kehormatan Tanah Suci,   tetapi orang-orang Quraisy  bersikeras dalam tekad mereka untuk tidak membiarkan beliau saw. dan rombongan memasuki kota Makkah, biar apa pun yang dikatakan beliau saw..
  Kedua belah pihak saling mengirimkan pesan dalam upaya mencari pemecahan sebagai jalan keluar dari kemacetan perundingan itu. Sesudah dilangsungkan pembicaraan-pembicaraan panas dan berlarut-larut yang diusahakan oleh  Nabi Besar Muhammad saw.  dengan segala daya upaya --  bahkan dengan mempertaruhkan kewibawaan beliau saw. sendiri -- agar dapat sampai kepada suatu kompromi yang pantas dengan kaum Quraisy,  maka ditanda-tanganilah persetujuan yang syarat-syaratnya antara lain berbunyi:
 “Peperangan harus ditangguhkan selama 10 tahun.  Barangsiapa ingin menggabungkan diri kepada Rasulullah saw.  atau mengadakan perjanjian dengan beliau, akan mendapat keleluasaan berbuat demikian, dan demikian pula siapa yang mau menggabungkan dengan kaum Quraisy atau mengadakan perjanjian dengan mereka, ia akan bebas berbuat demikian.
 Jika seorang beriman dari Mekkah pindah dan menggabungkan diri dengan Rasulullah saw.  tanpa izin walinya ia harus dikembalikan kepada walinya, tetapi  kalau ada seseorang pengikut Rasulullah saw.   kembali kepada kaum Quraisy maka ia tidak boleh dikirimkan kembali.
Rasulullah saw.  harus pulang kembali tanpa memasuki kota pada tahun ini. Tahun depan beliau dan para sahabat dapat berkunjung ke Mekkah hanya selama tiga hari untuk mengerjakan umrah, tetapi mereka tidak boleh membawa senjata kecuali pedang-pedang bersarung" (Bukhari).

Hadits Mengenai “Perjanjian Hudaibiyah

 Berikut terjemahan hadits mengenai kepiawaian langkah-langkah politik yang dilakukan Nabi Besar Muhammad saw. dalam perjanjian Hudaibiyah mengenai, yang  menurut umumnya para sahabat –  termasuk sahabat yang sangat cerdas dan kritis, Umar bin Khaththab r.a. --  sangat  merugikan  pihak umat Islam: 
Telah menceritakan kepadaku 'Ubaidullah bin Mu'ad Al 'Anbari telah menceritakan kepada kami ayahku telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Abu Ishaq dia berkata: Aku mendengar Al Barra bin 'Azzib berkata, "Ali bin Abu Thalib pernah menuliskan perjanjian damai antara Nabi shallallāhu 'alaihi wasallam dengan orang-orang musyrik (Makkah) ketika perjanjian Hudaibiyyah. Ali menuliskan, "Ini adalah perjanjian yang ditulis oleh Muhammad Rasulullah." Lantas mereka berkata, "Jikalau kami tahu bahwa engkau adalah Rasulullah, tentu kami tidak akan memerangi engkau." Maka Nabi shallallāhu 'alaihi wasallam bersabda kepada Ali: "Hapus kata-kata itu (tulisan 'Rasulullah')." Ali menjawab, "Aku tidak mau menghapusnya." Maka Nabi shallallāhu 'alaihi wasallam yang menghapusnya dengan tangannya sendiri." Al Barra` berkata, "Isi perjanjian itu antara lain menetapkan bahwa kaum Muslimin boleh masuk dan tinggal di kota Makkah selama tiga hari. Tidak boleh membawa senjata kecuali diletakkan dalam sarungnya." Aku bertanya kepada Abu Ishaq, "Apa yang dimaksud dengan sarung pedang?" dia menjawab, "Yaitu sarung pedang dan sesuatu yang ada di dalamnya." Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna dan Ibnu Basyar keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja'far telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Abu Ishaq dia berkata; aku mendengar Al Barra` bin 'Azib berkata, "Rasulullah shallallāhu 'alaihi wasallam pernah mengadakan perjanjian Hudaibiyyah, lantas Ali menulis suatu catatan di antara mereka." Al Barra` berkata, "Lalu dia menulis; Muhammad Rasulullah...kemudian dia menyebutkan seperti hadits Mu'adz, namun dalam haditsnya dia tidak menyebutkan, "Ini adalah perjanjian yang ditulis olehnya."
 Pendek kata, syarat-syarat itu nampaknya merupakan penghinaan besar. Orang-orang Islam  sangat bingung. Tidak ada kata memadai untuk melukiskan keprihatinan mereka dan rasa terhina serta rasa harga diri mereka yang ternoda. Teristimewa syarat yang ketigalah dirasakan pahit sepahit empedu.  
 Tetapi  Nabi Besar Muhammad saw.  tetap tenang dan berkepala dingin. Oleh karena yakin akan kekuatan moral Islam, beliau saw. mengetahui bahwa "seorang beriman yang telah sekali mencicipi manisnya keimanan akan lebih suka dilemparkan ke dalam api daripada kembali kepada kekafiran" (Bukhari), dan bahwa ia akan membuktikan diri menjadi sumber kekuatan bagi agamanya di mana pun ia berada.

“Kemenangan yang Nyata”

Perjanjian Hudaibiyah terbukti kemudian menjadi "kemenangan yang nyata." Para sahabat Nabi Besar Muuammad saw.  sewajarnya merasa bangga atas kehadiran mereka pada peristiwa itu, dan tepat sekali memandang Perjanjian  Hudaibiyah itulah   — dan bukan peristiwa penaklukan Makkah— sebagai "kemenangan yang diisyaratkan dalam ayat ini" (Bukhari).
Menurut mereka tidak ada kemenangan yang lebih besar dan lebih jauh jangkauannya dalam hasil dan pengaruhnya daripada Perjanjian itu (Hisyam). Dan Nabi Besar Muhammad saw.  sendiri menyebutnya kemenangan besar (Baihaqi). Al-Quran menyebutnya "kemenangan nyata" (QS.48:2), "keberhasilan besar" (QS.48:6), "ganjaran besar" (QS.48:11) dan penggenapan serta penyempurnaan nikmat Ilahi atas Nabi Besar Muhammad saw. (QS.48: 3),  sebab peristiwa (perjanjian Hudaibiyah) itu membukakan pintu-air-kemenangan ruhani dan politik agama Islam, firman-Nya:  اِنَّا فَتَحۡنَا لَکَ فَتۡحًا مُّبِیۡنًا  --   “Sesungguhnya Kami telah memberi engkau satu kemenangan nyata” (QS.48:2).


(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid

***
Pajajaran Anyar,   25 November    2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar