بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah Ruhani Surah
Shād
Bab 95
“Perjanjian Hudaibiyah” Merupakan Bukti Kepiawaian Langkah Politik Nabi Besar Muhammad Saw. sebagai “Kemenangan yang Nyata”
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
Dalam Akhir Bab sebelumnya telah
dikemukakan mengenai terjadinya Fatah Makkah serta pemberian amnesti (pengampunan) secara umum oleh Nabi Besar Muhammad saw. terhadap penduduk Makkah, serta berbondong-bondongnya manusia masuk Islam
yang sebelumnya mereka dustakan dan tentang habis-habisan, firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ
الرَّحِیۡمِۙ﴿﴾ اِذَا جَآءَ
نَصۡرُ اللّٰہِ وَ الۡفَتۡحُ ۙ﴿﴾ وَ رَاَیۡتَ
النَّاسَ یَدۡخُلُوۡنَ فِیۡ دِیۡنِ
اللّٰہِ اَفۡوَاجًا ۙ﴿﴾ فَسَبِّحۡ بِحَمۡدِ رَبِّکَ وَ اسۡتَغۡفِرۡہُ ؕؔ اِنَّہٗ کَانَ تَوَّابًا ٪﴿﴾
Aku baca dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang. Apabila
datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan engkau
melihat manusia masuk dalam agama Allah
berbondong-bondong, maka bertasbihlah
dengan memuji Rabb (Tuhan) engkau, dan mohonlah ampunan-Nya, sesungguhnya
Dia Maha Penerima taubat. (An-Nashr
[110]:1-4).
Makna اِذَا
جَآءَ نَصۡرُ اللّٰہِ وَ
الۡفَتۡحُ
-- “Apabila datang pertolongan
Allah dan kemenangan” adalah kemenangan
yang dijanjikan. Dan karena janji Allah Swt. telah menjadi sempurna dimana manusia
mulai berduyun-duyun masuk Islam, maka Nabi Besar Muhammad saw. dalam ayat selanjutnya diperintahkan agar bersyukur kepada Rabb
beliau saw. karena Dia telah memenuhi janji-Nya, agar beliau menyanjungkan tasbih (kesucian Tuhan) mendendangkan puji-pujian bagi-Nya فَسَبِّحۡ بِحَمۡدِ رَبِّکَ -- “maka
bertasbihlah dengan memuji Rabb
(Tuhan) engkau.”
Makna Perintah Memohon Ampunan kepada Allah Swt.
Selanjutnya dikatakan وَ اسۡتَغۡفِرۡہُ ؕؔ اِنَّہٗ کَانَ تَوَّابًا ٪﴿﴾ -- “dan mohonlah
ampunan-Nya, sesungguhnya Dia Maha
Penerima taubat”, dalam ayat ini
dikatakan kepada Nabi Besar Muhammad saw., bahwa oleh karena kemenangan telah datang kepada beliau saw. dan Islam telah berkuasa di seluruh negeri dan musuh-musuh beliau saw. dahulu telah menjadi pengikut beliau saw. yang mukhlis,
maka beliau saw. harus berdoa, supaya
Allah Swt. memaafkan kesalahan-kesalahan besar yang pernah
dilakukan mereka terhadap beliau saw. pada masa lampau.
Rupa-rupanya inilah arti dan maksud perintah kepada Nabi Besar Muhammad waw. supaya memohon ampunan kepada Allah Swt.. Atau artinya ialah bahwa beliau
saw. diperintahkan supaya memohon perlindungan
Ilahi terhadap kelemahan-kelemahan
dan kekurangan-kekurangan yang dapat
menyelinap ke dalam tubuh jemaat kaum
Muslimin, disebabkan para muallaf kurang mendapat pengajaran atau pendidikan yang memadai.
Adalah
sangat bermakna bahwa manakala di dalam Al-Quran disebutkan
perihal kemenangan atau perihal keberhasilan besar lainnya datang kepada
Nabi Besar Muhammad saw., beliau saw. selalu diperintahkan agar memohon ampunan
Tuhan dan perlindungan-Nya. Hal
itu jelas menunjukkan, bahwa dalam ayat ini pun, beliau saw. diperintahkan
agar memohon ampunan Allah Swt. dan perlindungan-Nya, bukan bagi diri beliau saw. sendiri, melainkan bagi
orang-orang lain, yaitu beliau saw. diperintahkan
agar berdoa bilamana ada bahaya datang -- ketika para pengikut
beliau saw. menyimpang dari asas-asas dan ajaran-ajaran Islam -- semoga kiranya Allah Swt. menyelamatkan mereka dari kemelut
serupa itu.
Jadi, di
sini sama sekali bukan berarti bahwa, Nabi Besar Muhammad saw. beristighfar
bagi salah satu perbuatan beliau saw.
sendiri, sebab menurut Al-Quran, beliau saw. menikmati kekebalan mutlak terhadap segala macam kelemahan akhlak atau terhadap penyimpangan
dari jalan lurus, melainkan perintah
mohon ampunan Allah Swt.
tersebut adalah untuk para pengikut beliau saw. (umat Islam.
Mengapa demikian? Sebab Nabi Besar Muhammad
saw. mengetahui, bahwa yang mendapat
jaminan pemeliharaan Allah Swt.
selamanya adalah Al-Quran
(QS.15:10),bukan umat Islam, karena
mengenai umat Islam sendiri beliau
saw. i telah mendapat pemberitahuan dari Allah Swt. bahwa
secara bertahap mereka akan mengikuti umat sebelumnya, yaitu kaum Yahudi dan Nashrani sehingga seperti persamaan sepasang sepatu.
“Perjanjian Hudaibiyah” Merupakan Keunggulan
Langkah Politik
Nabi Besar Muhammad saw.
Dalam Surah
lainnya Allah Swt. berfirman mengenai hal yang sama kepada Nabi Besar Muhammad
saw.:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾
اِنَّا فَتَحۡنَا لَکَ فَتۡحًا مُّبِیۡنًا
ۙ﴿﴾ لِّیَغۡفِرَ لَکَ اللّٰہُ
مَا تَقَدَّمَ مِنۡ ذَنۡۢبِکَ وَ مَا تَاَخَّرَ وَ یُتِمَّ نِعۡمَتَہٗ عَلَیۡکَ وَ یَہۡدِیَکَ صِرَاطًا مُّسۡتَقِیۡمًا
ۙ﴿﴾ وَّ یَنۡصُرَکَ اللّٰہُ نَصۡرًا عَزِیۡزًا ﴿﴾
Aku baca dengan nama Allah, Maha Pemurah,
Maha Penyayang. Sesungguhnya Kami telah memberi engkau satu kemenangan nyata, supaya Allah melindungi engkau dari
dosa-dosa yang dibuat terhadap engkau di masa lalu dan di masa yang akan datang, dan Dia
menyempurnakan nikmat-Nya atas engkau, dan memberi petunjuk kepada engkau pada jalan yang lurus, dan Allah
akan menolong eng-kau dengan pertolongan
yang perkasa. (Al-Fath
[48]:1-4).
Yang
diisyaratkan oleh kata-kata "kemenangan nyata" nampaknya "Perjanjian
Hudaibiyah." Sungguh aneh, bahwa walaupun selama masa singkat yaitu 6
tahun permulaan ketika Nabi Besar Muhammad saw. tinggal di kota Medinah, beliau saw. telah mendapat kemenangan-kemenangan besar atas musuh-musuh beliau saw. sehingga
telah melumpuhkan dan mematahkan daya juang mereka, namun
demikian tidak satu pun dari kemenangan-kemenangan
itu disebut "kemenangan nyata"
di dalam Al-Quran.
Sebutan itu dicadangkan untuk “Perjanjian Hudaibiyah” guna menerima kehormatan luar biasa ini, kendatipun syarat-syarat (dalam perjanjian) pada
lahirnya nampak sangat merendahkan
derajat beliau saw., sehingga orang-orang Muslim sangat bingung atas peristiwa yang nampaknya sebagai suatu penghinaan terhadap kehormatan Islam, demikian rupa hingga bahkan seorang yang gagah
seperti Umar bin Khaththab r.a. pun berseru karena sedih dan jengkelnya bahwa andaikata syarat-syarat Perjanjian itu telah
ditetapkan oleh orang lain -- selain Nabi Besar Muhammad saw. -- niscaya beliau akan mencemoohkan syarat-syarat itu (Siratun Nabi oleh Syaikh Abu Muhammad ‘Abd al-Malik ibn Hisyam).
Sungguh Perjanjian
itu merupakan kemenangan besar, sebab
telah membuka jalan bagi pengembangan dan penyebaran Islam dan menjurus kepada jatuhnya kota Makkah dan akhirnya kepada penundukkan seluruh wilayah tanah Arab. Peristiwa itu ternyata
merupakan keunggulan siasat (langkah
politik) Nabi Besar Muhammad saw., karena dengan Perjanjian itu Islam mempunyai "kedudukan politik sebagai satu kekuatan
yang semartabat dan merdeka serta berdaulat yang diakui oleh kaum Quraisy" ("Mohammad at Medinah" oleh
Montgomery Watt).
Berangkat ke Makkah untuk Melaksanakan ‘Umrah untuk
Memenuhi Penglihatan Ruhani dalam Kasyaf
Ada pun alasan keberangkatan Nabi
Besar Muhammad saw. ke Makkah adalah
karena beliau saw. telah
melihat sebuah kasyaf (penglihatan
ruhani) bahwa beliau saw. sedang bertawaf
bersama serombongan sahabat beliau
saw., dan guna menggenapi kasyaf itu bertolaklah Nabi Besar Muhammad saw. ke Mekkah dengan sejumlah kira-kira 1500 orang
Islam untuk mengerjakan umrah dalam
bulan suci yang selama bulan itu — menurut adat kebiasaan orang-orang Arab — peperangan terlarang, dan hal itu malahan berlaku juga sebelum Islam.
Tatkala Nabi Besar Muhammad saw. tiba di 'Usfan, suatu tempat yang terletak
beberapa mil dari Makkah, beliau diberi kabar oleh regu perintis yang dikirim
beliau saw. di bawah pimpinan 'Abbad bin Bisyr, bahwa kaum
Quraisy berniat menghalangi beliau
saw. masuk ke kota Makkah.
Untuk menghindari bentrokan senjata lalu Nabi
Besar Muhammad saw. mengubah haluan beliau saw., dan sesudah
menempuh perjalanan yang melelahkan melalui jalan berkelok-kelok lagi sukar ditempuh, sampailah beliau ke Hudaibiyah, di sana beliau
berkemah.
Nabi Besar Muhammad saw. melalui utusan beliau
saw. -- Utsman bin ‘Affan r.a. -- menyatakan
bahwa beliau saw. akan menerima segala
tuntutan orang-orang Quraisy demi kehormatan
Tanah Suci, tetapi orang-orang
Quraisy bersikeras dalam tekad
mereka untuk tidak membiarkan beliau saw.
dan rombongan memasuki kota Makkah, biar apa pun yang dikatakan beliau saw..
Kedua belah pihak saling mengirimkan pesan dalam upaya mencari pemecahan sebagai jalan
keluar dari kemacetan perundingan
itu. Sesudah dilangsungkan pembicaraan-pembicaraan panas dan berlarut-larut
yang diusahakan oleh Nabi Besar Muhammad
saw. dengan segala daya upaya
-- bahkan dengan mempertaruhkan kewibawaan beliau saw. sendiri -- agar
dapat sampai kepada suatu kompromi
yang pantas dengan kaum Quraisy, maka ditanda-tanganilah
persetujuan yang syarat-syaratnya
antara lain berbunyi:
“Peperangan harus ditangguhkan selama 10
tahun. Barangsiapa ingin menggabungkan
diri kepada Rasulullah saw. atau
mengadakan perjanjian dengan beliau, akan mendapat keleluasaan berbuat
demikian, dan demikian pula siapa yang mau menggabungkan dengan kaum Quraisy
atau mengadakan perjanjian dengan mereka, ia akan bebas berbuat demikian.
Jika seorang beriman dari
Mekkah pindah dan menggabungkan diri dengan Rasulullah saw. tanpa izin walinya ia harus dikembalikan
kepada walinya, tetapi kalau ada
seseorang pengikut Rasulullah saw. kembali kepada kaum Quraisy maka ia
tidak boleh dikirimkan kembali.
Rasulullah saw. harus
pulang kembali tanpa memasuki kota pada tahun ini. Tahun depan beliau dan para
sahabat dapat berkunjung ke Mekkah hanya selama tiga hari untuk mengerjakan
umrah, tetapi mereka tidak boleh membawa senjata kecuali pedang-pedang
bersarung" (Bukhari).
Hadits Mengenai “Perjanjian
Hudaibiyah”
Berikut terjemahan hadits mengenai kepiawaian langkah-langkah politik yang dilakukan
Nabi Besar Muhammad saw. dalam perjanjian
Hudaibiyah mengenai, yang menurut
umumnya para sahabat – termasuk sahabat
yang sangat cerdas dan kritis, Umar bin Khaththab r.a. -- sangat
merugikan pihak umat Islam:
“Telah menceritakan kepadaku 'Ubaidullah bin Mu'ad Al 'Anbari telah menceritakan kepada kami ayahku telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Abu Ishaq dia berkata: Aku mendengar Al Barra bin 'Azzib berkata, "Ali bin Abu Thalib pernah menuliskan perjanjian damai antara Nabi shallallāhu 'alaihi wasallam dengan orang-orang musyrik (Makkah) ketika perjanjian Hudaibiyyah. Ali menuliskan, "Ini adalah perjanjian yang ditulis oleh Muhammad Rasulullah." Lantas mereka berkata, "Jikalau kami tahu bahwa engkau adalah Rasulullah, tentu kami tidak akan memerangi engkau." Maka Nabi shallallāhu 'alaihi wasallam bersabda kepada Ali: "Hapus kata-kata itu (tulisan 'Rasulullah')." Ali menjawab, "Aku tidak mau menghapusnya." Maka Nabi shallallāhu 'alaihi wasallam yang menghapusnya dengan tangannya sendiri." Al Barra` berkata, "Isi perjanjian itu antara lain menetapkan bahwa kaum Muslimin boleh masuk dan tinggal di kota Makkah selama tiga hari. Tidak boleh membawa senjata kecuali diletakkan dalam sarungnya." Aku bertanya kepada Abu Ishaq, "Apa yang dimaksud dengan sarung pedang?" dia menjawab, "Yaitu sarung pedang dan sesuatu yang ada di dalamnya." Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna dan Ibnu Basyar keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja'far telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Abu Ishaq dia berkata; aku mendengar Al Barra` bin 'Azib berkata, "Rasulullah shallallāhu 'alaihi wasallam pernah mengadakan perjanjian Hudaibiyyah, lantas Ali menulis suatu catatan di antara mereka." Al Barra` berkata, "Lalu dia menulis; Muhammad Rasulullah...kemudian dia menyebutkan seperti hadits Mu'adz, namun dalam haditsnya dia tidak menyebutkan, "Ini adalah perjanjian yang ditulis olehnya."
Pendek kata, syarat-syarat itu nampaknya merupakan penghinaan besar. Orang-orang Islam sangat
bingung. Tidak ada kata memadai untuk melukiskan keprihatinan mereka dan rasa
terhina serta rasa harga diri
mereka yang ternoda. Teristimewa
syarat yang ketigalah dirasakan pahit
sepahit empedu.
Tetapi Nabi Besar Muhammad saw. tetap
tenang dan berkepala dingin. Oleh
karena yakin akan kekuatan moral Islam, beliau saw. mengetahui
bahwa "seorang beriman yang telah
sekali mencicipi manisnya keimanan akan lebih suka dilemparkan ke dalam api
daripada kembali kepada kekafiran" (Bukhari), dan bahwa ia akan membuktikan diri menjadi sumber kekuatan bagi agamanya di mana pun ia berada.
“Kemenangan yang Nyata”
Perjanjian Hudaibiyah terbukti kemudian menjadi "kemenangan yang nyata." Para sahabat Nabi Besar Muuammad saw. sewajarnya merasa bangga atas kehadiran
mereka pada peristiwa itu, dan tepat sekali memandang Perjanjian Hudaibiyah itulah — dan bukan peristiwa penaklukan Makkah— sebagai "kemenangan yang diisyaratkan dalam ayat ini" (Bukhari).
Menurut mereka tidak ada kemenangan yang lebih besar dan lebih jauh
jangkauannya dalam hasil dan pengaruhnya daripada Perjanjian itu (Hisyam). Dan Nabi Besar
Muhammad saw. sendiri menyebutnya kemenangan besar (Baihaqi). Al-Quran
menyebutnya "kemenangan nyata"
(QS.48:2), "keberhasilan besar"
(QS.48:6), "ganjaran besar" (QS.48:11) dan penggenapan serta
penyempurnaan nikmat Ilahi atas Nabi
Besar Muhammad saw. (QS.48: 3), sebab peristiwa (perjanjian Hudaibiyah) itu
membukakan pintu-air-kemenangan ruhani
dan politik agama Islam,
firman-Nya: اِنَّا فَتَحۡنَا
لَکَ فَتۡحًا مُّبِیۡنًا -- “Sesungguhnya Kami telah memberi engkau satu kemenangan nyata” (QS.48:2).
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 25 November
2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar