Kamis, 05 Desember 2013

Pentingnya Ketakwaan dan Ucapan yang Jujur dalam Membina "Keluarga Surgawi"



بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ


Khazanah Ruhani Surah  Shād

Bab  92

Pentingnya Ketakwaan dan  Ucapan yang Jujur   dalam  Membina   "Keluarga   Surgawi”

Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

Dalam Akhir Bab sebelumnya  telah dikemukakan mengenai  firman Allah Swt. yang selalu dikemukakan oleh Nabi Besar Muhammad saw. dalam khutbah (nasihat) pernikahan:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾ یٰۤاَیُّہَا النَّاسُ اتَّقُوۡا رَبَّکُمُ الَّذِیۡ خَلَقَکُمۡ مِّنۡ نَّفۡسٍ وَّاحِدَۃٍ وَّ خَلَقَ مِنۡہَا زَوۡجَہَا وَ بَثَّ مِنۡہُمَا رِجَالًا کَثِیۡرًا وَّ نِسَآءً ۚ وَ اتَّقُوا اللّٰہَ الَّذِیۡ تَسَآءَلُوۡنَ بِہٖ وَ الۡاَرۡحَامَ ؕ اِنَّ اللّٰہَ کَانَ عَلَیۡکُمۡ  رَقِیۡبًا ﴿﴾
Aku baca dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang.   Hai manusia, bertakwalah kepada   Rabb (Tuhan) kamu  Yang menciptakan kamu dari satu jiwa dan darinya Dia menciptakan jodohnya  sebagai pasangan serta  mengembang-biakkan dari keduanya banyak laki-laki dan perempuan. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain,  dan bertakwalah mengenai hubungan kekerabatan,  sesungguhnya Allah senantiasa menjaga dan mengawasi kamu. (An-Nisā [4]:1-2). 
      Kata-kata  خَلَقَ مِنۡہَا زَوۡجَہَا  -- “dan darinya Dia menciptakan jodohnya” itu tidak berarti bahwa perempuan diciptakan dari bagian tubuh laki-laki – sebagaimana banyak yang salah menafsirkan --  tetapi bahwa perempuan termasuk jenis yang sama dengan laki-laki yaitu mempunyai pembawaan-pembawaan dan kecenderungan-kecenderungan yang serupa (QS.7:190; QS.16:73; QS.30:22;  QS.39:7).
       Anggapan bahwa Siti Hawa telah diciptakan dari tulang rusuk Adam nampaknya timbul dari sabda Nabi nBesar Muhammad saw.  yakni: “Kaum perempuan  telah diciptakan dari tulang rusuk, dan tentu saja bagian yang paling bengkok dari tulang rusuk itu bagian yang paling atas. Jika kamu memaksa meluruskannya, kamu akan membuatnya patah” (Bukhari, Kitab-un-Nikah).
       Sabda ini sebenarnya merupakan satu dalil yang bertentangan dengan anggapan di atas, dan bukan mendukungnya, sebab di sini sekali-kali tidak disebut nama Siti Hawa, melainkan hanya menerangkan ihwal keadaan umum perempuan. Jelas bagi siapa pun bahwa setiap perempuan tidak diciptakan dari tulang rusuk. Kata dhil’ yang digunakan dalam hadits beliau saw.  di atas, menunjuk kepada  pembawaan bengkok, kata itu sendiri berarti kebengkokan (Bihar & Muhith).
     Sebenarnya kata itu menunjuk kepada satu sifat khas perempuan,  yaitu mempunyai kebiasaan berbuat pura-pura tidak senang dan bertingkah manja demi menarik hati orang. “Kebengkokan” itu disebut dalam hadits ini sebagai sifat khas yang paling tinggi atau paling baik di dalam watak perempuan. Barangsiapa menganggap marah-semu perempuan (istri) sebagai  kemarahan yang sungguh-sungguh, lalu berlaku kasar terhadapnya karena alasan itu, sebenarnya  suami seperti itu memusnahkan segi paling menarik dan menawan hati dalam kepriba-diannya, seakan-akan ia telah mematahkan “tulang rusuknya”  sendiri, sehingga  suasana  rumahtangga pun akan menjadi sepi  bagaikan   kuburan. 
       Itulah pula sebabnya  ketika Nabi Besar Muhammad saw. mendengar “tuntutan” dari para istri mulia beliau saw. yang disampaikan melalui Siti ‘Aisyah r.a. dan Siti Hafshah r.a. mengenai “perbaikan ekonomi keluarga”, beliau saw. tidak menyikapinya dengan keras  (kasar)  -- baik melalui kata-kata mau pun melalui tindakan (memukul – QS.4:35) – melainkan menyampaikan secara baik-baik kepada mereka bahwa beliau saw. akan memisahkan  diri  sementara selama sebulan.

Pentingnya Menjaga Hubungan Silatrurahmi

        Ayat selanjutnya وَ اتَّقُوا اللّٰہَ الَّذِیۡ تَسَآءَلُوۡنَ بِہٖ وَ الۡاَرۡحَامَ -- “Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain,  dan bertakwalah mengenai hubungan kekerabatan menempatkan perkataan “ketakwaan kepada Allah” berdampingan dengan perkataan “hubungan tali kekerabatan” (arhām), guna menekankan pentingnya perlakuan baik terhadap keluarga sedarah – baik keluarga sedarah pihak laki-laki (suami) mau pun keluarga sedarah pihak perempuan (istri), sebagaimana firman-Nya:
وَ ہُوَ الَّذِیۡ خَلَقَ مِنَ الۡمَآءِ بَشَرًا فَجَعَلَہٗ  نَسَبًا وَّ صِہۡرًا ؕ وَ کَانَ رَبُّکَ قَدِیۡرًا ﴿﴾
Dan Dia-lah Yang menciptakan manusia dari air, dan menjadikannya keluarga melalui pertalian darah dan keluarga melalui pernikahan, dan  Rabb (Tuhan) engkau Maha Kuasa.(Al-Furqān [25]:55).
     Hal demikian telah sangat  ditekankan  oleh Al-Quran, sehingga Nabi Besar Muhammad saw.    lazim membaca ayat ini pada saat membacakan khutbah nikah, guna mengingatkan kedua belah pihak mempelai, kepada kewajiban mereka masing-masing terhadap satu sama lain yang dilandasi dengan ketakwaan kepada Allah Swt..    Firman Allah Swt. lainnya yang senantiasa dikemukakan oleh Nabi Besar Muhammad saw. dalam memberikan khutbah (nasihat) pernikahan adalah:
یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰہَ وَ قُوۡلُوۡا  قَوۡلًا  سَدِیۡدًا  ﴿ۙ ﴾  یُّصۡلِحۡ  لَکُمۡ  اَعۡمَالَکُمۡ وَ یَغۡفِرۡ لَکُمۡ ذُنُوۡبَکُمۡ ؕ وَ مَنۡ یُّطِعِ اللّٰہَ  وَ رَسُوۡلَہٗ  فَقَدۡ  فَازَ  فَوۡزًا عَظِیۡمًا ﴿ ﴾
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang jujur,  Dia akan memperbaiki  bagi kamu amal-amal kamu dan akan mengampuni bagi kamu dosa-dosa kamu.  Dan barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya ia akan meraih kemenangan besar. (Al-Ahzāb [33]:71-72).
      Qawlan sadīdan (perkataan yang benar dan jujur) adalah ucapan yang di dalamnya tidak ada kedustaan atau pun rekayasa --  baik secara nyata mau pun secara tersembunyi – dan itu hanya mungkin  jika seseorang memiliki ketakwaan  yang hakiki kepada Allah Swt., sebab ia menjadikan Allah Swt.  sebagai saksi  mengenai apa pun yang dikatakannya atau pun yang dilakukannya.
      Menurut firman-Nya tadi, jika seseorang   berusaha mengamalkan kedua  hal tersebut (ketakwaan dan ucapan yang jujur) maka  یُّصۡلِحۡ  لَکُمۡ  اَعۡمَالَکُمۡ وَ یَغۡفِرۡ لَکُمۡ ذُنُوۡبَکُمۡ -- “Dia akan memperbaiki  bagi kamu amal-amal kamu dan akan mengampuni bagi kamu dosa-dosa kamu”, sehingga seandainya pun  pada   pasangan suami istri atau pun anak-anak mereka  terdapat beberapa perbedaan sifat dan pembawaan maka insya Allah semua hal tersebut tidak akan menjadi penyebab   timbulnya api ketidak-tentraman, sebab kedua belah pihak akan diberi taufik  oleh Allah Swt. untuk dapat mengendalikan egonya masing-masing serta akan berusaha memperoleh manfaat  serta pelajaran dari kelebihan mau pun kekurangan masing-masing, sebab Allah Swt. telah  berfirman bahwa “karena jika kamu tidak menyukai mereka maka  boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan  banyak kebaikan di dalamnya”:
یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا لَا یَحِلُّ لَکُمۡ اَنۡ تَرِثُوا النِّسَآءَ کَرۡہًا ؕ وَ لَا تَعۡضُلُوۡہُنَّ لِتَذۡہَبُوۡا بِبَعۡضِ مَاۤ اٰتَیۡتُمُوۡہُنَّ  اِلَّاۤ اَنۡ یَّاۡتِیۡنَ بِفَاحِشَۃٍ مُّبَیِّنَۃٍ ۚ وَ عَاشِرُوۡہُنَّ بِالۡمَعۡرُوۡفِ ۚ فَاِنۡ کَرِہۡتُمُوۡہُنَّ فَعَسٰۤی اَنۡ تَکۡرَہُوۡا شَیۡئًا وَّ یَجۡعَلَ اللّٰہُ فِیۡہِ خَیۡرًا کَثِیۡرًا ﴿﴾  
Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan-perempuan secara  paksa, dan jangan pula kamu menahan mereka agar kamu dapat mengambil kembali secara zalim sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepada mereka,  kecuali jika mereka itu  melakukan perbuatan keji yang nyata, dan bergaullah dengan mereka secara baik,   karena jika kamu tidak menyukai mereka maka  boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan  banyak kebaikan di dalamnya. (An-Nisā[4]:20).

Perang Melawan Hawa-nafsu (Diri Sendiri)

       Ungkapan ayat    ۚ فَاِنۡ کَرِہۡتُمُوۡہُنَّ فَعَسٰۤی اَنۡ تَکۡرَہُوۡا شَیۡئًا وَّ یَجۡعَلَ اللّٰہُ فِیۡہِ خَیۡرًا کَثِیۡرًا   -- “maka jika kamu tidak menyukai mereka maka  boleh jadi kamu tidak  menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan  banyak kebaikan di dalamnya” berkenaan dengan pasangan hidup (suami/istri) tersebut dikemukakan juga berkenaan dengan masalah “perang”, firman-Nya:
کُتِبَ عَلَیۡکُمُ الۡقِتَالُ وَ ہُوَ کُرۡہٌ لَّکُمۡ ۚ وَ عَسٰۤی اَنۡ تَکۡرَہُوۡا شَیۡئًا وَّ ہُوَ خَیۡرٌ لَّکُمۡ ۚ وَ عَسٰۤی اَنۡ تُحِبُّوۡا شَیۡئًا وَّ ہُوَ شَرٌّ لَّکُمۡ ؕ وَ اللّٰہُ یَعۡلَمُ  وَ اَنۡتُمۡ  لَا تَعۡلَمُوۡنَ ﴿﴾٪
Ditetapkan atas kamu kewajiban  berperang, padahal berperang itu sesuatu yang kamu tidak sukai,  dan boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal itu baik bagi kamu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal   itu buruk bagi kamu, dan Allah mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui. (Al-Baqarah [2]:217).
       Pada hakikatnya ketika  laki-laki dan perempuan berikrar menyatukan diri mereka melalui ikatan pernikahan, keduanya  harus menyadari bahwa mereka mulai memasuki “medan perang” melawan “keakuan” (ego)    atau “hawa nafsu” masing-masing, yang menurut Nabi Besar Muhammad saw. “orang yang kuat” itu adalah bukan orang yang mampu mengalahkan lawannya dalam suatu pergulatan (perkelahian),  melainkan yang mampu mengalahkan hawa-nafsu dirinya.
       Apabila  pasangan suami-istri   sampai batas tertentu  berhasil melakukan “persenyawaan sifat  yang keadaannya lebih baik dari keadaan mereka sebelumnya  -- yakni  sebagai hasil dari lita’ārafu (saling mengenali pasangan – QS.49:14) -- maka keduanya benar-benar memasuki proses “perjodohan”  yang sebenarnya,  itulah sebabnya Allah Swt.  dalam Al-Quran telah menggambarkan pasangan suami-istri sebagai “menyatunya  tubuh dengan pakaian” sehingga keduanya tampil dalam keadaan yang lebih baik dari sebelumnya, firman-Nya:
اُحِلَّ لَکُمۡ لَیۡلَۃَ الصِّیَامِ الرَّفَثُ اِلٰی نِسَآئِکُمۡ ؕ ہُنَّ لِبَاسٌ لَّکُمۡ وَ اَنۡتُمۡ لِبَاسٌ لَّہُنَّ
Dihalalkan bagi kamu pada malam puasa  bercampur dengan istri-istri kamu, mereka adalah pakaian  bagi kamu, dan kamu adalah  pakaian bagi mereka….(Al-Baqarah [2]:188).
       Betapa indahnya Al-Quran telah melukiskan dengan kata-kata singkat ini hak dan kedudukan perempuan dan tujuan serta arti pernikahan dan hubungan suami-istri. Tujuan pokok pernikahan, demikian ayat ini mengatakan, ialah kesentausaan, perlindungan, dan memperhias (memperindah) kedua pihak, sebab memang itulah tujuan mengenakan pakaian (QS.7:27 dan QS.16:82).

Tujuh Tanda Pewaris “Surga Firdaus”

     Sudah pasti bahwa tujuan pernikahan bukan hanya semata-mata pemuasan dorongan seksual. Suami-istri harus sama-sama menjaga satu sama lain terhadap kejahatan dan skandal, dimana hal ini merupakan salah satu ciri (tanda) dari 7 ciri (tanda)  orang-orang yang akan menjadi pewaris “surga firdaus”, firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾  قَدۡ  اَفۡلَحَ  الۡمُؤۡمِنُوۡنَ ۙ﴿﴾  الَّذِیۡنَ ہُمۡ  فِیۡ صَلَاتِہِمۡ خٰشِعُوۡنَ ۙ﴿﴾ وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ عَنِ اللَّغۡوِ  مُعۡرِضُوۡنَ ﴿ۙ﴾ وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ  لِلزَّکٰوۃِ  فٰعِلُوۡنَ ۙ﴿﴾  وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ  لِفُرُوۡجِہِمۡ حٰفِظُوۡنَ ۙ﴿﴾  اِلَّا عَلٰۤی اَزۡوَاجِہِمۡ اَوۡ مَا مَلَکَتۡ اَیۡمَانُہُمۡ فَاِنَّہُمۡ غَیۡرُ  مَلُوۡمِیۡنَ ۚ﴿﴾  فَمَنِ ابۡتَغٰی وَرَآءَ ذٰلِکَ فَاُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡعٰدُوۡنَ ۚ﴿﴾  وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ  لِاَمٰنٰتِہِمۡ وَ عَہۡدِہِمۡ رٰعُوۡنَ ۙ﴿﴾  وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ عَلٰی صَلَوٰتِہِمۡ یُحَافِظُوۡنَ  ۘ﴿۹﴾ اُولٰٓئِکَ ہُمُ  الۡوٰرِثُوۡنَ ﴿ۙ﴾  الَّذِیۡنَ یَرِثُوۡنَ الۡفِرۡدَوۡسَ ؕ ہُمۡ  فِیۡہَا خٰلِدُوۡنَ ﴿﴾
Aku baca dengan nama  Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang.   Sungguh  telah berhasil  orang-orang yang beriman,  yaitu orang-orang yang khusyuk  dalam shalatnya,   dan  orang-orang yang berpaling dari hal yang sia-sia,   dan orang-orang yang membayar zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau apa yang dimiliki tangan kanannya maka sesungguhnya mereka tidak tercela, tetapi barangsiapa mencari selain dari itu  maka mereka itu  orang-orang yang melampaui batas.  Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat dan perjanjian-perjanjian mereka,    dan orang-orang yang memelihara shalat-shalat mereka.  Mereka itulah pewaris,   yaitu  orang-orang yang akan mewarisi surga Firdaus,  mereka akan   kekal di dalamnya. (Al-Mu’minūn [23]:1-12).
        Ayat kedua ini menunjuk kepada orang-orang beriman yang mempunyai tingkat keruhanian yang amat tinggi. Sifat-sifat istimewa dan ciri-ciri khususnya disebutkan dalam ayat-ayat berikutnya. Orang-orang beriman semacam itu akan memperoleh falah (sukses) dan bukan hanya najat (keselamatan), sebab mencapai falah menandakan tingkat ruhani yang jauh lebih tinggi dari hanya mencapai najat.
     Dengan ayat ketiga  mulai pelukisan mengenai kondisi-kondisi atau prasyarat-prasyarat yang seorang beriman harus penuhi sebelum dapat menaruh harapan untuk memperoleh falah (sukses)  dalam kehidupan dan mencapai tujuan utama, yang untuk itu Allah Swt.  telah menciptakan dia.
      Syarat-syarat tersebut dapat dianggap sekian banyak tingkat perkembangan ruhani manusia. Tingkat atau pal pertama dalam perjalanan ruh manusia ialah bahwa seorang  beriman harus menghadap kepada Tuhan dengan penuh kerendahan diri, merasa gentar oleh keagungan Ilahi, dan dengan hati yang menyesal dan merendahkan diri. فِیۡ صَلَاتِہِمۡ خٰشِعُوۡنَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ   – “yaitu orang-orang yang khusyuk  dalam shalatnya,”
    Tingkat kedua terletak dalam berpaling dari segala macam percakapan dan khayalan tidak berguna, dan dari amal perbuatan sia-sia, percuma serta tidak membawa manfaat. Kehidupan merupakan suatu kenyataan yang suram dan serius,  dan seorang beriman harus menanggapinya demikian. Ia harus mempergunakan setiap saat dalam kehidupannya dengan cara yang bermanfaat dan menjauhi semua kesibukan sia-sia yang tidak berguna  --   “dan  orang-orang yang berpaling dari hal yang sia-sia  
      Tujuan zakat bukan hanya menyediakan sarana-sarana untuk meringankan beban orang-orang yang keadaannya menyedihkan, atau untuk memajukan kesejahteraan golongan masyarakat yang secara ekonomis kurang beruntung, melainkan mencegah juga penimbunan uang dan bahan-bahan keperluan dan dengan demikian menjamin kelancaran perputaran kedua-duanya, agar mengakibatkan terciptanya keseimbangan ekonomi yang sehat.
       Ciri selanjutnya adalah mereka memelihara furūj mereka. Kata furūj   tidak hanya terbatas pada kemaluan tetapi juga mencakup seluruh panca indera yang melaluinya dosa dapat  terjadi (dilakukan):
وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ  لِفُرُوۡجِہِمۡ حٰفِظُوۡنَ ۙ﴿﴾  اِلَّا عَلٰۤی اَزۡوَاجِہِمۡ اَوۡ مَا مَلَکَتۡ اَیۡمَانُہُمۡ فَاِنَّہُمۡ غَیۡرُ   مَلُوۡمِیۡنَ ۚ﴿﴾  فَمَنِ ابۡتَغٰی وَرَآءَ ذٰلِکَ فَاُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡعٰدُوۡنَ ۚ﴿﴾
“dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau apa yang dimiliki tangan kanannya maka sesungguhnya mereka tidak tercela, tetapi barangsiapa mencari selain dari itu  maka mereka itu  orang-orang yang melampaui batas.”
    Ayat selanjutnya  الَّذِیۡنَ ہُمۡ  لِاَمٰنٰتِہِمۡ وَ عَہۡدِہِمۡ رٰعُوۡنَ وَ -- “Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat dan perjanjian-perjanjian mereka”,  termasuk di dalamnya amanat dan perjanjian yang dikemukakan pada waktu melakukan akad nikah.
     Kemudian ayat الَّذِیۡنَ ہُمۡ عَلٰی صَلَوٰتِہِمۡ یُحَافِظُوۡنَ وَ -- “dan orang-orang yang memelihara shalat-shalat mereka”  menandai tingkat perkembangan ruhani yang terakhir dan tertinggi, di mana zikir Ilahi menjadi fitrat kedua bagi seorang beriman dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari wujudnya serta penghibur bagi ruhnya.
      Pada tingkat ini ia menaruh perhatian khusus kepada amal ibadah yang dilakukan bersama-sama (berjamaah), yang menunjukkan  bahwa perasaan dan kesadaran berkaum menjadi sangat kuat dalam dirinya dan ia membelakangkan kepentingan-kepentingan diri pribadi serta mendahulukan kebaikan bersama dan kepentingan kaum.
   Karena orang-orang beriman yang disebut dalam ayat-ayat yang mendahuluinya menghimpun dalam diri mereka segala macam sifat mulia maka mereka akan disuruh bermukim di surga Firdaus yang berisikan segala sesuatu yang terdapat dalam kebun mana pun (Lexicon Lane). Sebab mereka mendatangkan kematian terhadap keinginan-keinginan mereka sendiri, maka sebagai imbalannya Allah Swt. akan memberi mereka kehidupan kekal dan mereka akan memperoleh segala yang mereka inginkan (QS.50:36).

“Rumahku adalah Surgaku” & “Dua Surga”

       Dengan demikian  betapa dalamnya hikmah yang terkandung dalam sabda Nabi Besar Muhammad saw. “Baitiy jannatiy   -- rumahku adalah surgaku”, sebab pada hakikatnya kehidupan surgawi di alam akhirat  merupakan perwujudan dari keberhasilan  orang-orang yang beriman dan beramal shaleh meraih “kehidupan surgawi” di dunia ini juga, firman-Nya:
وَ  لِمَنۡ خَافَ مَقَامَ  رَبِّہٖ  جَنَّتٰنِ ﴿ۚ ﴾
Dan bagi orang yang takut akan   Keagungan Rabb-nya (Tuhan-nya) ada dua surga” (Ar-Rahmān [55]:47).
     Kata “dua surga” dapat berarti: (1) ketenteraman pikiran yang merupakan hasil menjalani kehidupan yang baik, dan (2) kebebasan dari kekhawatiran dan kecemasan yang mencekam hati akibat menjalani hidup mengejar kesenangan dan kebahagiaan duniawi. Kebun surgawi pertama terdapat di dunia ini dalam hal melepaskan keinginan sendiri karena Allah Swt. (QS.89:28-31) dan kebun surgawi lainnya dalam memperoleh berkat dan keridhaan Ilahi di akhirat.
 Seorang mukmin sejati selama-lamanya berjemur di dalam sinar matahari rahmat Ilahi di dunia ini, yang tidak dapat diusik oleh pikiran-pikiran susah. Inilah surga dunia, yang dianugerahkan kepada hamba Allah yang bertakwa dan di dalamnya ia akan tinggal selamanya; surga yang dijanjikan di akhirat hanyalah suatu bayangan surga di dunia ini, yang merupakan suatu peragaan rahmat ruhani yang dinikmati orang serupa itu di dunia ini.
 Kepada keadaan hidup surgawi seorang mukmin sejati inilah Al-Quran mengisyaratkan di dalam QS.10:65 dan QS.41:32. Kata “dua surga” itu mungkin juga dua lembah subur, yang diairi oleh dua aliran sungai – Jaihan dan Saihan  serta Efrat dan Nil, yang menurut sebuah hadits Nabi Besar Muhammad saw. adalah sungai-sungai surgawi (Muslim). Kedua lembah ini jatuh ke tangan orang-orang Islam di masa Khalifah Umar bin Khaththab r.a..
      Itulah sebabnya  mengapa dalam masalah pernikahan Allah Swt.  sangat menekankan masalah ketakwaan dan “perkataan yang jujur”, sebab ketakwaan itu berfungsi seperti pakaian, firman-Nya:
یٰبَنِیۡۤ  اٰدَمَ  قَدۡ  اَنۡزَلۡنَا عَلَیۡکُمۡ  لِبَاسًا یُّوَارِیۡ سَوۡاٰتِکُمۡ وَ رِیۡشًا ؕ وَ لِبَاسُ التَّقۡوٰی ۙ ذٰلِکَ خَیۡرٌ ؕ ذٰلِکَ مِنۡ اٰیٰتِ اللّٰہِ  لَعَلَّہُمۡ  یَذَّکَّرُوۡنَ
Wahai  Bani Adam,  sungguh  Kami telah menurunkan kepada kamu pakaian penutup aurat kamu dan sebagai  perhiasan, dan pakaian takwa  itulah yang terbaik, yang demikian itu ada-lah sebagian dari Tanda-tanda Allah, supaya  mereka mendapat nasihat. (Al-A’rāf [7]:27).

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid

***
Pajajaran Anyar,   22 November    2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar