بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah Ruhani Surah
Shād
Bab 99
Hakikat Dibalik Hukum “Potong Tangan” Bagi Pencuri & Peringatan Keras Terhadap Para Istri Mulia Nabi Besar Muhammad Saw.
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
Dalam Akhir Bab sebelumnya telah
dikemukakan mengenai pelaksanaan Sifat Malikiyat dan tindakan adil yang dilakukan Nabi Besar Muhammad saw. di
lingkungan ahli bait, adalah ketika cucu beliau saw. -- Hassan bin Ali bin Abi Thalib r.a. -- yang ketika masih kecil merangkak dan mengambil sebutir kurma sedekah lalu
memasukkannya ke dalam mulutnya.
Melihat
hal tersebut dengan cepat Nabi Besar
Muhammad saw. menghampiri cucu beliau
saw. tersebut sambil berusaha mengeluarkan kurma
yang ada di mulut Hassan r.a., dan dari mulut beliau saw. keluar suara “Hekh hekh.” [agar Hassan r.a. mengeluarkan kurma tersebut dari mulutnya]. Kemudian beliau
saw. bersabda, “Apakah engkau tidak mengetahui bahwa kita (Rasulullah saw. dan
keturunannya) tidak boleh memakan sedekah?” ( Al-Bukhari no. 1420 dan Muslim
no. 1069).
Tindakan adil lainnya yang dilakukan Nabi Besar
Muhammad saw. tanpa pandang bulu, dikemukakan
dalam hadits berikut ini:
Dari Aisyah r.a. istri Nabi saw. bahwa
kaum Quraisy digelisahkan oleh kasus wanita dari suku Makhzumi yang mencuri
pada masa Nabi saw. ketika pendudukan kota
Mekkah (Fatah Makkah). Mereka mengatakan, “Siapa yang akan memohonkan
keringanan kepada Rasulullah?” Mereka menjawab, “Tidak ada yang berani
mengatakan itu kepada Rasulullah kecuali Usamah bin Zaid, orang yang disayangi
oleh Rasulullah.”
Lalu wanita tersebut dibawa kepada
Rasulullah, kemudian Usamah bin Zaid memohonkan keringanan hukumannya kepada
Rasulullah. Maka, Rasulullah berubah raut mukanya dan bersabda, “Apakah kau
ingin menolong dalam urusan yang telah ditetapkan oleh Allah?” Usamah menjawab,
“Mohonkanlah ampun kepada Allah untukku, ya Rasulullah!”
Pada sore harinya Rasulullah berdiri untuk
berpidato. Beliau memuji Allah sebagaimana biasanya di awal pidato, lalu beliau
bersabda, “Sesungguhnya hancurnya orang-orang sebelum kalian adalah karena
apabila di kalangan mereka ada orang terpandang (kelas atas) mencuri, maka
mereka biarkan saja. Tetapi, apabila di kalangan mereka ada orang kelas bawah
mencuri, maka mereka kenakan hukuman. Demi
Allah yang menguasai diriku! Sungguh seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri,
maka pasti aku akan potong tangannya.” Setelah itu beliau memerintahkan agar wanita yang mencuri tersebut di potong
tangannya, maka dipotonglah tangan
wanita itu.
Kata Aisyah r.a., “Setelah itu wanita
tersebut benar-benar bertobat lalu
dia menikah. Setelah itu wanita tersebut datang padaku lalu aku sampaikan
keperluannya kepada Rasulullah”.
Hikmah Hukuman Terberat “Potong
Tangan” bagi Kasus Pencurian
Dari bagian terakhir hadits
tersebut nampak, bahwa perempuan yang
sudah biasa mencuri tersebut benar-benar sadar dan bertaubat dari kebiasaan
buruknya tersebut setelah mendapat hukuman yang paling keras menurut ajaran Islam berkenaan dengan
mencuri (QS.5:39), sebab Nabi Besar
Muhammad saw. mengetahui bahwa hanya dengan cara itulah perempuan bangsawan
tersebut benar-benar berhenti dari kebiasaan buruknya dan ia sama sekali tidak
menaruh dendam kepada Nabi Besar Muhammad saw. atas hukuman potong tangan yang dijatuhkan kepada dirinya,
firman-Nya:
وَ السَّارِقُ وَ السَّارِقَۃُ فَاقۡطَعُوۡۤا اَیۡدِیَہُمَا جَزَآءًۢ بِمَا
کَسَبَا نَکَالًا مِّنَ اللّٰہِ ؕ وَ
اللّٰہُ عَزِیۡزٌ حَکِیۡمٌ ﴿ ﴾
Dan laki-laki pencuri dan perempuan pencuri maka potonglah tangan keduanya sebagai
balasan atas apa yang telah diusahakan mereka, inilah sebagai hukuman peringatan dari Allah, dan Allah Maha Perkasa, Maha
Bijaksana. (Al-Māidah [5]:39).
Di
dalam ayat ini kata-kata laki-laki pencuri telah diletakkan sebelum
kata-kata perempuan pencuri, sebab kebiasaan mencuri lebih banyak
terdapat pada laki-laki daripada para perempuan, maka dalam QS.24:3 kata-kata perempuan
pezina sebelum kata-kata laki-laki pezina, sebab perbuatan zina lebih mudah dapat dibuktikan pada
perempuan daripada para laki-laki.
Tata letak kata-kata ini
menunjukkan bahwa Al-Quran bukan saja dalam ayat-ayatnya
terdapat tertib yang penuh dengan hikmah,
sebagaimana diperlihatkan pada tempat lain, tetapi juga penataan
kata-katanya pun penuh dengan hikmah.
Hukuman yang ditetapkan atas
tindakan mencuri boleh jadi nampaknya
terlalu keras. Akan tetapi pengalaman menunjukkan bahwa jika hukuman bertujuan mencegah terjadinya tindakan
kejahatan maka hukuman harus
keras. Adalah lebih baik bertindak keras
terhadap seorang tetapi menyelamatkan
1000 orang daripada bersikap lemah
terhadap seorang tetapi membinasakan
orang banyak.
Tidak syak lagi bahwa seorang ahli bedah yang baik, tidak akan
ragu-ragu memotong anggota badan yang
busuk untuk menyelamatkan seluruh badan. Di masa kejayaan Islam sangat jarang terjadi tindak pemenggalan tangan pencuri-pencuri, sebab hukuman yang ditetapkan itu memang mengerikan dan sungguh-sungguh akan dilaksanakan. Bahkan dewasa ini pun pencurian sangat jarang terjadi di negeri Arab, tempat hukuman terhadap pencurian yang ditetapkan oleh Al-Quran lazim diberlakukan.
Makna Kata Qath’ (Potong) dan Yad (Tangan)
Untuk sampai kepada pengertian yang benar mengenai sifat hukuman ini, kita perlu mengetahui
penggunaan kedua perkataan itu di sini, baik secara harfiah maupun secara kiasan,
yakni, kata-kata qath’ dan yad. Ungkapan bahasa qatha’a-hū
bi’l hujjati artinya: “ia menjadikannya bungkam dengan keterangan” (Lexicon Lane). Dan yad
antara lain berarti kekuatan dan kemampuan
berbuat sesuatu. Dengan demikian kalimat qatha’a yada-hū secara kiasan berarti “ia memahrumkan (meluputkan) dia dari kekuatan atau kemampuan berbuat
sesuatu”. Lihat juga QS.12:32.
Mengingat pengertian kedua
perkataan tersebut, ungkapan bahasa Arab yang dipergunakan dalam ayat ini dapat
berarti “hilangkanlah kemampuan mereka melakukan pencurian” atau “gunakanlah
suatu cara yang tepat dan sekiranya akan dapat mencegah mereka dari melakukan
pencurian.”
Mengambil arti ayat ini secara
harfiah, hukuman yang ditetapkan
dalam ayat ini merupakan hukuman terberat,
sedang hukuman yang terberat hanya
dijatuhkan berkenaan dengan perkara-perkara
yang luar biasa. Hukuman yang
lebih ringan ialah mengambil suatu cara
praktis yang dengan cara itu si
pelanggar hukum dihilangkan
kemampuannya atau dicegah dari
melakukan tindakan pelanggaran itu.
Dalam menjatuhkan hukuman itu, sifat serta semua keadaan
yang berkaitan dengan pelanggaran itu
harus ikut dipertimbangkan.
Lebih-lebih, pemakaian kata as-sariq yang berbentuk kata-benda (bukan
kata-kerja saraqa — ia mencuri) menyandang arti kesangatan dan berarti seorang
pencuri yang sudah terbiasa mencuri
atau seorang yang sudah ketagihan mencuri,
patut mendapat perhatian istimewa.
Para ulama tidak sepaham mengenai
patokan jumlah uang atau harta curian yang harus dikenakan
hukuman, seperti yang telah ditetapkan itu. Kalau menurut beberapa hadits jumlah itu sebesar 3 dirham atau seperempat dinar, maka menurut hadits yang lainnya pula tangan
tidak perlu dipotong bila mencuri
buah di pohonnya atau bila pencurian
itu dilakukan waktu dalam perjalanan (Dawud).
Imam Abu Hanifah berpendapat
besarnya itu sepuluh dirham, sedang
Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat tiga
dirham merupakan jumlah minimum. Ketidaksepakatan di antara para ulama ini
menunjukkan bahwa hakim mempunyai
keleluasaan cukup besar untuk menentukan jenis
dan bentuk hukuman yang paling tepat,
sesuai dengan makna adil (keadilan) sebagaimana firman-Nya:
اِنَّ اللّٰہَ یَاۡمُرُ بِالۡعَدۡلِ وَ الۡاِحۡسَانِ وَ اِیۡتَآیِٔ ذِی
الۡقُرۡبٰی وَ یَنۡہٰی عَنِ الۡفَحۡشَآءِ وَ الۡمُنۡکَرِ وَ
الۡبَغۡیِ ۚ یَعِظُکُمۡ لَعَلَّکُمۡ تَذَکَّرُوۡنَ ﴿﴾
Sesungguhnya
Allah menyuruh berlaku adil, berbuat
ihsan, dan memberi seperti kepada kaum kerabat, serta melarang
dari perbuatan keji, mungkar, dan pemberontakan. Dia
nasihatkan kepada kamu supaya kamu mengambil pelajaran. (An-Nahl [16]:91).
Makna Adil, Fahsya dan Iytā-i-dzil-Qurba &
Fahsya, Munkar dan Baghy
Sebagaimana telah dijelaskan dalam salah satu
Bab sebelumnya, ayat ini mengandung tiga macam perintah dan tiga macam larangan,
yang secara singkat membahas semua macam derajat perkembangan akhlak dan keruhanian
manusia, bersama segi kebaikan dan keburukannya masing-masing. Ayat ini
menganjurkan berlaku adil, berbuat
baik kepada orang lain (ihsan) , dan
kasih sayang antara kaum kerabat; dan melarang berbuat hal yang tidak senonoh,
berbuat keburukan dan pelanggaran yang nyata.
Keadilan mengandung
arti bahwa seseorang harus memperlakukan orang-orang lain seperti ia
diperlakukan oleh mereka. Ia hendaknya membalas
kebaikan dan keburukan
orang-orang lain secara setimpal menurut besarnya
dan ukurannya yang diterima olehnya
dari mereka.
Lebih tinggi dari ‘adl
(keadilan) adalah derajat ihsan (kebaikan) bila manusia harus berbuat
kebaikan kepada orang-orang lain tanpa mengindahkan macamnya perlakuan yang
diterima dari mereka, atau sekalipun ia diperlakukan buruk oleh mereka.
Perbuatannya tidak boleh digerakkan oleh pertimbangan-pertimbangan menuntut balas.
Pada derajat perkembangan akhlak terakhir dan
tertinggi, ialah ītā’i dzil qurbā (memberi seperti kepada kerabat),
seorang beriman diharapkan untuk berlaku
baik terhadap orang-orang lain, bukan sebagai membalas sesuatu kebaikan yang
diterima dari mereka, begitu pun tidak dengan pertimbangan untuk berbuat lebih
baik dari kebaikan yang ia peroleh, melainkan untuk berbuat kebaikan yang
ditimbulkan oleh dorongan fitri,
seperti ia berbuat baik kepada orang-orang yang mempunyai perhubungan darah
yang dekat sekali.
Keadaan
pada derajat ini serupa dengan keadaan seorang ibu yang menyusui anak
yang kecintaan terhadap anak-anaknya bersumber pada dorongan fitri. Sesudah
orang mukmin mencapai derajat ini
perkembangan akhlaknya menjadi sempurna.
Ketiga derajat akhlak ini
merupakan segi baiknya dari
perkembangan akhlak manusia. Segi buruknya digambarkan dengan tiga
perkataan juga, yakni fahsyā (perbuatan yang tidak senonoh), munkar
(keburukan yang nyata), dan baghy (pelanggaran keji); dan munkar
mengandung arti keburukan-keburukan yang orang-orang lain juga melihat dan mengutuknya walaupun mereka boleh jadi
tidak menderita sesuatu kerugian atau pelanggaran atas hak-hak mereka sendiri
oleh si pelaku dosa itu.
Akan tetapi baghy merangkum semua dosa dan keburukan, yang tidak hanya nampak, dirasakan, dan dicela oleh
orang-orang lain, melainkan juga menimbulkan kemudaratan yang nyata pada mereka. Ketiga kata yang sederhana ini -- fahsyā, munkar dan baghy -- meliputi segala macam dosa.
Hakikat Peringatan Keras Untuk Para Istri Nabi Besar Muhammad Saw.
Dengan demikian jelaslah mengapa
Allah Swt. telah memperingatkan dengan keras
mengenai para istri mulia Nabi Besar
Muhammad saw., bahwa jika mereka
melakukan keburukan atau pun kebaikan maka ganjaran
atau pun hukumannya akan dua kali lipat karena perbuatan mereka sebagai istri Nabi Besar Muhammad saw. pasti memberi dampak yang luas kepada perempuan-perempuan lainnya, fgirman-Nya:
یٰنِسَآءَ
النَّبِیِّ مَنۡ یَّاۡتِ مِنۡکُنَّ بِفَاحِشَۃٍ مُّبَیِّنَۃٍ یُّضٰعَفۡ لَہَا الۡعَذَابُ
ضِعۡفَیۡنِ ؕ وَ کَانَ ذٰلِکَ عَلَی اللّٰہِ
یَسِیۡرًا ﴿﴾ وَ مَنۡ یَّقۡنُتۡ مِنۡکُنَّ لِلّٰہِ
وَ رَسُوۡلِہٖ وَ تَعۡمَلۡ صَالِحًا نُّؤۡتِہَاۤ
اَجۡرَہَا مَرَّتَیۡنِ ۙ وَ
اَعۡتَدۡنَا لَہَا رِزۡقًا کَرِیۡمًا ﴿﴾ یٰنِسَآءَ النَّبِیِّ لَسۡتُنَّ کَاَحَدٍ مِّنَ النِّسَآءِ اِنِ اتَّقَیۡتُنَّ فَلَا تَخۡضَعۡنَ
بِالۡقَوۡلِ فَیَطۡمَعَ الَّذِیۡ فِیۡ قَلۡبِہٖ مَرَضٌ وَّ قُلۡنَ
قَوۡلًا مَّعۡرُوۡفًا ﴿ۚ﴾ وَ قَرۡنَ فِیۡ
بُیُوۡتِکُنَّ وَ لَا تَبَرَّجۡنَ تَبَرُّجَ الۡجَاہِلِیَّۃِ الۡاُوۡلٰی وَ اَقِمۡنَ الصَّلٰوۃَ وَ اٰتِیۡنَ
الزَّکٰوۃَ وَ اَطِعۡنَ اللّٰہَ وَ
رَسُوۡلَہٗ ؕ اِنَّمَا یُرِیۡدُ اللّٰہُ
لِیُذۡہِبَ عَنۡکُمُ الرِّجۡسَ اَہۡلَ الۡبَیۡتِ وَ یُطَہِّرَکُمۡ تَطۡہِیۡرًا ﴿ۚ﴾ وَ اذۡکُرۡنَ مَا
یُتۡلٰی فِیۡ بُیُوۡتِکُنَّ مِنۡ اٰیٰتِ اللّٰہِ وَ الۡحِکۡمَۃِ ؕ اِنَّ اللّٰہَ کَانَ لَطِیۡفًا خَبِیۡرًا ﴿٪﴾
Wahai istri-istri Nabi, barangsiapa di antara kamu berbuat kekejian yang nyata,
baginya azab akan dilipatgandakan dua kali lipat, dan yang demikian itu mudah
bagi Allah. Tetapi barangsiapa
di antara kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya serta beramal saleh, Kami
akan memberi kepadanya ganjarannya dua kali lipat, dan Kami telah menyediakan baginya rezeki yang mulia. Wahai istri-istri
Nabi, jika kamu bertakwa kamu tidak
sama dengan salah seorang dari perempuan-perempuan lain, karena
itu janganlah
kamu lembut dalam berbicara, sehingga orang yang dalam hatinya ada penyakit akan tergoda, dan ucapkanlah perkataan yang baik. Dan tinggallah
di rumah-rumah kamu dan janganlah kamu me-mamerkan kecantikan kamu
seperti cara pamer kecantikan zaman Jahiliah dahulu, dirikanlah shalat, bayarlah zakat,
serta taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah meng-hendaki agar dia menghilangkan kekotoran dari diri kamu, hai ahlulbait, dan Dia mensucikan kamu sesuci-sucinya. Dan ingatlah akan apa yang dibacakan dalam
rumah-rumah kamu dari Ayat-ayat Allah dan hikmah, sesungguhnya Allah Maha Halus, Maha
Memaklumi. (Al-Ahzāb [33]:29-35).
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 27 November
2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar