Jumat, 13 Desember 2013

Hakikat Dibalik Hukum "Potong Tangan" bagi Pencuri & Peringatan Keras Terhadap Para Istri Mulia Nabi Besar Muhammad Saw.



 بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ


Khazanah Ruhani Surah  Shād

Bab  99

 Hakikat Dibalik Hukum “Potong Tangan” Bagi Pencuri & Peringatan Keras Terhadap Para Istri Mulia Nabi Besar Muhammad Saw.

Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

Dalam Akhir Bab sebelumnya  telah dikemukakan mengenai  pelaksanaan Sifat Malikiyat dan tindakan adil  yang dilakukan Nabi Besar Muhammad saw. di lingkungan ahli bait,  adalah ketika cucu beliau saw. -- Hassan bin Ali bin Abi Thalib r.a. --   yang ketika masih kecil merangkak  dan mengambil sebutir kurma sedekah lalu  memasukkannya ke dalam mulutnya.
      Melihat hal tersebut  dengan cepat Nabi Besar Muhammad saw. menghampiri cucu beliau saw. tersebut sambil  berusaha mengeluarkan  kurma yang ada di mulut Hassan r.a., dan dari mulut beliau saw. keluar suara “Hekh hekh.” [agar Hassan r.a. mengeluarkan  kurma tersebut dari mulutnya]. Kemudian beliau saw. bersabda, “Apakah engkau tidak mengetahui bahwa kita (Rasulullah saw. dan keturunannya) tidak boleh memakan sedekah?” ( Al-Bukhari no. 1420 dan Muslim no. 1069).
      Tindakan adil lainnya yang dilakukan Nabi Besar Muhammad saw. tanpa pandang bulu, dikemukakan dalam hadits berikut ini: 
Dari Aisyah r.a. istri Nabi saw. bahwa kaum Quraisy digelisahkan oleh kasus wanita dari suku Makhzumi yang mencuri pada masa Nabi saw. ketika pendudukan  kota Mekkah (Fatah Makkah). Mereka mengatakan, “Siapa yang akan memohonkan keringanan kepada Rasulullah?” Mereka menjawab, “Tidak ada yang berani mengatakan itu kepada Rasulullah kecuali Usamah bin Zaid, orang yang disayangi oleh Rasulullah.”
     Lalu wanita tersebut dibawa kepada Rasulullah, kemudian Usamah bin Zaid memohonkan keringanan hukumannya kepada Rasulullah. Maka, Rasulullah berubah raut mukanya dan bersabda, “Apakah kau ingin menolong dalam urusan yang telah ditetapkan oleh Allah?” Usamah menjawab, “Mohonkanlah ampun kepada Allah untukku, ya Rasulullah!”
     Pada sore harinya Rasulullah berdiri untuk berpidato. Beliau memuji Allah sebagaimana biasanya di awal pidato, lalu beliau bersabda, “Sesungguhnya hancurnya orang-orang sebelum kalian adalah karena apabila di kalangan mereka ada orang terpandang (kelas atas) mencuri, maka mereka biarkan saja. Tetapi, apabila di kalangan mereka ada orang kelas bawah mencuri, maka mereka kenakan hukuman. Demi Allah yang menguasai diriku! Sungguh seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, maka pasti aku akan potong tangannya.” Setelah itu beliau memerintahkan agar wanita yang mencuri tersebut di potong tangannya, maka dipotonglah tangan wanita itu.
     Kata Aisyah r.a., “Setelah itu wanita tersebut benar-benar bertobat lalu dia menikah. Setelah itu wanita tersebut datang padaku lalu aku sampaikan keperluannya kepada Rasulullah”.

  Hikmah Hukuman Terberat  “Potong Tangan”   bagi Kasus Pencurian

      Dari bagian terakhir hadits tersebut nampak,  bahwa perempuan yang sudah biasa mencuri tersebut benar-benar sadar  dan bertaubat dari kebiasaan buruknya tersebut setelah mendapat hukuman yang paling keras menurut ajaran Islam berkenaan dengan mencuri (QS.5:39), sebab  Nabi Besar Muhammad saw. mengetahui bahwa hanya dengan cara itulah perempuan bangsawan tersebut benar-benar berhenti dari kebiasaan buruknya dan ia  sama sekali tidak menaruh dendam kepada Nabi Besar Muhammad saw. atas hukuman potong tangan  yang dijatuhkan kepada dirinya, firman-Nya:
وَ السَّارِقُ وَ السَّارِقَۃُ فَاقۡطَعُوۡۤا اَیۡدِیَہُمَا جَزَآءًۢ بِمَا کَسَبَا نَکَالًا مِّنَ  اللّٰہِ ؕ وَ اللّٰہُ عَزِیۡزٌ  حَکِیۡمٌ ﴿ ﴾
Dan laki-laki pencuri dan perempuan pencuri maka potonglah tangan keduanya sebagai balasan atas apa yang telah diusahakan mereka, inilah  sebagai hukuman peringatan dari Allah, dan Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana. (Al-Māidah [5]:39).
    Di dalam ayat ini kata-kata laki-laki pencuri telah diletakkan sebelum kata-kata perempuan pencuri, sebab kebiasaan mencuri lebih banyak terdapat pada laki-laki daripada para perempuan, maka dalam QS.24:3 kata-kata perempuan pezina sebelum kata-kata laki-laki pezina, sebab perbuatan zina lebih mudah dapat dibuktikan pada perempuan daripada para laki-laki.
    Tata letak kata-kata ini menunjukkan bahwa Al-Quran bukan saja dalam ayat-ayatnya terdapat tertib yang penuh  dengan hikmah, sebagaimana diperlihatkan pada tempat lain,  tetapi juga  penataan kata-katanya pun penuh dengan hikmah.
    Hukuman yang ditetapkan atas tindakan mencuri boleh jadi nampaknya terlalu keras. Akan tetapi pengalaman menunjukkan bahwa jika hukuman bertujuan mencegah terjadinya tindakan kejahatan maka hukuman harus keras. Adalah lebih baik bertindak keras terhadap seorang tetapi menyelamatkan 1000 orang daripada bersikap lemah terhadap seorang tetapi membinasakan orang banyak.
     Tidak syak lagi bahwa seorang ahli bedah yang baik, tidak akan ragu-ragu memotong anggota badan yang busuk untuk menyelamatkan seluruh badan. Di masa kejayaan Islam sangat jarang terjadi tindak pemenggalan tangan pencuri-pencuri, sebab hukuman yang ditetapkan itu memang mengerikan dan sungguh-sungguh akan dilaksanakan. Bahkan dewasa ini pun pencurian sangat jarang terjadi di negeri Arab, tempat hukuman terhadap pencurian yang ditetapkan oleh Al-Quran lazim diberlakukan.

Makna Kata  Qath’ (Potong) dan  Yad  (Tangan)

     Untuk sampai kepada pengertian yang benar mengenai sifat hukuman ini, kita perlu mengetahui penggunaan kedua perkataan itu di sini, baik secara harfiah maupun secara kiasan, yakni, kata-kata qath’ dan yad. Ungkapan bahasa qatha’a-hū bi’l hujjati artinya: “ia menjadikannya bungkam dengan keterangan” (Lexicon Lane). Dan yad antara lain berarti  kekuatan dan kemampuan berbuat sesuatu. Dengan demikian kalimat qatha’a yada-hū secara kiasan berarti “ia memahrumkan (meluputkan) dia dari kekuatan atau kemampuan berbuat sesuatu”. Lihat juga QS.12:32.
      Mengingat pengertian kedua perkataan tersebut, ungkapan bahasa Arab yang dipergunakan dalam ayat ini dapat berarti  hilangkanlah kemampuan mereka melakukan pencurian” atau  gunakanlah suatu cara yang tepat dan sekiranya akan dapat mencegah mereka dari melakukan pencurian.”
       Mengambil arti ayat ini secara harfiah, hukuman yang ditetapkan dalam ayat ini merupakan hukuman terberat, sedang hukuman yang terberat hanya dijatuhkan berkenaan dengan perkara-perkara yang luar biasa. Hukuman yang lebih ringan ialah mengambil suatu cara praktis yang dengan cara itu si pelanggar hukum dihilangkan kemampuannya atau dicegah dari melakukan tindakan pelanggaran itu.
Dalam menjatuhkan hukuman itu, sifat serta semua keadaan yang berkaitan dengan pelanggaran itu harus ikut dipertimbangkan. Lebih-lebih, pemakaian kata as-sariq yang berbentuk kata-benda (bukan kata-kerja saraqa — ia mencuri) menyandang arti kesangatan dan berarti seorang pencuri yang sudah terbiasa mencuri atau seorang yang sudah ketagihan mencuri, patut mendapat perhatian istimewa.
      Para ulama tidak sepaham mengenai patokan jumlah uang atau harta curian yang harus dikenakan hukuman, seperti yang telah ditetapkan itu. Kalau menurut beberapa hadits jumlah itu sebesar 3 dirham atau seperempat dinar, maka menurut hadits yang lainnya pula  tangan tidak perlu dipotong bila mencuri buah di pohonnya atau bila pencurian itu dilakukan waktu dalam perjalanan (Dawud).
        Imam Abu Hanifah berpendapat besarnya itu sepuluh dirham, sedang Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat tiga dirham merupakan jumlah minimum. Ketidaksepakatan di antara para ulama ini menunjukkan bahwa hakim mempunyai keleluasaan cukup besar untuk menentukan jenis dan bentuk hukuman yang paling tepat, sesuai dengan makna adil  (keadilan) sebagaimana firman-Nya:
اِنَّ اللّٰہَ یَاۡمُرُ بِالۡعَدۡلِ وَ الۡاِحۡسَانِ وَ اِیۡتَآیِٔ ذِی الۡقُرۡبٰی وَ یَنۡہٰی عَنِ الۡفَحۡشَآءِ  وَ الۡمُنۡکَرِ وَ الۡبَغۡیِ ۚ یَعِظُکُمۡ   لَعَلَّکُمۡ   تَذَکَّرُوۡنَ ﴿﴾
Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil, berbuat ihsan, dan  memberi  seperti kepada kaum kerabat,   serta melarang dari perbuatan keji, mungkar, dan pemberontakan.  Dia nasihatkan kepada kamu  supaya kamu mengambil pelajaran. (An-Nahl [16]:91).

Makna Adil, Fahsya dan Iytā-i-dzil-Qurba &
Fahsya, Munkar dan Baghy

   Sebagaimana telah dijelaskan dalam salah satu Bab sebelumnya, ayat ini mengandung tiga macam perintah dan tiga macam larangan, yang secara singkat membahas semua macam derajat perkembangan akhlak dan keruhanian manusia, bersama segi kebaikan dan keburukannya masing-masing. Ayat ini menganjurkan berlaku adil, berbuat baik kepada orang lain (ihsan) , dan kasih sayang antara kaum kerabat; dan melarang berbuat hal yang tidak senonoh, berbuat keburukan dan pelanggaran yang nyata.
      Keadilan mengandung arti bahwa seseorang harus memperlakukan orang-orang lain seperti ia diperlakukan oleh mereka. Ia hendaknya membalas kebaikan dan keburukan orang-orang lain secara setimpal menurut besarnya dan ukurannya yang diterima olehnya dari mereka.
      Lebih tinggi dari ‘adl (keadilan) adalah derajat ihsan (kebaikan) bila manusia harus berbuat kebaikan kepada orang-orang lain tanpa mengindahkan macamnya perlakuan yang diterima dari mereka, atau sekalipun ia diperlakukan buruk oleh mereka. Perbuatannya tidak boleh digerakkan oleh pertimbangan-pertimbangan menuntut balas.
    Pada derajat perkembangan akhlak terakhir dan tertinggi, ialah ītā’i dzil qurbā (memberi seperti kepada kerabat), seorang beriman  diharapkan untuk berlaku baik terhadap orang-orang lain, bukan sebagai membalas sesuatu kebaikan yang diterima dari mereka, begitu pun tidak dengan pertimbangan untuk berbuat lebih baik dari kebaikan yang ia peroleh, melainkan untuk berbuat kebaikan yang ditimbulkan oleh dorongan fitri, seperti ia berbuat baik kepada orang-orang yang mempunyai perhubungan darah yang dekat sekali.
       Keadaan  pada derajat ini serupa dengan keadaan seorang ibu yang menyusui anak yang kecintaan terhadap anak-anaknya bersumber pada dorongan fitri. Sesudah orang mukmin mencapai derajat ini perkembangan akhlaknya menjadi sempurna.
     Ketiga derajat akhlak ini merupakan segi baiknya dari perkembangan akhlak manusia. Segi buruknya digambarkan dengan tiga perkataan juga, yakni fahsyā (perbuatan yang tidak senonoh), munkar (keburukan yang nyata), dan baghy (pelanggaran keji); dan munkar mengandung arti keburukan-keburukan yang orang-orang lain juga melihat dan mengutuknya walaupun mereka boleh jadi tidak menderita sesuatu kerugian atau pelanggaran atas hak-hak mereka sendiri oleh si pelaku dosa itu.
      Akan tetapi baghy merangkum semua dosa dan keburukan, yang tidak hanya nampak, dirasakan, dan dicela oleh orang-orang lain, melainkan juga menimbulkan kemudaratan yang nyata pada mereka. Ketiga kata yang sederhana ini --  fahsyā,  munkar dan baghy -- meliputi segala macam dosa.

Hakikat Peringatan Keras Untuk Para Istri Nabi Besar Muhammad Saw.

      Dengan demikian jelaslah mengapa Allah Swt. telah memperingatkan  dengan keras mengenai para istri mulia Nabi Besar Muhammad saw.,   bahwa jika mereka melakukan keburukan atau pun kebaikan maka ganjaran atau pun hukumannya akan dua kali lipat karena perbuatan mereka sebagai istri Nabi Besar Muhammad saw.  pasti memberi dampak yang luas kepada perempuan-perempuan lainnya, fgirman-Nya:
    یٰنِسَآءَ  النَّبِیِّ مَنۡ یَّاۡتِ مِنۡکُنَّ بِفَاحِشَۃٍ  مُّبَیِّنَۃٍ یُّضٰعَفۡ لَہَا الۡعَذَابُ ضِعۡفَیۡنِ ؕ وَ کَانَ ذٰلِکَ عَلَی اللّٰہِ  یَسِیۡرًا ﴿﴾  وَ مَنۡ یَّقۡنُتۡ مِنۡکُنَّ لِلّٰہِ وَ رَسُوۡلِہٖ وَ تَعۡمَلۡ صَالِحًا نُّؤۡتِہَاۤ  اَجۡرَہَا مَرَّتَیۡنِ ۙ وَ  اَعۡتَدۡنَا  لَہَا  رِزۡقًا کَرِیۡمًا ﴿﴾ یٰنِسَآءَ  النَّبِیِّ لَسۡتُنَّ کَاَحَدٍ مِّنَ النِّسَآءِ  اِنِ اتَّقَیۡتُنَّ فَلَا تَخۡضَعۡنَ بِالۡقَوۡلِ فَیَطۡمَعَ  الَّذِیۡ  فِیۡ قَلۡبِہٖ مَرَضٌ وَّ  قُلۡنَ  قَوۡلًا  مَّعۡرُوۡفًا ﴿ۚ﴾  وَ قَرۡنَ فِیۡ بُیُوۡتِکُنَّ وَ لَا تَبَرَّجۡنَ تَبَرُّجَ الۡجَاہِلِیَّۃِ  الۡاُوۡلٰی وَ اَقِمۡنَ الصَّلٰوۃَ وَ اٰتِیۡنَ الزَّکٰوۃَ  وَ  اَطِعۡنَ اللّٰہَ  وَ  رَسُوۡلَہٗ ؕ اِنَّمَا یُرِیۡدُ اللّٰہُ  لِیُذۡہِبَ عَنۡکُمُ الرِّجۡسَ اَہۡلَ الۡبَیۡتِ وَ یُطَہِّرَکُمۡ  تَطۡہِیۡرًا ﴿ۚ﴾  وَ اذۡکُرۡنَ مَا یُتۡلٰی فِیۡ  بُیُوۡتِکُنَّ  مِنۡ اٰیٰتِ اللّٰہِ  وَ الۡحِکۡمَۃِ ؕ اِنَّ اللّٰہَ  کَانَ لَطِیۡفًا خَبِیۡرًا ﴿٪﴾
Wahai istri-istri Nabi, barangsiapa di antara kamu berbuat kekejian yang nyata, baginya azab akan dilipatgandakan  dua kali lipat, dan yang demikian itu mudah bagi AllahTetapi barangsiapa di antara kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya serta beramal saleh, Kami akan memberi kepadanya ganjarannya dua kali lipat, dan Kami telah menyediakan baginya rezeki yang mulia.  Wahai istri-istri Nabi, jika kamu bertakwa kamu tidak sama dengan salah seorang dari perempuan-perempuan lain, karena itu  janganlah kamu lembut dalam berbicara, sehingga orang yang dalam hatinya ada penyakit akan tergoda, dan ucapkanlah perkataan yang baik. Dan tinggallah  di rumah-rumah kamu dan janganlah kamu me-mamerkan kecantikan kamu seperti cara pamer kecantikan zaman Jahiliah dahulu,  dirikanlah shalat, bayarlah zakat, serta taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah meng-hendaki agar dia menghilangkan  kekotoran dari diri kamu, hai ahlulbait, dan Dia mensucikan kamu sesuci-sucinya.   Dan ingatlah akan apa yang dibacakan dalam rumah-rumah kamu dari Ayat-ayat Allah dan hikmah, sesungguhnya Allah Maha Halus, Maha Memaklumi. (Al-Ahzāb [33]:29-35).
      
(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar,   27 November    2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar