بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم
Khazanah
Ruhani Surah Shād
Bab 320
Pembatalan Adat-Istiadat Jahiliyah Bangsa Arab Dalam
Masalah Pernikahan &
Aturan Pernikahan Dalam Islam yang
Rawan “Fitnah” Orang-orang “Berhati
Bekgkok”
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam bagian akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan
mengenai
Tujuan pokok
pernikahan – sebagaimana halnya
fungsi pakaian -- demikian ayat ini mengatakan, ialah kesentausaan, perlindungan, dan memperhias
kedua pihak (suami-istri) secara timbal-balik, sebab memang itulah tujuan
mengenakan pakaian (QS.7:27 dan
QS.16:82). Sudah pasti tujuan pernikahan
bukan hanya semata-mata pemuasan dorongan seksual. Suami-istri
sama-sama menjaga satu sama lain
terhadap kejahatan dan skandal, firman-Nya:
یٰبَنِیۡۤ اٰدَمَ
قَدۡ اَنۡزَلۡنَا عَلَیۡکُمۡ لِبَاسًا یُّوَارِیۡ سَوۡاٰتِکُمۡ وَ رِیۡشًا ؕ
وَ لِبَاسُ التَّقۡوٰی ۙ ذٰلِکَ خَیۡرٌ ؕ ذٰلِکَ مِنۡ اٰیٰتِ اللّٰہِ لَعَلَّہُمۡ
یَذَّکَّرُوۡنَ ﴿﴾
Wahai
Bani Adam, sungguh
Kami telah menurunkan kepada kamu
pakaian penutup auratmu dan sebagai
perhiasan, وَ لِبَاسُ
التَّقۡوٰی ۙ ذٰلِکَ خَیۡرٌ -- dan
pakaian takwa itulah yang terbaik, yang demikian
itu ada-lah sebagian dari Tanda-tanda
Allah, supaya mereka
mendapat nasihat. (Al-A’rāf [7]:27).
Dengan pakaian “takwa” itulah Adam a.s. dan
“istrinya” menutupi “aurat” dalam jannah
(kebun surgawi) akibat diperdayai
oleh bujukan syaitan yang menipu (QS.7:20-26; QS.20:116-123).
Hikmah Adanya
Perbedaan Sifat dan Kebiasaan
Dikarenakan pasangan suami-istri berasal dari pasangan orangtua yang
berbeda, maka pasti suami dan istri akan mewarisi sifat-sifat dari kedua orangtua mereka masing-masing, yang boleh
jadi karena adanya perbedaan dalam kebiasaan dan lain-lain maka dalam membina rumahtangga akan
terjadi riak-riak gelombang yang dapat menggoyang
bahtera rumahtangga. Mengenai hal
tersebut Allah Swt. memberikan petunjuk, firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا لَا یَحِلُّ
لَکُمۡ اَنۡ تَرِثُوا
النِّسَآءَ کَرۡہًا ؕ وَ لَا تَعۡضُلُوۡہُنَّ لِتَذۡہَبُوۡا بِبَعۡضِ
مَاۤ اٰتَیۡتُمُوۡہُنَّ اِلَّاۤ اَنۡ یَّاۡتِیۡنَ
بِفَاحِشَۃٍ مُّبَیِّنَۃٍ ۚ وَ
عَاشِرُوۡہُنَّ
بِالۡمَعۡرُوۡفِ ۚ فَاِنۡ کَرِہۡتُمُوۡہُنَّ فَعَسٰۤی اَنۡ تَکۡرَہُوۡا شَیۡئًا وَّ یَجۡعَلَ
اللّٰہُ فِیۡہِ خَیۡرًا کَثِیۡرًا ﴿ ﴾
Hai
orang-orang yang beriman, tidak halal
bagi kamu mewarisi perempuan-perempuan secara
paksa, dan jangan pula kamu
menahan mereka agar kamu dapat mengambil kembali secara zalim
sebagian dari apa yang telah kamu
berikan kepada mereka, kecuali
jika mereka itu melakukan perbuatan keji yang nyata, وَ عَاشِرُوۡہُنَّ بِالۡمَعۡرُوۡفِ ۚ فَاِنۡ کَرِہۡتُمُوۡہُنَّ -- dan bergaullah dengan
mereka secara baik, فَاِنۡ کَرِہۡتُمُوۡہُنَّ فَعَسٰۤی اَنۡ تَکۡرَہُوۡا شَیۡئًا وَّ یَجۡعَلَ اللّٰہُ فِیۡہِ خَیۡرًا کَثِیۡرًا -- karena jika kamu tidak menyukai mereka maka boleh jadi kamu
tidak menyukai sesuatu padahal Allah
menjadikan banyak kebaikan di dalamnya.
(An-Nisa
[4]:20).
Sehubungan dengan kemungkinan adanya
“ketidak-sukaan” terhadap pasangan
dalam rumahtangga atau terhadap calon pasangan
hidup, Allah Swt. berfirman dalam
ayat sebelumnya:
وَ مَا
کَانَ لِمُؤۡمِنٍ وَّ لَا مُؤۡمِنَۃٍ اِذَا قَضَی اللّٰہُ وَ رَسُوۡلُہٗۤ اَمۡرًا اَنۡ یَّکُوۡنَ
لَہُمُ الۡخِیَرَۃُ مِنۡ
اَمۡرِہِمۡ ؕ وَ مَنۡ یَّعۡصِ اللّٰہَ وَ رَسُوۡلَہٗ فَقَدۡ
ضَلَّ ضَلٰلًا مُّبِیۡنًا ﴿ؕ﴾
Dan sekali-kali tidak layak bagi laki-laki
yang beriman dan tidak pula perempuan yang beriman, اِذَا قَضَی اللّٰہُ وَ
رَسُوۡلُہٗۤ اَمۡرًا -- apabila Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan sesuatu urusan, اَنۡ یَّکُوۡنَ
لَہُمُ الۡخِیَرَۃُ مِنۡ
اَمۡرِہِمۡ -- bahwa mereka menjadikan pilihan sendiri dalam urusan dirinya. وَ مَنۡ یَّعۡصِ اللّٰہَ وَ رَسُوۡلَہٗ فَقَدۡ
ضَلَّ ضَلٰلًا مُّبِیۡنًا -- Dan
barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguh ia telah sesat suatu kesesatan yang nyata. (Al-Ahzāb
[33]:37).
Pernikahan dan Perceraian Siti Zainab r.a. yang Membawa Berkat
Kejadian yang langsung berkaitan dengan
turunnya ayat ini mungkin terjadi karena keraguan
Sitti Zainab r.a. menuruti keinginan yang sangat diidam-idamkan
oleh Nabi Besar Muhammad saw. agar Sitti Zainab r.a. menikah dengan Zaid bin Haritsah r.a., seorang budak
(hamba-sahaya) beliau saw. yang telah dimerdekakan, yaitu guna menghilangkan
adanya perbedaan “kasta” dalam
masyarakat Muslim.
Kita patut memuji Sitti Zainab r.a.,
-- seorang bangsawati bangsa Arab -- karena menghormati kehendak
Nabi Besar Muhammad saw. beliau akhirnya setuju
menikah dengan Zaid bin Haritsah r.a., walau bertentangan dengan kecenderungan
hati beliau pribadi. Nabi Besar
Muhammad saw. tidak memaksa Sitti Zainab menerima Zaid
bin Haristsah r.a. sebagai suami.
Sitti Zainab hanyalah menghormati
keinginan beliau saw..
Walau pun kenyataan membuktikan bahwa -- karena adanya ketidak-serasian atau tidak kufu’ dalam beberapa hal lainnya di antara pasangan
suami-istri tersebut -- maka
Zaid bin Haristsah r.a.
mengemukakan keinginannya kepada Nabi
Besar Muhammad saw. untuk menceraikan Siri Zainab r.a., yang tentu
saja perceraian tersebut sangat
tidak diinginkan oleh beliau saw.
(QS.33:38).
Tetapi karena Allah Swt.
memiliki rencana lain yang jauh lebih penting daripada tujuan pernikahan
antara Zaid bin Haritsah r.a. dengan Siti Zainab r.a.
yang diprakarsai oleh Nabi
Besar Muhammad saw. tersebut, maka perceraian pasangan suami-istri
itu pun akhirnya terjadi, yang tentu saja membuat Nabi Besar Muhammad saw. merasa “kecewa.”
Tetapi tentu saja yang paling
terpukul oleh persitiwa perceraian tersebut adalah
hati Sitti Zainab r.a., karena
dengan perceraian tersebut pada dirinya kemudian melekat
sebutan janda (bekas istri) dari
seorang mantan hamba sahaya (budak),
karena kedudukan sebagai janda yang diceraikan oleh suami tidak seperti
halnya kedudukan janda karena ditinggal mati oleh suami atau kedudukan janda yang minta cerai dari suaminya yang disebut khulu’.
Namun Allah Swt. tidak pernah mengingkari
janji-Nya kepada orang-orang yang
benar-benar mendahulukan kehendak-Nya daripada kehendak
atau
pilihan diri mereka sendiri (QS.33:37), lalu Allah menikahkan Sitti Zainab r.a. dengan Nabi Besar Muhammad saw., sehingga dengan demikian kedudukan Sitti Zainab r.a.
menjadi salah seorang dari Ummul
Mukminin (QS.33:7), firman-Nya:
اَلنَّبِیُّ
اَوۡلٰی بِالۡمُؤۡمِنِیۡنَ مِنۡ اَنۡفُسِہِمۡ وَ اَزۡوَاجُہٗۤ اُمَّہٰتُہُمۡ ؕ وَ اُولُوا الۡاَرۡحَامِ
بَعۡضُہُمۡ اَوۡلٰی بِبَعۡضٍ فِیۡ کِتٰبِ اللّٰہِ مِنَ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ وَ
الۡمُہٰجِرِیۡنَ اِلَّاۤ اَنۡ تَفۡعَلُوۡۤا اِلٰۤی
اَوۡلِیٰٓئِکُمۡ مَّعۡرُوۡفًا ؕ کَانَ ذٰلِکَ فِی الۡکِتٰبِ مَسۡطُوۡرًا ﴿﴾
Nabi itu
lebih dekat kepada orang-orang beriman daripada kepada diri mereka sendiri, وَ اَزۡوَاجُہٗۤ اُمَّہٰتُہُمۡ -- dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka. Tetapi menurut Kitab Allah keluarga yang sedarah lebih dekat satu sama lain daripada orang-orang beriman dan
orang-orang yang berhijrah, kecuali jika
kamu berbuat kebaikan terhadap sahabat kamu, yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab Al-Quran. (Al-Ahzāb [33]:7).
Membatalkan Adat Istiadat
Bangsa Arab Jahiliyah
Pernikahan antara Nabi Besar Muhammad saw. dengan Sitti Zainab r.a. pun sekali
gus membatalkan kekeliruan adat-istiadat bangsa
Arab jahiliyah, bahwa seorang ayah angkat tidak boleh menikahi janda anak-angkatnya, karena
menurut mereka kedudukan anak angkat
sama dengan anak kandung (QS.33:5-6),
firman-Nya kepada Nabi Besar Muhammad saw.:
وَ اِذۡ
تَقُوۡلُ لِلَّذِیۡۤ اَنۡعَمَ
اللّٰہُ عَلَیۡہِ وَ اَنۡعَمۡتَ
عَلَیۡہِ اَمۡسِکۡ عَلَیۡکَ زَوۡجَکَ وَ
اتَّقِ اللّٰہَ وَ تُخۡفِیۡ فِیۡ نَفۡسِکَ
مَا اللّٰہُ مُبۡدِیۡہِ وَ تَخۡشَی
النَّاسَ ۚ وَ اللّٰہُ اَحَقُّ اَنۡ تَخۡشٰہُ ؕ فَلَمَّا قَضٰی زَیۡدٌ مِّنۡہَا
وَطَرًا زَوَّجۡنٰکَہَا لِکَیۡ لَا
یَکُوۡنَ عَلَی الۡمُؤۡمِنِیۡنَ
حَرَجٌ فِیۡۤ اَزۡوَاجِ اَدۡعِیَآئِہِمۡ اِذَا
قَضَوۡا مِنۡہُنَّ وَطَرًا ؕ وَ کَانَ اَمۡرُ
اللّٰہِ مَفۡعُوۡلًا ﴿﴾
Dan ingatlah
ketika engkau berkata kepada orang yang Allah telah memberi nikmat kepadanya dan engkau pun telah
memberi nikmat kepadanya: اَمۡسِکۡ عَلَیۡکَ زَوۡجَکَ وَ اتَّقِ اللّٰہَ -- “Pertahankanlah
terus istri engkau pada diri
engkau dan bertakwalah kepada Allah”, sedangkan engkau menyembunyikan dalam hati engkau apa yang Allah hendak
menampakkannya, dan engkau takut
kepada manusia padahal Allāh lebih
berhak agar engkau takut kepada-Nya.
فَلَمَّا قَضٰی زَیۡدٌ مِّنۡہَا وَطَرًا -- maka tatkala Zaid menetapkan keinginannya terhadapnya, زَوَّجۡنٰکَہَا لِکَیۡ لَا یَکُوۡنَ
عَلَی الۡمُؤۡمِنِیۡنَ حَرَجٌ فِیۡۤ
اَزۡوَاجِ اَدۡعِیَآئِہِمۡ اِذَا قَضَوۡا
مِنۡہُنَّ وَطَرًا ؕ -- Kami menikahkan
engkau dengan dia, supaya tidak
akan ada keberatan bagi orang-orang beriman menikahi bekas istri anak-anak angkatnya apabila mereka
telah menetapkan keinginannya mengenai mereka, وَ
کَانَ اَمۡرُ اللّٰہِ
مَفۡعُوۡلًا -- dan
keputusan Allah pasti akan terlaksana.” (Al-Ahzāb
[33]:38).
Sitti Zainab adalah anak bibi Nabi Besar Muhammad saw. karena itu beliau seorang bangsawati Arab tulen, sangat bangga
akan leluhur beliau dan akan kedudukan mulia dalam masyarakat. Tetapi
Islam melalui Nabi Besar Muhammad
saw. menganggap dan telah memberi kepada dunia — peradaban dan kebudayaan
yang di dalamnya tidak ada pembagian
kelas sosial (kasta-kasta), tidak ada kebangsawanan
warisan, tidak ada hak-hak istimewa.
Semua manusia bebas dan setara dalam pandangan Ilahi. Nabi Besar
Muhammad saw. menghendaki agar pelaksanaan cita-cita luhur agama Islam ini dimulai
oleh keluarga beliau saw. sendiri. Beliau saw. ingin agar Sitti
Zainab r.a. menikah dengan Zaid bin
Haritsah r.a., yang kendatipun telah dimerdekakan oleh beliau saw., sayang sekali ia masih tetap dianggap budak oleh sebagian orang.
Justru cap perbudakan itulah, pemisah antara “orang merdeka” dan “budak
belian” yang diikhtiarkan oleh Nabi Besar Muhammad saw. menghilangkannya melalui pernikahan
Sitti Zainab r.a. dengan Zaid bin Haritsah r.a..
Karena menjunjung tinggi
keinginan Nabi Besar Muhammad saw. maka Sitti Zainab r.a. menyetujui usul itu. Maksud beliau saw. telah tercapai, dan pernikahan itu menghilangkan perbedaan dan pembagian kelas. Hal itu merupakan peragaan amaliah akan cita-cita luhur
agama Islam.
Makna “Rasa Takut” Nabi
Besar Muhammad saw. Terhadap Manusia
Akan tetapi malang sekali pernikahan
itu berakhir dengan kegagalan, bukan
disebabkan oleh perbedaan kedudukan
sosial antara Sitti Zainab r.a. dengan Zaid bin Haritsah r.a., melainkan
karena tidak ada persesuaian dalam pembawaan dan perangai mereka, dan juga oleh sebab perasaan rendah diri yang diderita Zaid bin Haritsah r.a. sendiri.
Tentu saja kegagalan pernikahan itu membuat hati Nabi Besar Muhammad saw. sedih.
Tetapi - sebagaimana telah didingguh
sebelumnya -- kejadian perceraian itu
pun memenuhi suatu maksud yang sangat
berguna. Sesuai dengan perintah Ilahi, sebagaimana disebutkan
pada bagian akhir ayat ini, Nabi Besar
Muhammad saw. . sendiri atas perintah Allah Swt. menikahi
Sitti Zainab r.a., yang dengan demikian membongkar
sampai ke akar-akarnya kebiasaan yang telah mendarah-daging
pada orang-orang Arab zaman jahiliah,
bahwa merupakan pantangan bagi
seseorang menikahi bekas istri anak angkatnya.
Kebiasaan mengangkat anak dihapuskan dan dengan itu anggapan keliru itu dihilangkan. Oleh karena itu pernikahan Sitti
Zainab r.a. dengan Zaid bin Haritsah r.a. sebelumnya adalah untuk memenuhi suatu tujuan luhur lainnya mengenai upaya
menghilangkan perbedaan status sosial
(kasta).
Kata-kata “bertakwalah kepada Allah,” mengandung
arti bahwa Zaid bin Haritsah r.a. ingin menceraikan
Sitti Zainab r.a. dan karena perceraian itu, menurut Islam, sangat
tidak diridhai dalam pandangan Tuhan,
maka Nabi Besar Muhammad saw. menganjurkan kepadanya agar Zaid bin
Haritsah r.a. tidak berbuat demikian.
Anak kalimat “...tahanlah isteri engkau pada diri engkau sendiri,”
dapat dikenakan baik kepada Zaid bin
Haritsah r.a. maupun kepada Nabi Besar
Muhammad saw.. Kalau dikenakan kepada Zaid bin Haritsah r.a. maka kalimat itu akan berarti, bahwa Zaid bin
Haritsah r.a. tidak
suka kalau akibat perceraiannya dengan Sitti Zainab r.a.
akan nampak, barangkali karena
sebagaimana ternyata dari kata-kata, “bertakwalah
kepada Allah,” titik berat kesalahan
terletak lebih banyak pada diri Zaid bin Haritsah r.a. daripada pada diri Sitti
Zainab r.a..
Tetapi kalau kalimat tersebut dikenakan kepada Nabi Besar Muhammad saw. maka kata-kata itu akan berarti bahwa
sebab pernikahan antara Zaid bin Haritsah r.a. dan Sitti Zainab r.a. itu telah diatur atas permintaan
dan kehendak beliau saw.. maka dengan
sendirinya beliau saw. tidak suka kalau pernikahan itu pecah.
Anak kalimat itu pun menunjukkan
bahwa Nabi Besar Muhammad saw. khawatir kalau-kalau putusnya pernikahan yang telah mengakibatkan suatu hal yang nampaknya
merupakan kegagalan dalam rangka
percobaan Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan menurut Islam), akan menyebabkan tumbuhnya beberapa kecaman dan kegelisahan dalam pikiran orang-orang yang lemah iman.
Inilah kekhawatiran yang menekan
sekali perasaan Nabi Besar Muhammad saw. Jadi, kata-kata “engkau takut kepada manusia” dalam ayat
وَ تُخۡفِیۡ فِیۡ نَفۡسِکَ مَا اللّٰہُ
مُبۡدِیۡہِ وَ تَخۡشَی النَّاسَ ۚ وَ
اللّٰہُ اَحَقُّ اَنۡ تَخۡشٰہُ -- “sedangkan engkau menyembunyikan dalam hati engkau apa yang Allah hendak
menampakkannya, dan engkau takut
kepada manusia padahal Allah lebih
berhak agar engkau takut kepada-Nya”,
agaknya menunjuk kepada kekhawatiran
beliau saw. tersebut.
Orang-orang
yang Digelincirkan Ayat Mutasyābihāt
Tetapi orang-orang yang berhati bengkok (QS.3:8-9) telah menafsirkan lain
berupa fitnah keji mengenai ayat
yang mutasyabihat berkenaan penikahan antara Nabi Besar Muhammad saw. dengan Sitti Zainab r.a. tersebut, yakni
beberapa kiritikus lawan Islam dari
kalangan Kristen berlagak telah menemukan suatu dasar dalam pernikahan Nabi Besar Muhammad saw. dengan Sitti Zainab r.a. untuk melakukan serangan keji terhadap beliau saw..
Telah dinyatakan oleh mereka bahwa karena secara kebetulan Nabi Besar Muhammad saw. melihat
Sitti Zainab r.a., beliau saw. jatuh cinta karena terpesona oleh kecantikannya, dan karena Zaid bin
Haritsah r.a. telah mengetahui hasrat
Nabi Besar Muhammad saw. tersebut untuk
memperistrikan Sitti Zainab r.a. lalu ia berusaha menceraikan istrinya.
Kenyataan bahwa musuh-musuh pun yang menyaksikan seluruh kejadian itu dengan mata
mereka sendiri, mereka tidak berani mengaitkan dasar pikiran (motif) rendah seperti kini dikaitkan kepada Nabi Besar Muhammad saw. oleh kritikus-kritikus yang hidup sesudah
lewat beberapa abad itu, sama sekali melenyapkan tuduhan keji dan sungguh tak berdasar itu, sampai ke akar-akarnya.
Sitti
Zainab r.a. adalah saudara sepupu beliau saw. dan karena demikian dekatnya
hubungan kekeluargaan beliau saw. maka Nabi Besar Muhammad saw. pasti
telah melihat Sitti Zainab r.a. acapkali
sebelum “pardah” diperintahkan. Kecuali itu, karena menghormati keinginan beliau
saw. yang terus menerus
dikemukakan itulah, maka Sitti Zainab r.a. telah menyetujui dengan rasa enggan
untuk menikah dengan Zaid bin Haritsah r.a..
Tersurat di dalam riwayat bahwa
Sitti Zainab r.a. dan kakaknya telah berhasrat sebelum beliau menikah dengan Zaid, agar beliau diperistri
Nabi Besar Muhammad saw. sendiri.
Apakah kiranya yang menghambat beliau saw. memperistri
Sitti Zainab r.a. ketika beliau masih gadis dan beliau sendiri mengharapkan diperistri oleh Nabi Besar Muhammad saw.?
Seluruh peristiwa itu nampaknya jelas
merupakan rekaan “yang kaya” dayacipta para kritikus yang tidak bersahabat terhadap Nabi Besar Muhammad
saw. dan mempercayai hal itu merupakan
suatu penghinaan terhadap akal sehat manusia.
Jadi, pada hakikatnya ayat وَ تُخۡفِیۡ فِیۡ نَفۡسِکَ مَا اللّٰہُ مُبۡدِیۡہِ وَ تَخۡشَی النَّاسَ ۚ وَ اللّٰہُ اَحَقُّ اَنۡ
تَخۡشٰہُ -- “sedangkan
engkau menyembunyikan dalam hati engkau
apa yang Allah hendak menampakkannya, dan engkau takut kepada manusia padahal Allah lebih berhak agar engkau takut kepada-Nya”, termasuk
ayat-ayat Al-Quran mutasyābihāt (QS.3:8-9) yang dengan ayat-ayat seperti
itu orang-orang berhati bengkok tergelincir
dan masuk ke dalam jurang fitnah, firman-Nya:
ہُوَ
الَّذِیۡۤ اَنۡزَلَ عَلَیۡکَ الۡکِتٰبَ مِنۡہُ اٰیٰتٌ مُّحۡکَمٰتٌ ہُنَّ
اُمُّ الۡکِتٰبِ وَ اُخَرُ مُتَشٰبِہٰتٌ ؕ
فَاَمَّا الَّذِیۡنَ فِیۡ قُلُوۡبِہِمۡ زَیۡغٌ فَیَتَّبِعُوۡنَ مَا تَشَابَہَ
مِنۡہُ ابۡتِغَآءَ الۡفِتۡنَۃِ وَ ابۡتِغَآءَ تَاۡوِیۡلِہٖ ۚ وَ مَا یَعۡلَمُ تَاۡوِیۡلَہٗۤ
اِلَّا اللّٰہُ ۘؔ وَ
الرّٰسِخُوۡنَ فِی الۡعِلۡمِ یَقُوۡلُوۡنَ اٰمَنَّا بِہٖ ۙ کُلٌّ مِّنۡ عِنۡدِ رَبِّنَا ۚ وَ مَا
یَذَّکَّرُ اِلَّاۤ اُولُوا الۡاَلۡبَابِ
﴿﴾ رَبَّنَا لَا تُزِغۡ قُلُوۡبَنَا بَعۡدَ اِذۡ ہَدَیۡتَنَا وَ ہَبۡ لَنَا مِنۡ لَّدُنۡکَ
رَحۡمَۃً ۚ اِنَّکَ اَنۡتَ الۡوَہَّابُ﴿﴾
Dia-lah Yang
menurunkan Al-Kitab yakni
Al-Quran kepada engkau, مِنۡہُ اٰیٰتٌ مُّحۡکَمٰتٌ
ہُنَّ اُمُّ الۡکِتٰبِ -- di antaranya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok
Al-Kitab, وَ اُخَرُ مُتَشٰبِہٰتٌ -- sedangkan yang
lain ayat-ayat mutasyābihāt. فَاَمَّا الَّذِیۡنَ
فِیۡ قُلُوۡبِہِمۡ زَیۡغٌ فَیَتَّبِعُوۡنَ مَا تَشَابَہَ مِنۡہُ ابۡتِغَآءَ
الۡفِتۡنَۃِ وَ ابۡتِغَآءَ تَاۡوِیۡلِہٖ -- Adapun
orang-orang yang di dalam hatinya
ada kebengkokan maka mereka mengikuti
darinya apa yang mutasyābihāt karena
ingin menimbulkan fitnah dan ingin mencari-cari takwilnya yang
salah, وَ مَا یَعۡلَمُ
تَاۡوِیۡلَہٗۤ اِلَّا اللّٰہُ ۘؔ وَ الرّٰسِخُوۡنَ فِی الۡعِلۡمِ
یَقُوۡلُوۡنَ اٰمَنَّا بِ --padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah, dan orang-orang yang memiliki pengetahuan mendalam berkata: اٰمَنَّا بِہٖ ۙ کُلٌّ مِّنۡ عِنۡدِ رَبِّنَا ۚ وَ مَا
یَذَّکَّرُ اِلَّاۤ اُولُوا الۡاَلۡبَابِ -- “Kami beriman kepadanya, semuanya berasal dari
sisi Rabb (Tuhan) kami.” وَ مَا
یَذَّکَّرُ اِلَّاۤ اُولُوا الۡاَلۡبَابِ -- Dan tidak ada yang meraih nasihat kecuali orang-orang
yang mempergunakan akal. رَبَّنَا لَا تُزِغۡ قُلُوۡبَنَا
بَعۡدَ اِذۡ ہَدَیۡتَنَا وَ ہَبۡ لَنَا
مِنۡ لَّدُنۡکَ رَحۡمَۃً ۚ اِنَّکَ اَنۡتَ الۡوَہَّابُ -- Ya
(Rabb) Tuhan kami, janganlah Eng-kau
menyimpangkan hati kami setelah Engkau memberi kami petunjuk, dan anugerahilah kami rahmat dari sisi Engkau,
sesungguhnya Eng-kau benar-benar Maha
Pemberi anugerah. (Ali
‘Imran [3]:8-9).
Aturan Pernikahan Dalam Islam yang Rawan Fitnah
Bahwa pernikahan Nabi Besar Muhammad saw. dengan Sitti Zainab r.a. yang
dicerai Zaid bin Haritsah r.a. bukanlah
rekayasa beliau saw. melainkan semata-mata melaksanakan perintah Allah Swt.
untuk membatalkan adat-istiadat
bangsa Arab jahiliyah dan
menggantinya dengan peraturan Islam
(Al-Quran), selanjutnya Allah Swt. berfirman:
مَا کَانَ
عَلَی النَّبِیِّ مِنۡ حَرَجٍ فِیۡمَا فَرَضَ اللّٰہُ لَہٗ ؕ سُنَّۃَ اللّٰہِ فِی الَّذِیۡنَ خَلَوۡا مِنۡ قَبۡلُ ؕ وَ
کَانَ اَمۡرُ اللّٰہِ
قَدَرًا مَّقۡدُوۡرَۨا ﴿۫ۙ﴾ الَّذِیۡنَ یُبَلِّغُوۡنَ رِسٰلٰتِ اللّٰہِ وَ یَخۡشَوۡنَہٗ وَ لَا یَخۡشَوۡنَ اَحَدًا
اِلَّا اللّٰہَ ؕ وَ کَفٰی
بِاللّٰہِ حَسِیۡبًا ﴿﴾
Sekali-kali tidak ada keberatan atas Nabi
mengenai apa yang telah diwajibkan Allah kepadanya. Inilah
sunnah Allah yang Dia tetapkan terhadap
orang-orang yang telah berlalu
sebelumnya, dan perintah Allāh adalah
suatu keputusan yang telah dite-tapkan. الَّذِیۡنَ یُبَلِّغُوۡنَ رِسٰلٰتِ اللّٰہِ وَ یَخۡشَوۡنَہٗ -- orang-orang
yang menyampaikan amanat Allah dan takut
kepada-Nya, وَ لَا
یَخۡشَوۡنَ اَحَدًا اِلَّا اللّٰہَ ؕ -- dan tidak
ada yang mereka takuti siapa pun selain Allah, وَ کَفٰی بِاللّٰہِ
حَسِیۡبًا -- dan
cukuplah Allah sebagai Penghisab.
(Al-Ahzāb
[33]:39-40).
Yang
diisyaratkan dalam kata-kata “Sekali-kali
tidak ada keberatan atas Nabi
mengenai apa yang telah diwajibkan Allah
kepadanya” itu ialah pernikahan Nabi Besar Muhammad saw. dengan Sitti Zainab r.a.. Kata-kata itu menunjukkan bahwa pernikahan beliau saw. terjadi dalam
menaati suatu peraturan Ilahi yang khusus sifatnya, yang memang sangat rawan menimbulkan fitnah.
Tetapi karena agama Islam merupakan agama
terakhir yang paling sempurna (QS.5:4) karena itu ajaran Islam harus menjawab berbagai persoalan yang timbul
dalam kehidupan manusia, walaupun berkenaan dengan hal-hal yang sangat sensitive sifatnya dalam masalah pernikahan.
Contohnya adalah diperbolehkannya seorang ayah angkat menikahi janda
(mantan istri) anak-angkatnya, karena
ayah-angkat tidak memiliki hubungan darah dengan anak-angkat (QS.33:6) -- seperti halnya dengan anak kandung
-- sehingga pernikahan
tersebut tidak akan mengacaukan hubungan darah keturunan mereka.
Contoh peraturan pernikahan
lainnya dalam Islam yang sangat sensitive yang apabila dilakukan rawan menimbulkan fitnah, adalah seorang
laki-laki yang telah menikahi seorang
janda yang punya anak perempuan, setelah ia bercerai dengan janda tersebut, maka laki-laki itu
diperbolehkan menikahi anak tirinya asalkan
saja sebelum bercerai dengan ibunya ia belum berhubungan
badan dengan ibu anak tirinya tersebut, firman-Nya:
حُرِّمَتۡ
عَلَیۡکُمۡ اُمَّہٰتُکُمۡ وَ
بَنٰتُکُمۡ وَ
اَخَوٰتُکُمۡ وَ
عَمّٰتُکُمۡ وَ خٰلٰتُکُمۡ وَ
بَنٰتُ الۡاَخِ وَ بَنٰتُ الۡاُخۡتِ وَ اُمَّہٰتُکُمُ الّٰتِیۡۤ اَرۡضَعۡنَکُمۡ وَ اَخَوٰتُکُمۡ مِّنَ
الرَّضَاعَۃِ وَ اُمَّہٰتُ
نِسَآئِکُمۡ وَ رَبَآئِبُکُمُ الّٰتِیۡ فِیۡ حُجُوۡرِکُمۡ مِّنۡ
نِّسَآئِکُمُ الّٰتِیۡ دَخَلۡتُمۡ بِہِنَّ ۫ فَاِنۡ لَّمۡ تَکُوۡنُوۡا دَخَلۡتُمۡ بِہِنَّ فَلَا جُنَاحَ
عَلَیۡکُمۡ ۫ وَ حَلَآئِلُ
اَبۡنَآئِکُمُ
الَّذِیۡنَ مِنۡ
اَصۡلَابِکُمۡ ۙ وَ اَنۡ تَجۡمَعُوۡا بَیۡنَ الۡاُخۡتَیۡنِ اِلَّا مَا قَدۡ
سَلَفَ ؕ اِنَّ
اللّٰہَ کَانَ غَفُوۡرًا رَّحِیۡمًا ﴿ۙ ﴾
Telah diharamkan atas kamu menikahi ibu-ibu kamu, anak-anak perempuan
kamu, saudara-saudara peremuan kamu, saudara-saudara perempuan bapak kamu,
saudara-saudara perempuan ibu kamu, anak-anak
perempuan saudara laki-laki kamu, anak-anak perempuan saudara perempuan kamu,
ibu-ibu kamu yang menyusui kamu, saudara-saudara perempuan
sepesusuan kamu, ibu-ibu istri-istri
kamu, anak-anak tiri perempuan kamu yang ada dalam pemeliharaanmu yang lahir
dari istri-istri kamu yang telah kamu campuri; فَاِنۡ لَّمۡ تَکُوۡنُوۡا دَخَلۡتُمۡ بِہِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَیۡکُمۡ -- tetapi jika kamu belum bercampur dengan mereka maka tidak ada dosa bagi kamu menikahi anak tiri itu; dan diharamkan
pula istri-istri anak-anak lelaki kamu yang lahir dari sulbi kamu
(anak kandung), dan juga diharamkan bagi kamu mengumpulkan dua orang
perempuan bersaudara sebagai istri-istri kamu dalam satu waktu kecuali
apa yang telah lampau. Sesungguhnya, Allah
benar-benar Maha Pengampun, Maha Penyayang. (An-Nisa [4]:24).
Orang-orang Yahudi yang Senantiasa Menyusahkan
Nabi Musa a.s. & Beratnya “Memikul” Syariat Islam (Al-Quran)
Pendek kata, begitu lengkap serta
sempurnanya hukum syariat Islam
(Al-Quran) -- termasuk dalam masalah
pernikahan -- dan dari seluruh Rasul
Allah hanya Nabi Beear Muhammad saw. sajalah yang mampu “mengembannya” sekali pun akan menjadi “batu sandungan” yang menggelincirkan
orang-orang yang berhati bengkok,
firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا
الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا لَا تَکُوۡنُوۡا کَالَّذِیۡنَ اٰذَوۡا مُوۡسٰی
فَبَرَّاَہُ اللّٰہُ مِمَّا قَالُوۡا ؕ وَ
کَانَ عِنۡدَ اللّٰہِ وَجِیۡہًا ﴿ؕ۶۹﴾ یٰۤاَیُّہَا
الَّذِیۡنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰہَ وَ قُوۡلُوۡا قَوۡلًا
سَدِیۡدًا ﴿ۙ﴾ یُّصۡلِحۡ
لَکُمۡ اَعۡمَالَکُمۡ وَ یَغۡفِرۡ
لَکُمۡ ذُنُوۡبَکُمۡ ؕ وَ مَنۡ یُّطِعِ اللّٰہَ
وَ رَسُوۡلَہٗ فَقَدۡ فَازَ
فَوۡزًا عَظِیۡمًا ﴿﴾ اِنَّا عَرَضۡنَا
الۡاَمَانَۃَ عَلَی السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ وَ الۡجِبَالِ فَاَبَیۡنَ اَنۡ
یَّحۡمِلۡنَہَا وَ اَشۡفَقۡنَ مِنۡہَا وَ حَمَلَہَا الۡاِنۡسَانُ ؕ اِنَّہٗ کَانَ
ظَلُوۡمًا جَہُوۡلًا ﴿ۙ﴾ لِّیُعَذِّبَ
اللّٰہُ الۡمُنٰفِقِیۡنَ وَ الۡمُنٰفِقٰتِ
وَ الۡمُشۡرِکِیۡنَ وَ الۡمُشۡرِکٰتِ وَ یَتُوۡبَ اللّٰہُ عَلَی الۡمُؤۡمِنِیۡنَ
وَ الۡمُؤۡمِنٰتِ ؕ وَ کَانَ اللّٰہُ غَفُوۡرًا
رَّحِیۡمًا ﴿٪﴾
Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu seperti orang-orang yang telah menyusahkan Musa, tetapi Allah membersihkannya dari apa yang mereka
katakan. Dan ia di sisi Allah adalah orang yang terhormat. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang jujur. Dia akan memperbaiki bagi kamu amal-amalmu dan akan meng-ampuni bagimu dosa-dosa kamu.
Dan barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya
maka sesungguhnya ia akan meraih
kemenangan besar. اِنَّا عَرَضۡنَا الۡاَمَانَۃَ عَلَی السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ وَ
الۡجِبَالِ فَاَبَیۡنَ اَنۡ یَّحۡمِلۡنَہَا وَ اَشۡفَقۡنَ مِنۡہَا وَ حَمَلَہَا
الۡاِنۡسَانُ ؕ اِنَّہٗ کَانَ ظَلُوۡمًا جَہُوۡلًا --- Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat syariat
kepada seluruh langit, bumi dan gunung-gunung, tetapi semuanya enggan memikulnya dan mereka takut terhadapnya, akan sedangkan insan memikulnya, sesungguhnya ia sanggup berbuat zalim dan abai terhadap dirinya. لِّیُعَذِّبَ
اللّٰہُ الۡمُنٰفِقِیۡنَ وَ الۡمُنٰفِقٰتِ
وَ الۡمُشۡرِکِیۡنَ وَ الۡمُشۡرِکٰتِ وَ یَتُوۡبَ اللّٰہُ عَلَی الۡمُؤۡمِنِیۡنَ
وَ الۡمُؤۡمِنٰتِ ؕ وَ کَانَ اللّٰہُ غَفُوۡرًا
رَّحِیۡمًا -- supaya Allah akan menghu-kum orang-orang munafik lelaki dan orang-orang munafik perempuan, dan orang-orang
musyrik lelaki dan orang-orang
musyrik perempuan, dan
Allah senantiasa kembali dengan kasih sayang
kepada orang-orang lelaki dan perempuan-perempuan yang beriman, dan Allah adalah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (Al-Ahzāb [33]:70-74).
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik
Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 27 Agustus
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar