Kamis, 18 September 2014

Pembatalan "Adat-istiadat Jahiliyah" Bangsa Arab Dalam Masalah Pernikahan & Aturan Pernikahan Dalam Islam yang Rawan "Fitnah" Orang-orang "Berhati Bengkok"



بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم


 Khazanah Ruhani Surah  Shād


Bab   320

Pembatalan Adat-Istiadat Jahiliyah Bangsa Arab Dalam Masalah Pernikahan   & Aturan Pernikahan Dalam Islam yang Rawan “Fitnah” Orang-orang   “Berhati Bekgkok”

 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

D
alam bagian akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan mengenai Tujuan pokok pernikahan – sebagaimana halnya fungsi pakaian --  demikian ayat ini mengatakan, ialah kesentausaan, perlindungan, dan memperhias kedua pihak (suami-istri) secara timbal-balik, sebab memang itulah tujuan mengenakan pakaian (QS.7:27 dan QS.16:82). Sudah pasti tujuan pernikahan  bukan hanya semata-mata pemuasan dorongan seksual. Suami-istri sama-sama menjaga satu sama lain terhadap kejahatan dan skandal, firman-Nya:
یٰبَنِیۡۤ  اٰدَمَ  قَدۡ  اَنۡزَلۡنَا عَلَیۡکُمۡ  لِبَاسًا یُّوَارِیۡ سَوۡاٰتِکُمۡ وَ رِیۡشًا ؕ وَ لِبَاسُ التَّقۡوٰی ۙ ذٰلِکَ خَیۡرٌ ؕ ذٰلِکَ مِنۡ اٰیٰتِ اللّٰہِ  لَعَلَّہُمۡ  یَذَّکَّرُوۡنَ ﴿﴾
Wahai Bani Adam,  sungguh  Kami telah menurunkan kepada kamu pakaian penutup auratmu dan sebagai  perhiasan, وَ لِبَاسُ التَّقۡوٰی ۙ ذٰلِکَ خَیۡرٌ  --  dan pakaian takwa   itulah yang terbaik, yang demikian itu ada-lah sebagian dari Tanda-tanda Allah, supaya  mereka mendapat nasihat. (Al-A’rāf [7]:27).
   Dengan  pakaian “takwa” itulah Adam a.s. dan “istrinya”   menutupi “aurat” dalam jannah (kebun surgawi) akibat diperdayai oleh bujukan syaitan yang menipu (QS.7:20-26; QS.20:116-123).

Hikmah Adanya Perbedaan Sifat dan Kebiasaan

      Dikarenakan pasangan suami-istri  berasal dari pasangan  orangtua yang berbeda, maka pasti suami dan istri  akan mewarisi sifat-sifat dari kedua orangtua mereka masing-masing, yang boleh jadi karena adanya perbedaan  dalam  kebiasaan dan  lain-lain maka dalam membina rumahtangga akan terjadi riak-riak gelombang   yang dapat menggoyang  bahtera rumahtangga. Mengenai hal tersebut Allah Swt.  memberikan petunjuk, firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا لَا یَحِلُّ لَکُمۡ اَنۡ تَرِثُوا النِّسَآءَ کَرۡہًا ؕ وَ لَا تَعۡضُلُوۡہُنَّ لِتَذۡہَبُوۡا بِبَعۡضِ مَاۤ اٰتَیۡتُمُوۡہُنَّ  اِلَّاۤ اَنۡ یَّاۡتِیۡنَ بِفَاحِشَۃٍ مُّبَیِّنَۃٍ ۚ وَ عَاشِرُوۡہُنَّ بِالۡمَعۡرُوۡفِ ۚ فَاِنۡ کَرِہۡتُمُوۡہُنَّ فَعَسٰۤی اَنۡ تَکۡرَہُوۡا شَیۡئًا وَّ یَجۡعَلَ اللّٰہُ فِیۡہِ خَیۡرًا کَثِیۡرًا ﴿ ﴾
Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan-perempuan secara  paksa, dan jangan pula kamu menahan mereka agar kamu dapat mengambil kembali secara zalim sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepada mereka,  kecuali jika mereka itu  melakukan perbuatan keji yang nyata, وَ عَاشِرُوۡہُنَّ بِالۡمَعۡرُوۡفِ ۚ فَاِنۡ کَرِہۡتُمُوۡہُنَّ --  dan bergaullah dengan mereka secara baik, فَاِنۡ کَرِہۡتُمُوۡہُنَّ فَعَسٰۤی اَنۡ تَکۡرَہُوۡا شَیۡئًا وَّ یَجۡعَلَ اللّٰہُ فِیۡہِ خَیۡرًا کَثِیۡرًا   -- karena jika kamu tidak menyukai mereka maka  boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan  banyak kebaikan di dalamnya. (An-Nisa [4]:20).
        Sehubungan dengan kemungkinan adanya “ketidak-sukaan” terhadap pasangan dalam rumahtangga atau terhadap calon pasangan hidup,  Allah Swt. berfirman dalam ayat sebelumnya: 
وَ مَا کَانَ  لِمُؤۡمِنٍ وَّ لَا مُؤۡمِنَۃٍ  اِذَا قَضَی اللّٰہُ  وَ رَسُوۡلُہٗۤ  اَمۡرًا اَنۡ  یَّکُوۡنَ  لَہُمُ الۡخِیَرَۃُ  مِنۡ اَمۡرِہِمۡ ؕ وَ مَنۡ یَّعۡصِ اللّٰہَ وَ رَسُوۡلَہٗ  فَقَدۡ  ضَلَّ  ضَلٰلًا  مُّبِیۡنًا ﴿ؕ﴾
Dan sekali-kali tidak layak bagi laki-laki  yang beriman  dan tidak pula perempuan yang beriman, اِذَا قَضَی اللّٰہُ  وَ رَسُوۡلُہٗۤ  اَمۡرًا   --  apabila Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan sesuatu urusan,  اَنۡ  یَّکُوۡنَ  لَہُمُ الۡخِیَرَۃُ  مِنۡ اَمۡرِہِمۡ  --  bahwa mereka menjadikan pilihan sendiri dalam urusan dirinya. وَ مَنۡ یَّعۡصِ اللّٰہَ وَ رَسُوۡلَہٗ  فَقَدۡ  ضَلَّ  ضَلٰلًا  مُّبِیۡنًا --   Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguh  ia telah sesat  suatu kesesatan yang nyata. (Al-Ahzāb [33]:37).

Pernikahan dan Perceraian Siti Zainab r.a.  yang Membawa Berkat

        Kejadian yang langsung berkaitan dengan turunnya ayat ini mungkin terjadi karena keraguan Sitti Zainab r.a.  menuruti keinginan yang sangat diidam-idamkan oleh  Nabi Besar Muhammad saw.  agar Sitti Zainab r.a.  menikah dengan Zaid bin Haritsah r.a.,  seorang budak (hamba-sahaya) beliau  saw. yang telah dimerdekakan, yaitu guna  menghilangkan  adanya perbedaan “kasta” dalam masyarakat Muslim.
        Kita patut memuji Sitti Zainab r.a.,    -- seorang bangsawati  bangsa Arab --  karena menghormati  kehendak  Nabi Besar Muhammad saw.  beliau  akhirnya setuju menikah dengan Zaid bin Haritsah r.a., walau bertentangan dengan kecenderungan hati beliau pribadi.  Nabi Besar Muhammad saw.   tidak memaksa Sitti Zainab menerima Zaid bin Haristsah r.a. sebagai suami. Sitti Zainab hanyalah menghormati keinginan beliau saw..
         Walau pun kenyataan membuktikan bahwa   -- karena adanya ketidak-serasian atau tidak kufu’  dalam beberapa hal lainnya di antara pasangan suami-istri tersebut     -- maka  Zaid bin Haristsah r.a. mengemukakan keinginannya kepada Nabi Besar Muhammad saw.  untuk menceraikan Siri Zainab r.a., yang  tentu  saja  perceraian tersebut  sangat tidak diinginkan oleh  beliau saw. (QS.33:38).
        Tetapi karena Allah Swt.   memiliki rencana lain yang jauh lebih penting daripada  tujuan  pernikahan   antara Zaid bin Haritsah r.a. dengan Siti  Zainab r.a.  yang diprakarsai oleh Nabi Besar Muhammad saw.  tersebut, maka perceraian  pasangan suami-istri itu pun akhirnya terjadi, yang tentu saja membuat   Nabi Besar Muhammad saw. merasa “kecewa.
        Tetapi  tentu saja yang paling terpukul oleh persitiwa perceraian tersebut adalah  hati Sitti Zainab r.a.,   karena dengan perceraian tersebut  pada dirinya kemudian  melekat sebutan  janda  (bekas istri) dari seorang mantan hamba sahaya (budak), karena kedudukan sebagai janda yang diceraikan  oleh suami  tidak seperti  halnya kedudukan janda karena ditinggal mati oleh suami atau  kedudukan janda   yang minta cerai  dari suaminya  yang disebut khulu’.
        Namun Allah Swt. tidak pernah mengingkari janji-Nya kepada orang-orang yang  benar-benar mendahulukan kehendak-Nya  daripada kehendak   atau pilihan diri mereka sendiri (QS.33:37), lalu Allah menikahkan Sitti Zainab r.a. dengan Nabi Besar Muhammad saw.,  sehingga dengan demikian kedudukan Sitti Zainab r.a.  menjadi salah seorang dari Ummul Mukminin  (QS.33:7), firman-Nya:
  اَلنَّبِیُّ  اَوۡلٰی بِالۡمُؤۡمِنِیۡنَ مِنۡ اَنۡفُسِہِمۡ وَ اَزۡوَاجُہٗۤ  اُمَّہٰتُہُمۡ ؕ وَ اُولُوا الۡاَرۡحَامِ بَعۡضُہُمۡ اَوۡلٰی بِبَعۡضٍ فِیۡ کِتٰبِ اللّٰہِ مِنَ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ وَ الۡمُہٰجِرِیۡنَ  اِلَّاۤ  اَنۡ تَفۡعَلُوۡۤا  اِلٰۤی  اَوۡلِیٰٓئِکُمۡ مَّعۡرُوۡفًا ؕ کَانَ ذٰلِکَ فِی الۡکِتٰبِ مَسۡطُوۡرًا ﴿﴾
Nabi itu lebih dekat kepada orang-orang beriman daripada kepada diri mereka sendiri, وَ اَزۡوَاجُہٗۤ  اُمَّہٰتُہُمۡ    -- dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka.  Tetapi menurut Kitab Allah keluarga yang sedarah lebih dekat satu sama lain daripada orang-orang beriman  dan orang-orang yang berhijrah,  kecuali jika kamu berbuat  kebaikan terhadap sahabat kamu,  yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab Al-Quran.  (Al-Ahzāb [33]:7).

Membatalkan Adat Istiadat Bangsa Arab Jahiliyah

         Pernikahan antara Nabi Besar Muhammad saw. dengan Sitti Zainab r.a.  pun  sekali gus   membatalkan kekeliruan adat-istiadat  bangsa Arab jahiliyah, bahwa seorang ayah angkat tidak boleh menikahi janda anak-angkatnya, karena menurut mereka kedudukan anak angkat sama dengan anak kandung (QS.33:5-6), firman-Nya kepada Nabi Besar Muhammad saw.:
وَ اِذۡ تَقُوۡلُ لِلَّذِیۡۤ  اَنۡعَمَ اللّٰہُ  عَلَیۡہِ وَ اَنۡعَمۡتَ عَلَیۡہِ  اَمۡسِکۡ عَلَیۡکَ زَوۡجَکَ وَ اتَّقِ اللّٰہَ  وَ تُخۡفِیۡ فِیۡ نَفۡسِکَ مَا اللّٰہُ مُبۡدِیۡہِ  وَ تَخۡشَی النَّاسَ ۚ وَ اللّٰہُ   اَحَقُّ اَنۡ  تَخۡشٰہُ ؕ فَلَمَّا قَضٰی زَیۡدٌ مِّنۡہَا وَطَرًا زَوَّجۡنٰکَہَا  لِکَیۡ لَا یَکُوۡنَ عَلَی  الۡمُؤۡمِنِیۡنَ حَرَجٌ  فِیۡۤ  اَزۡوَاجِ اَدۡعِیَآئِہِمۡ  اِذَا  قَضَوۡا  مِنۡہُنَّ  وَطَرًا ؕ وَ کَانَ   اَمۡرُ  اللّٰہِ  مَفۡعُوۡلًا ﴿﴾

Dan ingatlah ketika engkau berkata kepada orang yang Allah telah memberi nikmat kepadanya dan engkau pun telah memberi nikmat kepadanya:  اَمۡسِکۡ عَلَیۡکَ زَوۡجَکَ وَ اتَّقِ اللّٰہَ  --  Pertahankanlah terus istri engkau pada diri engkau  dan bertakwalah kepada Allah”, sedangkan engkau menyembunyikan dalam hati engkau apa yang Allah hendak menampakkannya, dan engkau takut kepada manusia padahal Allāh lebih berhak agar engkau takut kepada-Nya.  فَلَمَّا قَضٰی زَیۡدٌ مِّنۡہَا وَطَرًا  -- maka tatkala Zaid menetapkan keinginannya terhadapnya, زَوَّجۡنٰکَہَا  لِکَیۡ لَا یَکُوۡنَ عَلَی  الۡمُؤۡمِنِیۡنَ حَرَجٌ  فِیۡۤ  اَزۡوَاجِ اَدۡعِیَآئِہِمۡ  اِذَا  قَضَوۡا  مِنۡہُنَّ  وَطَرًا ؕ   --   Kami menikahkan engkau dengan dia,  supaya tidak akan ada keberatan bagi orang-orang beriman menikahi bekas istri anak-anak angkatnya  apabila mereka telah menetapkan keinginannya mengenai mereka,  وَ کَانَ   اَمۡرُ  اللّٰہِ  مَفۡعُوۡلًا  -- dan keputusan Allah pasti akan terlaksana.”  (Al-Ahzāb [33]:38).
     Sitti Zainab adalah anak bibi  Nabi Besar Muhammad saw.   karena itu beliau seorang bangsawati Arab tulen, sangat bangga akan leluhur beliau dan akan kedudukan mulia dalam masyarakat. Tetapi Islam melalui Nabi Besar Muhammad saw. menganggap dan telah memberi kepada dunia — peradaban dan kebudayaan yang di dalamnya tidak ada pembagian kelas sosial (kasta-kasta), tidak ada kebangsawanan warisan, tidak ada hak-hak istimewa.
     Semua manusia bebas dan setara dalam pandangan Ilahi.  Nabi Besar Muhammad saw.   menghendaki agar pelaksanaan cita-cita luhur agama Islam ini dimulai oleh keluarga beliau  saw. sendiri. Beliau saw. ingin agar Sitti Zainab r.a. menikah dengan Zaid bin Haritsah r.a.,  yang kendatipun telah dimerdekakan oleh beliau saw.,  sayang sekali ia masih tetap dianggap budak oleh sebagian orang. Justru cap perbudakan itulah, pemisah antara “orang merdeka” dan “budak belian” yang diikhtiarkan oleh Nabi Besar Muhammad saw. menghilangkannya melalui pernikahan Sitti Zainab r.a. dengan Zaid bin Haritsah r.a..
      Karena menjunjung tinggi keinginan  Nabi Besar Muhammad saw.   maka Sitti Zainab r.a. menyetujui usul itu. Maksud beliau saw.   telah tercapai, dan pernikahan itu menghilangkan perbedaan dan pembagian kelas. Hal itu merupakan peragaan amaliah akan cita-cita luhur agama Islam.

Makna “Rasa Takut” Nabi Besar Muhammad saw. Terhadap Manusia

    Akan tetapi malang sekali pernikahan itu berakhir dengan kegagalan, bukan disebabkan oleh perbedaan kedudukan sosial antara Sitti Zainab r.a. dengan Zaid bin Haritsah r.a., melainkan karena tidak ada persesuaian dalam pembawaan dan perangai mereka, dan juga oleh sebab perasaan rendah diri yang diderita Zaid  bin Haritsah r.a. sendiri.
      Tentu saja kegagalan pernikahan itu membuat hati Nabi Besar Muhammad saw.  sedih. Tetapi    - sebagaimana telah didingguh sebelumnya -- kejadian perceraian itu pun memenuhi suatu maksud yang sangat berguna. Sesuai dengan perintah Ilahi, sebagaimana disebutkan pada bagian akhir ayat ini,  Nabi Besar Muhammad saw. .  sendiri atas perintah Allah Swt.  menikahi Sitti Zainab r.a., yang dengan demikian membongkar sampai ke akar-akarnya kebiasaan yang telah mendarah-daging pada orang-orang Arab zaman jahiliah, bahwa merupakan pantangan bagi seseorang menikahi bekas istri anak angkatnya.
      Kebiasaan mengangkat anak dihapuskan dan dengan itu anggapan keliru itu dihilangkan. Oleh karena itu pernikahan Sitti Zainab r.a. dengan Zaid bin Haritsah r.a. sebelumnya  adalah untuk memenuhi suatu tujuan luhur lainnya mengenai upaya menghilangkan perbedaan status sosial (kasta).
        Kata-kata  “bertakwalah kepada Allah,” mengandung arti bahwa Zaid bin Haritsah r.a. ingin menceraikan Sitti Zainab r.a.  dan karena perceraian itu, menurut Islam, sangat tidak diridhai dalam pandangan Tuhan, maka  Nabi Besar Muhammad saw.  menganjurkan kepadanya agar Zaid bin Haritsah r.a. tidak berbuat demikian.
       Anak kalimat “...tahanlah isteri engkau pada diri engkau sendiri,” dapat dikenakan baik kepada Zaid  bin Haritsah r.a. maupun kepada  Nabi Besar Muhammad saw.. Kalau dikenakan kepada Zaid bin Haritsah r.a.  maka kalimat itu akan berarti, bahwa Zaid bin Haritsah r.a.    tidak suka kalau akibat perceraiannya dengan Sitti Zainab r.a.  akan nampak, barangkali karena sebagaimana ternyata dari kata-kata, “bertakwalah kepada Allah,”  titik berat  kesalahan terletak lebih banyak pada diri Zaid bin Haritsah r.a. daripada pada diri Sitti Zainab r.a..
      Tetapi   kalau kalimat tersebut  dikenakan kepada Nabi Besar Muhammad saw.  maka kata-kata itu akan berarti bahwa sebab pernikahan antara Zaid  bin Haritsah r.a. dan Sitti Zainab  r.a. itu telah diatur atas permintaan dan kehendak beliau saw.. maka dengan sendirinya beliau saw.  tidak suka kalau pernikahan itu pecah.
       Anak kalimat itu pun menunjukkan  bahwa  Nabi Besar Muhammad saw.   khawatir kalau-kalau putusnya pernikahan yang telah mengakibatkan suatu hal yang nampaknya merupakan kegagalan dalam rangka percobaan Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan menurut Islam), akan menyebabkan tumbuhnya beberapa kecaman dan kegelisahan dalam pikiran orang-orang yang lemah iman.
        Inilah kekhawatiran yang menekan sekali perasaan  Nabi Besar Muhammad saw.  Jadi, kata-kata  engkau takut kepada manusia”  dalam ayat  وَ تُخۡفِیۡ فِیۡ نَفۡسِکَ مَا اللّٰہُ مُبۡدِیۡہِ  وَ تَخۡشَی النَّاسَ ۚ وَ اللّٰہُ   اَحَقُّ اَنۡ  تَخۡشٰہُ --  sedangkan engkau menyembunyikan dalam hati engkau apa yang Allah hendak menampakkannya, dan engkau takut kepada manusia padahal Allah lebih berhak agar engkau takut kepada-Nya”,  agaknya menunjuk kepada kekhawatiran beliau saw. tersebut.

Orang-orang yang Digelincirkan Ayat Mutasyābihāt

      Tetapi  orang-orang yang berhati bengkok (QS.3:8-9) telah menafsirkan lain   berupa  fitnah keji  mengenai ayat yang mutasyabihat berkenaan penikahan antara Nabi Besar Muhammad  saw. dengan Sitti Zainab r.a. tersebut, yakni beberapa kiritikus lawan Islam dari kalangan Kristen berlagak telah menemukan suatu dasar dalam pernikahan  Nabi Besar Muhammad saw.   dengan Sitti Zainab r.a.   untuk melakukan serangan keji terhadap beliau saw..
   Telah dinyatakan oleh mereka bahwa karena secara kebetulan  Nabi Besar Muhammad saw.   melihat Sitti Zainab r.a., beliau  saw. jatuh cinta karena terpesona oleh kecantikannya, dan karena Zaid bin Haritsah r.a. telah mengetahui hasrat Nabi Besar Muhammad saw. tersebut  untuk memperistrikan Sitti Zainab  r.a. lalu ia berusaha menceraikan istrinya.
       Kenyataan bahwa musuh-musuh pun yang menyaksikan seluruh kejadian itu dengan mata mereka sendiri, mereka tidak berani mengaitkan dasar pikiran (motif) rendah seperti kini dikaitkan kepada  Nabi Besar Muhammad saw. oleh kritikus-kritikus yang hidup sesudah lewat beberapa abad itu, sama sekali melenyapkan tuduhan keji dan sungguh tak berdasar itu, sampai ke akar-akarnya.
        Sitti Zainab r.a. adalah saudara sepupu beliau saw. dan karena demikian dekatnya hubungan kekeluargaan beliau saw. maka Nabi Besar Muhammad saw.   pasti telah melihat Sitti Zainab r.a. acapkali sebelum “pardah” diperintahkan. Kecuali itu, karena menghormati keinginan beliau saw.   yang terus menerus dikemukakan itulah, maka Sitti Zainab   r.a. telah menyetujui dengan rasa enggan untuk menikah dengan Zaid bin Haritsah r.a..
         Tersurat di dalam riwayat bahwa Sitti Zainab r.a.  dan kakaknya telah berhasrat sebelum beliau menikah dengan Zaid, agar beliau diperistri Nabi Besar Muhammad saw.  sendiri. Apakah kiranya yang menghambat beliau saw.  memperistri Sitti Zainab r.a. ketika beliau masih gadis dan beliau sendiri mengharapkan diperistri oleh Nabi Besar Muhammad saw.? Seluruh peristiwa itu nampaknya  jelas merupakan rekaan “yang kaya” dayacipta para kritikus yang tidak bersahabat terhadap Nabi Besar Muhammad saw.  dan mempercayai hal itu merupakan suatu penghinaan terhadap akal sehat manusia.
         Jadi, pada hakikatnya ayat    وَ تُخۡفِیۡ فِیۡ نَفۡسِکَ مَا اللّٰہُ مُبۡدِیۡہِ  وَ تَخۡشَی النَّاسَ ۚ وَ اللّٰہُ   اَحَقُّ اَنۡ  تَخۡشٰہُ --  sedangkan engkau menyembunyikan dalam hati engkau apa yang Allah hendak menampakkannya, dan engkau takut kepada manusia padahal Allah lebih berhak agar engkau takut kepada-Nya”, termasuk ayat-ayat Al-Quran mutasyābihāt (QS.3:8-9) yang dengan ayat-ayat seperti itu orang-orang berhati bengkok tergelincir dan masuk ke  dalam jurang fitnah, firman-Nya:
ہُوَ الَّذِیۡۤ اَنۡزَلَ عَلَیۡکَ الۡکِتٰبَ مِنۡہُ اٰیٰتٌ مُّحۡکَمٰتٌ ہُنَّ اُمُّ  الۡکِتٰبِ وَ اُخَرُ مُتَشٰبِہٰتٌ ؕ فَاَمَّا الَّذِیۡنَ فِیۡ قُلُوۡبِہِمۡ زَیۡغٌ فَیَتَّبِعُوۡنَ مَا تَشَابَہَ مِنۡہُ ابۡتِغَآءَ الۡفِتۡنَۃِ وَ ابۡتِغَآءَ تَاۡوِیۡلِہٖ ۚ؃ وَ مَا یَعۡلَمُ  تَاۡوِیۡلَہٗۤ  اِلَّا اللّٰہُ  ۘؔ وَ الرّٰسِخُوۡنَ فِی الۡعِلۡمِ یَقُوۡلُوۡنَ اٰمَنَّا بِہٖ ۙ کُلٌّ  مِّنۡ عِنۡدِ رَبِّنَا ۚ وَ مَا یَذَّکَّرُ  اِلَّاۤ اُولُوا الۡاَلۡبَابِ ﴿﴾  رَبَّنَا لَا تُزِغۡ قُلُوۡبَنَا بَعۡدَ  اِذۡ ہَدَیۡتَنَا وَ ہَبۡ لَنَا مِنۡ لَّدُنۡکَ رَحۡمَۃً ۚ اِنَّکَ اَنۡتَ الۡوَہَّابُ﴿﴾
Dia-lah Yang menurunkan Al-Kitab yakni Al-Quran  kepada engkau, مِنۡہُ اٰیٰتٌ مُّحۡکَمٰتٌ ہُنَّ اُمُّ  الۡکِتٰبِ  --   di antaranya ada ayat-ayat yang muhkamat,  itulah pokok-pokok  Al-Kitab,  وَ اُخَرُ مُتَشٰبِہٰتٌ  -- sedangkan  yang lain  ayat-ayat mutasyābihāt. فَاَمَّا الَّذِیۡنَ فِیۡ قُلُوۡبِہِمۡ زَیۡغٌ فَیَتَّبِعُوۡنَ مَا تَشَابَہَ مِنۡہُ ابۡتِغَآءَ الۡفِتۡنَۃِ وَ ابۡتِغَآءَ تَاۡوِیۡلِہٖ --  Adapun   orang-orang yang di dalam hatinya ada kebengkokan maka mereka mengikuti darinya apa yang mutasyābihāt  karena ingin menimbulkan fitnah dan ingin mencari-cari takwilnya yang salah, وَ مَا یَعۡلَمُ  تَاۡوِیۡلَہٗۤ  اِلَّا اللّٰہُ  ۘؔ وَ الرّٰسِخُوۡنَ فِی الۡعِلۡمِ یَقُوۡلُوۡنَ اٰمَنَّا بِ --padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya   kecuali Allah,   dan orang-orang yang memiliki pengetahuan mendalam berkata:  اٰمَنَّا بِہٖ ۙ کُلٌّ  مِّنۡ عِنۡدِ رَبِّنَا ۚ وَ مَا یَذَّکَّرُ  اِلَّاۤ اُولُوا الۡاَلۡبَابِ --  “Kami beriman kepadanya, semuanya berasal dari sisi Rabb (Tuhan) kami.”  وَ مَا یَذَّکَّرُ  اِلَّاۤ اُولُوا الۡاَلۡبَابِ  -- Dan  tidak ada yang meraih nasihat kecuali orang-orang yang mempergunakan akal.    رَبَّنَا لَا تُزِغۡ قُلُوۡبَنَا بَعۡدَ  اِذۡ ہَدَیۡتَنَا وَ ہَبۡ لَنَا مِنۡ لَّدُنۡکَ رَحۡمَۃً ۚ اِنَّکَ اَنۡتَ الۡوَہَّابُ  --   Ya (Rabb) Tuhan kami, janganlah Eng-kau menyimpangkan hati kami  setelah  Engkau  memberi kami petunjuk, dan anugerahilah kami rahmat dari sisi Engkau, sesungguhnya Eng-kau benar-benar Maha Pemberi anugerah. (Ali  ‘Imran [3]:8-9).

Aturan Pernikahan Dalam Islam yang Rawan Fitnah

       Bahwa pernikahan Nabi Besar Muhammad saw. dengan Sitti Zainab r.a. yang dicerai Zaid bin Haritsah r.a.  bukanlah rekayasa beliau saw. melainkan semata-mata melaksanakan perintah Allah Swt. untuk membatalkan adat-istiadat bangsa Arab jahiliyah dan menggantinya dengan peraturan Islam (Al-Quran), selanjutnya Allah Swt. berfirman:
مَا کَانَ عَلَی النَّبِیِّ مِنۡ حَرَجٍ فِیۡمَا فَرَضَ اللّٰہُ  لَہٗ ؕ سُنَّۃَ اللّٰہِ  فِی الَّذِیۡنَ خَلَوۡا مِنۡ قَبۡلُ ؕ وَ کَانَ  اَمۡرُ  اللّٰہِ   قَدَرًا مَّقۡدُوۡرَۨا ﴿۫ۙ﴾  الَّذِیۡنَ یُبَلِّغُوۡنَ  رِسٰلٰتِ اللّٰہِ وَ یَخۡشَوۡنَہٗ  وَ لَا یَخۡشَوۡنَ  اَحَدًا  اِلَّا اللّٰہَ ؕ وَ کَفٰی  بِاللّٰہِ  حَسِیۡبًا ﴿﴾
Sekali-kali tidak ada keberatan atas Nabi mengenai  apa yang telah diwajibkan Allah  kepadanya. Inilah sunnah Allah yang Dia tetapkan terhadap orang-orang yang telah berlalu sebelumnya, dan perintah Allāh adalah suatu keputusan yang telah dite-tapkan.  الَّذِیۡنَ یُبَلِّغُوۡنَ  رِسٰلٰتِ اللّٰہِ وَ یَخۡشَوۡنَہٗ    -- orang-orang yang menyampaikan amanat Allah dan  takut kepada-Nya,  وَ لَا یَخۡشَوۡنَ  اَحَدًا  اِلَّا اللّٰہَ ؕ   -- dan tidak ada yang mereka takuti siapa pun selain Allah,  وَ کَفٰی  بِاللّٰہِ  حَسِیۡبًا  -- dan cukuplah Allah sebagai Penghisab. (Al-Ahzāb [33]:39-40).
     Yang diisyaratkan dalam kata-kata  “Sekali-kali tidak ada keberatan atas Nabi mengenai  apa yang telah diwajibkan Allah     kepadanya     itu ialah pernikahan Nabi Besar Muhammad saw.      dengan Sitti Zainab r.a..  Kata-kata itu menunjukkan bahwa pernikahan beliau saw. terjadi dalam menaati suatu peraturan Ilahi yang khusus sifatnya, yang memang sangat rawan menimbulkan fitnah.
        Tetapi karena agama Islam merupakan agama terakhir yang paling sempurna (QS.5:4) karena itu ajaran Islam  harus menjawab berbagai persoalan yang timbul dalam kehidupan manusia, walaupun berkenaan dengan hal-hal yang sangat sensitive sifatnya dalam masalah pernikahan.
       Contohnya adalah diperbolehkannya seorang ayah angkat  menikahi janda (mantan istri) anak-angkatnya, karena ayah-angkat tidak memiliki hubungan darah dengan anak-angkat  (QS.33:6) -- seperti halnya dengan anak kandung   -- sehingga  pernikahan tersebut tidak akan mengacaukan  hubungan darah keturunan  mereka.
      Contoh  peraturan pernikahan lainnya dalam Islam yang sangat sensitive yang apabila dilakukan rawan menimbulkan fitnah,  adalah seorang laki-laki yang telah menikahi seorang janda yang punya anak perempuan,  setelah ia bercerai dengan  janda tersebut, maka laki-laki itu diperbolehkan  menikahi anak tirinya   asalkan saja sebelum bercerai dengan ibunya   ia belum berhubungan badan dengan ibu  anak tirinya tersebut, firman-Nya:
حُرِّمَتۡ عَلَیۡکُمۡ اُمَّہٰتُکُمۡ وَ بَنٰتُکُمۡ وَ اَخَوٰتُکُمۡ وَ عَمّٰتُکُمۡ وَ خٰلٰتُکُمۡ وَ بَنٰتُ الۡاَخِ وَ بَنٰتُ الۡاُخۡتِ وَ اُمَّہٰتُکُمُ الّٰتِیۡۤ  اَرۡضَعۡنَکُمۡ وَ اَخَوٰتُکُمۡ مِّنَ الرَّضَاعَۃِ  وَ اُمَّہٰتُ نِسَآئِکُمۡ  وَ رَبَآئِبُکُمُ الّٰتِیۡ فِیۡ  حُجُوۡرِکُمۡ مِّنۡ نِّسَآئِکُمُ  الّٰتِیۡ دَخَلۡتُمۡ بِہِنَّ ۫ فَاِنۡ  لَّمۡ تَکُوۡنُوۡا دَخَلۡتُمۡ بِہِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَیۡکُمۡ ۫ وَ حَلَآئِلُ اَبۡنَآئِکُمُ الَّذِیۡنَ مِنۡ اَصۡلَابِکُمۡ ۙ  وَ اَنۡ تَجۡمَعُوۡا بَیۡنَ الۡاُخۡتَیۡنِ اِلَّا مَا قَدۡ سَلَفَ ؕ اِنَّ اللّٰہَ کَانَ  غَفُوۡرًا  رَّحِیۡمًا ﴿ۙ ﴾
Telah diharamkan atas kamu menikahi ibu-ibu kamu, anak-anak perempuan kamu, saudara-saudara peremuan kamu, saudara-saudara perempuan bapak kamu, saudara-saudara perempuan ibu kamu,  anak-anak perempuan saudara laki-laki kamu, anak-anak perempuan saudara perempuan kamu, ibu-ibu kamu yang menyusui kamu, saudara-saudara perempuan sepesusuan kamu,   ibu-ibu istri-istri kamu,  anak-anak tiri perempuan kamu yang ada dalam pemeliharaanmu yang lahir dari istri-istri kamu yang telah kamu campuri;  فَاِنۡ  لَّمۡ تَکُوۡنُوۡا دَخَلۡتُمۡ بِہِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَیۡکُمۡ    -- tetapi jika kamu belum bercampur dengan mereka maka tidak ada dosa bagi kamu menikahi anak tiri itu; dan  diharamkan pula istri-istri anak-anak lelaki kamu yang lahir dari sulbi kamu (anak kandung), dan juga diharamkan bagi kamu mengumpulkan dua orang perempuan bersaudara sebagai istri-istri kamu dalam satu waktu kecuali apa yang telah lampau. Sesungguhnya, Allah benar-benar Maha Pengampun, Maha Penyayang. (An-Nisa [4]:24).

Orang-orang Yahudi yang Senantiasa  Menyusahkan Nabi Musa a.s. & Beratnya “Memikul”  Syariat Islam (Al-Quran)

         Pendek kata, begitu lengkap serta sempurnanya hukum syariat Islam (Al-Quran)   -- termasuk dalam masalah pernikahan --  dan dari seluruh Rasul Allah hanya Nabi Beear Muhammad saw. sajalah yang mampu “mengembannya” sekali pun akan menjadi “batu sandungan” yang menggelincirkan orang-orang yang berhati bengkok, firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا لَا تَکُوۡنُوۡا کَالَّذِیۡنَ اٰذَوۡا مُوۡسٰی فَبَرَّاَہُ  اللّٰہُ مِمَّا قَالُوۡا ؕ وَ کَانَ عِنۡدَ اللّٰہِ  وَجِیۡہًا  ﴿ؕ۶۹﴾ یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰہَ وَ قُوۡلُوۡا  قَوۡلًا  سَدِیۡدًا  ﴿ۙ﴾ یُّصۡلِحۡ  لَکُمۡ  اَعۡمَالَکُمۡ وَ یَغۡفِرۡ لَکُمۡ ذُنُوۡبَکُمۡ ؕ وَ مَنۡ یُّطِعِ اللّٰہَ  وَ رَسُوۡلَہٗ  فَقَدۡ  فَازَ  فَوۡزًا عَظِیۡمًا ﴿﴾  اِنَّا عَرَضۡنَا الۡاَمَانَۃَ عَلَی السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ وَ الۡجِبَالِ فَاَبَیۡنَ اَنۡ یَّحۡمِلۡنَہَا وَ اَشۡفَقۡنَ مِنۡہَا وَ حَمَلَہَا الۡاِنۡسَانُ ؕ اِنَّہٗ کَانَ ظَلُوۡمًا جَہُوۡلًا ﴿ۙ﴾  لِّیُعَذِّبَ اللّٰہُ  الۡمُنٰفِقِیۡنَ وَ الۡمُنٰفِقٰتِ وَ الۡمُشۡرِکِیۡنَ وَ الۡمُشۡرِکٰتِ وَ یَتُوۡبَ اللّٰہُ عَلَی الۡمُؤۡمِنِیۡنَ وَ  الۡمُؤۡمِنٰتِ ؕ وَ کَانَ اللّٰہُ  غَفُوۡرًا  رَّحِیۡمًا ﴿٪﴾ 
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu seperti   orang-orang yang telah menyusahkan  Musa, tetapi Allah membersihkannya dari apa yang mereka katakan. Dan ia di sisi Allah adalah orang yang terhormat.   Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang jujurDia akan memperbaiki  bagi kamu amal-amalmu dan akan meng-ampuni bagimu dosa-dosa kamu.  Dan barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya ia akan meraih kemenangan besar.  اِنَّا عَرَضۡنَا الۡاَمَانَۃَ عَلَی السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ وَ الۡجِبَالِ فَاَبَیۡنَ اَنۡ یَّحۡمِلۡنَہَا وَ اَشۡفَقۡنَ مِنۡہَا وَ حَمَلَہَا الۡاِنۡسَانُ ؕ اِنَّہٗ کَانَ ظَلُوۡمًا جَہُوۡلًا  ---  Sesungguhnya Kami telah  menawarkan amanat syariat kepada seluruh langit, bumi dan gunung-gunung, tetapi semuanya enggan memikulnya dan mereka takut terhadapnya, akan sedangkan insan  memikulnya, sesungguhnya ia sanggup berbuat zalim dan  abai  terhadap dirinya.    لِّیُعَذِّبَ اللّٰہُ  الۡمُنٰفِقِیۡنَ وَ الۡمُنٰفِقٰتِ وَ الۡمُشۡرِکِیۡنَ وَ الۡمُشۡرِکٰتِ وَ یَتُوۡبَ اللّٰہُ عَلَی الۡمُؤۡمِنِیۡنَ وَ  الۡمُؤۡمِنٰتِ ؕ وَ کَانَ اللّٰہُ  غَفُوۡرًا  رَّحِیۡمًا   -- supaya Allah akan menghu-kum orang-orang munafik lelaki dan orang-orang munafik perempuan, dan  orang-orang musyrik lelaki dan orang-orang musyrik perempuan,  dan Allah senantiasa kembali dengan kasih sayang kepada orang-orang lelaki   dan   perempuan-perempuan yang beriman, dan Allah adalah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (Al-Ahzāb [33]:70-74).

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid

                                                                              ***
Pajajaran Anyar,  27 Agustus     2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar